Perlu Ada Sensus Orang Asli Papua

Socratez YomanJAYAPURA-Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja Baptis (PGGB) Papua, Socratez Yoman, menyatakan dalam waktu dekat ini akan melayangkan surat terbuka kepada Gubernur Papua dan Papua Barat, yang sifatnya Urgent/mendesak.

Dijelaskan, dalam isi suratnya itu, dirinya menyatakan bahwa melihat belakangan ini terjadi pemekaran kabupaten/kota dan provinsi di Papua dan Papua Barat, yang kenyataannya terkesan liar dan miskin prosedur administrasi di Tanah Papua.

Sehingga disini perlu adanya sensus untuk mengetahui jumlah penduduk asli Papua. Tujuannya untuk membuktikan berapa jumlah penduduk orang asli Papua yang sebenarnya. Pemekaran yang tidak melalui mekanisme dan prosedur syarat-syarat pemerintahan seperti luas wilayah, jumlah penduduk, sumber daya manusia (SDM) , sumber daya alam (SDA).

Karena kondisi yang terjadi selama ini, ternyata wilayah yang sama, rakyat yang sama, tapi ada hadir dua atau tiga bahkan empat kabupaten, yang notabenenya pemekaran itu merupakan bagian dari operasi militer, operasi transmigrasi, politik pecah belah orang asli.

Ditandaskannya, total jumlah penduduk Papua saat ini sebanyak 3.600.000 jiwa, yang terbagi dalam, orang asli Papua 1.700.000 jiwa, dan orang pendatang 1.980.000 jiwa (jumlah penduduk di Jawa Barat hanya 30 juta jiwa).

“Jumlah penduduk asli Papua 1,7 juta jiwa itu apakah jumlah yang benar dan apakah lebih banyak membutuhkan pemekaran kabupaten/kota dan provinsi?,” ungkapnya kepada Bintang Papua via ponselnya, Sabtu, (5/10).

Dengan demikian, jika Papua di tambah lagi tiga provinsi lagi (Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Barat Daya). Maka jika dengan kondisi 5 provinsi, tentunya tiap provinsi hanya 736 jiwadan ini membuktikan bahwa Papua benar-benar daerah pendudukan.

“Kalau dimekarkan ini jelas tidak memenuhi syarat-syarat administrasi pemerintahan seperti wilayah, penduduk, SDM, dan SDA. Untuk membuktikan jumlah yang sebenarnya jumlah penduduk asli Papua, maka harus adanya Sensus penduduk yang melibatkan gereja-gereja dan LSM-LSM,” pungkasnya.(Nls/don/l03)

Senin, 07 Oktober 2013 05:57, BintangPapua.com

Satu Tanah, Satu Hati, Satu Budaya

MRP Papua dan Papua Barat Sepakat Join Sistim Bahas Hak Orang Papua

JAYAPURA – Majelis Rakyat Papua dan Papua Barat bersepakat menyatukan hati, bersatu menyelesaikan masalah- masalah di Tanah Papua dengan memperjuangkan hak hak orang asli Papua di bawah motto, “ Satu Tanah, Satu Hati dan Satu Budaya”.
Deklarasi penyatuan persepsi MRP Papua dan Papua Barat itu dilakukan dalam sebuah kesempatan rapat tim kerja evaluasi Otsus Papua perspektif masyarakat asli Papua yang digelar di Kantor MRP Papua, Kamis( 11/7) .

Penyatuan persepsi bersama untuk kedua MRP ini dilakukan dalam rangka mengikat dua lembaga kultural masyarakat asli Papua ini dengan menerapkan Join Sistim dari dua lembaga MRP ini yang dinilai sebagai panggilan dan menjadi moment yang harus dilakukan untuk kepentingan melindungi hak hak dasar orang orang Papua di atas Tanah Papua.

Join Sistim ini dibuat ketika MRP Papua memutuskan memperjuangkan hak dasar yang sesungguhnya sama dengan apa yang dilakukan MRP Papua Barat dengan sebutan , Join sistim. Ini sesungguhnya tak berbeda dengan apa yang diinginkan MRP Papua.

Join Sistim merupakan sebuah alat untuk menyatukan persepsi, menyatukan pandangan. Dengan Pertemuan kali ini kedua MRP menyatakan melegalkan semua persepsi untuk membela hak dasar orang asli Papua, selain itu Join Sistim juga merupakan sebuah alat menyatukan visi, pandangan kedua lembaga kultural ini. “Join Sitim ini dilegalkan bersama,” ungkap Wakil Ketua MRP Papua Barat, Zainal Abidin Bay. Hal sama juga dikemukakan Ketua MRP Papua, Timotius Murib bahwa Join Sistim merupakan penyatuaan persepsi dimana dua lembaga ini akan bersatu, duduk bersama membahas kepentingan masyarakat asli Papua.

Menurut Murib, mekanisme Otsus Plus yang akan dibahas juga dalam evaluasi Otsus perspektif orang asli Papua sebagaimana tertuang dalam Undang undang Otsus 21 pasal 77 dan 78 mengamanatkan kepada MRP untuk mendengarkan aspirasi masyarakat Papua. Dalam rangka itu MRP Papua dan Papua Barat melakukan rapat guna menyatukan persepsi untuk mengundang perwakilan orang asli Papua di 29 kabupaten dan Kota di Papua dan 11 Kabupaten dan Kota di Papua Barat serta 33 anggota MRPPB dan 37 anggota MRP Papua untuk lakukan rapat dengar pendapat dari masyarakat , dimana kedua MRP telah mengundang 118 masyarakat asli Papua dari masing masing daerah berjumlah tiga orang. Mereka hadir untuk menyampaikan semua persoalan implementasi Otsus selama 12 tahun di Tanah Papua.

“ Untuk itu kami semua anggota MRP Papua dan Papua Barat untuk sama sama lakukan dengar pendapat dengan masyarakat yang direncanakan tanggal 25- 27 Juli 2013 mendatang di Hotel Sahit Entrop. Untuk itu MRPPB DAN MRP Papua sudah bersepakat untuk membicarakan hak hak dasar orang asli papua kedepan untuk lebih baik,” jar Murib.

Hak hak dasar orang asli Papua itu diantaranya hak ulayat, kekayaan alam pertumbuhan penduduk orang asli Papua dan sebagainya terkait hak dasarnya. (ven/don/l03/@dv)

Artikel asli dipublikasikan di Binpa, Minggu, 14 Juli 2013 15:38

Enhanced by Zemanta

Bainimarama : Tradisi dan Budaya Melanesia Harus Dipertahankan dan Dikembangkan

Perdana Menteri Fiji, Voreqe Bainimarama saat menerima pemberian dari masyarakat adat Kanak (Jubi)
Perdana Menteri Fiji, Voreqe Bainimarama saat menerima pemberian dari masyarakat adat Kanak (Jubi)

Noumea-Kaledonia Baru – Perdana Menteri Fiji, Voreqe Bainimarama, yang akan digantikan sebagai ketua Melanesian Spearhead Group menekankan kebutuhan untuk menjaga budaya dan tradisi Melanesia.

Bainarama menyampaikan hal ini dalam upacara pembukaan secara adat yang dilakukan di wilayah otoritas adat Kanak, di Noumea, New Caledonia, Rabu (19/06). Para pemimpin negara-negara MSG dan undangan disambut dengan sebuah prosesi adat masyarakat Kanaky. Prosesi adat ini berlangsung unik, karena setiap pemimpin negara Melanesia yang datang harus menyerahkan sesuatu yang dibalas juga dengan penyerahan patung asal Kanaky dan Yam (umbi-umbian) untuk ditanam di negara masing-masing para peserta MSG.

PM Bainimarama menjadi tamu utama dalam prosesi pembukaan ini. Ia menekankan pentingnya generasi Melanesia mempertahankan kekayaan budaya dan tradisi Melanesia.

“Ini menunjukkan kepada saya bahwa kami telah mempertahankan kekayaan budaya Melanesia dan tradisi melalui setiap generasi dan memberikan kekompakan pada masyarakat Melanesia secara bersama-sama,” kata PM Bainimarama.

“Ini merupakan hak istimewa dan suatu kehormatan bagi saya dan saya berbicara atas nama semua delegasi di sini, bahwa kita semua telah menciptakan ruang untuk berbagi dalam warisan budaya yang berbeda. Dan khusus Kanaky, anda telah menyambut kami dengan prosesi adat yang menunjukkan kekayaan budaya Melanesia.”

lanjut Bainimarama.

PM Bainimarama menegaskan bahwa budaya dan tradisi Melanesia adalah hal yang membedakan Melanesia dari masyarakat lainnya di seluruh dunia. Ia menambahkan bahwa pekerjaan saat ini yang sedang dilakukan oleh MSG adalah untuk melindungi dan melestarikan pengetahuan tradisional Melanesia.

“MSG telah mengembangkan inisiatif di bawah perjanjian perlindungan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya untuk membuat kebijakan yang akan melindungi dan melestarikan budaya dan tradisi apakah itu ekspresi melalui cerita rakyat, lagu dan tari, pengetahuan, seni atau flora dan fauna,”

kata PM Bainimarama. 

Bainimarama menekankan untuk memberikan pengetahuan tradisional kepada generasi muda agar budaya dan tradisi Melanesia berkembang.

“Saya menekankan di sini bahwa pengetahuan tradisional adalah kekayaan intelektual dan salah satu yang tidak dapat dipelajari di sekolah. The Melanesian Arts Festival dan inisiatif lainnya untuk menangkap informasi budaya harus terus didorong. Kami sekarang memiliki teknologi untuk melakukan ini dan harus penuh memanfaatkan ini untuk keuntungan kami sehingga kekayaan budaya dan tradisi tetap hidup untuk generasi yang akan datang, “

kata PM Bainimarama.

Dalam prosesi pembukaan secara adat ini, selain delegasi negara-negara MSG, hadir juga delegasi Indonesia sebagai observer yang dipimpin oleh Wakil Mentri Luar Negeri, Wardana bersama Michael Manufandu dan staff kedutaan Besar RI di Canberra, Australia. Juga hadir sebagai undangan khusus, delegasi West Papua National Coalition Liberation (WPNCL) yang dipimpin oleh John Otto Ondowame.(Jubi/Adm)

June 20, 2013 ,05:46,TJ

Bentrok Hari Ketiga: 2 Korban Meninggal dari Kedua Kubu

Polisi dan Masyarakat Menuju Perang
Polisi dan Masyarakat Menuju Perang

WAMENA [PAPOS] – Bentrokan pascaterbunuhnya Kabag Pemerintahan Nduga oleh anggota DPRD Nduga, di Wamena, Sabtu (23/3) lalu, mengakibatkan 2 korban meninggal dari kedua kubu serta korban luka-luka yang belum diketahui jumlahnya.

Situasi hari ketiga di Kampung Elekma, tempat terjadinya bentrok sejak Minggu (24/3) lalu, berangsur-angsur kondusif. Sejak pagi, tidak ada pergerakan dan konsentrasi massa dari kedua belah pihak yang terlipat bentrok.

Pantauan Papua Pos di Kampung Elekma dan sekitar daerah Sinakma, masyarakat sudah memulai aktifitas seperti biasa. Kegiatan ekonomi di Pasar Sinakma pada pagi hari juga sudah kembali normal. Namum sejumlah petugas gabungan TNI-Polri masih terlihat berjaga-jaga di Kampung Elekma, Distrik Napua.

Terlihat juga beberapa warga masih berlalu lalang dengan membawa senjata tajam dan panah di kampung tersebut, dan beberapa kelompok-kelompok kecil dari masing-masing kubu masih terlihat berkumpul namun tidak ada aktifitas untuk melanjutkan perang.

kapolres Jayawijaya AKBP Fernando S Napitupulu, Sik ketika ditemui Papua Pos, Selasa kemarin mengatakan, saat ini situasi sudah berhasil dikendalikan, dan sudah ada komitmen untuk melakukan mediasi dan kesepatakan damai dari Bupati Nduga.

“Sudah ada kesepakatan tadi (kemarin, red) dengan pak Bupati Nduga, beliau akan bertemu dengan tokoh-tokoh dari masing-masing pihak untuk segera mencari solusi terbaik dan menghentikan peperangan,” jelas Kapolres.

Kapolres juga mengatakan, sampai dengan kemarin, korban yang meninggal dari kedua belah pihak diketahui berjumlah dua orang. Salah satunya berasal dari Suku Lanny. Sedangkan korban luka-luka dirinya tidak mengetahui secara pasti.

“Yang meninggal ada dua orang, dan salah satunya adalah dari suku Lanny, korban yang luka kita tidak tahu secara pasti, karena mereka tidak mau dibawa ke rumah sakit. Mereka langsung dibawa k erumah mereka jadi kita kesulitan mengetahui jumlah pasti korban luka-luka,” terang Kapolres Napitupulu.

Disinggung adanya aksi balasan dari salah satu kubu yang meninggal akibat peperangan tersebut, katanya ia sudah bertemu dengan pihak terkait dan mereka sudah menyatakan untuk berdamai dan tidak berperang lagi.

“Mereka sepakat berdamai, tidak melanjutkan perang. Mudah-mudahan semuanya sesuai rencana sehingga bisa diselesaikan dengan cara damai, tidak ada pertumpahan darah lagi,” tukasnya. (atz)

Rabu, 27 Maret 2013 00:54, Ditulis oleh Atis/Papos

Enhanced by Zemanta

Perang Suku Berlanjut, Wakapolda Prihatin

timika-perang suku
Perang suku di TImika

WAMENA [PAPOS] – Buntut penikaman terhadap salah satu pejabat Pemerintah Kabupaten Nduga oleh salah satu anggota DPRD Nduga, Sabtu (23/3) lalu, berlanjut dengan perang suku. Perang yang dimulai Minggu (24/3) di mana saling serang antara pihak korban dan pelaku, masih berlanjut hingga Senin (25/3) dengan jumlah massa yang lebih banyak.

Pantauan Papua Pos, akibat dari perang suku tersebut, daerah Pasar Sinakma Wamena, aktifitas ekonomi lumpuh. Kios-kios dan toko serta los pasar yang tiap harinya berjualan hasil bumi masyarakat setempat, Senin pagi sampai dengan sore hari tidak ada aktifitas jual-beli. Para pedagang lebih memilih menutup usahanya untuk sementara.

Informasi yang berhasil dihimpun Papua Pos, aparat gabungan TNI-Polri sudah bersiaga dan berjaga-jaga di lokasi terjadinya peperangan untuk mencegah meluasnya aksi tersebut. Namun aparat tidak bisa berbuat banyak untuk mengatasi konflik antarsaudara tersebut. Aparat hanya berjaga-jaga dan berusaha menenangkan massa dengan pendekatan persuasif.

Pada sore hari sekitar pukul 16.00 Wit, Wakapolda Papua, Brigjen PolPaulus Waterpauw bersama Bupati Jayawijaya Wempi Wetipo, S.Sos, SH, M.Par bersama petinggi TNI-Polri langsung menuju ke lokasi peperangan untuk melakukan mediasi dan berdialog dengan kedua warga yang terlibat pertikaian.

Di depan massa dari pihak korban, Wakalpolda mengatakan untuk dapat menahan diri dan tidak main hakim sendiri. Semua perkara ada jalan keluarnya, bisa diselesaikan dengan jalan damai. ”Kita berharap masyarakat tidak melanjutkan peperangan ini. Tadi saya sudah bertemu dengan Bupati Nduga dan telah menyampaikan maksud dan tujuan kami,” kata Wakapolda.

Ia menegaskan, jangan ada lagi pertumpahan darah dan korban. “Hentikan peperangan, kita bisa bicara dan selesaikan masalah ini dengan baik, kita tidak harapkan masalah ini menjadi lebih besar dan meluas,” tegas Paulus.

Kehadiran dirinya bersama pemerintah dan petinggi TNI-Polri adalah untuk melakukan mediasi dan dialog dengan kedua belah pihak yang bertikai. Dirinya juga mengatakan keprihatinan yang mendalam atas terjadinya peristiwa ini.

Kalau bisa permasalahan ini diproses secara hukum karena ada aturan dan ada hukumnya. Jangan berhadapan satu dengan yang lain lalu saling menyakiti dan melukai sampai saling membunuh. “Kita mau ke depan semua dapat melihat kehidupan yang lebih baik. Kita mau maju dan hidup lebih baik daripada yang sekarang. Jadi kalau ada masalah seperti ini, mari diselesaikan dengan baik,”ajak Wakapolda Waterpauw di hadapan massa dari pihak korban.

Pada waktu yang sama, Bupati Jayawijaya Wempi Wetipo juga mengatakan pihaknya tidak menghendaki jatuhnya korban hanya karena persoalan-persoalan seperti ini. ”Saya tidak mau masyarakat mati sia-sia hanya karena persoalan seperti ini,” ujar Wempi.

Mengenai jatuhnya korban dari kedua belah pihak, Wempi mengatakan akan bertanggung jawab bersama Bupati Nduga.

Jumlah korban dari kedua belah pihak yang bertikai belum diketahui secara pasti. Baik korban luka-luka maupun yang meninggal dunia. Saat ini pihak TNI-Polri bersama pemerintah setempat masih melakukan mediasi terhadap pihak korban maupun pelaku.

Diberitakan harian ini sebelumnya, seorang anggota DPRD Kabupaten Nduga inisial RK menikam salah satu pejabat daerah tersebut, yakni Kepala Bagian (Kabag) Pemerintahan, Yustinus Gwijangge, S.Ip hingga meninggal dunia, Sabtu (23/3).

Pelaku RK nekad melakukan aksinya saat memprotes akan adanya pemekaran distrik dalam waktu dekat yang disampaikan oleh Bupati Nduga dalam rapat koordinasi pada salah satu hotel di Wamena, Sabtu lalu. Selain menikam kabag pemerintahan, pelaku juga melukai seorang pelajar dan rekannya sesama anggota DPRD dengan senjata tajam yang dibawanya. [atz]

Selasa, 26 Maret 2013 00:42, Ditulis oleh Atis/Papos

Enhanced by Zemanta

Bincang Bincang dengan Ketua Pokja Adat/ Ketua Dewan Adat Suku Sentani

Tanah dalam struktur Masyarakat Adat Papua, khusus Komunitas Suku Sentani di Kabupaten Jayapura merupakan lambang kehidupan, tanahpun kerap dimaknai sebagai susu ibu, susu Ondofolo, hingga semua orang dapat melakukan aktifitas apa saja di atas tanah adat dalam pengawasan Ondoafi Keret.Berikut bincang-bincang Ondofolo Besar Demas Tokoro.

Veni Mahuze, Bintang Papua
Tanah dalam komunitas masyarakat adat Sentani dikelola secara komunal, artinya tanah adat itu milik bersama, miliknya persekutuan masyarakat keret tertentu dalam suku sentani, pengaturannyapun diatur dalam struktur struktur adat mulai dari Kosee, Kepala suku, Ondoafi dan Ondofolo.

Masing masing kepala suku Sentani menguasai bidang bidang tanah tertentu dalam keretnya. Contohnya, Ondoafi bertugas menjaga tanah ulayat keretnya, menjaga tanah yang didiami kelompok masyarakatnya, termasuk tanah adat yang didiami komunitas lain di luar komunitas adat suku Sentani.

Pada saat tertentu ondoafi keret harus memberikan pertangung jawaban atas tanah ulayat yang jadi bidang pengawasannya ke orang yang dituakan seperti Ondoafi Sentani. “ Jadi kalau ada saudara- saudara dari luar yang mau beli tanah harus berhubungan dengan tua tua adat, salah satu tua adat akan berikan petunjuk.”katanya.

“Bila sudah ada persetujuan di Rumah Ebee, tanah bisa dilepas untuk dijual, pribadi jual itu masalah, ujar Ketua Pokja Adat MRP dan Ondofolo Besar Suku Sentani, Jumat( 15/3/2013).

Demikian ada sebuah mekanisme aturan adat yang dilalui dalam mengambil keputusan pelepasan tanah adat dalam suku sentani. Bila seorang pendatang luar mendatangi seatu kawasan dalam tanah adat suku sentani dan bertemu dengan sesorang yang kebetulan bikin kebun disitu, lantas terjadi tawar menawar,

“Bapa saya mau beli tanah ini, dia tidak berwenang jual tanah, kalau mau bertani bercocok tanam, bikin apa saja boleh karena tua tua adalah yang mengizinkan tanah digunakan untuk apa saja. Untuk jual tidak boleh”, sambungnya.

Ondofolo yang sering menyidangkan kasus kasus tanah adat suku sentani ini mengisahkan, “Sering dibelakang layar, tanah itu disepakati dua orang secara sepihak. Orang yang menempati tanah adat hanya untuk bikin kebun menerima pendatang dari luar, lantas dia mengantarkan pendatang itu kepada seorang Ondoafi, yang notabene bukan perwakilan represntatif dari seluruh ondoafi keret, tanpa musyawarah di Rumah Ebee, pelepasan terjadi, Ondo langsung menerima orang pendatang yang mendatanginya lengkap dengan amplop”.

“ Bawa ke Ondo, Ondo lihat amplop, langsung tandatangan, nah ini jadi masalah. Padahal masyarakat punya hak atas tanah ulayatnya, karena sistim komunal berlaku, yang terjadi kelompok kecil masyarakat yang bermukim dalam kawasan ulayat tidak berwenang atas tanah adat, mereka hanya boleh mendiami, bikin rumah disitu, bertani, bercocok tanam dan aktifitas lain, bukan menjadi penghubung sepihak untuk jual tanah”,

kisahnya lebih lanjut.

Ondofolo Tokoro menjelaskan, bila ia selalu berhubungan dengan masalah masalah ini bila, kasusnya dibawa ke Dewan Adat Sentani padahal bila ditelisik, Tanah itu Ibu atau Mama yang memberikan susu kepada ondoafi, ia memberikan kehidupan bagi orang sentani. Artinya Ondofolo/ Ondoafi itu harusnya melindungi, mengayomi masyarakat sedemikian rupa dalam sebuah kawasan tertentu, termasuk menjaga melindungi Tanah dan Air serta masyarakat disekitarnya.

Tanah dalam sistim Keondofoloan Suku Sentani melambangkan kekuasaan, otoritas Ondofolo, Semua yang hidup dan bergerak di ada dalam otoritas Ondofolo, jadi Ondofolo itu harus dihargai dalam seluruh keberadaannya sebagai pengayom dalam persekutuannya dengan tanah yang dibagikan kepada Ondoafi kerek dan Kosee. Kalau Kosee mau jual tanah harus koordinasi dengan Ondofolo terlebih dahulu. “ Bagaimana tanah ni, sa mau jual, harus ada persetujuan”, terangnya.

Realitas justru terbalik memicu timbulnya masalah dan konflik atas tanah saat ini, kerab tak dapat dihindari. Pengalaman jual beli tanah bersertifikat ganda, tanah dijual tanpa persetujuan oleh orang tertentu, terbitlah sertifikat dan dijual lagi tanah, munculah sertifikat, masalah atas masalah tanah. Sertifikat tanah itu tidak saha hingga secara adat Suku Sentani menyebutnya, “Sertifikat Tanah Rumput”. Analoginya, tanah tak punya mama, tak melalui prosedur sebenarnya.

Realitas ini menjadi pertanyaan bagi para Ondofolo komunitas masyarakat adat suku Sentani, atas dasar apakah BPN mengeluarkan sertifikat tanah yang kami sebuat ‘Tanah Tak Punya Mama”. Hal ini jadi pertanyaan tak habis habisnya dalam komunitas adat suku Sentani khususnya para Ondofolo. Padahal tak ada pelepasan terjadi bila musyawarah di rumah Ebee tak terjadi sebagai solusi melepaskan tanah adat ke pihak lain.(*/don/l03)

Sabtu, 16 Maret 2013 06:12, Sumber: Binpa

Enhanced by Zemanta

5 Pemimpin Tanah Tabi Cetuskan 7 Butir Deklarasi ‘Metu Debi’

Tabi, an indigenous community affected by clim...
Tabi, an indigenous community affected by climate change (Photo credit: Oxfam International)

JAYAPURA—Pertemuan kedua, 5 kepala daerah di Tanah Tabi akhirnya menghasilkan sebuah kesepakatan yang diberi nama “Deklarasi Metu Debi”.

Dalam pertemuan yang digelar di Para Para Adat Hamadi Kampung Tobati Sabtu (09/03) lalu, 4 kepala daerah hadir, yaitu Walikota Jayapura Drs. Benhur Tommy Mano, MM, Bupati Jayapura Mathius Awoitouw, SE, M.Si, Bupati Keerom Yusuf Walli, SE, MM, dan Bupati Sarmi Drs. Mesak Manibor, M.MT. sementara Bupati Membramo Raya berhalangan hadir karena alasan kesehatan dan diwakilkan oleh Ketua Sinode Papua Pdt. Fran Albert Yoku.

Sebelum menghasilkan kesepakatan seluruh kepala daerah yang juga turut membawa 15 orang delegasinya diberi kesempatan untuk menyampaikan pikirannya untuk kesatuan Tanah Tabi.

Yang menarik dari 5 kepala daerah tidak ada yang menyinggung wacana pemekaran Provinsi Tabi yang sebelumnya gencar dikabarkan akan menjadi isu utama yang akan dibicarakan dalam pertemuan ini, terkecuali Bupati Sarmi yang secara lantang mengatakan pembentukan Provinsi Tabi merupakan sebuah hal yang posisitif.

Manbor dalam kesempatannya berbicara mengatakan semua orang sepakat untuk mencari cara untuk bagaimana mensejahterahkan seluruh masyarakat yang tinggal di Tanah Tabi, bukan hanya orang asli Papua, dan wacana pemekaran Provinsi Tabi bukanlah hal yang negative dan harus terjadi.

Tetapi Bupati keerom Yusuf Walli, SE, MM, ketika diberi kesempatan berbicara menilai wacana pemekaran bukan hal yang paling penting, tetapi bagaimana menyelamatkan rumah yang mau runtuh (masyarakat di Tanah Tabi) adalah hal yang lebih krusial untuk dibahas.

Pertemuan yang dipandu oleh ketua Klasis GKI Jayapura Pdt. Wilem Itaar, S.Th akhirnya dilanjutkan dengan acara makan siang sebelum akhirnya dilanjutkan dengan pertemuan tetutup.

Pada akhirnya setelah pertemuan tertutup itu usai pada malam hari, tim perumus yang telah dibentuk sebelumnya bekerja untuk merangkum semua hal yang telah dibicarakan dan disepakati dengan hasilnya dibuatlah 7 butir kesepakatan yang bernama “Deklarasi Metu Debi”.

Deklasrasi ini sendiri dibacakan dan ditandatangani oleh seluruh kepala daerah di tanah Tabi pada saat perayaan pekabaran Injil di Tanah Tabi pada Minggu (10/03) di Kampung Enggros.

Berikut salinan dari Deklarasi Metu Debi.

Deklarasi Metu Debi

Pada hari ini, Minggu 10 Maret 2013 bertempat di Pulau Metu Debi. Kami bupati/Walikota dan seluruk komponen masyarakat Tabi, dengan ini menyatakan hal-hal sebagai berikut :

  • Pertama : Tuhanlah yang memilih dan menetapkan Metu Debi sebagai tempat dimulainya peradaban baru orang Tabi, oleh karena itu Pulau Metu Debi ditetapkan sebagai SITUS PEKABARAN INJIL di Tanah Tabi.
  • Kedua : Menjadikan kawasan Tanah Tabi sebagai kawasan pembangunan terpadu.
  • Ketiga : Dalam rangka menjaga dan melestarikan eksistensi Orang Tabi ditanah leluhurnya, maka perlu dlakukan tindakan protektif regulatif.
  • Keempat : Kami sepakat Bahwa Proses pembangunan di Tanah Tabi dilakukan melalui peran yang seimbang antara Adat, Agama dan Pemerintah, “Satu Tungku Tiga Pilar”.
  • Kelima : Kami menegaskan bahwa kawasan tanah Tabi adalah melingkupi Kabupaten Keerom sampai Kabupaten Membramo Raya termasuk Distrik ToweKabupaten Keerom dan Distrik Airu Kabupaten Jayapura.
  • Keenam : Kami sepakat untuk membentuk Forum Komunikasi Pembangunan Masyarakat Tabi.
  • Ketujuh : Hal-hal lain yang berkembangan dalam pertemuan akan dibahas pada pertemuan Forum Komunikasi Pembangunan Masyarakat Tabi diwaktu yang akan datang.

Demikian Deklarasi Metu Debi.

“Kami Dapat Memegang Kemudi, Tetapi Tidak Dapat Menentukan Arah Angin dan Arus”
Metu Debi, 10 Maret 2013

Selanjutnya deklarasi tersebut ditandatangani oleh seluruh kepala daerah yang hadir.

Pada acara pertemuan sehari seelumnya ada beberapa hal menarik yang tertangkap dilapangan, seperti terdapat beberapa spanduk dukungan pemekaran Provinsi Tabi yang dibawa rombongan asal Kampung Nafri. (ds/don/l03)

Sumber: Papos

Enhanced by Zemanta

BUDAYA OAP HARUS DIPERTAHANKAN

Tradisi makan bersama dalam acara Bakar Batu di Wamena (Jubi/Timo)
Tradisi makan bersama dalam acara Bakar Batu di Wamena (Jubi/Timo)

Jayapura Meski arus modernisasi perlahan masuk di Papua, sedianya budaya Orang Asli Papua (OAP) tetap dipertahankan. Arus modernisasi hendaknya menjadi pendorong untuk tetap menjaga aneka budaya Papua dari setiap suku.

Hal ini dikatakan Noak Nawipa, salah satu calon gubernur Papua, saat menemuitabloidjubi.com di Jayapura, Jumat (25/1) malam.

“Meskipun arus modernisasi masuk, jangan sampai merusak nilai-nilai budaya, seperti budaya perkawinan, dan lain-lain,”

kata dia Jumat malam.

Menurut dia, budaya Papua yang dimiliki ratusan suku hendaknya dipertahankan, sebab, orang Papua hidup di atas nilai-nilai budaya yang ada itu.

Calon gubernur dari pasangan Noakh Nawipa-Johannes Wob nomor urut satu ini berkomitmen, pihaknya akan tetap menjaga dan melestarikan budaya sesuai dengan kearifan lokal.

“Tradisi Papua berbeda dengan daerah di Indonesia yang lainnya. Sangat unik. Jika tidak dijaga, OAP dan budayanya perlahan akan punah seperti suku Aborigin di Australia dan suku Mauri di Selandia Baru,”

katanya lagi.

Dia mencontohkan, di Biak, pihaknya akan membangun rumah adat Biak sesuai arsitektur adat.

Selain itu, ia mengatakan, pihaknya akan memetakan tanah ulayat OAP sesuai dengan jumlah marga di Papua. Di Papua, kepemilikan tanah, misalnya, dimiliki secara bersama-sama. Selain itu, membuat silsilah yang jelas.

“Ini untuk mempermudah pembagian dana Otsus (Otonomi Khusus),”

ujar dosen pada Sekolah Tinggi Teologi (STT) Walter Post Sentani, Jayapura ini.(Jubi/Timoteus Marten)

 Saturday, January 26th, 2013 | 13:46:53, TJ

Titus Pekei: “Noken Papua Mengandung Banyak Nilai”

Direktur Ecology Papua Institute, Titus Christoforus Pekei (Jubi/Levi).
Direktur Ecology Papua Institute, Titus Christoforus Pekei (Jubi/Levi).

Nabire — Di tengah maraknya tokoh politik di bumi Papua, muncul seorang peneliti dan penggagas muda asal tanah Papua  yang peduli dengan budayanya. Dia adalah, Titus Christoforus Pekei, SH, Msi, yang berhasil mendaftarkan tas tradisional Papua yang dikenal dengan nama: Noken  ke tingkat internasional dalam sidang PBB di Paris, Prancis, beberapa waktu lalu.

“Tanah Papua sangat potensi dengan sumber daya alamnya dan juga ilmu-ilmu dasar, dalam hal ini adat tradisi yang mana mengasa kreatif atau berimajinasi melalui kerajinana tangan yang sangat kaya, salah satunya tas tradisional Papua bernama Noken,”

kata Titus yang juga Direktur Ecology Papua Institute (EPI), beberapa waktu lalu di Deiyai, Papua.

Sebagai ajakan bagi masyarakat tanah Papua, kata Titus, terutama para pengrajin dan juga yang paling utama pemangku kepentingan di tanah Papua, baik dari gubernur hingga tinggkat terendah, pemimpin agama hingga tingkat terendah dan lembaga swadaya masyarakat agar benar-benar melihat hal ini. Sebab sekarang Noken telah ditetapkan dan diakui sebagai warisan dunia.

“Kita harus kembali mendalami ilmu Noken ini. Sebab Noken mengajarkan kita tentang berbagi, demokrasi dan kebenaran,”

kata Titus, yang penulis buku Manusia MEE di Papua dan buku Cermin Noken Papua ini.

Menurut Titus, awalnya Noken yang  dianggap sebuah benda yang di mata orang mungkin tak bermanfaat. Namun sebenarnya di dalam Noken, tersimpan banyak makna atau nilai.

“Karena itu, kita harus mengedepankan nilai-nilai yang terkandung dalam arti Noken in. Sebab tanpa Noken, tidak ada kehidupan dan  tanpa noken tidak ada kebersamaan,”

kata lulusan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta ini.

Titus mengatakan, bagi siapa saja yang nantinya terpilih menjadi pimpinan di suatu daerah, mestinya harus mengenakan atau menggunakan Noken sebagai simbol pelantikan wadah untuk menyimpan aspirasi masyarakat.

“Saya fikir jika kita mengenakan Noken, artinya bahwa ia (pemimpin), juga merupakan anak adat yang maju tanpil di provinsi maupun di daerah,”

katanya. (Jubi/Ones Madai)

 Monday, January 7th, 2013 | 15:40:21, TJ

Pembayaran Korban Konflik Puncak Rp 17 M

JAYAPURA – Pembayaran terhadap para korban konplik Pilkada Kabupaten Puncak yang terjadi sekitar 2 tahun lalu akhirnya dibayarkan tuntas. Pembayaran ini atas kesepakatan Pemda Puncak dan DPRD Puncak, dianggarkan dalam APBD sebesar Rp 17 M lebih, dari total nilai itu.

Dari kesepatan korban yang mengalami luka-luka sebanyak 900 orang dibayaran santunan Rp. 1 juta perorang, dan korban meninggal sebanyak 300 orang mendapat santunan Rp. 300 juta perorang.
Calon Bupati Puncak, yang juga selaku Ketua DPRD Kabupaten Puncak, Elvis Tabuni, mengatakan, peristiwa konflik Pemilukada Kabupaten Puncak yang hampir berlangsung 2 tahun lalu yang telah menelan korban jiwa dan korban luka-luka baik di pendukung dirinya maupun pendukung Simon Alom sudah dituntaskan pembayarannya pada 21 Desember 2012 lalu.

“Pembayaran korban konflik Pemilukada Puncak itu sudah kami serahkan di Distrik Ilaga dan Distrik Gome oleh kelompoknya dan kelompok Simon Alom sudah terima. Kalau di Distrik Gome yakni kelompok saya sudah 100 persen tuntas penyelesaiannya,” ungkapnya kepada Bintang Papua, disela-sela acara ibadah syukur penyambutan Tahun Baru 2013 di kediamannya, Senin, (31/12) kemarin.

Dikatakan pihaknya mendapatkan Rp 900 juta, sebab korban pada pihaknya yang mengalami luka-luka mendapatkan santunan Rp. 1 juta perorang, dan korban meninggal sebanyak 300 orang, masing-masing mendapatkan santunan Rp 300 juta. Dijelaskan, kalau dana santunan tersebut, tidak diterima oleh kepala perang melainkan diterima langsung oleh para korban (khusus korban luka-luka) dan keluarga korban yang tewas. Sedangkan biaya transportasi, logistik, dan akomodasi tidak termasuk dalam angka itu tersebut, melainkan ditanggung masing-masing keluarga korban.

“Sekarang masyarakat senang, mereka ingin membangun daerah Puncak, dan masyarakat mengharapkan Pemerintah Kabupaten Puncak dan KPUD Kabupaten Puncak segera laksanakan Pemilukada agar masyarakat punya pemimpin yang defenitif,” jelasnya.

Khusus untuk Distrik Gome, tahapan pertama, tahapan kedua dan tahapan ketiga sudah selesai dilaksanakan, tinggal tahapan terakhir yaitu pesta adat.

“Tahap terakhir ini bisa dua atau tiga tahun baru dilaksanakan dan itu tidak masalah. Dan disepakati, setelah Pemilukada diselesaikan, pada tahun 2014 baru diadakan pesta adat,”
ujarnya.

Untuk itu, sementara ini masyarakat bekerja keras dan membuka kebun besar-besar di beberapa lokasi, baik itu kebun Ubi maupun kebun sayur. Hasil dari kebun dimaksud, dikumpulkan, baru digelar pesta adat makan bersama.

Pesta adat itu bertujuan juga untuk pembayaran utang, dimana waktu perang mereka datang membantu, disitu mereka potong babi, makan bersama dan mereka akan diselesaikan utang-utang itu. Disini keluarga korban yang tinggal jauh pun diundang dan makan bersama semua. Dalam aturan adat juga bahwa babi harus diserahkan antero/utuh kepada pihak korban.

“Bisa saja Kami drop beras, tapi itu membutuhkan biaya besar, akhirnya masyarakat sepakat untuk buka kebun besar-besar , mereka sudah kerja, ada yang sudah tanam pertama. Secara aturan,

Pemerintah Kabupaten Puncak, DPRD Kabupaten Puncak sudah sepakat untuk pembayaran korban konflik Pemilukada itu dengan dana APBD, dan itu sudah selesai, dan itu tidak ada tuntutan masyarakat kepada pemerintah lagi,” tandasnya.

“Pesta adat itu masing-masing kelompok, baik kelompok saya mapun kelompok Simon Alom. Pemerintah sudah cukup membantu beban yang besar itu, jadi pesta adat itu kami tidak kembali kepada pemerintah,” sambungnya.

Lanjutnya, dengan diselesaikannya pembayaran itu, dirinya mengajak semua pihak untuk bergandengan tangan menuju segala pembangunan Kabupaten Puncak. Dua tahun lalu kita saling menganggap musuh, tapi tahun baru ini kita lupakan semuannya dan jangan terulang kembali, segala kesalahan sama-sama memperbaikinya, kemudian kita bersatu dalam mewujudkan pembangunan daerah di segala fisik maupun orangnya, maupun hatinya rakyat Puncak.

“Kami orang Puncak dari Suku Dani, Nduga, Lem, Wano, dan suku Damal yang mendiami Kabupaten Puncak itu, mulai dari Distrik Doko, lari sampai di Distrik Kyawake adalah yang ber Ibu Kota di Ilaga. kami Puncak tidak membedakan suku, ras, golongan, tapi bersatu hati, bergandengan tangan membangun Kabupaten Puncak,” ujarnya.
Mengenai Bupati/Wakil Bupati terpilih, siapapun dia, Allah sudah siapkan. Namun, dari manusia sengaja mengacaukannya, mau merubah rahasia Allah itu, tapi harus diingat bagaimana pun tidak akan bisa merubah, tetap akan sesuai dengan rencana dan rahasia Allah itu akan terjadi.

“Ibaratnya, Tuhan Yesus lahir di kandang Betlehem, kita manusia tidak mengetahuinya, karena itu rahasia Tuhan. Sama halnya di Kabupaten Puncak, Bupati terpilih itu Allah sudah siapkan, tapi dari manusia berusaha mengacaukannya dengan berbagai cara,” tukasnya.

Dengan demikian, mari semua pihak bersama-sama bergandengan tangan untuk mendorong siapa yang dinilai senior dan mampu untuk membangun daerah ini dan rakyatnya, itu yang didukung, bukan untuk ambisi, untuk saling menjatuhkan, saling membenci, dan saling membunuh.
Terkait dengan pembayaran korban itu, dirinya dan semua Keluarga Besar Aslan Nawi Arigi dari Kabupaten Puncak melakukan ibadah ucapan syukur sekaligus dirangkaikan dengan ibadah penyambutan Tahun Baru 2013 di kediamannya.

Ibadah tersebut dengan Thema, Perubahan Dalam Rencana Paulus (2 Korintus, 12-24), dan Sub Thema, Mari Kita Bergandengan Tangan, Bersatu Hati Dalam Segala Aspek Pembangunan Menuju Kabupaten Puncak Baru Tahun 2013.(nls/achi/l03/@dv)

Kamis, 03 Januari 2013 09:25, Binpa

Up ↑

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny

Melanesia Web Hosting

Melanesia Specific Domains and Web Hosting

Sem Karoba Tawy

Patient Spectator of the TRTUH in Action

Melanesia Business News

Just another MELANESIA.news site

Sahabat Alam Papua (SAPA)

Sahabat Alam Melanesia (SALAM)

Melanesian Spirit's Club

Where All Spirit Beings Talk for Real!

Breath of Bliss Melanesia

with Wewo Kotokay, BoB Facilitator

Fast, Pray, and Praise

to Free Melanesia and Melanesian Peoples from Satanic Bondages