Ini Hasil Diskusi KPP: Mengenal Lebih Dekat Perempuan Mamta

By Kabar Mapegaa 03.16.00

Yogyakarta, (KM)- Komunitas Perempuan Papua (KPP), Daerah Istimewa Yogyakarta, Jumat (09/09), kembali mengadakan diskusi terbuka, dengan tema, “Saatnya Perempuan Papua Bangkit dan Bersuara”. Kegiatan ini berlangsung di asrama Bintuni, Babarsari, belakang Kampus I YKPN.

Zuzan Crystalia Griapon, menjadi moderator dalam diskusi kali ini dengan topik “Mengenal lebih dekat perempuan Mamta” dan mempersilakan kepada penyaji materi tentang kehidupan perempuan di Mamta yang dibawakan oleh Yoha Pulalo.

Yona Palalo adalah mahasiswi pascasarjana Univesitas Gadjah Mada Yogyakarta, juga sebagai salah satu guru relawan Papua.

Dalam diskusi tersebut, mereka menggangkat masalah penindasan perempuan Papua pada umumnya dan lebih khususnya Perempuan-perempuan di wilayah adat Manta. Wilayah adat Mamta merupakan wilayah adat sekitar Jayapura. Wilayah adat Mamta juga merupakan wilayah adat terbesar dengan 87 suku. Wilayah Mamta terdiri dari: Port numbay, Sentani , Sarmi, dan Keroom.

Secara garis besar, Yona menyampaikan kehidupan perempuan- perempuan Papua di wilayah adat Mamta, kemudian mempersilakan peserta diskusi untuk menyampaikan pendapat berupa tanggapan, pertanyaan serta solusi.

Dalam diskusi tersebut, mereka (perempuan) menentang semua penindasan-penidasan terhadap perempuan yang atas namakan nilai-nilai adat istiadat dan pembangunan yang mana laki-laki berada pada kedudukan tertinggi dalam segala bidang.

Mereka berpendapat bahwa, Laki-laki dan perempuan berada di muka bumi ini ada tugasnya masing-masing, masing-masing ada jatahnya. Akan tetapi marginalisasi terhadap perempuan Mamta, secara terang-terang terjadi. “Budaya patriarki itu benar-benar dirasakan oleh perempuan-perempuan di Mamta,” tegas salah satu mahasiswi yang juga berasal dari Manta saat dikusi berlangsung.

Katanya, tanah adat dijual oleh laki-laki, perempuan tidak dapat berbuat apa-apa, tempat bercocok tanam mama-mama sudah mulai tergeser. Padahal nenek moyang berpesan untuk melindungi tanah, akan tetapi apa yang terjadi, tanah dijual. Hal ini berdasarkan kenyataan yang sedang dialami saat ini di Mamta, tanpa keterlibatan perempuan didalamnya.

Hal ini bertolak belakang, yang seharusnya laki-laki yang menjaga tanah adat, tetapi mala sebaliknya perempuan berusaha untuk melindungi tanah adat mereka. Niat baik perempuan Mamta untuk melindungi tanah mereka namun mereke (perempuan) tidak ada nilainya didepan laki-laki Mamta.

Sementara itu, mereka juga berpendapat bahwa tulang punggung warga itu ada di perempauan. Mereka juga menolak keras terhadap budaya patriarki.

Perempuan tidak ada ruang dan hak untuk bersuara demi tanahnya sendiri, perempuan ditindas oleh nilai budaya itu sendri. Ruang lingkup perempuan sangat sempit. Perempuan terus ditindas. Hal ini Karena adanya nilai-nilai budaya setempat yang masih melekat.

Menurut mereka, kesadaran kritis itu harus ada di Perempuan Papua. Tanah dan manusia Papua ada ditangan Perempuan Papua. Kami perempuan Papua sangat merasakan penindasan. Namun , tidak menutup kemungkinan, bahwa suatu saat nanti perempaun akan hadir sebagai pengambil keputusan akan tetapi hal ini membutuhkan waktu yang panjang.

Sementara itu, seperti yang dikutip oleh media ini, saat diskusi berlangsung, ada beberapa penindasan yang terjadi terhadap perempuan Papua pada umumnya dan khususnya perempuan Mamta, diantara: Perempuan ditindas oleh budaya itu sendiri, laki-laki menduduki kedudukan tertinggi disegala lini, Perempuan tidak mendapat kesempatan dalam menyuarakan tanahnya, Pengambil keputusan dalam segala hal dilakukan oleh laki-laki, Perempuan menindas perempaun atas dasar nilai-nilai adat, Tanah itu adalah mama, tetapi kenyataannya adalah tanah itu bapak, Penduduk asli mulai tergeser, lahan-lahan milik mereka dijual oleh laki-laki. Orang asli menyinggir atas nama pembanggunan.

Moderator diskusi, Zuzant mengatakan, diskusi ini ruting dilakukan perminggu sekali, untuk minggu besok, kami akan mengadakan dikusi dengan topik: Mengenal Lebih dekat Perempuan-perempuan Meepago.

Untuk itu, lajut Zuzant, kami mengharapkan keterlibatan laki-laki untuk menghadiri setiap diskusi kami adakan perminggu sekali. (Manfred/KM)

SOLPAP Bosan dengan Pansus Bentukan DPRP

Source: Jum’at, 06 Maret 2015 01:30, BinPa

mama-mama saat demo beberapa waktu laluJAYAPURA – Adanya rencana DPRP akan membentuk sejumlah Pansus, termasuk Pansus pembangunan pasar mama-mama Pedagang asli Papua, mendapat tanggapan pesimis dari Sekretaris Solidaritas Pedagang Asli Papua (SOLPAP) Robert Jitmau. Ia menyatakan, SOLPAP sebagai wadah  penghimpun Pedagang Asli Papua menilai tidak ada itikat baik dari Eksekutif dan Legislatif untuk segera membangun Pasar Permanen bagi Mama-mama Pedagang Asli Papua. Pansus bentukan DPRP pun dinilai tidak serius, bahkan tidak ada hasilnya. “Sampai sekarang apa yang dikerjakan Pansus DPRP,” kata Robert Jitmau mempertanyakan kerja Pansus Pasar Mama Papua.

Robert  yang ditemu Bintang Papua, Kamis (5/3) mengatakan, eksekutif dan legislatif jangan hanya ambil sikap ketika ada aksi dilakukan para Mama-mama pedagang, namun kemudian masalah didiamkan lagi.

Kalau benar DPRP akan kembali membentuk Pansus Pasar Mama-mama, SOLPAP meminta agar dilibatkan dalam Pansus yang akan dibentuk DPRP. 

“Kami tidak mau Pansus Pasar bentukan DPRP itu kerja sembunyi-sembunyi, kami ini sudah bosan dengan pansus-pansus, kalau pansus tidak jelas, tolong DPRP jangan bentuk Pansus omong kosong, kami sudah tidak percaya kerja pansus Pasar Mama-mama”, ujar Robert Jitmau.

Menurut Robert, eksekutif bersama legislatif Papua seharusnya sadar dalam mencermati keseriusan Pemerintah pusat seperti diutarakan Presiden Jokowi dalam kunjungannya 2014 lalu bahwa Pemerintah daerah merupakan perpanjangan tangan Pemerintah Pusat di daerah yang mengeksekusi semua kebijakan pembangunan pro rakyat termasuk pembangunan Pasar Mama-mama Papua yang sudah direspon Presiden bahkan Presiden telah meletakan batu pertama pembangunan Pasar Mama Papua.

Pemerintah daerah seharusnya segera mengeksekusi respon Presiden tersebut, Pemda harusnya melakukan pembebasan lahan Dambri, itu tugas Pemda. Robert menegaskan, Gubernur Papua jangan hanya mengumbar visis misi Papua bangkit mandiri sejahtera, tetapi sarana prasarana untuk mencapai Papua bangkit mandiri sejahtera itu tidak dilaksanakan. Pembangunan Pasar  Permanen bagi Pedagang Asli Papua merupakan wujud visi misi Papua bangkit mandiri sejahtera, itu hal konkrit menterjemahkan Papua bangkit mandiri sejahtera, ujarnya.
Dia menyingung, Gubernur jangan hanya cepat keluarkan uang untuk KNPI,  cepat keluarkan uang untuk PON, untuk Raimuna, sementara pembangunan Pasar yang nyata-nyata sesuai visi misinya ditaruh kebelakang.

Lebih lanjut Robert Jitmau mengulang penyampaian Presiden bahwa, Pemerintah Daerah harus memperhatikan kebutuhan rakyat, kebutuhan rakyat diutamakan. Presiden juga menegaskan ada sanksi pengurangan anggaran   APBN apabila Pemerintah Daerah tidak merespon kebutuhan rakyat. Pemerintah Pusat juga memberikan bantuan  untuk pembangunan Pasar Mama Papua senilai 15 miliar selanjutnya dana pembangunan Pasar Mama Papua itu  ditambah dari anggaran Pemda Provinsi Papua. (ven/don/l03)

Di Papua, Kekerasan Terhadap Perempuan Masih Tinggi

JAYAPURA – Tingginya angka bunuh diri yang menimpa remaja putri di Papua, diklaim Jaringan Kerja HAM Perempuan Papua akibat dari imbas perdagangan manusia, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) menahun, serta kekerasan seksual. Tak ayal, ketiga faktor itu menjadi modus bagi para remaja putri untuk mengakhiri hidupnya.

Koordinator TIKI Jaringan Kerja HAM Perempuan di Papua, Fien Jarangga mengungkapkan, berdasarkan laporan aktivis perempuan dan aktivis HAM kota Manokwari serta seorang penasihat persatuan perempuan Adat Arfak Manowakri, setidaknya ada dua kasus bunuh diri dan percobaan bunuh diri yang terjadi dalam kurun waktu tiga bulan terakhir di Kota Manokwari. Disebutkan Fien, pelaku adalah perempuan korban KDRT, kekerasan seksual dan perdagangan manusia yang terabaikan dan tak pernah mendapat bantuan atau dukungan.

“Mereka dilaporkan bunuh diri dengan cara minum racun pembunuh serangga. Bunuh diri kerap terjadi di Manokwari, dilakukan perempuan korban KDRT yang tak pernah tertolong dan tak mampu lagi meneruskan hidupnya,” beber Fien kepada wartawan, kemarin.

Dikatakan Fien, Kejaksaan Negeri Manokwari menginformasikan bahwa kasus-kasus KDRT dan kekerasan seksual terhadap anak/remaja putri yang dilaporkan masih cukup tinggi, yaitu rata-rata 5 kasus perbulan.

Selain itu, ditemukan pula kekerasan verbal bernuansa seksis dan rasis oleh pejabat daerah terhadap perempuan asli Papua pun . Sesuai data yang ada pada Oktober 2013, Komnas Perempuan menerima pengaduan seorang perempuan asli Papua yang mengalami kekerasan verbal berupa ejekan yang merendahkan identitas seksualnya sebagai perempuan dan identitas primordialnya sebagai perempuan asli Papua.

“Kekerasan verbal ini dilakukan oleh seorang pejabat daerah, yaitu seorang Sekretaris Daerah di kabupaten Supiori, Biak,” ungkapnya.

Sementara itu, juga ditemukan penggeledahan, ancaman dan pemukulan terhadap perempuan, pengacara dan aktivis HAM perempuan. Aktivis perempuan dan pekerja HAM perempuan di Abepura, Timika dan Wamena melaporkan adanya intimidasi, penggeledahan dan pemukulan oleh aparat penegak hukum dan masyarakat terhadapperempuan-perempuan aktivis dan pembela HAM perempuan.

“Medio Agustus dan September 2013 dari Wamena dilaporkan seorang perempuan advokat dan seorang laki-laki aktivis pembela HAM perempuan mengalami tindak kekerasan dan ancaman dari anggota kepolisian dan masyarakat karena aktivitas mereka membela HAM. Hal ini menimbulkan rasa takut dan cemas sehingga mengakibatkan salah seorang dari mereka meninggalkan Wamena untuk sementara waktu dan mencari rasa aman di kota lain,”

ujarnya.

Sambung Fien, tak berhenti sampai disitu, pada September 2012 seorang perempuan di Kota Timika melaporkan dirinya mengalami kekerasan verbal dan dipukul oleh aparat kepolisian yang menggeledah rumahnya dan mencari putranya yang diduga terkait kasus bom rakitan yang berhubungan dengan aktivitas Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Tak hanya itu, seorang perempuan lainnya juga mengaku rumahnya digeledah pada tengah malam hingga menjelang dini hari oleh serombongan orang berseragam hitam, bertopeng dan bersenjata laras panjang yang mengeluarkan sinar berwarna merah. Rumah korban digeledah dan ditunggui beberapa jam, aparat tidak menemukan yang mereka cari di rumah itu lalu pergi meninggalkan penghuni rumah yang ketakutan.

“Sebelumnya, seorang perempuan aktivis mahasiswa di Abepura digerebek dan dibuntuti aparat penegak hukum karena diduga terkait dengan aktivitas (pemimpin) KNPB,” terangnya.

Menurut Fien, kejadian ini menyebabkan terpeliharanya rasa takut, kecewa dan marah sebagai dampak dari berbagai tindak kekerasan, penembakan dan pembunuhan yang tak terselesaikan. Bahkan Komunitas perempuan dan aktivis HAM perempuan mitra Komnas Perempuan di Wamena dan Timika melaporkan bahwa peristiwa kekerasan, penembakan dan pembunuhan yang melibatkan warga masyarakat biasa maupun aparat keamanan, yang terus terjadi tanpa teratasi secara baik dan tuntas di kedua kota itu telah melestarikan rasa takut, kecewa dan marah yang meluas di kalangan masyarakat.

Diakui Fien, dalam penanganan kasus-kasus tersebut, masyarakat/keluarga korban lebih memilih dan mengutamakan mekanisme adat sebagai jalan penyelesaian masalah KDRT dan berbagai kekerasan terhadap perempuan. Meski diakui bahwa mekanisme adat tidak memberi rasa adil bagi korban, mereviktimisasi korban dan melanggengkan impunitas.

Namun, komunitas perempuan korban dan penyintas KDRT, khususnya di Wamena, menyatakan menolak mekanisme adat dan lebih menginginkan agar kasus KDRT ditangani secara hukum.

“Lemahnya penegakan hukum untuk kasus KDRT. Kepolisian dan Kejaksaan Negeri Manokwari, serta kepolisian Timika dan pemerintah daerah Biak mengakui bahwa kasus-kasus KDRT sering ditangani secara adat. UU No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus dipakai untuk melegitimasi penyelesaian secara adat.

Namun, kasus-kasus KDRT berulang dan kasus KtP maupun KDRT yang melibatkan dua suku berbeda pasti ditangani secara hukum. Khusus mengenai kasus kekerasan seksual terhadap anak/remaja putri, penegak hukum di sejumlah kabupaten di Papua dan Papua Barat (Biak, Jayapura, Manokwari, Merauke Timika dan Wamena) menyatakan menolak penyelesaian adat dan berupaya menjatuhkan hukuman setinggi mungkin (hukuman penjara 8-12 thn maksimal) untuk menimbulkan efek jera kepada pelaku dan masyarakat umum,”

urainya.

Fien memberikan contoh, Polres Manokwari pernah menginisiasi program Pemulihan bagi remaja putri korban kekerasan, bekerja sama dengan Komnas Anak Jakarta.

Sayangnya, penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan pemenuhan HAM perempuan bukanlah prioritas Kepala Daerah tingkat Kabupaten. Sepanjang tahun 2011 dan 2012, Komnas Perempuan dan jaringan TIKI di sejumlah kabupaten melakukan advokasi penghapusan KtP dan pemenuhan HAM perempuan melalui mekanisme Dialog Kebijakan dengan pemerintah daerah setempat, antara lain di Biak, Merauke, Manokwari, Timika dan Wamena.

“Tapi tak satu pun kepala daerah (Bupati, Wakil Bupati atau Sekda) kabupaten tersebut yang bersedia memberi waktu untuk dialog kebijakan tentang penghapusan KtP dan tanggung jawab pemenuhan HAM perempuan. Pejabat Badan/Biro PPPA kabupaten maupun Asisten pemda terkait yang pernah berdialog dengan Komnas Perempuan dan TIKI di sepanjang tahun 2010 hingga 2012 melaporkan terbatasnya kapasitas sumber daya manusia dan dana yang dimilikinya untuk melakukan tugas secara optimal.

Akibatnya tidak banyak yang dapat mereka lakukan jika dibandingkan dengan besarnya masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak di tanah Papua,”

terangnya.

Lebih jelas dikatakan Fien, pengabaian hak-hak dasar perempuan penyintas kekerasan negara. yang terdokumentasi dalam laporan HAM Komnas Perempuan dan mitra-mitranya bertajuk “Stop Sudah: Kesaksian Perempuan Papua korban Kekerasan dan Pelanggaran HAM 1963-2009″, melaporkan bahwa sejak kasus mereka dilaporkan dan diadvokasi di tingkat kabupaten dan provinsi hingga menjelang akhir tahun 2013 belum ada tindak lanjut apapun dari pemerintah daerah untuk pemenuhan hak korban atas kebenaran, keadilan dan pemulihan.

“ Kondisi para penyintas belum berubah, terabaikan, terstigma dan sebagian di antara mereka termakan penyakit serta usia yang makin renta.

Hal ini dilaporkan oleh komunitas penyintas dan pembela HAM dari Biak, Genyem, Keerom, Manokwari, Merauke, Sarmi, Timika dan Wasior. Dan menjelang akhir tahun 2012, dua orang penyintas kekerasan negara dari Biak, yaitu penyintas kasus Biak Berdarah dan penyintas operasi militer di Biak tahun 1960-an, yang masih terus berharap menerima kembali hak nya atas Kebenaran, Keadilan dan Pemulihan, telah meninggal dunia karena sakit yang dideritanya,”

tandasnya. (lea/don/l03)

Sabtu, 04 Januari 2014 06:27, Ditulis oleh redaksi_binpa

Enhanced by Zemanta

Rp10 Miliar Buat Bangun Pasar Mama-Mama Papua

JAYAPURA [PAPO] – Komitmen pemerintah provinsi Papua buat memberdayakan pedagang asli Papua, teristimewa mama-mama Papua yang selama ini berjualan di pasar mama-mama Papua, siap diwujudkan.

Setidaknya pemerintah Papua lewat Lukas Enembe,SIP MH, Gubernur Papua sudah menganggarkan Rp.10 miliar guna pembangunan pasar mama-mama Papua yang representatif.

Selain telah menganggarkan pembangunan pasar mama-mama asli Papua, Pemprov Papua sedang merumuskan rencana penyertaan modal. Dimana akan dipikirkan secara baik.

Sebab menurut Gubernur Papua Lukas Enembe, pedagang mama – mama asli Papua ini harus berpikir bagaimana untuk menyekolahkan anak – anaknya.

“Kita harus rumuskan untuk juga memberikan modal usaha kepada mama. Mama yang terbiasa menjual di pasar dan dijalan,”ujarnya.

Mama pedagang asli Papua yang terbiasa bekerja di pasar ini akan di inventarisasi semuanya di seluruh kabupaten/kota di Papua.

Untuk itu master plan atau perencanaan dari bidang ekonomi itu juga sudah disampaikan untuk membuat akan hal ini. Karena itu sangat membantu untuk pertumbuhan dan peningkatan kesejahteraan orang Papua, terutama mama pedagang Papua.

“Saya punya pengalaman seperti itu saat masih di Puncak Jaya dan akan saya buat. Kemudian saya sudah buat dan saya bina mama – mama Papua penjual di Puncak Jaya sebanyak 50 orang,”tuturnya.

Diceritakannya lagi Pemkab Puncak Jaya, juga memberikan kepada para penjual tetap seperti penjual pinang yang setiap hari berjualan di pasar diberikan bantuan dana sebesar Rp. 5 juta. Dimana barang dagangan mereka ini di drop dari Kota Wamena.

Kemudian bantuan Rp. 2 juta diberikan kepada mama Papua yang biasanya menjual sayuran di pasar hanya seminggu sekali saja dan tidak setiap hari.

Kemudian bantuan diberikan sebesar Rp. 3 juta, diberikan kepada mama pedagan Papua yang hanya berjualan empat hari dalam seminggu.

Sedangkan yang setiap hari duduk itu kita berikan Rp. 5 juta. Dari 50 orang mama Papua yang dibina, ada yang sudah mempunyai tabungan/ rekening bank antara Rp. 30 juta, Rp. 15 juta dan Rp. 10 juta.

“Karena waktu itu, setelah jual kami dari pemerintah meminta untuk membuktikan juga bahwa mereka harus ada uang di bank,”katanya.

Rekening bank pedagang mama Papua ini dibuka oleh pemerintah kabupaten. “Ternyata kalau dia bisa menjual dalam sehari Rp. 500 ribu biasanya Rp. 200 ribu mereka menabung dan sisanya Rp. 300 ribu mereka untuk keperluan hidup sehari–hari,”katanya lagi.

Sumber: Minggu, 09 Jun 2013 23:06, Ditulis oleh Thoding/Papos

Menurutnya hal ini sangat membantu. Untuk itu jika ada kemauan dari pemerintah untuk memberikan modal. Nantinya pemerintah tinggal mengawasinya. “Jika kita memberika mereka modal Rp. 20 juta kemudian mengawasi. Maka hasilnya akan luar biasa dan saya yakin mereka akan berhasil. Sebab di kawasan – kawasan tertentu di Papua biasanya kaum wanitanya yang lebih bekerja keras,”tuturnya. [tho]

Terakhir diperbarui pada Minggu, 09 Jun 2013 23:10

Enhanced by Zemanta

Papua Tertinggi Dalam Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan

Ditulis oleh Ant/Ida/Papos

JAKARTA [PAPOS] – Papua merupakan provinsi dengan jumlah kasus tertinggi kekerasan terhadap perempuan yakni mencapai 1.360 kasus untuk setiap 10.000 perempuan, kata Wakil Ketua Bidang Program Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Dr Margaretha Hanita.

“Papua sebenarnya yang tertinggi meskipun berbagai data menyebut DKI Jakarta adalah yang tertinggi,”

kata Margaretha pada Simposium “Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak: Peran Perempuan dalam Pendidikan dan Pembentukan Karakter Bangsa” yang diselenggarakan oleh Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka) di Jakarta, Selasa.

Komnas Perempuan mencatat pada 2012 ada 1.699 kasus kekerasan terhadap perempuan di DKI Jakarta yang merupakan angka tertinggi dibanding provinsi lain, seperti Jawa Timur 1.593 kasus dan Jawa Barat 1.352 kasus, demikian pula data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dengan 30 pengaduan.

“Angka itu karena di Jakarta banyak perempuan yang berani mengadu dan lebih luasnya akses untuk mengajukan pengaduan,”

katanya.

Kebanyakan (56 persen) merupakan kasus kekerasan dalam rumah tangga, 24 persen kekerasan seksual, 18 persen perdagangan perempuan dan kasus lainnya dua persen, ujarnya.

Sementara itu, Direktur Pembinaan Pendidikan Masyarakat, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Ella Yulaelawati mengatakan, Indonesia memang masih memprihatinkan dalam masalah gender dimana pada 2012 Indonesia berada di peringkat 108 dari 169 negara dalam Indeks Pembangunan Gender.

“Indonesia juga tercatat merupakan negara pemasok terbesar perdagangan anak perempuan, antara lain untuk prostitusi, pekerjaan rumah tangga dan pekerjaan eksploatatif lainnya,”

kata Ella.

Sementara itu Rektor Uhamka Prof Dr Suyatno mengatakan pemahaman tentang gender dan pemberdayaan perempuan sangat penting karena di tangan seorang ibulah generasi penerus bangsa dibentuk.

“Jika rumah tangga tidak dijaga agar harmonis dan nyaman bagi anak-anak, maka mereka tak betah dan akan mencari di luar rumah, akibatnya adalah generasi yang tidak memiliki karakter. Remaja-remaja yang jadi anggota geng motor itu antara lain karena keluarganya berantakan,” katanya. [ant/ida]

Terakhir diperbarui pada Selasa, 21 Mei 2013 23:44

Sumber: Selasa, 21 Mei 2013 23:40, Papos

Enhanced by Zemanta

Perempuan Dipulihkan, Maka Papua Juga Turut Dipulihkan

Pemulihan Papua dimulai dari Perempuan yang dipulihkan, karena perempuan itu melahirkan dan memelihara kehidupan. Ia berasal dari tulang rusuk, ia sanggup bekerja hingga terbenamnya mentari, sebab itu ia harus dipulihkan kapasitasnya sebagai ibu, pekerja dan pelaku ekonomi. Bagaimana memulihkannya? Berikut bincang-bincang dengan Ketua Biro Pemberdayaan Perempuan Provinsi Papua Dra. Rika Monim, MM

Oleh : Veni Mahuze/Bintang Papua

KEKERASAN dalam rumah tangga ( KDRT) kerab dialami Perempuan, kondisi itu membuat perempuan Papua kehilangan kapasitasnya, ia kurang percaya diri dan minder. Kekerasan fisik dari suami disertai tekanan simbolik lingkungan, membuat perempuan di Papua tak berdaya.

“ Padahal perempuan Papua punya kapasitas, punya kapabilitas dan integritas yang cukub baik,” ujar Rika Monim, Kepala Biro Pemberdayaan Perempuan Provinsi Papua, Jumat( 30/11)lalu.

Dikatakan, sampai kapanpun bila hati perempuan Papua tak tersentuh selama itu pula kapasitasnya tak nampak, selama itupula ia takan berperan sebagai ibu, pekerja dan pelaku ekonomi yang mapan bagi keluarganya. Kekerasan dalam rumah tangga serta dampak fisik, psikis yang ditimbulkan itu dialami hampir semua perempuan di kampung kampung, di kabupaten- kabupaten di tanah Papua.

Dari hasil kunjungan lapangan yang dilakukan Rika Monim, November 2011 lalu, ia melihat kondisi perempuan Papua tetap hidup meramu di tengah kota. “Hal ini tak boleh dibiarkan larut,” kata Rika. Perempuan tak boleh dibiarkan larut dalam kondisi dirinya sendiri yang tak berdaya yang sesungguhnya berdaya, melainkan perempuan Papua saat ini harus dipulihkan. Ia melihat semua kondisi perempuan Papua mengalami perlakukan sama, mengalami kerasan fisik berlapis, entah di Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura dan kabupaten lainnya. Sebagai pekerja dan pelaku ekonomipun demikian, perempuan hanya mampu sampai pada menjual pinang, sayuran, roti. “ Namun harus diakui, mereka kaum perempuan itu pekerja keras menyambung nyawa meski sakit,” ujar Rika

Berjualan pinang, aktivitas paling gampang ditemui setiap hari dari perempuan Papua. Pemandangan ini nampak di pinggiran jalan, di emperan toko sepanjang jalan pertokoan Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura dan daerah lainnya, perempuan tak berkembang dan stagnan. Perempuan belum menggapai apa itu mempunyai toko, ia masih berpikir sederhana soal isi perut, dia, anak dan suami. “Di semua lini di Kota ini belum ada perempuan Papua menempati posisi, jangan jauh jauh, di mal mal, Bank Bank di Jayapura, kecuali Bank Papua,” sambugnya.

“Melihat kondisi perempuan yang stagnan, saya tergelitik, kita mesti tingkatkan kapasitasnya baik anak muda perempuan maupun ibu rumah tangga. Hanya dengan meningkatkan kapasitasnya, perempuan Papua ini akan mandiri. Ia mengakui banyak orang punya perhatian untuk memajukan perempuan Papua dengan caranya sendiri.

Namun perlu diingat, upaya utama memajukan perempuan Papua adalah memulihkan hatinya yang terluka, ada pemulihan hati, itu yang terpenting dilakukan saat ini. Dengan penguatan penguatan kapasitas, perempuan akan merasa dirinya bisa, dirinya berharga, dirinya dibutuhkan. Ada perubahan karakter disertai daya saing perempuan di ranah ekonomi.
Kegiatan penguatan kapasitas perempuan Papua sendiri merupakan kegiatan pilihan Biro Pemberdayaan Perempuan Provinsi Papua yang hampir setahun lebih ini gencar lakukan penguatan penguatan kapasitas perempuan diberikan di hampir semua daerah kabuapten di Papua.

“Saya melihat karakter perempuan ini harus diubah, perempuan sering mengatakan suami mereka lari melirik wanita lain, tertarik pesona fisik wanita lain meski telah berdoa namun seperti tak dikabulkan, mengapa seakan jadi pertanyaan klasik perempuan. Mereka hati perempuan belum dipulihkan dari luka hati dan dendam atas perlakuan kekerasan yang dialaminya. Perempuanharus mengubah diri dan karakter, hati perempuan harus dipulihkan, pemulihan hati akan mengiringi pemulihan karakter”ujar Rika Monim disela sela kegiatan penguatan kapasitas perempuan Papua bersama UN Women akhir pekan ini.

“Hati, pikiran dan perasaan teraniaya dari perempuan tak akan membuat dia bebas, justru pemulihan mulai dari sana. Pemahaman tentang konsep diri perempuan sangat membantu hampir semua perempuan yang dibantu melalui pengenalan materi konsep diri perempuan yang dilakukan bersama UN Women, hal ini berdampak langsung bagi para perempuan yang mengambil bagian dalam kegiatan penguatan kapasitas perempuan ini danb ada pemulihan terjadi menurut penuturan para perempuan didaerah”.

Rika mengakui, pemulihan dari kekerasan fisik, psikis dan kekerasan simbolik dalam konsep Papua yang dominan pemeluk nasrani, tak bisa dilepas dari konsep religius. Pemulihan perempuan Papua sangat erat pengaruhnya dengan budaya religiositas iman Nasrani sendiri, tanpa itu tak bisa perempuan Papua dipulihkan dan sembuh. Kita mulai justru dari sana, ujar Rika mengakui.

Memang untuk memulihkan kaum perempuan, kaum laki laki juga harus turut dipulihkan. Pemulihan terhadap kaum laki laki akan meminimalisir dampak kekerasan terhadap perempuan karena laki laki juga diberikan pemahaman dan kapasitas sama bahwa ia tak boleh melakukan kekerasan terhadap perempuan an diingatkan.

Permintaan akan penguatan kapasitas bagi laki laki ini datang dari hampir semua perempuan yang mengikuti penguatan kapasitas itu. Kegiatan yang sepenuhnya didukung melalui kerjasama juga dengan” Worl Women Fondation” ini, sengaja menghadirkan para mediator dan pembina dari luar. Para mediator dan pelatih adalah orang orang yang benar benar berkapasitas, seorang pendeta dan punya hati dan mau bekerja untuk pemulihan perempuan Papua di daerah daerah kabupaten di Papua.

Bersama Biro pemberdayaan perempuan mereka sudah bekerja hampir setahun lebih di Papua, mengunjungi kampung kampung di Papua. Mereka bekerja dalam berbagai bidang kehidupan perempuan termasuk penguatan kapasitas ekonomi dan pengelolaan keuangan bagi perempuan” Pemulihan adalah kebutuhan utama Perempuan diPapua . Perempuan dipulihkan, maka Papua juga turut dipulihkan,” sambung Rika (Bersambung)

Senin, 03 Desember 2012 09:36, Binpa

Perempuan Papua Juga Mampu

Sabtu, 13 Oktober 2012 06:56, BintangPapua.com

Rode Ros Muyasin, Am.Pd
Rode Ros Muyasin, Am.Pd

Jayapura – Berbicara Sumber Daya Manusia (SDM) perempuan asli Papua, sebenarnya tidak kalah dengan kaum adam, hanya saja peluang tidak diberikan, sehingga kesan yang ada Perempuan asli Papua tidak mampu. Salah satu contoh, adanya kuota 30 % kursi yang diberikan di legislative, tapi kenyataannya tidak terealisasi dengan baik.

Demikian diungkapkan Ketua Pokja Perempuan Majelis Rakyat Papua (MRP), Ibu Rode Ros Muyasin, AM.Pd kepada Bintang Papua, Jumat (12/10), kemarin.
Dikatakan, karena peluang dibatasi, akibatnya perempuan asli Papua masih sangat jarang menduduki posisi yang strategis, baik di bidang pemerintahan maupun bidang lainnya, termasuk politik. Padahal lanjutnya, jika saja kesempatan itu diberikan seluas-luasnya, maka pasti perempuan Papua juga mampu.

Selain itu lanjutnya, ada factor lain yang membuat mereka tidak dapat bersaing yakni adanya permainan-permainan kotor dan menjatuhkan. Untuk itulah, pihaknya mendorong semua pihak agar ke depan keterlibatan perempuan Papua jangan lagi dibatasi, sebaliknya harus diberikan ruang untuk bisa berkompetisi di berbagai bidang kehidupan. Sebab ini adalah bagian dari tiga amanat UU Otsus, perlindungan, keberpihakan dan pemberayaan asli Papua. Menyoal adanya kuota 30 % kursi untuk perempuan di legislative, dikatakan jika berbicara masalah keadilan, semestinya harus porsinya sama-sama 50:50 persen. Tapi kenyataannya 30 persen saja yang diberikan masih juga ada masalah. Termasuk 11 kursi di DPRD yang diperuntukkan bagi orang asli Papua sampai sekarang tidak jelas. Karena itu, melalui Pokja Perempuan MRP mendorong semua pihak, saatnya perempuan Papua diberikan porsi yang sama dengan laki-laki. “ Jangan lagi ada diskriminasi masalah gender, dan stigmatisasi bahwa perempuan Papua tidak mampu, perempuan Papua juga bisa,”kata Rode Ros Muyasin, AM.Pd sedikit ‘menantang’. (don/don/l03)

Stop Sudah Kekerasan Terhadap Perempuan Papua!

JAYAPURA—Hasil Pendokumentasian Keke­rasan dan Pelanggaran Ham terhadap Perempuan Papua yang terjadi di era 1963 hingga kini telah menorehkan sejarah kelam yang membisukan para korban perempuan di berbagai Daerah dan Pelosok Papua.

Pendokumentasian fakta kelam kekerasan Perempuan yang merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM, dimana Perempuan Papua menjadi alat kekerasan dari relasi kekuasaan negara. Hal yang wajar pula, bila kaum perempuan Papua yang tergabung dalam Pokja Perempuan MRP mencoba melakukan pendokumentasian tentang apa yang mereka alami, rasakan dan sejauh mana kebijakan negara dengan fakta pendokumentasian ini sungguh berpihak pada perempuan Papua sebagai korban kekerasan, dimana perempuan itu berada. Ada suatu regulasi yang berpihak pda Korban kekerasan perempuan, sangat dinantikan.

Dalam kesempatan bedah buku hasil pendokumentasian fakta memoria Passionis perempuan Papua yang digelar, Kamis (7/10 ) di hadapan para pembedah yang berasal dari Fakultas Kriminologi Universitas Indonesia, hadir juga staf Pengajar dari Fakultas Hukum Uncen dan Komnas Perempuan yang turut dalam pendampingan pendokumentasian yang dilakukuan Tim Dokumenter Pokja Perempuan MRP.

Dalam pendokumentasian yang dilakukan Tim seperti diungkapkan kembali oleh Melani Kirihio dalam kesempatan awal bedah buku, terungkap bahwa begitu banyaknya tantangan dalam perjalanan ke sejumlah tempat dalam menemui kaum perempuan korban kekerasan dan tantangan yang kerap dihadapi disejumlah daerah rawan konflik.

Ketua Pokja Perempuan Papua, Mien Roembiak dalam presentasinya mengungkapkan tentang pengalaman kekerasan yang dialami perempuan Papua yang juga merupakan pelanggaran HAM di semua wilayah Papua dan Papua Barat sesuai fakta yang ditemui Tim Dokumenter menyebutkan, kekerasan itu tidak terlepas dari konflik Politik yang terjadi di Papua sejak integrasi di era 1963, yang banyak menyisahkan trauma pada Korban Perempuan yang sempat dicatat ada 261 kasus yang didokumentasikan dari 135 orang perempuan korban kekerasan seksual, Poligami dan adanya pembatasan ruang gerak, serta penganiayaan dan kekerasan berlapis lainnya, penelantaran karena masalah ekonomi dan Pemerkosaan yang menempati angka tertinggi dari kasus yang berhasil terdata dimana alat kekuasaan negara turut didalam melakukan kekerasan dan menyisahkan trauma mendalam pada korban Perempuan, belum lagi fakta riil pengalaman kekersan yang tidak terubgkap yang jauh lebih besar dari kasus yang sempat dicatata tim dokumenter MRP. papar Mien.

Satu rekomendasi dari beberapa rekomendasi yang dihasilkan menyebutkan, masalah kekerasan perempuan merupakan masalah kemanusiaan sehingga diperlukan regulasi kebijakan yang tertuang dalam satu bentuk aturan yang benar- benar melindungi perempuan dan Korban dari segala bentuk kekerasan dan pelanggaran HAM.

Secara terpisah, Wakil Ketua MRP Hana Hikoyabi mengungkapkan, momen peluncuran buku Kamis(7/10) ini, merupakan kesempatan dimana perempuan Papua melihat kenyataan kelam yang dialaminya, kembali mencoba untuk menguak sendiri masalahnya, mendokumentasikan sendiri semua kekerasan dan Pelanggaran HAM terhadap Perempuan dimana pendokumentasiann ini merupakan langkah awal pembelajaran dimana perempuan akan terus menerus melakukan sesuatu untuk dirinya secara mandiri hingga sampai pada kalimat, “ Stop Sudah Kekerasan dan Pelanggaran HAM Terhadap Perempuan Papua”, tegasnya.

Dengan adanya pendokumentasian fakta otentik tentang berbagai peta kekerasan terhadap perempuan yang dialami selama tiga periode sejak jamannya Integrasi Papua hingga Orde baru dan berujung saat orde reformasi kini, bukti yang dihasilkan dalam buku yang diluncurkan siang itu, diharapkan membawa suatu perubahan regulasi pada aras kebijakan Politik dalam produk peraturan atau undang undang yang benar benar berpihak pada perempuan korban dan lebih dari itu adanya upaya nyata soal kebijakan perlindungan perempuan kedepan dimana rantai kekerasan dapatdiputuskan, lebih dari itu adanya kesadaran bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran HAM.

Regulasi dari pendokumentasian dalam karya sebuah buku yang berjudul “ Stop Sudah” diharapkan pengaruhnya mampu menembus kebijakan dari alat alat negara yang selama ini melakukan kekerasan untuk merubah kebijakannya serta mendukung upaya perempuan Papua dalam memberikan perlindungan dari kekerasan berlapis yang dilakukan alat negara. Terlepas dari kekuasaan alat negara, regulasi yang diharapkan juga mampu membawa perubahan pemikiran di tingkat bawah dalam penangganan kasus KDRT.

Regulasi dari implemnetasi fakta yang tertuang dalam Advokasi “Stop Sudah” diharapkan berupa perda di tingkat Pemerintah Daerah dan Produk perundangan nasional yang bisa membawa perempuan pada kesejahteraan, damai, aman, maka perempuan Papua bangkit untuk menyuarakan sendiri pemenuhan hak hak perempuan, sehingga 17 Oktober dalam kesempatan peluncuran buku di canangkan sebagai peringatan hari “ Korban Kekerasan dan Pelanggaran HAM Perempuan Papua ungkap hana Hikoyabi. (ven)

Peran Perempuan Jangan Disepelekan

JAYAPURA–Perempuan sesunggguhnya memegang peranan penting dalam dalam membantu dan menopang kesejahteraan keluarga. Tak heran kalau Walikota Jayapura Drs MR Kambu, M.Si meminta agar tidak menyepelekan peran perempuan.

Dalam berbagai fakta menurutnya menunjukkan bahwa sudah banyak perempuan yang termotivasi untuk berwirausaha demi meningkatkan ekonomi keluarga. “Besarnya modal usaah dan lokasi strategis bulankan merupakan tolak ukur keberhasilan dan semangat untuk maju dan berubah namun harus diimbangi dengan kemampuan untuk kerja keras, ketekukan dan doa,” katanya di depan peserta Pelatihan Manajemen Usaha Bagi Perempuan Dalam Mengelola Usaha di Kota Jayapura yang digelar di Gedung Serba Guna (GSG) Kantor Walikota, Kamis (24/6).

Menurut Walikota, yang tidak kalah penting adalah bagaimana kaum perempuan dalam hal ini Mama-mama menata tempat usahanya secara baik, menjaga kebersihan serta menjaga kualitas usaha serta memberikan pelayanan yang baik juga menjadi cara yang tepat untuk bisa bersaing.

Kaum perempuan menurutnya selain memiliki jiwa kewirausahaan, sudah seharusnya juga dilengkapi dengan kemampuan mengelola manajemen usaha secara mantap dan handal. Untuk itu penting bagi peserta untuk memadukan jiwa kewirausahaan dengan kemampuan manajemen usaha yang mantap dan handal sebab itu akan menjadi modal usaha yang sangat dibutuhkan. “Karena berbagai aktor sudah menunjukan bahwa peran prodkstivitas kaum perempuan dalam kondisi apapun mampu menyelmatkan ekonomi rumah tangga keluarga,” katanya.

Semetara itu, Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Jayapura, Betty Pui mengatakan bahwa pelatihan yang digelar sehari dan diikuti oleh kaum perempuan dari 5 distrik di Kota Jayapura adalah kalangan usaha kecil diantaranya penjual pinang, kue, sayuran dan sebagainya. “Mereka tidak hanya dibekali bagaimana mengelola usaha tetapi juga akan diberikan modal usaha,” katanya.
Modal usaha tersebut kata Betty Pui untuk setiap orangnya diberikan sebesar Rp 1 Juta yang bersumber dari APBD Kota Jayapura.(ta/nat)

Permohonan Pengusutan Kasus Kematian

Jakarta, 5 Mei 2010

Kepada Yth.

Bapak Kapolda DIY

di

Yogyakarta

Nomor : 013/DG/DPR RI/V/2010

Lampiran : 1 (satu berkas)

Perihal : Permohonan Pengusutan Kasus Kematian

Jessica Elisabeth Isir (25 tahun),

Alumna STPMD

Up ↑

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Kopi Papua

Organic, Arabica, Single Origins

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny

Melanesia Web Hosting

Melanesia Specific Domains and Web Hosting

Sem Karoba Tawy

Patient Spectator of the TRTUH in Action

Melanesia Business News

Just another MELANESIA.news site

Sahabat Alam Papua (SAPA)

Sahabat Alam Melanesia (SALAM)

Melanesian Spirit's Club

Where All Spirit Beings Talk for Real!

Breath of Bliss Melanesia

with Wewo Kotokay, BoB Facilitator