Jayapura, Jubi – Kepala Kepolisian Daerah atau Kapolda Papua, Irjen Mathius Fakhiri menyatakan pihaknya membuka ruang bagi siapapun yang ingin bernegosiasi dengan kelompok Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat atau TPNPB pimpinan Egianus Kogoya untuk membebaskan pilot Susi Air Philips Mark Merthens. Hal itu dinyatakan Fakhiri di Kota Jayapura, Papua, Sabtu (17/6/2023). “Kami selalu menyiapkan ruang untuk bernegosiasi. Bagi siapapun yang merasa mampu berkomunikasi, aparat keamanan akan memberikan jaminan untuk silahkan berkomunikasi. Tapi [kami] juga mempunyai batas waktu,” kata Fakhiri.
Menurut Fakhiri, saat ini tim gabungan memusatkan pencarian pilot Susi Air itu di sekitar wilayah Kabupaten Nduga, Papua Pegunungan. “Kami sudah mengambil langkah, mulai dari tahap awal sampai dengan terakhir. Saya juga sudah bertemu dengan semua pihak, tokoh agama, tokoh masyarakat untuk dapat bernegosiasi dengan kelompok Egianus Kogoya,” ujarnya.
Saat ditanya soal tenggat waktu yang dinyatakan dalam video tentang kondisi terakhir pilot Susi Air, Fakhiri menyampaikan itu akan dipertimbangkan secara cermat dan teliti dalam pengambilan langkah penegakan hukum. “Kami tidak mau nanti dampak yang kami lakukan berakibat fatal bagi pilot. Kami sudah memetakan posisi pilot serta akan membuat rapat khusus guna mengambil langkah cepat di sisa waktu yang ada ini,” katanya.
Operasi penyelamatan pilot Susi Air dijalankan TNI/Polri setelah kelompok Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat atau TPNPB yang dipimpin Egianus Kogoya menyandera pilot pesawat Susi Air berkebangsaan Selandia Baru, Philip Mark Mahrten di Kabupaten Nduga pada 7 Februari 2023. Penyanderaan itu terjadi setelah Philip Mark Mahrtens mendaratkan pesawat pilatus milik maskapai Susi Air di Lapangan Terbang Paro, Kabupaten Nduga. Kelompok Egianus Kogoya juga membakar pesawat yang diterbangkan Mahrtens.
Fakhiri menegaskan pihak masyarakat ataupun pemerintah yang terlibat aktif membantu kelompok Egianus Kogoya akan berhadapan dengan proses hukum. “Saya tidak akan main-main lagi. Saya sudah memberi peringatan, tapi mereka selalu main-main dengan itu. Jika ada yang memberikan uang kepada TPNPB dan memenuhi unsur [perbuatan pidana, mereka] akan ditindak,” tegasnya. (*)
JAYAPURA – Presiden United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) alias presiden Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat Benny Wenda menyerukan kepada seluruh rakyat West Papua mendukung keanggotaan penuh di KTT Melanesian Spearhead Group (MSG).
“Kami berada di momen bersejarah bagi rakyat West Papua. Pada KTT para pemimpin Melanesian Spearhead Group (MSG) mendatang, kami sangat yakin bahwa negara-negara Melanesia akan memutuskan untuk menerima ULMWP sebagai anggota penuh grup. Atas nama ULMWP, saya menyerukan kepada semua orang West Papua, baik di pengasingan, di balik jeruji besi penjara, di semak-semak hutan atau rimba, atau di kamp pengungsian, untuk mendukung aplikasi kami dan berdoa untuk keberhasilannya,” katanya kepada Cenderawasih Pos, Kamis, (8/6) kemarin.
Dikatakan, pada pertemuan Minggu 4 Juni lalu di Jayapura, sayap eksekutif, yudikatif, dan legislatif ULMWP bersama-sama meluncurkan kampanye untuk keanggotaan penuh MSG.
“Saya menyambut dukungan mereka: dengan ketiga cabang ULMWP berbicara, seluruh gerakan kita bersatu untuk mendukung tujuan ini. Seperti apa yang dikatakan Perdana Menteri ULMWP Edison Waromi selama pertemuan, bahwa agenda kami sekarang benar-benar terfokus pada konsolidasi dukungan untuk keanggotaan penuh,” katanya.
Dikatakan, pihaknya telah membuat kemajuan luar biasa selama dekade terakhir, tetapi keanggotaan penuh MSG akan menjadi kemenangan diplomatik terbesar gerakan ini.
“Untuk pertama kalinya, orang West Papua dapat sepenuhnya mewakili diri mereka sendiri di forum internasional. Sebagai anggota penuh, kami akan dapat duduk satu meja dengan Indonesia dan membahas status politik West Papua dengan pijakan yang setara. Indonesia seharusnya tidak perlu khawatir tentang aplikasi kami, karena mekanisme inilah yang akan memungkinkan kami mencapai solusi damai untuk masalah West Papua,” katanya.
Dijelaskan, Wenda Sejak pembentukan ULMWP pada tahun 2014, masyarakat West Papua telah berdoa untuk keberhasilan realisasi tujuan tersebut. Sebagai anggota pengamat MSG, pihaknya telah membuktikan diri sebagai anggota kelompok yang menunggu , serta bertanggung jawab dan aktif. Tetapi keanggotaan pengamat tidak memungkinkan kami untuk terlibat dengan Indonesia secara setara.
“Kami hanya dapat berbicara dengan pelan, dengan setengah suara kami. Mencapai keanggotaan penuh, kita dapat berbicara dengan suara penuh,” bebernya.
Dikatakannya Juga, Solidaritas Melanesia ada dalam DNA MSG sejak didirikan pada tahun 1988, MSG telah berkomitmen untuk seluruh dekolonisasi dan kemerdekaan negara dan wilayah Melanesia. Dan sebagai salah satu pemimpin besar Melanesia, Perdana Menteri pertama Vanuatu Walter Lini mengatakan, Melanesia tidak merdeka sampai West Papua merdeka.
“Saya berharap pada KTT yang akan datang para pemimpin Melanesia mengingat tradisi yang membanggakan ini, dan bertindak dalam semangat solidaritas Melanesia ini. Keanggotaan penuh ULMWP adalah keputusan yang tepat untuk Melanesia, Pasifik, dan untuk stabilitas dan perdamaian kawasan. Setelah enam puluh tahun di hutan belantara, saatnya membawa West Papua pulang ke keluarga Melanesianya,” katanya.
Karena itu Wenda menyerukan kepada seluruh rakyat West Papua, dari semua usia, perempuan maupun laki-laki, semua suku dan afiliasi politik,
”Kami juga membutuhkan kelompok solidaritas internasional kami, organisasi agama dan masyarakat sipil Pasifik kami, termasuk Dewan Gereja West Papua, untuk mendukung permohonan kami. Keanggotaan penuh adalah jalan menuju perdamaian dan penentuan nasib sendiri. Dengan satu suara, kita semua harus berteriak: West Papua for MSG,” katanya.
Sekadar diketahui pelaksanaan KTT Melanesian Spearhead Group (MSG) 2023 akan digelar Bulan Juli mendatang di Port Villa Vanuatu.
Dan pihak ULMWP telah beberapa kali melakukan tournya, salah satunya telah bertemu dengan perdana menteri Fiji Sitiveni Rabuka Februari lalu, dimana ketika itu PM Fiji menyatakan keputusan akhir permohonan ULMWP untuk menjadi anggota penuh MSG berada di tangan para pemimpin MSG. (oel/wen)
Kita telah menyaksikan begitu banyak caci-maki dan ucapan kata-kata tidak sopan terhadap sesama pejuang Papua Merdeka yang mengemuka di Facebook, Twitter, dan YouTube. Berbagai blog juga menampilkan berita dan secara khusus ucapan-ucapan seperti berikut:
Memarahi sampai memaki-maki para pejabat ULMWP, dengan menggunakan nama-nama binatang atau kata-kata kurang-ajar kepada sesama pejuang Papua Merdeka, secara khusus pejabat Pemerintah Sementara di dalam ULMWP;
Tidak pernah menunjukkan rasa hormat kepada sesama pejuang Papua Merdeka, terutama di dalam ULMWP. Mereka berbicara seolah-olah membela “kebenaran”, tetapi yang keluar dari mulut mereka “bukan kebenaran”, melainkan kata-kata kurang-ajar dan kata-kata kebun-binatang. Mereka telah lupa, atau sengaja melupakan, bahwa yang mereka alamatkan ialah para pejabat, yang di sisi pertama harus dihargai. Dan tanda pertama penghargaan itu ialah dengan memanggil dan menyalami mereka menggunakan kata-kata yang bermoral, kata-kata yang pantas, sesuai dengan posisi mereka sebagai pejabat di dalam Pemerintah Sementara ULMWP;
Menolak untuk berhenti memarahi dan memaki-maki para pejabat Pemerintah Sementara ULMWP, dengan alasan, mereka yang melanggar Road-Map ULMWP ialah penghianat perjuangan bangsa Papua dan oleh karena itu harus dimusuhi.
Menolak untuk menyebarkan kebencian dan kemarahan, dan bahkan mengancam nyawa para pejabat ULMWP dengan alasan mereka telah salah dan bertindak di luar perintah President Sementara ULMWP (West Papua).
Sebagai sesama pejuang, dan apalagi sebagai sesama pejabat di dalam Pemerintah Sementara United Liberation Movement for West Papua (ULMWP Provisional Government), kita harus pandai menempatkan kata-kata dan memanfaatkan ucapan kita untuk saling membangun dan saling memperbaiki, bukan saling menghujat, mengancam dan menyalahkan, yang adalah jelas-jelas pekerjaan iblis.
Sebagai sesama pejuang, dan apalagi sebagai sesama pejabat di dalam ULMWP Provisional Government, marilah kita menggunakan media yang tepat dan waktu yang tepat pula, untuk menggunakan kata-kata yang tepat pula, dengan tujuan untuk menegur dan memperbaiki, bukan untuk menyalahkan dan memaki-maki dan mempermalukan sesama pejuang.
Sebagai sesama pejuang, dan apalagi sebagai sesama pejabat di dalam ULMWP Provisional Government marilah kita terus berdoa dan saling mendoakan, dengan mengedepankan sopan-santun saling menghargai, sebagai bukti kita sendiri orang beradab dan bermoral, sebagai bukti kita telah dewasa berpemerintahan sendiri dan dengan demikian sanggup berpemerintahan sendiri di luar NKRI.
Sebagai sesama pejuang, dan apalagi sebagai sesama pejabat di dalam ULMWP Provisional Government kita harus berani dan tegas mengatakan bahwa:
Kekerasan verbal terhadap sesama pejuang dan apalagi pejabat di dalam ULMWP ialah tidak pantas, tidak sopan dan pasti melayani kemauan iblis lewat NKRI;
Kekerasan verbal dan maki-maki sesama pejuang dan pejabat di dalam ULMWP ialah bukti kita tidak layak berpemerintahan sendiri, yang adalah melayani kemauan NKRI, yaitu artinya yang bersangkutan ialah agen NKRI di dalam ULMWP.
Kekerasan verbal terhadap sesama pejuang dan apalagi pejabat di dalam ULMWP ialah bukti kita bukan orang beriman, kita bukan orang beradab, kita bukan orang tahu adat. Ini hal yang memalukan dan dengan demikian harus ditinggalkan.
Untuk menanggapi berbagai wacana yang dikembangkan oleh NKRI belakangan ini, yaitu:
ULMWP ialah lembaga Koordinatif dan oleh karena itu salah kalau telah terjadi pembentukan Pemerintah Semetnara; dan karena itu, fungsi ULMWP harus tetap menjadi wadah koordinatif, dan bukan pemerintah sementara;
ULMWP yang harus menjadi anggota penuh di Melanesian Spearhead Group (MSG) dan bukan Pemerintah Sementara bentukan Benny Wenda, dkk.;
Adalah salah kalau Pemerintah Sementara bentukan Benny Wenda mendaftarkan diri menjadi anggota penuh MSG.
Maka perlu diberitahukan kepada Tuhan, malaikat, iblis/ lucifer, NKRI dan antek-antek yang gagal paham, atau tidak mau paham dengan sengaja, bahwa
ULMWP masih terus dan tetap adalah wadah koordinatif, sampai Papua Merdeka; fungsi dan perannya tidak pernah berubah sampai hari ini; tanggal 9 Juni 2023;
Yang mendaftarkan diri menjadi anggota ULMWP, yang telah diterima sebagai anggota peninjau di MSG adalah ULMWP. Dan yang pernah dan tetap menjadi pendaftar keanggotaan ialah ULMWP. Bukan Pemerintah West Papua, bukan Pemerintah Sementara.
Memang adalah SALAH kalau Pemerintah Sementara mendaftarkan diri, oleh karena ULMWP yang membentuk Pemerintah Sementara-lah yang mendaftarkan diri dan yang telah menjadi anggota peninjau saat ini. Oleh karena itu, yang harus menjadi anggota penuh ialah ULMWP, bukan pemerintah sementara.
Pelurusan ini disampaikan dalam rangka memperbaiki gagal-paham atau ketidak-pahaman berbagai pihak terkait keanggotaan ULMWP di MSG dam proses menuju keanggotaan penuh, sebagai anggota keluarga besar Melanesia.
Proses ini kita sebut proses kembali ke Honai Besar Melanesia, yang dimotori oleh ULWMP.
Kami berada di momen bersejarah bagi rakyat West Papua. Pada KTT para pemimpin Melanesian Spearhead Group (MSG) mendatang, kami sangat yakin bahwa negara-negara Melanesia akan memutuskan untuk menerima ULMWP sebagai anggota penuh Grup. Atas nama ULMWP, saya menyerukan kepada semua orang West Papua, baik di pengasingan, di balik jeruji besi [penjara], di semak-semak [hutan/rimba], atau di kamp pengungsian, untuk mendukung aplikasi kami dan berdoa untuk keberhasilannya.
Pada pertemuan hari Minggu [4 Juni 2023] di Jayapura, sayap Eksekutif, Yudikatif, dan Legislatif ULMWP bersama-sama meluncurkan kampanye kami untuk keanggotaan penuh MSG. Saya menyambut dukungan mereka: dengan ketiga cabang ULMWP berbicara, seluruh gerakan kita bersatu untuk mendukung tujuan ini. Seperti apa yang dikatakan Perdana Menteri ULMWP Edison Waromi selama pertemuan, bahwa agenda kami sekarang benar-benar terfokus pada konsolidasi dukungan untuk keanggotaan penuh.
Kami telah membuat kemajuan luar biasa selama dekade terakhir, tetapi keanggotaan penuh MSG akan menjadi kemenangan diplomatik terbesar gerakan kami. Untuk pertama kalinya, orang West Papua dapat sepenuhnya mewakili diri mereka sendiri di forum internasional. Sebagai anggota penuh, kami akan dapat duduk satu meja dengan Indonesia dan membahas status politik West Papua dengan pijakan yang setara. Indonesia seharusnya tidak perlu khawatir tentang aplikasi kami, karena mekanisme inilah yang akan memungkinkan kami mencapai solusi damai untuk masalah West Papua.
Sejak pembentukan ULMWP pada tahun 2014, masyarakat West Papua telah berdoa untuk keberhasilan realisasi tujuan tersebut. Sebagai anggota pengamat MSG, kami telah membuktikan diri sebagai anggota kelompok yang menunggu , serta bertanggung jawab dan aktif. Tetapi keanggotaan pengamat tidak memungkinkan kami untuk terlibat dengan Indonesia secara setara: kami hanya dapat berbicara dengan pelan, dengan setengah suara kami. Mencapai keanggotaan penuh, kita dapat berbicara dengan suara penuh.
Selama enam puluh tahun terakhir, kami sering merasa tidak bersuara dan sendirian saat kami berjuang melawan rasisme , pembersihan etnis, dan genosida kolonial. Semua orang West Papua tahu bahwa kita tidak aman dengan Indonesia. Tetapi agar perjuangan kemerdekaan kita dapat maju, pertama-tama kita membutuhkan dukungan dari saudara-saudari Melanesia kita. Solidaritas Melanesia ada dalam DNA MSG: sejak didirikan pada tahun 1988, MSG telah berkomitmen untuk “seluruh dekolonisasi dan kemerdekaan negara dan wilayah Melanesia.” Dan sebagai salah satu pemimpin besar Melanesia, Perdana Menteri pertama Vanuatu Walter Lini mengatakan, Melanesia tidak merdeka sampai West Papua merdeka.
Saya berharap pada KTT yang akan datang para pemimpin Melanesia mengingat tradisi yang membanggakan ini, dan bertindak dalam semangat solidaritas Melanesia ini. Keanggotaan penuh ULMWP adalah keputusan yang tepat untuk Melanesia, Pasifik, dan untuk stabilitas dan perdamaian kawasan. Setelah enam puluh tahun di hutan belantara, saatnya membawa West Papua pulang ke keluarga Melanesianya.
Karena itu saya menyerukan kepada seluruh rakyat West Papua, dari semua usia, perempuan maupun laki-laki, semua suku dan afiliasi politik, baik Anda Melanesia ataupun migran Indonesia: bersatu di belakang tujuan ini. Kami juga membutuhkan kelompok solidaritas internasional kami, organisasi agama dan masyarakat sipil Pasifik kami, termasuk Dewan Gereja West Papua, untuk mendukung permohonan kami. Keanggotaan penuh adalah jalan menuju perdamaian dan penentuan nasib sendiri. Dengan satu suara, kita semua harus berteriak: West Papua for MSG!
PORT VILA, VANUATU (25 May 2023): The Melanesian Spearhead Group (MSG) Secretariat has reiterated its support for the call by the Kanak and Socialist National Liberation Front (FLNKS) on the Administering power to return to the spirit of the Noumea Accord, in the negotiations post-Referendums, which has resulted in the peaceful co-existence of all stakeholders in New Caledonia.
Director General of the MSG Secretariat, Leonard Louma, made the call while delivering his remarks at the Pacific Regional Seminar on the Implementation of the Fourth International Decade for the Eradication of Colonialism in Bali, Indonesia on 24 May 2023.
With the theme “Innovative steps to ensure the attainment of the Sustainable Development Goals (SDGs) in the Non-Self-Governing Territories”, the seminar was held under the auspices of the Special Committee on the Situation with regard to the Implementation of the Declaration on the Granting of Independence to Colonial Countries and Peoples (C-24).
DG Louma said that the FLNKS, a member of the MSG family, consists of and represents the indigenous and colonised people of New Caledonia – a Non-Self-Governing Territory within the meaning of the UN Charter and Resolution 1514 (XV) and entitled to the ultimate objectives of the decolonisation process – that of independence.
“We are here to support the FLNKS and Kanaks call for New Caledonia to be released from the shackles of colonialism.”
“For us at the MSG, that were in the vanguard of action to have New Caledonia re-inscribed on the Committee of 24 list in 1986, we value the recognition by the UN family of New Caledonia’s continuing status as a Non-Self-Governing Territory and by that virtue affording its colonised people’s an entitlement to aspire for independence,” he stated.
DG Louma said that as a party and signatory to the Noumea Accord, FLNKS continues to engage, in good faith, with the Administering Power to achieve its aspirations of full sovereignty. He emphasised that the spirit and intent that went into the framing of the Noumea Accord embodies the “irreversibility” of the process towards full sovereignty.
He noted that the circumstances and manner in which the Third Referendum in New Caledonia was conducted in December 2021 during the height of Covid 19 challenges, and despite calls to defer the referendum by the FLNKS, leaves much to be desired.
This he said, has inevitably called to question the credibility of the process and the legitimacy of the results when 56.13% of the registered voters did not participate in the referendum.
“We remain ready to assist FLNKS in its efforts to seek legal validation of its position on the Third Referendum and the questionable validity of its results,” he added.
DG Louma emphasised that, MSG is of the view that in the absence of a decision by the General Assembly that New Caledonia, a Non-Self-Governing Territory, has attained a full measure of self-government in terms of Chapter XI of the UN Charter, the Administering Power has the obligation to faithfully discharge its responsibilities to prepare New Caledonia for independence within the spirit and meaning of the UN Resolution 1514 (XV).
MSG countries he said, are committed to do whatever they can to help New Caledonia through the FLNKS vehicle attain its aspirations of sovereignty through peaceful means.
“Let us all utilise the opportunity provided by the Fourth International Decade for the Eradication of Colonialism to re-examine our efforts and inject more vigour in our commitment to end colonialism. In some cases we may require to correct course in our strategies and efforts,” he noted.
DG Louma proudly acknowledged Fiji and Papua New Guinea, for their unremitting involvement in the work of the Committee of 24, with regards to specific contribution by MSG to advance the decolonisation agenda concerning the remaining territories on the list of Non-Self-Governing Territories (New Caledonia),
“We at the MSG recognise our responsibility to assist with the efforts to prepare the Kanaks and New Caledonia towards the genuine exercise of their right to self-determination and eventual accession to independence status,” DG Louma said.
New Caledonia continues to enjoy invitations from the MSG to participate in our sporting and cultural events, as part of the MSG’s recalibrated strategy and plans, namely their participation at the MSG’s flagship cultural event, the Melanesian Arts and Culture Festival (MACFEST), and the MSG Prime Minister’s Cup Football Tournament.
Another is the inclusion of FLNKS Representatives on MSG countries’ Delegations to International Meetings as part of the diplomatic efforts to solicit support for New Caledonia’s independence, among others.
In an effort to build transformative pathways to advance the Fourth International Decade for Ending Colonialism, DG Louma proposed a number of ideas including the proposal that New Caledonia be allowed to enter into Trade Agreements with neighbouring Pacific Countries.
DG Louma concluded that there is an important nexus between the attainment of SDG in Non-Self-Governing Territories and their aspirations of self-determination and independence.
“Actions aimed at attainment of these SDG targets will ensure that when Territories and Peoples to which Resolution 1514 (XV) applies eventually attain full self-determination and independence, they will be better placed to take on responsibilities of governance, better assured of maintaining sustainable economic prosperity, better able to sustain equitable and decent living standards and able to take their seats amongst the family of nations as viable independent states,” he said.
Caption: Director General of the MSG Secretariat, Leonard Louma delivering his remarks at the Pacific Regional Seminar on the Implementation of the Fourth International Decade for the Eradication of Colonialism in Bali, Indonesia on 24 May 2023.
Ada di ingatan kita, pada 2017 petisi 1.8 juta tanda tangan masuk Komisi Dekolonisasi UN, ada orang Papua perintahkan cabut itu dan dituntut minta maaf dalam waktu 24 jam.
Tuntutan itu disampaikan oleh Oktovianus Mote.Tahun 2019 resolusi PIF keluarkan desak komisioner HAM-UN ke West Papua, ACP adopsi itu, diikuti Belanda, Inggris, Polandia, Spanyol, dan terakhir Uni-Eropa.
Total 108 negara resmi anggota UN desak Komisi HAM PBB ke West Papua. Atas desakan itu, Indonesia dan orang Papua yang dipakai Indonesia seperti: Markus Haluk, Menase Tabuni, Daniel Radongkir, Benny Giyai, Dorman Wandikbo dan Timotius Murip sendiri ke Jenewa tanda tangan MoU jedah Kemanusiaan untuk batalkan kunjungan PBB ke Papua. Negara-negara anggota MSG: Vanuatu, Fiji, Kanaky, dan lainya tegas dukung West Papua masuk full member MSG.
Orang-orang Papua sendiri juga ke sana bawa agenda KTT dan perpecahan ULMWP, atau dualisme ULMWP. Orang – orang seperti Markus Haluk & Daniel Radongkir ini kemarin berhasil membatalkan kunjungan Komisaris Tinggi Dewan HAM PBB ke West Papua. Sekarang mereka juga yang pergi mengelilingi negara – negara MSG untuk menunda atau membatalkan KTT-MSG yang rencananya mau menerima West Papua sebagai full member MSG itu.
Ketika, dukungan internasional menjadi nyata, buat perpecahan dalam tubuh lembaga perjuangan (ULMWP) dengan agenda-agenda tandingan ciptakan dualisme. Kalo lihat cara-cara ini, kita tidak mengerti perjuangan model ini, apakah berjuang untuk Papua merdeka atau berjuang untuk memperbaiki nilai-nilai HAM dan demokrasi di dalam konteks NKRI harga mati. Perjuangan ini dihancurkan oleh orang Papua sendiri dan lebih khususnya anggota ULMWP yang dipakai oleh NKRI atas nama perjuangan itu sendiri. Kesimpulan saya, semua ini terjadi antara agenda dialog Jakarta-Papua vs agenda resolusi ke PBB.
Dialog Jakarta-Papua jelas ikuti konsep resolusi Aceh, sedang Resolusi ke PBB ikuti konsep resolusi Timor Leste. Silahkan Rakyat Papua menilai dan memilih sendiri. Mana yang diuntungkan.
Catatan ini berdasarkan dokumen-dokumen resmi, bisa dibuktikan bila ada yang bantah.
Dulu SBY ke PNG, Salomon dan Fiji. Retno dan Wiranto juga ke sana, dan terakhir tahun 2022 Retno ke PNG, Salomon dan Fiji. Semua bawa cek.
Tahun 2019 Wiranto umumkan akan libatkan 41 kementerian dan badan untuk bangun negara-negara Pasifik. Tahun 2019 Tantowi Yahya, Franzalbert Yoku, Nicolas Meset, dan bersama delegasi Indonesia halangi Ketua ULMWP Benny Wenda di Fiji. Indonesia bayar pesawat Fiji dan Selandia yang mengangkut delegasi KTT PIF ke Tuvalu. Benny Wenda sudah naik pesawat, tetapi pilot melarangnya naik pesawat tersebut. Akhirnya, pada hari kedua, Benny naik pesawat ke Tuvalu melalui bandara lain. Dengar hal ini, Ketua PIF saat itu dan juga presiden Tuvalu marah kepada Indonesia. Ketua PIF mengatakan negara lain di luar regional jangan datang atur kami, kami negara-negara anggota PIF mempunyai aturan sendiri, kami mengundang orang-orang kami untuk masalah regional kami.
Meskipun, 41 kementerian Indonesia mobilisasi uang dan program untuk bangun negara-negara Pasifik tahun 2019, tetapi nilai kebenaran itu tidak bisa dibeli dengan uang dan program. Hal itu terbukti, tahun tahun 2019, dalam KTT PIF di Tuvalu resmi keluarkan resolusi HAM untuk West Papua.
Presiden Jokowi sendiri terlibat dalam pengiriman makanan dan uang ke Vanuatu. Ini berbeda dari kebiasaan selama ini, dimana pengiriman bantuan dan diplomasi ke Pasifik dilakukan oleh Menlu atau Kedubes. Bantuan kali ini keterlibatan langsung dengan Presiden Jokowi, Menteri Pertahanan dan Menteri Luar Negeri.
Status ULMWP full member MSG sangat menentukan perubahan di West Papua. Hal ini menjadi alasan mendasar, bahwa presiden Jokowi terlibat langsung dalam diplomasi politik cek ekonomi ini. Mari kita saksikan, dua bulan ke depan.
1 Desember 1961 dan persiapan segala atribut Negara-Bangsa West Papua adalah proses dekolonisasi West Papua sesuai dengan Camberra Agreement, tanggal 6 February 1947. Agreement ini dilakukan oleh the South Pacific Commission untuk mempersiapkan proses Dekolonisasi wilayah-wilayah yang tidak perpemerintahan di Sendiri (Non-Self-Governing Territories) di Wilayah Pasifik.
Anggota dari South Pacific Commission terdiri atas t Negara: Prancis, Inggris dan Irlandia Utara, Australia, Selandia Baru, Belanda, dan Amerika Serikat. Dimana West Papua disebutkan secara tegas dalam Agremment ini, pada Artikel II ayat 2, sebagai berikut:
“The territorial scope of the Commission shall comprise all those non-self-governing territories in the Pacific Ocean which are administered by the participating Governments and which lie wholly or in part south of the Equator and east from and including Netherlands New Guinea.”
Dalam pasal ini sangat jelas dan tegas bahwa West Papua yang disebut “Netherlands New Guinea” adalah “non-self-governing territories in the Pacific Ocean”. Implementasi agremment itu, 1 Desember 1961 deklarasi Parlemen New Guinea, Bendera, Lagu, Partai-partai politik, dan simbal negara bangsa lain. Deklarasi ini dihadiri resmi delegasi Pemerintah Inggris, pemerintah Francis, Pemerintah Australia, pemerintah Belanda, dan Pemerintah Provinsi Australia-Papua New Guinea. Kehadiran Delegasi Resmi ini adalah pengakuan resmi kemerdekaan West Papua.
Karena itu, Invasi Indonesia 1 Mei 1962 adalah ilegal. Indonesia juga tidak implementasikan One Man one Veto sesuai New York Agremment 15 Agustus 1962 pasal 18 menegaskan, Acht of Free Choice di West Papua dilakukan dengan tata cara Internasional, One Man One Vote, setiap orang Papua di atas usia 17 tahun terlibat langsung dalam referendum itu. Oleh karena itu, Resolusi 2504 tidak disahkan dan tidak resmi.
Pada artikel IX-XIV mengatur tentang Pacific Konfrence yang saat ini disebut Pacific Islands Forum (PIF), pada artikel 9 (IX) tegas mengatakan anggota dari forum ini adalah mencakup semua wilayah tak berpemerintahan sendiri yang masuk dalam Komisi Pasifik Selatan ini. Maka West Papua secara otomatis adalah anggota dari PIF dan peluang West Papua menjadi anggota PIF sangat terbuka lebar. Seperti dilakukan oleh GKI-TP Papua telah kembali di Konferensi Geraja-Gereja Pasifik sebagai pendiri sekaligus anggota, dan GKI-TP bawa tiga gereja lain di forum gereja ini yakni: GIDI, Baptis dan Kingmi.
Dengan demikian, status West Papua sampai hari ini adalah “non-self-governing territory”, yang diakui dalam Camberra Agremment itu.