The Road to Home, an award-winning feature length documentary about British-based West Papuan human rights campaigner Benny Wenda will be screening on Australian television from this November.
An agreement has been reached with SBS’s NITV channel for the film to screen 80 times over the next 3 years, starting from November 1.
Produced and directed by British filmmaker Dominic Brown, the film includes footage from Wenda’s first official overseas tour to the US, Australia, New Zealand and Papua New Guinea in 2013, and provides a rare insight into his campaigning work and family life.
Wenda was denied the opportunity to speak at New Zealand’s Parliament on that visit, but he is due back in New Zealand later this month.
He is expected to get a much warmer welcome this time as the West Papuan self-determination issue has had greater international exposure in the media in the past two years.
Obed Pahabol (kiri) dan Yosafat Bahabol (Kanan), menunjukkan luka akibat penyiksaan yang diduga dilakukan oleh polisi (Dok.AHRC)
Jayapura – Benarkah ketujuh orang warga tidak mengalami penyiksaan seperti diakui pihak Kepolisian Daerah Papua maupun Kepolisian Resort Jayapura?
Polisi diduga melakukan penyiksaan terhadap tujuh warga sipil. Ketujuh warga ini mengaku ditangkap di Depapre kemudian dibawa ke kantor Kepolisian Sektor (Polsek) Doyo untuk diinterogasi soal keberadaan Sebby Sambom dan Teryanus Sato. Saat ditangkap, ketujuh warga mengaku disuruh merayap menuju Polsek Depapre. Dan saat diinterogasi, mereka mengaku dimaki-maki, dipukul, ditendang hingga ditodong senjata oleh Polisi.
“Sampai kasih naik saya ke kursi, tendang, saya jatuh ke bawah, kasih naik saya lagi di kursi, sampe mereka suruh saya mengaku, ko antar Sebby kemana, ko antar Sato kemana?”
kata Eneko Pahabol.
Namun pihak kepolisian, baik Kepolisian Daerah (Polda) Papua maupun Kepolisian Resort (Polres) Jayapura, meski mengakui adanya penangkapan, membantah telah melakukan penyiksaan terhadap ketujuh warga yang ditangkap tersebut.
“Karena yang dicari tidak ditemukan akhirnya tujuh orang digiring ke Polres untuk dimintai keterangan. Tapi tidak disiksa. Bahkan saat diperiksa keluarga mereka dipanggil untuk menyaksikan bahwa Polri benar-benar profesional. Jadi tidak ada penyiksaan atau penganiayaan,”
kata Kabidhumas Polda Papua, I Gede Sumerta Jaya, Rabu (20/2).
Dua orang korban, Eneko Pahabol (23) dan Obed Bahabol (31) dalam kesaksian mereka, membenarkan bahwa mereka mengalami penyiksaan oleh Polisi. Keduanya mengaku dimaki-maki, dipukul, ditendang hingga ditodong senjata. Simak pengakuan keduanya di VIDEO KESAKSIAN KORBAN, berikut ini. (Jubi/Victor Mambor)
Pelaku Kekerasan NKRI dalam Video memang Akhirnya Diakui, Indonesia Pembunuh Bukan?
TERDAKWA : Salah satu prajurit TNI dari Kesatuan 753 AVT/Nabire, Kodam XVII/Cen¬derawasih yang melakukan pe¬nga¬niayaan dan kekerasan tera¬dap warga di Kampung Gurage, Kecamatan Tinggi Nambut saat sidang di Mahkamah Militer Kodam XVII/Cenderawasih, Kamis (13/1) kemarin
JAYAPURA [PAPOS] – Tiga prajurit TNI dari Kesatuan 753 AVT/Nabire, Kodam XVII/Cenderawasih yang melakukan penganiayaan dan kekerasan terhadap warga di Kampung Gurage, Kecamatan Tinggi Nambut, seperti yang terekam di “video kekerasan” pada “You Tube” sejak tahun 2010 lalu mengakui atas perbuatan mereka.
Dari keempat terdakwa yang disidangkan, Kamis (13/1) kemarin masing-masing bernama, Serda Irwam Rizkiyanto, Pratu Tamrin Mahangiri dan Pratu Yapson Agung.
Namun pada persidangan yang dilakukan selama 1 hari ini, akan kembali digelar, Senin (17/1) dengan alasan 5 saksi tidak hadir dalam persidangan.
Persidangan ketiga terdakwa ini dipimpin oleh, Letkol Adil Karo-karo digelar oleh Ouditur Militer III-19 Jayapura, namun karena 5 saksi tidak hadir dalam persidangan, sehingga terdakwa tidak dikenakan pasal 351 KUHP tentang penganiayaan.
Dalam persidangan ketiga terdakwa saat berhadapan di persidangan mengakui atas perbuatan mereka bahwa telah melakukan kekerasan dan penganiayaan terhadap kedua korban, Anggen Pugu Kiwo dan Telengga Gire asal Tinggi Nambut, Kabupaten Puncak Jaya.
Para tersangka masing-masing dikenakan Pasal 103 ayat 1 juncto ayat 3 ke 3 KHUPM, yaitu perbuatan tidak mentaati perintah atasan, dengan ancaman 2 tahun 6 bulan penjara.
Dari surat dakwaan ketiga terdakwa yang melakukan kekerasan dan penganiayaan terhadap kedua korban terjadi sejak tanggal 27 Mei 2010 lalu, sekitar pukul 12.00 Wit bertempat di Pos Gurage 753/AVT Nabire.
Awalnya, terdakwa melihat masyarakat melintas di depan Pos Gurage dengan menggunakan sepeda motor [ojek] tujuan menuju ke Mulia, Distrik Tinggi Nambut, Kabupaten Puncak Jaya, namun tiba seorang tukang ojek yang tidak diketahui identitasnya singgah di Pos TNI karena sepeda motor yang dikendarainya dalam keadaan rusak
Selanjutnya dari salah satu terdakwa bernama, Serda Suhaedi mendatangi kedua korban sambil menanyakan identitas kedua korban, akan tetapi setelah dilakukan pemeriksaan salah satunya tidakmemiliki KTP dan mereka tidak mengunakan bahsa Indonesia, sehingga terdakwa mengantar korban ke Pos.
Kemudian, terdakwa melihat dari salah satu kedua korban memakai kalung warna biru. Dimana dalam pengakuan terdakwa bahwa sebelumnya mendapat informasi untuk mewaspadai masyarakat memakai kalung berwarna biru yang diduga kelompok OPM.
Melihat kalung yang dipakainya itu, ketiga terdakwa semakin curiga lalu terus melakukan pemeriksaan.
Namun salah satu warga menyampaikan bahwa korban Anggen Pugu Kiwo merupakan bagian dari OPM, sehingga terus melakukan pemeriksaan dan memaksa untuk menggunakan bahasa Indonesia.
Karena kedua korban tidak mau menggunakan bahasa Indonesia, maka ketiga terdakwa mengikat kedua kaki korban dan tangan lalu menginjak serta menakut-nakuti dengan menggunakan pisau dan menempelkan di bagian hidung kedua korban agar menggunakan bahasa Indonesia.
Selanjutnya, ketiga terdakwa menutup kepala korban dengan menggunakan kantong plastic sambil membakar kemaluan korban.
Sementara terdakwa, Serda Irwan dan Pratu Yakson melakukan kekerasan dan penganiayaan terhadap kedua korban, terdakwa Prada Barno merekam dengan menggunakan Hanphone Merek Sony Ericson.
Selain memaksa kedua korban untuk menggunakan bahasa Indonesia, ketiga terdakwa ini juga memaksa korban agar mengakui tentang keberedaan senjata, sehingga kedua korban mengaku bahwa senjata tersebut di daerah Sanoba dan daerah Kalime.
Usai melakukan persidangan, ketiga terdakwa di kembalikan keruang tahanan Pomdam XVII/Cenderwasih untuk dilanjutkan pemeriksaan kembali terhadap 5 saksi.
Oditur persidangan, Mayor Soemantri mengatakan, ketiga terdakwa tidak kenai pasal 351 tentang penganiayaan karena tidak ada saksi korban. “karena nanti ketika dalam persidangan ditanya siapa yang sakit dan luka, kita tidak bisa membuktika,” tandasnya kepada wartawan usai pelaksanaan sidang.
Dia menjelaskan bahwa, untuk pembuktian terhadap korban harus disertai dengan visum yang dibuktikan oleh pemeriksaan oleh Dokter.
Ditanya soal ketidak hadiran saksi, Soementri menyampaikan bahwa ada 5 saksi dari prajurit TNI 753/AVT Nabire dan terdakwa, serta barang bukti berupa Vedeo kekerasan dan penganiayaan yang berdedar di media online “You Tube” akan dilanjutkan pada Senin (17/1) besok –Red. “nanti dilihat dari You Tube saat ketiga terdakwa mengintrogasi seorang warga bernama Anggen Kiwokiwo yang dicurigai sebagai salah satu anggota OPM.[loy]
Saudara/i sebangsa Tanah Papua, Lewat kesempatan ini kami kirimkan laporan video dari aksi yang di laksanakan pada tgl 6 oktober di kota Den Haag. SBY tidak jadi datang ke Belanda, tetapi sitiusi masih sama, bangsa Papua masih di jajah dan di terror oleh aparat nkri, jadi kami tidak batalkan aksi2.
Teman2 Belanda bantu kami dalam kampanje untuk mencapai awareness (pengetauan) tentang sejarah Tanah Papua dan situasi Tanah Papua. Kampanje lewat Quiz di jalanan. Jangan kami harap politik Belanda sebab mereka harus di didesak oleh bangsa/rakyat Belanda dulu baru, pemerintah Belanda bisa bertindak. Oleh sebab itu, kami harus turun jalan banyak dan gunakan semua cara2 untuk capai awareness di NL.