4 NEGARA BONEKA ALA PETER W.BOTHA DI AFRIKA SELATAN DAN 5 PROVINSI BONEKA ALA IR. JOKO WIDODO DI TANAH PAPUA

Artikel: Operasi Militer di Papua 2022

“5 provinsi di Papua untuk jumlah penduduk 4.392.024 jiwa dan untuk 5 Kodam, 5 Polda dan puluhan Kodim, Korem, Polres dan Polsek. Tanah Papua menjadi Rumah Militer dan Kepolisian. Penguasa Indonesia buat masalah baru dan luka di dalam tubuh bangsa Indonesia semakin membusuk dan bernanah. Penguasa Indonesia miskin ide, kreativitas dan inovasi serta kehilangan akal normal menghadapi persoalan krisis kemanusiaan dan ketidakadilan di Papua”

Oleh: Gembala Dr. Socratez S. Yoman, MA

“….7 provinsi, syarat untuk meredam pemberontakan. Ini masalah keamanan dan masalah politik. …syarat-syarat administratif nanti kalau sudah aman bikin syarat-syarat administratif. Seluruh Irian, tidak sampai dua juta orang.” ( Haji Abdullah Mahmud Hedropriyono).

Jenderal (Purn) TNI Prof. Dr. Ir. Drs. H.Abdullah Mahmud Hendropriyono, S.T., S.H. S.E., S.I.P., M.B.A., M.A., M.H., lebih dikenal A.M. Hendropriyono adalah salah satu tokoh intelijen dan militer Indonesia.

Melihat dari pernyataan Abdullah Mahmud Hendropriyono, “Indonesia sesungguhnya kolonial moderen di West Papua. Ini fakta yang sulit dibantah secara antropologis dan sejarah serta realitas hari ini.” (Dr. Veronika Kusumaryati, 10 Agustus 2018; lihat Yoman: Melawan Rasisme dan Stigma di Tanah Papua, 2020:6).

Jumlah Penduduk West Papua dalam dua provinsi masing-masing: Provinsi Papua 3.322.526 jiwa dan Papua Barat 1.069.498 jiwa. Totalnya 4.392.024 jiwa.
Penulis mencoba membagi secara merata dari total penduduk 4.392.024 jiwa untuk lima provinsi.

  1. Provinsi Papua akan dihuni dengan jumlah penduduk 878.404 jiwa.
  2. Provinsi Papua Barat akan dihuni dengan jumlah penduduk 878.404 jiwa.
  3. Provinsi BONEKA I akan dihuni dengan jumlah penduduk 878.404 jiwa.
  4. Provinsi BONEKA II akan dihuni dengan jumlah penduduk 878.404 jiwa.
  5. Provinsi BONEKA III akan dihuni dengan jumlah penduduk 878.404 jiwa.

Pertanyaannya ialah apakah jumlah penduduk masing-masing provinsi 878.404 jiwa layak dan memenuhi syarat untuk menjadi sebuah provinsi?

Penulis melakukan komparasi jumlah penduduk provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

  1. Jumlah Penduduk Jawa Barat 46.497.175 jiwa.
  2. Jumlah Penduduk Jawa Tengah 35.557.248 jiwa.
  3. Jumlah Penduduk Jawa Timur 38.828.061 jiwa.

Pertanyaannya ialah mengapa pemerintah Republik Indonesia tidak melakukan pemekaran provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur yang jumpah penduduk terbanyak?
Konsekwensi dari kekurangan jumlah penduduk di provinsi ini, penguasa kolonial moderen Indonesia akan memindahkan kelebihan penduduk orang-orang Melayu Indonesia ke provinsi-provinsi boneka ini.

Lima provinsi ini juga dengan tujuan utama untuk membangun 5 Kodam, 5 Polda, puluhan Kodim dan puluhan Polres dan berbagai kesatuan. Tanah Melanesia ini akan dijadikan rumah militer, polisi dan orang-orang Melayu Indonesia.

Akibat-akibat akan ditimbulkan ialah orang asli Papua dari Sorong-Merauke akan kehilangan tanah karena tanah akan dirampok dan dijarah untuk membangun gedung-gedung kantor, markas Kodam, Polda, Kodim, Polres. Manusianya disingkirkan, dibuat miskin, tanpa tanah dan tanpa masa depan, bahkan dibantai dan dimusnahkan seperti hewan dengan cara wajar atau tidak wajar seperti yang kita alami dan saksikan selama ini.

Ada fakta proses genocide (genosida) dilakukan penguasa kolonial moderen Indonesia di era peradaban tinggi ini. Kejahatan penguasa kolonial Indonesia terus mulai terungkap di depan publik. Tahun 1969 ketika bangsa West Papua diintegrasikan ke dalam Indonesia, jumlah populasi OAP sekitar 809.337 jiwa. Sedangkan PNG berkisar 2.783.121 jiwa. Saar ini pertumbuhan penduduk asli PNG sudah mencapai 8.947.024 juta jiwa, sementara jumlah OAP masih berada pada angka 1, 8 juta jiwa.

Fakta ini menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia adalah benar-benar penguasa kolonial moderen yang menduduki dan menjajah rakyat dan bangsa West Papua.

Dr. Veronika Kusumaryati, seorang putri generasi muda Indonesia dalam disertasinya yang berjudul: Ethnography of Colonial Present: History, Experience, And Political Consciousness in West Papua, mengungkapkan:
“Bagi orang Papua, kolonialisme masa kini ditandai oleh pengalaman dan militerisasi kehidupan sehari-hari. Kolonialisme ini juga bisa dirasakan melalui tindak kekerasan yang secara tidak proporsional ditunjukan kepada orang Papua, juga narasi kehidupan mereka. Ketika Indonesia baru datang, ribuan orang ditahan, disiksa, dan dibunuh. Kantor-kantor dijarah dan rumah-rumah dibakar. …kisah-kisah ini tidak muncul di buku-buku sejarah, tidak di Indonesia, tidak juga di Belanda. Kekerasan ini pun tidak berhenti pada tahun 1960an” (2018:25).

Pemerintah Indonesia mengulangi seperti pengalaman penguasa kolonial Apartheid di Afrika Selatan pada tahun 1978, Peter W. Botha menjadi Perdana Menteri dan ia menjalankan politik adu-domba dengan memecah belah persatuan rakyat Afrika Selatan dengan mendirikan Negara-negara boneka:

  1. Negara Boneka Transkei.
  2. Negara Boneka Bophutha Tswana.
  3. Negara Boneka Venda.
  4. Negara Boneka Ciskei.
    (Sumber: 16 Pahlawan Perdamaian Yang Paling Berpengaruh: Sutrisno Eddy, 2002, hal. 14).

Ancaman serius dan tersingkirnya orang asli Papua di Tanah leluhur mereka dengan fakta di kabupaten sudah dirampok oleh orang-orang Melayu dan terjadi perampasan dari hak-hak dasar dalam bidang politik OAP. Lihat bukti dan contohnya sebagai berikut:
1.Kabupaten Sarmi 20 kursi: Pendatang 13 orang dan Orang Asli Papua (OAP) 7 orang.

  1. Kab Boven Digul 20 kursi: Pendatang 16 orang dan OAP 6 orang
  2. Kab Asmat 25 kursi: Pendatang 11 orang dan OAP 14 orang
  3. Kab Mimika 35 kursi: Pendatang 17 orang dan OAP 18 orang
  4. Kab Fakfak 20 kursi: Pendatang 12 orang dan OAP 8 orang.
  5. Kab Raja Ampat 20 kursi: Pendatang 11 orang dan OAP 9 orang.
  6. Kab Sorong 25 kursi: Pendatang 19 orang dan OAP 7 orang.
  7. Kab Teluk Wondama 25 kursi: Pendatang 14 orang dan OAP 11 orang.
  8. Kab Merauke 30 kursi: Pendatang 27 orang dan OAP hanya 3 orang.
  9. Kab. Sorong Selatan 20 kursi. Pendatang 17 orang dan OAP 3 orang.
  10. Kota Jayapura 40 kursi: Pendatang 27 orang dan OAP 13 orang.
  11. Kab. Keerom 23 kursi. Pendatang 13 orang dan OAP 7 orang.
  12. Kab. Jayapura 25 kursi. Pendatang 18 orang dan OAP 7 orang.
    Sementara anggota Dewan Perwakilan Provinsi Papua dan Papua Barat sebagai berikut:
  13. Provinsi Papua dari ari 55 anggota 44 orang Asli Papua dan 11 orang Melayu/Pendatang.
  14. Provinsi Papua Barat dari 45 anggota 28 orang Melayu/Pendatang dan hanya 17 Orang Asli Papua.

Nubuatan Hermanus (Herman) Wayoi sedang tergenapi: “Pemerintah Indonesia hanya berupaya menguasai daerah ini, kemudian merencanakan pemusnahan Etnis Melanesia dan menggatinya dengan Etnis Melayu dari Indonesia. Hal ini terbukti dengan mendatangkan transmigrasi dari luar daerah dalam jumlah ribuan untuk mendiami lembah-lembah yang subur di Tanah Papua. Dua macam operasi yaitu Operasi Militer dan Operasi Transmigrasi menunjukkan indikasi yang tidak diragukan lagi dari maksud dan tujuan untuk menghilangkan Ras Melanesia di tanah ini…” (Sumber: Pemusnahan Etnis Melanesia: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan Di Papua Barat: Yoman, 2007, hal. 143). Dikutip dari Makalah Tanah Papua (Irian Jaya) Masih Dalam Status Tanah Jajahan: Mengungkap Hati Nurani Rakyat Tanah Papua ( Bandar Numbay, Medyo Februari 1999).

Pemekaran kabupaten/provinsi di West Papua sebagai operasi militer itu terbukti dengan dokumen-dokumen Negara sangat rahasia.

Departemen Dalam Negeri, Ditjen Kesbang dan LINMAS: Konsep Rencana Operasi Pengkondisian Wilayah dan Pengembangan Jaringan Komunikadi dalam Menyikapi Arah Politik Irian Jaya (Papua) untuk Merdeka dan Melepaskan Diri Dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. ( Sumber: Nota Dinas. No.578/ND/KESBANG/D IV/VI/2000 tanggal 9 Juni 2000 berdasarkan radiogram Gubernur (caretaker) Kepala Daerah Tingkat I Irian Jaya No. BB.091/POM/060200 tanggal 2 Juni 2000 dan No.190/1671/SET/tertanggal 3 Juni 2000 yang berhubungan dengan tuntutan penentuan nasib sendiri orang Asli Papua.

Adapun data lain: “Dokumen Dewan Ketahanan Nasional Sekretariat Jenderal, Jakarta, 27 Mei 2003 dan tertanggal 28 Mei 2003 tentang: ‘Strategi Penyelesaian Konflik Berlatar Belakang Separatisme di Provinsi Papua melalui Pendekatan Politik Keamanan.”

Lembaga-lembaga yang melaksanakan operasi ini ialah Departemen Dalam Negeri, Departemen Pertahanan dan Keamanan, Departemen Luar Negeri, khusus untuk operasi diplomasi, Kepolisian Kepolisian Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN), Badan Intelijen Stategis (BAIS TNI), KOSTRAD dan KOPASSUS.

Ada bukti lain penulis mengutip penyataan Abdullah Mahmud Hendropriyono, sebagai berikut:
“Kalau dulu ada pemikiran sampai 7 provinsi. Yang diketengahkan selalu syarat-syarat untuk suatu provinsi. Yah, ini bukan syarat suatu provinsi, syarat untuk meredam pemberontakan. Itu. Ini masalah keamanan dan masalah politik. Bukan begini. Ini masalah keamanan dan masalah politik. Jadi, syarat-syarat administratif seperti itu, ya, nanti kalau sudah aman bikin syarat-syarat administratif. Begitu loh. Tidak sampai dua juta pak. Seluruh Irian, tidak sampai dua juta. Makanya saya bilang, usul ini, bagaimana kalau dua juta ini kita transmigrasikan. Ke mana? Ke Manado. Terus, orang Manado pindahin ke sini. Buat apa? Biarkan dia pisah secara ras sama
Papua New Guini. Jadi, dia tidak merasa orang asing, biar dia merasa orang Indonesia. Keriting Papua itukan artinya rambut keriting. Itu, itukan, istilah sebutulnya pelecehan itu. Rambut keriting, Papua, orang bawah. Kalau Irian itukan cahaya yang menyinari kegelapan, itu Irian diganti Papua…”

Penguasa Pemerintah Indonesia jangan menipu rakyat dan membebani rakyat Indonesia hampir 85% rakyat miskin. Karena, Bank Indonesia(BI) mencatat Utang Luar Negeri ( ULN) Indonesia pada Februari 2020 dengan posisi hampir 6000 miliar dollar AS. Dengan begitu, utang RI tembus Rp 6.376 triliun (kurs Rp 15.600). (Sumber: Kompas.com, 15 April 2020).

Indonesia sebaiknya menyelesaikan luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia yaitu 4 pokok akar masalah Papua. Terlihat bahwa Pemerintah dan TNI-Polri bekerja keras dengan berbagai bentuk untuk menghilangkan 4 akar persoalan Papua yang dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang tertuang dalam buku Papua Road Map: Negociating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2008). Empat akar persoalan sebagai berikut:
1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;
(2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian;
(3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;
(4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.

“Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia…kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab, sebagai bangsa yang biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua” (Sumber: Franz Magnis:Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme: 2015: 255).

Sedangkan Pastor Frans Lieshout, OFM, mengatakan:
“Orang Papua telah menjadi minoritas di negeri sendiri. Amat sangat menyedihkan. Papua tetaplah LUKA BERNANAH di Indonesia.” (Sumber: Pastor Frans Lieshout,OFM: Guru dan Gembala Bagi Papua, 2020:601).

Diharapkan, solusi untuk mengakhiri semua persoalan ini, Dewan Gereja Papua (WPCC) dalam seruan moral pada 21 November diserukan, sebagai berikut:
“Miminta kepada Dewan HAM PBB (Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa) datang berkunjung ke Tanah Papua untuk melihat secara langsung situasi penderitaan panjang orang Papua selama 58 tahun.”

“Sudah saatnya pemerintah Indonesia menghentikan kebijakan rasisme sistemik pada orang asli Papua yang terus-menerus meningkat.”

“Presiden Joko Widodo tetap konsisten mewujudkan statemennya pada 30 September 2019 untuk berdialog dengan kelompok Pro Referendum, United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dimediasi pihak ketiga sebagaimana yang pernah terjadi antara Pemerintah RI dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di Helsinki pada 15 Aguatus 2005.”

Ita Wakhu Purom, Rabu, 19 Januari 2022
Penulis:

  1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua.
  2. Pendiri, Pengurus dan Anggota Dewan Gereja Papua (WPCC).
  3. Anggota Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC).
  4. Anggota Baptist World Alliance (BWA).
    Nomor kontak penulis: 08124888458/HP/WA
TolakDOBPapua #TolakPemekaran #TolakUUOtsusJilidII #TolakOtsusJilidII #TolakOtsus #FreeWestPapua #Referendum

“The Lost Sons of the Anunnaki”: Melanesian tribe DNA Genes of Unknown Species

melanesianews's avatarWantok News

(Anunnaki)

Scientists recently discovered that Melanesian islanders own genes belonging to an unknown species of hominids. Would this prove our Anunnaki ancestry?

On October 20, the American Society of Human Genetics held its annual meeting and the conclusions they reached can easily be described as astonishing. The data they collected shows that people in Melanesia (an area in the South Pacific that surrounds Papua New Guinea and its neighboring islands) may be carrying some strange genes in their DNA. Geneticists believe that unrecognized DNA belongs to a previously unknown species of humanoids.

According to Ryan Bohlender, one of the researchers involved in the study, that species is not Neanderthal or Denisovan, but something totally different. “We are losing a population or we are misinterpreting something about relationships,” he said.(Anunnaki)

Denisovans represent an extinct species belonging to the hominid genus. They were named after the discovery in the cave of Denisova in…

View original post 691 more words

Yamin Kogoya: Capturing the mind – Anatomy of a Papuan Genocide

YAMIN KOGOYA

CANBERRA – The colonial notion of ‘civilising primitive Papuans’ has distorted Papuan perceptions of the world and themselves.

This distortion began with how New Guinea and its people were described in early colonial literature: unintelligent pygmies, cannibals and pagan savages – people devoid of value.

Not only did this depiction foster a racist outlook but it misrepresented reality as it was experienced and understood by Papuans for thousands of years.

Colonial literature says almost nothing of the value or the virtue of the people of New Guinea. Indeed it was the first attack against the humanity of Papuans.

Papuans have been dislocated from the centre of their cultural worldview and placed on the fringes of the grand colonial narrative.

They remain at the margins of the civilisational project – trapped by colonial symbols, images and vocabularies.

Only now have we come to understand that there is nothing grand about such projects.

The colonisers, however, continue the myth of their grand narrative of ‘civilising the world’.

It remains in their religious doctrines and legends, in their cultural and racial ideologies and is ultimately enforced by their weaponry.

This pernicious colonial cultural lens has been used to launch a program of the dehumanisation and re-humanisation of Papuans.

‘Papua-phobia’ is the cultural lens. It is conveniently used as a Procrustean Bed, an arbitrary and ruthless coercion of fitting people into an unnatural configuration.

Under this scheme, the allegedly ‘primitive’ Original Papuans will be destroyed and reconstructed in another image.

Our father, Bernard Narokobi (1943-2010) – the eminent Melanesian philosopher and jurist who was a central figure in Papua New Guinea’s transition from territory to independent nation – was conscious of this problem.

In his seminal work, The Melanesian Way, Narokobi asked, “Will we see ourselves in the long shadows of the dwindling light and the advanced darkness of the evening dusk, or will we see ourselves in the long and radiant rays of the rising sun? We can choose, if we will.”

But the Papuan people have been given no choice.

Indonesia attempted to answer Narokobi’s question by forcing Papuans to view themselves through the lenses of Pembangunan (development) and Kemajuaan (progress).

Indonesians frame these concepts as good news to assure Papuans of their salvation.

But, under their guise, Jakarta poisons Papuans with unhealthy food, alcohol, drugs, pornography, gambling and the ammunition used against them.

The rest of the world idly watches this genocide while exploiting West Papua’s resources for themselves.

These tragic circumstances have led to the destruction of Papuan clans and tribes, languages and cultural information – handed down orally – about their original world.

Papuans are facing the same fate as the Indigenous populations of Australia, Canada, America,and New Zealand if they remain in Indonesia.

Colonisers of the West and East are conditioning Papuans to feel guilty of their identity and existence, and they have institutionalised this guilt as a virtue.

Colonisers market guilt and virtue as a means of legitimising their deep psychological control over the colonised and oppressed.

The colonisers act as narcissistic sociopaths: they promise development, happiness or even heaven, while they commit genocidal and homicidal acts against Papuans.

They portray themselves as the ‘civilised’ and the oppressed as the ‘uncivilised’ – a psychological manipulation that allows them to avoid accountability for the cultural destruction they wreak.

Indonesia’s labelling of Papuans as criminals has its roots in this pathological colonial mindset.

Jakarta makes Papuans sick, then it diagnoses, prescribes and provides medication to cure the same illness it caused.

Jakarta exterminates Papuans by controlling both poison and antidote.

And so Papuans are cut off from their roots and float like waterlilies on the surface of Indonesia’s settler colony – they appear free and vibrant, but in reality their roots have been severed.

Growing up in my village, I had no idea I was black and Papuan, or that being black and Papuan was bad, until I moved to the colonial towns and cities.

From that moment on, I knew I was living in a system designed to oppress and alienate people like me.

On both the Eastern and Western sides of this illegal colonial border, Papuans still live in a state of an induced coma.

Papuans in West Papua are being reprogrammed to think of themselves as Asians, while Papuans in Papua New Guinea are being reprogrammed to think of themselves as Australians.

As a result, Papuans have been physically, unnaturally, linguistically and philosophically dislocated from the centre of their own stories and forced to live in the stories of others.

We are being held captive within this imaginary, illegal colonial border.

As long as we remain in this colonial induced coma, we will forever be beggars on our streets, while thieves from the West and East continue to drain the blood of our ancient lands, seas and forests.

One of the martyred great sons of Africa, Steve Biko, warned us: “The most potent weapon in the hands of the oppressor is the mind of the oppressed.”

Article- https://www.pngattitude.com/2022/01/anatomy-of-the-papuan-genocide-capturing-the-mind.html?fbclid=IwAR1UTw4bHLCgkLl_fyMMHggxMFHj-2Ct0BJO5R8rO-VA6DoE3bNUI16raEg

Dewan Gereja Dunia sebut Indonesia gagal menangani situasi kemanusiaan di Tanah Papua

Jubi TV – Peter Prove, Direktur Urusan Internasional Dewan Gereja Dunia, berbicara tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan situasi kemanusiaan di Tanah Papua. Dalam video wawancara baru-baru ini yang disiarkan Dewan Gereja Dunia (WCC), Peter Prove, mengatakan pemerintah Indonesia gagal menangani dan pemperbaiki situasi kemanusiaan dan HAM di Tanah Papua.

Tanah Papua – dua provinsi Indonesia yang terdiri berada di bagian barat pulau New Guinea – telah menjadi fokus perhatian WCC sejak lama. Dalam wawancara baru-baru ini, Prove menunjukkan bahwa kepedulian terhadap penduduk asli Papua meningkat sebagai akibat dari situasi hak asasi manusia dan kemanusiaan yang terus-menerus dan cukup serius di wilayah tersebut, yang terus terang gagal ditangani dan diperbaiki oleh pemerintah Indonesia.

Mengingat sejarah yang disebut – dan masih diperdebatkan – “Act of Free Choice” dimana West Papua diintegrasikan ke Indonesia pada tahun 1969, Prove mencatat bahwa kegagalan Jakarta untuk memenuhi janjinya kepada rakyat Papua telah mengakibatkan peningkatan oposisi lokal terhadap Indonesia.

“Apa yang telah kita lihat selama beberapa dekade adalah tingkat pelanggaran hak asasi manusia yang sangat tinggi. Termasuk pembunuhan di luar proses hukum, penolakan kebebasan berekspresi dan berkumpul dan banyak pelanggaran lainnya,” kata Prove.

Prove juga menegaskan bahwa selama pandemi COVID-19, insiden pelanggaran hak asasi manusia yang serius justru meningkat.

Dewan gereja dunia dan mitranya bekerja sama untuk memantau hak-hak sipil dan politik serta hak-hak ekonomi, sosial dan budaya di wilayah tersebut.

Meningkatnya militerisasi respon pemerintah Indonesia telah memperburuk situasi, meskipun ada janji-janji dialog dengan masyarakat asli Papua. Menurut Prove, ini adalah janji yang telah dibuat di tingkat politik tetapi tidak dipenuhi.

Prove mengamati dan menggambarkan tindakan militer dan polisi di Tanah Papua. Ia menyimpulkan, kekerasan terhadap pengunjuk rasa damai telah meningkat. Banyak pembunuhan, banyak pemukulan, banyak penghilangan paksa terjadi sebagai bentuk respons terhadap aksi protes damai yang dilakukan orang Papua.

Selain itu, orang-orang yang mengungsi dari daerah yang terkena dampak konflik tidak menerima bantuan yang mereka butuhkan dari otoritas nasional, dan badan-badan kemanusiaan internasional hanya diberi sedikit akses atau bahkan tidak diberi akses ke wilayah tersebut.

“Pihak berwenang Indonesia tentu saja perlu mengatasi krisis hak asasi manusia yang sudah berlangsung lama, berkelanjutan, dan meningkat di kawasan ini,” kata Prove. (*)

News Desk

Sejarah Papua yang perlu diketahui oleh semua penduduk Bumi

Beberapa tahun lalu KontraS mendapatkan data penting bahwa pembunuhan Theys Eluay adalah pembunuhan yang telah direncanakan oleh negara. Theys dan dua orang tokoh lainnya dianggap memiliki pengaruh untuk membakar semangat perlawanan dan persatuan rakyat Papua.

Theys sampai saat ini masih disebut sebagai sosok yang kontroversi karena keterlibatannya dalam Pepera 1969. Dalam sebuah kesempatan, ia diwawancarai dan ia menjelaskan bahwa dirinya dipaksa, dibawah didalam mobil tanpa istri dan tanpa anak, diancam untuk harus memberikan suara.

Benar saja, insiden Trikora dan kejahatan militer diawal tahun 60an telah membuat banyak anak-anak asli dari Sentani yang terlibat dalam perjuangan politik rakyat Papua melarikan diri bahkan ada juga yang ditawan dan disiksa, dipaksa menelan sendal.
Cerita mengerikn itu segera menyebar ke seluruh Danau Sentani. Ketakutan akan kejahatan Indonesia memaksa orangtua-orangtua untuk menahan anak-anak mudanya untuk tidak terlibat dalam perjuangan kemerdekaan Papua Barat.

Sebelum masa gelap 1969 itu tiba, rumah di Kampung dipenuhi buku, ada yang berjudulkan Papua dan ada juga buku dengan kumpulan teori. Tumpukan buku itu ada, tetapi pemilik buku itu telah melarikan diri ke PNG. Dari kampung-kampung ia dicari. Ia adalah kakek C.F, Kakak dari Alm Kakek yang melarikan diri ke timur PNG. Ketakutan mulai membayangi orangtuanya. Malam hari dengan cahaya bulan yang memberikan harapan, Yobe (panggilan untuk orangtua kakek/nenek) , membawah buku² itu menggunakan perahu, mendayungnya perlahan sampai ke pertengahan danau antara Kampung Yobe dan Kampung Yahim dan membuang buku-buku itu. Buku-buku itu segera tenggelam dan hilang bersama sedikit kepanikan Yobe yang sudah berhasil membuang buku-buku itu.

Seperti halnya buku yang tenggelam karena ketakutan, semangat perlawanan juga tenggelam di Danau Sentani sejak penggunaan kekerasan itu ditunjukan. Banyak orangtua menginginkan kemerdekaan dan hanya berani menyebutnya dalam doa. Banyak juga yang beranjak pergi dari semangatnya yang telah tenggelam, mengganti mimpinya dengan mimpi yang lain, memilih berteman dengan Indonesia dari pada harus dibunuh oleh Indonesia. Ini perna ditulis oleh salah satu anak Sentani lewat Bukunya, ia menuliskan tentang Perubahan Sikap Politik Masyarakat Sentani.

Dalam kegelapan ketakutan di Sentani. Theys Eluay hadir mendobrak ketakutan itu. Tidak ada orang Sentani yang akan membayangkan bahwa ada Ondofolo tanpa kekuataan magis, akhirnya memilih berdiri bukan hanya menjadi pemimpin di Kampungnya, tetapi membawah diri sebagai Pemimpin Bagi Rakyat Papua. Pilihannya hari itu berbanding terbalik dengan pilihan tokoh Sentani lainnya, yang sedang aktif-aktifnya dalam mendapatkan kekuasaan karena angin reformasi dan wangi desetralisasi kekuasaan telah sampai di Papua. Membuat mereka menjadi tak acuh terhadap kejahatan Indonesia atas Papua. Theys saat itu menjahit ketakutan ketakutan menjadi keberaniaan, Bintang Kejora pun berkibar.

Saat itu, dalam kepulangannya menghadiri undangan yang diberikan oleh Kopassus, ia diiringi oleh ucapan selamat tinggal yang disampaikan padanya “Selamat Jalan Pejuang Rakyat Papua”. Ucapan yang menjadi kode bahwa Theys akan segera dieksekusi.

Theys telah mati. Sebelum jazadnya dikubur ditahun 2001, ada pesan bertuliskan “Mati Satu Tumbuh Seribu” , tapi dengan hati yang terluka ditahun 2021 ini saya juga ingin menulis “Seribu Yang Datang Tidak Sama Seperti Satu Yang Pergi”
Semoga ini hanya menjadi luka sementara, luka karena belum ada figur dari Sentani yang bisa seperti dia.



LAPORAN PERISTIWA APARAT GABUNGAN MEMASUKI KAMPUNG AMBAIDIRU DAN LOKASI MENARA DOA SINAR MANANDAI DI KAMPUNG AMBAIDIRU, DISTRIK KOSIWO, KABUPATEN KEPULAUAN YAPEN

(Rabu 8 Desember 2021)

Kronologi secara garis besar:

Pada hari Rabu tanggal 8 Desember 2021, sekitar jam 22.00 malam sejumlah kendaraan yang terdiri dari 3 kendaraan Dalmas dan 4 kendaraan pick up jenis Hailux, di tumpangi pasukan gabungan TNI dan Polri dari kabupaten kepulauan Yapen, bergerak masuk ke wilayah Ambaidiru yang merupakan pedalaman kepulauan Yapen, ( berjarak tempu kurang lebih 2 jam perjalanan).

Setibanya pasukan gabungan mulai terbagi dalam beberapa kelompok dan masing-masing kelompok menyebar ke beberapa titik di mana satu kelompok bertahan di lokasi sekolah SMP yang keberadaan lokasi tersebut terdapat fasilitas jaringan WiFi, kemudian satu kelompok lagi bergerak menuju lokasi menara doa Sinar MANANDAI yang berjarak sekitar 1km dari kapung, karena kedatangan pasukan telah diketahui maka warga ketakutan dan melarikan diri pada malam hari itu, sempat kelompok pasukan itu berpapasan dengan seorang anak perempuan yang hendak pulang ke kampung setelah mengambil bekal di kebunnya yang dekat lokasi menara doa sinar MANANDAI, ketika itu pasukan gabungan Manahan anak tersebut dengan identitas Tigris Atewa umur 14 tahun, anak tersebut di ikat tangannya dan di bawa di tahan di rumah warga di kampung itu selanjutnya pasukan gabungan tersebut bergerak menuju lokasi menara doa sinar MANANDAI lalu mereka bertahan karena beberapa warga yang ada disekitar itu sudah meninggalkan rumah mereka maka pasukan gabungan tersebut bertahan dan sampai sekitar ham 01.00 dini hari seorang warga atas nama Beltazar Rawai, yang hendak kembali mengambil alat penerang (senter), tanpa disadari pasukan sedang menyelinap di dalam gereja maka mereka lansung menangkap warga tersebut lalu di borgol dan di bawa ke kampung dan jam 03.00 dini hari warga atas nama Beltazar Rawai tersebut dibawa dengan kendaraan ke kota tanpa sepengetahuan keluarga dan warga.

Keesokan hari tanggal 9 Desember pasukan terus bertahan dan juga mulai menyisir pondok- pondok warga di kebun- kebun, selain itu pasukan gabungan terus menyebar di semua sudut kampung sampai membuat warga ketakutan dan banyak warga yang melarikan diri ke hutan, selain itu ada dua orang warga yang di tahan juga adalah Frans Pai 39 tahun, Jever Karubaba umur 18 tahun. Pada hari juma tanggal 10 Desember 2018 sekitar jam 11 siang penambahan pasukan dengan kekuatan dua mobil menambah kekuatan pasukan gabungan sebelumnya.

Sekitar pukul 16.00 sore pasukan bergerak mundur setelah pimpinan gereja setempat dan pimpinan pemerintah kampung bernegosiasi dan memberi jaminan bahwa mereka akan mencari warga yang diduga oleh aparat terlibat kegiatan yang mencurigakan, dan mereka itu akan dibawa menghadap pihak polres Yapen. Dengan demikian dibawanya 3 orang warga yaitu Tigris Atewa (14 tahun perempuan), Frans Pai (laki-laki 39 tahun), dan Jever Karubaba ( Laki – laki 18 tahun), mereka di bawa ke kota dan bersama dengan Beltazar Rawai ( laki -laki 18 tahun) yang sudah ditahan lebih dulu di polres. Selanjutnya ke 4 orang warga di interogasi dan dimintai keterangan sampai dengan jam 21.30 tiga orang atas nama Tigris Atewa, Jever Karubaba dan Frans Pai, selesai di interogasi dan di mintai keterangan setelah itu di suruh pulang sedangkan satu warga atas nama Beltazar Rawai, Masi di tahan dan terus di interogasi.

CATATAN.

  1. Kehadiran Pasukan berkekuatan 1 peleton membuat warga ketakutan dan panik, bahkan sebagian warga melarikan diri ke hutan, dimana momen saat ini warga setempat sedang mempersiapkan diri memasuki hari raya Natal dan tahun baru.
  2. Menara Doa Sinar MANANDAI adalah pusat kegiatan ibadah (Rohani) yang di lengkapi dengan sebua gereja.
  3. Akses jaringan listrik mati dan WiFi dikuasai sehingga kesulitan untuk membuat dokumentasi dan pengiriman data
  4. Warga atas nama Tigris Atewa adalah anak dibawa umur berusia 14 tahun, warga tersebut tidak fasik berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Sehingga pada saat dimintai keterangan di polres terpaksa di dampingi orang tua untuk menterjemahkan pembicaraannya. Sementara itu dirinya mengaku sempat di borgol dengan tangan ke belakang, sehingga dia merasa ketakutan dan trauma.
  5. Warga atas nama Beltazar Rawai masih di tahan dan terus di interogasi di polres Yapen, serta penangkapannya dan di bawa ke polres di kota serui tidak diberitahu atau di ketahui oleh istrinya yang sedang hamil dan persiapan melahirkan.
  6. Sebelum pasukan gabungan menarik mundur, mereka telah meninggalkan catatan atau pesan kepada warga kampung Ambaidiru bahwa mereka akan kembali dan akan mengambil tindakan tegas apabila warga yang mereka cari atau maksudkan tidak segerah melapor diri.
  7. Wilayah pedalaman Yapen yaitu Ambaidiru terdiri dari 5 kampung dengan jumlah penduduk lebih dari 2000 orang, terdapat 2 gereja, 3 unit sekolah TK, 2 unit Sekolah Dasar, 1 unit sekolah SMP, 1 unit sekolah SMA yang sedang dirintis dan 1 unit Puskemas dilengkapi beberapa posyandu/Pustu.
    Demikian laporan kronologi secara garis besar

SHEFA recognises West Papua

Apart from the national government, SHEFA Provincial Government Council (SPGC) is the first provincial authority in Vanuatu to recognize Mr. Benny Wenda as the interim president of a provisional West Papuan government.

The official recognition was made by SPGC Secretary General (SG), Morris Kaloran to mark West Papua Day on December 1, 2021.

SPGC had already adopted the indigenous Melanesian people of West Papua and their struggle for self-determination and liberation from Indonesian rule.

“The destiny of our two Melanesian peoples of West Papua and Vanuatu are joined,” SG Kaloran said.

“The West Papuan people remain enslaved and colonized in the 21st century, subject to discrimination, assassination and military operations. Their gallant freedom struggle, under the guidance and leadership of the United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Provisional Government, is moving ever closer to victory. Until the people of West Papua are, no one in Melanesia is free.”

Kaloran said SPGC is honored to officially recognise the ULMWP Provisional Government and Interim President Benny Wenda as the legitimate representatives of the people of West Papua and their struggle. He said this is another step on the formation of a long term friendship between West Papuan people and the government, chiefs and people of SHEFA province. Earlier in June, the chiefs and people of SHEFA performed a traditional adoption ceremony at SPGC headquarters in Port Vila.

At the time, a chiefly title – SHEFA — was bestowed to Mr. Frederick Jan Waromi.

Mr. Waromi is the official representative of ULMWP in Vanuatu. Under the chiefly title, Chief Marikor can now uphold the chiefly role and he will be given full respect in displaying his responsibilities and entitled to attend all chiefly ceremonies organized by chiefs in SHEFA.

West Papua day was jointly organized by SPGC and Vanuatu West Papua Association.

The chairman of Vanuatu West Papua Association, Pastor Job Dalesa, said he is proud of the progress and asks all churches in Vanuatu to continue to pray for West Papua.

Vanuatu Daily Post

IMPLEMENTASI MANIFESTO POLITIK PAPUA BARAT, 1 DESEMBER 1961, ADALAH HAK PENENTUAN NASIB SENDIRI

By: Kristian Griapon, Desember 2, 2021

Manifesto Politik Papua Barat yang diumumkan pada tanggal,
19 Oktober 1961 dan dideklarasi (diresmikan) pada tanggal,
1 Desember 1961 oleh Gouverneur Nederlands-Nieuw-Guinea Atas nama Seri Baginda I Kerajaan Belanda, adalah pernyataan sejagad yang mempunyai kekuatan hukum internasional berdasarkan piagam dasar PBB pasal 73, pernyataan umum tentang daerah tidak berpemerintahan sendiri (dekolonisasi).

Dekolonisasi merujuk pada tercapainya kemerdekaan oleh berbagai koloni dan protektorat Barat di Asia, Pasifik, Afrika, Amerika Latin dan Timur Tengah setelah Perang Dunia II. Dan Papua Barat termasuk salah satu daerah koloni tersisa di Pasifik di era globalisasi, setelah perang dunia ke-II.

MANIFESTASI POLITIK BANGSA PAPUA BARAT
Kami yang bertanda tangan dibawah ini, penduduk tanah Papua bagian Barat terdiri dari berbagai golongan, suku dan agama merasa terikat dan bersatu padu satu bangsa dan satu tanah air :

MENYATAKAN :
Kepada penduduk sebangsa dan setanah air bahwa :
I.Berdasarkan Pasal 73 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa bahagian
a dan b :
II.Berdasarkan maklumat akan kemerdekaan bagi daerah-daerah yang belum berpemerintahan sendiri, sebagaimana termuat dalam Resolusi yang diterima oleh Sidang Pleno Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam sidang ke 15 dari 20 September 1960 sampai 20 Desember 1960.No.1514(XV).
III.Berdasarkan hak mutlak dari kita penduduk tanah Papua bahagian Barat atas tanah air kita :
IV.Berdasarkan hasrat dan Keinginan bangsa kita akan kemerdekaan kita sendiri :
Maka kami dengan perantaraan Komite Nasional dan badan Perwakilan Rakyat kita Nieuw-Guinea Raad mendorong Gubernemen Nederlands Nieuw-Guinea dan Pemerintah Nederlands supaya mulai dari 1 November 1961 :
a.Bendera kami dikibarkan disampin bendera Belanda Nederland:
b.Nyanyian kebangsaan kita (kami) “Hai Tanahku Papua” dinyanyikan disamping Wilhemus:
c.Nama tanah kami menjadi Papua Barat dan,
d.Nama bangsa kami Papua.

Atas dasar-dasar ini kami bangsa Papua menuntut untuk mendapat tempat kami sendiri. Sama seperti bangsa-bangsa merdeka dan diantara bangsa-bangsa itu kami bangsa Papua ingin hidup sentosa dan turut memelihara perdamaian dunia.

Dengan manifest ini kami mengundang semua penduduk yang mencintai tanah air dan bangsa kita Papua menyetujui Manifest ini dan mempertahankannya. Oleh karena inilah satu-satunya dasar kemerdekaan bagi kita bangsa Papua.

Hollandia, 19 Oktober 1961…..Tertanda 52 Anggota Komite Nasional Papua.

Menindak lanjuti manifest ini, Gouverneur Nederlands-Nieuw-Guinea Atas nama Seri Baginda I Kerajaan Belanda menerbitkan tiga surat masing-masing : Surat 1961 No.68, di umumkan, 20 November 1961 (Dasar Surat Keputusan Gouverneur Nederlands-Nieuw-Guinea Tertanggal,18 November 1961 No.362), Surat 1961 No.70, diumumkan,20 November 1961 (Dasar Surat Keputusan Gouverneur Nederlands-Nieuw-Guinea Tertanggal,18 November 1961 No,364), dan Surat No.70 diumumkan,20 November 1961 (Dasar Surat Keputusan Gouverneur Nederlands-Nieuw-Guinea Tertanggal,18 November 1961 No.366).

Indonesia sebagai negara yang berpijak pada pernyataan sejagadnya yang tertuang dalam konstitusi negara republik Indonesia pembukaan (preambule) UUD’1945, bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa… telah melanggar manifestasi (perwujudan) Hak Penentuan Nasib Sendiri Bangsa Papua Barat.

Presiden Pertama Negara Republik Indonesia Ir.Soekarno, mengatasnamakan Rakyat Indonesia memanipulasi manifesto politik bangsa Papua Barat melalui Dekrit Operasi Trikora yang diumumkan dalam pidatonya di Alun-Alun Utara Jogyakarta pada, 19 Desember 1961, yang termuat tiga poin (Trikora) yaitu: 1).Gagalkan Pembentukan Negara Boneka Papua Buatan Belanda. 2).Mobilisasi umum ke Irian Barat dan. 3).Kibarkan Bendera Sang Merah Putih di Irian Barat sebagai Tanah Air Indonesia.

Trikora adalah bentuk kejahatan Internasional (kejahatan agresi) pada masa perang dingin, dan menjadi pintu masuk kejahatan terhadap kemanusiaan di Papua Barat yang berlangsung hingga saat ini, wasalam.(Kgr)
Penulis adalah Aktivis Pemerhati Masalah Papua Barat.

PEPERA! Proses New York Agreement ternyata melibatkan OAP (Orang Asli Papua)

Admint, 24 Oktober 2021.

Selama ini kita di suguhkan perdebatan serta tulisan-tulisan yang mengatakan bahwa OAP (Orang asli Papua) tidak pernah ikut dalam proses PEPERA juga tidak di libatkan dalam New York Agreement 1962, dimana Ketentuan tersebut menjadi pegangan bahwa; setelah Tahun 1963-1969 papua harus terbebas dari indonesia dan kemudian di wajibkan melakukan Self determination (Penentuan nasib sendiri).

Pertanyaan nya benarkah sesuai Issue yang ada bahwa OAP tidak terlibat di dalam proses-proses PEPERA?, disinilah yang menjadi substansial masalah tersebut; bahwa selama ini kelompok pembebasan Telah melakukan pembohongan publik atas kepentingan kelompok elit-elit organisasi.

Pada kenyataan nya Self Determination (Penentuan nasib sendiri) juga di galang dan berikut di dukung ke-ikut sertaan Delegasi dari Orang asli papua Yang bernama Silas Papare yang ketika itu aktif dalam Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB) menjadi salah seorang delegasi Indonesia dalam Perjanjian New York yang ditandatangani pada 15 Agustus 1962, yang mengakhiri konfrontasi Indonesia dengan Belanda perihal Irian Barat. Disini jelas Secara tidak langsung jelas bahwa ternyata Soekarno telah mendukung proses keberadaan self determination serta menyerahkan prosesnya terhadap orang asli papua yang bernama ‘Silas Papare’

Berikut juga Anak papua asli ‘Marthen Indey’ berangkat ke New York sebagai delegasi pada bulan Desember 1962. Walaupun mereka terlibat dalam pihak militer dan Turut merumuskan strategi gerilya mengusir kolonialisme yang secara sah dilarang dalam Resolusi PBB 1514, Tgl 14 Desember 1946. Namun marthen Indey mendukung dan setuju dalam proses win-win solution penentuan Nasib sendiri untuk rakyat papua pada tahun 1969.

Perjalanan menuju PEPERA menjadi sarat politisasi setelah ada perlakuan pencurian start pada tahun 1963 oleh Gubernur Pertama Irian (Papua) yang bernama Elias Jan Bonai, yang menjabat kurang dari setahun (1963–1964). Kental nya sikap politik antara Niuew Guinea Raad & Soekarnoisme membuat Bonay yang pada awalnya berpihak pada Indonesia Namun melakukan pembelotan tepat nya pada tahun 1964 dimana menggunakan penyalahgunaan rencana Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang akhirnya bergabung bersama Organisasi Papua Merdeka.

Dari rekaman perjalanan sejarah itu jelas bahwa keterlibatan OAP dari Delegasi yang menghadiri penandatanganan ‘New York Agreement’ 1962. hingga panas dingin politik menjelang self determination dimana belanda dan Australia turut mendukung aktivitas demonstrasi-demonstrasi yang dilakukan kelompok organisasi papua merdeka, dengan segala kejadian ini jelas bahwa peristiwa OAP sebagai bentuk kehadiran itu terbukti ada, dan bahwa bukan Autobots semacam transformer hingga di katakan antara Jin dan setan yang hadir serta tidak pernah melibatkan OAP disana; merupakan Framming kebohongan dan ketidak jujuran atas pengakuan yang terus di ulang-ulang.
Salam merdeka wa wa wa wa wa wa wa!.

Sumber pengembangan : Wikipedia, ketik nama-nama Tertera.

Aliansimahasiswapapua #AMP #Bennywenda #ULMWP #Bazokalogo #papuamerdeka #TPNPB #KNPB #organisasipapuamerdeka #TPNPBOPM #OPM

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny