Antisipasi Merebut Peluang dukungan internasional

Nelson Mandela
Cover of Nelson Mandela

Dunia dan manusia sekarang punya orang-orang seperti Yesus Kristus, Muhammad, Marthin Lutther King, Nelson Mandela, Noam Chomsky, Ghandi, Desmond Tutu, George Monbiot, dan John Pilger yang suaranya didengar banyak manusia lain dan suara mereka punya pengaruh ke dalam alam bawah sadar manusia, untuk merubah pola pikir, untuk mendorong tindakan-tindakan.

Peradaban modern juga mengenal benar negara dan warga negara dari mana yang memiliki pengaruh terhadap kebijakan negara mereka. Atau dengan kata lain, pemerintah mana yang biasanya mendengarkan opini publik di negaranya. Memang harus diakui tidak semua opini publik diikuti, tetapi opini yang menguntungkan negara yang bersangkutan, maka negara selalu menggunakan alasan “kehendak rakyat” untuk menindak-lanjuti opini dan sikap publik.

Dua aspek yang kita lihat di sini. Ada oknum berpengaruh di dunia ini di satu sisi dan ada sistem pemerintahan dan masyarakat yang memberikan peluang kepada opini dan kehendak pulik untuk mempengaruhi sebuah kebijakan. Oknum yang punya pengaruh telah terbukti dapat mempengaruhi sebuah kebijakan. Penduduk dari beberapa negara yang secara garis besar demokratis, maka  opini penduduknya didengarkan oleh pemerintah.

Hampir semua oknum yang berpengaruh di dunia ini telah memberikan opini dan bahkan dukungan kepada perjuangan Papua Merdeka.

Perkembangan dukungan dari Professor Linguistic  Noam Chomsky dan kunjungan

English: A portrait of Noam Chomsky that I too...
English: A portrait of Noam Chomsky that I took in Vancouver Canada. Français : Noam Chomsky à Vancouver au Canada en 2004. (Photo credit: Wikipedia)

seorang pemerhati HAM dari negara Kanada dengan situsnya http://www.pedallingforpapua.com/ ini menyusul dukungan-dukungan dari tokoh berpengaruh lain dan penduduk negara maju lain yang mewarnai pemberitaan tentang perjuangan dan kampanye Papua Merdeka di pentas politik global.

Kedua berita ini menyusul berita tentang pengibaran Sang Bintang Kejora di Kantor Gubernur DKI Port Moresby, Papua New Guinea pada akhir tahun yang barusan lewat.

Dukungan ini diramaikan dengan berbagai pemberitaan secara luas dan terus-menerus dari negeri Kangguru Australia dengan Freedom Flotila dan berita-berita lain yang meramaikan dukungan terhadap perjuangan dan kampanye Papua Merdeka di wilayah Oceania. Tulisan-tulisan dan laporan orang Papua langsung bisa dimuat di berita-berita Online dan Koran di Australia. Sesuatu yang tidak pernah dibayangkan lima tahun lalu.

Papua Merdeka
Papua Merdeka (Photo credit: Roel Wijnants)

Dukungan ini diwarnai juga dengan proses negosiasi alot PM Republik Vanuatu (satu-satunya republik di kawasan Melanesia) dengan pemimpin negara-negara lain di kawasan Melanesia untuk memasukkan West Papua sebagai anggota atau paling tidak peninjau di forum Melanesia Spearhead Group (MSG).

Dukungan Melanesia ini justru menyusul peluncuran secara resmi International Parliamentarians for West Papua dan International Lawyers for West Papua di negeri Britania Raya.

Yang harus menjadi renungan dari setiap insan yang bersuku-bangsa Papua ialah,

“Apa arti dari semua ini untuk masadepan Papua?”

Atau lebih langsung,

“Apakah pendudukan NKRI atas Tanah Papua bersifat kekal-abadi?”

Jawabannya kita harus sampaikan dengan pertama-tama tanyakan kepada NKRI sendiri,

Apakah Belanda pernah bermimpin Belanda harga mati di wilayah Hindia Belanda?”,

“Bukankah Indonesia juga telah berjuang dan terbukti telah menang walaupun Belanda terus-menerus selama 350 tahun menyatakan Hindia Belanda harga mati?”

Dengan kata lain, penjajah hari ini patut bertanya,

“Apakah sebuah penjahan itu selalu langgeng sampai kiamat?”

Setelah itu, mulai dari Gubernur Provinsi Papua Lukas Enembe bersama Wakil Gubernurnya Klemen Tinal dan Ketua DPRP Deerd Tabuni dan seluruh anggota DPRP, para Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota, Kepala Distrik dan Lurah, sampai kepala Desa, pimpinan PDP, TPN/OPM, Demmak, MRP, Gubernur Bram Atururi dan Ketua DPRPB, semua komponen masyarakat, semua orang Papua haruslah bertanya dan menjawab pertanyaan sendiri:

Apa artinya semua dinamika ini?

Apa yang harus saya lakukan mengantisipasi segala hal yang bakalan terjadi, mengingat tidak ada penjajahan di muka bumi ini yang langgeng kekal-abadi?

Jangan sampai kita bernasib sama dengan Hercules dan Eurico Guiteres. Mereka bersama rekan semarga sekampung mereka kini melarat dan kesasar sampai ke kampung-kampung di Tanah Papua karena ditelantarkan oleh negara dan bangsa yang mereka bela: Indonesia. Mereka malahan ditembak dan dimajebloskan ke Penjara, seolah-olah mereka penghianat NKRI. Mereka tiap hari berpeluh keringant di Camp Pengungsian tanpa pernah diperhatikan. Sekali waktu Sutiyoso, mantan Gubernur DKI Jakarta katakan secara langsung dan terus-terang kepada Eurico Gueteres, “Anda kan dari Timor Leste, solusi terakhir Anda harus pulang ke kampung halaman.” dalam wawancara dengan Kick Andy beberapa tahun lalu.

Satu hal yang pasti, badai globalisasi selalu dan pasti menggilas semua yang menentangnya atau mencoba-coba menahannya. Badai globalisasi benar-benar menghanyutkan bagi yang menentangnya. Tetapi mereka yang mengikuti arusnya tidak bakalan tergilas. Badai globalisasi itu perdagangan bebas, korporasi multinasional, organisasi agama, hubungan perdagangan, dan jagan lupa “dukungan internasional terhadap apa saja di dunia ini”. NKRI selalu ke luar negeri dan bilang, “Amerika dukung Papua di dalam NKRI,” “Australia tetap dukung Papua di dalam Indonesia” dan sejenisnya. Itu artinya dukungan internasional begitu penting bagi pendudukan NKRI atas tanah dan bangsa Papua. Itu mengandung makna dukungan internasional-lah yang memampukan NKRI menganeksasi dan mendudukan negara West Papua dan warga negaranya. Sekarang bagaimana dengan dinamika dukungan masyarakat internasional terhadap Papua Merdeka belakangan ini? Bukankah ini salah satu dari sekian banyak arus globalisasi dimaksud? Apakah NKRI sanggup menahan atau menentangnya?

Apakah kita orang Papua masa bodoh saja terhadap perkembangan terkini seperti ini dan buat seolah-olah tidak ada apa-apa dan sibuk dengan Otsus, UP4B dan Otsus Plus?

Kapan Gubernur dan Wakil Gubernur Papua, Gubernur dan Wakil Gubernur Papua Barat dan Ketua DPR, Bupati dan Walikota mereka memberikan dukungan kepada perjuangan dan kampanye Papua Merdeka? Kalau mereka malas tahu saat ini, apakah Papua Merdeka akan mau tahu mereka? Apakah NKRI akan mau tahu mereka?

Semuanya terserah! Semuanya kembali kepada hatinurani seorang manusia! Insan yang sehat rohani dan jasmani tidak akan keliru dalam mengambil sikap dan langkah berdasarkan naluri hewaninya dalam rangka menyelamatkan dirinya dan kaumnya. Kalau tidak begitu, kita kelompok hewan yang paling bodoh yang pernah ada di planet Bumi ini.

Enhanced by Zemanta

Mahasiswa Papua di Pulau Jawa-Bali Mentuntut Hak Menentukan Nasib Sendiri

Banner Tuntutan Mahasiswa Papua di Surabaya, 1 Desember 2013
Banner Tuntutan Mahasiswa Papua di Surabaya, 1 Desember 2013

Menyusul berbagai aksi, pertunjukan film, diskusi dan demonstrasi di berbagai kota studi di seluruh pulau Jawa dan Bali, termasuk melompat masuk pagar  Konsulat Australia di Bali, kini seluruh komponen mahasiswa Papua, dikoordinir oleh Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) melakukan aksi dengan tema menuntut NKRI mengembalikan kedaulatan bangsa Papua yang telah dirampok di kota Surabaya, Jawa Timur.

Aksi mahasiswa Papua dilakukan seperti biasa, diwarnai dengan orasi-orasi, tarian-tarian adat dan teriakan-teriakan “Papua Merdeka”. Para mahasiswa juga menghias diri dengan hiasan khas Papua dan mengenakan pakaian Adat, pakaian pembeda jatidiri Papua: Koteka dan Sali.

Demonstrasi dan tuntutan kali ini menjadi istimewa karena mulai tanggal 1 Desember 2013, bendera Bintang Kejora secara resmi berkibar di Kantor Gubernur DKI Port Moresby, yang menandakan tabir merah, yang selama ini dipasang oleh NKRI dengan ancaman, suap dan pembayaran menggunakan perempuan Indonesia kepada pejabat sipil, kepolisian dan militer Papua New Guinea sampai kepada pertukaran anak dengan para pejabat PNG terbukti tidak mampu menghapus jatidiri dan hargadiri bangsa Papua, dari Sorong sampai Samarai.

Menyusul peluncuran “Sorong – Samarai Campaign” bulan lalu yang dipimpin Fred Mambrasar, kini kita menyaksikan pengibaran Bendera Bintang Kejora di sebuah Kantor Pemerintahan dari negara yang sudah merdeka dan berdaulat di kawasan saudara-saudara serumpun Melanesia, menyusul even-even yang sama kita saksikan terjadi berulangkali di Republik Vanuatu. Kampanye Sorong-Samarai kali ini tidak sekedar gaung, ia benar-benar terbukti memasuki kantor-kantor pemerintahan negara tetangga West Papua: Papua New Guinea.

Dukungan dan aksi yang dilakukan mahasiswa Papua se Jawa-Bali tahun ini secara khusus dan tegas menuntut NKRI untuk memberikan kesempatan kepada bangsa Papua  menentukan nasibnya sendiri. Dan tuntutan mereka bahwa referendum ialah solusi yang paling tepat, paling demokratis dan bermartabat.

Pages: 1 2

Kampanye Papua Merdeka Memasuki Babak Baru per 1 Desember 2013

Mr. Benny Wenda and His Wife, Mrs. Maria H. Wenda
Mr. Benny Wenda and His Wife, Mrs. Maria H. Wenda

Memperingati hari bersejarah atau hari besar bangsa Papua 1 Desember telah dilakukan berbagai kegiatan oleh bangsa Papua di tanah airnya (West Papua) maupun di berbagai tempat di seluruh muka Bumi. Kegiatan-kegaitan peringatan HUT 1 Desember yang mulai diperkenalkan kepada bangsa Papua sebagai “Hari Kemerdekaan” West Papua itu sejak tahun 2000 telah dilakukan dengan berbagai cara. Cara pertama di awal-awal abad ini ialah dengan pengibaran Bendera besar-besaran dan meluas di seluruh Tanah Papua, bahkan di manapun orang Papua berada Bintang Kejora berkibar dengan bebasnya. Orang Papua menyambut “udara bebas” ini dengan luapan ucapan syukur kepada Tuhan dan dengan genagan air mata kegembiraan. Banyak pemuda dan orang tua tidak sanggup menyaksikan Bintang Kejora berkibar dan bebas berkibar di Tanah Airnya, Bumi Cenderawasih.

Begitu berganti presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia, berganti pula kebijakan. Sejak Megawati Sukarnoputir menjadi Presiden, pertama-tama ia memerintahkan penculikan dan pembunuhan Ketua Presidium Dewan Papua (PDP) Dortheys Hiyo Eluay (Theys Eluay). Tepat 10-11 November 2001 Theys Eluay diculik dan ditemukan tewas di jalan menuju wilayah perbatasan West Papua – Papua New Guinea.

Dengan ancaman dan terornya, NKRI mulai melakukan penengekangan besar-besaran. Banyak aktivis dan tokoh Papua Merdeka dikejar, diburu dan dibantai.

Dampaknya kegiatan peringantan HUT Hari Besar Bangsa Papua sepanjang 10 tahun lebih belakangan ini terjadi secara kecil-kecilan. Ada yang ditandai dengan pengibaran Bintang Kejora, secara terbuka, ada yang secara tersembunyi. Ada yang diselenggarakan dengan orasi-orasi politik dan demonstrasi. Tetapi pada umumnya dirayakan dengan Kebaktian Ucapan Syukur memperingati Hari Besar bangsa Papua ini.

Menjelang 1 Desember banyak sekali aksi-aksi seperti teror dan penembakan terjadi di mana-mana. Menurut pengamatan “The Diary of OPM” kebanyakan merupakan hasil rekayasan NKRi dalam rangka mencari proyek HUT OPM per tanggal 1 Desember dan per tanggal 1 Juli setiap tahunnya. Paling tidak dua kali, atau ditambah HUT Bintang-14 tanggal 14 Desember setiap tahun juga menjadi hari-hari yang mendatangkan reseki atau uang kaget bagi para aparat TNI dan Polri yang bertugas di Tanah Papua. Oleh karena itu, kalau saja OPM dan tentaranya di rimba Papua berupaya memperingati HUT mereka dengan damai, itu hal yang tidak akan terjaid, karena aparat NKRI tidak bakalan mendapatkan uang kaget mereka. Itulah sebabnya tanggal-tanggal bersejarah bangsa Papua selama ini selalu menjadi tanggal-tanggal TNI dan Polri mencari uang kaget dan reseki tambahan.

Untuk tahun ini ada peristiwa penting yang terjadi, tepat 13 tahun setelah Bintang Kejora berkibar di Port Numbay (tepatnya Gedung Kesenian saat ini) di Taman Imbi, kini tanggal 1 Desember 2013, Bendera Bintang Kejora berkibar secara resmi di Kantor Gubernur Daerah Khusus Ibukota (NCD) dari negara orang Papua di sebelah Timur pulau New Guinea, Papua New Guinea. Pengibaran Bintang Kejora ini sendiri dipimpin langsung oleh Fungsionaris Organisasi Papua Merdeka Rt. Powes Parkop, MP, yang adalah Gubernur NCD sendiri.

Pages: 1 2

Ini Cerita Nominasi Nobel Benny Wenda dan Filep Karma

Benny Wenda dan Filep Karma. Foto: Ist.

Oslo — Pekan ini, informasi tentang nominasi Hadiah Nobel Perdamaian untuk dua pemimpin gerakan Papua Merdeka, Benny Wenda dan Filep Karma beredar luas.
Informasi ini pertama kali dirilis di http://www.bennywenda.org dan http://www.freewestpapua.org pada 8 Oktober 2013 dengan judul “West Papuan leaders nominated for Nobel Peace Prize 2013”.

Selanjutnya, informasi tersebut beredar melalui Short Message Service (SMS), Facebook, Tweeter, dan dipublikasikan di beberapa website termasuk beberapa media publik di Papua.

Nah, apakah laporan ini tidak menciptakan kebingungan luar biasa bagi rakyat Papua?

Dalam laporan itu menulis, Benny Wenda dan Filep Karma telah dinominasikan untuk Hadiah Nobel Perdamaian 2013.

Dikatakan, aplikasi mereka berhasil disampaikan kepada Komite Nobel oleh anggota Departemen Politik di University of Reading, Inggris pada bulan Januari tahun ini. Bahkan, dikatakan pemenang akan diumumkan Jumat 11 Oktober 2013 lalu.

Kebingungan tercipta karena dalam laporan itu tidak secara jelas menyebutkan sumber informasi soal nominasi itu. Laporan itu selain menyinggung soal penyampaian aplikasi kepada Komite Nobel, juga mengacu pada profil Filep Karma yang dipublikasikan di http://www.freedom-now.org pada 2011 silam.

Lalu, sebenarnya, siapa yang berhak mengajukan nominasi Hadiah Nobel Perdamaian?

Menurut Statuta Yayasan Nobel, nominasi dianggap sah apabila disampaikan oleh orang yang termasuk dalam salah satu kategori berikut.

Anggota majelis nasional dan pemerintah negara-negara; anggota pengadilan internasional; rektor universitas, profesor ilmu sosial, sejarah, filsafat, hukum dan teologi; direktur lembaga penelitian perdamaian dan lembaga kebijakan luar negeri; orang-orang yang telah dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian.

Selain itu, anggota dewan organisasi yang telah dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian; anggota aktif dan mantan Komite Nobel Norwegia, (proposal oleh anggota Komite yang akan disampaikan paling lambat pada pertemuan pertama Komite setelah 1 Februari); dan atau mantan penasihat Komite Nobel Norwegia.

Berdasarkan pengajuan orang yang termasuk dalam salah satu kategori di atas, selanjutnya, Komite Nobel membuat seleksi berdasarkan nominasi yang diterima atau stempel pos paling lambat tanggal 1 Februari tahun yang bersangkutan. Nominasi yang tidak memenuhi tenggat waktu biasanya disertakan dalam penilaian tahun berikutnya.

Anggota Komite Nobel berhak untuk mengajukan calon mereka sendiri pada akhir pertemuan pertama Komite setelah berakhirnya batas waktu. Komite sendiri tidak mengumumkan nama-nama calon.

Sebenarnya, apa kriterianya untuk seseorang mendapatkan penghargaan yang dikenal The Nobel Peace Prize itu?
Penghargaan paling terkenal di dunia ini diberikan oleh Komite Nobel Perdamaian kepada mereka yang telah

“melakukan suatu pekerjaan besar atau karya terbaik untuk persaudaraan antara bangsa-bangsa, dan mereka yang telah melakukan promosi perdamaian untuk mengatasi kekerasan.”

Diketahui, mereka yang telah mendapatkan penghargaan ini adalah Uskup Agung Desmond Tutu, Jose Ramos Horta, Nelson Mandela, dan Aung San Suu Kyi.
Nominasi Hadiah Nobel Perdamaian untuk Benny Wenda dan Filep Karma jika dipandang Komite Nobel Perdamaian layak, tentu sesuatu yang wajar. Karena, Komite Nobel tentu memiliki standar menetapkan seseorang sebagai nominator. Juga, ada aturan soal siapa yang berhak mengajukan nominasi ini.

Informasi yang kredibel tentu rakyat Papua butuhkan. Informasi yang benar tidak akan membuat rakyat Papua kebingungan. Laporan ini bisa jadi sama membingungkan saat Jacob Rumbiak yang mengklaim sudah mendapat dukungan dari 111 negara, termasuk Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Kanada, dan Jepang di waktu lalu, yang ternyata tidak benar.

Peristiwa membingungkan bagi rakyat Papua yang lain adalah informasi soal pemberian paspor dan visa Aborigin kepada orang Papua yang berada di Australia oleh Freedom Flotilla from Lake Eyre pada sebuah upacara sejarah yang diadakan di luar Victorian Trades Hall di Melbourne, Australia.

Pada upacara pemberian paspor dan visa Aborigin itu, Jacob Rumbiak mengatakan, “Misi ini akan menyatukan kembali hubungan keluarga Adat kami, yang rusak oleh evolusi geologi dan batas-batas kolonial.” Tapi akhirnya, dianggap hanya sensasi.

Lain lagi, saat beredar berita, anggota-anggota parlemen dari seluruh dunia berkumpul di Westminister Abbey, Inggris untuk membahas status Papua Barat dalam Indonesia.

Saat itu, diberitakan, mereka berbicara soal “Act of Free Choice” tahun 1969, Perjanjian New York tahun 1962, dan hak penentukan nasip sendiri bagi Papua Barat. Juga, ternyata tidak semua anggota-anggota parlemen dari seluruh dunia berkumpul di sana.

Cukup banyak informasi membingungkan lain. Dari Papua misalnya, momen-momen sensasional dari Forkorus Yaboisembut, yang mengklaim dirinya sebagai Presiden Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB) yang dicatat tabloidjubi.com.

Semoga saja, rakyat Papua diberikan informasi yang benar agar mereka bertindak atas informasi yang benar itu. Informasi kredibel tentu merupakan kebutuhan untuk bertindak dengan benar untuk kemajuan mereka di masa kini dan masa yang datang. (GE/MS)

Selasa, 15 Oktober 2013 02:02,MS

MODEL DAN POLA PEJUANG PAPUA MERDEKA DALAM BERPOLITIK MASA KINI

( Atas Nama Moyang Pencipta Alam dan Manusia Papua, Atas nama Pahlawan yang telah gugur di medang perjuagan yang telah mendahului kita, Atas nama korban tulang-belulang rakyat oleh karena Papua Merdeka yang telah mati diculik, ditangkap, dipenjarakan, dibunuh, diperkosa, disiksa, dan dihina, Atas Nama yatim piatu, Janda duda yang ditinggalkan oleh karena perjuangan bangsa Papua untuk Merdeka, Atas Nama generasi sekarang, generasi yang telah lahir dan yang akan lahir:; Izinkanlah saya untuk menyampaikan pendapat saya atas refleksi dan perenungan saya dalam catatan ini hanya untuk dan demi Tanah airku, bangsaku Papua untuk Merdeka sebagai Negara West Papua)

Perjuagan bangsa Papua untuk mendirikan suatu Negara yang berdaulat dimulai sejak tahun 1960 an sebelum Indonesia bermaksud untuk mengintegrasikan Papua kedalam NKRI, jika kita merefleksi kembali model dan perjuagan yang dilakukan oleh generasi pendahulu di parlemen New Guinea Raad. Saya melihat model perjuangan yang dilakukan lewat bentuk-bentuk partai politik dalam parlemen itu sendiri untuk mencoba merumuskan bentuk suatu Negara, untuk itu dalam proses pembentukan partai – partai politik, berdasarkan berbagai kepentingan golongan dan kelas dimana pada saat itu terjadi tingkatan-tingkatan ada yang ingin berafiliasi degan model gaya hidup sistem pemerintahan kerajaan Belanda, ada yang bermaksud untuk berafiliasi degan Negara yang baru merdeka pada saat itu adalah Indonesia dan ada yang memang benar-benar ingin berdiri sendiri degan model sistem dari keaslian bangsa Papua dalam bentuk Negara moderen.

Dalam proses pembentukan negara West Papua telah disahkan nama Negara dan atribut Negara seperti bendera, lambang Negara, dan lagu kebangsaan yang telah dirumukan oleh suatu badan Komite Nasional Papua Barat untuk merumuskan bentuk dan Nama Negara bangsa Papua dan disahkan oleh parlemen New Guinea Raad, tetapi ada kelompok atau partai-partai yang memiliki tujuan lain yang tersebut diatas, melancarkan misinya sehingga kekompakan dari bangsa Papua sendiri tidak bertekat dan bersatu untuk tujuan mendirikan suatu Negara mandiri dari NKRI maupun Belanda. Dari sisi lain oleh karena bentuk partai-partai yang telah disebut diatas berpencar untuk melakukan niat dan motiv tersebut sehingga sering kita degar degan ada beberapa orang Papua yang dijuluki sebagai pahlawan Nasional Indonesia.

Hal ini yang dilakukan generasi tua kita pada saat itu, dan dalam hal ini saya tidak menyinggung peran Belanda, karena dia juga sebagai posisi penjajah untuk mencoba memberikan ruang demokarasi hanya oleh karena desakan zaman dan situasi politik pada erah itu, dan mencoba menjadi malaikat penyelamat, tetapi sayang tidak tercapai tujuanya sehingga nasip sebuah bangsa sebagai bekas koloninya dan pemerintahanya telah diabaikan sampai saat ini.
Jika generasi sekarang merefeleksi dan perenungan dari beberapa catatan dan cerita dari pada pelaku sejarah perjuagan di Papua barat waktu itu, kita dapat mengkaitkan degan model dan gaya perjuangan sekarang sama persis dan tidak jauh beda dari pada generasi pendahulu kita.

Pengaruh model pembentukan berbagai partai politik pada saat itu oleh beberapa faktor yang mepengaruhi antara lain; pengaruh dan pandagan terhadap pola berpolitik modern yang kebanyakan mendapat pandagan bernegara dari pemerintahan Negara Belanda, kemudian melihat gaya berpolitik Indonesia pada saat itu. Saya yakin karena pada masa itu apa yang terjadi pada situasi politik diluar negeri dan dalam negeri pada erah itu telah dibaca dalam berbagai surat kabar berbahasa Belanda oleh generasi tua kita yang suda mengenjam pendidikan tinggi, sehingga semua berita dan model- model berpolitik dipengaruhi oleh gaya pandang saat mereka untuk berpolitik, sehingga motiv ini turut mempengaruhi model dan gaya berpolitik kita pada generasi sekarang.

Model dan gaya berpolitik ini saya menilai sebenarnya sangat menghambat dan merugikan nasip bangsa besar di Pulau New Guinea, karena warisan dari pada gaya berpolitik ini turut mewarnai dalam kaitanya degan proses Papua merdeka pada saat ini. Pandagan berpolitik ini turut mempengaruhi dalam proses PEPERA I pada saat itu, karena ada beberapa partai politik degan motiv afiliasi politiknya kepada Indonesia, Belanda dan Papua sendiri, maka ketiga bentuk motiv itu saling bertabrakan karena keadaan terdesak pada saat itu sehingga sebagian partai politik turut mempengaruhi dalam mobilisasi masa degan militer Indonesia untuk melakukan PENENTUAN PENDAPAT RAKYAT PAPUA di Papua barat ( Act of Free Chose ). Dari beberapa partai yang didiriakan oleh sebagian orang Papua telah berkompromi politik degan Indonesia sehingga aspirasi murni dan niat murni sebagian besar rakyat Papua barat pada saat itu telah diabaikan yang akhirnya sebagian partai politik yang memperjuangkan murni untuk merdeka mulai bergejolak dan mengarah pada pembentukan suatu organisasi perjuangan secara gerilya OPM dan sebagian besar yang telah meninggalkan tanah air Papua ke pengasingan untuk melanjutkan sayap politiknya untuk upaya diplomasi.

Model yang sama telah saya menyaksikan degan mata kepala saya sendiri sebagai generasi sekarang ketika proses politik untuk menentukan nasip sendiri mulai dari Mubes Papua sampai kepada Kongres Rakyat Papua II tahun 2000 di Port Numbay, dan hasil kinerjanya tidak jelas sampai sekarang, bentuk Visi dan Misi tidak Jelas, bagaimana hasil Resolusinya? Bagaimana penaganan menejemen organisasinya yang dibentuk PDP untuk menjangkau Visi dan Misi berdasarkan keputusan atau suatu resolusi dari Pada Kongres II itu sendiri ?, Ataukah buntutnya lahir Otonomi khusus? Ini adalah model dan gaya berpolitik kita yang terus mewarisi dari pendahulu kita akibat dari mofiv dan bentuk kompromi politik yang berlainan warna-warni.

Model politik ini saya menilai bahwa bangsa Papua masih mewarisi model dan gaya serta motiv berpolitik dari generasi tua kita. Saya menilai dalam proses politik Papua Merdeka masih ada pengaruh dari pola dan gaya berpolitik generasi tua dalam bentuk afiliasinya degan model kompromi politik oleh berbagai partai dan kelompok, padahal seharusnya gaya dan pola berpolitikan harus dimulai dari akar budaya bangsa Papua sendiri.

Cara berpolitik yang sama kembali berputar lagi pada putaran ke III pada kompetisi berpolitik degan bentuk kongres Papua III di lapangan Zakeus dengan mendeklarasi Negara Feleral Republik Papu barat, jika kita menilai sebenarnya itu bentuk demokrasi atau pola tatanan Negara bukan sebuah nama Negara, secara jujur dari generasi tua sampai generasi sekarang gaya berpolitik sama dari dulu sampai sekarang ibarat bangsa Israel yang berputar-putar di padang gurun zahara untuk keluar dari Mesir. Bukan berarti saya mau samakan nasip kita sama sepeti bangsa Israel tetapi perlu kita belajar dari contoh itu; karena yang melihat negeri yang dijanjikan Tuhan kepada mereka adalah generasi Yosua dan Kalep, berarti kita tidak mengharpkan seperti generasi Yosua dan kalep pada saat itu karena situasi mereka pada saat itu beda degan situasi kita sekarang, oleh karena itu jagan sampai generasi sekarang yang suda sekolah pintar ini kembali lagi kepada model dan gaya politik yang berputar-putar dengan mengabaikan akar budaya bangsa Papua sendiri.

Jika memang generasi yang sama terus berputar -putar degan model politk yang sama nanti kita tunggu waktunya degan modela dan gaya politik yang berjudul DIALOG DAMA Papua yang telah di kerakan oleh kelompok Jaringan Damai Papua ( JDP ) apakah pola dan berpolitik yang sama atau sedikit berbeda nanti kita menunggu dan melihat gaya dan pola main mereka dalam kanca politik Papua Merdeka, jika upaya tersebut degan pola dan gaya politik yang sama juga tidak membawahkan hasil kemauan rakyat untuk merdeka dari neo-kolonial Indonesia, apalagi yang akan direncanakan orang Papua untuk berpolitik mungkin Kongres IV atau KTT dan sebagainya? seterusnya atau apalagi? pola berpolitik yang sama dipertahankan kemungkinan orang Papua siap untuk berputar degan irama gaya berpolitik yang sama berputar sepeti kita dansa dan goyang lemonipis degan lingkarang yang sama irama patokan paten yang sama.

Saya secara jujur ingin katakan bahwa; model dan gaya ini Indonesia sebagai Negara kolonial suda mengetahuinya, sehingga pantas dan wajarlah mereka sering mengatakan terhadap usaha dan perjuangan kita; “PAPUA MERDEKA USAHA MENJARING ANGIN ATAU MIMPI DI SIANG BOLONG” julukan kalimat diatas ini perlu kita renungkan degan merefleksi diri, sebenarnya menurut saya kalimat tersebut diatas jika ditanggapi degan positif adalah penguatan dan pembelajaran buat usaha dan perjuangan kita degan modifikasi model dan gaya berpolitik kita di zaman super modern berpijak dari dasar kita keluar bukan dari luar kedalam.

Saya juga berpikir bahwsanya sebagian Inteletual orang Papua juga ingin merdeka tetapi harus degan akal sehat bahwa bagaimana penataan politik dari dalam keluar secara sistem menejemen modern dan memposisikan diri pada tinkat modern, gaya berpolitik warisan kita sebagai pejuang Papua merdeka mempengaruhi pandagan sebagian kalagan intelektual Papua, jelas karena kita semua berasal dari generasi pendahulu kita dan sama-sama bangsa Papua, wajar juga masih berpikiran atas pola dan gaya berpolitik warisan turut mempengaruhi dalam Perjuangan Papua merdeka, oleh karena bentuk dan motiv dari landasan politik suda terkontaminasi degan tiga model tadi, pola dan yaga pandang model berpolitik versi Indonesia, pola gaya pandang model politik versi Belanda ( barat ) dan pola dan gaya pandang pola berpolitik berdasarkan akar budaya bangsa Papua.

Ketika pola ini saling bergesekan sehingga pengaruh sangat dominasi terhadap model pendekatan politik dalam perjuagan Papua merdeka, saya menilai sebenarnya jika orang Papua melepaskan pandagan dan gaya berpolitik import dan seharusnya berpolitik berpatokan dari akar budaya bangsa Papua sendiri, karena tujuan mendirikan Negara bukan seperti Otonomi, melanjutkan atau memasukan program pesan sponsor dari luar bangsa Papua. Lagipula bangsa Papua yang mau merdeka, berdikari, diatas pandagan politik sendiri, diatas tanah sendiri, karena orang Papua yang mau mendirikan Negara yang berdikari atas dasar falsafa akar budaya bangsa.

Orang Papua yang harus mempengaruhi politiknya keluar Papua, tetapi ini yang terjadi justru terbalik dari luar memasukan gaya berpolitik baru kedalam budaya berpolitik bangsa Papua, akibat dari gaya berpolitik dari luar masuk kedalam kita rujuk pada Contoh; Kepala Suku Besar Forkorus Yaboisembut, dimasukan kedalam rel politik dari luar akibatnya gaya yang seharusnya orang Papua berpolitik secara budayanya justru di matikan oleh pengaruh gaya dan model politik yang dianut oleh kita sebagai orang Papua yang terkontaminasi degan gaya berpolitik penjajah.
Gaya model politik ini jika kita melihat hampir sama persis degan pegalaman perjuangan bangsa Indonesia sebagian pendiri Negara RI berpatokan dari budaya bangsa mereka sendiri, sebagian dari mereka dipengaruhi oleh gaya dan politik kebarat-baratan penjajah ( Belanda ) akhirnya keadaan Negara Indonesia sekarang tidak berdikari sendiri diatas kaki sendiri malah berdiri mengantungkan kepada pengaruh politik Negara orang lain artinya Negara ikut-ikutan mendukung kemauan Negara orang lain dalam rangka membagun bilateral dan kita harus belajar juga dari pengalaman perjuangan Indonesia dari Belanda. Jika orang Papua yang berurusan degan politik Papua Merdeka harus hati-hati dan bijaksana karena jagan sampai usaha keluar dari mulut Singga masuk ke mulut buaya degan model dan gaya berpolitik kita.

Saya mau katakan degan jujur bahwa saya sebagai orang Papua harus memiliki ego dan ego ini harus diarahkan untuk kepentingan bangsa Papua bahwsanya; Saya adalah orang Papua, memiliki tanah air yang luas, saya tuan tanah, dan saya berhak menentukan nasip politik saya degan gaya dan cara saya sendiri, sehingga bangsa lain dapat dipengaruhi oleh gaya dan model politik yang saya terapkan tetapi degan catatan harus tekat dan komitmen degan nurani yang bersih dan bebas dari kepentingan cari pamor Nama, Pangkat dan jabatan tetapi harus memiliki kerendahan hati dan menghormati pemimpin yang ada entah itu dihutan rimba maupun di dalam kota untuk membebaskan rakyat dari Neo – kolonialisme indonesia.

Menurut penilaian pribadi saya bahwa pola perjuangan Papua merdeka saat ini persis seperti perjuangan Pemekaran kabupaten, melalui pembentukan TIM sukses, kelompok pengurus Pemekaran kabupaten atau Tim Sukses Pemilukada Gubernur/Bupati, kenyataan ini model dan gaya berpolitik Indonesia yang turut mempengaruhi dalam bentuk politik Papua Merdeka. Karena dalam tim itu ada lebih dari satu dua tim karena memiliki mofiv tertentu, bukan karena murni untuk kepentingan rakyat di daerah tersebut, model ini persis sedang terjadi dalam pola dan gaya berpolitik Papua merdeka entah di dalam Negeri atau diluar Negeri.

Menurut pemahaman dan pengetian saya atas pembebasan dan kemerdekaan harus dimulai dari pembenahan gaya paradikma kita yang suda terkontaminasi dari luar, tetapi seharusnya berpatokan dari pandagan akar budaya bangsa Papua artinya menilai apa yang ada pada kita dan mulai menata degan sistem modern keluar agar lewat sistem penataan politik itu dapat diterima oleh bangsa lain yang suda mendirikan Negara modern, dalam kaitan ini saya tidak bersedia menjelaskan maksud “dari dalam keluar” secara terperinci tetapi sebagai garis besar saya suda katakan berpatokan dari akar budaya bangsa Papua.

Dalam kaitan ini saya melihat dan menilai pola dan gaya berpolitik berbagai Negara di zaman modern sekarang ini hanya karena manusia mengalami perobahan evolusi gaya politik untuk menemukan keistabilan bentuk dan gaya model politiknya, karena dalam hal ini setiap Negara membagun hubungan berpolitik lewat diplomatiknya terhadap bangsa lain jika dinilai secara tersirat hanya untuk kepentingan imperialis yang dikemas halus dalam berbagai bentuk dan isu-isu global. Untuk itu penting bagi bangsa Papua yang memperjuangkan Papua merdeka harus menilai diri dan mulai berpatokan dari diri kita dan menata diri untuk memposisikan diri dalam kanca politik global agar tidak terbawa kedalam jurang imperialisme karena saya menilai jika kita berpatokan berpolitik dari diri kita pasti pelan tetapi akan lebih baik dan matang untuk berdiri degan ciri dan identitas bangsa Papua, karena nama Negara kita diambil dari nama suatu etintas bangsa yaitu Negara Republik West Papua, maka gaya dan warna gaya berpolitik harus berpatokan dari akar budaya bansa Papua.

Catan ini hanya sekedar untuk perenungan kita bersama dan sebagai bahan pemikiran sekeda membuka wacana untuk mencari dan kembali kepada jati diri kita dalam proses berpolitik demi pembebasan bangsa Papua diatas tanah air sendiri.

Salam Perjuangan

Posted by: Etarugwe Yoretnda

Kampanye Papua Merdeka, IPWP dan ILWP

Semenjak pendirian International Parliamentarians for West Papua (IPWP) dan kemudian International Lawyers for West Papua (ILWP), maka terpantul tanggapan pro dan kontra dari berbagai pihak yang mendukung Kampanye Papua Merdeka dan yang mengadu nasib dalam bingkai NKRI. Sejak penjajah menginjakkan kakinya di Tanah Papua, perbedaan dan pertentangan di antara orang Papua sendiri sudah ada. Yang kontra perjuangan Papua Merdeka menghendaki “Tanah Papua menjadi Zona Damai” dengan berbagai embel-embel seolah-olah mau mendengarkan dan menghargai aspirasi bangsa Papua. Sementara yang memperjuangkan kemerdekaannya menentang segala macam kebijakan Jakarta dengan semua alasan yang dimilikinya.

Baik IPWP maupun ILWP hadir sebagai wadah pendamping penyaluran aspirasi yang disampaikan para penyambung lidah bangsa Papua, yang telah lama dinanti-nantikan oleh bangsa Papua. Sudah banyak kali aspirasi bangsa Papua disampaikan, bahkan dengan resiko pertaruhan nyawapun telah dilakukan tanpa hentinya, dari generas ke generasi, dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat di muka Bumi. IPWP dan ILWP ialah organisasi asing, wadah yang didirikan oleh para pemerhati HAM, politisi dan pengacara serta aktivis bidang hukum dan politik yang tentu saja tidak didasarkan kepada sentimen apapun dan juga tidak karena perasaan ataupun belas-kasihan terhadap apa yang terjadi.

Alasan utama keberpihakan masyarakat internasional terhadap nasib dan perjuangan bangsa Papua ialah “KEBENARAN YANG DIPALSUKAN”, dimanipulasi dan direkayasa, terlepas dari untuk apa ada pemalsuan ataupun manipulasi dilakukan antara NKRI-Belanda dan Amerika Serikat berdasarkan “The Bunker’s Plan”. Saat siapapun berdiri di atas KEBENARAN, maka sebenarnya orang Papua sendiri tidak perlu mendesak atau mengemis kepadanya untuk bertindak. Sebab di dalam lubuk hati, di dalam jiwa sana, setiap orang pasti memiliki nurani yang tak pernah berbohong, dan memusuhi serta terus berperang melawan tipu-daya dan kemunafikan. Nurani itulah yang berdiri menantang tipu-muslihat atas nama apapun juga sepanjang ada lanjutan cerita sebuah peristiwa yang memalangkan nasib manusia.

Mereka tahu bahwa ada yang “salah”, “mengapa ada kesalahan”, “bagaimana kesalahan itu bermula dan berakhir”, dan “siapa yang bersalah”. Mereka paham benar ada “penipuan”, “manipulasi”, dan “rekayasa” dalam pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 di Irian Barat, yang dilakukan oleh negara-negara yang konon menyodorkan dirinya sebagai pemenang HAM, demokrasi dan penegakkan supremasi hukum. Apalagi pelaksana dan penanggungjawab kecelakaan sejarah itu ialah badan semua umat manusia di dunia bernama Perserikatan Bangsa-Bangsa. Di satu sisi kita pahami jelas tanpa harus ada penafsiran hukum ataupun penjelasan pakar untuk menjelaskan apakah Pepera 1969 telah berlangsung demokratis atau tidak. Itu fakta, dan itulah KEBENARAN.

Karenanya, biarpun seandainya semua orang Papua ingin tinggal di dalam Bingkai NKRI, biarpun tidak ada orang Papua yang menuntut Papua Merdeka dengan alasan ketidak-absahan Pepera 1969, biarpun dunia menilai NKRI telah berjasa besar dalam membangun tanah dan masyarakat Papua selama pendudukannya sejak 1 Mei 1963, biarpun rakyat Papua memaksa masyarakat internasional menutup mata terhadap manipulasi Pepera 1969, biarpun begitu, fakta sejarah dan Kebenaran kasus hukum, HAM dan Demokrasi dalam implementasi Pepera 1969 tidak dapat begitu saja diabaikan dan dianggap tidak pernah terjadi. Kepentingan pengungkapan kebenaran ini bukan hanya untuk bangsa Papua, tetapi terutama untuk memperbaiki reputasi PBB sebagai lembaga kemanusiaan dan keamanan tertinggi di dunia sehingga tetap menjadi lembaga kredibel dalam penanganan kasus-kasus kemanusiaan dan keamanan serta perdamaian dunia, di samping kepentingan bangsa-bangsa lain yang mengalami nasib serupa. Maka kalau dalam sejarahnya PBB pernah bersalah dan kesalahannya itu berdampak terhadap manusia dan kemanusiaan bangsa-bangsa di dunia, maka PBB tidak boleh tinggal diam. Demikian pula dengan para anggotanya tidak bisa menganggap sebuah sejarah yang salah sebagai suatu fakta yang harus diterima hari ini. Ini penting karena kita sebagai umat manusia dalam peradaban modern ini menjuluki diri sebagai manusia beradab, berbudhi luhur dan bermartabat. Martabat kemanusiaan kita dipertaruhkan dengan mengungkap kesalahan-kesalahan silam yang fatal dan berakibat menyengsarakan nasib suku-suku bangsa manusia di muka Bumi.

ILWP secara khusus tidak harus berpihak kepada bangsa Papua dan perjuangannya. Ia lebih berpihak kepada KEBENARAN, kebenaran bahwa ada pelanggaran HAM, pengebirian prinsip demokrasi universal dan skandal hukum dalam pelaksanaan Pepera 1969. Untuk mengimbangi ketidak-berpihakan itu maka diperlukan IPWP yang secara khusus menyoroti aspirasi politik bangsa Papua yang didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi sebagaimana selalu dikumandangkan dan diundangkan dalam berbagai produk hukum internasional maupun nasional di muka Bumi.

Dalam perjalanannya, ILWP tidak harus secara organisasi dan kampanyenya mendukung Papua Merdeka karena ia berdiri untuk menelaah dan mengungkap skandal hukum dan pengebirian prinsip demokrasi universal serta pelanggaran HAM yang terjadi serta dilakukan oleh PBB serta negara-negara anggotanya. Ini sebuah pekerjaan berat, universal dan bertujuan untuk memperbaiki nama-baik PBB dan para anggotanya, bukan sekedar mengusik masalalu yang telah dikubur dalam rangka mendukung Papua Merdeka.

Sementara itu IPWP bertindak sebagai wadah pendamping penyaluran aspirasi bangsa Papua dalam rangka pendidikan dan pembelajaran terhadap masyarakat internasional tentang kasus dan perjuangan bangsa Papua untuk merdeka dan berdaulat di luar NKRI. IPWP tidak serta-merta dan membabi-buta mendukung Papua Merdeka oleh karena sogokan ataupun berdasarkan pandangan politik tertentu. Ia berpihak kepada KEBENARAN pula, tetapi dalam hal ini kebenaran yang ditampilkan dan dipertanggungjawabkan oleh bangsa Papua. Dalam hal ini NKRI juga berpeluang besar dan wajib mempertanggungjawabkan sikap dan tindakannya di pentas politik dan diplomasi global tanpa harus merasa risau, gelisah dan geram atas aspirasi bangsa Papua. NKRI haruslah “gentlemen” tampil dan menyatakan kleim-kleim-nya secara bermartabat dan bertanggungjawab sebagai sebuah negara-bangsa modern, bukan sebagai negara barbarik dan nasionalis membabi-buta.

IPWP tidak hanya beranggotakan orang-orang pendukung Papua Merdeka, tetapi siapapun yang saat ini menjabat sebagai anggota parlemen di negara manapun berhak mendaftarkan diri untuk terlibat dalam debat dan expose terbuka, demokratis dan bertanggungjawab. IPWP bukan organisasi perjuangan bangsa Papua, tetapi ia berdiri sebagai pendamping dan pemagar sehingga tidak ada pihak-pihak penipu dan penjajah yang memanipulasi sejarah.

Point terakhir, pembentukan IPWP dan ILWP bukanlah sebuah rekayasa politik, karena rekayasa selalu ditopang oleh kekuatan dan kekuasaan. Ia dibentuk oleh kekuatan KEBENARAN MUTLAK, fakta sejarah, dan realitas kehidupan masakini yang bertolak-belakang dengan cita-cita perjuangan proyek Pencerahan di era pertengahan. Ia kelanjutan dari proyek besar modernisasi yang mengedepankan HAM, penegakkan supremasi hukum dan demokrasi. Sama halnya dengan itu, para anggota Parlemen yang telah mendaftarkan dirinya, membentuk IPWP dan mengkampanyekan aspirasi bangsa Papua melakukannya oleh karena KEYAKINAN yang kuat bahwa Pepera 1969 di Irian Barat cacat secara hukum, HAM dan demokrasi, serta tidak dapat dibenarkan secara moral. Mereka bukan mempertaruhkan karier politik, nama baik, jabatan sebagai anggota Parlemen dan kepentingan negara mereka tanpa dasar pemikiran dan pemahaman serta pengetahuan tentang KEBENARAN itu secara tepat. Mereka bukan orang yang mudah dibeli dengan sepeser rupiah. Mereka juga tidak dapat diajak kong-kalingkong hanya untuk kepentingan sesaat. Mereka berdiri karena dan untuk KEBENARAN! Dan Kebenaran itu tidak pernah terkalahkan oleh siapapun, kapanpun, di manapun dan bagaimanapun juga.

Interpol Hapus Benny Wenda Dari Daftar Buronan

ayapura, (7/8)—Benny Wenda, akhirnya mendapatkan keadilan setelah dirinya dikeluarkan dari daftar buronan interpol. Ini merupakan kemenang moral bagi aktivis pro kemerdekaan Papua sekaligus kegalauan bagi diplomasi internasional Indonesia.

Situs berita BBC (6/8) memberitakan bahwa Benny Wenda, seorang Papua yang diberi suaka oleh Pemerintah Inggris yang tinggal di Oxford telah dihapus dari daftar buronan interpol itu.

Benny Wenda sebelumnya diburu oleh interpol atas laporan pemerintah Indonesia yang menginginkan ia ditangkap dan diextradisi untuk diadili atas tuduhan pembunuhan, pembakaran dan penyerangan terhadap kantor polisi di Papua.

Saat itu, Billy Wibisono, sekretaris bidang informasi dan sosial budaya Kedubes Indonesia di Inggris menyatakan Benny Wenda dan beberapa rekannya terlibat dalam penyerangan pos polisi di Abepura pada tanggal 7 Desember 2000 yang menyebabkan beberapa orang tewas dan kerusakan di kantor polisi tersebut.

Tuduhan ini dilemparkan pada Benny Wenda, sebelum ia mendapatkan suaka dari pemerintah Inggris pada tahun 2002 setelah mendengar tuduhan Benny Wenda dianiaya oleh pemerintah Indonesia.

Setelah sempat memburu Benny Wenda atas tuduhan pemerintah Indonesia tersebut, pihak Interpol akhirnya memutuskan bahwa kasus Benny Wenda adalah kasus politik, bukan kriminal atau kejahatan kemanusiaan.

Dalam sebuah surat kepada Fair Trials International, yang telah berkampanye untuk Benny Wenda, Komisi Pengawasan File Interpol (Commission for the Control of Interpol’s Files) mengatakan bahwa kasus Benny Wenda telah dihapus dari daftar buronan Interpol.

“Setelah kembali memeriksa semua informasi yang tersedia untuk itu … Komisi akhirnya menilai bahwa kasus terhadap klien Anda adalah masalah politik biasa,” kata surat dari Komisi Pengawasan File Interpol sebagaimana dilansir BBC.

Jago Russell, kepala eksekutif Fair Trials International, mengatakan kepada BBC, “Kami sangat senang bahwa Interpol kini telah menyadari kesalahan ini.Tetapi pengamanan diperlukan untuk menghentikan negara lain menyalahgunakan Interpol dan menghancurkan hidup dan reputasi dalam sebuah proses.” (Jubi/Victor Mambor)

Bentrokan Berlanjut, 4 Rumah di Kwamki Lama Dibakar

Timika – Penangkapan 75 orang akibat bentrok antar warga di Kwamki Lama, Timika, rupanya belum bisa meredahkan konflik. Pertikaian dua kelompok warga itu masih tetap berlanjut.
Akibatnya, empat unit rumah dan satu kios milik warga Kwamki Lama, Timika, Papua, dibakar massa saat terjadi aksi saling serang antara dua kelompok warga di wilayah itu, Rabu.
Wartawan ANTARA di Timika melaporkan, bentrokan antara massa kubu atas (keluarga Hosea Ongomang) dan massa kubu bawah (Atimus Komagal) kembali pecah pada Rabu pagi akibat dipicu oleh kasus tewasnya dua warga Kampung Karang Senang-SP3 pada Selasa (24/7).
Dua warga Suku Nduga asal Sugapa yang bermukim di Karang Senang-SP3, Yanuari Mbisikmbo dan anaknya Ike Mbisikmbo tewas dipanah dan dianiaya oleh sekelompok orang tak dikenal yang diduga merupakan massa dari salah satu kelompok di Kwamki Lama.
Untuk menghindari jatuhnya korban jiwa dari dua kubu yang bertikai, ratusan aparat kepolisian dari Polres Mimika dibantu Brimob Detasemen B Polda Papua dikerahkan ke Kwamki Lama.
Kepolisian memblokade jalan masuk ke Kwamki Lama dari arah Kota Timika, tepatnya di pertigaan jalan masuk Bandara Mozes Kilangin dan Hotel Rimba Papua. Saat melakukan razia di Kwamki Lama, polisi mengamankan 165 warga yang tertangkap tangan membawa senjata tajam berupa busur dan anak panah, parang, senapan angin, kapak dan benda-benda tajam lainnya. Polisi beberapa kali melakukan tembakan peringatan ke udara karena sejumlah warga hendak kabur.
Kepala Bagian Operasi Polres Mimika, Komisaris Polisi Albertus Andreana mengatakan, ratusan warga yang ditangkap itu seluruhnya merupakan warga kubu atas di Kelurahan Harapan Kwamki Lama.
“Kami akan tetap melakukan proses hukum jika mereka terbukti sebagai provokator dan tertangkap tangan membawa senjata tajam,” jelas Andreana.
Ia mengatakan, tidak tertutup kemungkinan bagi warga kubu bawah di Kampung Amole untuk diamankan oleh pihak kepolisian. Namun saat ini yang diamankan terlebih dahulu adalah warga kubu atas karena mereka masih tetap ngotot untuk bentrok.
Andreana menegaskan kasus tewasnya dua warga Karang Senang-SP3 merupakan tindak pidana murni. Hingga kini polisi masih melakukan penyelidikan intensif untuk mengungkap siapa pelaku penyerangan warga Suku Nduga di Karang Senang-SP3, Selasa (24/7).
Hingga kini ratusan aparat kepolisian dari Polres Mimika dan Brimob Detasemen B Polda Papua ditambah puluhan personel TNI masih disiagakan di Kwamki Lama untuk mengantisipasi terjadi bentrokan lanjutan antara dua kelompok massa di wilayah itu.
Bentrokan antara dua kelompok massa di Kwamki Lama sudah berlangsung lebih dari satu bulan sejak akhir Mei lalu.
Selama bentrokan, sudah 13 warga meninggal dunia. Bentrok bermula dari kasus kecelakaan tunggal yang menewaskan seorang putra dari keluarga Hosea Ongomang di Jalan Freeport Lama, Kelurahan Koperapoka Timika, akhir Mei lalu.(ant/don/l03)

“PEMEKARAN DAERAH IBARAT MENJUAL KEMISKINAN RAKYAT UNTUK DAPATKAN JABATAN DAN KEDUDUKAN.”

MANOKWARI – Aspirasi pemekaran pasca disetujuinya pemekaran Kabupaten Pegunungan Arfak dan Manokwari Selatan saat ini, terus bermunculan di beberapa daerah. Sebut saja, wilayah Kuri Wamesa, Kokas, Muskona, Maybrat Sauw dan Imeko, terus menghiasi media masa saat ini. Para kelompok elit pemekaran pun terus berteriak dengan alasan klasik, memperpendek rentang kendali pelayanan pemerintahan.

Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari, Yan Christian Warinussy dalam keterangannya menegaskan, sebaiknya aspirasi pemekaran itu dihentikan, karena pemekaran hanya untuk kepentingan kaum elit, tanpa memberikan dampak manfaat bagi kepentingan rakyat.

“Rakyat hingga saat ini belum sejahtera. Sebenarnya harus ada moratorium bersama, melakukan kajian bersama terhadap pemekaran itu. Selama ini, tidak ada evaluasi yang dilakukan baik oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan kabupaten induk, terhadap keberhasilan pemekaran itu. Jadi ibarat menjual kemiskinan rakyat untuk mendapatkan kedudukan,” tegasnya.

Dia menegaskan, takaran keberhasilan dari pemekaran itu sampai sekarang belum diperoleh, karena masyarakat Papua masih belum sejahtera. “Ukuran kesejahteraan itu sederhana saja, jika masih banyaknya masyarakat yang mengantri di Kantor Bupati dengan membawa proposal, tindakan anarkis masyarakat yang masih terus berlansung karena belum adanya transparansi, dan penegakan supremasi hukum yang belum maksimal, merupakan barometer ketidakberhasilan pembangunan khususnya di wilayah-wilayah pemekaran tersebut,” katanya.

Dia juga mengatakan, hal itu disebabkan karena pemekaran yang dilakukan selama ini, tidak didahului dengan kajian dan pembuktian ilmiah yang juga melibatkan rakyat sipil. “Kita punya Undang-Undang Otsus, tetapi itu diabaikan saja oleh kaum elit politik kita di daerah,” ujarnya.

Disinggung soal elit politik asal Papua Barat yang ada di Jakarta juga telah banyak memberikan janji-janji politik. Janji-janji politik itu hanya sebuah retorika politik saja, tanpa melihat kondisi riil yang terjadi di tengah masyarakat Papua Barat saat ini. “Saya pikir sederhana saja, elit politik harus sadar, mana yang menjadi kebutuhan dan mana yang menjadi keinginan rakyat. Sebuah keinginan, tidak mungkin menjadi sebuah kebutuhan, tetapi kebutuhan merupakan keinginan setiap manusia yang mendiami bumi ini,” akunya…(jpnn.com)

Pemekaran Papua Tengah: MRP Pertimbangkan Keuntungan Orang Asli Papua

Monday, 09-07-2012 16:11:19 Oleh admin

Jayapura, MAJALAH SELANGKAH – Terkait pertemuan 50 anggota tim pemekaran Provinsi Papua Tengah dengan Gubernur dan pejabat Gubernur Provinsi Papua, Dr.Drs.Syamsul Arief Rivai,MS SKPD, pada Senin (25/6) lalu, Majelis Rakyat Papua (MRP) akan mempertimbangkan keuntungannya bagi orang asli Papua.

Anggota MRP dari Pokja Adat, Yakobus Dumupa, S.IP kepada media ini, Senin (9/7) mengatakan, sesuai dengan ketentuan Pasal 76 UU No. 21 Tahun 2001, Pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi harus atas persetujuan DPRP dan MRP setelah diusulkan oleh Gubernur, dengan memperhatikan kesatuan kultur orang asli Papua, kesiapan sumberdaya manusia dan peluang ekonomi untuk masa mendatang.

“Jadi usulan Pemekaran Provinsi Papua Tengah dan rencana pemekaran provinsi lainnya, selain atas inisiatif masyarakat, yang lebih penting adalah harus diusulkan oleh Gubernur Provinsi Papua. Usulan itu disampaikan kepada DPRP dan kemudian DPRP akan menyampaikannya kepada MRP untuk memberikan pertimbangan dan persetujuan. Tentu dalam hal memperikan pertimbangan dan persetujuan MRP akan mempertimbangkan apa keuntungannya bagi orang asli Papua, barulah akan memberikan keputusannya. Jadi apa keputusannya tergantung apa keuntungan untuk orang asli Papua dalam pemekaran tersebut,” kata Yakobus.

Ketika ditanya soal Surat Rekomendasi Gubernur, Yakobus mengatakan, sementara belum ada surat resmi dari Gubernur dan DPRP mengenai Pemekaran Provinsi Papua Tengah. “Kami hanya menerima beberapa dokumen dan aspirasi masyarakat dari tim pemekaran Provinsi Papua Tengah. Ya, sebagai aspirasi masyarakat kami harus menerima. Tetapi harus ada surat resmi dari Gubernur dan DPRP mengenai usulan Pemekaran Provinsi Papua Tengah supaya atas dasar itu kami dapat melakukan pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana pemekaran provinsi tersebut,” katanya.

Lebih lanjut Yakobus yang juga penulis buku ini menjelaskan, prosedurnya memang harus begitu. Sedangkan kesiapan sumber daya manusia memang ada kajian akademik yang telah disampaikan kepada MRP dan MRP akan memperlajarinya. Hanya saja pemberian pertimbangan dan persetujuan harus berdasarkan usulan dari Gubernur dan DPRP.

“Tarik-menarik ibukota Provinsi Papua Tengah itu hal teknis, gampang diatur. Yang terpenting adalah MRP memang sudah mendengarkan aspirasi masyarakat, di mana sebagian orang memperjuangkan dan mendukung pemekaran Provinsi Papua Tengah, tetapi sebagian orang lagi menolak rencana tersebut,” jelas Ketua Pansus Klarifikasi Bakal Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua ini.

Mengenai keseiapan SDM, kata dia, MRP harus terima dokumennya dari pihak-pihak yang memperjuangkan pemekaran Provinsi Papua Tengah. Setelah itu, MRP akan mengukur apakah siap atau tidak. Begitu juga kepentingan orang asli Papua, pihak-pihak yang memperjuangkan pemekaran Provinsi Papua Tengah harus menjelaskan kepada MRP apa keuntungan bagi orang asli Papua. Hal-hal ini penting bagi MRP untuk mengambil keputusan.

Yakabus menegaskan kembali, MRP telah membentuk Pansus Pemekaran Provinsi Papua dengan Drs. Wiro Watken dan wakil ketua Aristarkus Marey. Pansus ini yang telah dibentuk ini bekerja untuk mendengarkan semua aspirasi masyarakat. Semua aspirasi dan usulan akan digodok oleh Pansus tersebut. Tetapi untuk menyetujuinya harus ada usulan dari Gubernur dan DPRP dulu. (DE/MS)

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny