“Jeffry Pagawak” Sepatutnya, Tidak Mengunakan Nama Samaran OPM

Jayapura West Papua 13/2019 08:36:00 Wpb.

Jayapura Papua, Constantinopel – Adik Tuan Jackson Uble King yang terhormat.

Pertama, saya sampaikan banyak terimakasih atas tanggapan anda terhadap ungkapan saya “Kapan semua claims ini akan berakhir?” Saya sarankan agar sebagai “Self Style OPM Leader”, sepatutnya tidak menggunakan nama samaran dalam setiap penampilan adik di Medsos yang tentu bertujuan agar tidak diketahui oleh public. Banyak orang yang menggunakan nama2 samaran (the ghost names) adalah orang2 yang ditugaskan atau bertugas menjalankan pekerjaan2 rahasia untuk mengadu-domba atau menggagalkan suatu proses yang sedang berkembang yang dianggap merugikan pihak lain yang berkepentingan.

Di PNG, setelah Cyber Crime Act diadopsi, seseorang bias saja menggunakan nama samaran tetapi sangat sulit baginya untuk bersembunyi atau menyembunyikan identitasnya.

Seorang pemimpin Papua Merdeka tidak boleh menggunakan nama samaran sebagai batu atau semak2 tempat bersembunyi dan membangun pandangan2 atau opini yang tidak menguntungkan perjuangan bangsa.

Sebenarnya saya tidak merasa terbeban untuk menjawab beberapa pokok yang adik angkat sebagai tanggapan terhadap ungkapan saya “Kapan semua claims ini akan berakhir?” (5 Juli 2019) karena isi dari artikel saya itu merupakan suatu himbauan untuk mengakhiri pertentangan pendapat dan pandangan yang terjadi antara Tuan2: Jefferey Pagawak dan Sebby Sambon disatu pihak dengan Ketua (Terpilih) ULMWP Tuan Benny Wenda, serta Sam Karoba, sehingga pertentangan dan perbedaan pandangan ini tidak merambat dan membuahkan kerugian terhadap perjuangan bangsa Papua.

Jawaban saya terhadap point2 yang ade kemukakan:

1. Adik boleh memandang nasehat atau himbauan saya tersebut sebagai suatu argumentasi yang bernilai kontradiksi dan memotifasikan perpecahan dengan mengaitkan masalah Prai dan Rumkorem. Saya menghimbau agar ambisius atau egoisme jangan menjadi motifasi bagi sebuah perpecahan seperti yang terjadi pada tahun 1976 antara Prai dan Rumkorem. Dan luka perpecahan itu memakan waktu yang lama untuk sembuh (proses rekonsiliasi yang lama).

OPM-PNG Chapter menjadi OPM-Pacific Chapter kemudian menjadi basis terbentuknya WPNCL adalah proses2 rekonciliasi yang terjadi sebagai response para pejuang Papua Merdeka di kedua kubuh (Prai dan Rumkorem) terhadap Port Vila Declaration yang ditanda-tangani oleh keduanya dari dua Pemerintahan yang berbeda yang terjadi setelah Perpecahan 1976. Ini adalah bagian dari sejarah perjuangan bangsa Papua yang telah terjadi karena berbagai alasan.

Sebagai penerus perjuangan bangsa kita harus mengakui kejadian2 itu tapi tidak boleh mengulanginya lagi karena berbagai alasan dan pandangan yang berbeda yang lebih banyak dipengaruhi oleh soal2 pribadi, suku dan golongan. Pihak musuh sangat mengharapkan keadaan semacam ini terjadi sehingga mereka bisa menerobos masuk dan mengambil keuntungan dari pertentangan2 tajam yang terjadi antara kita. Sayang sekali jika kita secara tidak sadar dipakai oleh pihak lain untuk mewujudkan keinginan mereka.

2. Apa yang beda antara Prai dan Rumkorem dengan masalah yang terjadi saat ini?

Prai dan Rumkorem pecah karena masalah2 yang lebih banyak bersifat pribadi, dalam hal ini soal kode etik sebagai pemimpin, kejujuran dan transparansi.
Content dari pertentangan anda dengan ULMWP, terutama dengan Ketua ULMWP Benny Wenda dan melibatkan Sam Karoba di dalamnya identic karena tidak hanya mempersoalkan hal2 yang umum tetapi juga mengangkat hal2 yang bersifat menjatuhkan dan pembunuhan karakter seseorang.

Coba baca kembali semua komentar yang berasal dari pihak yang kontra dengan Benny Wenda dan ULMWP dalam soal WPA. Menjawab pertanyaan adik tentang posisi saya terhadap ULMWP, dapat saya nyatakan secara terang kepada adik, bahwa saya mendukung ULMWP dengan menggunakan akal sehat saya (my political conviction) bahwa ULMWP dibentuk atas kesadaran bersatu-bangsa dan eksekutipnya dipilih secara demokrasi, dan bukan mereka mengangkat diri sendiri.

Saya juga mendukung ULMWP tanpa mengharapkan suatu jabatan karena jika harapan itu yang yang menjadi dasar dukungan dan apabila sebuah jabatan tidak diberikan, maka saya akan frustrasi dan mulai menyerang Ayamiseba dan Rumakiek atau Nussy dan Athaboe di Athene/Holland sebagai tidak pernah menghargai dukungan2 saya selama terlibat dalam perjuangan Papua Merdeka ini. Egoisme dan Ambisi negative seperti ini tidak ada dalam kehidupan saya sebagai seorang pejuang Papua Merdeka.

3. Adik tidak mempunyai hak sedikit pun untuk mepertanyakan integritas dan hak2 politik saya dan posisi saya terhadap West Papua Army (WPA) yang akhir2 ini menjadi topik yang sangat panas antara group anda dengan ULMWP, khususnya dengan Benny Wenda.

Saya secara pribadi, tidak mewakili golongan apapun, melihat West Papua Army yang difasilitasi oleh ULMWP berdasarkan rekomendasi KTT ULMWP-2017 di Port Vila, Vanuatu, atas permohonan 3-satuan militer dalam gerakan Papua Merdeka – Dewan Militer TPN-PB, TRWP, dan TNPB, maka menurut saya, WPA (West Papua Army) hanya merupakan sebuah organ-rekonsiliasi yang sangat dibutuhkan oleh perjuangan Papua Merdeka di bawah satu garis komando.

Saya melihat WPA bukan sebagai satu kesatuan militer/ tentara Papua yang baru, tetapi merupakan organ atau wadah kordinatif bagi semua satuan2 tentara Papua yang ada yang dibentuk oleh berbagai faksi OPM seperti: TPN-PB/TPN-OPM (Marvic), TEPENAL (PEMKA), TNPB (Federasi), TRWP (yang jelas berafiliasi dengan salah satu dari dua kubuh perpecahan). dan sebagainya, agar satuan2 ini dapat membangun suatu kordinasi kerja yang terarah dalam mengawal tujuan dan program2 revolusi bangsa secara nasional.

Seperti halnya ULMWP yang dibentuk (2014) sebagai wadah kordinatif antara faksi2 Perjuangan Papua (NRFPB, KNPB/PNWP, WPNCL) untuk mewujudkan aspirasi bangsa secara nasional. Dengan demikian, rekonsiliasi antara faksi2 miiter dalam tubuh perjuangan pun dalam tujuan yang sama tanpa melebur faksi2 militer itu sebagaimana yang dipertengkarkan oleh adik tuan dan kawan2 dengan ULMWP.

4. Dalam penulisan saya yang bersifat himbauan itu, saya hanya mengharapkan agar jangan sampai perpecahan yang terjadi antara Prai dan Rumkorem terulang lagi. Adik harus tahu bahwa perpecahan yang terjadi pada tanggal 23 Maret 1976, didorong oleh beberapa hal yang tidak bisa diterima oleh kedua orang Rumkorem dan Prai. Yang jelas, perpecahan itu terjadi karena masalah “masa kepemimpinan, tugas dan tanggung-jawab serta kejujuran/ transparansi”. BUKAN SOAL PEREMPUAN.

Memang benar kata adik bahwa PENOLAKAN TERHADAP West Papua Army bukan merupakan lanjutan dari perpecahan antara Prai dan Rumkorem, tetapi jangan ade lupa bahwa penolakan adik dan kawan2 adik itu disertai dengan hal2 yang sangat negative yang tidak bersifat nasionalis dan sama sekali tidak menguntungkan perjuangan karena sudah ada ancaman bahwa Goliat Tabuni akan membunuh semua pejabat atau anggota eksekutif ULMWP. Apakah bisa dijelaskan bahwa ancaman semacam begini bukan pernah terjadi antara markas Pemka dan Victoria?

5. Jika yang dipersoalkan oleh adik2 terutama (Jefferey) Pagawak dan (Sebby) Sambom dengan (Benny) Wenda dan (Sam) Karoba itu adalah soal tanah, maka adalah sangat salah kalau saya ikut campur atau memberikan nasehat karena saya dari daerah lain yang sama sekali tidak punya hubungan dengan apa yang dipermasalahkan. Itu adik2 punya urusan secara adat. Tapi yang dipertentangkan adalah soal perjuangan yang menyangkut status dari tentara pembebasan nasional, itu adalah soal nasional/ bangsa, dimana kita semua mempunyai tugas dan tanggungjawab untuk menjamin kesatuan dan persatuan nasional.

Saya tidak bermaksud menyebut semua orang Pagawak, Sambom, atau Wenda, Karoba, sebagai pihak yang salah. Himbauan saya terbatas pada oknum Pagawak dalam hal ini Jefferey dan Sebby Sambom yang terus mempertentangkan soal WPA dengan Benny Wenda dan Sam Karoba, yang seharusnya pertentangan itu bisa dibicarakan bukan di media social tapi bisa di media lain yang lebih menjamin keamanan/ kerahasiaan dari sebuah pendapat atau perbincangan tentang perjuangan Papua Merdeka.

6. Dapatkah adik secara details dan terang menjelaskan di pasal berapa, artikel dan ayat berapa dari Konstitusi 1 July 1971 yang dilanggar oleh ULMWP dalam Pembentukan West Papua Army (WPA)?

Setahu saya, dan dari Undang2 Sementara Republik Papua Barat yang adik sebut sebagai Konstitusi 1 July 1971, adalah Undang2 Sementara Pemerintahan Revolusi Sementara (PRS) Republik Papua Barat yang didirikan oleh Rumkorem dan Prai pada tahun 1971 berhubungan dengan Proklamasi Kemerdekaan Papua Barat yang direncanakan pengumumannya pada 1 July 1971 di Waris. Proklamasi itu tidak terjadi pengumumannya tetapi akan diumumkan beberapa tahun kemudian (1973) bersamaan dengan pengumuman agenda2 revolusi.

Sebelum perpecahan, Undang2 ini serta Proklamasi 1 Juli 1971 masih utuh dan bersifat nasional, tetapi setelah perpecahan terjadi pada tanggal 23 Maret 1976, dimana Prai keluar dari PRS/RPG dan mendirikan Pemerintahan DeFacto (beliau sendiri adalah Presidennya), maka Proklamasi dan Undang2 1971 itu merupakan DOCUMENT2 FAKSI milik PRS yang mungkin tidak diakui juga oleh Pemerintahan deFacto.

Di dalam Undang2 Dasar Sementara Republik Papua Barat, Chapter V, tentang Pertahanan dan Kemanan Nasional (Nasional Defence and Security), Article 104 – 109, tidak secara specific menjelaskan tentang TPN-PB tetapi menyebutkan tentang Pembentukan Pasukan/Angkatan Bersenjata Republik Papua Barat (Article 105 (1) The formation of the Armed Forces of the Republic of West Papua, which will consist of volunteers and conscripts, is laid down by the law; (2) By the Armed Forces of the Republic of West Papua are meant: Army, Navy and Air Force.).

7. Undang2 Sementara Republik Papua Barat (Konstitusi 1 July 1971) TIDAK PERNAH DIAMEND/DITINJAU KEMBALI sejak penulisannya hingga pengesahannya pada tahun 1973 bahkan setelah perpecahan. Dan ia telah menjadi Undang2 Sementara dari Faksi PRS. Apakah Undang2 ini diakui oleh Pemerintahan deFacto (Jacob Prai), Bintang-14 (Thom Wanggai), West Papua New Guinea National Congress (Michel Karet), dan Negara Republik Federasi Papua Barat/ NRFPB (Porkorus)?

8. Naskah Proklamasi 1 July 1971 HANYA DITANDA-TANGANI oleh Rumkorem. Prai sebagai Ketua Senat pada waktu itu TIDAK IKUT menanda-tangani Naskah Proklamasi itu. Apakah hal ini juga merupakan salah satu factor perpecahan antara kedua pemimpin itu?

9. Port Vila Declaration yang difasilitasi oleh Andy Ayamiseba dan Rex Rumakiek dibawah political supervision dari Pemerintah Vanuatu (1986) hanya merupakan rekonsiliasi nasional antara kedua pemimpin (Prai dan Rumkorem) dengan agenda pembagian tugas kerja dimana Prai (deFacto/ Pemka) menjalankan tugas2 politik/ diplomasi, sedangkan Rumkorem (PRS/ Marvic) menjalankan tugas2 logistic (kemiliteran). Tidak ada diskusi tentang peleburan kedua pemerintahan yang terbentuk. Rumkorem tetap dengan PRS dan TPN nya di Markas Victoria, sementara Jacob Prai tetap dengan deFacto dan TEPENAL nya di Markas PEMKA.

PRS/ RPG dan de facto masih exist.

Demikian jawaban saya, dan posisi saya saat ini dalam mendukung ULMWP adalah karena dibentuk secara demokratis sebagai wadah kordinatif untuk mendorong Agenda Revolusi dan Perjuangan Kemerdekaan Bangsa Papua secara nasional di forum2 Internasional. Jika ULMWP hanya dibentuk oleh satu dua orang untuk kepentingan kelompok atau golongan, jelas saya tidak akan mendukungnya.

(Wapupi0275).

Berkompromi dengan Sesama Pejuang Pertanda Kematangan Jiwa

Berkompromi, dalam politik Papua Merdeka artinya saling mengakui dan saling menerima sesama pejuang sebagaimana adanya, dengan segala kekurangan, dengan segala kelebihan, dengan semua kesalahan, dengan sekalian kebenaran, seutuhnya dan semuanya, dan menjadikannya sebagai modal bersama untuk melangkah ke depan.

Demikian dikatakan Gen. WPRA Amunggut Tabi menanggapi perkembangan terakhir antara pro-kontra dan membenarkan-menyalahkan diri antara sesama pejuang Papua Merdeka di hadapan para penonton dunia yang begitu berminat dan menghabiskan banyak waktu untuk menikmatinya.

Salah dua wujud dari kompromi itu ialah terbentuknya United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dan West Papua Army (WPA). Kedua lembaga ini menyatukan keseluruhan pejuang dan perjuangan kemerdekaan bangsa Papua dari Sorong sampai Maroke, bahkan dari Raja Ampat sampai Samarai.

Kedua hasil kompromi ini telah memberikan signal kepada Negara Kolonial Republik Indonesia (NKRI) dan para sponsornya bahwa bangsa Papua saat ini lebih siap daripada sebelumnya untuk mengambil-alih kepemerintahan dari tanah penjajah ke tangan pemimpin bangsa Papua dan pemerintah Negara Republik West Papua sendiri.

Kedua hasil kompromi ini menunjukkan bahwa “politik” dan “berpolitik” itu ada dan beroperasi di dalam hidup bangsa Papua, khususnya di antara para pejuang kemerdekaan Negara Republik West Papua. Memang kompromi itu sudah lumrah di kalangan orang Papua atau Orang Asli Papua (OAP) yang sekarang berpolitik di dalam NKRI. Mereka berkompromi setelah kalah dalam Pilkada dan Pilpres. Mereka terbiasa menerima kekalahan dan mengkleim kemenangan. Kemudian, mereka lakukan kompromi untuk menjalankan kehidupan perpolitikan mereka di dalam negeri di bawah kekuasaan NKRI.

Kompromi seperti itu belum dikenal di kalanngan OAP Papua Merdeka. Baru pertama kali kita alami setelah WPNCL gagal mendaftarkan diri ke Melanesian Spearhead Group (MSG), yang kemudian memaksa pemerintah Negara Republik Vanuatu untuk menngeluarkan dana yang begitu besar dan mendesak para pemimpin WPNCL dan NRFPB bersatu dan menghasilkan Saralana Declaration dan hasilnya terbentuklah ULMWP.

Berkompromi bukan berarti menyerah

Berkompromi di sini kita maksudkan untuk sikap dan perilaku politik kita di antara OAP sendiri, bukan dengan lawan politik NKRI. Terhadap kehadiran dan pendudukan NKRI, semua bangsa Papua harus melawan terus sampai titik darah penghabisan. Tidak ada kompromi dalam hal ini.

Akan tetapi, untuk mencapai itu, supaya mencapai itu, untuk mempercepat dan untuk memperlancar pencapaian cita-cita itu, “berkompromi” di antara OAP atas nama bangsa Papua, atas nama senasib-sepenanggungan, melupakan masa lalu, dan menatap ke masa depan yang gemilang, West Papua di luar NKRI ialha cita-cita yang akan secara otomatis memaksa kita untuk harus “membuang ego” pribadi dan ego kelompok, dan mengakui serta menerima sesama pejuang bangsa Papua, sesama organisasi perjuangan bangsa Papua sebagai “One People – One Soul”, satu kaum, satu hati.

Bersikeras artinya Kita Belum Dewasa

Mempertahankan prinsip revolusi dan tujuan kemerdekaan itu merupakan sesuatu yang tidak boleh di-kompromi-kan dengan alasan apapun. Akan tetapi bersikeras mempertahankan kepentingan dan kehadiran diri dan kelompok sendiri menentang diri dan kelompok orang sesama OAP yang sama-sama berjuang untuk Papua Merdeka atas nama apa-pun menunjukkan kita benar-benar belum dewasa berpolitik, dan kita benar-benar belum dewasa berpikir.

Apakah dengan bersikeras dan tidak berkompromi antar sesama kita bermaksud mempercepat proses kemerdekaan West Papua?

Papua Merdeka Kandas di “Ego” Pribadi dan Ego Kelompok!

Perjuangan Papua Merdeka  yang telah dimulai sejak tahun 1963 di Kepala Burung terus mengalami perkembangan, entah langkah maju maupun langkah mundur. Kita harus akui bahwa kemajuan perjuangan kemerdekaan West Papua telah terjadi dengan sangat berarti. Tanpa kemajuan tidak mungkin saat ini kita maish berbicara tentang Papua Merdka.

Terlepas dari kemajuan-kemajuan itu, masih saja ada satu hal yang menjadi penghambat besar dan penghambat utama perjuangan Papua Merdeka. Penghambat itu bukan NKRI, bukan orang barat, bukan ideologi, bukan juga hal-hal teknis, strategi dan pendekatan perjuangan. Penghambat itu namanya “EGO”, atau dalam  bahasa sederhana disebut “ke-aku-an”. Yaitu Ego pribadi lepas pribadi individu pejuang dan aktivis dan tokoh Papua Merdeka dan Ego dari kelompok-kelompok yang berjuang untuk Papua Merdeka, entah itu kelompok sipil maupun kelompok militer, entah kelompok sosial maupun kelompok politik.

Ego-lah penyebab utama perpecahan pertama yang terjadi antara Jacob Hendrik Prai dan Seth Jafeth Roemkorem. Ego-lah yang menyebabkan perpecahan dan pembunuhan Obeth (Bill) Tabuni. Ego-lah yang membuat perpecahan di Jayapura, antara E. Bemey, J. Nyaro, P. Yarisetow, L. Dloga, O. Ondawame, dan sampai saat ini tertinggal Gen. TRWP Mathias Wenda seorang diri.

Bacalah semua perpecahan, semua rintangan perjuangan yang pernah terjadi. Di situ dapat dengan mudah kita temukan bahwa penghambat terbesar sebenarnya BUKAN NKRI hebat berdiplomasi dan mengoperasikan agen rahasianya. Bukan juga merupakah kegagalan taktik dan pendekatan perjuangan Papua Merdeka. Tetapi titik lemah terletak pada “Mental”, paradigma berpikir, dan cara melihat perjuangan Papua Merdeka dikaitkan dengan “pribadi” dan “kelompok” yang terlibat dalam Papua Merdeka.

Saat ini kita kandas di penyatuan organ politik Papua Merdeka ke dalam satu organisasi bernama United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dan sekarang ini sedang diusahakan penyatuan organ militer. Akan tetapi penyatuan organi politik maish belum juga tuntas. Apalagi penyatuan organ sayap politik kelihatannya tidak akan menemui jalan mulus.

Alasan pokok bukan karena perbedaan paham atau ideologi Papua Merdeka. Jelas semua mau Papua Merdeka. Dan jelas semua mau merdeka “SECEPATNYA”. Akan tetapi penghambat utama yang nampak saat ini ialah “Ego” dari pribadi, dan “Ego” dari kelompok yang berjuang di dalam pekerjaan Papua Merdeka.

Ada banyak pertanyaan “ego”, yang diajukan oleh “Ego” kepada para pejuang/ tokoh Papua Merdeka secara pribadi dan organisasi mereka:

  1.  Apa yang “Saya” dapatkan dalam bentuk uang, dalam bentuk posisi, dan dalam bentuk nama baik dari kegiatan ini?
  2. Apa yang “Kami” dapatkan dari peleburan organisasi, penyatuan komando, kongres luarbiasa, dan sebagainya?
  3. Apa yang “Saya” dan “Kami” dapat dari proses penyatuan ini?
  4. Apakah nama “Saya” hilang dari garis komando? atau garis organisasi?
  5. Apakah nama “kami” atau kelompok kami hilang dalam proses ini>?

dan seterusnya!

Jadi pertanyannya bukanlah kepada “Apakah langkah ini menghambat atau memeprcepat Papua Merdeka?” Sama sekali tidak!

Yang menjadi pertanyaan justru kepentingan pribadi dan kelompok.

Secara kasar, para pejuang Papua Merdeka sebenarnya “CARI MAKAN” dengan isu ini. Para pejuang dan tokoh Papua Merdeka CARI MAKAN, CARI NAMA, CARI MUKA, tidak mau menyerah kepada kepentingan Papua Merdeka tetapi masih mau bertahan kepada kepentingan pribadi dan kelompok, sesuai perintah “EGO”.

Kapan Papua Merdeka-nya?: sementara diri sendiri belum merdeka dari “Ego”?

 

Cara Menggugat Pepera 1969 dengan Memboikot Pemilu NKRI 5 Tahunan

Secara hukum dan politik, Orang Asli Papua (OAP) masih memiliki hak untuk mementukan nasib sendiri dengan cara memberikan suara kepada pemerintah, entah itu pemerintah Perserikatan Bangsa-Bangsa, Pemerintah Belanda, Pemerintah Amerika Serikat maupun Pemerintah Indonesia. OAP masih memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri. Salah satu cara untuk menentukan nasib sendiri ialah lewat referendum, di mana diberikan pilihan apakah rakyat yang mengikuti referendum memilih untuk bergabung dengan sebuah negara merdeka yang sudah ada, atau memisahkan diri dari negara yang sudah ada. Referendum seperti ini pernah terjadi tahun 1969 di Irian Barat, yang kemudian dianggap oleh OAP penuh cacat hukum dan pelanggaran HAM, dan diperjuangkan untuk diulang kembali lewat berbagai organisasi yang memperjuangkan Papua Merdeka, termasuk ULMWP belakangan ini. Cara ini juga ditempuh oleh teman-teman Melanesia di Kanaky beberapa saat lalu, dan mengalami kekalahan tipis, dan akan memilih lagi dalam jangka waktu beberapa tahun. Cara yang sama juga akan ditempuh teman-teman di Bougainville, di mana akan terjadi referendum dengan pilihan untuk tetap tinggal dengan Papua New Guinea atau merdeka di luar PNG. Cara lain untuk menentukan nasib sendiri sebebarnya masih tersedia, dan itu tidak melanggar hukum manapun di seluruh dunia ialah “memilih Golongan Putih” (Golput) dan memboikot Pemilu negara. Silahkan dicari di seluruh dunia, di manakah negara yang pernah membunuh rakyatnya yang tidak mau memilih? Apalagi, semua orang tahu di seluruh dunia, Demokrasi memberikan “HAK” kepada setiap manusia yang pernah lahir di Bumi ini, di manapun mereka berada untuk “MEMILIH” dan untuk “TIDAK MEMILIH”. Dengan demikian saat ini OAP masih memiliki HAK UNTUK TIDAK MEMILIH siapapun di Indonesia, termasuk orang Papua-pun, biarpun mereka mau menjadi anggota DPR atau pejabat di manapun, kami OAP masih punya hak, dan berhak penuh untuk TIDAK IKUT MEMILIH mereka. TIDAK IKUT MEMILIH artinya memilih untuk tidak ikut dalam proses Pemilu. Dan kalau siapapun OAP tidak ikut Pemilu di Indonesia, sebenarnya ada banyak keuntungan yang tersedia:
  1. Yang pertama, tidak akan ada OAP yang dibunuh karena tidak ikut memilih, jadi hidup ini tidak dapat diganggu hanya karena tidak memilih, justru kita dijamin hukum untuk tidak memilih. Semua negara di dunia tidak pernah menghukum rakyatnya yang memilih untuk TIDAK MEMILIH dalam Pemilu.
  2. Yang kedua, dunia akan melihat dengan jelas pesan OAP bahwa sebenarnya Indonesia ialah negara yang “Unwelcome!” tidak pernah diundang dan tidak pernah diterima oleh OAP. Sebeliknya dunia juga menjadi bingung, karena selama ini OAP tenang-tenang saja ikut Pemilu NKRI selama lebih dari 50 tahun, tetapi pada waktu yang sama terus bicara “Papua Merdeka!”. OAP sedang mengirim pesan yang membuat dunia menjadi bingung dan bertanya, “OAP sebanarnya mau apa: merdeka atau mau dengan NKRI asal porsi makan-minum diperbesar?”
Dengan dua pesan ini, kita sudah dapat mengatakan dengan jelas bahwa sebenarnya OAP masih memiiki Hak untuk Menentukan Nasibnya sendiri, atau Hak Demokrasi, yaitu Hak untuk Tidak Ikut Memilih di dalam semua Pemilu yang diselenggarakan NKRI. Di satu sisi OAP terus-menerus ikut Pemilu NKRI dengan tenang-tenang saja, sementara itu mereka juga menuntut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Ini membingungkan dunia. Oleh karena itu, OAP yang mengerti hak-haknya sebagai seorang manusia dan hak-haknya sebagai sebuah bangsa pasti akan bersikap TIDAK IKUT MEMILIH dalam SEMUA Pemilu yang diselenggarakan NKRI, yang mereka anggap sebagai penjajah, pencuri, perampok, penjarah dan pembunuh. Bukti selama ini adalah OAP rajin mengikuti Pemilu NKRI setiap 5 tahun. Memboikot Pemilu NKRI 2019
  • tidak melanggar hukum apapun
  • tidak dapat dihukum dengan alasan apapun
  • tidak dapat dipaksakan untuk tidak ikut atau untuk ikut
Oleh karena itu, seruang United Liberatin Movement for West Papua (ULMWP) untuk memboikot Pemilu 2019 bukanlah sebuah gerakan menentang NKRI, tetapi lebih merupakan peringatan kepada OAP di manapun Anda berada untuk mengingat dan meneguhkan diri dengan sadar bahwa OAP masih punya kesempatan untuk menggungat kehadiran dan pendudukan NKRI atas tanah dan bangsa Papua, yaitu dengan MENOLAK ikut Pemilu setiap 5 tahunan.
Ini cara menggugat Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 di West Irian yang selama ini OAP terus perjuangkan untuk diulangi. Cara mengulanginya dimulai dari BOYCOTT Pemilu NKRI di Tanah Papua, oleh Bangsa Papua.

Unifikasi Kekuatan Militer Papua Merdeka setelah Unifikasi Kekuatan Politik dalam ULMWP

Dengan berdirinya United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), yang awalnya dirintis oleh dua orang tokoh Organisasi Papua Merdeka (OPM) Dr. OPM John Otto Ondowame dari Faksi Pembela Kebenaran (PEMKA) dan Senior OPM Andy Ayamiseba dari Faksi Marvic (TPN) sejak tahun 2001, didahului dengan pendirian West Papuan Peoples Representative Office (WPPRO), disusul dengan berbagai macam Deklarasi dan penandatanganan, antara lain Deklarasi Saralana tahun 2000 antara tokoh Politik Papua Merdeka Dortherys Hiyo Eluay dan Ketua OPM Faksi Marvic Seth J. Roemkorem dan beberapa rangkaian pertemuan antara utusan Gen. TPN/OPM Mathias Wenda dari Markas Pemka/ Marvic berastu di perbatasan West Papua/ PNG tahun 2004-1006.

Kedua tokoh OPM, Dr. OPM J.O. Ondowame dan Senior OPM Andy Ayamiseba bersama rekan mereka Senior OPM Rex Rumakiek, bekerjasama dengan berbagai elemen masyarakat adat, terutama Dewan Musyawarah Masyarakat Adat Koteka (DeMMAK) telah membentuk West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL).

WPNCL kemudian mendaftarkan diri ke Melanesian Spearhead Group (MSG) di dalam KTT-nya di Noumea, Kanaky atas sponsor dana dan sponsor politik dari Perdana Menteri Vanuatu waktu itu, Joe Natuman.

Vanuatu telah memberikan dukungan dana dan dukungan politik selama puluhan tahun. OPM telah menjadi fokus dukungan mereka. Tiga tokoh dan senior OPM: Dr. OPM J.O. Ondowame, Senior OPM Andy Ayamiseba dan Senior OPM Rex Rumakiek selama puluhan tahun telah disponsori oleh Vanuatu untuk mengkampanyekan Papua Merdeka.

Masih atas dukungan Republik Vanuatu terhadap tiga tokoh OPM, Andy Ayamiseba, Otto Ondawame dan Rex Rumakiek, ditambah dukungan yang datang dari rimba oleh Gen. TPN/OPM Mathias Wenda, Gen. TPN/OPM Abumbakarak Wenda, Gen. TPN/OPM Nggoliar Tabuni, dan para petinggi militer di seluruh Tanah Papua, Joe Natuma telah memberanikan diri di dalam kapasitas dan kuasanya sebagai Perdana Menteri Vanuatu, meminta kepada para tokoh OPM untuk menyampaikan lamaran kepada MSG, untuk menjadi anggota MSG.

Atas saran negara Vanuatu pula, maka telah dibentuk WPNCL, namun lamaran ini mengalami kegagalan karena ada kelompok organisasi Papua Merdeka yang memprotes.

Tiga tokoh OPM bersama para gerilyawan dipaksa untuk kembali membangun kekuatan bersama, kali ini dengan memasukkan Parlemen Nasional West Papua (PNWP) dan Negara Federaral Republik Papua Barat (NRFPB).

Dengan dana dari Negara Republik Vanuatu pula, ketiga tokoh OPM bersedia meninggalkan posisi dan kedudukan, dan mengundang semua elemen perjuangan Papua Merdeka, baik organisasi politik maupun militer untuk duduk bersama, membicarakan dan membentuk persatuan organisasi untuk perjuangan politik Papua Merdeka.

Pada 7 Desember 2014, telah terbentuk sebuah wadah politik untuk Papua Merdeka, dibentuk oleh tokoh TPN/OPM, OPM dan DeMMAK yang telah terorganisir bersama tiga tokoh OPM dalam WPNCL, bersama PNWP dan NRFPB. Terbentuklah Organ perjuangan Papua Merdeka bernama “United Liberation Movement for West Papua (disingkat ULMWP).

Hampir lima tahun lalu kita telah sukses menyatukan sayap politik perjuangan Papua Merdeka. Para tokoh OPM di dalam negeri maupun luar negeri, bersama tokoh NRFPB dan PNWP telah menyatakan membentuk ULMWP.

Kini tinggal satu tugas organisatoris lagi, yaitu menyatukan kekuatan militer yang ada di Tanah Papua ke dalam satu garis komando, atau satu garis koordinasi.

Jadi, ada dua skenario tersedia saat iin. Lewat Biro Militer dan Pertahanan ULMWP akan dibentuk sebuah organisasi sayap militer dengan nama baru, menyatukan semua perjuangan para gerilyawan di rimba New Guinea. Skenario pertama ialah menyatukan semua Panglima Perang dan Panglima Komando yang ada di Tanah Papua ke dalam satu struktur organisasi, satu nama sayap mliter, dan satu garis komando.

Skenario kedua ialah membentuk sebuah Dewan Militer yang para anggotanya ialah para panglima dengan komando yang sudah ada pada saat ini, dan para anggota Dewan Militer dapat memilih Panglima Tertinggi Komando Revolusi sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan.

Baik skenario pertama maupun kedua tentu saja memiliki kelebihan dan kekuarangan. Yang terpenting ialah dunia melihat bahwa perjuangan Papua Merdeka semakin mengerucut, semakin menyatu dan semakin profesional. Tidka sporadis, tidak unpredictable, tidak banyak panglima dan komando.

Kami berdoa kiranya Biro Pertahanan dan Keamanan ULMWP dapat menuntaskan pekerjaan ini dalam waktu sesingkat-singkatnya sehingga semua persoalan yang muncul dalam perjuangan ini tidak berputar-putar di satu tempat.

 

 

Sayang Kaum Tertindas

Demikianlah Penjajahan dimuka bumi terus berkembang.

Biarpun metode mempertahankan wilayah kekuasaanya berbeda, tetap saja Wataknya Penjajah.

Watak Penjajahan itu sudah ditransformasi dengan teknologi mutakhir, kaum terjajah tidak tersadarkan, terlena dan mengikutinya sebagai sebuah jalan penyelamatan.

Sudah banyak dari kaum terjajah meninggalkan jalan – jalan. Kini ruas-ruas jalan itu sepi.

Kaum Revolusioner terus bertahan namun tidak tahu harus mulai dari mana…?

Sedikit dari kaum terjajah telah sadar lebih dahulu, Kesadaran ini datang Alamiah dengan waktu-waktu tertentu. Mereka telah mulai bangkit melawan…!!!

Katakan LAWAN…!!!
Bila Anda menyadari Penjajahan itu ada.

fk-

Source Facebook.com

Revolusi West Papua Merdeka: antara Proses dan Pendekatan untuk Pembebasan Bangsa Papua

Ada dua hal yang dapat kita pahami dari kata “revolusi”, yaitu pertama “revolusi” sebagai sebuah proses dan kedua “revolusi” sebagai sebuah pendekatan. Walaupun keduanya sering dipahami bersama-sama sebagai satu arti, sebenarnya secara konseptual tidak-lah sama. Pertama, secara biologis, “revolusi” sebagai sebuah proses dapat dibandingkan dengan pengertian kata “evolusi” dan “revolusi”, di mana evolusi ialah sebuah proses perubahan perlahan-lahan secara alamiah, melalui mekanisme seleksi alam. Dibandingkan dengan “revolusi” sebagai sebuah proses berlawanan dengan “evolusi”, maka dapat dikatakan bahwa “revolusi” ialah sebuah proses perubahan yang terjadi secara cepat atau dalam waktu singkat.

Kedua, dalam ilmu politik “revolusi” diartikan sebagai “a forcible overthrow of a government or social order, in favor of a new system.” <https://www.google.com/>, yaitu sebuah pelengseran sebuah pemerintahan atau tatanan sosial dengan paksa untuk menggantikannya dengan sistem yang baru. Maka ini mirip dengan arti dalam teknologi komputer, “A sudden or momentous change in a situation: the revolution in computer technology.”, yaitu perubahan cepat mengikuti momen dalam suatu situasi.

 

Yang ketiga, “revolusi” artinya “a complete or radical change of any kind: a revolution in modern physics”, jadi dalam ilmu fisika modern mengartikan revolusi sebagai sebuah perubahan lengkap dan radikal dari apapun. Dalam hal ini termasuk perubahan lengkap dan tuntas dari sebuah proses pembebasan negara-bangsa.

Kita berhenti dengan tiga makna kata “revolusi” ini. Dari sini dapat kita lihat kata “revolusi” sebagai sebuah proses dan “revolusi” dari sisi pendekatan. Yang lebih banyak salah kaprah di kalangan aktivis, tokoh dan organisasi perjuangan kemerdekaan West Papua ialah memahamim kata “revolusi” dalam arti politik, sebagai sebuah pendekatan pembebasan bangsa sehingga menjadi salah dalam mengartikan “revolusi secara biologis dan fisika” seperti yang dimaksud oleh Soekarno dalam pembebasan NKRI dari penjajahan Belanda.

Revolusi yang dikumandangkan Soekarno ialah revolusi sebagai “proses” yang dinamis dan dialektis, memerlukan fase-fase dan tahapan-tahapan. Yang dimaksud Soekarno tidak sama dengan revolusi Perancis, Revolusi China dan revolusi lainnya, yang beraliran sosialis dan menggunakan pendekatan kekerasan (revolusioner) sebagai cara untuk menggulingkan pemerintahan.

Joko Widodo, presiden kolonial Indonesia hari ini menggunakan kata “revolusi mental” sebagai sebuah proses, yaitu perubahan total paradigma dan frame berpikir orang Indonesia terhadap dirinya sendiri dan terhadap dunianya. Selain revolusi mental, ada juga revolusi industri, revolusi teknologi, dan revolusi bisnis.

“Revolusi” yang dipahami masyarakat awam di dunia hari ini ialah revolusi sebagai pendekatan untuk pembebasan dari penjajahan, bukan sebagai sebuah proses yang memakan waktu puluhan bahkan ratusan tahun. Intisari yang perlu dipegang dalam pembebasan bangsa Papua ialah sebuah “revolusi secara biologis” dan “revolusi secara fisika”, yaitu revolusi yang multi-dimensi, multi-faceted dan revolusi yang rampung (menyeluruh), bukan sekedar terlepas dari penjajahan NKRI, atau Indonesia angkat kaki dari Tanah Papua.

Perjuangan pembebasan bangsa Papua sebatas NKRI keluar dari Tanah Papua ialah perjuangan “anti-revolusiner”, yang berakhir kepada kemerdekaan “semu”, dan kemerdekaan yang tidak tuntas.

NKRI melengserkan Soekarno, atau Soekarno sendiri melengserkan dirinya karena tidak sanggup menjalankan khotbah-khotbah revolusiner yang diajarankannya sendiri. Ia menjadi diktator akhirnya rakyat Indonesia muak melihatnya. Soeharto juga sama, ia dihentikan oleh rakyat Indonesia karena gagal mewujudkan revolusi industri lewat Repelita selama 25 tahun.

Banyak kaum, tokoh dan pemimpin yang mengaku diri sosialis kiri sebenarnya sangat dictatorial, mereka memaksakan kehendak, mereka menghotbahkan sebuah tindakan-tindakan kekerasan dalam rangka menggolkan cita-cita sosialisme mereka, dan mereka malahan bertindak berlawanan dengan pemerataan dan kebersamaan yang mereka sendiri khotbahkan. Dari semua pemimpin sosialisme dunia, termasuk Soekarno, mereka lengser bukan karena ajaran mereka tetapi karena praktek dari ajaran mereka yang jauh bahkan bertentangan dengan apa yang mereka janjikan.

Dalam perjuangan Papua Merdeka hari ini perlu kita cermati secara konseptual dan hakiki, apa yang kita maksudkan dengan diksi-diksi dan kalimat-kalimat yang kita gunakan. Jangan sampai kita terjebak di dalam konsepsi yang keliru, dan kita pelihara kekeliruan kita, lalu akhirnya anak peliharaan kita sendiri akan mengejar dan melengserkan kita dari tahta kita.

Revolusi West Papua haruslah dipahami bukan sebagai sebuah pendekatan, tetapi sebagai sebuah proses, sehingga kita berbicara dari ketidak-tahuan kita menentang realitas hukum alam yang sedang terjadi. Pembebasan sebuah bangsa dari penjajahan ialah sebuah proses “revolusi”.

Tergantung kita hari ini, mau pilih apa,

  1. Apakah “revolusi” sebagai sebuah proses pembebasan bangsa Papua dan Negara West Papua dari penjajahan Indonesia,
  2. Ataukah “revolusi” sebagai sebuah pendekatan dalam pembebasan bangsa Papua dan negara West Papua dari penjajahan NKRI.

Dengan kata lain, “Apa pemahaman kita tentang ‘revolusi’: apakah biologis, fisika modern ataukah sebatas arti politis yang sudah banyak orang ketahui selama ini?

 

“Papua Merdeka” antara Makna, Visi, Tujuan dan Cara bangsa Papua Merubah Nasibnya

“Papua Merdeka” secara politik dapat dipahami dalam dua perskeptif, yang pertama, “internal self-determination” dan kedua, “ezternal self-determination”. Yang pertama maksudnya bangsa Papua merdeka di dalam sebauh negara-bangsa yang sudah ada saat ini, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Makna kedua ialah melepaskan diri secara hukum dan politik dari negara yang ada saat ini dan membentuk kekuatan politik dan hukum baru tersendiri, terlapas dari NKRI.

“Papua Merdeka” secara konsep kata juga mengandung dua arti, yaitu “merdeka dari” dan “merdeka untuk”. Misalnya Papua Merdeka dari penjajahan NKRI, merdeka dari kapitalisme, merdeka dari sosialisme, dan merdeka dari rasa takut, perbudakan mental dan fisik. Maknay kedua ialah merdeka untuk menentukan nasib sendiri, merdeka untuk membangun diri sendiri, merdeka untuk mencapai cita-citanya sendiri, merdeka untuk menentukan nasibnya sendiri.

“Papua Merdeka” secara leterlek/ literal juga sering disalah-gunakan dan disalah-pahami, yaitu antara “freedom” dan “independence”. Dalam bahasa Melayu disebut “kebebasan” dan “kemerdekaan”, di mana keduanya juga sering tidak dibedakan secara tegas. Kedua arti ini sedikit terkait dengan makna merdeka dari dan merdeka untuk di atas tadi,. Freedom sering diarahkan untuk mengatakan “kebebasan untuk”, dan “independence” sering dikaitkan dengan “kebenasan dari”. Akan tetapi kedua kata ini sering digunakan campur-aduk.

Misalnya saja, nama “Organisasi Papua Merdeka” apakah diterjemahkan menjadi “West Papua Independence Organisation” atau “Free Papua Organisation”, atau “Free Papua Movement”?

Dalam kaitannya dengan perjuangan “Papua Merdeka” untuk melepaskan diri dari pendudukan dan penjajahan NKRI, maka kita sudah membaca banyak tulisan para tokoh Papua Merdeka, baik artikel, paper, dokumen hukum maupun politik yang mengatakan banyak hal tentang apa arti Papua Merdeka.

Selain dari ketiga arti dan makna “Papua Merdeka” di atas, kita perlu dalami secara kritis dan konseptual,secara mental-psikologis, “Apa artinya Papua Merdeka buat saya?”

  • Papua Merdeka sebagai sebuah tujuan ?
  • Papua Merdeka sebagai sebuah cara, jalan, strategi ?
  • Papua Merdeka sebagai sebuah visi? (cita-cita)?

Dengan kata lain, “Apakah Papua Merdeka itu sebuah cita-cita, ataukah sebuah cara mencapai cita-cita?” NKRI punya cita-cita sebagaimana tercantum dalam Mukadimah UUD 1945, antara lain, memajukan perdamaian dunia dan mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Jadi pada waktu itu perjuangan Indonesia bukankah Indonesia merdeka dan berhenti di situ. Akan tetapi Indonesia merdeka ialah cara atau jalan untuk mencapai cita-cita “adil-makmur”.

Kita harus akui terus-terang, bahwa ini cita-cita yang salah, karena cita-cita ini sepanjang sejarah umat manusia tidak akan pernah terwujud. Sampai saat ini Eropa, Australia dan Amerika Utara sudah kita anggap makmur, sudah kita anggap adil, sudah kita anggap demokratis, akan tetapi apakah wujud “adil-makmur” sesuai yang diinginkan dan diajarkan di sekolah-sekolah itu pernah terwujud di muka Bumi? Jawabannya tidak! Adil dan makmur adalah kata lain dari “surga”, yaitu keadaan yang akan kita nikmati di alam “baka” bukan di alam fana ini.

Kembali kepada Papua Merdeka,

  • Apa cita-cita Papua Merdeka?
  • Apa cita-cita Negara West Papua?
  • Apa cita-cita bangsa Papua?

Dengan memahami dan membedah hal-hal ini secarea konseptual dan strategis, maka kita akan masuk ke tahapan berikut, yaitu menyusun strategi dan program untuk membawa bangsa Papua kepada kemerdekaan yang sejati, kemerdekaan yang abadi, kemerdekaan yang seutuhnya.

Para Pejuang Papua Merdeka Harus Merdeka Dulu dari Tiga Penjara Pribadinya ini…

Dari Markas Pusat Pertahanan, General TRWP Amunggut Tabi menyampaikan sambutan dalam upacara resmi pada tanggal 04 Oktober 2018 di Markas Pusat Pertahanan (MPP) Tentara Revolusi West Papua (TRWP) bahwa pada saat ini banyak pejuang Papua Merdeka yang masih menjadi budak, masih terpenjara, masih dijajah oleh dirinya sendiri, akan tetapi bicara di depan bangsa Papua dan bangsa lain di dunia dia berjuang untuk Papua Merdeka.

“Bagaimana mungkin seorang yang masih hidup di dalam penjara buatannya sendiri bisa bicara memerdekakan bangsa Papua, Negara West Papua?”

Dengan tegas Gen. Tabi katakan,

“Oran g Papua yang sudah merdeka sebagai individu yang bisa berjuang untuk bangsa Papua dan negara West Papua Merdeka! Kalau belum, sayang kita saling menipu, pertama-tama menipu diri sendiiri, kedua menipu tetangga dan sanak-keluarga, ketiga menipu bangsa sendiri, keempat menipu bangsa-bangsa lain di Melanesia, kelima bangsa lain dunia, dan tereakhir, menipu Tuhan yang membenci para penipu dan mengatakan Iblis bapa segala pendusta.

Selanjutnya Gen. Tabi menjelaskan pertama banyak orang Papua yang terpenjara oleh nafsu-nya. Ia digiring semata-mata oleh nafsu pribadinya, mengatasnamakan dan menggunakan nama Papua Merdeka, padahal dia sendiri sedang melakukan perintah dari “nafsu”nya sendiri, dia sendiri sedang menjalankan tugas-tugas budak nafsunya sendiri. Orang Papua pikir dia bersemangat, dia pertaruhkan nyawa, dia hebat bicara berkoar-koar dan berapi-api. Padahal yang dia sedang lakukan adalah memenuhi nafsunya sendiri, bukan berbicara karena mencintai bangsanya. Ini suara-suara manusia tahanan.

Test case!

  1. Coba kalau jago melawan NKRI, hentikan keterikatan Anda dengan rokok dan alkohol! Kalau tidak sanggup, jangan Anda pikir akan sanggup mengalahkan NKRI!
  2. Coba kalau mampu melawan NKRI,hentikan keterikatan Anda dengan nafsu birahi, tiap hari cerita perempuan dan kawin mengawini sembarangan, tidak bertanggung-jawab, atas nama revolusi Papua Merdeka, dengan alasan-alasan ikutannya bahwa pejuang harus punya banyak isteri di sana-sini.
  3. Coba kalau sanggup melawan NKRI hentikan nafsu makan nasi, dan makanan-makanan buatan Melayu, dan seratus persen hidup dari makanan asli Tanah Papua.

“Kalau tidak sanggup, ya, stop bicara Papua Merdeka!”

Selain tahanan nafsu, Gen. Tabi melanjutkan jenis tahanan/ budak kedua ialah orang Papua yang masih terpenjara oleh emosinya sendiri, yaitu psikologi pribadi, apa yang dirasakannya, diduganya, diharapkannya, dipercayanya, dan seterusnya. Jadi, dia berusaha melepaskan diri dari berbagai macam persoalan mental dan psikologis pribadinya sendiri. Melampiaskan kekesalannya terhadap orang tua, melarikan diri dari kasus hukum dan persoalan yang diciptakannya, menjadikan Papua Merdeka sebagai “excuse” saja. Perjuangan yang dilakukannya adalah perjuangan menentang dirinya sendiri, logikannya sendiri, emosinya sendiri.

Para pejuang Papua Merdeka haruslah sudah merdeka dari berbagai macam rasa. Pertama-tama harus merdeka dari rasa takut dalam bobot, bentuk dan jenis apa-pun: takut mati, takut dibunuh, takut disiksa, takut dipenjara, takut ular, takut gelap, takut tikus atau apa-apa saja. Semua rasa takut. Para pejuang Papua Merdeka juga harus bebas dari rasa takut terhadap pasangan hidup suami-isteri. Pemimpin Papua Merdeka penakut suami-isteri adalah orang-orang tahanan yang sebenarnya berjuang untuk melepaskan diri dari penjara suami atau isteri, tetapi dia bicara Papua Merdeka sebagai bagian dari pembebasan dirinya sendiri.

Ada juga orang Papua yang menderita secara psikologis. Misalnya mereka yang sudah beristeri-bersuami dengan orang Indonesia, mereka juga berbicara Papua Merdeka atau bicara tentang Papua, etnis Melanesia dan HAM orang Papua sebagai kompensassi mental atas apa yang dilakukannya secara fisik, yaitu mengawini orang Melayu dan melahirkan keturunan orang Melayu, mematikan Ras Melanesia. Mereka bicara berkoar-koar, padahal sebenarnya dalam rangka memerangi perbuatannya sendiri, bukan semata-mata menentang pemusnahan etnis oleh NKRI.

Penjara ketiga ialah rasional dan mentalitas pejuang Papua Merdeka sendiri haruslah bebas dari keraguan, kebingunan, kerancuan, ketidak-pastian, dan sejenisnya.

Amuggut Tabi katakan,

Pejuang Papua Merdeka yang hanya emosional dan mengedepankan nafsu tanpa pemikiran rasional akan selalu berprasangka buruk terhadap sesama pejuang Papua Merdeka, menyebarkan gosip kiri-kanan, menyalahkan orang lain yang artinya membenarkan dirinya atau kelompoknya sendiri.

Selain menebar gosip dan permusuhan, orang-orang yang tidak merdeka secara rasio akan nampak mengatakan hal-hal secara tidak teratur, tanpa bukti yang jelas, dengan dasar gosip dan kabar angin, selalu berspekulasi dan sering menyebarkan bau busuk dari hati dan mulutnya, dan jangan lupa, “mengkleim dirinya dan kelompoknya yang paling benar dari semua”. Ini jelas ciri-ciri dari manusia Papua yang terpenjara oleh pemikirannya sendiri.

Pejuang Papua Merdeka yang masih dalam penjara pemikirannya sendiri tidak saja membenarkan dan membesar-besarkan dirinya, ia juga sebenarnya kabur dalam apa yang dilakukannya. Ia tidak punya gambaran yang jelas tentang apa itu Papua Merdeka, bagaimana mencapai Papua Merdeka, kapan Papua Merdeka itu akan terjadi dan seterusnya. Ia sendiri masih tertpenjara di belantara pemikirannya yang sangat kabur.

Pejuang yang masih ada dalam penjara pemikirannya sendiri juga selalu tampil tidak optimis, selalu berwajah gelisah dan penuh dengan marah, selalu membawa “kabar buruk”.

Orang begini kenapa bicara dan berjuang untuk Papua Merdeka?”, demikian tanya Tabi.

Menutup briefing-nya Gen. Tabi menanyakan kepada pasukannya,

“Sekarang tanyakan sendiri, dan jawab sendiri, nangan tanya orang lain, jangan pikir tentang orang lain, tanyakan kepada diri sendiri dan jawab kepada diri sendiri. Setelah itu putuskan, apakah saya layak menjadi pejuang Papua Merdeka, ataukah saya penipu atas diri sendiri, kepada  suku, bangsa dan keluarga sendiri, kepada orang Melanesia, atau manusia di dunia dan menipu kepada Tuhan.

Jawabnya,  “Jangan-jangan membuat Papua belum merdeka bulan NKRI, tetapi kita sendiri yang menyebut diri sebagai pejuang Papua Merdeka?”

 

Indonesia Sudah Beroperasi Leluasa di Vanuatu: Di Makanakah ULMWP?

Indonesian keen to train women
Anne Pakoa (left) shows off jewellery made by trainer Siti Rurui Aini

Melanesia Intelligence Service sudah melaporkan sebelumnya betapa NKRI beroperasi dengan berbagai cara untuk mempengaruhi politik di Republik Vanuatu. Mereka sudah berhasil dengan sejumlah politisi Vanuatu sebelumnya dan sekarang dengan Salwai mereka terus berusaha.

Seperti dilaporkan sebelumnya, mereka telah mendekati beberapa menteri di Vanuatu, telah membiayai mereka, telah menyokong beebrapa usaha. Salah satu usaha yang mereka sponsori adalah Koperasi di Vanuatu.

Seperti kita ketahui semua, Deputy PM dan Menteri perdagangan, yang juga terkait dengan Perkoperasian di Vanuatu beberapa waktu lalu ialah Joe Natuman, satu-satunya pemimpin Melnaesia hari ini yang sangat instrumental dalam meloloskan West Papua menjadi anggota Melanesian Spearhead Group (MSG). Dengan bantuan dana MSG, Joe Natuman dilengserkan dan digantikan oleh seorang menteri yang lebih muda, yang walaupn berasal dari kampung yang sama, tidak berpengalaman dalam politik.

Setelah NKRi berhasil melengserkan Joe Natuman, kini NKRI sudah punya aktifitas ramai di Vanuatu. Salah satunya dapat dilihat dari cerita ini “Indonesian keen to train women

Dalam cerita ini dengan jelas ditunjukkan ebtapa Ibu Muslimin Indonesia ini sangat ceria memberitakan ajaran Islam atas nama Koperasi, yang sebelumnya di abwah Joe Natuman tidak punya napas sedikitpun untuk bergerak, jangankan bicara.

Dengan ini dapat kami dengan mudah simpulkan bahwa NKRI sudah enak beroperasi di Vanuatu.

Apa yang terjadi dengan ULMWP?

ULMWP lebih memilih tinggal enak nyaman di Eropa dan di Amerika dan Australia. Tujuan para pengurus ULMWP mulai nyata saat ini, mereka sebenarnya ke luar negeri untuk tinggal nyaman di luar negeri, tepatnya di negeri barat, sehingga tidak perduli dengan kondisi dan perkembangan di kawasan Melanesia.

Vanuatu yang jelas-jelas menjadi Markas Pusat ULMWP kini sudah diduduki oleh NKRI, tentu saja dengan keuatan uang yang sangat besar

Apakah kekuatan “ras” dan “brotherhood” ke-Melanesia-an mampu melawan duit dan perusakan moral orang Melanesia yang dilakukan oleh  NKRI?

Kalau PNG saja mereka sudah mampu kuasai, kalau Solomon Islands saja mereka sudah duduki dan kendalikan, kalau Fiji saja sudah menjadi bagian dari NKRI, apakah Vanuattu yang dijauhi oleh ULMWP mampu bertahan menjadi kubu pertahanan dan markas pusat perjuangan Papua Merdeka di luar negeri?

Jawab sendiri!

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny