Penderita AIDS Terbanyak Ibu Rumah Tangga

Penderita HIV/AIDS di Kabupaten Jayapura, Papua, pada akhir 2009 didominasi Ibu Rumah Tangga (IRT) Sekertaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kabupaten Jayapura Purnomo, SE, di Sentani, Sabtu [20/3].

JUMLAH IRT yang terkena penyakit HIV/AIDS sampai pada akhir Desember 2009 mencapai 109 kasus, dibandingkan Pekerja Seks Komersial (PSK).”Sekarang IRT yang lebih banyak terinfeksi, dibandingkan dengan PSK yang hanya berjumlah 82 orang,” katanya.

Hal ini, lanjutnya disebabkan tertular dari suami yang sering berhubungan seks bebas dengan perempuan yang terinfeksi HIV/AIDS. Ia mengatakan, jumlah penderita HIV/AIDS di Kabupaten Jayapura sampai pada akhir 2009 mencapai 423 kasus, yang tersebar di 14 distrik.

Menurutnya, penderita HIV/AIDS sekarang, tidak hanya dialami orang yang bermukin di perkotaan, tetapi juga masyarakat di daerah pedalaman, terbukti dari semua distrik yang ada rata-rata terdapat penderita penyakit yang mematikan itu.

“Kasus HIV/AIDS diibaratkan seperti gunung es yang setiap saat jumlah penderitanya bisa meledak”, katanya.

Ia mengatakan, penyakit tersebut terus meningkat, maka pihaknya menyarankan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Jayapura, untuk mengadakan Voluntary Counseling and Testing (VCT) di setpa Puskesmas.

Alat ini perlu untuk pemeriksaan secara intensif terhadap mereka yang rentan HIV/AIDS guna meminimalisasi penularan, karena penyakit tersebut tidak mudah untuk diketahui dan disembuhkan.

Ia mengatakan, “screening” merupakan upaya pencegahan yang lebih bermanfaat agar virus HIV/AIDS di Jayapura tidak meluas. Selain itu, katanya, bagi yang ingin memeriksakan diri secara suka relah, tidak dibebankan biaya (gratis).

Untuk mengurangi penderita HIV/AIDS, KPA Kabupaten Jayapura terus menjalin kerjasama dengan pihak terkait guna mensosialisasikan resiko penyakit tersebut.Khusus kepada IRT, dia mengatakan harus memeriksakan diri setiap bulan, apalagi pada saat sedang mengandung, dan diharapkan tidak boleh merasa malu.

Kasus HIV/AIDS di Kabupaten Jayapura sampai pada akhir 2009 tercatat 423 kasus, dengan rincian PSK 82 kasus, Pekerja Seks Jalanan (PSJ) 3 kasus, IRT 109 kasus, swasta 42 kasus, PNS 28 kasus, buruh/petani 40 kasus, pelajar/mahasiswa 29 kasus, TNI 8 kasus, polri 6 kasus, kalangan agama 4 kasus, lain-lain 72 kasus.[**]

Ditulis oleh Ant/Papos
Senin, 22 Maret 2010 00:00

Stop, Kekerasan Terhadap Perempuan

JAYAPURA [PAPOS] -Tokoh perempuan Papua yang juga Wakil Ketua MRP Dra Hana Hikoyabi mengaku, diusianya yang ke 100 tahun Pekebaran Injil di Pulau Tabi, masih saja ada tindak kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Kota Jayapura.

Menilik “Harta” dan Kesetaraan Gender di Papua

Mama-mama Papua di Pasar Yotefa. Perempuan masih dianaktirikan. (JUBI/Foto:Yunus Paelo)
Mama-mama Papua di Pasar Yotefa. Perempuan masih dianaktirikan. (JUBI/Foto:Yunus Paelo)

JUBI — Berbagai kajian mencatat, negara-negara miskin di dunia menjadi semakin miskin karena kurangnya kebijakan pemerintah tidak memiliki sensivitas pada isu gender.

Ironisnya kaum perempuan dan anak-anak adalah kelompok masyarakat yang kehidupannya sangat rentan ketika konflik dan bencana alam terjadi. Mereka juga merupakan kelompok yang tidak banyak menikmati dan memanfaatkan pembangunan karena status ketidaksetaraan gender yang dialami dalam berbagai budaya.

Oxfam di Papua merupakan sebuah organisasi yang memiliki mandat untuk melaksanakan kesetaraan gender ‘gender equality” ini. Mandat tersebut diimplementasikan di dalam setiap program pembangunan sehingga perempuan dan laki-laki memperoleh kesempatan dan peluang yang sama untuk dapat berpartisipasi aktif.

Program Manager PAWE, Dominggas Nari di Jayapura kepada Jubi, pekan kemarin mengatakan, dalam perjalanannya, Oxfam menelorkan sebuah proyek bernama PAWE (Papua Women Empowerment). Proyek ini juga merupakan pekerjaan global Oxfam GB (Great Britain) dalam mempromosikan hak-hak perempuan “Women’s Rihgt”. “Proyek ini telah dimulai sejak bulan Juli 2009 dan akan berlangsung sampai tahun 2012 dengan dukungan penuh oleh Japan Social Development Fund (JSDF),” katanya.
PAWE secara khusus bertujuan untuk memberdayakan Perempuan Papua dengan meningkatkan partisipasi mereka di dalam proses pelaksanaan dan pengambilan keputusan pada program pembangunan yang dikelola masyarakat (RESPEK), sehingga mereka dapat lebih merasakan manfaat dari proyek ini yang akan menjawab kebutuhan dan prioritas mereka.

Dalam menjalankan kegiatannya, PAWE menetapkan tiga strategi utama yang akan digunakan untuk mencapai tujuan diatas, yaitu: Penguatan Organisasi dan Jaringan Perempuan yang ada untuk dapat memimpin, melatih dan mengadvokasi perempuan di tingkat kampung. Peningkatan kapasitas setiap perempuan melalui peluang pelatihan dan peningkatan kapasitas sesuai kebutuhan mereka
Peningkatan kesadaran dan kapasitas diantara staf program RESPEK dan pemangku kepentingan kunci lainnya seperti kepala desa dan pejabat pemerintah untuk semakin meningkatkan kesetaraan gender.

Kemitraan dalam proyek PAWE ini akan terdiri dari elemen-elemen masyarakat di Provinsi Papua dan Papua Barat, diantaranya: Kelompok Perempuan Papua yang ada dibawah organisasi yang berbasis kampung, urban, sub urban dan kota. Kelompok Perempuan Papua berbasis keagamaan. Kelompok individu (ketrampilan, peduli) dan kelompok professional (Pengusaha Perempuan Papua, Cendekiawan Perempuan Papua).

Di Jayawijaya, terkait isu kesetaraan gender, Bupati Jayawijaya Wempi Wetipo, S. Sos, M. Par pernah mengatakan, dari berbagai upaya pembangunan yang telah dilakukan, memang masih dijumpai ketimpangan antara laki-laki dan perempuan, yaitu dalam hal peluang dan akses terhadap sumber daya pembangunan, kontrol atas pembangunan dan perolehan manfaat atas hasil-hasil pembangunan itu sendiri. “Ketimpangan yang terjadi merupakan masalah struktural yang sudah lama ada dan berkembang didalam masyarakat, terutama disebabkan karena nilai-nilai sosial budaya. Nilai-nilai tersebut selanjutnya turut membentuk pola pikir dan perilaku masyarakat yang menempatkan Perempuan dan laki-laki dalam kedudukan dan peran yang setara namun berbeda, terutama dalam proses pengambilan keputusan baik di lingkungan keluarga dan masyarakat.

Menurutnya keadaan ini diperburuk dengan masih banyaknya kebijakan dan program pembangunan yang belum peka terhadap gender yang pada gilirannya menghasilkan bentuk ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender di berbagai bidang kehidupan masyarakat. “Dalam kondisi seperti ini kaum Perempuan dinilai paling banyak menanggung berbagai bentuk ketidaksetaraan dan ketidakadilan itu,” ujarnya.
Untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender serta mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi, katanya, dapat dilakukan dengan cara mengurangi berbagai ketimpangan sebagai akibat dari masalah struktural yang telah lama ada dan berkembang di masyarakat.

Kesetaraan Gender di Papua Barat

Kesetaraan gender memang masih selalu menjadi isu menarik yang tak lekang oleh waktu. Sebagian orang menganggap isu ini sebagai produk barat yang harus ditumpas. Pasalnya, isu kesetaraan gender akhirnya diterjemahkan oleh beberapa perempuan untuk menyamai laki-laki dalam berbagai hal, seperti karir, penghasilan, atau mungkin ketenaran. Akibatnya, institusi keluarga jadi berantakan, perceraian semakin marak, anak-anak tidak terurus, baik kebutuhan fisik maupun pendidikannya.
Paham kesetaraan gender semakin deras pengaruhnya, terlebih setelah digelarnya Konferensi PBB IV tentang perempuan di Beijing tahun 1995. Di Indonesia, hasil konferensi tersebut dilaksanakan oleh para feminis, baik melalui lembaga pemerintah, seperti tim Pengarusutamaan Gender DEPAG, Departemen Pemberdayaan Perempuan, maupun melalui LSM-LSM yang kian menjamur. Di ranah pendidikan tinggi, telah didirikan institusi-institusi Pusat Studi Wanita/Gender (PSW/PSG).

Di Papua Barat, masalah kesetaraan gender juga marak. Terjadi misalnya saat akan dilangsungkannya sebuah perkawinan. Lelaki Papua akan membayar mas kawin yang mahal kepada Perempuan Papua untuk dijadikan sebagai istri. Setelah itu, keadaan akan berbalik. Pembayaran mahal itu bukanlah simbol sebuah penghargaan terhadap perempuan, melainkan secara adat simbol perampasan hak-hak perempuan oleh suaminya. Setelah ‘transaksi’ dan hajat pernikahan usai, dalam sistem rumah tangga di Bumi Papua, semua keputusan terhadap masa depan istri langsung beralih ke tangan suami sepenuhnya.

Mahar yang diberikan senilai beberapa ekor babi. Bagi adat di beberapa Wilayah Papua Papua, babi memiliki nilai yang sangat tinggi.’Harga’ Perempuan senilai dengan sejumlah babi yang diberikan saat melamar. Adat memang masih mustahil diubah begitu saja karena sudah berlangsung lama dan turun-temurun. Ketika perempuan sudah ‘dibeli’ dengan beberapa ekor babi, dia tidak lagi bisa menggunakan hak pilihnya, hak suaranya dalam menentukan masa depannya.

Kondisi perendahan martabat perempuan di Papua itu juga menjadi keprihatinan Martina, seorang aktivis di lembaga perempuan dan juga seorang pendidik di Manokwari, Papua Barat. Martina tampak frustrasi ketika berbicara mengenai nasib Perempuan Papua Barat, terutama yang tinggal di desa-desa. “Orang tua di sini lebih suka memilih anak-anaknya dikawinkan daripada bersekolah lebih tinggi. Mau bagaimana lagi, itu tradisi mereka.”

Ibaratnya, babi lebih berharga daripada perempuan. Seorang aktivis perempuan, Reno, pun mengaku hatinya tersayat melihat kondisi perempuan di Papua. Ia menceritakan, apabila ada babi betina ditabrak, penduduk akan meminta ganti rugi senilai jumlah puting yang ada pada babi itu. “Bisa ratusan juta. Itu tidak sebanding dengan apa yang dilakukan untuk Perempuan. Misalnya, jika ada kematian ibu dan anak, kepedulian lingkungan, terutama laki-laki, sangatlah rendah.”

Atas dasar itu, Martina, maupun Reno berharap sosialisasi kesetaraan gender tidak hanya sebatas wacana. ”Harus diimplementasikan ke bawah. Tidak boleh hanya di atas kertas. Bagaimana mungkin masyarakat di perdesaan dan pedalaman tahu soal kesetaraan gender itu,” kata Martina mewakili teman-temannya. (JUBI/Jerry /DAM/Dari Berbagai Sumber)

Menilik

Mama-mama Papua di Pasar Yotefa. Perempuan masih dianaktirikan. (JUBI/Foto:Yunus Paelo)
Mama-mama Papua di Pasar Yotefa. Perempuan masih dianaktirikan. (JUBI/Foto:Yunus Paelo)

JUBI — Berbagai kajian mencatat, negara-negara miskin di dunia menjadi semakin miskin karena kurangnya kebijakan pemerintah tidak memiliki sensivitas pada isu gender.

Ironisnya kaum perempuan dan anak-anak adalah kelompok masyarakat yang kehidupannya sangat rentan

Kilas Balik HAM Perempuan Papua

Mellvin

Perempuan Papua (Foto, Musa, JUBI)
Perempuan Papua (Foto, Musa, JUBI)

Pemenuhan HAM bagi Perempuan Papua ternyata belum sepenuhnya dilakukan. Sejumlah tokoh perempuanpun harus menggerutu takkala membaca koran pagi yang masih saja berisikan kekerasan terhadap kaum hawa.

Masalah pemenuhan HAM bagi perempuan Papua, memang terkesan lambat. Sejumlah pihak yang berkecimpung dalam bidang ini, kerap pula tak serius menanganinya. Kekerasan demi kekerasan yang menimpa kaum hawa berjalan lurus dengan grafik penganiyaan yang menimpanya. Dalam tahun 2007, kekerasan yang terjadi pada perempuan di Papua masuk dalam peringkat ketiga terbesar diseluruh Indonesia. Disusul Maluku dan Yogyakarta. Berdasarkan survei yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) tentang kekerasan terhadap anak dan perempuan, kekerasan di Papua mencapai 13,62 %, Maluku 10,39 %, dan Yogyakarta 9,14 %. Survei mengambil sampel 68.800 rumah tangga yang tersebar di seluruh provinsi dengan blok sensus perkotaan dan pedesaan. Secara keseluruhan, Wien Kusdiatmono selaku penanggung jawab operasionalisasi tersebut memaparkan, kekerasan terhadap perempuan mencapai 3,07 %, 3,06 % terjadi di perkotaan dan 3,08 % di pedesaan. Sehingga diperkirakan di antara 100 orang, terjadi tiga kekerasan yang dialami perempuan. Jumlah kejadiannya mencapai 3 juta dengan 2,27 juta korban.

Kekerasan terhadap perempuan paling banyak dalam bentuk penghinaan sebesar 65,3 %, penganiayaan (25,3 %), pelecehan (11,3 %), penelantaran (17,9 %), dan dalam bentuk lainnya yang tidak didefinisikan (16,2 %). Menurut Wien, penganiayaan paling banyak terjadi di Papua dengan persentase 70,3 %. Adapun di Yogyakarta kekerasan dalam bentuk penghinaan paling tinggi terjadi dengan persentase 83,43, sedangkan Maluku dan Papua masing-masing 63,70 dan 53,42 %. Berdasarkan data Komnas Perempuan, kekerasan terhadap perempuan tercatat 12.209 pada 2004, meningkat dari 2003 sebanyak 7.787 kasus, 2002 sebanyak 5.163, dan 2001 sebesar 3.169 kasus.
Dominggas Nari dalam

Perempuan Papua Harus Getol Memperjuangkan Hak Perempuan

JAYAPURA (PAPOS)- Sebagai perempuan Indonesian, semangat Kartini harus menjadi motifasi untuk tetap maju dan berjuang dalam kesetaraan mengikuti jejak-jejak kartini yang memperjuangkan hak-hak perempuan.

Demikian disampaikan Wakil ketua Tim penggerak PKK Kota Jayapura HJ. Suojarwo pada acara resepsi Hut Kartini ke-130 tingkat distrik Heram di halaman Kantor Distrik Heram Ekspo Waena, Senin (27/4) kemarin. Tema HUT Kartini tingkat distrik Heram kali ini berjudul dengan semangat hari Kartini ke 130 kita tingkatkan keterwakilan kaum perempuan di Legeslatif demi terciptanya keadilan dan kesetaraan gender.

Acara resepsi ini merupakan puncak dari rangkaian kegiatan yang diselenggarakan Tim Penggerak PKK tingkat Distrik Heram, diantaranya kegiatan tarik tambang, lompat karung, jahit menjahit dan pemberian bantuan kepada pedagang-pedagang kecil dipinggir jalan.

Resepsi ini dihadiri sekitar 50 pewakilan dari dari Tim penggerak PKK Kota Jayapura, tingkat Distrik dan kelurakhan. Pada saat saat itu juga diserahkan hadiah oleh Tim Penggerak PKK distrik Heram kepada ibu-ibu para pemenang dalam lomba HUT Kartini.

Menurut Ketua Tim penggerak PKK tingkat Distrik Heram Lina Ongge ketika ditemui Papua Pos usai resepsi di di halaman Kantor Distrik Heram Ekspo Waena mengatakan, resepsi tersebut adalah acara puncak dari semua kegiatan yang dilakukan Tim penggerak PKK distrik Heram dalam rangka menyongsong Hut kartini ke-130.’’Semoga dengan semangat kartini ini sebagai perempuan kita terus tingkatkan keterwakilan kaum perempuan, apalagi kaum perempuan yang pada pesta demokrasi 2009 ini berhasil duduk di legislatif agar terus memperjuangkan hak-hak perempuan kuhsusnya perempuan-perempuan di Papua,’’ pintanya. (cr-45)

Ditulis oleh Cr-45/Papos  
Selasa, 28 April 2009 00:00

Pernyataan Bersama Menyambut Hari Perempuan Internasional – PELIBATAN TENTARA DALAM PROGRAM KB ADALAH PENGULANGAN KESALAHAN DI MASA LALU

06 Maret 2009

Tentara Nasional Indonesia (dulu disebut ABRI) kembali akan membantu (mengawal) pelaksanaan program Keluarga Berencana (KB) yang diselenggarakan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. Kembalinya TNI dalam program Keluarga Berencana (KB) tersebut didasarkan pada nota kesepakatan (MoU) yang ditandatangani Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso dan Kepala BKKBN, Dr. Sugiri Syarief, MPA, disaksikan oleh Menko Kesra, Aburizal Bakrie, di Auditorium BKKBN Jakarta pada 12 Februari 2009.

Menurut keterangan Panglima TNI, wujud kerjasama di lapangan antara lain dengan meningkatkan kemampuan advokasi, komunikasi, informasi dan edukasi (KIE); Pergerakan dan kemitraan bagi petugas KB; Pengelolaan pelaksanaan organisasi keagamaan, organisasi profesi dan institusi masyarakat pedesaan perkotaan Program KB Nasional; Pelayanan KB, pelayanan kesehatan reproduksi kesehatan, kesehatan reproduksi remaja, kelangsungan hidup bayi dan anak serta peningkatan partisipasi pria di lingkungan TNI dan Masyarakat; Peningkatan dan pemberdayaan ekonomi keluarga, peningkatan ketahanan keluarga dan peningkatan kualitas lingkungan keluarga di lingkungan TNI dan Masyarakat; dan Pendidikan/pelatihan bagi pengelola dan pelaksana program KB Nasional di lingkungan TNI.

Salah satu target kerja sama tersebut adalah pemenuhan target akseptor baru sejumlah 6,6 juta, di tahun 2009. Berdasarkan pengalaman sejarah masa lalu, keterlibatan aparat militer dalam pelaksanaan program KB sangat rentan pelanggaran hak asasi manusia, terutama hak perempuan. Kerjasama antara BKKBN dengan TNI yang diarahkan pada pemenuhan target pencapaian akseptor baru, akan menjadi pengulangan kesalahan yang dilakukan oleh ABRI dalam mensukseskan program KB di era rezim Soeharto.

Target mensukseskan program KB dengan tolok ukur utama penambahan jumlah akseptor, yang dilakukan oleh ABRI dimasa lalu, melanggar hak-hak perempuan termasuk Hak atas otonomi tubuh, privasi, kerahasiaan, persetujuan berdasarkan pengetahuan (informed consent) dan pilihan. Bahkan pada prakteknya, peran tentara dalam KB merupakan bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender.

Saat itu, INFID (masih bernama INGI) telah melakukan kampanye di tingkat Internasional agar program KB yang didanai dari utang World Bank dihentikan. Karena Riset INFID pada tahun 1991 [1] menunjukkan bahwa penggunaan kontrasepsi dipaksakan terhadap perempuan dan melanggar prinsip persetujuan berdasarkan pengetahuan (informed consent)

Kembalinya TNI dalam program KB sangat memungkinkan terjadinya kekerasan berbasis gender, dan merusak kerja-kerja promosi hak Asasi perempuan dan keadilan gender yang telah 10 tahun dikerjakan. Karena tentara merupakan salah satu institusi negara yang tidak ramah terhadap konsep, nilai, prinsip dan perangkat kebijakan berbasis Hak Asasi Perempuan dan keadilan gender

Keluarga Berencana (KB) merupakan isu kependudukan yang memfokuskan kesehatan reproduksi dan hak-hak perempuan sebagai tema sentral. Pelayanan kesehatan reproduksi diperlukan untuk memenuhi kebutuhan kesehatan perempuan dan laki-laki berhubungan dengan masalah seksualitas dan penjarangan kehamilan. Ada 8 komponen yang termasuk dalam kesehatan reproduksi, yaitu: konseling tentang seksualitas, kehamilan, alat kontrasepsi, aborsi, infertilitas, infeksi dan penyakit; pendidikan seksualitas dan gender; pencegahan, skrining dan pengobatan saluran reproduksi, PMS (Penyakit Menular Seksual), termasuk HIV/AIDS dan masalah kebidanan lainnya; pemberian informasi yang benar sehingga secara sukarela memilih alat kontrasepsi yang ada; pencegahan dan pengobatan infertilitas; pelayanan aborsi aman; pelayanan kehamilan, persalinan oleh tenaga kesehatan

Dengan melihat luas dan dalamnya cakupan komponen kesehatan reproduksi dapat dipastikan bahwa tentara tidak memiliki kecukupan pengetahuan dan sensitifitas untuk bekerja di ranah kesehatan reproduksi tersebut.

Lebih dari itu, Kesehatan Reproduksi bukanlah merupakan Tugas Pokok dan fungsi (Tupoksi) dari tentara dalam operasi militer untuk perang (OMP) dan juga tidak termasuk tupoksi dalam operasi militer selain perang (OMSP) dan tubuh perempuan bukanlah Daerah Operasi Militer (DOM).

Peran Fungsi dan tugas Pokok TNI

Undang-undang No 34 Tahun 2004 tentang TNI menentukan bahwa: 1) TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan dan dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara, 2) TNI berfungsi sebagai penangkal dan penindak setiap bentuk ancaman militer dan ancaman bersenjata dari luar dan dalam negeri terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa serta melakukan pemulihan akibat kekacauan keamanan, 3) Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan dan mempertahankan keutuhan wilayah, 4) Melaksanakan tugas pokok dengan operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang, 5) Postur TNI dibangun sebagai postur pertahanan untuk menghadapi ancaman militer dan ancaman bersenjata, 6) Pembangunan dan penggelaran kekuatan TNI harus mempertimbangkan dan mengutamakan wilayah rawan keamanan, daerah perbatasan, daerah rawan konflik dan daerah terpencil sesuai kondisi geografis dan strategi pertahanan, 7) Dalam pelaksanaan penggelaran kekuatan TNI harus dihindari bentuk-bentuk organisasi yang dapat menjadi peluang bagi kepentingan politik praktis, 8) Penggelaran kekuatan TNI tidak selalu mengikuti struktur administrasi pemerintah

Dalam operasi selain perang, terdapat 14 operasi selain perang yaitu: mengatasi gerakan separatisme, pemberontakan bersenjata, dan aksi terorisme, mengamankan wilayah perbatasan, pengamanan obyek vital strategis, pengamanan presiden dan wakil presiden beserta keluarganya, melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai kebijakan politik luar negeri, memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukung secara dini, serta membantu: tugas pemerintahan di daerah, Kepolisian RI, pengamanan tamu negara setingkat kepala dan perwakilan pemerintah asing yang sedang di Indonesia, menanggulangi bencana alam, pengungsian dan pemberian bantuan kemanusiaan, pencarian dan pertolongan kecelakaan (search and rescue) dan membantu pengamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan dan perompakan.

Dalam menjalankan tugas-tugasnya, tentara harus mendasakan diri kepada kebijakan dan keputusan politik negara. terkait dengan ketentuan ini, maka MoU antara Panglima TNI, dan Kepala BKKBN, perlu dipertanyakan ketaatannya terhadap peraturan perundang-undangan.

Kegagalan KB adalah Pelanggaran Negara

Bahwa selama 10 tahun terakhir negara mengalami kegagalan dalam mempromosikan dan mensukseskan Keluarga Berencana, adalah realitas yang tidak dapat dipungkiri.

Kegagalan tersebut, bukanlah disebabkan oleh berhentinya kerterlibatan TNI dalam program KB. Namun lebih disebabkan oleh adanya pelanggaran yang dilakukan oleh negara, terutama pemerintah. Pasal 12 Konvensi Penghapusan segala Bentuk diskriminasi terhadap perempuan, yang telah diratifikasi oleh Indoneisa melalui UU No. 7 Tahun 1984, menyatakan bahwa negara wajib menghapus diskriminasi terhadap perempuan di bidang pemeliharaan kesehatan. Pelayanan kesehatan termasuk pelayanan yang layak berkaitan dengan kehamilan, sebelum dan sesudah persalinan, serta pelayanan cuma-cuma termasuk untuk KB serta pemberian makanan yang bergizi.

Namun sejak reformasi, dimana pemerintah memiliki ikatan utang dengan IMF (International Monetary Fund) dan diharuskan melaksankan program Structural Adjustment, yang salah satunya diharuskan menghapuskan program layanan kesehatan dan KB cuma-cuma. Sejak itulah layanan KB bagi masyarakat – terutama bagi kelompok miskin diabaikan.

Sehubungan dengan dilakukannya MoU antara Panglima TNI dengan kepala BKKBN, maka INFID mendesak agar MoU tersebut dibatalkan.

Jakarta, 6 Maret 2009

Don K Marut Direktur Eksekutif INFID

Anggota, Jejaring kerja dan Individu yang peduli, ikut mendukung pernyataan ini:

ORGANISASI:

1.Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI) Biro Informasi, Jakarta
2.BAKUMSU, Medan
3.BISMI, Depok
4.Forum Pemerhati Masalah Perempuan, Sulawesi Selatan
5.IDEA, Yogyakarta
6.IDSPS
7.Institut Perempuan
8.Institute for National and Democratic Studies (INDIES)
9.JATAM
10.KAIL
11.Kapal Perempuan
12.Kelompok Pelita Sejatera (KPS), Medan
13.Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulteng (KPKPST)
14.Koalisi Perempuan Indonesia
15.KSPPM, Medan
16.LARAS, Kalimantan Timur
17.Our Voice
18.Perkumpulan relawan CIS TIMOR
19.PIKUL, Kupang

Up ↑

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny

Melanesia Web Hosting

Melanesia Specific Domains and Web Hosting

Sem Karoba Tawy

Patient Spectator of the TRTUH in Action

Melanesia Business News

Just another MELANESIA.news site

Sahabat Alam Papua (SAPA)

Sahabat Alam Melanesia (SALAM)

Melanesian Spirit's Club

Where All Spirit Beings Talk for Real!

Breath of Bliss Melanesia

with Wewo Kotokay, BoB Facilitator

Fast, Pray, and Praise

to Free Melanesia and Melanesian Peoples from Satanic Bondages