Periode Bersiap Sarat Pembantaian Jadi Sorotan Penelitian Belanda

Ilustrasi: Salah satu kapal perang Belanda yang tenggelam pada Pertempuran Laut Jawa 1942, tenggelam saat menghadang invasi Jepang ke Pulau Jawa. (Royal Navy Official Photographer)
Ilustrasi: Salah satu kapal perang Belanda yang tenggelam pada Pertempuran Laut Jawa 1942, tenggelam saat menghadang invasi Jepang ke Pulau Jawa. (Royal Navy Official Photographer)

Jakarta – Saat periode Bersiap, diperkirakan puluhan ribu orang Belanda dan Indo-Belanda dibantai. Rentang waktu yang berlangsung pada 1945 sampai 1946 akan menjadi perhatian di penelitian Belanda berdana 4,1 juta Euro.

Penelitian itu bertajuk ‘Dekolonisasi, kekerasan, dan perang di Indonesia, 1945-1950’. Ada tiga lembaga Belanda yang menyelenggarakan riset ini yakni Lembaga Ilmu Bahasa, Negara dan Antropologi Kerajaan Belanda (KITLV), Lembaga Belanda untuk Penelitian Perang, Holocaust, dan Genosida (NIOD), dan Lembaga Penelitian Belanda untuk Sejarah Militer (NIMH).

Tiga lembaga ini membuat surat informasi teknis yang ditandatangani Direktur NIOD, Prof dr Frank van Vree pada 9 Februari 2017. Dalam surat yang bisa diunduh dari situs pengumuman resmi Belanda itu, tertulis bahwa periode bersiap bakal menjadi konsentrasi dalam penelitian ini.

Riset akan dilakukan menggunakan perspektif yang luas. “Misalnya, bahwa dalam penyelidikan baru ini secara eksplisit perhatian akan diberikan pada periode kacau-‘masa Bersiap’ pertengahan Agustus 1945 sampai awal 1946,” tulis Frank van Vree dalam surat itu.

Mereka juga akan meneliti latar belakang Periode Bersiap yang penuh kekerasan ini, hingga dampak psikologis kekerasan di masa itu bagi militer dan penduduk sipil Belanda.

Apa itu Periode Bersiap?

Sejarawan kontemporer Indonesia dari Universitas Indonesia, Rushdy Hoesein menjelaskan Periode Bersiap berlangsung dari 1945 sampai 1946. Istilah ‘bersiap’ sebenarnya lebih akrab digunakan orang Belanda ketimbang orang Indonesia.

Mereka menyebut dengan istilah seperti itu karena mendengar teriakan dari para pejuang zaman itu.

“Orang pribumi membuat jargon-jargon politik, membuat pertahanan kampung dengan bambu runcing dan meneriakkan, ‘Siap!’ Itu dalam rangka mengantisipasi kembalinya Belanda yang membonceng NICA,” tutur Rushdy kepada detikcom, Senin (18/9/2017).

Penuh kekerasan, memang itu yang terjadi, baik kekerasan terhadap orang Belanda yang dilakukan orang Indonesia maupun kekerasan yang dilakukan pihak Belanda terhadap orang Indonesia.

“Cuma, pihak Belanda menuduh kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang Indonesia. Faktanya ada? Ada. Misalnya tiga buah truk yang membawa Prisoner of War selama zaman Jepang. Di Surabaya, ada yang dicegat rakyat. Truknya dibakar, laki-laki dan perempuan dibunuh,”

ujar Rusdhy.

“Ngeri!” imbuhnya.

Tak peduli siapa saja, pokoknya yang berasosiasi dengan Belanda dibunuh. Ada pula orang-orang Indo-Eropa, Tionghoa, dan pribumi yang bersekongkol dengan Belanda juga dipersekusi. Pria, wanita, dewasa, hingga anak kecil juga kena persekusi.

Dalam presentasi sejarawan dari Universitas Gadjah Mada, Abdul Wahid, berjudul ‘Bersiap and Violence in Indonesia’s Revolutionary Period, 1945-1949: A Review’, korban dari pihak Belanda, Indo, Tionghoa, dan kaum minoritas yang tewas dalam periode Bersiap berjumlah ribuan, meski jumlah ini masih diperdebatkan.

Ada 3 ribu sampai 8 ribu mayat Belanda dan orang Indo yang ditemukan, 20 ribu hingga 30 ribu orang hilang. Sekitar 10 ribu keturunan Tionghoa dan ratusan orang Indonesia lainnya juga jadi korban. Pelakunya disebut-sebut pihak Belanda dengan istilah ‘pemuda’, milisi, badan/laskar perjuangan, orang kampung, kriminal, dan sebagainya.

Peneliti asal Belanda dari yayasan Histori Bersama, Marjolein van Pagee, mengkritik penelitian Belanda yang dimulai September ini hingga empat tahun mendatang. Menurutnya, ketimbang meneliti dampak psikologis periode Bersiap terhadap tentara Belanda, lebih baik adakan saja penelitian soal pengaruh propaganda Belanda terhadap cara berpikir masyarakat Belanda sendiri dalam memandang kolonialisme di Indonesia.

“Mereka menjelaskan bahwa periode Bersiap akan menjadi bagian penting dalam riset itu. Secara pribadi, saya tidak menentang riset tentang periode itu, namun pertanyaan yang mendasari riset itu terasa konyol,” tuturnya.

Dia menilai pihak negaranya menggunakan istilah Periode Bersiap dengan pemahaman agak berbeda. Belanda berpandangan perang kemerdekaan Indonesia adalah perang antara dua pihak yang sama-sama kuat dan sama-sama berhak. Maka dari itu, pihak Belanda menilai kedua pihak sama-sama melakukan kejahatan perang. Baik Belanda maupun Indonesia sama-sama bersalah. Marjolein mengkritik cara berpikir Belanda ini.

“Saya berkata: Anda semua (pihak Belanda) berkata seolah-olah pemerintah kolonial adalah pemerintah yang sah! Ayo mulai dengan pertanyaan: Apakah kolonialisme itu sah?” kata dia sambil tersenyum.
(dnu/ams)

Khawatir Sejarah RI Berubah, Sejarawan UI Ini Tolak Riset Belanda

Jakarta – Riset Belanda soal kekerasan dalam perang kemerdekaan di Indonesia memunculkan kontroversi. Mereka bakal menyoroti periode Bersiap yang penuh kekerasan. Sejarawan dari Universitas Indonesia (UI) ini menolak penelitian yang diinisiasi tiga lembaga Belanda ini.

Penelitian itu bertajuk ‘Dekolonisasi, kekerasan, dan perang di Indonesia, 1945-1950’, menggunakan dana 4,1 juta Euro. Penelitian dimulai pada September ini.

“Saya dengan teman-teman angkatan ’45 menolak. Karena, borok itu mestinya dikompres biar adem. Tapi kalau dicutik pakai lidi, bisa bengkak,” kata sejarawan dari UI, Rushdy Hoesein, saat berbincang dengan detikcom, Senin (18/9/2017). 

Dia telah merintis Yayasan Ermelo beranggotakan para veteran perang divisi Siliwangi. Mereka telah menjalin hubungan baik dengan veteran Belanda yang dulu juga berdinas di Indonesia dan bermusuhan dengan tentara Siliwangi.

Ketika Indonesia Dalam Agresi Belanda (Foto: Thecreatorsproject)
Ketika Indonesia Dalam Agresi Belanda (Foto: Thecreatorsproject)

Terbentuknya yayasan itu diawali tahun 1996, sekitar 50 veteran Siliwangi berkunjung memenuhi undangan Belanda. Kemudian hubungan kedua veteran menjadi baik sebagai sesama mantan ‘wappen broeder’ alias sesama ‘pemanggul senjata’. Maka konflik masa lalu sebaiknya tak dikorek-korek kembali.

“Forgive but not forget, Bahasa Inggris-nya. Kami mengangagap masalah itu sudah selesai tapi kami tidak akan lupa,” tutur Rushdy.

Khawatir Soal Kemerdekaan hingga Papua

Namun penolakan Rushdy terhadap penelitian itu punya alasan yang lebih jauh. Ini menyangkut sejarah kemerdekaan Indonesia yang selama ini dipercayai benar adanya. Sejarah yang mapan ini bisa tergoyang oleh riset Belanda.

Belanda adalah negara yang punya banyak simpanan bukti-bukti sejarah Indonesia, ini bakal jadi senjata utama saat berhadapan dengan peneliti Indonesia. Bila borok itu terus dikorek, khawatirnya sejarah Indonesia bisa berubah. Soalnya, Indonesia kurang data bila hendak mempertahankan sejarahnya.

“Kita memiliki data banyak yang amburadul dan banyak hoax-nya. Tentu dalam penggarapan ini ya kita bisa kalah. Dan bisa-bisa kita akan menerima data-data yang mereka (Belanda) miliki. Akibatnya, sejarah Indonesia akan berubah nanti,” tutur Rushdy.

Pria usia 72 tahun ini mencurigai Belanda ingin kembali menegakkan pendapatnya, bahwa kemerdekaan Indonesia itu bukan 17 Agustus 1945 melainkan 27 Desember 1949. “Maksud mereka, itu yang mereka perjuangkan,” kata Rushdy.

Terlepas dari pandangan Rushdy ini, Menteri Luar Negeri Belanda Bernard Rudolf Bot menerima kemerdekaan Indonesia terjadi pada 17 Agustus 1945 lewat kehadiran dia pada upacara kemerdekaan RI pada 2005.

Kembali ke Rushdy, hubungan Indonesia dengan Belanda memang sarat dengan relasi ‘cinta dan benci’. Dua hal itu ada momentumnya masing-masing dalam catatan sejarah.

Bila sejarah masa dekolonisasi itu dibahas lagi oleh Belanda, maka hasil risetnya bisa melenceng ke mana-mana. Selain soal tanggal kemerdekaan RI, Belanda juga bakal mengungkit kembali hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) yang diteken Mohammad Hatta pada 2 November 1949.

“Indonesia itu nakal katanya (Belanda), karena memutuskan hasil KMB secara sepihak dan meminta kembali Irian Barat. Dalam KMB, Irian tidak diputuskan sebagai wilayah Indonesia,” kata dia.

Indonesia dari tahun 1952 sampai ’60-an juga mengambil alih aset Belanda yang berkaitan dengan Irian Barat, dan semua perusahaan Belanda dijadikan BUMN. Ini bakal diungkit Belanda dalam langkah selanjutnya bila penelitian ini berhasil.

Tiga lembaga penelitian yang terlibat adalah Lembaga Ilmu Bahasa, Negara dan Antropologi Kerajaan Belanda (KITLV) dari Universitas Leiden, Lembaga Belanda untuk Penelitian Perang, Holocaust, dan Genosida (NIOD), dan Lembaga Penelitian Belanda untuk Sejarah Militer (NIMH).

Penelitian terhadap masa dekolonisasi ini tak bisa dilepaskan dari karya Rémy Limpach berjudul ‘De Brandende Kampongs van Generaal Spoor (Kampung-kampung Jenderal Spoor yang Terbakar)’, juga karya Gert Oostindie berjudul ‘Soldaat in Indonesië (Serdadu di Indonesia)’. Para peneliti akan meneliti lebih lanjut klaim-klaim sejarah yang diajukan kedua karya tersebut.

“Sing wis yo wis (yang sudah berlalu biarlah berlalu),” ujar Rushdy.
(dnu/ams)

Riset Perang Indonesia 1945-1950, Belanda Kucurkan 4,1 Juta Euro

Ilustrasi: Salah satu kapal perang Belanda yang tenggelam pada Pertempuran Laut Jawa 1942, tenggelam saat menghadang invasi Jepang ke Pulau Jawa. (Royal Navy Official Photographer)
Ilustrasi: Salah satu kapal perang Belanda yang tenggelam pada Pertempuran Laut Jawa 1942, tenggelam saat menghadang invasi Jepang ke Pulau Jawa. (Royal Navy Official Photographer)

Leiden – Tiga lembaga penelitian Belanda akan melanjutkan penelitian penggunaan kekerasan selama perang dekolonialisasi tahun 1945 sampai 1950 di Indonesia. Penelitian ini berdana Rp 64,8 miliar dan dimulai bulan ini.

Sebagaimana diberitakan situs resmi Universitas Leiden pada 2 Maret 2017 dan diakses detikcom, Minggu (17/9/2017), penelitian ini bakal berlangsung sampai empat tahun ke depan.

Tiga lembaga penelitian yang terlibat adalah Lembaga Ilmu Bahasa, Negara dan Antropologi Kerajaan Belanda (KITLV) dari Universitas Leiden, Lembaga Belanda untuk Penelitian Perang, Holocaust, dan Genosida (NIOD), dan Lembaga Penelitian Belanda untuk Sejarah Militer (NIMH).

Mereka menyebut dana yang dikucurkan sebesar 4,1 juta Euro. Bila dikonversi dengan kurs 17 Maret 2017 (1 Euro = Rp 14.334) maka itu sama dengan Rp 58.769.400.000. Bila dikonversi dengan kurs saat ini (1 Euro = Rp 15.814) maka itu sama dengan Rp 64.840.450.743.

Penelitian kolaboratif ini tak akan memeriksa sisi militer dari serjarah ini, namun juga bakal memeriksa aksi politik, administratif, serta hukum Belanda dan Indonesia pada masa-masa itu.

Pada akhir 2016, pemerintah Belanda sudah memutuskan untuk mempersiapkan penelitian komprehensif dan independen terhadap perang revolusi nasional Indonesia itu. Pada tahun-tahun belakangan, publikasi ilmiah dan karya jurnalistik bermunculan. Karya-karya itu menyebut Belanda menggunakan kekerasan struktural dan berlebihan selama konflik.

“Kita harus melihat baik-baik cermin masa lalu kita,” kata Menteri Luar Negeri Belanda, Bert Koenders, saat mengumumkan proyek penelitian ini.

KITLV akan berkolaborasi dengan sejumlah universitas di Indonesia dan mengundang para peneliti Indonesia dalam berbagai sub-proyek penelitian ini. Riset baru ini sudah dimulai sejak 2012, diadakan oleh KITLV sebagai penelitian aksi militer Belanda di Indonesia periode 1945-1950.

Profesor Universitas Leiden Gert Oostindie telah bertahun-tahun melakukan lobi untuk menyelenggarakan penelitian ini. Dalam bukunya, ‘Soldaat in Indonesië’, dia menunjukkan dasar dokumen personal milik para tentara belanda, menunjukkan adanya kekerasan saat itu.

“Meski begitu, ada banyak hal yang kita tak pahami sepenuhnya,” kata Oostindie pada tahun lalu. “Misalnya konteks dari kekerasan. Bagaimana para politisi, pejabat, dan penegak hukum bereaksi?” imbuhnya yang puas dengan pengumuman kelanjutan penelitian ini.

(dnu/fay)

Peneliti Belanda Kritik Riset Negaranya Soal Perang Indonesia

https://news.detik.com/berita/d-3646938/peneliti-belanda-kritik-riset-negaranya-soal-perang-indonesia?_ga=2.115016967.1889302214.1503800940-1434591099.1500372144
https://news.detik.com/berita/d-3646938/peneliti-belanda-kritik-riset-negaranya-soal-perang-indonesia?_ga=2.115016967.1889302214.1503800940-1434591099.1500372144

Jakarta – Belanda melakukan riset terhadap kekerasan perang 1945-1950 di Indonesia. Namun seorang peneliti Belanda mengkritisi penelitian ini sebagai proyek yang bias kepentingan.

“Mereka meminta saya untuk bergabung dalam panel diskusi saat penelitian dimulai. Saya membuat catatan kritis, menurut saya ini adalah penelitian yang politis,” kata peneliti sejarah dari yayasaan ‘Histori Bersama’, Marjolein van Pagee, kepada detikcom, Minggu (17/9/2017).

Marjolein adalah pendiri yayasan Histori Bersama, kelompok yang memberi perhatian kepada sejarah Belanda dan Indonesia dari kedua perspektif. Peneliti yang sedang menempuh pendidikan master Sejarah Kolonial dan Global di Universitas Leiden ini pernah mewawancarai lebih dari 50 veteran perang Indonesia-Belanda, dilakukan sejak 2010.

Periode 1945 sampai 1946, ada pula yang menyebutkan 1945 sampai 1949, dikenal Belanda sebagai periode ‘bersiap’, diwarnai dengan kekerasan terhadap banyak orang Belanda, Indo-Belanda, Tionghoa, dan orang-orang Indonesia yang dituduh menjadi antek-antek Belanda. Periode bersiap ini dikenang orang-orang Belanda yang jadi korban kekerasan sebagai ‘periode kacau-balau’.

“Februari lalu, tiga institusi yang melakukan penelitian itu mengirimkan surat ke Pemerintah Belanda, memberitahukan tentang rencana mereka. Dalam surat itu, mereka menyatakan bahwa Bersiap akan menjadi bagian penting dalam penelitian,” tutur Marjolein.

Marjolein mengkritisi pertanyaan dalam penelitian ini yang hendak mengeksplorasi dampak psikologis para tentara Belanda yang jadi korban dalam periode bersiap. Pelaku kekerasan adalah para pemuda Indonesia.

“Daripada mempertanyakan bagaimana kekerasan orang Indonesia terhadap tentara Belanda. Kenapa tidak mempertanyakan bagaimana propaganda Belanda masih memengaruhi ide tentang perang di masyarakat (Belanda) masa kini?” gugatnya.

“Anda tahu, propaganda Belanda selalu mengatakan para pejuang kemerdekaan Indonesia itu cuma gerombolan ekstremis, rampok, dan sejenisnya,” imbuhnya.

Meski dia tidak menentang penelitian itu, namun dia merasa ada bias cara berpikir kolonial warisan masa lalu dalam masyarakat Belanda ketika memandang isu perang di Indonesia. Membahas periode bersiap mengarah kepada kesimpulan bahwa orang-orang Indonesia melakukan kejahatan perang kala itu.

“Kalian (pihak Belanda) bicara bahwa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda adalah pemerintahan yang sah! Mari kita mulai bicarakan pertanyaan: Apakah kolonialisme itu sah?” ujarnya sambil tersenyum.

Dia juga mempertanyakan kerjasama penelitian ini dengan para peneliti dari Indonesia. Dia mempertanyakan kenapa riset ini tak melibatkan Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) bernama Jeffrey Pondaag. KUKB memotori penuntutan pembayaran ganti rugi dari Belanda untuk keluarga korban perang. 2015, Pengadilan Tinggi Den Haag memerintahkan Belanda membayar ganti rugi untuk sejumlah keluarga korban perang kemerdekaan Indonesia tahun ’40-an.

“Tim riset ini sangat dekat dengan pemerintahan. Pemerintah memberi lampu hijau untuk riset ini juga terkait kasus dengan KUKB,” ujarnya.

Sebagaimana diketahui, tiga lembaga penelitian Belanda akan melanjutkan penelitian penggunaan kekerasan selama perang dekolonialisasi tahun 1945 sampai 1950 di Indonesia. Penelitian ini berdana 4,1 juta Euro dan dimulai bulan ini hingga empat tahun mendatang.

Tiga lembaga penelitian yang terlibat adalah Lembaga Ilmu Bahasa, Negara dan Antropologi Kerajaan Belanda (KITLV) dari Universitas Leiden, Lembaga Belanda untuk Penelitian Perang, Holocaust, dan Genosida (NIOD) bagian dari Akademi Kerajaan Kesenian dan Ilmu Pengetahuan Belanda, dan Lembaga Penelitian Belanda untuk Sejarah Militer (NIMH).

“Salah satu institusi, yakni NIMH, adalah bagian dari Kementerian Pertahanan (Belanda),” kata Marjolein.

(dnu/fay)

Franz Magnis: Peristiwa Pelanggaran HAM 1965-1966 Genosida

Penulis: Dewasasri M Wardani 09:56 WIB | Sabtu, 23 Juli 2016

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Budayawan Franz Magnis Suseno mengatakan peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia dalam kurun waktu 1965—1966, dapat digolongkan sebagai genosida.

Sebab, kata dia, ketika itu berlangsung usaha pemusnahan terhadap golongan tertentu yang berlangsung secara terorganisasi.

“Peristiwa itu adalah kejahatan terbesar terhadap umat manusia di dunia dalam kurun waktu lima puluh tahun terakhir,” kata pria yang akrab disapa Romo Magnis itu di Jakarta, Jumat (22/7).

Menurut pria yang lahir di Polandia itu, kejadian pada tahun 1965–1966 yang diduga menelan korban hingga setengah juta jiwa, merupakan sesuatu yang direncanakan dan dimulai dari Jakarta.

Dari Ibu Kota, pelanggaran HAM kemudian menyebar ke Jawa Tengah, Bali, dan wilayah lain di Indonesia.

“Saya kira ada unsur balas dendam dalam peristiwa itu,” kata Romo Magnis.

Tragedi 1965 merupakan salah satu pelanggaran HAM yang dijanjikan Presiden Joko Widodo akan tuntas di masa kepemimpinannya, selain kerusuhan Mei, Trisakti-Semanggi 1 dan 2, Penghilangan Paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, yang masuk dalam visi-misi dan program aksi berjudul Jalan Perubahan Untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian, yang berisi penjabaran dari Nawa Cita.

Sebelumnya, Pengadilan Rakyat Internasional atau International People’s Tribunal (IPT), untuk kasus pelanggaran HAM di Indonesia pada tahun 1965 (IPT 1965) dalam keputusan akhirnya yang dikeluarkan pada Rabu (20/7), juga memvonis Indonesia telah melakukan genosida pada tahun 1965-1966, dengan maksud khusus untuk menghancurkan atau membinasakan kelompok tersebut sebagian atau keseluruhan.

Genosida, disebut sebagai salah satu dari 10 tindakan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Indonesia pada tahun 1965-1966, terhadap anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), terduga PKI, pendukung Presiden Soekarno, anggota radikal Partai Nasional Indonesia (PNI), beserta keluarga mereka.

Sidang IPT 1965, yang dipimpin oleh Hakim Ketua Zak Yacoob yang pernah menjadi hakim di Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan, juga menyatakan pembunuhan terhadap sekitar 400.000 hingga 500.000 orang, melanggar UU KUHP Pasal 138 dan 140 dan UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Selain genosida, Indonesia juga diputuskan telah melakukan hukuman penjara tanpa proses hukum terhadap sekitar 600.000 orang, perbudakan, penyiksaan dalam skala besar, penghilangan secara paksa, kekerasan seksual secara sistemik, pengasingan, propaganda tidak benar, keterlibatan negara lain seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia.

Koordinator IPT 1965 Nursyahbani Katjasungkana mengatakan, hasil akhir keputusan tersebut akan diserahkan kepada Presiden Joko Widodo, saat pertemuan dengan korban pelanggaran HAM berat seperti pernah dijanjikan Presiden melalui Juru Bicara Presiden Johan Budi. (Ant)

Editor : Sotyati

Up ↑

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny

Melanesia Web Hosting

Melanesia Specific Domains and Web Hosting

Sem Karoba Tawy

Patient Spectator of the TRTUH in Action

Melanesia Business News

Just another MELANESIA.news site

Sahabat Alam Papua (SAPA)

Sahabat Alam Melanesia (SALAM)

Melanesian Spirit's Club

Where All Spirit Beings Talk for Real!

Breath of Bliss Melanesia

with Wewo Kotokay, BoB Facilitator

Fast, Pray, and Praise

to Free Melanesia and Melanesian Peoples from Satanic Bondages