Yamin Kogoya: Capturing the mind – Anatomy of a Papuan Genocide

YAMIN KOGOYA

CANBERRA – The colonial notion of ‘civilising primitive Papuans’ has distorted Papuan perceptions of the world and themselves.

This distortion began with how New Guinea and its people were described in early colonial literature: unintelligent pygmies, cannibals and pagan savages – people devoid of value.

Not only did this depiction foster a racist outlook but it misrepresented reality as it was experienced and understood by Papuans for thousands of years.

Colonial literature says almost nothing of the value or the virtue of the people of New Guinea. Indeed it was the first attack against the humanity of Papuans.

Papuans have been dislocated from the centre of their cultural worldview and placed on the fringes of the grand colonial narrative.

They remain at the margins of the civilisational project – trapped by colonial symbols, images and vocabularies.

Only now have we come to understand that there is nothing grand about such projects.

The colonisers, however, continue the myth of their grand narrative of ‘civilising the world’.

It remains in their religious doctrines and legends, in their cultural and racial ideologies and is ultimately enforced by their weaponry.

This pernicious colonial cultural lens has been used to launch a program of the dehumanisation and re-humanisation of Papuans.

‘Papua-phobia’ is the cultural lens. It is conveniently used as a Procrustean Bed, an arbitrary and ruthless coercion of fitting people into an unnatural configuration.

Under this scheme, the allegedly ‘primitive’ Original Papuans will be destroyed and reconstructed in another image.

Our father, Bernard Narokobi (1943-2010) – the eminent Melanesian philosopher and jurist who was a central figure in Papua New Guinea’s transition from territory to independent nation – was conscious of this problem.

In his seminal work, The Melanesian Way, Narokobi asked, “Will we see ourselves in the long shadows of the dwindling light and the advanced darkness of the evening dusk, or will we see ourselves in the long and radiant rays of the rising sun? We can choose, if we will.”

But the Papuan people have been given no choice.

Indonesia attempted to answer Narokobi’s question by forcing Papuans to view themselves through the lenses of Pembangunan (development) and Kemajuaan (progress).

Indonesians frame these concepts as good news to assure Papuans of their salvation.

But, under their guise, Jakarta poisons Papuans with unhealthy food, alcohol, drugs, pornography, gambling and the ammunition used against them.

The rest of the world idly watches this genocide while exploiting West Papua’s resources for themselves.

These tragic circumstances have led to the destruction of Papuan clans and tribes, languages and cultural information – handed down orally – about their original world.

Papuans are facing the same fate as the Indigenous populations of Australia, Canada, America,and New Zealand if they remain in Indonesia.

Colonisers of the West and East are conditioning Papuans to feel guilty of their identity and existence, and they have institutionalised this guilt as a virtue.

Colonisers market guilt and virtue as a means of legitimising their deep psychological control over the colonised and oppressed.

The colonisers act as narcissistic sociopaths: they promise development, happiness or even heaven, while they commit genocidal and homicidal acts against Papuans.

They portray themselves as the ‘civilised’ and the oppressed as the ‘uncivilised’ – a psychological manipulation that allows them to avoid accountability for the cultural destruction they wreak.

Indonesia’s labelling of Papuans as criminals has its roots in this pathological colonial mindset.

Jakarta makes Papuans sick, then it diagnoses, prescribes and provides medication to cure the same illness it caused.

Jakarta exterminates Papuans by controlling both poison and antidote.

And so Papuans are cut off from their roots and float like waterlilies on the surface of Indonesia’s settler colony – they appear free and vibrant, but in reality their roots have been severed.

Growing up in my village, I had no idea I was black and Papuan, or that being black and Papuan was bad, until I moved to the colonial towns and cities.

From that moment on, I knew I was living in a system designed to oppress and alienate people like me.

On both the Eastern and Western sides of this illegal colonial border, Papuans still live in a state of an induced coma.

Papuans in West Papua are being reprogrammed to think of themselves as Asians, while Papuans in Papua New Guinea are being reprogrammed to think of themselves as Australians.

As a result, Papuans have been physically, unnaturally, linguistically and philosophically dislocated from the centre of their own stories and forced to live in the stories of others.

We are being held captive within this imaginary, illegal colonial border.

As long as we remain in this colonial induced coma, we will forever be beggars on our streets, while thieves from the West and East continue to drain the blood of our ancient lands, seas and forests.

One of the martyred great sons of Africa, Steve Biko, warned us: “The most potent weapon in the hands of the oppressor is the mind of the oppressed.”

Article- https://www.pngattitude.com/2022/01/anatomy-of-the-papuan-genocide-capturing-the-mind.html?fbclid=IwAR1UTw4bHLCgkLl_fyMMHggxMFHj-2Ct0BJO5R8rO-VA6DoE3bNUI16raEg

IMPLEMENTASI MANIFESTO POLITIK PAPUA BARAT, 1 DESEMBER 1961, ADALAH HAK PENENTUAN NASIB SENDIRI

By: Kristian Griapon, Desember 2, 2021

Manifesto Politik Papua Barat yang diumumkan pada tanggal,
19 Oktober 1961 dan dideklarasi (diresmikan) pada tanggal,
1 Desember 1961 oleh Gouverneur Nederlands-Nieuw-Guinea Atas nama Seri Baginda I Kerajaan Belanda, adalah pernyataan sejagad yang mempunyai kekuatan hukum internasional berdasarkan piagam dasar PBB pasal 73, pernyataan umum tentang daerah tidak berpemerintahan sendiri (dekolonisasi).

Dekolonisasi merujuk pada tercapainya kemerdekaan oleh berbagai koloni dan protektorat Barat di Asia, Pasifik, Afrika, Amerika Latin dan Timur Tengah setelah Perang Dunia II. Dan Papua Barat termasuk salah satu daerah koloni tersisa di Pasifik di era globalisasi, setelah perang dunia ke-II.

MANIFESTASI POLITIK BANGSA PAPUA BARAT
Kami yang bertanda tangan dibawah ini, penduduk tanah Papua bagian Barat terdiri dari berbagai golongan, suku dan agama merasa terikat dan bersatu padu satu bangsa dan satu tanah air :

MENYATAKAN :
Kepada penduduk sebangsa dan setanah air bahwa :
I.Berdasarkan Pasal 73 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa bahagian
a dan b :
II.Berdasarkan maklumat akan kemerdekaan bagi daerah-daerah yang belum berpemerintahan sendiri, sebagaimana termuat dalam Resolusi yang diterima oleh Sidang Pleno Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam sidang ke 15 dari 20 September 1960 sampai 20 Desember 1960.No.1514(XV).
III.Berdasarkan hak mutlak dari kita penduduk tanah Papua bahagian Barat atas tanah air kita :
IV.Berdasarkan hasrat dan Keinginan bangsa kita akan kemerdekaan kita sendiri :
Maka kami dengan perantaraan Komite Nasional dan badan Perwakilan Rakyat kita Nieuw-Guinea Raad mendorong Gubernemen Nederlands Nieuw-Guinea dan Pemerintah Nederlands supaya mulai dari 1 November 1961 :
a.Bendera kami dikibarkan disampin bendera Belanda Nederland:
b.Nyanyian kebangsaan kita (kami) “Hai Tanahku Papua” dinyanyikan disamping Wilhemus:
c.Nama tanah kami menjadi Papua Barat dan,
d.Nama bangsa kami Papua.

Atas dasar-dasar ini kami bangsa Papua menuntut untuk mendapat tempat kami sendiri. Sama seperti bangsa-bangsa merdeka dan diantara bangsa-bangsa itu kami bangsa Papua ingin hidup sentosa dan turut memelihara perdamaian dunia.

Dengan manifest ini kami mengundang semua penduduk yang mencintai tanah air dan bangsa kita Papua menyetujui Manifest ini dan mempertahankannya. Oleh karena inilah satu-satunya dasar kemerdekaan bagi kita bangsa Papua.

Hollandia, 19 Oktober 1961…..Tertanda 52 Anggota Komite Nasional Papua.

Menindak lanjuti manifest ini, Gouverneur Nederlands-Nieuw-Guinea Atas nama Seri Baginda I Kerajaan Belanda menerbitkan tiga surat masing-masing : Surat 1961 No.68, di umumkan, 20 November 1961 (Dasar Surat Keputusan Gouverneur Nederlands-Nieuw-Guinea Tertanggal,18 November 1961 No.362), Surat 1961 No.70, diumumkan,20 November 1961 (Dasar Surat Keputusan Gouverneur Nederlands-Nieuw-Guinea Tertanggal,18 November 1961 No,364), dan Surat No.70 diumumkan,20 November 1961 (Dasar Surat Keputusan Gouverneur Nederlands-Nieuw-Guinea Tertanggal,18 November 1961 No.366).

Indonesia sebagai negara yang berpijak pada pernyataan sejagadnya yang tertuang dalam konstitusi negara republik Indonesia pembukaan (preambule) UUD’1945, bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa… telah melanggar manifestasi (perwujudan) Hak Penentuan Nasib Sendiri Bangsa Papua Barat.

Presiden Pertama Negara Republik Indonesia Ir.Soekarno, mengatasnamakan Rakyat Indonesia memanipulasi manifesto politik bangsa Papua Barat melalui Dekrit Operasi Trikora yang diumumkan dalam pidatonya di Alun-Alun Utara Jogyakarta pada, 19 Desember 1961, yang termuat tiga poin (Trikora) yaitu: 1).Gagalkan Pembentukan Negara Boneka Papua Buatan Belanda. 2).Mobilisasi umum ke Irian Barat dan. 3).Kibarkan Bendera Sang Merah Putih di Irian Barat sebagai Tanah Air Indonesia.

Trikora adalah bentuk kejahatan Internasional (kejahatan agresi) pada masa perang dingin, dan menjadi pintu masuk kejahatan terhadap kemanusiaan di Papua Barat yang berlangsung hingga saat ini, wasalam.(Kgr)
Penulis adalah Aktivis Pemerhati Masalah Papua Barat.

POLITIK: Hati-hati konflik horizontal (politik adu-domba) atau politik by-design!Politik ini sedang diskenariokan oleh Jakarta

Konflik By-Design

Jakarta telah memasang oknum-oknum tertentu di tiap-tiap suku di Papua. Mereka didanai dengan jumlah uang uang besar – TUJUAN mereka dipasang – didanai dengan satu misi utama yaitu: menciptakan konflik horizontal / adu-domba.

Ada beberapa fakta yang terjadi di beberapa suku di daerah pegunungan Papua, salah satunya dalam suku Walak. Beberapa waktu lalu, sempat muncul satu potensi konflik horizontal yang diskenariokan antar kampung Ilugwa dan Wodlo, antar kampung Manda dan Wodlo dan terakhir dalam lingkup antar kampung Ilugwa. Namun setelah dilakukan pembacaan, diambillah kesimpulan bahwa, peristiwa tersebut adalah konflik by-design (konflik horizontal yang diatur).

Selain itu, juga sempat terjadi Yalimo manfaatkan momentum pilkada, dan sampai sekarang masih balang jalan, dan yang terbaru sedang terjadi di Yahukimo (03/10), yang menyebabkan 6 orang meninggal dan puluhan orang terluka akibat isu (propaganda) yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tak bertanggung jawab seperti yang dimaksud di atas (mereka memainkan peran propaganda membuang isu sana-sini untuk memprovokasi masyarakat awam/yang tidak tahu apa-apa, yang kemudian masyarakat termakan isu mentah tanpa dicerna dan terjadi kekacauan).

PON XX Papua

Kemudian di akhir-akhir ini, beriring pelaksaan PON XX Papua, Jakarta telah melakukan pendoropan personil militernya berskala besar dari berbagai daerah ke Papua dengan dalil ‘pengamanan pelaksanaan PON XX’. Selain itu, hampir seluruh pejabat Indonesia datang dan tinggal di Papua dengan alasan PON, mulai presiden dan kabinet, ketua dan anggota DPRI, MPRRI, hingga sebagian gubernur dari berbagai daerah Indonesia. (Menurut kami hanya alasan Pon tidak mungkin, tetapi yang pastinya ada indikator lain bahwa situasi ini berkaitan dengan habisnya masa Otonomi Khusus yang akan berakhir tahun ini. Selain itu, juga berpotensi besar akan adanya konflik horisontal melalui kekutan militer yang dikerahkan ini).

Otsus Papua

Politik Otonomi Khusus Papua terancam berakhir. Mayoritas penduduk asli Papua [pribumi] telah menyatakan menolak dan sebagai penggantinya, mayoritas rakyat Papua menginginkan kemerdekaan penuh bagi West Papua. Beriring dengan ini, pelanggaran HAM besar-besaran oleh negara Indonesia pun masif terjadi, berlangsung lama merenggut banyak nyawa orang tak bersalah, yang kini ditanggapi serius oleh 85 negara anggota PBB.

Sebagai jawaban atas kondisi itu, United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) selaku payung representasi perjuangan kemerdekaan West Papua pada tanggal 20 Oktober 2020 telah mengumumkan bahwa: “Rakyat West Papua Siap untuk Bernegara” — penolakan Otonomi Khusus dan kesiapan rakyat West Papua untuk berdiri sendiri sebagai negara telah bergema di seluruh dunia pasca diumumkan oleh Presiden Sementara West Papua, Mr. Benny Wenda pada 1 Desember 2020.
Hal ini juga membuat Indonesia sesungguhnya tengah kewalahan mendapat pendonor (sponsor) baru untuk mendanai UU Otsus yang baru disahkan 15 Juli 2021 lalu di Jakarta — sebab, kepercayaan internasional atas Indonesia telah luntur — Argumentasi politik, hukum, diplomasi dan HAM, Indonesia sudah sangat lemah di dunia internasional, sehingga sekarang manuver politik dalam negeri dan kekuatan militer menjadi pilihan terakhir untuk mempertahankan api politik Indonesia atas Papua — jadi jangan heran jika kondisi Papua saat ini jika sedikit berbeda dari yang sebelumnya.

Dan jangan lupa juga, bahwa politik pembangunan Indonesia atas Papua adalah mandat yang diberikan oleh PBB kepada Indonesia melalui resolusi Majelis Umum Nomor 2504, dimana hari ini PBB sedang meminta agar dibuka akses bagi KT-HAM, karena mandat yang diberikan PBB itu pada pelaksanaannya dilaporkan oleh berbagai pihak “dianggap bermasalah, terutama pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan yang berdampak pada perubahan iklim dunia (genosida dan ekosida), oleh karena itu, meskipun RUU UU Otsus Papua telah di sahkan, namun sebelum ditindak lanjuti, Indonesia harus membuka akses bagi PBB untuk masuk ke West Papua, selain memberikan laporan pertanggungjawaban atas pelaksanaan Otsus selama 20 tahun (2001 — 2021). Itu dulu baru pikirkan untuk selanjutnya! Tidak bisa tumpang tindih!

Tekanan Internasional

Untuk melihat “apa yang latar belakang situasi ini” kita perlu membaca geopolitik internasional, dimana berkaitan dengan masalah West Papua, Indonesia berada dalam kondisi yang cukup dilematis dengan adanya tekanan yang kuat dari internasional, dimana 85 negara sedang mendesak kepada pemerintah Indonesia agar membukan akses internasional di Papua untuk dilakukan investigasi menyeluruh. Seruan desakan internasional ini sudah berlangsung selama 3 tahun terhitung dari tahun 2019 pasca 18 negara Pasifik melalui Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Forum Kepulauan Pasifik (PIF) di Tuvalu pada 15 Agustus 2019 memutuskan – mengesahkan Komunike / resolusi tentang penyelesaian masalah West Papua yang didorong Vanuatu bekerja sama dengan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Tiga bulan kemudian, keputusan 18 negara Pasifik itu diterima dalam Konferensi Tingkat Tinggi negara AFRICAN, CARIBBEAN dan PACIFIK (ACP) dan disahkan pada 7 Desember 2019 sebagai resolusi. Memasuki tahun 2020, keputusan 79 negara itu didukung langsung oleh 4 Negara Eropa (Inggris-UK, Spanyol, Belanda dan Polandia) serta didukung juga oleh Selandia Baru dan Australia.

Memasuki tahun 2021, tekanan internasional terhadap Indonesia semakin meningkat. Sebelumnya tahun 2020, perwakilan Kantor Komisaris Tinggi HAM–PBB untuk Asia-Pasifik telah menyurati pemerintah Indonesia agar segera dibuka akses bagi PBB ke Papua berdasarkan seruan negara-negara di atas, tetapi Indonesia terus menggunakan manuver politik dalam negerinya untuk menunda rencana kedatangan PBB itu hingga sekarang (Oktober 2021).

Kemudian pada tanggal 27 Juni 2021, Sekretaris – Jenderal ACP, Mr. H.E. Georges Rebelo telah menyurat kepada Komisaris Tinggi HAM PBB yang menyeruhkan (sebagai seruan susulan sebelumnya), mendesak agar kunjungan PBB ke West Papua segera dilakukan.

Memasuki Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bulan September 2021, Indonesia mendapat teguran keras langsung dari Sekretaris – Jenderal PBB, Mr. António Guterres atas masifnya pelanggaran HAM yang dilakukan Indonesia di West Papua, yang kemudian Sekjen PBB menyebut bahwa Indonesia masuk dalam daftar 45 negara pelanggar Hak Asasi Manusia di dunia.

Menyusul teguran Sekjen PBB, negara tetangga Melanesia yang sejak awal konsisten menyuarakan kemerdekaan pun lanjut bersuara. Kali ini terjadi perubahan yang luar biasa, dimana mewakili 18 negara kawasan Pasifik, Perdana Menteri (PM) negara Papua New Guinea (PNG), Mr. James Merape angkat bicara dalam pidatonya di Sidang Umum PBB. Ia mengatakan bahwa PBB segera masuk ke West Papua untuk memastikan dugaan pelanggaran HAM yang terus berlangsung. Hal yang sama juga, PM Negara Republik Vanuatu, Mr. Bob Loughman mewakili suara 84/5 negara mendesak kepada PBB agar kunjungan ke West Papua segera dilakukan, dan menyerukan juga kepada internasional untuk memastikan Hak Penentuan Nasib Sendiri bagi orang Melanesia di West Papua.

Papua New Guinea yang selama ini menjabat tempat sandaran Indonesia di kawasan Melanesia sudah mulai angkat bicara, seperti yang dijelaskan di atas, sehingga sesungguhnya kalo dilihat Indonesia sedang kewalahan membendung arus tekanan internasional, sehingga sekali lagi bahwa (manuver politik dalam negeri dan kekuatan militer menjadi pilihan terakhir Indonesia saat ini) — sehingga tidak ada salahnya juga kalo Menteri Pertahanan RI, Prabowo Subianto mempersiapkan sejumlah alutsista TNI, yang dianggap kontroversial itu. Posisi Papua New Guinea dan Fiji sangat penting bagi Indonesia, karena dua negara ini menjadi sandaran bagi Indonesia di negara-negara anggota MSG dan PIF, tetapi sekarang telah terjadi perubahan besar. Suara Papua New Guinea di PBB, dan Fiji tempati posisi Presiden komisi HAM PBB telah mengubah peta politik di Pasifik. Untuk pertama kali, Fiji tempati posisi Presiden komisi HAM PBB, dan isu Papua tembus hingga di tangan Sekjen PBB, Antonio Gutteres dan Indonesia masuk dalam daftar 45 negara pelanggar HAM. PNG dan Fiji telah mengubah peta politik Melanesia dan Pasifik dan Indonesia telah kehilangan dukungan politik di Pasifik. Posisi Indonesia sekarang di dunia internasional sangat dilematis.

Indonesia gunakan momentum PON sebagai konsolidasi operasi militer besar-besaran di Papua, para pemimpin dan pejabat asli Papua ditekan habis-habisan, diintimidasi bahkan dibunuh secara misterius. Apakah “mungkin” pelaksanaan PON XX adalah satu pilihan drama politik yang hendak digunakan oleh Jakarta sebagai bahan ‘baru’ untuk kampanye internasional-nya dalam rangka menyiasati isu kemerdekaan West Papua? kita lihat sama-sama….

Akhir post ini, saya ingatkan kembali:
Hati-hati konflik horizontal (politik adu-domba) atau politik by-design!
Politik ini sedang diskenariokan oleh Jakarta.
Selamat bertanding:
Republik West Papua (ULMWP) VS Republik Indonesia (NKRI)
Waspada! dan Tetap Konsisten!
West Papua tetap akan MERDEKA berdaulat penuh!


by. Erik Walela

Politik #WestPapua #Indonesia

Papua Sudah Merdeka, Dan Siap Menjalankan Pemerintahan NRWP

Planet Bumi merupakan tempat kehidupan seluruh Komunitas Makhluk, dalam tanda kutip (tidak hanya makhluk manusia) — Bumi dihuni oleh berbagai Makhluk. Ada hewan, tumbuh-tumbuhan, makhluk roh, bentangan alam dan benda-benda lain.

Kegiatan-kegiatan industri ekstraktif seperti pertambangan minyak, gas dan mineral, penebangan pohon, perkebunan kelapa sawit dan kegiatan lainnya menyebabkan terjadinya perubahan iklim (global warming) sangat cepat yang berdampak pada punahnya kehidupan di planet bumi.

(Makhluk Manusia) menjadi “aktor utama” penyebab pemusnahan ini. Kuasa yang diberikan Tuhan kepada makhluk Manusia disalahgunakan hingga batas tak terkontrol yang mendatangkan malapetaka besar bagi seluruh kehidupan — Betapa jahatnya Manusia yang menjadi aktor utama yang mendatangkan (neraka abadi bagi seluruh kehidupan).

Perlahan makhluk Manusia telah mengetahui, bahwa telah salah besar terhadap seluruh kehidupan di planet bumi. Terutama, manusia telah salah besar terhadap Tuhan (Sang Pencipta/pemberi kuasa/mandat) —

Manusia mulai bingung sana-sini mencari “tempat tinggal cadangan” hingga ada yang lari ke Planet Mars, ada juga yang merancang Negara di luar angkasa sebagai tempat pelarian dari masalah.

Kehadiran (adanya) negara-negara merdeka di seluruh dunia, termasuk (terutama) Indonesia telah menjadi masalah besar bagi masa depan planet bumi (…)

dengan demikian,

“Apakah…. dengan ‘akan adanya’ kehadiran Kemerdekaan Negara Republik West Papua pun turut menjadi negara Merdeka ke Sekian yang yang membawa/menambah masalah baru? atau sebaliknya kemerdekaan West Papua dapat membawa “solusi bagi masalah yang ada” — ini adalah tanggung jawab kita bersama termasuk seluruh dunia.
_____
West Papua merupakan paru-paru bagi dunia (organ pernapasan bagi planet bumi) — oleh karenanya, kemerdekaan West Papua akan sangat menentukan arah (menjadi kompas) masa depan kehidupan bumi.

Intinya adalah: “semua makhluk penghuni planet Bumi” membutuhkan “Kehidupan” — untuk itu, tindakan mendesak (urgent) yang harus dilakukan adalah menyelamatkan planet bumi yang adalah tempat hidup seluruh makhluk.

West Papua melalui United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) pada 2020 kemarin telah mengadopsi Undang-Undang Dasar (UUDS) dan Pemerintah Sementara dengan Visi-nya menjadi: NEGARA HIJAU PERTAMA DI DUNIA atau GREEN STATE.

Diadopsinya UUDS Provisional Government of West Papua mencakup semua bidang, terutama yang menjadi prioritas Pemerintah Sementara adalah mendatangkan Keselamatan dan Kehidupan abadi bagi seluruh Komunitas Makhluk khususnya di West Papua dan secara menyeluruh adalah kehidupan bagi planet bumi —

Kemerdekaan West Papua tidak hanya menjadi kemerdekaan bagi bangsa Melanesia di West Papua, tetapi lebih dari itu adalah kemerdekaan bagi seluruh kehidupan di planet bumi, dimana Pemerintah Sementara West Papua (ULMWP) hadir dengan Visi-nya “Green State” (…)
______
West Papua sudah siap!
★ Kami sudah punya Undang-Undang Dasar dan Pemerintah Sementara (Provisional Government of West Papua | ULMWP)
★ Kami sudah punya Presiden dan Perdana Menteri;
★ Kami sudah punya 12 Kabinet Menteri yang mencakup semua bidang;
★ Kami sudah punya Kedutaan Besar (Kedubes) di seluruh dunia;
★ Kami sudah punya pagar negara Pemerintah Sementara, yakni “West Papua Army” dengan Panglima Komandannya Chief. Gen. Mathias Wenda dan Wakil Panglimanya Gen. Goliath Tabuni berserta lima (5) kepala staf;
★ Kami sudah punya Kepolisian West Papua (West Papua Police) sebagai penegak hukum Pemerintah Sementara;
★ Kami sudah punya Visi dan Misi perjuangan kemerdekaan West Papua yang jelas (tidak sporadis seperti yang di-cap kolonial Indonesia);

Kami sudah siap!
West Papua siap bernegara, dengan Visi-nya “Green State” — kemerdekaan West Papua adalah keselamatan bumi.

WaSalam…

#FreeWestPapua #WestPapua #GreenState

Intelijen Merupakan Salah Satu Bagian Penting Dalam Sebuah Negara

Intelijen Merupakan Salah Satu Bagian Penting Dalam Sebuah Negara. Intelijen Berfungsi Sebagai Mata dan Telinga Pemerintah Untuk Menentukan Sebuah Kebijakan.

Intelijen Sendiri Terbagi Atas Dua Jenis Intelejen Sipil dan Militer, Yang Masing-masing Memiliki Fungsi dan Peranan Yang Berbeda.

Sebagai Pasukan Intelijen Kerahasiaan Merupakan “NAFAS UTAMA”

Penyelesaian Tugas Yang Tanpa Diketahui Merupakan Sebuah Keberhasilan Mutlak Pasukan ini.

Di Indonesia Disebut Kopassus

Kopassus Grup 3

Kopassus Grup 3, Salah Satu Pasukan Super Rahasia Yang Hanya Boleh Digerakan Atas Perintah Panglima TNI.

Pasukan ini Bertugas Mengumpulkan Data Intelijen Tempur di Wilayah Lawan, Jauh Sebelum Pasukan Utama Masuk ke Wilayah Tempur.

Misi Intelijen di PAPUA dan MALUKU Menjadi Ajang Pembuktian Pasukan Grup 3. Satuan ini Memiliki Sasanti Atau Moto Catur Kottaman Wira Naraca Byuha dan Menyelam Ditempatkan Yang Bertentangan Bagai Negara Republik indonesia.

Kemampuan Induvidu dan Tim ini Didukung Juga Oleh Tingginya Teknologi Yang Digunakan dan Dilindungi.

PENYAMARAN !

Sebagai Supir Angkot

Abang Ojek

Penjualan Bakso

Mahasiswa
Haji atau Pdt Pastor

Tukang Bangunan

Tukang Parkir

Penjual Ikan Sayur dan Besi Tua

Menyamar Sebagai Petugas Kesehatan

Menyamar Sebagai Petugas PLN

Menyamar Sebagi Petugas Bandara

Menyamar Sebagai Petugas Kebersihan

Menyeludup Masuk Ke Tubuh Gereja

Menyeludup Masuk Ke Tubuh Organisasi

Menyeludup Masku Ke Tubuh Adat Istiadat

Menyeludup Masuk Ke Komunitas atau Grup

Dan Merakyat Hingga Banyak Jenis Penyamaran Lainya.

#Bongkar…✊

Keinginan Rakyat West Papua, Hanyalah Bebas dan Merdeka!

Sejak tahun 60-an perjuangan Bangsa Papua melawan Sistem Kolonial Indonesia dan telah mengalami pembungkaman demokrasi, Intimidasi, teror, pemerkosaan, penangkapan, pemenjaraan dan pembunuhan. Hingga banyak nyawa gugur atas nama perjuangan dan terus berlangsung saat ini.

Selama itu juga, Kolonial Indonesia menggunakan berbagai cara untuk menggagalkan perjuangan suci Bangsa Papua. Dengan cara yang sering dan sampai saat ini mereka gunakan adalah; memecah-belah persatuan serta tatanan hidup orang papua, dalam setiap organisasi² paguyuban maupun organisasi² perjuangan orang papua sampai dengan gereja-gereja yang ada di teritory West Papua. Dan mereka pun, membuat banyak organisasi² tandingan demi melemahkan persatuan orang papua.

Sudah 60 tahun kita berjuang melawan penjajahan kolonial Indonesia. Sepertinya sebagian para aktivis, pejuang dan pemimpin kemerdekaan West Papua sudah mengerti dan memahami cara-cara yang mereka gunakan adalah merugikan Perjuangan suci Rakyat Bangsa Papua.

Tetapi, sayangnya sebagian/kelompok pejuang Papua Merdeka telah terjebak dalam cara² dan setingan kolonial Indonesia itu sendiri. Sehingga dalam perjuangan West Papua, mereka tidak berpikir bagaimana cara untuk melawan dan mengusir Kolonial Indonesia serta sistemnya dari atas Tanah Papua. Yang mereka berpikir adalah bersaing atau melakukan tandingan terhadap organisasi² dan lembaga² resmi perjuangan Rakyat Bangsa Papua yang ada dan sedang berjuang saat ini.

Salah satu yang mereka lakukan adalah: Kongres II PARLEMEN NASIONAL WEST PAPUA baru-baru ini, dimana termuat dalam Media Suara Papua (SP). 24 Juni 2021; https://www.facebook.com/207588392657943/posts/4020236234726454/?app=fbl

Perbuatan seperti ini, sebenarnya menjalankan misi Penjajah Kolonial Indonesia dalam tubuh perjuangan Bangsa Papua. Karena, yang diinginkan Rakyat adalah West Papua cepat merdeka dan berdaulat penuh. Bukan melakukan tandingan² dalam organ perjuangan yang hanya memperpanjang penderitaan diatas Tanah Papua ini.

Oleh sebab itu, Rakyat West Papua harus bijaksana melihat dan menilai siapa para pejuang dan perjuangannya.

Kunci Perjuangan Papua untuk Merdeka adalah Persatuan. Dan akhirnya, persatuan tersebut sudah ada baik SIPIL maupun MILITER yaitu:

  • ULMWP yang telah mengumumkan “Pemerintah Sementara West Papua dan diangkat Hon. Benny Wenda sebagai Presidennya.
  • West Papua Army [WPA] yang telah diumumkan ole; Presiden Pemerintah Sementara West Papua, dalam salah satu Kabinet dari 12 Kabinet, dengan Panglima Tertinggi Chief. Gen. Mathias Wenda serta jajarannya.

Dengan demikian, siapapun pejuang yang berjuang Papua Merdeka diluar dari Pemerintah Sementara West Papua perlu dan penting untuk dipertanyakan. Kalau hanya karena EGO & AMBISI jangan mempermainkan nyawa Rakyat dan Pejuang West Papua.

Tanggungjawab Pejuang, membebaskan Rakyat dan Bangsa Papua.

Selamat berjuang…✊✊✊🔥
WaSalam…!!

ProvisionalGovernmentofWestPapua

WestPapuaArmy

FreeWestPapua #ULMWP #WPA

Dua Gerakan Perjuangan Kemerdekaan West Papua Harus Terpadu dan Melekat

By: Kristian Griapon, 3 Juli 2021

Dua bentuk Gerakan Perlawanan Rakyat Papua Barat yang memperjuangkan kemerdekaan dari pendudukan Indonesia diatas wilayah mereka Papua Barat, yaitu bentuk perlawanan bersenjata di dalam negeri, dan bentuk perlawanan melalui kampanye politik di luar negari mencari dukungan masyarakat internasional, yang disebut sayap militer TPNPB di dalam negeri dan sayap politik ULMWP di luar negeri.

Kedua Gerakan Perlawanan TPNPB dan ULMWP, merupakan bagian keutuhan dari Kampanye Politik Perjuangan Kemerdekaan Papua Barat yang harus terpadu dan melekat. Jika tidak demikian, maka akan memperpanjang serta memperumit gerakan perlawanan itu sendiri untuk mencapai tujuannya.

Rakyat Papua Barat dapat bercermin dari perjuangan Rakyat Palestina melawan pendudukan Israel diatas wilayah mereka. Perjuangan Rakyat Palestina semakin panjang dan rumit melawan pendudukan Israel, pada hal Kemerdekan Rakyat Palestina telah berada di depan mata.

Akibat dari dua kubu dalam barisan pejuang kemerdekaan Rakyat Palestina yang tidak terpadu dan melekat, yaitu sayap militer Hamas dan sayap politik PLO mempunyai pandangan yang berdeda dan mempertahankan prinsip masing-masing dalam perjuangan kemerdekaan Rakyat Palestina, telah memperumit kemerdekaan Rakyat Palestina.

Kampanye politik luar negeri melalui sayap politik PLO berhasil meyakinkan masyarakat internasional tentang Hak Penentuan Nasib Sendiri Rakyat Palestina sebagai suatu bangsa diatas wilayah mereka dan hidup berdampingan dengan Israel sebagai Negara merdeka, yang telah direspons melalui PBB, namun mendapat jalan buntu, akibat dari pelabelan teroris terhadap gerakan perlawanan bersenjata Hamas yang mempunyai prinsip dasar menghancurkan atau melenyapkan Israel yang adalah satu bangsa merdeka dari muka bumi.

Jika kita melihat dari pengalaman masa lalu yang menjadi Dasar Sejarah Perjuangan Rakyat Papua Barat hari ini, tidak bisa ditutupi, bahwa perjuangan saat ini masih mewarisi perpecahan masa lalu, akibat dari tidak ada penyatuan prinsip para pejuang kemerdekaan, yang dijadikan komitmen dasar memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri diatas wilayah mereka Papua Barat, sehingga hal tersebut telah memperpanjang dan memperumit perjuangan itu sendiri.

Pelabelan teroris terhadap TPNPB merupakan langkah strategis dan bersifat politis pemerintah Republik Indonesia, untuk memutuskan mata rantai Perjuangan Kemerdekaan Rakyat Papua Barat di dalam negeri, yang berkaitan erat dengan hubungan kampanye politik luar negeri pejuang kemerdekaan Papua Barat di dunia internasional.

Para Pejuang Kemerdekaan Papua Barat di dalam negeri maupun di luar negeri harus bersatu, serta menjaga dan merawat dukungan yang telah nyata dan jelas diberikan oleh bangsa Vanuatu sebagai sebuah Negara anggota PBB, karena dukungan itu menjadi landasan dan pintu diplomasi politik luar negeri Perjuangan Kemerdekaan Rakyat Papua Barat baik itu melalui PBB maupun lembaga-lembaga kredibel internasional lainnya, wasalam.(Kgr)
Symbol Kemerdekaan Bangsa Papua Barat (Mr.Rex Rumakiek)

Akankah Konflik West Papua Berakhir sama dengan “Timor Timur”?

Peningkatan militer Indonesia dan kegiatan milisi ala Timor Leste mengancam akan mengacaukan Papua dan kawasan. Papua adalah contoh utama proses dekolonisasi yang gagal. Integrasi Indonesia di Papua, dengan keterlibatan Amerika Serikat, menjadi perang tidak resmi terhadap penduduk asli.

Indonesia mengambil alih Papua dari Belanda pada 1960-an melalui proses kontroversial yang disponsori PBB dan ditengahi oleh Amerika Serikat. Sejak saat itu, kaum Melanesia penduduk asli Papua telah memprotes pendudukan Indonesia. Integrasi Papua ke Indonesia diimplementasikan dengan keterlibatan Amerika Serikat. Itu merupakan perang tidak resmi terhadap penduduk asli yang menimbulkan diskriminasi rasial dan agama, perampasan besar-besaran atas tanah adat, penyerangan terhadap mata pencaharian dan budaya setempat, serta pelanggaran HAM berat lainnya termasuk pembunuhan di luar hukum, penyiksaan, dan pemerkosaan. Investor asing dan sekitar 1 juta migran non-Papua mendominasi ekonomi wilayah dan administrasi sipil dan militer, memarginalkan dan merampas hak 1,2 juta penduduk asli Papua.

Pelanggaran HAM brutal di Papua merupakan ciri khas rezim otoriter Presiden Soeharto selama 32 tahun. Pelanggaran terus berlanjut di bawah pemerintahan berbagai presiden berikutnya, termasuk penembakan terhadap demonstran damai, penyiksaan, dan penahanan sewenang-wenang.

Peningkatan aktivitas militer dan milisi Indonesia, bertujuan menggagalkan upaya penduduk asli Papua meraih kemerdekaan tanpa kekerasan, mengancam akan mengacaukan Papua dan wilayah. TNI mengerahkan ribuan pasukan ke Papua serta mendukung pembentukan milisi pro-pemerintah di Papua, dengan pelatihan, senjata, dan arahan. Unit-unit tersebut, dikenal sebagai Satgas Merah Putih, serupa dengan kampanye kekerasan di Timor Leste pada 2004 dan yang terus meneror kamp-kamp pengungsi Timor Barat di tahun-tahun berikutnya.

Integrasi Indonesia atas Papua, melalui proses dekolonisasi yang melanggar standar internasional, merupakan fondasi dari konflik saat ini. Setelah Perang Dunia II, Indonesia, baru merdeka dari Belanda, berusaha menguasai Papua dengan mengklaim semua tanah jajahan Belanda.

Para pemimpin Papua secara eksplisit menolak integrasi dengan Indonesia. Belanda meluncurkan inisiatif untuk mempersiapkan pemerintahan sendiri Papua. Di bawah rencana Belanda, penduduk asli Papua menyelesaikan pemungutan suara di seluruh wilayah untuk perwakilan Dewan Nugini yang baru dibentuk. Pada 1961, Dewan meratifikasi, dengan persetujuan resmi Belanda, adopsi bendera nasional Papua Bintang Kejora, lagu kebangsaan, dan nama baru untuk wilayah tersebut: Papua Barat. Ketika PBB menolak mendukung klaim teritorial Indonesia, pemerintah Soekarno menggunakan cara militer, termasuk invasi Trikora untuk “membebaskan” Papua.

Pemerintahan Presiden AS saat itu John F. Kennedy berusaha meredakan konfrontasi militer habis-habisan antara Indonesia dan Belanda serta memulai negosiasi yang disponsori PBB antara kedua pihak, berpuncak pada Perjanjian New York 1962. Penduduk asli Papua tidak memiliki suara dalam perjanjian, yang mengakhiri kedaulatan Belanda dan mendirikan pemerintahan sementara PBB. Perjanjian tersebut juga menyerukan orang-orang Papua menggunakan hak mereka untuk menentukan nasib sendiri “sesuai praktik internasional”, termasuk persetujuan bebas dan terinformasi serta hak pilih universal.

PBB menyerahkan kendali Papua ke Indonesia pada 1963, setelah periode administrasi singkat dan tidak memadai. Setelah memicu pembalikan parah perkembangan politik dan ekonomi wilayah, Indonesia secara resmi mengonsolidasikan kedaulatan atas Papua melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Act of Free Choice) 1969. Hanya 1.025 “perwakilan” (dari 800 ribu orang Papua) yang berpartisipasi, dengan dikelola dan dikendalikan Indonesia. Meskipun pengamat PBB melaporkan pelanggaran serius terhadap proses penentuan nasib sendiri dan 15 negara dengan keras menentang validitasnya, Majelis Umum PBB menerima hasilnya.

Polisi Indonesia telah membantu militer dalam misi melawan pejuang separatis di Kabupaten Puncak Jaya, Papua Barat. (Foto: via RadioNZ)
Seperti Timor Leste, Papua telah bertahan dalam operasi militer dan pendudukan Indonesia. Indonesia membenarkan operasi militer di Papua atas dasar menjaga stabilitas internal dan memerangi Organisasi Papua Merdeka (OPM). Sejak 1960-an, gerakan pembebasan nasional multifaksi populer OPM menggunakan taktik perlawanan bersenjata dan diplomasi internasional dalam melawan pemerintah Indonesia.

Penggunaan kekuatan militer Indonesia terhadap warga sipil, umumnya tanpa pandang bulu dan berlebihan, seringkali brutal, termasuk serangan udara besar-besaran dan penggunaan napalm di pedesaan. Meskipun jumlah total orang Papua yang terbunuh tidak diketahui, perkiraan pejabat gereja dan pengamat internasional menyebutkan angka lebih dari 100 ribu jiwa (kira-kira sepuluh persen populasi).

Kebijakan AS yang bermasalah

Keterlibatan AS dengan penjajahan Indonesia di Papua dan dengan penolakan hak penentuan nasib sendiri Papua berawal dari peran sentral AS dalam Perjanjian New York 1962.

Dukungan AS untuk militer Indonesia serta kegiatan ekonomi dan program sosial berbahaya secara sosial dan lingkungan di Papua berkontribusi pada pelanggaran HAM parah terhadap penduduk asli Papua.

AS mengecilkan masalah HAM dan penentuan nasib sendiri Papua demi kepentingan komersial dan strategis di Indonesia.

Keterlibatan AS menengahi Perjanjian New York 1962 membuka jalan bagi dominasi Indonesia atas Papua dan menumbangkan hak penentuan nasib sendiri penduduk asli Papua. Keterlibatan itu berlanjut melalui pengabaian efektif terhadap pelanggaran HAM besar-besaran Indonesia di wilayah Papua dan dukungan langsung untuk perusahaan AS di Papua yang merusak lingkungan dan mata pencaharian orang Papua.

Pembuat kebijakan maupun media AS menaruh perhatian besar pada Papua selama 1960-an. Namun, setelah memainkan peran utama dalam meredakan konflik Belanda-Indonesia atas Papua, AS melepaskan keterlibatan lebih lanjut yang berarti. Penderitaan rakyat Papua tenggelam dalam ketidakjelasan. Pemerintah Indonesia bebas berbuat sesukanya serta didukung secara politik dan finansial oleh AS, menghalangi pengawasan internasional atas peristiwa di Papua dengan memblokir akses ke pemantau PBB dan jurnalis asing.

Terlepas dari banyak bukti pelanggaran HAM yang dilaporkan setiap tahun oleh Departemen Luar Negeri AS, Amerika memberi militer Indonesia peralatan dan pelatihan selama beberapa dekade. Pasukan keamanan Indonesia telah menggunakan peralatan yang dipasok AS, termasuk helikopter, pengebom B-26, pesawat kontra-pemberontakan Bronco OV-10, jet tempur F-5E Tiger, dan senapan mesin M-16, dalam serangan terhadap warga sipil Papua. Pentagon terlibat dalam latihan militer bersama dan melatih pasukan Indonesia melalui program Joint Combined Exchange Training (JCET) dan International Military Education and Training (IMET).

Perusahaan AS, tertarik pada sumber daya alam Indonesia, tenaga kerja berupah rendah, dan lingkungan peraturan yang longgar, mendominasi kebijakan AS terhadap Indonesia dan Papua. Salah satunya adalah perusahaan multinasional pertambangan Freeport McMoran. Tambang emas dan tembaganya di pegunungan glasial Papua adalah yang terbesar di dunia. Lobi anggota dewan Freeport dan mantan Menteri Luar Negeri AS Henry Kissinger, kontribusi kampanye besar-besaran kepada politisi AS, dan manuver melalui kelompok-kelompok seperti US-Indonesia Society yang berbasis di Washington, D.C. memblokir respons kebijakan efektif AS terhadap praktik represif Indonesia.
Kedutaan Besar AS di Jakarta memberikan dukungan diplomatik besar untuk kepentingan perusahaan-perusahaan tersebut dalam menghadapi upaya masyarakat Papua, masyarakat sipil Indonesia, dan baru-baru ini pemerintah Indonesia untuk menuntut pertanggungjawaban perusahaan atas dampak sosial dan lingkungan serta dugaan kesepakatan bisnis tidak adil dengan rezim Soeharto.

Penduduk asli Papua secara luas memandang Freeport sebagai pijakan kontrol Indonesia atas tanah mereka. Mereka tanpa henti memprotes pelanggaran HAM dan degradasi lingkungan terkait operasi perusahaan. Itu termasuk: pembunuhan di luar hukum, penyiksaan, pengambilalihan tanah adat, pemukiman kembali paksa masyarakat lokal, masuknya migran non-Papua, penghancuran mata pencaharian lokal dan lokasi ritual penting, dan pembatasan ketat terhadap kebebasan bergerak orang Papua.

Sejak awal 1970-an, militer Indonesia menggunakan infrastruktur yang dibangun Freeport (bandara, jalan, pelabuhan) sebagai sarana serangan mematikan terhadap pemilik tanah adat Papua di sekitar tambang. Tindakan itu dirancang untuk melindungi tambang dan menghilangkan perlawanan terhadap kedaulatan Indonesia.

Dalam langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya, Overseas Private Investment Corporation (OPIC) mencabut asuransi risiko politik senilai US$100 juta Freeport pada 1995, menyimpulkan dampak sosial dan lingkungan perusahaan tersebut melanggar peraturan AS. OPIC menyatakan tambang telah “menciptakan dan terus menimbulkan bahaya lingkungan, kesehatan, atau keselamatan besar sehubungan sungai yang terkena dampak tailing, ekosistem darat di sekitarnya, dan penduduk setempat.”

Kekerasan baru-baru ini di Papua Barat telah membuat Jokowi memikirkan strategi untuk merespons. (Foto: Antara/Zabur Karuru/Reuters)

Namun, secara umum, dukungan AS secara bilateral melalui Bank Ekspor-Impor serta multilateral melalui Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk kegiatan ekonomi dan program sosial berbahaya secara sosial dan lingkungan di Papua telah memberikan kontribusi pada pelanggaran HAM dan memperkuat tuntutan penentuan nasib sendiri Papua. Program-program tersebut termasuk transmigrasi, pengendalian kelahiran nasional, pendirian perkebunan pertanian dan pertambangan, serta operasi eksploitasi sumber daya alam lainnya.

Rekomendasi kebijakan luar negeri AS

AS harus mengakui aspirasi sah penentuan nasib sendiri Papua dan menawarkan dukungan nyata untuk upaya menyelesaikan konflik Papua secara damai.
AS harus menyerukan penghentian segera peningkatan militer Indonesia di Papua serta penarikan semua pasukan.

Melalui bantuan dan subsidi luar negeri kepada berbagai perusahaan, AS harus memastikan penghormatan penuh terhadap standar AS dan internasional mengenai HAM dan perlindungan lingkungan.

Transisi politik Indonesia dari Orde Baru menawarkan kemungkinan mencapai solusi jangka panjang atas konflik puluhan tahun di Papua. Pemerintah Indonesia pernah secara terbuka mengakui kekejaman HAM serta dinamika sosial dan ekonomi tidak adil yang memperkuat aspirasi kemerdekaan Papua. Pemerintah meminta pertanggungjawaban Freeport atas dampak lingkungan dan menjanjikan penyelidikan HAM. Pemerintah juga menyusun Otonomi Khusus, termasuk pengakuan khusus atas hak tanah adat serta bagian yang jauh lebih besar dari manfaat keuangan dari eksploitasi sumber daya.

Langkah-langkah tersebut merupakan langkah pertama yang penting, tetapi tidak memadai. Itu terlalu sedikit dan terlalu terlambat untuk mengatasi kekhawatiran Papua mengenai tata kelola, hak atas tanah, penggunaan dan pengelolaan sumber daya alam, serta HAM. Langkah-langkah ad hoc semacam itu juga kemungkinan gagal, karena tidak memiliki kerangka keseluruhan dialog bilateral dan inklusif yang tidak mengasumsikan hasil.

Peluang penyelesaian konflik secara damai telah tertutup. Energi pemerintahan mantan Presiden Abdurrahman Wahid di awal era Reformasi terkuras oleh sederet tantangan mengatasi warisan rezim Soeharto: korupsi endemik, lemahnya struktur penegakan hukum sipil, militer kuat yang menyalahgunakan hak, kegagalan ekonomi, serta konflik antaretnis dan agama. Sementara itu, para pemimpin Papua memperkuat semangat kemerdekaan akibat kekerasan pasukan keamanan Indonesia.

Pengalaman lima dekade terakhir menunjukkan penggunaan kekuatan militer Indonesia tidak akan mencapai penyelesaian konflik langgeng. Menegaskan kembali dukungan AS untuk integritas teritorial Indonesia adalah respons kebijakan yang tidak memadai. Sebaliknya, AS harus mengejar kebijakan resmi yang mengakui aspirasi sah penentuan nasib sendiri Papua dan secara eksplisit menyatakan kesiapan untuk mendukung upaya penyelesaian konflik Papua secara damai, sebaiknya melalui dialog antara Papua dan pemerintah Indonesia atau, jika perlu, melalui penentuan nasib sendiri yang tepat dan valid.

Menurut analisis Abigail Abrash Walton di Institute for Policy Studies, kebijakan AS harus menggunakan empat tujuan panduan: 1) demiliterisasi dan mengakhiri pelanggaran HAM di Papua; 2) dukungan untuk konsolidasi demokrasi yang dipimpin sipil di Indonesia sebagai sarana meningkatkan prasyarat penyelesaian konflik tanpa kekerasan; 3) memastikan bantuan luar negeri AS serta program bantuan ekspor dan investasi memperkuat upaya Papua untuk pembangunan berbasis masyarakat dan berkelanjutan; serta 4) memobilisasi dukungan internasional untuk penyelesaian konflik tanpa kekerasan.

Penangguhan keterlibatan militer AS dengan Indonesia setelah peran kekerasan militer Indonesia pada 2004 di Timor Leste merupakan langkah yang disambut baik. AS harus melanjutkan penundaan sampai pemerintah Indonesia menarik pasukan serta melucuti dan membubarkan milisi di Papua, menuntut personel militer dan milisi yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM, dan menggelar pembicaraan serius dengan penduduk asli Papua.

Dukungan mengakhiri konflik di Papua berarti menghilangkan hambatan terhadap stabilitas Indonesia dengan membatalkan utang luar negeri pemerintah Indonesia dan mendukung pengawasan sipil penuh terhadap militer dan mengakhiri peran militer dalam urusan politik-ekonomi. Dukungan AS dibutuhkan untuk upaya organisasi non-pemerintah, lembaga Indonesia, dan badan internasional untuk menyelidiki kondisi HAM di Papua.

Menurut analisis Abigail Abrash Walton di Institute for Policy Studies, AS harus memastikan bantuan luar negeri serta program bantuan ekspor dan investasi menjunjung tinggi dan mempromosikan penghormatan penuh terhadap standar AS dan internasional mengenai HAM, perlindungan lingkungan, serta hak masyarakat adat atas kepemilikan dan pengelolaan tanah adat. Perusahaan AS yang beroperasi di luar negeri harus diharuskan mengadopsi kode etik yang dipantau independen untuk memastikan penghormatan terhadap HAM, pekerja, dan perlindungan lingkungan. AS harus terus memberikan bantuan keuangan dan dukungan politik kepada kelompok masyarakat sipil yang mendapat kepercayaan dari komunitas konstituen dan bekerja di tingkat akar rumput di bidang pendidikan hak hukum, bantuan hukum, pemantauan HAM, pembangunan berbasis masyarakat, dan perlindungan lingkungan.

Dalam upaya memperbaiki ketidakadilan di masa lalu, para pemimpin Papua telah meminta Indonesia, AS, dan pihak lain untuk meninjau kembali keadaan yang mengarah pada integrasi Papua ke Indonesia. Kementerian Luar Negeri Belanda mengumumkan pada Desember 1999, mereka melakukannya dengan pemeriksaan ulang historis atas penyerahan kedaulatan. Pada saat yang sama, negara-negara kepulauan Pasifik Selatan Vanuatu dan Nauru telah menyatakan dukungan untuk upaya penentuan nasib sendiri orang Papua, sehingga menghancurkan konsensus internasional bahwa Papua harus tetap berada di bawah kendali Indonesia. Seperti yang telah didesak oleh anggota Kongres AS, Amerika harus bertindak serupa dengan meminta Sekretaris Jenderal PBB untuk melakukan tinjauan menyeluruh terhadap Pepera 1969.

Penerjemah: Fadhila Eka Ratnasari

Editor: Purnama Ayu Rizky

Dari MPP WPA: Komando Operasi Khusus Mengakhiri Puasa 40 Hari untuk West Papua

Dari Markas Pusat Pertahanan (MPP) Tentara Revolusi West Papua (WPRA), yang kini telah menjadi MPP West Papua Army (WPA) diumumkan bahwa Komando Operasi Khusus WPRA yang tetelah terlibat dalam Doa dan Puasa 40 Hari 40 Malam yang diorganisir oleh Jadiran Doa Rekonsiliasi Papua dipimpin oleh Selpius Bobii tadi malam dinyatakan berakhir.

Dari sejumlah kesaksian yang dihimpun dilaporkan bahwa telah terjadi berbagai mujizat yang patut disyukuri dan nama Tritunggal Allah patut dimuliakan.

Tanggal 1 Mei 2021, yaitu setelah 26 Hari Doa Puasa berlangsung, telah diumumkan

  1. Daftar 12 Departemen dalam Pemerintahan Sementara West Papua;
  2. Daftar 12 Menteri Kabinet 12 Murid, Power-Sharing Government of West Papua; dan
  3. Panglima Komando WPA dan staff Komando Pusat West Papua Army

Inilah mujizat terbesar yang telaht erjadi, yang patut disyukuri oleh Orang Asli Papua (OAP) dan para pendukung Papua Merdeka di manapun kita berada.

Berita lebih lanjut, silakan ke situs Fast, Pray and Praise

Referendum Tidak Boleh, Hak Menentukan Nasib Sendiri Boleh Kan Pak?

Oleh : Ney Sobolim *, Source: https://korankejora.blogspot.com
Keluarnya pernyataan referendum Aceh oleh Ketua Partai Aceh Muzakir Manaf cukup membuat publik Indonesia heboh. Terlebih para pengguna sosial media, video berdurasi 5 menit lebih itu viral, dibagikan ulang di berbagai sosial media dan mendapat tanggapan yang berbeda-beda dari berbagai kalangan mulai dari akademisi, politisi hingga pejabat negara. Walaupun akhirnya mantan Panglima GAM itu meminta maaf, ada beberapa reaksi dari para petinggi negara ini terhadap pernyataan itu yang menjadi perhatian saya dalam tulis ini.
Salah satu diantaranya adalah Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu mengingatkan supaya Muzakir Manaf  tidak bicara referendum. “Ah tidak usah bicara referendum, nanti TNI kesana dibilang DOM (Daerah Operasi Militer) lagi. Tak akan membiarkan sejengkal pun daerah lepas dari Indonesia. Wilayah keadulatan Indonesia dari Sabang sampai Merauke”, katanya (Nasional.Tempo, 30/05/2019). Tak ketinggalan Menteri Koordinator Politik Hukum & Kemananan (Menkopolhukam) Wiranto bereaksi keras dengan sikap dingin. Seperti diberitakan di Tempo (31/06), Wiranto menegaskan aturan mengenai referendum sudah hapuskan, masalah referendum itu dalam khasanah hukum di Indonesia sudah selesai, gak ada. Beberapa aturan hukum sudah batalkan. Tap MPR nomor 8 tahun 1998, yang isinya mencabut Tap MPR nomor 4 tahun 1993 tentang Referendum. Selain itu, ada pula UU nomor 6 1999, yang mencabut UU nomor 5 1985 tentang Referendum.
Berdasarkan dua pernyataan oleh dua pejabat Negara ini mesti saya harus mendefinisikan kata Referendum terdahulu.
Menurut KBBI /re·fe·ren·dum/ /réferéndum/ n penyerahan suatu  masalah kepada orang banyak supaya mereka yang menentukannya (jadi, tidak diputuskan oleh rapat atau oleh parlemen); penyerahan suatu persoalan supaya diputuskan dengan pemungutan suara umum.
Kemudian, adanya berbagai negara di dunia yang telah menyelenggarakan referendum untuk memberikan kebebasan kepada suatu wilayah untuk meminta pendapat apakah mayoritas rakyat ingin berpisah atau tetap di bawah kekuasaan pemerintahan yang ada. Salah-satunya adalah baru-baru ini tepatnya pada November 2018 lalu,  Perancis memberikan kekebasan rakyat Kaledonia Baru untuk memberikan hak suara mereka.
Hasil pemilihan menunjukan mayoritas rakyat Kaledonia Baru ingin tetap dibawah kekuasaan Perancis. Meski selisih beberapa persen referendum berjalan damai. Selain itu, referendum juga diselenggarakan suatu negara untuk Amanden hukum dan tata negara. Misalnya, Perubahan nama negara Makedonia menjadi Makedonia Utara pada 2018 lalu. Negara Inggris juga pernah menggelar referendum untuk keluar dari keanggotaanya di Uni Eropa.
Lantas (bagi saya) pernyataan kedua petinggi negara (Menhan & Menkopolhukam) diatas menjadi pertanyaan, pelarangan hingga penghapusan itu dalam konteks apa? Apakah referendum bagi berbagai wilayah  yang ingin menentukan nasibnya sendiri, misalnya Papua? Atau misalnya dalam mengubah dasar negara tertentu tidak melibatan rakyat?
Papua dan Tuntutan Referendum
Untuk pertanyaan yang pertama diketahui semua pihak bahwa, wilayah yang paling loyal menyeruhkan pemisahan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah Papua. Di Papua salah satu organisasi yang memediasi rakyat dan menyerukan referendum dalam setiap aksi demo maupun kampanye di tingkat regional maupun internal adalah Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Selain KNPB, ada The United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dan berbagai organisasi lainnya mendesak agar rakyat Papua diberikan kebebasan untuk memilih, apakah masih ingin dibawah kekuasaan pemerintah Indonesia atau berdiri sendiri membentuk suatu pemerintahan. Sama halnya, Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) menuntut pemerintah Indonesia agar diberikan kebebasan hak untuk menentukan nasib sendiri kepada rakyat Papua sebagai solusi demokratis. Menurut AMP dan juga pejuang yang tergabung dalam berbagai organisasi, ada kesalahan dalam proses sejarah dimasukkannya wilayah Papua sebagai bagian dari NKRI diantaranya adalah:
1. Jauh sebelumnya tepatnya pada 1 Desember 1961 wilayah Papua sudah diklarasikan menjadi sebuah negara secara de facto lengkap dengan atribut kenegaraan seperti bendera “Bintang Kejora”, Lagu Kebangsaan “Hai Tanahku Papua.”, lambing “Burung Mambruk” dan  atribut kenegaraan lainnya.
2. Klaim Presiden RI pertama Soekarno terhadap wilayah Papua melalui perintah Trikora di Alun-Alun Utara, Kota Yogyakarta pada 19 Desember 1961 salah satu poinya menyebut bubarkan negara boneka buatan Belanda adalah  klaim sepihak dan tidak mendasar.
3. Realisasi perintah Soekarno di poin 2 dilancarkan operasi-Operasi Militer ke wilayah Papua, sehingga terjadi banyak kekerasan.
4. Rakyat Papua atau perwakilan tidak dilibatkan dalam perjanjian-perjanjian internasional diantaranya New York Agreement (Perjanjian New York) yang diprakarsai oleh Amerika Serikat pada 15 Agustus 1962 dan Roma Agreement 30 September 1962 .
5. Penyerahan Kedaulatan wilayah Papua ke tangan pemerintah melalui otoritas eksekutif sementara PBB The United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) kepada pemerintah Indonesia tanpa sepengetahuan orang asli Papua sebagai pemilik Tanah Air pada 1 Mei 1963.
6. Penyerahan wilayah Papua itu tidak sesuai dengan keputusan di New York dan Roma sebelumnya.
7. Ditandatanganinya Kontrak Karya I Freeport McMoran atau PT. Freeport Indonesia dengan pemerintah Indonesia melalui para pejabat Orde Baru, Soeharto Cs pada 7 April 1967. Padahal pada saat itu wilayah Papua belum sah menjadi bagian dari Republik Indonesia atau 2 tahun sebelum diselenggarakan tindakan pemilihan bebas atau Pepera 1969
8. Pelaksanaan referendum tidak sesuai kesepakan yng diatur di New Yok dan Romayaitu melalui mekanisme Indonesia musyawara mufakat. Yang semestinya sekitar 800.000 jiwa rakyat Papua pada saat memberikan hak suara, hanya diwakilkan 1025 orang, itu pun sebagian dikarantinakan.
Dengan sejumlah alasan diatas, ditambah berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) kontemporer, seraya eksploitasi sumber daya alam, perampasan tanah-tanah adat, pendidikan, kesehatan, ekonomi dan terlebih depopulasi orang asli Papua terus terjadi, tuntutan hak untuk menentukan nasib sendiri semakin meluas.
Referendum atau Hak Penentuan Nasib Sendiri Nilai Demokrasi
Tuntutan rakyat Papua itu cukup mendasar. Sebab berkenaan nilai-nilai demokrasi. Jika ditilik dari Kovenan-Kovenan Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hak sipil politik dan tentang hak-hak masyarakat pribumi. Dalam Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang ditetapkan Maajelis Umum PBB dalam siding pada 16 Desember 1966, salah satu poin dipasal Pasal I ayat 1 menyatakan bahwa Semua bangsa berhak untuk menentukan nasib sendiri. Berdasarkan hak tersebut mereka bebas untuk menentukan status politik mereka dan bebas untuk mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan budaya mereka. Kemudian diratifikasi dalam berbagai pasal dalam UU Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005. Selanjutnya sebagaimana penegasan hak-hak sipil dan politik dideklarasikan di Viena dengan menegaskan betapa pentingnya hak menentukan nasib sendiri untuk semua kelompok masyarakat menentukan status politik untuk mengejar pembagunan ekonomi, sosial dan budaya.
Dengan adanya pernyataan Menkopolhukam Wiranto, bahwa hukum-hukum yang mengatur tentang referendum telah dihilangkan mungkin saja suatu  sikap tertentu agar sejarah lepasnya Timor Leste tidak terulang kembali. Mungkin juga referendum yang dimaksud adalah lebih pada tidak melibatkan warga negara Indonesia dalam amanden tertentu. Tidak untuk hak untuk menentukan nasib sendiri. Sebab, hak setiap bangsa untuk menentukan nasib sendiri adalah kesepakatan negara-negara anggota PBB, Indonesia sebagai salah satu anggota wajib untuk menghormati demi mewujudkan perdamaian dunia.
Jika pemerintah Indonesia memberikan kebebasan hak penentuan nasib sendiri kepada  rakyat Papua sebagai solusi yang demokratis dan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum dan hak asasi internasional, akan menjadi salah satu kemajuan bagi demokrasi di Indonesia.
*Penulis adalah Anggota (pengurus) Aliansi Mahasiswa Papua

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny