Kepala Suku Karbitan Pemerintah Hancurkan Kepemimpinan Honai

“Memasukanku dalam keseluruhan yang kau bayangkan menegasi diriku,” tulis Dostoevsky, seorang Sastrawan dan filsuf Rusia Keturunan Yahudi di masa hidupnya (11 November 1821-9 Februari 1881).

Kita mungkin telah lupa pemberitaan yang mengejutkan tentang sekelompok orang gunung yang memprakarsai kongres tiga tungku. Kongres tiga tungku itu telah memilih 16 kepala suku dari 16 kabupaten di Pegunungan Papua. Satu kepala suku menjadi pengendali 16 kepala suku. 16 kepala suku ini kemudian akan menjalankan tugas mengendalikan orang gunung di Jayapura, Keerom dan sekitarnya. Rencana pembangunan honai itu akan terwujud 2014. (Cepos,13/12/2013).

Kita belum tahu rencana itu sedang berjalan atau tidak tetapi yang jelas bahwa rencana mengendalikan orang-orang gunung melalui satu atap honai 16 pintu ini sangat menarik untuk kita diskusikan. Honai 16 kepala suku akan kendalikan orang-orang gunung di luar wilayahnya, terutama di Jayapura, Keerom dan sekitarnya. Kata mengendalikan ini sangat negatif bahkan buruk maknanya, bahwa orang-orang gunung menjadi sorotan, tidak lebih dari stigma tidak terkendali, liar dan buruk pola hidup atau gayanya. Semua makna buruk terbungkus tanpa kita sadari itu hasil kontruksi sebab akibat struktural pembangunan pemerintah yang berkuasa.

Diskusi sebab akibat itu sangat penting, tetapi kita harus menempatkan persoalan itu dalam ruang yang khusus. Ruang yang khusus perlu kita ciptakan tetapi terlepas dari agenda megendalikan, realistis saja bahwa orang-orang gunung tidak mungkin masuk dalam kendali 1 honai 16 pintu itu. Orang-orang sudah masuk menjalankan wejangan dari honai masing-masing di wilayah adat mereka walaupun ada di luar wilayah adatnya. Mereka bergerak dalam kendali pemimpin masing-masing honai adat tanpa mau meniadakan keputusan dan kepemimpinan yang lain. Karena itu, sangat sulit dan tidak akan diterima ide satu honai 16 pemimpin dalam kendalikan satu orang. Tambahan lagi, kalau posisi 16 kepala suku ini bukan generasi pemimpin adat. Sangat tidak mungkin diterima, apa lagi mengakui. Yang ada, mimpi untuk mengendalikan.

Perlu kita ketahui bahwa kepimpinan di gunung Papua, tidak seperti kepemimpinan kerajaan yang dibayangkan, dirancang dan digiring ke sana. Kalau pun berhasil digiring, kepemimpin model itu tidak ada makna kehidupan dan menghidupkan sama sekali dalam konteks orang gunung. Pemimpin model itu hanya memetik keuntungan, memanfaatkan kepentingan pemerintah mengendalikan warga gunung lewat satu kepemimpinan. Kepemimpinan model ini kepemimpinan semua di mata warga gunung, kecuali mereka yang mau memakan remah-remah hasil korporasi kepala-kepala suku karbitan pemerintah demi kepentingannya.

Saya tidak hendak menyoal pengertian negatif dengan melibatkan kepala-kepala suku boneka itu. Tapi saya berkepentingan lebih dengan kata honai yang hendak menjadi tempat para kepala suku karbitan itu. Orang gunung memiliki kontruksi honai yang asli pada umunya bulat (kecuali beberapa wilayah gunung, misalnya, Mee, Ngalum dan pesisir pantai) dan satu pintu. Atap honai bulat lonjong berbentuk nasi tumpeng atau seperempat bola pasket. Kontruksi itu tidak sekedar kontruksi yang terlihat mata. Lebih dari itu mengandung makna kontruksi filosofis, sosiologis, antropologis, ekonomis, politik dan komunikasi sosial, kesehatan dan perdamaian orang gunung ada di dalam honai.

Penulis lebih tertarik menyoal kontruksi sosialnya. Kontruksi sosialnya tergambar dalam bentuk honai yang bulat. Orang-orang yang masuk duduk melingkar melihat satu dengan yang lain. Komunikasi sosial berjalan lancar satu dengan yang lain. Orang-orang hidup dalam komunitas kebersamaan itu. Orang-orang Ngalum membangun kisah Aplim Apom di dalam Bokam yang bentuknya tidak bulat. Orang Ngalum membangun kisah “Kamu pegang tangan saya. Saya pegang tangan kamu. Kita berjalan bersama”. Kehidupan sosial menjadi yang sangat bermakna di sana.

Agus Alua mengulas makna honai yang bulat itu dalam buku Nilai-nilai hidup orang Hubula. Hubula adalah satu suku Dani yang berdomisi di ibu kota Kabupetan Jayawijaya. Menurut Agus, bentuk honai, tungku dalam honai, tempat masak serba bulat. Pola duduk makan bersama melingkar. Makan bersama, hidup bersama dan kerja bersama tanpa saling meniadaan dan menguasai. Komunitas melingkar itulah yang mebuat orang ada, hidup dan hidup menjadi bermakna positif.

“Kehidupan orang Huwula dalam komunitas. Orang yang berada diluar komunitas itu dianggap sudah mati,” tulis Agus Alua dalam bukunya yang diterbitkan Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur Abepura, pada tahun 2004 ini, di Kota Jayapura, Papua.

Penjelasan Agus menjadi jelas bahwa honai itu menjadi simbol hidup atau matinya orang yang lahir, besar dan hidup dalam honai. Orang gunung hidup kalau berada dalam satu honai, satu tungku yang bulat dan satu pintu honai. Kalau hidup di luar lingkaran dan satu pintu, honai yang banyak pintu dan banyak kepemimpinan, orang tersebut berada di luar komunitas. Pasti dampak buruk yang akan merongrong kehidupan komunitas dan individu. Orang-orang tertentu bisa saja membuat masalah kemudian menjadi masalah komunitas. Otomatis komunitas menjadi bagian dari diskusi masalah. Komunitas berada dalam acaman. Itulah yang menjadi keyakinan orang yang hidup dalam lingkaran honai.

Pembelajaran terhadap pengetahuan antropologi Papua yang diekplorasi membaca kekhwatiran itu dan mendorong mereka yang disebut kepala suku menyelenggarakan kongres tiga tungku. Kongres itu melahirkan 16 kepala suku dengan satu komando kendali. Kita salut dengan tujuan baik itu namun, masalahnya, kontruksi asli honai yang penuh makna sangat jelas bertentangan dengan kontruksi honai ala kongres tiga tungku itu. Makna honai yang asli dan kepemimpinan dalam honai di geser. Nilai-nilai yang ada dalam honai pun mulai direduksi dan dihancurkan.

Bentuk atau kontruksinya kita belum tahu persis bulat atau pajang tetapi dengan 16 pintu saja sudah menunjukan kontruksi honai tidak mungkin bulat lagi. Kalau pun bulat, tidak ada sisi honai yang utuh sebagaimana honai yang asli. Semua sisi honai habis terpakai dengan pintu-pintu yang identik dengan banyak lubang. Banyak cahaya yang menerobos masuk. Banyak jalan orang masuk keluar. Perpecahan dan perkubuan tercipta dalam honai. Honai tidak lagi menjadi tempat membangun kebersamaan, satu keputusan dan satu tindakan melainkan pepecahan yang tercipta dalam satu honai ala kepala suku abal-abal.

Kontruksi tersirat honai pajang itu identik dengan kontruksi Hunila. Hunila dalam bahasa orang Huwula, artinya itu tempat wanita menjalankan rutinitasnya menyiapkan makan-minum dan menjalankan keputusan dalam honai. Selama para wanita menyiapkan kebutuhan ekonomi, para para pria diminta tidak terlibat dengan harapan ada kebebasan di sana. Sementara, keputusan politik, ekonomi, budaya dan perang tidak mendapat tempat di sana. Keputusan yang diambil di dalam Hunila dianggap tidak bermakna, cerita-cerita kaum ibu dan anak-anak saja. Karenanya, keputusannya sangat tidak mengikat.

Kontruksi honai pajang itu juga mengingatkan kita pada Jew. Jew adalah rumah adat orang Asmat. Orang Asmat membangun Jew pajang dan banyak pintu. Banyak tungku ada di dalamnya menurut marga, simbol turunan. Turunan pertama atau marga pertama hingga marga terakhir. Marga pertama menjadi penjaga tungku induk dan menjadi penjaga cerita kehidupan orang Asmat. Semua keluarga dan keturunan berkiblat dan bersumberkan kehidupan di sana. Jew banyak pintu, banyak tunggku dengan satu tungku induk itu menunjukan satu komunitas satu sumber asalah usul kehidupan. Komunitas itu berkumpul dalam satu tungku melakukan diskusi, keputusan-keputusan hidup diambil bersama. Hidup kini maupun di masa yang akan datang berpusat dalam tungku induk.

Kontruksi rumah adat gunung atau pesisir yang berbedaa itu lahir dari situasi, konteks geografis dan lahir dari satu proses peradaban. Honai itu sangat pasti menjadi simbol peradaban orang-orang Papua dalam konteks kehidupannya. Orang gunung menjadi manusia yang beradap dalam honai yang bulat. Orang pesisir menjadi yang manusiawi dalam honai yang pajang. Bulat maupun pajang sama maknanya pusat kehidupan.

Walaupun sama-sama pusat kehidupan. Rasa memiliki terhadap honai sangat beda. Orang gunung sungguh merasa hidup kalau berada dalam honai yang bulat, satu tungku dan satu pintu. Perasaan itu membuat orang-orang gunung masuk keluar honai dengan bebas. Keputusan-keputusan yang lahir dari dalam honai mengikat dan menjadi pedoman kehidupan berjalan dan menetap. Hidup akan menjadi adil, damai dan sejahtera.

Rasa memiliki itu juga akan terasa pada kontruksi satu Honai 16 pintu. Honai yang lahir dengan tiba saat, tiba kepentingan, tiba akal membangun honai. Konsekuensinya jelas. Orang gunung pasti merasa tidak memiliki kecuali mereka yang berkepentingan. Sayang seribu sayang. Sok dewi penyelamat sedang merubah sejarah, merubah filosofi hidup, mungkin mengahcurkan dirinya sendiri atas nama satu kehidupan yang lebih baik. Kebaikan hidup itu tidak terasa akan menjadi kebaikan yang semu. Kita harap kebaikan semu, kebodohan yang dimanfaatkan tidak terwujud penuh. (Mawel Benny)

Source: TabloidJubi.com, Diposkan oleh : Benny Mawel on June 11, 2015 at 13:20:17 WP [Editor : Victor Mambor]

DPRP Minta Pembayaran Tanah Ulayat Harus Transparan

JAYAPURA – Komisi I DPR Papua, membidangi pemerintahan, politik hukum dan HAM meminta kepada Pemerintah Daerah dan kepada masyarakat pemilik hak ulayat agar transparan atau terbuka lebar dalam pembayaran tanah.

Pasalnya, proses pembayaran tanah selama ini masih banyak ditemukan permasalahan hingga saling mengklaim hanya karena masalah pembayaran tanah akibat kurang transparansi antara Pemerintah dan masyarakat pemilik hak ulayat.

Hal itu disampaikan Ketua Komisi I DPR Papua, Elvis Tabuni usai melakukan pertemuan dengan sejumlah masyarakat Nafri terkait pembayaran lokasi RSUD Abepura dan masyarakat Namblong, Kabupaten Jayapura, pada Rabu (3/6/2015).

“Kami sudah melakukan pertemuan dan hasil meminta kepada masyarakat agar mengumpulkan semua dokumen yang sudah dibayar yang selanjutnya melakukan pertemuan dengan pihak eksekutif, legislatif serta masyarakat, khususnya bagi yang memiliki tanah untuk duduk secara bersma-sama,” kata Elvis didampingi Wakil Ketua, Orwan Tolly Wonne, anggota Tan Wie Long dan Kusmanto.

Menurutnya, mengenai lokasi RSUD Abepura dari hasil pertemuan terungkap jikalai DIPA sudah ada. Namun yang menjadi persoalan hanya karena anak dan bapak saling menggunggat sehingga kini belum ada penyelesaian hingga di pengadilan negeri.

“Dana dari Dipa untuk pembayaran lokasi RSUD tapi khawatir untuk pembayarannya karena konflik yang terjadi antara masyarakat adat itu sendiri belum selesai. Padahal, keluarga sendiri yang saling mengklaim,” katanya.

Untuk itu, pihaknya selaku perwakilan rakyat akan memfasilitas agar mereka bisa dihadirkan untuk diselesaikan dan pemerintah menyiapkan anggaran untuk diserahkan langsung. “Apakah melalui pemerintah langsung atau bagaimana sistim pembayarannya. Yang jelas permasalahan sudah harus selesai,” katanya.

Dikatakannya, Rumah Sakit yang berada di daerah Abepura yang juga sebagai rumah sakit rujukan, harus diselesaikan karena tempat itu merupakan tempat untuk bisa menyelamatkan orang dari berbagai penyakit yang dialami masyarakat. “Mereka harus duduk bersama untuk menyelesakan itu dan tidak ada satupun yang tidak hadir,” cetusnya.

Ditempat yang sama, Tan Wie Long menyatakan, bahwa Komisi telah melakukan dua agenda pertemuan. Dimana, pertama melakukan hearing yang berkaitan dengan tuntutan ganti rugi tanah adat suku Nafri yang mana, lokasi adalah RSUD Abepura.

Dalam pertemuan tersebut, kata Along, dalam pertemuan tersebut terungkap bahwa Kepala Suku Marhabia tidak melibatkan anak-anak terkait pembayaran lokasi RSUD Abepura tersebut, sehingga kini jadi persoalan untuk menerima ganti rugi tanah tersebut. “Dana dari pemerintah sudah ada, tapi Pemerintah bingung mau diserahkan ke siapa,” katanya.

Untuk itu dalam waktu dekat, Komisi I akan memanggil pihak-pihak kepala Suku bersama keluarga dan pihak terkait untuk membahas persoalan tersebut. “Kami ingin agar mereka bersatu, sepikiran sehingga ketika dilakukan pembayaran tidak ada keributan. Harus mengedepankan masalah adat,” ujarnya. (loy/don/l03)

Source: BinPA, Kamis, 04 Jun 2015 17:23

Selamatkan Tanah dan Manusia Papua, MRP Segera Gelar RDP

JAYAPURA – Ketua Pansus Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat (RDP) MRP, Yakobus Dumupa, menyatakan, terkait permasalahan Tanah dan Manusia Papua, MRP segera menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang akan dilaksanakan tanggal 26-29 Mei 2015, dengan fokus masalah penyelamatan Tanah dan Manusia Papua.

Dikatakan, RDP ini melibatkan Pemerintah, baik Provinsi Papua maupun Provinsi Papua Barat, DPRP di dua Provinsi ini dan masyarakat adat di tujuh zona adat di Tanah Papua. Sedangkan Tema yang diusung yaitu tentang Pertanahan dan Kependudukan, pasalnya kedua tema ini merupakan masalah besar yang sedang dihadapi masyarakat adat Papua.

Dalam RDP ini seluruh masyarakat bersama Pemerintah di dua Provinsi ini hendak mendiskusikan permasalahan Tanah dan Manusia mengingat Tanah dan Manusia Papua tengah dalam ancaman kepunahan. Dalam RDP ini mencari solusi dalam penyelesaian masalah Tanah dan Penduduk. “Setelah solusi didapatkan tentang bagaimana menyelamatkan Tanah dan Manusia Papua ini, kami akan lakukan aksi bersama,” ujar Yakobus Dumupa di Kantor MRP Selasa ( 24/3).

Aksi bersama itu akan dilakukan dalam deklarasi tentang Tanah dan Manusia Papua, dimana deklarasi itu mengikat semua pihak di Tanah Papua untuk melakukan aksi menyeluruh dengan tahapan yang akan dilakukan melalui sosialisasi. Menurut Ketua Pokja Adat MRP ini, sosialisai tentang Tanah dan Manusia Papua ini sudah dilakukan di media.

Selanjutnya sosialisasi ini akan berlanjut dalam kegiatan reses anggota MRP di masing masing wilayah. Dalam sosialisasi ini akan disampaikan sejumlah hal terkait masalah Tanah dan Manusia Papua di ketujuh zona adat, hasil dari sosialisasi ke masyarakat adat itu jadi masukkan dan pertimbangan MRP untuk selanjutnya menjadi bahan diskusi permasalahan kependudukan.

Dalam RDP nanti, seluruh hasil sosialisasi ke masyarakat itu menjadi bahan sekaligus pegangan masyarakat yang akan disampaikan dan didiskusikan dalam RDP nanti. “Jadi masyarakat punya bekal untuk sampaikan pendapatnya,” ujar Dumupa sambil menambahkan sosialisasi ini merupakan tahapan yang sudah disiapkan.

Sebagai Ketua Pokja Adat dan Ketua Tim RDP dirinya menghimbau kepada semua pihak di Tanah Papua untuk mendukung dan mensukseskan kegiatan tentang Penyelesaian masalah Tanah dan Manusia Papua ini.(Ven/don/l03)

Source: Jubi, Selasa, 24 Maret 2015 23:57

MSG Perlu Perjanjian untuk Melindungi Budaya dan Pengetahuan Tradisional Melanesia

Jayapura, 26/4 (Jubi)- Negara-negara Melanesia maupun kelompok budayanya sedang merencanakan untuk merumuskan sebuah perjanjian, agar mampu melestarikan pengetahuan tradisional atau traditional knowledge (TR) dan ekspresi budaya atau expression of culture (EC). Perlindungan dan pelestarian ini sangat penting bagi masyarakat budaya Melanesia akibat pengaruh globalisasi.

Guna mengejar target ini, konsultasi nasional tentang kerangka perjanjian MSG tentang Perlindungan Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya belum lama ini digelar di Suva, Fij.

Apisalome Movono, Sekretaris Deputy Menteri Pendidikan, Culture and Heritage saat menyampaikan sambutan pembukaan konsultasi ini sangat penting dan menjadi kebutuhan bagi negara-negara MSG dan kelompoknya untuk melindungi serta mempromosikan budaya-budaya Melanesia.

Dia mengingatkan para peserta bahwa ada kebutuhan yang kuat untuk melindungi tradisi dan budaya yang unik di negara-negara MSG atau kelompok-kelompok budaya Melanesia.

“Konsultasi ini akan membahas isu-isu hak kekayaan intelektual yang diwariskan dari generasi ke generasi dengan cara pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya, kepemilikan hak intelektual, praktek dan tantangan yang akan dihadapi akibat perubahan globalisasi,”

kata Movono yang dikutip tabloidjubi.com Sabtu(26/4) dari Pacnews online.

Tujuan dari perjanjian memerlukan perlindungan dan menjaga pemilik tradisional dan kustodian terhadap penyalahgunaan, salah urus dan penyalahgunaan TK dan EC mereka, mendukung anggota Pemerintah MSG untuk melaksanakan TK nasional mereka sendiri dan legislasi EC dan pembentukan Otoritas Kompeten Nasional.

Sebuah resolusi akan disampaikan kepada Menteri yang bertanggung jawab membentuk dasar untuk ratifikasi Fiji atau mempersiapkan diri untuk Fiji TK nasional sendiri dan undang-undang EC yang saat ini sedang disusun oleh kantor Negara Hukum.

Lokakarya yang berlangsung dua hari di Suva, Fiji juga membahas isu-isu kesepakatan regional dan hubungan dengan Fiji, hubungan Perjanjian pada Konvensi internasional yang diratifikasi Fiji seperti tahun 2003 Konvensi Warisan Budaya Takbenda. Tujuan dari perjanjian MSG dan relevansinya dengan Instruments Hukum National, saat ini sedang dikembangkan dan Otoritas Kompeten yang akan mengelola TK dan Perjanjian EC untuk Fiji. (Jubi/dominggus a mampioper)

Enhanced by Zemanta

Ormas P2MAPTP Terbentuk, Harusnya Aparat Berkaca Diri

JAYAPURA – Pengamat Sosial Politik, HAM dan Hukum Internasional FISIP Uncen Jayapura, Marinus Yaung, mengatakan, seharusnya pihak keamanan merasa tersinggung dan berkaca diri dengan dibentuknya organisasi masyarakat (Ormas) baru yakni Pusat Pengendalian Masyarakat Adat Pegunungan Tengah Papua (P2MAPTP).

Pasalnya, Ormas ini merupakan wujud nyata ketidakpercayaan pejabat dan elite politik Papua terhadap kinerja dan tanggung jawab TNI-POLRI dalam menjaga keamanan di wilayah Pegunungan Tengah Papua.

Semakin tingginya eskalasi konflik dan kekerasan di Pegunungan Tengah, walaupun seluruh kekuatan personil militer dan senjata telah dikerahkan, namun belum bisa mengendalikan situasi keamanan di sana.

Situasi ini menimbulkan kecurigaan yang kuat di kalangan pejabat dan elite politik Papua akan keterlibatan pihak keamanan dalam pusaran konflik di Pegunungan Tengah.

“Meningkatnya kecurigaan inilah yang menjadi alasan kuat dibentuknya Ormas baru ini untuk berperan aktif dalam menciptakan dan mengendalikan situasi keamanan di Pegunungan Tengah,” ungkapnya saat menghubungi Bintang Papua via ponselnya, Senin, (31/3).

Baginya, inilah bom waktu konflik horisontal yang sudah diletakkan pejabat Papua. Kehadiran Ormas ini akan semakin menimbulkan saling kecurigaan diantara sesama orang Papua dan juga diantara pihak keamanan dengan Ormas ini. Dan tinggal menunggu waktu saja konflik terbuka dalam skala yang lebih luas dengan jumlah korban yang jauh lebih besar muncul kepermukaan.

Konflik ini akan bermula dari dalam birokrasi Pemda Provinsi Papua, karena biaya operasional Ormas ini akan diambil dari pos anggaran mana? Dari dana Otsus atau dana pribadi pejabat gubernur atau bupati-bupati se-Pegunungan Tengah? Adakah dana yang sudah dianggarkan dalam APBD Papua 2014 untuk ormas seperti ini?.

Ketidakjelasan pembiayaan ini akan menimbulkan konflik kepentingan dalam birokrasi Pemda Papua. Sangat sulit memang mengikuti logika berpikir Gubernur Papua Lukas Enembe belakangan ini. Kita berharap terciptanya perdamaian dan keadilan di Papua lebih cepat, sehingga pembangunan bisa berjalan dengan baik menuju masa depan Papua yang jauh lebih baik, tetapi menilai report kinerja Gubernur Papua Lukas Enembe menjelang satu tahun kepemimpinannya ini, dirinya tidak tahu Papua ini mau di bawah kemana.

Diakui Program kerja gubernur yang dipublikasikan Bappeda Provinsi Papua terlihat bagus di atas kertas, tapi dalam logika politik pemerintahan,suatu program kerja dikatakan memiliki prospek yang baik apabila ketika dipublikasikan, akan langsung memiliki dampak terhadap meningkatnya dukungan rakyat terhadap kinerja pemerintah. Yang dibuktikan dengan berkurangnya aksi-aksi protes dan aksi-aksi ketidakpercayaan lainnya.

Apakah terbukti? Justru yang terjadi adalah semakin banyak muncul rasa tidak simpati dari pegawai sendiri terhadap kinerja gubernur dan juga semakin menguatnya keinginan rakyat Papua untuk keluar dari NKRI. Semakin menguatnya perlawanan rakyat Papua terhadap kinerja gubernur yang merupakan kepanjangan tangan presiden, masa depan Papua benar-benar suram dan tak menentu.

“Ormas P2MAPTP hadir bukan untuk menjadi solusi, tetapi menjadi bagian dari kompleksitas persoalan Papua yang belum ada ujung akhir penyelesaiannya. Hentikan segera semua praktik politik DEVIDE ET IMPERA di Tanah Papua kalau orang Papua mau lihat tercipta perdamaian dan keadilan di atas tanah yang kita cintai bersama ini,” tandasnya.

Di tempat terpisah, Tokoh Intelektual asal Pegunungan Tengah, Agus Adepa, menandaskan, sistem kepemimpinan di Pegunungan Tengah tidak seperti itu yang mana kepala suku dipilih dan dilantik. Sehingga tindakan hadirnya P2MAPTP ini sudah melanggar adat masyarakat Pegunungan Tengah.(nls/don/l03)

Selasa, 01 April 2014 06:59, Binpa

Papua Dalam Expert Meeting Tentang Masyarakat Adat Di Jenewa, 19 Maret

Jeffrey Bomay (kanan) dalam Expert Meeting (Dok. Jubi)

Jayapura, 23/3 (Jubi) – Sebagaimana tradisi yang berlangsung dalam setiap sidang Dewan HAM PBB (UNHRC), sebuah expert meeting selalu diselenggarakan untuk memperluas penggunaan standard internasional Hak Asasi Manusia yang lebih efektif. Selama beberapa tahun terakhir, Expert Meeting ini dilakukan oleh Geneva for Human Right (GHR).

Tahun 2014 ini, Expert Meeting ini mengambil tema Masyarakat Adat: Menjelang Konferensi Dunia. Expert Meeting ini secara umum dilakukan untuk meninjau tindakan PBB terhadap masyarakat adat, dan persiapan Konferensi Dunia tentang Masyarakat Adat. Sementara tujuan khususnya adalah untuk menyadarkan orang-orang yang berpartisipasi dalam Dewan HAM PBB mengenai keberadaan standar dan mekanisme hak asasi manusia  internasional tentang masyarakat adat. Juga untuk berbagi pengalaman dan keahlian pada tren terbaru tentang perlindungan masyarakat adat dan untuk menyadarkan peserta tentang tantangan utama dalam proses persiapan Konferensi Dunia tentang Masyarakat Adat itu sendiri.

Masyarakat Adat Papua menjadi salah satu topik dalam Expert Meeting ini. Jeffrey Bomay, aktivis Papua yang hadir sebagai perwakilan rakyat Papua mengatakan kepada Jubi, expert meeting ini didukung oleh Dewan HAM PBB, Switzerland, Norwegia dan Mexico, serta badan gereja-gereja sedunia (WCC) yang berpusat di Genewa. Selain dirinya yang hadir sebagai pembicara dalam expert meeting hari Rabu, 19 Maret 2014 itu, hadir juga Dr. Olav Fykse Tveit, SG (WCC), Amb. Luis Alfonso de Alba (Mexico), John Henriksen (Norway), Penny Parker (Advocates for Human Rights), Perwakilan Dewan HAM PBB, David Matthey-Doret (DOCIP), Suhas Chakma, ACHR (India) dan Ngawang Drakmargyapon (UNPO).

Poster expert meeting (Dok. Jubi)

Poster expert meeting (Dok. Jubi)

“Untuk sesi saya, saya menekankan soal pembunuhan di Timika penangkapan dan pemenjaraan ketua DAP Forkorus, Fillep Karma dan Victor Yeaimo dan penyisiran masyarakat sipil di Puncak Jaya. juga isolasi Papua dari perhatian international seperti NGOs atau pelapor khusus PBB dan badan-badan international lainnya,”

kata Jeffrey Bomay saat dihubungi Jubi, Sabtu (22/3).

Bomay mengatakan ia mendapatkan 18 pertanyaan menyangkut masyarakat asli Papua. Salah satunya adalah pertanyaan dari Perwakilan Norwegia, tentang sejarah Papua Barat, terutama Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969.

“Saya katakan Pepera harus di uji secara hukum international karena dilakukan dalam keadaan Papua sudah dianeksasi oleh Indonesia. Pepera dilakukan pada tahun 1969 kontrak pertambangan PT. Freeport sudah dilakukan pada tahun 1967, dua tahun sebelum pelaksanaan PEPERA 69. Inilah akar masalah yang membuat rakyat Papua tetap menolak hasil Pepera itu. Pelaksanaannya juga tidak mematuhi prosedur international bahwa satu orang satu suara, tetapi Indonesia mengubah itu dengan tekanan militer sehingga yang memilih hanya 1025 orang saja.”

kata Bomay.

Srilanka dan Norwegia, lanjut Bomay menanyakan tentang Otonomi Khusus di Papua. Lebih khusus mereka menanyakan, mengapa Otonomi Khusus disebut Solusi Diskriminasi oleh rakyat Papua.

“Saya berikan gambaran pada mereka bahwa Otonomi Khusus telah menghadirkan 60 kabupaten di Papua dan akan bertambah lagi 12 jika Daerah Otonomi Baru disetujui oleh DPR RI. Ini tidak masuk akal bagi penduduk Papua yang hanya berjumlah 3,6 juta dengan populasi masyarakat asli Papua sekitar 1,2 juta jiwa saja.”

ujar Bomay.

Ini, tambah Bomay lagi, telah memberikan peluang bagi penduduk Indonesia lainnya untuk masuk ke Papua, karena pemekaran daerah akan membutuhkan banyak sumberdaya manusia. Sementara masyarakat asli Papua sendiri belum dipersiapkan untuk pemekaran-pemekaran ini.

Mengenai Expert Meeting ini, Geneva for Human Right menjelaskan kepada Jubi melalui surat elektronik, bahwa dalam proses konsultasi dengan NGO dan pembela HAM, yang bekerja di bawah kondisi yang sulit, semua menuntut implementasi langsung dari standar HAM internasional. Mereka menyoroti prioritas mereka terhadap hukum kemanusiaan, isu-isu makro ekonomi, perjuangan melawan impunitas hingga perlindungan pembela HAM.

“Bahkan, baru-baru ini dalam hubungan kerja dengan mitra GHR, kekhawatiran lain muncul: hak-hak masyarakat adat dan kekerasan terhadap perempuan. Ini masalah spesifik isu-isu prioritas di semua Program GHR.”

tulis sekertariat GHR dalam surat elektronik yang dikirimkan kepada Jubi.(Jubi/Victor Mambor)

  on March 23, 2014 at 11:56:42 WP,TJ

Lagi, Perang Suku di Mimika

Sulistyo Pudjo HartonoJAYAPURA “ Perang suku yang melibatkan sejumlah suku di Kabupaten Mimika, Sabtu (1/2) lalu kembali terjadi, hingga mengkibatkan belasan orang yang terlibat perang mengalami luka-luka.

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Papua, Komisaris Besar Sulistyo Pudjo Hartono, S.Ik., saat dikonfirmasi Bintang Papua membenarkan adanya perang suku di Jayanti, Kabupaten Mimika, Papua. “Perang suku tersebut melibatkan sejumlah suku di Mimika, pada Sabtu (1/2) pagi dan mengakibatkan belasan orang luka-luka di lokasi perang tepatnya di Jayanti, Mimika,” ujarnya.

Pudjo menjelaskan, perang suku tersebut dipicu perebutan tanah hak ulayat di Mimika. Untuk itu, pihak kepolisian akan menggelar pertemuan di Polres Mimika dengan menghadirkan sejumlah lembaga masyarakkat adat serta Plt. Bupati Mimika.

“Dari informasi Polres setempat, perang suku tersebut dipicu perebutan tanah hak ulayat dan kini kami masih menunggu pertemuan hari Senin di Polres dengan menghadirkan Lemasko, Lemasmos dan Lembaga Adat lain dengan Plt Bupati Mimika,”

katanya.

Untuk mengantisipasi perang susulan, Pudjo mengklaim kepolisian setempat telah menyiagakan satu Pleton Brimob dan satu Pleton Dalmas dilokasi untuk antisipasi provokasi dari kedua belah pihak. “Dari informasi terakhir, kedua belah pihak sudah menarik diri, karena tidak ada korban,” tegasnya. (loy/don/l03)

Senin, 03 Februari 2014 01:59, BintangPapua.com

Enhanced by Zemanta

Wone yi a’nduk mbanak me, Password erilek mbanggo, a’nduk pekorak ake

Wone ye agak nde agak wage logonet, ninoba tobak togon unggwi wororak negen erambe age me, ninone paga liru mbanirak konggorak yi, nit Papua Merdeka News nen kit ap kinegin worak eyonggame monggotak inom, enege liru wakwe monggotak inom, tawe apit ome wonogwe inom, apit aret, nit kunume wonogwe inom, ninawone ambet nggaru kawok nduk, wone man ninone paga endage “Popok wone yogwe nogogwarak!” yogwe nogo yogondak ya agak nda agak arit nogwe, Indonesia mu’neren ekwe logonet, o eyom inom, o nggeme inom abu arupok, mandenom popok wone mbanubok age ti kenok, nit mbakwe logonet, Lani ninone paga aret mbanumunggurak me, ye ap nde ap yororak kenok, nit ninone paga mbanak ti aret ndi-ndi tumburogo nonggwe logowak mbakorak.

Lani ninone ti ebe “Bahasa Melanesia terbesar penurut aslinya” togop aret yogwe me, Lani wone yi lek age kero, ake inom konggwe logonet, Internet yi paga mbanggo.

Ye wone nde wone kit ambe yurak mbakotak kenok, kote wone, kurumbi wone kenok, email erogo pinanino: koteka@papuapost.com, ata papuapost@yahoo.com ata info@freewestpapua.org ata newsdesk@infopapua.org

Wone ambik aret wonage me, pelarit-palarit awo kagak paganirak mea o. Ata logonet yuwok nduk, kit mendek email pino. Email yahoo atau gmail paga mbo puwok, ata email nit mendek domain paga mendek kero. Wakagal yogop: info@papuapost.com, ata info@knpbnews.com, ata info@bintangpapua.com togop mendek kero mban layani eriyak mbako, nde gmail atau yahoo mendek kenok, email ebe pu’lit mendek kagak erukwak me.

Wa, wa, wa! Kingor akem ! Ninogur Akem! Wa

 

WPNews Group Servies Online
Collective Editorial Board of the Diary of Online Papua Mouthpiece

UU Desa, Lalu Selanjutnya Apa?

Jakarta – Setelah proses legislasi sangat panjang, akhirnya RUU Desa disahkan menjadi UU oleh DPR. Pengesahan UU ini dipercaya akan memberikan perubahan signifikan bagi pembangunan Indonesia ke depan. Jelas, ada harapan perubahan orientasi pembangunan dari sebelumnya cenderung meng-anak-emas-kan kota, kini diharapkan bisa melihat desa sebagai tulang punggung pembangunan manusia dan ekonomi Indonesia. Dengan pengesahan ini desa akan memiliki perangkat yang dijamin kesejahteraannya oleh pemerintah, pendirian badan permusyawaratan desa (BPD), potensi transfer tunai dari pemerintah pusat maupun daerah hingga Rp 1 miliar per desa, dan ada kesempatan bagi warga desa untuk menentukan penggunaan anggaran yang dimiliki oleh desanya.

Saya melihat, dua nilai luhur Indonesia, musyawarah dan gotong royong akan menjadi kunci dari suksesnya implementasi UU Desa. Keberadaan BPD yang diharapkan sebagai wadah menampung aspirasi warga akan penggunaan anggaran untuk pembangunan desa seharusnya mampu menumbuhkembangkan semangat bermusyawarah dengan bijak dan adil. Saya kira, sudah saatnya perangkat desa juga memiliki kapasitas untuk melakukan perencanaan partisipatif yang melibatkan warga secara aktif.

Sebuah contoh sukses tentang partisipasi warga dalam perencanaan dapat merujuk pada kota Puerto Alegre di Brazil, di mana walikota memberikan kesempatan bagi warga untuk menuliskan prioritas pembangunan yang diinginkan dan hasil dari proses partisipatif ini menjadi keputusan penetapan alokasi anggaran dan arah pembangunan. Setelah sebuah konsensus hasil musyawarah terbentuk, tentu diharapkan gotong royong warga juga lahir untuk turut mendukung program yang telah disepakati. Saya kira, warga desa memiliki keterikatan sosial yang erat, sehingga semangat ini bisa muncul dengan sentuhan bijak dari perangkat desa yang berwenang.

Dalam dekade terakhir, ada beberapa program pemerintah yang telah mencoba mensimulasikan implementasi UU Desa, salah satunya adalah PNPM Mandiri Perdesaan. Tentu dari program yang telah berjalan ini, pemerintah bisa memetik pembelajaran hal apa saja yang perlu didukung agar UU Desa ini menuai hasil efektif dan efesien, seperti pelatihan penganggaran, skema perencanaan partisipatif, dan juga pola pengawasan dalam desa.

Kita tentu berharap dengan keberadaan UU Desa ini dapat memberikan kekuatan kepada desa agar semakin berdaya dan mampu menarik warga muda untuk berkarya dan mengembangkan desa. Besar harapan dari proses penganggaran di desa bisa menelurkan program bersifat produktif dan berorientasi jangka panjang, seperti inisiasi potensi ekonomi, peningkatan kualitas pendidikan, dan perbaikan infrastruktur dasar. Saya percaya, bila UU Desa ini berjalan dengan baik, akan terjadi pergeseran perpektif dari para pakar Indonesia agar lebih berpikir tentang desa: seorang arsitek yang mampu mendesain tata desa yang humanis, seorang ahli pemerintahan yang bisa membuat model tata pemerintahan desa yang modern, atau seorang insinyur yang mampu membuat perangkat teknologi aplikatif untuk skala desa.

UU Desa telah disahkan, ini bukanlah akhir dari perjuangan untuk membangun Indonesia dengan kekuatan desa. Justru ini adalah babak baru yang perlu disiapkan secara komprehensif oleh seluruh potensi keilmuan dan kebijakan Indonesia. Tidak hanya warga desa yang perlu musyawarah dan gotong royong, kita yang tinggal di kota pun perlu turun tangan untuk bersama membangun 72.000 desa Indonesia.

Tepian Sungai Pesanggrahan, 22 Desember 2013

Keterangan: Penulis adalah seorang pemerhati politik ekonomi.

Senin, 23/12/2013 21:35 WIB. Ridwansyah Yusuf Achmad – detikNews

Pemalangan Kembali Terjadi di Manokwari

Manokwari (Sulpa) – Masyarakat pemilik hak ulayat kantor Uji Kelayakan Kendaraan Dinas Perhubungan Manokwari di Jalan Essausesa Sowi, distrik Manokwari Selatan memalang kantor itu karena belum melunasi hutangnya.

Koordinator aksi, Isak Indou dalam aksi itu mengatakan, dari Rp 1.650.000 total harga tanah seluas dua hektar ini, Pemda baru membayar Rp 13 juta.

“Persoalan ini sudah cukup lama, tapi seakan-akan Pemda malas tahu,”

katanya.

Mereka memberikan waktu lima hingga sepuluh hari ke depan kepada Pemda agar melunasi hutang itu. Pihaknya mengancam akan mengambil lahan itu jika Pemda belum membayar.

“Jika dalam waktu lima hingga sepuluh hari, pemda belum membayar, kami akan kembalikan uang Rp 13 juta yang telah dibayar. Dan kami akan ambil kembali tanah kami,”

katanya.

Isak melanjutkan, pemalangan ini sudah dilakukan kedua kalinya. Tahun lalu mereka memalang kantor ini, tetapi pemerintah tidak gubris.

“Jika aksi ini tidak juga mendapat respon, maka kami tidak akan lagi mentolerir,”

katanya.

Terpisah, Kepala Dinas Perhubungan Manokwari Beni Boneftar mengaku, akan segera berkomunikasi dengan bupati Manokwari. Pihaknya mengupayakan agar persoalan ini dapat terakomodir pada APBD 2014.

“Kami akan segera sampaikan ke pimpinan, karena cuma beliau yang dapat mengeluarkan kebijakan,”

katanya.

Beni menilai, hal ini wajar, sebab, persoalan ini cukup lama. Menurut dia, Pemda harus segera membayar hak masyarakat. Ia mengakui jika Pemda baru membayar Rp 13 juta dari total harga tanah tersebut. (b/k4/r5)

Thursday, 19-12-2013, SulPa

Up ↑

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Kopi Papua

Organic, Arabica, Single Origins

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny

Melanesia Web Hosting

Melanesia Specific Domains and Web Hosting

Sem Karoba Tawy

Patient Spectator of the TRTUH in Action

Melanesia Business News

Just another MELANESIA.news site

Sahabat Alam Papua (SAPA)

Sahabat Alam Melanesia (SALAM)

Melanesian Spirit's Club

Where All Spirit Beings Talk for Real!

Breath of Bliss Melanesia

with Wewo Kotokay, BoB Facilitator