Selamat HUT 1 Juli 1971 – 1 Juli 2021

Selamat Merayakan HUT Proklamasi Kemerdekaan Papua Barat 1 Juli 1971 – 1 Juli 2021.
Makna Penting 1 Juli 1971 sebagai Dasar Hukum Perjuangan Bangsa Papua Barat Merdeka.

Landasan final sejarah perjuangan bangsa Papua Barat (West Papua) telah di kenal pada tanggal 1 Desember 1961 yang dibentuk oleh dewan New Guinea Raad (Parlementer) dibawah kontrol Belanda.

Selama masa kemerdekaan bangsa West Papua yang di berikan oleh pihak kerajaan Belanda, Jebakan dari pihak yang ingin menguasai tanah Papua menekan pemerintahan Belanda untuk segera meninggalkan Papua dengan dalil Papua masih termasuk wilayah kedaulatan Republik Indonesia.

Generasi pertama yang adalah dewan New Guinea Raad telah berhasil mempersiapkan manifesto dasar politik bangsa Papua Barat dengan adanya Bendera bangsa, Lagu kebangsaan, Batas wilayah, dan Mata uang

Setelah 10 Tahun berjalan, dasar kebangsaan Papua Barat diombang ambingkan oleh pihak Indonesia yang sedang berkolaborasi, konspirasi dan kongkalingkong bersama Amerika demi mendapatkan kandungan mineral dari perut bumi Papua.

  • Sebelum hari Proklamasi 1 Juli 1971 (pembentukan dasar negara), orang Papua mengalami pembantaian yang jumlahnya mencapai ribuan nyawa dipadukan dengan tensi pada hari – hari bersejarah yang nyata dan yang sulit terlupakan .
  • 19 Desember 1961 ( Trikora),
  • 15 Agustus 1962 (New York Agreement),
  • 30 September 1962 (Roma Agreement),
  • 1 Mei 1963 (Aneksasi),
  • 15 Juli 1965 (Bentuk Perlawanan OPM),
  • 30 April 1967 (Kontrak Karya I PT. FM),
  • 14 Juli 1969 (Pepera).

Detik – Detik Proklamasi.

Dalam catatan sejarah, pada waktu Proklamasi 1 Juli 1971, terjadi 4 (empat) peristiwa penting : Proklamasi Kemerdekaan, Pengumuman Kabinet Pemerintahan, Penetapan Konstitusi Sementara (UUDS), dan Penolakan Pemilu Indonesia yang melibatkan Rakyat Bangsa Papua.

Source: FB

Pastor Alan Nafuki berpulang, ucapan duka cita mengalir dari Papua

Nabire, Jubi – Direktur Eksekutif United Liberation Movement for West Papua atau ULMWP, Markus Haluk menyampaikan rasa duka citanya atas berpulangnya Pastor Alan Nafuki pada Senin (14/6/2021). Pastor Alan Nafuki adalah Ketua Vanuatu West Papua Unification and Association Committee atau VWPUAC yang selalu konsisten menyuarakan dukungan bagi gerakan Papua merdeka.

“Ia adalah seorang Bapa, Gembala, saudara, dan seorang pejuang kemerdekaan Vanuatu. Sejak studi pada awal 1970-an di Meden, Papua Nugini, ia jatuh hati dengan manusia dan perjuangan kemerdekaan Papua Barat. Selama 40 tahun lebih ia berjuang dan bersuara bagi kemerdekaan Papua di Vanuatu. Kami sedih dan berduka,” kata Haluk saat dihubungi melalui panggilan telepon pada Senin (14/6/2021).

Haluk mengatakan Pastor Alan merupakan salah satu tiang gerakan Papua merdeka di Vanuatu. “Rakyat dan bangsa Papua akan selalu mengenangnya selalu memimpin aksi, lobi Papua merdeka di berbagai forum di Vanuatu, Melanesia, dan Pacifik,” kata Haluk.

Ia berharap semangat mendiang Pastor Alan Nafuki akan menggugah hati para pemimpin Melanesian Spearhead Group (MSG). “Supaya pada pertemuan MSG pada 15-17 Juni 2021 [nanti] forum MSG dapat menerima ULMWP sebagai anggota penuh,” kata Haluk.

Haluk menyatakan Ketua ULMWP, Benny Wenda, telah mengumumkan masa berkabung selama sepekan, untuk menghormati berpulangnya Pastor Alan Nafuki. “Itu duka bersama rakyat, para pemimpin Vanuatu dan Melanesia. Wakil ULMWP akan hadir dalam acara duka di Vanuatu,” kata Haluk.

Aktivis Hak Asasi Manusia, Daniel Randongkir juga menyampaikan rasa bela sungkawanya atas berpulangnya Pastor Alan Nafuki. “Terlalu besar jasa-jasamu untuk Tanah Papua. Kami akan mengenang jasa besar yang kau abdikan untuk perjuangan Tanah Papua. Jangan lupa mendoakan kami dan perjuangan kami,” kata Randongkir.

Randongkir mengatakan rakyat Vanuatu maupun rakyat Papua berduka atas berpulangnya Pastor Alan Nafuki. “Kami orang West Papua juga berduka yang amat mendalam atas kepulangan Pastor Alan Nafuki,” katanya.

Kabar berpulangnya Pastor Alan Nafuki menyebar luas di Papua. Salah satu warga di Papua, Melvin Yobe turut menyampaikan rasa duka citanya. “Kami rakyat Papua korban penjajahan Indonesia merasa kehilangan [atas berpulangnya] pejuang kemerdekaan Papua di Vanuatu. Tuhan Allah bangsa Papua menyebutmu di surga,” kata Yobe. (*)

Editor: Aryo Wisanggeni G

Akankah Konflik West Papua Berakhir sama dengan “Timor Timur”?

Peningkatan militer Indonesia dan kegiatan milisi ala Timor Leste mengancam akan mengacaukan Papua dan kawasan. Papua adalah contoh utama proses dekolonisasi yang gagal. Integrasi Indonesia di Papua, dengan keterlibatan Amerika Serikat, menjadi perang tidak resmi terhadap penduduk asli.

Indonesia mengambil alih Papua dari Belanda pada 1960-an melalui proses kontroversial yang disponsori PBB dan ditengahi oleh Amerika Serikat. Sejak saat itu, kaum Melanesia penduduk asli Papua telah memprotes pendudukan Indonesia. Integrasi Papua ke Indonesia diimplementasikan dengan keterlibatan Amerika Serikat. Itu merupakan perang tidak resmi terhadap penduduk asli yang menimbulkan diskriminasi rasial dan agama, perampasan besar-besaran atas tanah adat, penyerangan terhadap mata pencaharian dan budaya setempat, serta pelanggaran HAM berat lainnya termasuk pembunuhan di luar hukum, penyiksaan, dan pemerkosaan. Investor asing dan sekitar 1 juta migran non-Papua mendominasi ekonomi wilayah dan administrasi sipil dan militer, memarginalkan dan merampas hak 1,2 juta penduduk asli Papua.

Pelanggaran HAM brutal di Papua merupakan ciri khas rezim otoriter Presiden Soeharto selama 32 tahun. Pelanggaran terus berlanjut di bawah pemerintahan berbagai presiden berikutnya, termasuk penembakan terhadap demonstran damai, penyiksaan, dan penahanan sewenang-wenang.

Peningkatan aktivitas militer dan milisi Indonesia, bertujuan menggagalkan upaya penduduk asli Papua meraih kemerdekaan tanpa kekerasan, mengancam akan mengacaukan Papua dan wilayah. TNI mengerahkan ribuan pasukan ke Papua serta mendukung pembentukan milisi pro-pemerintah di Papua, dengan pelatihan, senjata, dan arahan. Unit-unit tersebut, dikenal sebagai Satgas Merah Putih, serupa dengan kampanye kekerasan di Timor Leste pada 2004 dan yang terus meneror kamp-kamp pengungsi Timor Barat di tahun-tahun berikutnya.

Integrasi Indonesia atas Papua, melalui proses dekolonisasi yang melanggar standar internasional, merupakan fondasi dari konflik saat ini. Setelah Perang Dunia II, Indonesia, baru merdeka dari Belanda, berusaha menguasai Papua dengan mengklaim semua tanah jajahan Belanda.

Para pemimpin Papua secara eksplisit menolak integrasi dengan Indonesia. Belanda meluncurkan inisiatif untuk mempersiapkan pemerintahan sendiri Papua. Di bawah rencana Belanda, penduduk asli Papua menyelesaikan pemungutan suara di seluruh wilayah untuk perwakilan Dewan Nugini yang baru dibentuk. Pada 1961, Dewan meratifikasi, dengan persetujuan resmi Belanda, adopsi bendera nasional Papua Bintang Kejora, lagu kebangsaan, dan nama baru untuk wilayah tersebut: Papua Barat. Ketika PBB menolak mendukung klaim teritorial Indonesia, pemerintah Soekarno menggunakan cara militer, termasuk invasi Trikora untuk “membebaskan” Papua.

Pemerintahan Presiden AS saat itu John F. Kennedy berusaha meredakan konfrontasi militer habis-habisan antara Indonesia dan Belanda serta memulai negosiasi yang disponsori PBB antara kedua pihak, berpuncak pada Perjanjian New York 1962. Penduduk asli Papua tidak memiliki suara dalam perjanjian, yang mengakhiri kedaulatan Belanda dan mendirikan pemerintahan sementara PBB. Perjanjian tersebut juga menyerukan orang-orang Papua menggunakan hak mereka untuk menentukan nasib sendiri “sesuai praktik internasional”, termasuk persetujuan bebas dan terinformasi serta hak pilih universal.

PBB menyerahkan kendali Papua ke Indonesia pada 1963, setelah periode administrasi singkat dan tidak memadai. Setelah memicu pembalikan parah perkembangan politik dan ekonomi wilayah, Indonesia secara resmi mengonsolidasikan kedaulatan atas Papua melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Act of Free Choice) 1969. Hanya 1.025 “perwakilan” (dari 800 ribu orang Papua) yang berpartisipasi, dengan dikelola dan dikendalikan Indonesia. Meskipun pengamat PBB melaporkan pelanggaran serius terhadap proses penentuan nasib sendiri dan 15 negara dengan keras menentang validitasnya, Majelis Umum PBB menerima hasilnya.

Polisi Indonesia telah membantu militer dalam misi melawan pejuang separatis di Kabupaten Puncak Jaya, Papua Barat. (Foto: via RadioNZ)
Seperti Timor Leste, Papua telah bertahan dalam operasi militer dan pendudukan Indonesia. Indonesia membenarkan operasi militer di Papua atas dasar menjaga stabilitas internal dan memerangi Organisasi Papua Merdeka (OPM). Sejak 1960-an, gerakan pembebasan nasional multifaksi populer OPM menggunakan taktik perlawanan bersenjata dan diplomasi internasional dalam melawan pemerintah Indonesia.

Penggunaan kekuatan militer Indonesia terhadap warga sipil, umumnya tanpa pandang bulu dan berlebihan, seringkali brutal, termasuk serangan udara besar-besaran dan penggunaan napalm di pedesaan. Meskipun jumlah total orang Papua yang terbunuh tidak diketahui, perkiraan pejabat gereja dan pengamat internasional menyebutkan angka lebih dari 100 ribu jiwa (kira-kira sepuluh persen populasi).

Kebijakan AS yang bermasalah

Keterlibatan AS dengan penjajahan Indonesia di Papua dan dengan penolakan hak penentuan nasib sendiri Papua berawal dari peran sentral AS dalam Perjanjian New York 1962.

Dukungan AS untuk militer Indonesia serta kegiatan ekonomi dan program sosial berbahaya secara sosial dan lingkungan di Papua berkontribusi pada pelanggaran HAM parah terhadap penduduk asli Papua.

AS mengecilkan masalah HAM dan penentuan nasib sendiri Papua demi kepentingan komersial dan strategis di Indonesia.

Keterlibatan AS menengahi Perjanjian New York 1962 membuka jalan bagi dominasi Indonesia atas Papua dan menumbangkan hak penentuan nasib sendiri penduduk asli Papua. Keterlibatan itu berlanjut melalui pengabaian efektif terhadap pelanggaran HAM besar-besaran Indonesia di wilayah Papua dan dukungan langsung untuk perusahaan AS di Papua yang merusak lingkungan dan mata pencaharian orang Papua.

Pembuat kebijakan maupun media AS menaruh perhatian besar pada Papua selama 1960-an. Namun, setelah memainkan peran utama dalam meredakan konflik Belanda-Indonesia atas Papua, AS melepaskan keterlibatan lebih lanjut yang berarti. Penderitaan rakyat Papua tenggelam dalam ketidakjelasan. Pemerintah Indonesia bebas berbuat sesukanya serta didukung secara politik dan finansial oleh AS, menghalangi pengawasan internasional atas peristiwa di Papua dengan memblokir akses ke pemantau PBB dan jurnalis asing.

Terlepas dari banyak bukti pelanggaran HAM yang dilaporkan setiap tahun oleh Departemen Luar Negeri AS, Amerika memberi militer Indonesia peralatan dan pelatihan selama beberapa dekade. Pasukan keamanan Indonesia telah menggunakan peralatan yang dipasok AS, termasuk helikopter, pengebom B-26, pesawat kontra-pemberontakan Bronco OV-10, jet tempur F-5E Tiger, dan senapan mesin M-16, dalam serangan terhadap warga sipil Papua. Pentagon terlibat dalam latihan militer bersama dan melatih pasukan Indonesia melalui program Joint Combined Exchange Training (JCET) dan International Military Education and Training (IMET).

Perusahaan AS, tertarik pada sumber daya alam Indonesia, tenaga kerja berupah rendah, dan lingkungan peraturan yang longgar, mendominasi kebijakan AS terhadap Indonesia dan Papua. Salah satunya adalah perusahaan multinasional pertambangan Freeport McMoran. Tambang emas dan tembaganya di pegunungan glasial Papua adalah yang terbesar di dunia. Lobi anggota dewan Freeport dan mantan Menteri Luar Negeri AS Henry Kissinger, kontribusi kampanye besar-besaran kepada politisi AS, dan manuver melalui kelompok-kelompok seperti US-Indonesia Society yang berbasis di Washington, D.C. memblokir respons kebijakan efektif AS terhadap praktik represif Indonesia.
Kedutaan Besar AS di Jakarta memberikan dukungan diplomatik besar untuk kepentingan perusahaan-perusahaan tersebut dalam menghadapi upaya masyarakat Papua, masyarakat sipil Indonesia, dan baru-baru ini pemerintah Indonesia untuk menuntut pertanggungjawaban perusahaan atas dampak sosial dan lingkungan serta dugaan kesepakatan bisnis tidak adil dengan rezim Soeharto.

Penduduk asli Papua secara luas memandang Freeport sebagai pijakan kontrol Indonesia atas tanah mereka. Mereka tanpa henti memprotes pelanggaran HAM dan degradasi lingkungan terkait operasi perusahaan. Itu termasuk: pembunuhan di luar hukum, penyiksaan, pengambilalihan tanah adat, pemukiman kembali paksa masyarakat lokal, masuknya migran non-Papua, penghancuran mata pencaharian lokal dan lokasi ritual penting, dan pembatasan ketat terhadap kebebasan bergerak orang Papua.

Sejak awal 1970-an, militer Indonesia menggunakan infrastruktur yang dibangun Freeport (bandara, jalan, pelabuhan) sebagai sarana serangan mematikan terhadap pemilik tanah adat Papua di sekitar tambang. Tindakan itu dirancang untuk melindungi tambang dan menghilangkan perlawanan terhadap kedaulatan Indonesia.

Dalam langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya, Overseas Private Investment Corporation (OPIC) mencabut asuransi risiko politik senilai US$100 juta Freeport pada 1995, menyimpulkan dampak sosial dan lingkungan perusahaan tersebut melanggar peraturan AS. OPIC menyatakan tambang telah “menciptakan dan terus menimbulkan bahaya lingkungan, kesehatan, atau keselamatan besar sehubungan sungai yang terkena dampak tailing, ekosistem darat di sekitarnya, dan penduduk setempat.”

Kekerasan baru-baru ini di Papua Barat telah membuat Jokowi memikirkan strategi untuk merespons. (Foto: Antara/Zabur Karuru/Reuters)

Namun, secara umum, dukungan AS secara bilateral melalui Bank Ekspor-Impor serta multilateral melalui Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk kegiatan ekonomi dan program sosial berbahaya secara sosial dan lingkungan di Papua telah memberikan kontribusi pada pelanggaran HAM dan memperkuat tuntutan penentuan nasib sendiri Papua. Program-program tersebut termasuk transmigrasi, pengendalian kelahiran nasional, pendirian perkebunan pertanian dan pertambangan, serta operasi eksploitasi sumber daya alam lainnya.

Rekomendasi kebijakan luar negeri AS

AS harus mengakui aspirasi sah penentuan nasib sendiri Papua dan menawarkan dukungan nyata untuk upaya menyelesaikan konflik Papua secara damai.
AS harus menyerukan penghentian segera peningkatan militer Indonesia di Papua serta penarikan semua pasukan.

Melalui bantuan dan subsidi luar negeri kepada berbagai perusahaan, AS harus memastikan penghormatan penuh terhadap standar AS dan internasional mengenai HAM dan perlindungan lingkungan.

Transisi politik Indonesia dari Orde Baru menawarkan kemungkinan mencapai solusi jangka panjang atas konflik puluhan tahun di Papua. Pemerintah Indonesia pernah secara terbuka mengakui kekejaman HAM serta dinamika sosial dan ekonomi tidak adil yang memperkuat aspirasi kemerdekaan Papua. Pemerintah meminta pertanggungjawaban Freeport atas dampak lingkungan dan menjanjikan penyelidikan HAM. Pemerintah juga menyusun Otonomi Khusus, termasuk pengakuan khusus atas hak tanah adat serta bagian yang jauh lebih besar dari manfaat keuangan dari eksploitasi sumber daya.

Langkah-langkah tersebut merupakan langkah pertama yang penting, tetapi tidak memadai. Itu terlalu sedikit dan terlalu terlambat untuk mengatasi kekhawatiran Papua mengenai tata kelola, hak atas tanah, penggunaan dan pengelolaan sumber daya alam, serta HAM. Langkah-langkah ad hoc semacam itu juga kemungkinan gagal, karena tidak memiliki kerangka keseluruhan dialog bilateral dan inklusif yang tidak mengasumsikan hasil.

Peluang penyelesaian konflik secara damai telah tertutup. Energi pemerintahan mantan Presiden Abdurrahman Wahid di awal era Reformasi terkuras oleh sederet tantangan mengatasi warisan rezim Soeharto: korupsi endemik, lemahnya struktur penegakan hukum sipil, militer kuat yang menyalahgunakan hak, kegagalan ekonomi, serta konflik antaretnis dan agama. Sementara itu, para pemimpin Papua memperkuat semangat kemerdekaan akibat kekerasan pasukan keamanan Indonesia.

Pengalaman lima dekade terakhir menunjukkan penggunaan kekuatan militer Indonesia tidak akan mencapai penyelesaian konflik langgeng. Menegaskan kembali dukungan AS untuk integritas teritorial Indonesia adalah respons kebijakan yang tidak memadai. Sebaliknya, AS harus mengejar kebijakan resmi yang mengakui aspirasi sah penentuan nasib sendiri Papua dan secara eksplisit menyatakan kesiapan untuk mendukung upaya penyelesaian konflik Papua secara damai, sebaiknya melalui dialog antara Papua dan pemerintah Indonesia atau, jika perlu, melalui penentuan nasib sendiri yang tepat dan valid.

Menurut analisis Abigail Abrash Walton di Institute for Policy Studies, kebijakan AS harus menggunakan empat tujuan panduan: 1) demiliterisasi dan mengakhiri pelanggaran HAM di Papua; 2) dukungan untuk konsolidasi demokrasi yang dipimpin sipil di Indonesia sebagai sarana meningkatkan prasyarat penyelesaian konflik tanpa kekerasan; 3) memastikan bantuan luar negeri AS serta program bantuan ekspor dan investasi memperkuat upaya Papua untuk pembangunan berbasis masyarakat dan berkelanjutan; serta 4) memobilisasi dukungan internasional untuk penyelesaian konflik tanpa kekerasan.

Penangguhan keterlibatan militer AS dengan Indonesia setelah peran kekerasan militer Indonesia pada 2004 di Timor Leste merupakan langkah yang disambut baik. AS harus melanjutkan penundaan sampai pemerintah Indonesia menarik pasukan serta melucuti dan membubarkan milisi di Papua, menuntut personel militer dan milisi yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM, dan menggelar pembicaraan serius dengan penduduk asli Papua.

Dukungan mengakhiri konflik di Papua berarti menghilangkan hambatan terhadap stabilitas Indonesia dengan membatalkan utang luar negeri pemerintah Indonesia dan mendukung pengawasan sipil penuh terhadap militer dan mengakhiri peran militer dalam urusan politik-ekonomi. Dukungan AS dibutuhkan untuk upaya organisasi non-pemerintah, lembaga Indonesia, dan badan internasional untuk menyelidiki kondisi HAM di Papua.

Menurut analisis Abigail Abrash Walton di Institute for Policy Studies, AS harus memastikan bantuan luar negeri serta program bantuan ekspor dan investasi menjunjung tinggi dan mempromosikan penghormatan penuh terhadap standar AS dan internasional mengenai HAM, perlindungan lingkungan, serta hak masyarakat adat atas kepemilikan dan pengelolaan tanah adat. Perusahaan AS yang beroperasi di luar negeri harus diharuskan mengadopsi kode etik yang dipantau independen untuk memastikan penghormatan terhadap HAM, pekerja, dan perlindungan lingkungan. AS harus terus memberikan bantuan keuangan dan dukungan politik kepada kelompok masyarakat sipil yang mendapat kepercayaan dari komunitas konstituen dan bekerja di tingkat akar rumput di bidang pendidikan hak hukum, bantuan hukum, pemantauan HAM, pembangunan berbasis masyarakat, dan perlindungan lingkungan.

Dalam upaya memperbaiki ketidakadilan di masa lalu, para pemimpin Papua telah meminta Indonesia, AS, dan pihak lain untuk meninjau kembali keadaan yang mengarah pada integrasi Papua ke Indonesia. Kementerian Luar Negeri Belanda mengumumkan pada Desember 1999, mereka melakukannya dengan pemeriksaan ulang historis atas penyerahan kedaulatan. Pada saat yang sama, negara-negara kepulauan Pasifik Selatan Vanuatu dan Nauru telah menyatakan dukungan untuk upaya penentuan nasib sendiri orang Papua, sehingga menghancurkan konsensus internasional bahwa Papua harus tetap berada di bawah kendali Indonesia. Seperti yang telah didesak oleh anggota Kongres AS, Amerika harus bertindak serupa dengan meminta Sekretaris Jenderal PBB untuk melakukan tinjauan menyeluruh terhadap Pepera 1969.

Penerjemah: Fadhila Eka Ratnasari

Editor: Purnama Ayu Rizky

Presiden Sementara: Akses internet diblokir saat penangkapan para pemimpin pembebasan dimulai

Press Release, 2 Juni 2021

Indonesia telah memutuskan akses internet di West Papua untuk menyembunyikan tindakan kerasnya terhadap gerakan pembebasan damai. Erik Walela, sekretaris Departemen Politik ULMWP, bersembunyi, dan dua kerabatnya Abi (32) dan Anno (31) ditangkap oleh polisi kolonial Indonesia pada 1 Juni.

Victor Yeimo, juru bicara KNPB, sudah ditangkap . Saya prihatin bahwa semua pemimpin dan departemen ULMWP di West Papua sekarang dalam bahaya setelah Indonesia mencoba menstigmatisasi kami sebagai ‘teroris’ . Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) telah menyatakan bahwa mereka menganggap seluruh gerakan pembebasan , termasuk siapa pun yang terkait dengan saya, sebagai teroris.

Siapa pun yang menentang ketidakadilan di West Papua sekarang dalam bahaya. Indonesia memutuskan internet untuk menyembunyikan tindakan keras dan operasi militernya, melanjutkan tradisi lama menyembunyikan informasi dari dunia dengan melarang jurnalis internasional dan menyebarkan propaganda. Satu-satunya cara siapa pun saat ini dapat mengakses internet di dalam adalah dengan berdiri [join] di dekat markas militer, polisi, atau pemerintah .

Mereka mencoba melabeli kami ‘separatis’, ‘kelompok kriminal bersenjata’, dan pada 2019 menyebut kami ‘monyet’. Sekarang mereka mencap kami ‘teroris’. Ini tidak lain adalah diskriminasi terhadap seluruh rakyat West Papua dan perjuangan kami untuk menegakkan hak dasar kami untuk menentukan nasib sendiri. Saya ingin mengingatkan para pemimpin PBB, Pasifik dan Melanesia bahwa Indonesia menyalahgunakan isu terorisme untuk menghancurkan perjuangan fundamental kami untuk pembebasan tanah kami dari pendudukan dan penjajahan ilegal.

Lebih dari 21.000 tentara telah dikerahkan dalam waktu kurang dari tiga tahun, termasuk bulan lalu ‘pasukan setan’ yang terlibat dalam genosida di Timor Timur. Densus 88, dilatih oleh Barat , juga menggunakan keterampilan mereka melawan rakyat saya. Operasi ini dilakukan atas perintah langsung Presiden dan ketua MPR . Rakyat saya trauma, takut pergi ke kebun, berburu atau memancing. Ke mana pun mereka berbelok, ada pos dan pangkalan militer. Berapa lama dunia akan mengabaikan seruan saya? Berapa lama dunia bisa melihat apa yang terjadi pada orang-orang saya dan berdiri?

Benny Wenda
Interim Presiden
Pemerintah Sementara ULMWP
(https://www.ulmwp.org/interim-president-internet-access…)

ULMWP #WestPapua #FreeWestPapua #Referendum #TNIPolri #IndonesiaMilitary #Militerism #InternetAccess

Presiden Sementara: Pemungutan suara di PBB Indonesia memperlihatkan kemunafikannya atas West Papua

Statement | 25 Mei 2021

Pemerintah Indonesia berbicara tentang Myanmar dan Palestina sambil memberikan suara untuk mengabaikan genosida dan pembersihan etnis di PBB. Kami bersyukur para pemimpin Indonesia menunjukkan solidaritasPenderitaan rakyat Palestina dan Myanmar, tetapi Indonesia berusaha mati-matian untuk menutupi kejahatannya sendiri terhadap kemanusiaan di West Papua.

Pada Sidang Umum PBB minggu lalu, Indonesia menentang mayoritas komunitas internasional dan bergabung dengan Korea Utara, Rusia dan China dalam menolak resolusi tentang ‘pencegahan genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis dan kejahatan terhadap kemanusiaan’. Sementara Menteri Luar Negeri Indonesia mengklaim ‘berjuang untuk kemanusiaan’, kenyataannya sebaliknya: mereka melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan di West Papua dan mencoba untuk memastikan impunitas abadi mereka diPBB.

Para pemimpin Indonesia sering berbicara tentang hak untuk menentukan nasib sendiri dan hak asasi manusia, dan pembukaan konstitusi Indonesia menyerukan ‘segala bentuk pendudukan asing’ ‘harus dihapus dari muka bumi’. Tapi di West Papua, pemerintah Indonesia melakukan pelanggaran yang diklaim ditentangnya. Penolakan mereka untuk menerima resolusi PBB jelas merupakan konsekuensi dari ‘pertanyaan Papua’, seperti yang dikatakan oleh Jakarta Post.

Bukti sekarang berlimpah bahwa Indonesia telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan, kolonialisme, pembersihan etnis dan genosida di West Papua. Pada minggu yang sama dengan pemungutan suara PBB, militer Indonesia – termasuk ‘pasukan Setan’ yang terlibat dalam genosida di Timor Leste – menyerang desa-desa di Papua, membunuh perempuan dan anak-anak yang tidak bersenjata dan menambah lebih dari 50.000 orang terlantar sejak Desember 2018. Tujuan yang disebutkan dari operasinya adalah untuk ‘menghapus’ semua perlawanan terhadap kolonialisme Indonesia. Saat Anda menggusur penduduk desa, mereka kehilangan tempat berburu, rumah, dan milik mereka

Seluruh cara hidup. Ini adalah pembersihan etnis sistematis, bagian dari strategi jangka panjang pendudukan Jakarta untuk mengambil alih tanah kami dan mengisinya dengan pemukim Indonesia dan perusahaan multi-nasional. Inilah maksudnya, dan kita membutuhkan tindakan sebelum terlambat.

Setelah mendeklarasikan perlawanan terhadap ‘terorisme’ pendudukan ilegal, Indonesia meluncurkan celah besar-besaranTurun. Victor Yeimo, salah satu pemimpin perlawanan damai kami yang paling populer, telah ditangkap. Frans Wasini, anggota Departemen Politik ULMWP, juga ditangkap pekan lalu. Di kota, mahasiswa Universitas Cenderawasih diseret keluar dari asramanya [Rusunawa Uncen] oleh polisi dan militer dan dijadikan tuna wisma. Siapapun yang berbicara tentang West Papua, pelanggaran hak asasi manusia dan genosida, sekarang berisiko ditangkap, disiksa atau dibunuh. Victor Yeimo, Frans Wasini, dan semua yang ditangkap oleh rezim kolonial Indonesia harus segera dibebaskan.

Mengirim lebih dari 21.000 tentara, membunuh para pemimpin agama, menduduki sekolah, menembak mati anak-anak – iniAdalah terorisme negara, kejahatan terhadap rakyat West Papua. Pemimpin Indonesia tahu apa yang mereka lakukan. Mereka telah mengirim TNI, polisi, unit ‘kontra-terorisme’, ‘pasukan Setan’, dan dinas intelijen ke West Papua. Unit-unit ini bersaing satu sama lain untuk melihat siapa yang dapat membunuh rakyat saya dengan lebih efisien, siapa yang dapat mencuri tanah kami dengan lebih aktif. Mereka yang paling mampu memusnahkan populasi kita akan mendapat keuntunganDalam peringkat. Orang-orang saya telah diubah menjadi objek permainan kerajaan Jakarta.

Perkembangan ini menunjukkan dengan lebih jelas perlunya Indonesia berhenti menghalangi kunjungan Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia PBB. Delapan puluh empat negara telah menyerukan kunjungan tersebut. Tidak ada lagi penundaan.

Pasukan harus ditarik, dan PBB diizinkan masuk sebelum bencana melanda.

Benny Wenda
Interim Presiden
Pemerintahan Sementara ULMWP
(https://www.ulmwp.org/interim-president-indonesias-un…)

ULMWP #WestPapua #UNGA #HumanRight #UNHCR #FreeWestPapua #Referendum #FreeVictorYeimo #FreeFransWasini #ReferendumYes

Pernyataan Bucthar Tabuni atas penangkapan Victor Yeimo, tangkap dan adili semua oknum pejabat yang terlibat dalam demo anti rasisme

JAYAPURA, KABARMAPEGAA•com – Deklarator ULMWP, Bucthar Tabuni mengeluarkan pernyataan keras atas penangkapan Victor Yeimo, Juru Bicara Internasional Komite Nasional Papua Barat (KNPB) pada Minggu 09 Mei 2021 di Tanah Hitam, Abepura, Jayapura. Buchtar Tabuni mengatakan, segera tangkap dan adili semua Oknum pejabat yang terlibat dalam demo anti rasisme pada 2019 lalu.

Berikut pernyataan Deklator ULMWP, Bucthar Tabuni pada 12 Mei 2021 di Jayapura, Papua :
Pada Minggu, 09 Mei 2021, Satuan Tugas (Satgas) Nemangkawi di Jayapura menangkap Tuan Viktor Yeimo, Juru Bicara Internasional Komite Nasional Papua Barat (KNPB), tepatnya di tanah Hitam, Abepura-Jayapura. Alasan penangkapan dari pihak Kepolisian Kolonial Indonesia adalah status Daftar Pencarian Orang (DPO) dalam kasus protes Rasisme bersama rakyat Papua. Berdasarkan laporan polisi No: LP/31 7/X/RES. 1. 24/2019/SKPT Polda Papua, tanggal 5 September 2019, dikeluarkan tanggal 09 September 2019, tuan Viktor Yeimo ditetapkan sebagai DPO.

Kami Parlemen Nasional West Papua, sebagai salah satu deklarator United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) menyayangkan tindakan Kepolisian Indonesia yang menangkap tuan Viktor Yeimo, sebagaimana tidak sesuai dengan prosedur ketentuan UU Nomor 8 Tahun 1981, yang mana telah disampaikan oleh Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua dalam siaran pers pada 11 Mei 2021.

Terkait Demo Anti Rasisme di Papua, perlu kami sampaikan bahwa;
Dalam Aksi Demonstrasi Anti Rasisme di Papua (2019), Pemerintah Kolonial Indonesia melalui Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Irjen Pol. Tito Karnavian telah menuduh ULMWP dan KNPB sebagai dalang dari Aksi-Aksi Demonstrasi Anti Rasisme di Papua. Berdasarkan tuduhan tersebut, Pimpinan KNPB tuan Agus Kossay selaku Ketua KNPB Pusat, Steven Itlay selaku Ketua KNPB Timika dan Pimpinan ULMWP, Tuan Buchtar Tabuni selaku Ketua II Komite Legislatif ULMWP ditangkap bersama dengan 4 orang Mahasiswa lainnya: Alexander Gobay (Presiden Mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Jayapura-USTJ), Ferry Kombo (Mantan Presiden Mahasiswa Universitas Cenderawasih-UNCEN), Hengky Hilapok (Mahasiswa USTJ) dan Irwanus Uropmabin (Mahasiswa USTJ).

Sama seperti yang terjadi pada tuan Viktor Yeimo, tanpa prosedur yang jelas, ke 7 orang tersebut ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangkah dalam Demontrasi Anti Rasisme di Papua.

Sebagaimana yang dialami ke 7 tersangkah tersebut di atas, setelah pemeriksaan di POLDA Papua, dipindahkan ke tahanan BRIMOB Papua selama 1 bulan.

Kolonial Indonesia memakai alasan keamanan di kota Jayapura sehingga tanpa prosedur memindahkan 7 tersangkah ke Balik Papan, Kalimantan Timur. Di Balik Papan, Kalimantan Timur, disidangkan. Dalam persidangan, dituntut masing-masing 10 – 17 tahun penjara. Namun dalam proses persidangan, tidak ditemukan bukti kuat atas dugaan makar dan kriminal, sehingga Hakim memutuskan hukuman masing-masing 10 – 11 bulan penjara, dipotong masa penahanan.

Setelah menjalani masa tahanan 1 – 2 bulan, 7 tersangkah Demo Anti Rasisme di Papua dibebaskan.

Sedangkan tahanan Rasisme yang lainnya juga menjalani proses pemeriksaan, persidangan dan menjalani masa tahanan, seperti di kota Jayapura, Wamena, Manokwari, Sorong dan di Jakarta (2019 – 2020).

Dengan menyimak penangkapan, penahanan, persidangan dan menjalani masa penahanan atas tuduhan makar serta kriminal terkait Demo Anti Rasisme (2019 – 2020), kami hendak menyampaikan:
Kasus Demo Anti Rasisme di Papua telah dipertanggungjawabkan melalui Persidangan dan Penahanan 7 tersangkah di Balik Papan, Kalimantan Timur, sebagaimana yang telah kami sampaikan pada poin (a) di atas.

Penangkapan dan Penahanan Tuan Viktor Yeimo dengan alasan Demo Anti Rasisme di Papua (2019) adalah tidak sesuai dengan ketentuan prosedur, sebagaimana telah disampaikan oleh Koaliasi Penegak Hukum dan HAM Papua dalam Siaran Pers pada 11 Mei 2021.

Kepolisian Republik Indonesia (POLDA PAPUA) harus professional dalam melihat kasus demontrasi anti rasisme. Bukan hanya Viktor Yeimo yang ditetapkan sebagai DPO dan ditangkap. Semua pihak yang terlihat dalam demonstrasi anti rasisme harus ditangkap.

Penegakan Hukum tidak boleh “Pilih Kasih”, Kepolisian Republik Indonesia (POLDA PAPUA) harus tegakan Hukum, tangkap semua yang terlibat dalam demontrasi anti Rasisme, seperti: Gubernur Papua, anggota DPRP, beberapa SKPD, Ketua MRP, Ketua KNPI Provinsi Papua, Tokoh Agama, Tokoh Perempuan dan Tokoh Pemuda Papua.

Jika pihak Kepolisian Republik Indonesia (POLDA PAPUA) tidak menangkap oknum-oknum pejabat yang terlibat, maka demi keadilan Viktor Yeimo, juru bicara Internasional KNPB harus dan segera dibebaskan tanpa syarat.

Jayapura, 12 Mei 2021
NIEUW GUINEA RAAD
Parlemen Nasional West Papua
BUCHTAR TABUNI
KETUA
https://kabarmapegaa.com/…/pernyataan_bucthar_tabuni…

Parlemen #VictorYeimo #FreeVictorYeimo

WestPapua #FreeWestPapua #Referendum

Dari MPP WPA: Komando Operasi Khusus Mengakhiri Puasa 40 Hari untuk West Papua

Dari Markas Pusat Pertahanan (MPP) Tentara Revolusi West Papua (WPRA), yang kini telah menjadi MPP West Papua Army (WPA) diumumkan bahwa Komando Operasi Khusus WPRA yang tetelah terlibat dalam Doa dan Puasa 40 Hari 40 Malam yang diorganisir oleh Jadiran Doa Rekonsiliasi Papua dipimpin oleh Selpius Bobii tadi malam dinyatakan berakhir.

Dari sejumlah kesaksian yang dihimpun dilaporkan bahwa telah terjadi berbagai mujizat yang patut disyukuri dan nama Tritunggal Allah patut dimuliakan.

Tanggal 1 Mei 2021, yaitu setelah 26 Hari Doa Puasa berlangsung, telah diumumkan

  1. Daftar 12 Departemen dalam Pemerintahan Sementara West Papua;
  2. Daftar 12 Menteri Kabinet 12 Murid, Power-Sharing Government of West Papua; dan
  3. Panglima Komando WPA dan staff Komando Pusat West Papua Army

Inilah mujizat terbesar yang telaht erjadi, yang patut disyukuri oleh Orang Asli Papua (OAP) dan para pendukung Papua Merdeka di manapun kita berada.

Berita lebih lanjut, silakan ke situs Fast, Pray and Praise

Seruan! Semua Pejuang Bangsa Papua Bergabung ke dalam ULMWP

Pembuka

Seruan ini disampaikan dari Kantor Berita Melanesia News, berita milik orang Melanesia, untuk sebuah Melanesia yang merdeka dan berdaulat.

Seruan ini disampaikan dalam rangka menyatukan kekuatan perjuangan bangsa Papua menentang teror dan intimidasi, penangkapan semena-mena, pengemboman dan pembunuhan yang merebak di seluruh West Papua setelah TPN/OPM dinyatakan oleh NKRI sebagai kelompok teroris.

Seruan ini didasari atas status ULMWP yang jelas, sebagai sebuah keberhasilan gemilang bangsa Papua yang harus kita akui dan banggakan, dan harus kita dukung, sampai NKRI angkat kaki dari tanah leluhur bangsa Papua: Negara Republlik West Papua.

Status dan Kedudukan ULMWP

United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) adalah satu-satunya organisasi yang dibentuk secara bersama oleh Orang Asli Papua, melewati prosedur demokrasi yang dapat dipertanggung-jawabkan kepada dunia, disaksikan oleh warga negara dan pemerintah di dunia, secara khusus di Melanesia, dan yang terpenting dari itu ialah, telah mendapatkan pengakuan secara hukum dan politik dari negara-negara di kawasan Melanesia.

ULMWP adalah sebuah hasil kisah sukses bangsa Papua dalam memperjuangkan hak-hak asasinya menentang penjajahan di atas tanah leluhurnya, yang telah dimulai sejak awal 1960-an dan kini telah berjalan selama lebih dari setengah abad.

ULMWP adalah anak-kandung dari semua figur politik bangsa Papua (antara lain Oktovianus Motte, Benny Wenda, dan Jacob Roembiak), didirikan oleh organisasi penggerak Papua Merdeka seperti PNWP, WPNCL, TPN/OPM, dan KNPB. Beberapa tahun kemudian kelompok TRWP dan Free West Papua Campaign juga telah bergabung ke dalam wadah pemersatu perjuangan bangsa Papua ini.

ULMWP dilahirkan oleh organisasi semua kelompok politik dan militer yang ada di Tanah Papua sejak 1960-an sampai saat ini, yaitu TPN/OPM, TPN PB OPM, NFRPB/ TNPB (Negara Federal Republik Papua Barat – Tentara Nasional Papua Barat) dan TRWP/ FWPC (Tentara Revolusi West Papua – Free West Papua Campaign), PNWP dan WPNCL (DeMMAK, DM TPN/OPM, TPN/OPM).

ULMWP telah memiliki badan hukum, yaitu didirikan berdasarkan sebuah Undang-Undang Dasar (UUD) yang telah disahkan oleh sidang resmi Komite Legislatif ULMWP pada akhir Oktober 2020 lalu.. UUD ULMWP ini bertindak sebagai Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) Pemerintah West Papua yang berkantor pusat di Port Vila, Republik Vanuatu.

ULMWP memiliki status resmi dalam lembaga regional Melanesia bernama Melanesia Spearhead Group (MSG) sebagai anggota peninjau, yang secara otomatis mengandung arti secara hukum bahwa ULMWP telah mendapatkan pengakuan dari negara-negara Melanesia dan Indonesia sebagai lembaga yang berstatus sama dengan negara-negara merdeka lainnya di Melanesia dan di dunia

Sebentar lagi ULMWP akan mendapatkan status sebagai anggota penuh MSG, yang artinya statusnya secara hukum sama persis dengan NKRI di mata MSG, dengan demikian kita telah berhasil mengukir keberhasilan diplomasi gilang-gemilang.

Ditambah atas itu, ULMWP telah mendapatkan perhatian dari 78 Negara Africa, Caribbea dan Pacific dan telah mengundang para pemimpin ULMWP sebagai organisasi mewakili orang Papua dan wilayah West Papua yang saat ini diduduki oleh NKRI.

Apalagi yang kurang?

ULMWP telah mendapatkan dukungan dari seluruh negara Melanesia sebagai mitra kerja.

Apa lagi?

ULMWP telah memiliki West Papua Army (WPA) sebagai tentara yang resmi didirikan berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara West Papua.

Ditambah lagi!

ULMWP telah memiliki kabinet dengan kementerian yang jelas.

ULMWP juga telah secara resmi mengumumkan Panglima Komando West Papua Army bersamaan dengan pengumuman kabinet pada tanggal 1 Mei 2021.

Seruan kepada Tokoh, Aktivis dan Organisasi Papua Merdeka

Kami serukan kepada

  1. Para tokoh dan pemimpin politik bangsa Papua;
  2. Para pemimpin organisasi perjuangan bangsa Papua; dan
  3. Para panglima Komando pembebasan bangsa Papua di seluruh Tanah Papua

untuk bergabung ke dalam komando West Papua Army dan pemerintahan Sementara yang telah didirikan ULMWP

Dari Redaksi Collective Editorial Board of the Diary of OPM (Online Papua Mouthpiece)

WWW.

2 Tentara Pembunuh dari Indonesia Ditembak Pukul 08:00 AM Waktu West Papua

Mathias Wenda, Chief Gen. WPRA, dari medan pertempuran di wilayah perbatasan antara West Papua (Negara Kolonial Republik Indonesia – NKRI) dengan Papua New Guinea telah melaporkan kepada crew PMNews bahwa telah terjadi baku tembak di wilayah perbatasan pada pukul 08:00 pagi Waktu West Papua di wilayah Wutung, daerah perbatasan NKRI – Papua New Guinea.

Menurut Gen. Wenda operasi ini dilakukan atas dasar Surat Perintah Operasi Umum Pangktikor WPRA bretanggal 20 Juli 2017, yang telah disampaikan kepada seluruh panglima dan prajurit pejuang Papua Merdeka di seluruh Tanah Papua.

Dalam peristiwa baku tembak antara Tentara NKRI dan pasukan WPRA ini telah ditembak dua orang anggota TNI dan diakui Gen. Wenda tidak ada korban dari pihak WPRA.

Demikian untuk disebarluaskan kepada dunia.

 

PMNews

 

Perintah Operasi Umum West Papua Army 20 July 2017 dan Aksi 1 Oktober 2017

No. 14/A/PANGTIKOR/TRWP/P.O/VII/2017
Perihal: SURAT PERINTAH OPERASI UMUM
Sifat: PENTING DAN BERLAKU KAPAN SAJA

Kepada Yang Terhormat,

  1. Panglima KORDAP TRWP
  2. Komandan OPERASI TRWP
  3. Komandan Lapangan TRWP
  4. Komandan Pelatih TRWP

Di West Papua

Berdasarkan keputusan Rapat Staf Umum Markas Pusat Pertahanan Tentara Revolusi West Papua (TRWP_ NomorP 07/A/PANGTIKOR/TRWP/SK/IV/216, tanggal 20 April 2016, maka dengan ini Panglima Tertinggi Komando Revolusi penanggung jawab revolusi memberikan “SURAT PERINTAH OPERASI UMUM” kepada Panglima Komando Daerah Pertahanan (KORDAP) dan para Komandan Lapangan serta anggota yang akan menjalankan tugas revolusi di seluruh pelosok tanah air West Papua

BAHWA

  1. SURAT PERINTAH ini berdasarkan situasi politik pada dewasa ini tidak berjalan sesuai aspirasi Rakyat West Papua;
  2. Sesuai dengan tugas-tanggungjawab dan wewenang para Panglima, Komandan dan seluruh anggota Tentara Revolusi West Papua untuk menentang dan melawan kolonialisme di West Papua.

Maka dalam menjalankan tugas ini agar dapat mempehatikan hal-hal sebagai berikut:

  1. PAda waktu yang tepat para komandan segera memberikan arahan kepada pasukan yang akan menjalankan tugas sesuai dengan tujuan dan sasaran operasinya
  2. Ager memperhatikan seluruh harga-benda dan akan-isteri dari rakyat West Papua serta kekayaan lannnya;
  3. Agar tidak merusak Rumah Sakit, Rumah warga dan bangunan sekolah, gedung ibadah dan tempat-tempat keperluan umum masyarakat sehingga masyrakat umumnya tidak merasa terganggu;
  4. Agar keselamatan dan keamanan pasukan serta kebutuhan lainnya harus diperhatikan secara saksama.
  5. Dalam menjalankan kegiatan operasi apabila kehabisan amunisi/ busuh-panah dan alat perang lainya, maka segera menarik mundur anggotanya.
  6. Segala jenis barang rampasan dari pihak musuh ataupun sandera segera dilaporkan langsung kepada Panglima Tertinggi di Marpas Pusat Pertahanan (MPP) TRWP.
  7. Surat Perintah Operasi Umum ini berlaku kapan saja selama revolusi Papua Merdeka berjalan sesuai dengan situasi dan kondisi di masing-masing tempat basis pertahanan.
  8. Surat Perintah Operasi Umum ini dikeluarkan agar dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung-jawab secara penuh, secara rapih dan professional.

 

Demikian Surat Perintah Operasi Umum ini dikeluarkan atas nama segenap komunitas makhluk dan anah serta bangsa Papua, atas nama para pahlawan yang telah gugur di medan perjuangan di sepanjang pulau New Guinwa ataupun yang masih hidup dan yang akan lahir, atas berkat dan anugerah Sang Khalik Langit dan Bumi, atas nama KEBENARAN mutlak.

DIkeluarkan di:        MPP TRWP
Pada Tanggal:         20 July 2017

Panglima Tertinggi,

 

 

Mathias Wenda, Chief. Gen. TRWP
BRN: A.DF.00107676

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny