PEPERA! Proses New York Agreement ternyata melibatkan OAP (Orang Asli Papua)

Admint, 24 Oktober 2021.

Selama ini kita di suguhkan perdebatan serta tulisan-tulisan yang mengatakan bahwa OAP (Orang asli Papua) tidak pernah ikut dalam proses PEPERA juga tidak di libatkan dalam New York Agreement 1962, dimana Ketentuan tersebut menjadi pegangan bahwa; setelah Tahun 1963-1969 papua harus terbebas dari indonesia dan kemudian di wajibkan melakukan Self determination (Penentuan nasib sendiri).

Pertanyaan nya benarkah sesuai Issue yang ada bahwa OAP tidak terlibat di dalam proses-proses PEPERA?, disinilah yang menjadi substansial masalah tersebut; bahwa selama ini kelompok pembebasan Telah melakukan pembohongan publik atas kepentingan kelompok elit-elit organisasi.

Pada kenyataan nya Self Determination (Penentuan nasib sendiri) juga di galang dan berikut di dukung ke-ikut sertaan Delegasi dari Orang asli papua Yang bernama Silas Papare yang ketika itu aktif dalam Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB) menjadi salah seorang delegasi Indonesia dalam Perjanjian New York yang ditandatangani pada 15 Agustus 1962, yang mengakhiri konfrontasi Indonesia dengan Belanda perihal Irian Barat. Disini jelas Secara tidak langsung jelas bahwa ternyata Soekarno telah mendukung proses keberadaan self determination serta menyerahkan prosesnya terhadap orang asli papua yang bernama ‘Silas Papare’

Berikut juga Anak papua asli ‘Marthen Indey’ berangkat ke New York sebagai delegasi pada bulan Desember 1962. Walaupun mereka terlibat dalam pihak militer dan Turut merumuskan strategi gerilya mengusir kolonialisme yang secara sah dilarang dalam Resolusi PBB 1514, Tgl 14 Desember 1946. Namun marthen Indey mendukung dan setuju dalam proses win-win solution penentuan Nasib sendiri untuk rakyat papua pada tahun 1969.

Perjalanan menuju PEPERA menjadi sarat politisasi setelah ada perlakuan pencurian start pada tahun 1963 oleh Gubernur Pertama Irian (Papua) yang bernama Elias Jan Bonai, yang menjabat kurang dari setahun (1963–1964). Kental nya sikap politik antara Niuew Guinea Raad & Soekarnoisme membuat Bonay yang pada awalnya berpihak pada Indonesia Namun melakukan pembelotan tepat nya pada tahun 1964 dimana menggunakan penyalahgunaan rencana Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang akhirnya bergabung bersama Organisasi Papua Merdeka.

Dari rekaman perjalanan sejarah itu jelas bahwa keterlibatan OAP dari Delegasi yang menghadiri penandatanganan ‘New York Agreement’ 1962. hingga panas dingin politik menjelang self determination dimana belanda dan Australia turut mendukung aktivitas demonstrasi-demonstrasi yang dilakukan kelompok organisasi papua merdeka, dengan segala kejadian ini jelas bahwa peristiwa OAP sebagai bentuk kehadiran itu terbukti ada, dan bahwa bukan Autobots semacam transformer hingga di katakan antara Jin dan setan yang hadir serta tidak pernah melibatkan OAP disana; merupakan Framming kebohongan dan ketidak jujuran atas pengakuan yang terus di ulang-ulang.
Salam merdeka wa wa wa wa wa wa wa!.

Sumber pengembangan : Wikipedia, ketik nama-nama Tertera.

Aliansimahasiswapapua #AMP #Bennywenda #ULMWP #Bazokalogo #papuamerdeka #TPNPB #KNPB #organisasipapuamerdeka #TPNPBOPM #OPM

Periode Bersiap Sarat Pembantaian Jadi Sorotan Penelitian Belanda

Ilustrasi: Salah satu kapal perang Belanda yang tenggelam pada Pertempuran Laut Jawa 1942, tenggelam saat menghadang invasi Jepang ke Pulau Jawa. (Royal Navy Official Photographer)
Ilustrasi: Salah satu kapal perang Belanda yang tenggelam pada Pertempuran Laut Jawa 1942, tenggelam saat menghadang invasi Jepang ke Pulau Jawa. (Royal Navy Official Photographer)

Jakarta – Saat periode Bersiap, diperkirakan puluhan ribu orang Belanda dan Indo-Belanda dibantai. Rentang waktu yang berlangsung pada 1945 sampai 1946 akan menjadi perhatian di penelitian Belanda berdana 4,1 juta Euro.

Penelitian itu bertajuk ‘Dekolonisasi, kekerasan, dan perang di Indonesia, 1945-1950’. Ada tiga lembaga Belanda yang menyelenggarakan riset ini yakni Lembaga Ilmu Bahasa, Negara dan Antropologi Kerajaan Belanda (KITLV), Lembaga Belanda untuk Penelitian Perang, Holocaust, dan Genosida (NIOD), dan Lembaga Penelitian Belanda untuk Sejarah Militer (NIMH).

Tiga lembaga ini membuat surat informasi teknis yang ditandatangani Direktur NIOD, Prof dr Frank van Vree pada 9 Februari 2017. Dalam surat yang bisa diunduh dari situs pengumuman resmi Belanda itu, tertulis bahwa periode bersiap bakal menjadi konsentrasi dalam penelitian ini.

Riset akan dilakukan menggunakan perspektif yang luas. “Misalnya, bahwa dalam penyelidikan baru ini secara eksplisit perhatian akan diberikan pada periode kacau-‘masa Bersiap’ pertengahan Agustus 1945 sampai awal 1946,” tulis Frank van Vree dalam surat itu.

Mereka juga akan meneliti latar belakang Periode Bersiap yang penuh kekerasan ini, hingga dampak psikologis kekerasan di masa itu bagi militer dan penduduk sipil Belanda.

Apa itu Periode Bersiap?

Sejarawan kontemporer Indonesia dari Universitas Indonesia, Rushdy Hoesein menjelaskan Periode Bersiap berlangsung dari 1945 sampai 1946. Istilah ‘bersiap’ sebenarnya lebih akrab digunakan orang Belanda ketimbang orang Indonesia.

Mereka menyebut dengan istilah seperti itu karena mendengar teriakan dari para pejuang zaman itu.

“Orang pribumi membuat jargon-jargon politik, membuat pertahanan kampung dengan bambu runcing dan meneriakkan, ‘Siap!’ Itu dalam rangka mengantisipasi kembalinya Belanda yang membonceng NICA,” tutur Rushdy kepada detikcom, Senin (18/9/2017).

Penuh kekerasan, memang itu yang terjadi, baik kekerasan terhadap orang Belanda yang dilakukan orang Indonesia maupun kekerasan yang dilakukan pihak Belanda terhadap orang Indonesia.

“Cuma, pihak Belanda menuduh kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang Indonesia. Faktanya ada? Ada. Misalnya tiga buah truk yang membawa Prisoner of War selama zaman Jepang. Di Surabaya, ada yang dicegat rakyat. Truknya dibakar, laki-laki dan perempuan dibunuh,”

ujar Rusdhy.

“Ngeri!” imbuhnya.

Tak peduli siapa saja, pokoknya yang berasosiasi dengan Belanda dibunuh. Ada pula orang-orang Indo-Eropa, Tionghoa, dan pribumi yang bersekongkol dengan Belanda juga dipersekusi. Pria, wanita, dewasa, hingga anak kecil juga kena persekusi.

Dalam presentasi sejarawan dari Universitas Gadjah Mada, Abdul Wahid, berjudul ‘Bersiap and Violence in Indonesia’s Revolutionary Period, 1945-1949: A Review’, korban dari pihak Belanda, Indo, Tionghoa, dan kaum minoritas yang tewas dalam periode Bersiap berjumlah ribuan, meski jumlah ini masih diperdebatkan.

Ada 3 ribu sampai 8 ribu mayat Belanda dan orang Indo yang ditemukan, 20 ribu hingga 30 ribu orang hilang. Sekitar 10 ribu keturunan Tionghoa dan ratusan orang Indonesia lainnya juga jadi korban. Pelakunya disebut-sebut pihak Belanda dengan istilah ‘pemuda’, milisi, badan/laskar perjuangan, orang kampung, kriminal, dan sebagainya.

Peneliti asal Belanda dari yayasan Histori Bersama, Marjolein van Pagee, mengkritik penelitian Belanda yang dimulai September ini hingga empat tahun mendatang. Menurutnya, ketimbang meneliti dampak psikologis periode Bersiap terhadap tentara Belanda, lebih baik adakan saja penelitian soal pengaruh propaganda Belanda terhadap cara berpikir masyarakat Belanda sendiri dalam memandang kolonialisme di Indonesia.

“Mereka menjelaskan bahwa periode Bersiap akan menjadi bagian penting dalam riset itu. Secara pribadi, saya tidak menentang riset tentang periode itu, namun pertanyaan yang mendasari riset itu terasa konyol,” tuturnya.

Dia menilai pihak negaranya menggunakan istilah Periode Bersiap dengan pemahaman agak berbeda. Belanda berpandangan perang kemerdekaan Indonesia adalah perang antara dua pihak yang sama-sama kuat dan sama-sama berhak. Maka dari itu, pihak Belanda menilai kedua pihak sama-sama melakukan kejahatan perang. Baik Belanda maupun Indonesia sama-sama bersalah. Marjolein mengkritik cara berpikir Belanda ini.

“Saya berkata: Anda semua (pihak Belanda) berkata seolah-olah pemerintah kolonial adalah pemerintah yang sah! Ayo mulai dengan pertanyaan: Apakah kolonialisme itu sah?” kata dia sambil tersenyum.
(dnu/ams)

Riset Perang Indonesia 1945-1950, Belanda Kucurkan 4,1 Juta Euro

Ilustrasi: Salah satu kapal perang Belanda yang tenggelam pada Pertempuran Laut Jawa 1942, tenggelam saat menghadang invasi Jepang ke Pulau Jawa. (Royal Navy Official Photographer)
Ilustrasi: Salah satu kapal perang Belanda yang tenggelam pada Pertempuran Laut Jawa 1942, tenggelam saat menghadang invasi Jepang ke Pulau Jawa. (Royal Navy Official Photographer)

Leiden – Tiga lembaga penelitian Belanda akan melanjutkan penelitian penggunaan kekerasan selama perang dekolonialisasi tahun 1945 sampai 1950 di Indonesia. Penelitian ini berdana Rp 64,8 miliar dan dimulai bulan ini.

Sebagaimana diberitakan situs resmi Universitas Leiden pada 2 Maret 2017 dan diakses detikcom, Minggu (17/9/2017), penelitian ini bakal berlangsung sampai empat tahun ke depan.

Tiga lembaga penelitian yang terlibat adalah Lembaga Ilmu Bahasa, Negara dan Antropologi Kerajaan Belanda (KITLV) dari Universitas Leiden, Lembaga Belanda untuk Penelitian Perang, Holocaust, dan Genosida (NIOD), dan Lembaga Penelitian Belanda untuk Sejarah Militer (NIMH).

Mereka menyebut dana yang dikucurkan sebesar 4,1 juta Euro. Bila dikonversi dengan kurs 17 Maret 2017 (1 Euro = Rp 14.334) maka itu sama dengan Rp 58.769.400.000. Bila dikonversi dengan kurs saat ini (1 Euro = Rp 15.814) maka itu sama dengan Rp 64.840.450.743.

Penelitian kolaboratif ini tak akan memeriksa sisi militer dari serjarah ini, namun juga bakal memeriksa aksi politik, administratif, serta hukum Belanda dan Indonesia pada masa-masa itu.

Pada akhir 2016, pemerintah Belanda sudah memutuskan untuk mempersiapkan penelitian komprehensif dan independen terhadap perang revolusi nasional Indonesia itu. Pada tahun-tahun belakangan, publikasi ilmiah dan karya jurnalistik bermunculan. Karya-karya itu menyebut Belanda menggunakan kekerasan struktural dan berlebihan selama konflik.

“Kita harus melihat baik-baik cermin masa lalu kita,” kata Menteri Luar Negeri Belanda, Bert Koenders, saat mengumumkan proyek penelitian ini.

KITLV akan berkolaborasi dengan sejumlah universitas di Indonesia dan mengundang para peneliti Indonesia dalam berbagai sub-proyek penelitian ini. Riset baru ini sudah dimulai sejak 2012, diadakan oleh KITLV sebagai penelitian aksi militer Belanda di Indonesia periode 1945-1950.

Profesor Universitas Leiden Gert Oostindie telah bertahun-tahun melakukan lobi untuk menyelenggarakan penelitian ini. Dalam bukunya, ‘Soldaat in Indonesië’, dia menunjukkan dasar dokumen personal milik para tentara belanda, menunjukkan adanya kekerasan saat itu.

“Meski begitu, ada banyak hal yang kita tak pahami sepenuhnya,” kata Oostindie pada tahun lalu. “Misalnya konteks dari kekerasan. Bagaimana para politisi, pejabat, dan penegak hukum bereaksi?” imbuhnya yang puas dengan pengumuman kelanjutan penelitian ini.

(dnu/fay)

Peneliti Belanda Kritik Riset Negaranya Soal Perang Indonesia

https://news.detik.com/berita/d-3646938/peneliti-belanda-kritik-riset-negaranya-soal-perang-indonesia?_ga=2.115016967.1889302214.1503800940-1434591099.1500372144
https://news.detik.com/berita/d-3646938/peneliti-belanda-kritik-riset-negaranya-soal-perang-indonesia?_ga=2.115016967.1889302214.1503800940-1434591099.1500372144

Jakarta – Belanda melakukan riset terhadap kekerasan perang 1945-1950 di Indonesia. Namun seorang peneliti Belanda mengkritisi penelitian ini sebagai proyek yang bias kepentingan.

“Mereka meminta saya untuk bergabung dalam panel diskusi saat penelitian dimulai. Saya membuat catatan kritis, menurut saya ini adalah penelitian yang politis,” kata peneliti sejarah dari yayasaan ‘Histori Bersama’, Marjolein van Pagee, kepada detikcom, Minggu (17/9/2017).

Marjolein adalah pendiri yayasan Histori Bersama, kelompok yang memberi perhatian kepada sejarah Belanda dan Indonesia dari kedua perspektif. Peneliti yang sedang menempuh pendidikan master Sejarah Kolonial dan Global di Universitas Leiden ini pernah mewawancarai lebih dari 50 veteran perang Indonesia-Belanda, dilakukan sejak 2010.

Periode 1945 sampai 1946, ada pula yang menyebutkan 1945 sampai 1949, dikenal Belanda sebagai periode ‘bersiap’, diwarnai dengan kekerasan terhadap banyak orang Belanda, Indo-Belanda, Tionghoa, dan orang-orang Indonesia yang dituduh menjadi antek-antek Belanda. Periode bersiap ini dikenang orang-orang Belanda yang jadi korban kekerasan sebagai ‘periode kacau-balau’.

“Februari lalu, tiga institusi yang melakukan penelitian itu mengirimkan surat ke Pemerintah Belanda, memberitahukan tentang rencana mereka. Dalam surat itu, mereka menyatakan bahwa Bersiap akan menjadi bagian penting dalam penelitian,” tutur Marjolein.

Marjolein mengkritisi pertanyaan dalam penelitian ini yang hendak mengeksplorasi dampak psikologis para tentara Belanda yang jadi korban dalam periode bersiap. Pelaku kekerasan adalah para pemuda Indonesia.

“Daripada mempertanyakan bagaimana kekerasan orang Indonesia terhadap tentara Belanda. Kenapa tidak mempertanyakan bagaimana propaganda Belanda masih memengaruhi ide tentang perang di masyarakat (Belanda) masa kini?” gugatnya.

“Anda tahu, propaganda Belanda selalu mengatakan para pejuang kemerdekaan Indonesia itu cuma gerombolan ekstremis, rampok, dan sejenisnya,” imbuhnya.

Meski dia tidak menentang penelitian itu, namun dia merasa ada bias cara berpikir kolonial warisan masa lalu dalam masyarakat Belanda ketika memandang isu perang di Indonesia. Membahas periode bersiap mengarah kepada kesimpulan bahwa orang-orang Indonesia melakukan kejahatan perang kala itu.

“Kalian (pihak Belanda) bicara bahwa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda adalah pemerintahan yang sah! Mari kita mulai bicarakan pertanyaan: Apakah kolonialisme itu sah?” ujarnya sambil tersenyum.

Dia juga mempertanyakan kerjasama penelitian ini dengan para peneliti dari Indonesia. Dia mempertanyakan kenapa riset ini tak melibatkan Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) bernama Jeffrey Pondaag. KUKB memotori penuntutan pembayaran ganti rugi dari Belanda untuk keluarga korban perang. 2015, Pengadilan Tinggi Den Haag memerintahkan Belanda membayar ganti rugi untuk sejumlah keluarga korban perang kemerdekaan Indonesia tahun ’40-an.

“Tim riset ini sangat dekat dengan pemerintahan. Pemerintah memberi lampu hijau untuk riset ini juga terkait kasus dengan KUKB,” ujarnya.

Sebagaimana diketahui, tiga lembaga penelitian Belanda akan melanjutkan penelitian penggunaan kekerasan selama perang dekolonialisasi tahun 1945 sampai 1950 di Indonesia. Penelitian ini berdana 4,1 juta Euro dan dimulai bulan ini hingga empat tahun mendatang.

Tiga lembaga penelitian yang terlibat adalah Lembaga Ilmu Bahasa, Negara dan Antropologi Kerajaan Belanda (KITLV) dari Universitas Leiden, Lembaga Belanda untuk Penelitian Perang, Holocaust, dan Genosida (NIOD) bagian dari Akademi Kerajaan Kesenian dan Ilmu Pengetahuan Belanda, dan Lembaga Penelitian Belanda untuk Sejarah Militer (NIMH).

“Salah satu institusi, yakni NIMH, adalah bagian dari Kementerian Pertahanan (Belanda),” kata Marjolein.

(dnu/fay)

Cerita Indonesia tentang Papua di PBB

Kredit foto: Cypri Dale
Kredit foto: Cypri Dale

TINJAUAN Periodik Universal (UPR) atas Indonesia di Dewan HAM PBB baru saja selesai (03/05/17). Pemerintah Indonesia yang diwakili delegasi besar yang dipimpin Menteri Luar Negeri dan Menteri Hukum dan HAM menampilkan pertanggungjawaban HAM Indonesia selama 5 tahun terakhir (sejak UPR 2012) dengan penuh kepercayaan diri diplomatik. Penegakan HAM di Papua menjadi isu sentral, demi menanggapi semakin intensifnya perhatian dan keprihatinan komunitas internasional atas situasi di kawasan itu. Sejumlah negara besar sekutu dekat Indonesia mengajukan pertanyaan dan pernyataan krusial. Sementara tujuh Negara Pasifik yang selama ini bersikap keras terhadap Indonesia dalam persoalan Papua justru memilih tidak hadir. Bagaimana perkembangan persoalan Papua di kancah internasional?

Litani Kesuksesan

UPR sejatinya merupakan mekanisme standar di PBB dengan tujuan untuk memperbaiki situasi HAM secara nyata di setiap negara anggota. Dalam UPR negara yang sedang direview memberikan laporan mengenai situasi HAM di dalam negeri serta pelaksanaan rekomendasi dari UPR sebelumnya. Negara-negara lain, berdasarkan observasi diplomatik serta informasi dari lembaga-lembaga HAM non-pemerintah, mengajukan pertanyaan dan rekomendasi yang harus dijalankan sebelum UPR berikutnya lima tahun mendatang.

Khusus tentang Papua, setidaknya ada empat hal yang disampaikan dalam pertanggungjawaban Menteri Luar Negeri dan Menteri Hukum dan HAM di Dewan HAM PBB dalam UPR kali ini.

Pertama, bahwa pemerintah sedang melakukan percepatan pembangunan yang dianggap sebagai solusi atas berbagai persoalan di Papua. Dilaporkan bahwa “presiden secara teratur mengunjungi kedua provinsi ini untuk mengecek kemajuan pembangunan infrastruktur dan yang paling penting untuk secara langsung berdialog dengan orang Papua.” Terkait dengan pendidikan dan kesehatan, Kartu Indonesia Pintar dan Kartu Indoensia Sehat, dilaporkan sebagai solusi untuk masalah di Papua. Disebutkan “ lebih dari 2,8 juta orang Papua telah menerima kartu sehat sementara 360 ribu siswa telah mendapatkan manfaat dari kartu Indonesia pintar.” Selain itu, pembangunan infrastruktur yang sedang sedang digencarkan pemerintah Indonesia dilaporkan sebagai kemajuan. Dikatakan “Pemerintah berencana membangun jalan Trans-Papua dari Merauke ke Sorong, yang terdiri dari 4325 km jalan di mana 3625 km telah selesai.” Tidak dijelaskan kaitan infrastruktur dengan penegakan HAM.

Kedua, Pemerintah Indonesia “memiliki komitmen yang sangat kuat untuk menyelesaikan persoalan-persoalan ketidakadilan, termasuk dugaan pelanggaran HAM di Papua.” Sebagai buktinya disebutkan bahwa “Sebuah tim integratif di bawah Kementerian Politik, Hukum dan Keamanan termasuk Komnas HAM dibentuk pada tahun 2016 untuk bekerja secara independen untuk menyelesaikan dugaan kasus pelanggaran HAM.” Apa hasil kerjanya? Dilaporkan “Tim ini menyimpulkan bahwa dari 12 laporan dugaan pelanggaran HAM di Papua dari tahun 1996-2004, tiga di antaranya adalah dugaan pelanggaran HAM berat, sementara sisanya adalah kasus kriminal biasa.” Disebutkan juga bahwa “Kejaksaan Agung sedang mempersiapkan proses pengadilan di Pengadilan HAM tetap di Makasar. Untuk kasus Paniai, Komnas HAM telah melakukan investigasi resmi untuk kemudian diproses di Kejaksaan Agung.”

Ketiga, bahwa “Pemerintah juga telah mencabut pembatasan bagi wartawan asing untuk mengunjungi Papua.” Sebagai buktinya ditunjukkan bahwa “39 wartawan asing datang ke Papua pada tahun 2015, sebuah peningkatan sebanyak 41% dari tahun sebelumnya.” Disebutkan juga bahwa pada tahun 2017 ini sudah ada 9 wartawan asing yang mengajukan izin mengunjungi Papua dan semuanya dikabulkan pemerintah.

Keempat, bahwa Otonomi Khusus Papua dilaksanakan untuk meningkatkan tata pemerintahan lokal yang efektif dan pembangunan. Disebutkan juga bahwa “dalam kerangka Otonomi Khusus, provinsi Papua dan Papua Barat juga terus menerima jumlah anggaran paling besar, dibanding provinsi-provinsi lain yaitu 69,71 triliun rupiah atau setara dengan 2.5 milyar dollar Amerika”.

 

Tanggapan Diplomatik

Menariknya sebagai tanggapan atas laporan Indonesia, sejumlah negara justru menyampaikan berbagai pertanyaan dan pernyataan sederhana; yaitu kenyataan pelaksanaannya secara konkret dan bagaimana langkah-langkah pemerintah itu berkontribusi pada penyelesaian masalah HAM yang masih terus terjadi di Papua.

Pemerintahan Swiss misalnya mempertanyakan “Kemajuan apa yang sudah dilakukan Pemerintah Indonesia dalam implementasi rencana yang sudah diumumkan oleh Menkopolhukam pada bulan Mei dan Oktober 2016 untuk menginvestigasi dan menyelesaikan pelanggaran HAM di Papua seperti kasus Paniai, Wasior, dan Wamena?”

Sambil mempertanyakan hal tentang penyelesaian kasus-kasus HAM, Pemerintah Jerman menyoroti pembatasan jurnalis di Papua. Ditanyakan “langkah-langkah apa yang sudah diambil untuk memperbaiki situasi kerja bagi para jurnalis yang bekerja pada persoalan-persoalan terkait HAM dan langkah-langkah apa yang sudah diambil untuk menghapus larangan untuk memberitakan persoalan-persoalan West Papua, termasuk pernyataan untuk membuka akses bagi jurnalis asing ke West Papua?”

Hal senada ditanyakan pemerintah Mexico menyoroti masalah pembela HAM dan Jurnalis, dan mempertanyakan langkah-langkah apa yang sudah diambil untuk “untuk menghentikan intimidasi dan represi terhadap para pembela HAM, jurnalis, dan LSM di Papua Barat?”

Sementara itu, Pemerintah Belanda yang menyambut baik perhatian dan seringnya kunjungan Presiden Joko Widodo ke Papua, mempertanyakan “apa saja yang sudah menjadi hasil dari dari hal-hal itu di bidang hak asasi manusia?”

Selain pertanyaan-pertanyaan tentang konkret pelaksanaan, sejumlah Negara juga menyampaikan rekomendasi krusial yang mengimplikasikan bahwa sebenarnya mereka tidak percaya pada litani kesuksesan yang disampaikan Pemerintah Indoensia.

Pemerintah Amerika Serikat, Australia, Austria, dan New Zeland secara khusus menyoroti kasus-kasus penangkapan aktivis dalam aksi damai serta pembatasan kebebasan berpendapat dan berekspresi. Delegasi Amerika Serikat menyebutkan, “Kami juga sangat prihatin dengan pembatasan kebebasan untuk berbicara dan berkumpul secara damai termasuk di provinsi Papua dan Papua Barat di mana telah terjadi penangkapan besar-besaran terhadap demonstrasi/aksi-aksi yang dilakukan secara damai, juga pembatasan terhadap simbol-simbol lokal.” Sementara delegasi Australia, “merekomendasikan agar Indonesia mengintensifkan seluruh usaha untuk menghormati dan menegakkan kebebasan berekspresi dan beragama serta berkepercayaan dan mencegah diskriminasi berdasarkan apa pun termasuk orientasi seksual dan identitas gender.

Bahkan sejumlah Negara menghendaki investigasi lebih lanjut tentang kondisi konkrit situasi HAM di Papua, dengan merekomendasikan dikirimnya Pelapor Khusus (Special Rapporteurs) ke Papua. Pemerintah Jerman dan Belgia meminta Indonesia menerima kunjungan Pelapor Khusus PBB tentang Kebebasan Berkespresi dan Berkumpul. Sementara Mexico meminta Indonesia menerima kunjungan Pelapor Khusus bidang Hak Masyarakat Asli ke Papua.

Menariknya, negara-negara itu sebenarnya merupakan sekutu dekat Indonesia yang selain memiliki hubungan ekonomi yang kuat, juga biasanya bersikap lunak. Kenyataan bahwa mereka secara eksplisit menyebut persoalan Papua dalam UPR menunjukkan meningkatnya keprihatinan pada tidak kunjung membaiknya situasi di Papua. Selain itu, melalui pertanyaan-pertanyaan dan pernyataan-pernyataan mereka, serta melalui jawaban-jawaban Indonesia yang cenderung menyembunyikan realitas, persoalan-persoalan di Papua semakin diketahui negara-negara anggota PBB di Dewan HAM. Semakin sulit bagi Indonesia untuk menganggap masalah di Papua hanya sebagai masalah dalam negeri saja.

 

Tujuh Negara Pasifik Absen

Sementara itu Negara-negara Pasifik yang selama ini bersikap keras terhadap Indonesia tentang Papua, justru memilih untuk tidak hadir saat UPR Indonesia di Dewan HAM. Dalam dunia diplomatik, tidak hadir, apalagi tidak hadir secara kolektif, adalah sebuah statement diplomatik yang keras dan penuh makna. Tujuh negara ini dalam Sidang Umum PBB di New York tahun lalu menyampaikan keprihatinan mendalam atas situasi di Papua; dan menghendaki dikirimnya tim pencari fakta (fact-finding-mission) internasional ke Papua. Selain itu, mereka menegaskan perlunya mengangkat hak atas penentuan nasib sendiri (the right for self-determination) sebagai solusi jangka panjang bagi Papua.

Dalam konteks itu, ketidakhadiran mereka dalam forum UPR setidaknya memiliki dua makna. Pertama, bahwa mereka tidak percaya kepada laporan Indonesia yang cenderung menyampaikan laporan lip-service demi menutup kenyataan. Kedua, mereka hendak mendorong solusi Self-determinasi seperti yang dikehendaki oleh rakyat Papua sendiri.

Menariknya, sembari absen dalam forum UPR di Komisi Tinggi HAM PBB di Geneva, negara-negara Pasifik ini melakukan langkah diplomatik khusus tentang Papua dalam pertemuan Dewan Menteri Perhimpunan Negara-negara Afrika, Caribean, dan Pacific (ACP) di Brussels pada hari yang sama (3 Mei 2017). Tujuh negara Pasifik ini menyampaikan peryataan yang keras mengutuk berbagai pelanggaran HAM oleh Indonesia di Papua. Mereka menyoroti berbagai kasus kekerasan dan diskriminasi yang dialami orang asli Melanesia/Papua: penangkapan peserta aksi damai, penyiksaan, pemerkosaan, penghilangan paksa, pembunuhan tanpa proses hukum, dll. Disebutkan bahwa melalui program pemindahan penduduk, “lebih dari dua juta orang Indonesia telah menduduki Papua”, dengan “jumlah yang sudah melampaui orang asli”. Mereka juga menyoroti ketimpangan ekonomi, di mana penduduk Indonesia “menguasai ekonomi di kota besar dan kecil, dan di pesisir, serta di area tambang dan perkebunan”. Mereka juga mengungkap penguasaan dan pendudukan yang didukung oleh Negara dalam apa yang disebut ‘penguasaan kolonial yang serupa aparteid’ yang akan lambat laun ‘menghilangkan orang Papua sebagai bangsa’, sambil ‘bangsa-bangsa lain berdiri menyaksikan begitu saja”.

Selain menyoroti persoalan pendudukan Indonesia di Papua, yang secara tegas disebut sebagai kelanjutan kolonialisme, negara-negara Pasifik itu juga menyoroti perjuangan orang Papua dalam melanjutkan perjuangan dekolonisasi yang belum tuntas. Untuk itu mereka mengajak Negara-negara anggota ACP untuk mendorong resolusi jangka panjang dengan mendukung hak self-determinasi politik bagi West Papua.

Disampaikan dalam forum bangsa-bangsa ACP, pernyataan seperti itu memiliki resonansi yang kuat. ACP adalah persatuan bangsa-bangsa yang seluruh anggotanya adalah bekas negeri-negeri jajahan, yang mencapai kemerdekaan mereka pada waktu atau bahkan setelah proses dekolonisasi Papua gagal pada era 1960an. Dengan demikian Negara-negara Pasifik ini mengkonsolidasi politik dekolonisasi, sebuah jalan yang membawa mereka menuju bangsa merdeka, dalam diplomasi internasional terkait Papua.

Tampaknya, dinamika yang didorong oleh Negara Pasifik ini, yang sekarang sudah sedang meluas ke Asia, Carriben dan Pasifik (ACP), dapat membawa dinamika baru pada persoalan Papua di kancah internasional pada waktu mendatang. Selain jalur penegakan HAM yang seperti berlangsung selama ini, agenda self-determinasi dan dekolonisasi dapat menjadi dinamika baru di forum-forum antar-bangsa.

 

Jokowi meninjau pembangunan infrastruktur jalan Trans Papua

 

Pembangunan Gaya Kolonial

Sambil berjanji (lagi) untuk mengusut secara tuntas kasus-kasus pelanggaran HAM berat dan menyangkal bahwa sekarang masih ada pelanggaran HAM yang baru (termasuk pelarangan kebebasan berekspresi, diskriminasi rasial, kekerasan terhadap pembela HAM, praktik penyiksaan), percepatan Pembangunan, terutama pembangunan infrastruktur, menjadi semacam pembelaan utama Indonesia di Papua di forum UPR.

Cerita pembangunan ini diulang-ulang dalam forum-forum PBB setiap kali persoalan Papua dibicarakan. Ini menjadi semacam inti kebijakan nasional Indonesia atas masalah Papua.

Presiden Jokowi sendiri di Jayapura pada Mei 2015 menegaskan bahwa “politik kita di Papua adalah politik pembangunan, politik kesejahteraan”. Ketika ditanya tentang persoalan di masa lalu, termasuk persoalan pelanggaran HAM, pencaplokan sumber daya, dan konflik sejarah, Presiden menegaskan “Tutup! Tutup! Kita mesti melihat ke depan”.

Sebagai bagian dari politik pembangunan itu, Presiden melancarkan pembangunan infrastruktur yang masif, seperti jalan raya trans-Papua, pelabuhan laut, sungai, dan udara, dan bahkan jalur kereta api. Pada saat yang sama membentuk kawasan-kawasan industri baru berbasis pertambangan, perkebunan, dan logging. Saat ini setidaknya ada 240 ijin tambang, 79 ijin HPH raksasa, 85 izin perkebunan sawit di Tanah Papua. Selain korporasi swasta, Pemerintahan Joko Widodo juga mendorong BUMN untuk berinvestasi. Hasilnya adalah kombinasi antara kapitalisme korporasi dan kapitalisme negara untuk eksplorasi dan eksploitasi industrial skala besar di seluruh Papua, mulai dari pesisir sampai ke belantara dan pegunungan. Untuk mendukung semua itu, pemerintah juga menguatkan infrastruktur keamanan, seperti pangkalan militer di Biak, Markas Brimob di Wamena, serta pos-pos militer dan polisi baru di sepanjang jalan trans-Papua yang sedang dibangun.

Yang menjadi pertanyaan adalah apakah ‘politik pembangunan’ dengan berfokus pada infrastruktur, industrialisasi, dan keamanan seperti ini merupakan solusi atau justru akan memperparah persoalan hak asasi manusia dan keadilan sosial di Papua? Bukankah pembangunan semacam itu yang menghancurkan Papua selama Orde Baru, yang membuat orang Papua justru merasa dijajah? Dan apakah pembangunan seperti itu yang dikehendaki oleh rakyat Papua?

Oleh karena fokus pada proyek infrastruktur dan eksploitasi sumber daya alam seperti itu, di Papua Jokowi diberi gelar “Joko Daendels”. Pemimpin gereja-gereja yang sebagian besar anggotanya masyarakat asli (Kingmi, Gidi, Baptis) pada April tahun lalu mengungkap kesamaan agenda Jokowi dengan Gubernur Jenderal Kolonial Belanda Herman Willem Daendels yang membangun jalan trans-Jawa Anyer Panurukan untuk kepentingan kolonial Belanda di awal abad ke-19. Secara terus-terang mereka mengkritik bahwa Presiden Jokowi –yang enggan berdialog dengan para pemimpin politik dan rakyat Papua terkait seluruh kompleksitas masalah di Papua— sudah sedang memaksakan pembangunan infrastruktur demi eksploitasi sumber daya alam dan penaklukan masyarakat Papua.

Di Geneva, sesaat setelah UPR Indonesia tentang Papua, koalisi NGO yang peduli Papua mengeluarkan pernyataan yang mengkritik keras pendekatan ekonomi Indonesia di Papua. Koalisi itu menulis, “Dari jawaban Pemerintah, terlihat bahwa West Papua dilihat dalam konteks pembangunan ekonomi, tapi tidak secara substansial menyelesaikan masalah Papua dari sisi martabat dan HAM orang asli Papua.” Mereka juga menambahkan bahwa

“Pemerintah juga tidak trasparan dalam menjelaskan tentang mengapa masih ada jurnalis yang ditahan, disiksa dan dideportasi keluar dari West Papua pasca Presiden menyatakan bahwa West Papua terbuka untuk wartawan asing, dan Pemerintah tidak menjelaskan tentang apa yang menyebabkan lamanya penyelesaian kasus Wasior, Wamena dan Paniai atau argumentasi dari Pemerintah untuk kasus Wasior, Wamena dan Paniai hanya merupakan pencitraan saja di forum UPR sesi ini, serta Pemerintah tidak menjelaskan tentang masih ada orang asli Papua yang menjadi tahanan politik, pembatasan hak kebebasan berekspresi dan berpendapat, hak kebebasan berkumpul secara damai dan berserikat dari aktivis Papua yang memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri bagi orang asli Papua.”

Filep Karma, tokoh gerakan damai yang hadir memantau UPR di Geneva meyebut laporan Indonesia penuh kebohongan. Terkait pembangunan versi Jakarta, Filep menyampaikan metafor menarik. Rakyat Papua sebenarnya ingin meminum kopi. Tetapi Indonesia memaksakan orang Papua untuk minum coca-cola, dengan alasan bahwa dalam coca-cola sudah terkandung kopi. Analogi ini kiranya tepat mengungkapkan perbedaan pandangan antara Indonesia dan Papua, baik terkait dengan masalah politik penentuan nasib sendiri maupun terkait dengan masalah pembangunan.

Barangkali masalah kopi dan coca-cola inilah yang hendak disembunyikan Indonesia ketika membatasi akses jurnalis asing ke Papua, menangkap para aktivis, dan melakukan kekerasan terhadap jurnalis dan media lokal di Papua. Namun, kendati dibungkam dengan berbagai cara, suara orang Papua sudah mulai didengar di Indonesia, Pasifik, dan di seluruh dunia.

Di forum-forum internasional seperti di PBB, sekarang dan di waktu mendatang, cerita Pemerintah Indonesia bukan lagi kebenaran tunggal.***

 

Penulis peneliti pada Insitut Antropologi Sosial, Universitas Bern, Swiss

Up ↑

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny

Melanesia Web Hosting

Melanesia Specific Domains and Web Hosting

Sem Karoba Tawy

Patient Spectator of the TRTUH in Action

Melanesia Business News

Just another MELANESIA.news site

Sahabat Alam Papua (SAPA)

Sahabat Alam Melanesia (SALAM)

Melanesian Spirit's Club

Where All Spirit Beings Talk for Real!

Breath of Bliss Melanesia

with Wewo Kotokay, BoB Facilitator

Fast, Pray, and Praise

to Free Melanesia and Melanesian Peoples from Satanic Bondages