Jayapura, 4/4 (Jubi) – Penyiksaan dan penganiayaan oleh aparat kepolisian Jayapura terhadap dua aktivis mahasiswa, Alfares Kapissa dan Yali Wenda, disebutkan oleh Amnesty Internasional (AI) sebagai praktek sangat mengerikan dan merupakan kejahatan di bawah hukum internasional.
“Pihak berwenang Indonesia terus menggunakan undang-undang untuk mengkriminalisasi aktivitas-aktivitas politik damai di Papua,”
kata Josef Benedict, juru kampanye Amnesty Internasional, melalui rilis Akepada Jubi (4/4).
Amnesty International, kata Josef, telah mendokumentasikan kasus-kasus pembunuhan di luar hukum, penggunaan kekerasan yang tidak perlu atau berlebihan, sebagaimana juga penyiksaan dan penganiayaan terhadap beberapa aktivis politik yang beraktifitas secara damai selama penangkapan, penahanan, dan interogasi oleh aparat keamanan di Papua.
“Kejadian ini merupakan pengingat terkini atas berlanjutnya penggunaan penyiksaan dan penganiayaan oleh aparat keamanan Indonesia.”
kata Josef .
Meski ada janji yang terus menerus dinyatakan pihak berwenang Indonesia untuk membawa para pelaku mempertanggungjawabankan tindakannya, tambahnya, seringkali tidak ada penyelidikan yang independen.
“Dan mereka yang bertanggung jawab jarang dibawa ke muka hukum di depan sebuah pengadilan yang independen.”
ujar Josef.
Amnesty International menyerukan sebuah investigasi yang dipimpin oleh pihak sipil yang independen dan imparsial, dilaksanakan terhadap tuduhan-tuduhan pada pihak berwenang di Indonesia ini dan hasilnya harus diumumkan kepada publik. Dan mereka yang bertanggung jawab atas kejahatan ini harus dibawa ke muka hukum dan para korban diberikan reparasi.
Seperti diberitakan media ini, dua mahasiswa, Alfares Kapissa dan Yali Wenda diduga disiksa atau dianiaya setelah mereka ditangkap pada 2 April 2014 karena memimpin demonstrasi menyerukan pembebasan tahanan-tahanan politik Papua. Keduanya mengaku polisi menendang dan memukul mereka dengan popor senjata selama ditahan oleh polisi. Keduanya dilepas sehari setelahnya. (Jubi/Victor Mambor)
Keberadaan Indonesia diatas tanah Papua merupakan aktivitas ilegal dan asing bagi rakyat Papua. Papua yang melingkupi Numbai sampai ke Merauke, dari Raja Ampat sampai ke Baliem (Pegunungan Bintang) dan dari Biak sampai ke Pulau Adi adalah sebuah wilayah koloni baru dari Indonesia, yang keabsahannya belum final dibawah hukum internasional.
Demokrasi (prosedural) ala neo-kolonialisme Indonesia hanya mampu menghipnotis rakyat Papua dalam setiap Pemilihan Umum (Pemilu), tetapi tidak berhasil menjamin kebebasan politik rakyat Papua dalam menentukan nasibnya sendiri. Jargon Pesta Demokrasi Indonesia di Papua, sangat jelas bertujuan untuk: (a) Melahirkan agen-agen kolonialisme; (b) Memperkokoh sistem kolonialisme Indonesia; (c) dan hegemoni neo-kolonialisme Indonesia.
Sistem demokrasi yang demikian telah menciptakan tatanan hidup rakyat Papua yang tercerai-berai, tata kehidupan yang diskriminatif, gaya hidup yang konsumeristik, Kesehatan dan Pendidikan yang materialistik, Sosial yang individualistik, Budaya yang hedonistik, Politik yang oportunistik, Ekonomi yang liberalistik, Agama yang eksploitatif.
Dalam kondisi yang tidak menentu itu, rakyat Papua digiring dalam perspektif demokrasi yang menghendaki -dan praktis membuat rakyat Papua sebagian, khususnya para elit politik partai menjadi budak yang tunduk menerima praktek partainya. Mereka hanya menjadi dan dijadikan boneka yang tidak berdaya dan pasrah menerima semua paket politisasi kebijakan Jakarta.
Kita sedang menyaksikan Otonomi Khusus (Otsus) yang dipaksakan sebagai solusi, lalu dibenturkan dan digagalkan Jakarta dengan kebijakan lain, lalu saat ini mencoba ditambal sulam lagi dengan Otsus Plus (Pemerintahan Papua). Pada saat yang sama, harga diri orang Papua dipermainkan ketika MRP, DPRP, dan Gubernur di Papua tidak memiliki kewenangan apapun, tidak berdaya, tidak dihiraukan, atau kasarnya hanya dijadikan boneka penguasa yang tunduk pada perintah Jakarta.
Mental nurut dan mental budak tidak ada dalam sejarah dan budaya orang Papua. Itu hanya ada dalam sejarah Indonesia vs Belanda dan kini praktek kolonialisme ini diterapkan di Papua. Pemerintahan sipil di Papua hanya menjadi boneka Jakarta dan tata kendali diambil oleh pemerintahan militer Indonesia di Papua.
Pemilu 2014 akan menjadi ajang perburuan neo-kolonialisme dan kapitalisme di Papua. Kepentingan neo-koloalisme akan menempatkan agen-agen penguasa lokal dan nasional dalam mengamankan kepentingannya. Yang tersisa dari agenda kolonial hanya konflik berdarah demi keutuhan NKRI dan kapitalisme. Rakyat hanya puas dengan janji utopis dari para kandidat Caleg dan Capres. Selanjutnya penjajahan berlanjut, penindasan berlanjut, pemusnahan berlanjut.
Indonesia tidak akan peduli pada hak berdemokrasi, yaitu hak memilih dan dipilih. Sebab, cara-cara represif, rekayasa dan manipulasi hak suara sudah pernah dimulai sejak pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua, dan praktek berdemokrasi yang bobrok itulah yang masih terus diterapkan. Oligarki kekuasaan menjadi nyata tatkala rezim Indonesia dipegang oleh para Jendral militer yang punya record pelanggaran HAM di Papua nanti.
Hak politik bangsa Papua dalam Pemilu Indonesia tidak berarti untuk melegitimasi Penguasa Indonesia diatas tanah Papua. Keterlibatan rakyat dalam Pemilu bukan merupakan kesadaran kolektif rakyat Papua. Tetapi secara real, merupakan manifestasi dari hegemoni Jakarta yang memaksa rakyat Papua untuk, mau tidak mau, suka tidak suka, ikut meramaikan dalam ketidakpastian harapan.
Cita-cita rakyat Papua harus diuji dalam suatu proses demokrasi yang umum dan tuntas, khusus terhadap rakyat Papua lewat hak menentukan nasib sendiri. Hal itu untuk menguji ideologi dan nasionalisme kebangsaan Papua dan Indonesia. Sebab legitimasi politik tanpa dilandasi nilai nasionalisme dan ideologi pada hakekatnya mubazir alias tiada arti. Artinya, orang Papua yang ikut Pemilu tetapi tidak berlandaskan pada cita-cita ideologi dan nasionalisme Indonesia itu percuma. Itu justru merupakan simbolisme demokrasi.
Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia dan para elit lokal Papua yang sedang bergeming dalam Pemilu Indonesia harus berhenti memberikan harapan utopis, karena tidak mungkin penjajah dan yang terjajah hidup sejahtera. Yang terjajah harus diberikan ruang dan hak untuk memilih nasibnya sendiri. Praktek demokrasi dalam negara-bangsa yang merdeka akan bermakna bila rakyat bangkit menentukan pilihan berlandaskan ideologi dan nasionalismenya sendiri.
Dengan kenyataan seperti ini, kami Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Yogyakarta, sesuai dengan sikap penolakan AMP Pusat, menyatakan dengan tegas, menolak Pemilu 2014 di tanah Papua.
Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Yogyakarta.
Telius Yikwa
(Sekertaris)
Penulis : Admin MS | Senin, 31 Maret 2014 19:12,MS
Jayapura, (23/3) Jubi – Buchtar Tabuni minta dunia internasional memberikan perlindungan dan keselamatan untuknya.
Buchtar Tabuni yang masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) Kepolisian Daerah Papua meminta Dunia Internasional memberikan perlindungan kepada dirinya sesuai hukum kemanusiaan internasional.
“Buchtar Tabuni mengirim pesan ini dari dari tempatnya bersembunyi. Ia membutuhkan advokasi internasional karena ia menjadi orang yang paling dicari oleh Polisi dan militer Indonesia karena memimpin demo damai meminta hak penentuan nasib sendiri (Referendum) untuk Papua Barat. Ia telah 5 bulan bersembunyi di hutan Papua Barat.”
tulis Victor Yeimo melalui pesan singkat kepada Jubi, Minggu (23/3).
Yeimo yang masih menjadi tahanan politik di LP Abepura ini menambahkan, selama bersembunyi dari pencarian aparat keamanan Buchtar Tabuni membangun Camp dari satu tempat ke tempat lain dan sulit untuk mendapatkan makanan dan obat-obatan.
Pada tanggal 26 November tahun lalu, usai aksi demonstrasi damai KNPB yang berujung bentrok antara massa aksi KNPB dengan aparat keamanan, Kapolres Kota Jayapura, AKBP. Alfred Papare meminta Buctar Tabuni sebagai penanggung jawab aksi untuk datang ke Mapolres Jayapura Kota guna memberikan keterangan.
“Kita minta penanggung jawab aksi dalam hal ini Buctar Tabuni untuk datang ke Polres, guna memberikan keterangan tekait aksi yang dilakukan pendukungnya tersebut,”
kata Alfred saat itu.
Satu minggu kemudian, karena tak memenuhi panggilan polisi melalui media massa, Buchtar Tabuni ditetapkan sebagai DPO oleh Polda Papua. (Jubi/Victor Mambor)
Para pemateri dan moderator dalam diskusi dan seminar Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua se Indonesia(AMPTPI) di ruang pertemuan Asrama Mahasiswa Mimika, Waena Jayapura.(Jubi/dam)
Jayapura, 22/3 (Jubi)-Saat ini orang Papua masih belum bersatu. Masing-masing mau bikin diri jadi presiden. Padahal, untuk mencapai semua itu mestinya orang Papua harus bersatu dan duduk bersama untuk bicara agar bisa merdeka. Semua masih mau jalan sendiri dan orang Papua saling baku tipu di antara mereka sendiri.
Hal ini diungkapkan pejuang HAM Mama Yosepha Alomang , saat menjadi narasumber dalam Seminar dan Diskusi Publik
“Memperjuangkan Keberpihakan Demokrasi bagi Rakyat Bangsa Papua Demi Terciptanya Keadilan dan Perdamaian”
yang dilaksanakan oleh Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua se Indonesia(AMPTPI) di Asrama Mahasiswa Mimika, Sabtu(22/3).
“Konflik yang terjadi di Timika sebenarnya hanya untuk kepentingan orang lain seperti pemerintah RI, bupati, Freeport dan juga TNI dan Polri. Justru masyarakat yang jadi korban: saudara bunuh saudara dan bapak menantu,,”
kata Mama Yosepha Alomang.
Dia menambahkan sebagai orang Amungme, mereka juga punya hukum adat yang sama dengan 10 perintah Allah. Jadi, jangan kira mereka tidak memiliki aturan tersebut.
“Jadi saya pikir tidak mungkin anak-anak mau membunuh dorang punya bapak mantu atau saudara mereka sendiri,”
kata penerima penghargaan HAM dan penghargaan Lingkungan Hidup Internasional itu.
Dia menegaskan kepentingan pihak lain menyebabkan orang Papua saling membunuh atas nama perang atau konflik.
“Karena itu saya mengingatkan agar mari kitorang bersatu agar Papua bisa bicara bersama untuk Papua bisa Merdeka,”
katanya
Markus Haluk, Sekretaris Jenderal AMPTPI, mengatakan bahwa orang Papua saat ini tipu Papua atau ‘Patipa’ (Papua Tipu Papua), Papua Makan Papua (Pamapa), dan Papua Bunuh Papua (Pabupa).
”Karena itu, bagi saya dialog bukan tujuan, referendum bukan tujuan dan merdeka juga bukan tujuan,”
katanya seraya menegaskan kalau itu semua merupakan jalan menuju kota emas dan itu semua harus dipahami.
Markus mengatakan, jalan menuju kota emas harus dipahami oleh semua orang Papua sehingga tetap bekerja sesuai dengan kemampuan dan keahlian yang dimilikinya.
Sementara itu salah satu pembicara lain, Ester Haluk, menegaskan di Papua bukan hanya aparat keamanan saja yang menjadi aktor represi terhadap ruang demokrasi saja tetapi elite Papua di birokrasi juga sangat alergi terhadap protes dan kritik dari masyarakat yang kritis.
“Mereka berkolaborasi dengan pihak keamanan dalam menangani berbagai bentuk terror,ancaman dan intimidasi,”
katanya.
Dia menambahkan pemberangusan hak berdemokrasidi Papua sudah memuncak,dengan pameran kekuatan militer secara full saat mengawal semua proses maupun aksi damai yang biasa dilakukan kelompok-kelompok pro demokrasi di Papua.
“Salah satu bukti nyata adalah pengerahan pasukan dengan perlengkapan lengkap plus panzer dan baracuda untuk mengawal aksi protes mahasiswa. Mereka juga melolakalisir mahasiswa untuk melakukan aksi hanya di lingkungan kampus saja,”
katanya.
Bukan hanya itu saja. Menurut Ester Haluk, izin melakukan aksi damai memprotes kebijakan yang merugikan masyarakat Papua sudah mulai sering tidak diberikan oleh Polda Papua dengan alasan mengganggu ketertiban umum. Celakanya lagi, kata Ester, aksi protes mahasiswa dalam mengkritisi kebiajakan juga dilindas dengan kekuatan militer dengan Memori of Understanding (MoU) antara pihak kampus dengan Polda Papua untuk menahan dan menangkap mahasiswa yang dianggap memotori aksi protes yang dilakukan kaum muda Papua yang juga mahasiswa.
“Kasus terbaru yang saat ini terjadi adalah terror dan intimidasi terhadap Yusak Reba, akademisi Uncen yang menggunakan kapasitasnya sebagai akademisi untuk berbicara,”
katanya.
Dia mengatakan kebijakan-kebijakan negara juga telah dipakai dalam merepresi ruang demokrasi.
“Banyak kebijakan negara yang cenderung mengutamakan negara dan merugikan masyarakat termasuk orang Papua,”
katanya
Ditambahkan pertama UU Tentang Organisasi Masyarakat/Ormas yang ditetap dalam UU No:8 Tahun 1985 yang diperbarui dalam UU No.17 Tahun 2013 meski telah menuai banyak protes tetap disahkan oleh DPR RI dan diberlakukan di seluruh Indonesia.
“Ini artinya kebebasan berorganisasi dan mengeluarkan pendapat menjadi tabu, jika dilakukan oleh organisasi yang tidak terdaftar di Kesbangpol,”
katanya.
Kebijakan kedua lanjut dia adalah penetapan UU Anti Terrorisme lewat UU No 15 Tahun 2003 memberi akses penuh kehadiran militer untuk kembali bermain di ranah publik.
”Dalam undang-undang ini laporan inteleijen menjadi dasar kuat untuk penangkapan terhadap aktivis demokrasi yang terlebih dahulu diberi label melakukan kegiatan separatis,”
katanya.
Dana-dana dari luar negeri kata dia dengan kebijakan sentralistik dana-dana donor dari lembaga-lembaga di luar negeri ke Indonesia harus melalui kebijakan satu pintu dan juga memberikan akses kepada Badan Intelijen Negara(BIN) untuk memata-matai semua masalah finansial dari lembaga non pemerintah yang fokus mengangkat isu-isu Sipil Politik(Sipol) mau pun Ekosob.(Jubi/dominggus a mampioper)
London, KNPBnews – Seruan berikut dikeluarkan oleh pemimpin Papua Merdeka, Benny Wenda di London agar rakyat West Papua memboikot pemilu kolonial Indonesia di Papua. Sumber resmi situs http://www.freewestpapua.org.
KAMI TIDAK AKAN MEMILIH !
Pada tahun 2014 Republik Indonesia akan mencoba untuk mengadakan pemilihan di Papua Barat. Kami masyarakat Papua menolak untuk memilih di pemilu ini. Mengapa ?
Hari ini secara ilegal Papua Barat diduduki oleh Indonesia. Kami memiliki hak untuk kemerdekaan. Kami akan memberikan suara dalam referendum yang benar pada penentuan nasib sendiri. Tapi kami tidak akan memilih dalam pemilu disaat pendudukan brutal di Indonesia diatas tanah kami terus berlangsung.
Pada tahun 1963 Indonesia menginvasi negara kita dan rakyat kita diteror. Selama lebih dari 50 tahun Indonesia telah menyiksa dan membunuh kami. Militer Indonesia telah menewaskan lebih dari 500.000 Papua pria, wanita dan anak-anak. Selama lebih dari 50 tahun Kami telah mati untuk kebebas kita.
Pada tahun 1969, Indonesia mengancam 1024 dari tetua suku kami dengan penyiksaan dan kematian jika mereka tidak mengatakan mereka ingin Papua Barat menjadi bagian dari Indonesia. Kekuasaan Indonesia atas Papua Barat semata-mata didasarkan pada iven ini – persetujuan takut kurang dari 1% dari populasi orang dewasa. Indonesia tidak memiliki hak untuk berada di Papua Barat. Indonesia tidak memiliki hak untuk mengadakan pemilihan apapun di tanah kami.
Saya menyeruhkan untuk masyarakat saya di seluruh pelosok, dari pantai ke gunung, dari pulau ke pulau. Mari kita tetap kuat dan bersatu. Jangan memilih!
Saya meminta semua Organisasi politik Papua untuk berbicara dengan orang-orang kami dan memberitahu mereka kebenaran. Jangan biarkan mereka ditipu Indonesia.
Saudari terkasih dan saudara-saudara, orang tua saya tercinta, dunia sedang berdiri untuk air mata dan penderitaan kita. Anggota-anggota Parlemen di seluruh dunia sedang melobi Pemerintah mereka untuk menghormati hak kami untuk menentukan nasib sendiri.
Saya dan orang-orang Papua Barat terus menyeruhkan bagi masyarakat internasional untuk kebebasan dan keadilan. Kami adalah orang-orang yang damai. Kami memiliki martabat dan hak untuk hidup. Berapa banyak dari kita harus dibunuh sebelum anda akan bertindak?
Silahkan mendengar seruan kami :
i) Papua Barat secara ilegal diduduki oleh Indonesia: Indonesia Segera kami meminta untuk meninggalkan tanah kami;
ii) Kami meminta PBB untuk mengirim pasukan penjaga perdamaian untuk menggantikan militer Indonesia di Papua Barat;
iii) Kami meminta masyarakat internasional, dan terutama Amerika Serikat dan Belanda yang keduanya memainkan bagian penting dalam Membiarkan pendudukan Indonesia, bertindak untuk mengembalikan kebebasan kami dan menghormati hak-hak kami sebagai manusia, termasuk hak-hak kami untuk sumber daya alam. Kami adalah orang-orang yang harus anda berurusan dengan kami, bukan pemerintah dan militer Indonesia.
iv ) Kami meminta PBB untuk mengadakan referendum sejati antara masyarakat Papua dan biarkan kami memutuskan untuk sekali dan selamanya apakah kami menginginkan kebebasan atau pemerintahan Indonesia.
Kami, orang-orang Papua, memiliki hak untuk kebebasan. Kami adalah koloni Belanda. Kami memiliki hak untuk merdeka dari Belanda. Tapi itu tidak terjadi. Satu juta masyarakat adat di Netherland New Guinea apakah ditukar seperti manik-manik oleh Amerika Serikat sebagai imbalan atas dukungan dan akses ke kekayaan besar kami tentang sumber daya alam Indonesia. PBB memberi Indonesia dan mengkhianati kami dan Tanggung Jawab atas kemerdekaan kami. Kami masih menunggu untuk menggunakan hak kami untuk menentukan nasib sendiri.
Jika Anda ingin orang-orang Papua untuk memilih – berikan kami referendum pada kebebasan kami.
Kemudian kita akan memilih !
Benny Wenda
Pemimpin Kemerdekaan Papua Barat Kemerdekaan dari pengasingan Inggris
Wilayah dan Bangsa Papua Barat dianeksasikan oleh Indonesia dengan cara yang penuh kecurangan, manipulatif, cacat hukum dan tak bermoral. PBB sebagai lembaga dunia yang harusnya menjamin masyarakat dunia ini pun terlaibat Pelanggaran HAM berat terhadap rakyat Papua. Perudingan status wilayah dan politik Papua mulai dari konferensi Malino pada tanggal 16-24 Juli 1946, KMB di Den hag Belanda hingga Perjajian New York 15 Agustus 1962 tidak perna melibatkan Orang Papua. Tanggal 19 Desember 1961, Ir Soekarno kumandangkan TRIKORA setelah 18 hari Papua Mendeklarasikan Kemerdekaan untuk membubarkan Negara Papua Barat yang baru berumur 18 hari itu.
1 Mei 1963 UNTEA menyerahkan administrasi walayah Papua kepada pemerintah indoensia untuk mempersipakan pelaksanaan PEPERS sesuai perjanjian New York (New York Agreement) 15 Agustus 1962.Dengan adanya penyerahana dministrasi wilaya Papua kepada pemerintah Indonesia, pemerintah ndonesia mengirim militer dalam jumlah besar dan mobilisasi penduduk besar-besaran dariJawa ke Papua dalam upaya pengkondisian hingga 1969. Terbukti hasil PEPERA dimenangkan oleh Indonesia. Dua tahun sebelum PEPERA 1969 yaitu 1967 terjadi Kontrak Karya I Freeport Mc Moran Gold and Copper perusahaan tambang emas dan tembaga milik Imperialis Amerika dengan rezim Orba Soeharto. Kontrak ini dilakukan karena Indonesia yakin akan memenangkan PEPERA walaupun dengan cara keji sekalipun, seperti teror, intimidasi dan bahkan pembunuhan sekalipun.
Kehadiran Indonesia tidak serta merta diterima oleh prokemerdekaan negara Papau Barat. Kenyataan ini dibalas oleh Indonesia dengan berbagai operasi militer baik di daerah pesisir Papua maupun daerah pegunungan Papua. Ratusan ribu rakyat Papua tewas akibat kekejaman militer (TNI-Polri) Indonesia. Apalagi paska pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) sejak 1977-1998, bahkan hingga saat ini.
Berdasarkan kenyataan itu, Aliansi Mahasiswa Papua menuntut kepada PBB, Amerika dan Indonesia untuk segera;
Berikan Kebebasan dan Hak Menetukan Nasib Sendiri Sebagai Solusi Demokratis Bagi Rakyat Papua.
Tarik Militer ( TNI-Polri) Organik dan Nonorganik dari Seluruh Tanah Papua
Hentikan Ekspolitasi dan Tutup Semua Perusahaan Milik Imperialisme : Freeport, BP, LNG Tanguh, Corindo, Medco, Antam dll.
Demikian pernyataan sikap politk ini kami buat sebagai bentuk perlawanan atas penjajahan, penindasan dan penghisapan oleh Indonesia dan tuannya Imperialisme atas rakyat Papua.
Suasana serahterima jabatan Ketua AMP Malang. Foto: Ist.
Malang, MAJALAH SELANGKAH — Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Malang melantik dan melakukan serahterima jabatan dari pengurus lama kepada pengurus baru, Minggu (23/02/14) lalu. Pelantikan dan serahterima ini dilakukan setelah AMP Malang sempat vakum selama 4 tahun.
Di hadapan kurang lebih 60 orang yang terdiri dari Senioritas, pelajar Mahasiswa Papua di Malang serta beberapa perwakilan dari AMP Komite kota Surabaya Ketua AMP lama, Jack Hubby digantikan Ketua AMP Malang baru, Charles Sondegau.
Ketua AMP lama, Jack Hubby mengatakan, Papua saat ini mengalami banyak masalah mulai dari masalah sosial, ekonomi, politik hinggga pada masalah HAM yang sangat menonjol serta eksploitasi SDA yang terus berjalan sejak diintegrasikan Papua ke dalam NKRI melalui PEPERA yang dianggap cacat hukum karena tidak berlangsung sesuai dengan Hukum Internasional yang berlaku pada saat itu.
Karena itu, harapnya, pengurus AMP baru bisa dapat menyuarakan masalah-masalah yang ada di Papua sesuai dengan AD dan ART AMP.
Dalam keterangan yang diterima majalahselangkah.com sore ini, BPH IPMAPA Malang, Anton Nawipa mengharapkan,
“Kita berbicara dan bertindak. Kami inginkan bukti di lapangan bukan hanya sekedar kata-kata. Kami IPMAPA akan selalu berada di belakang kawan-kawan AMP, maju, maju dan terus maju,”
Yogyakarta – Berkaitan dengan penyisiran yang dilakukan oleh TNI-POLRI di Kab.Puncak Jaya dan Yapen beberapa waktu terakhir, yang hingga mengakibatkan ketakutan dan trauma yang mendalam kepada rakyat sipil yang berada di daerah-daerah yang terkena dampak penyisiran yang dilakukan oleh TNI-POLRI, untuk menyikapi situasi itu, maka Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] Komite Kota Yogyakarta menggelar konfrensi pers pada hari ini (rabu,12 Februari 2014) bertempat di Asrama Mahasiswa Papua Jl. Kusumanegara No.119 Yogyakarta.
Dalam konfrensi pers yang digelar ini, Aliansi Mahasiswa Papua menegaskan mengutuk tindakan brutal TNI-POLRI di Puncak Jaya dan Yapen yang telah mengakibatkan rakyat sipil menjadi korban. Dan juga menyatakan agar Pemerintah Indonesia untuk segerah menarik seluruh militernya baik organik maupun non organik dari Puncak Jaya-Yapen dan seluruh tanah Papua.
Menurut AMP, keberadaan militer Indonesia (TNI-POLRI) di Papua hanya menibulkan ketakutan dan trauma bagi rakyat Papua, sebab selama ini TNI-POLRI selalu menyikapi persoalan Papua dengan tidakan-tindakan represif dan kekerasan, tanpa mendahulukantindakan persuasif.
” Keberadaan TNI-POLRI di Papua justru akan menambah masalah dan menimbulkan masalah baru, sebab merekalah yang selalu mencari-cari masalah, mereka selalu menggunakan kekuatan persenjataan mereka untuk menyiksa dan menyakiti rakyat sipil yang jelas-jelas tidak mengetahui akar persoalan yang sesungguhnya”
tegas Telius, selaku sekertaris AMP kota Yogyakarta.
Selain itu juga dalam konfrensi pers ini Telius menambahkan bahwa
“apa yang dilakukan TNI-POLRI terhadap rakyat sipil di Puncak Jaya, Yapen dan seluruh tanah Papua sangat tidak bisa ditolerir, sebab sebab tindakan yang mereka lakukan merupakan tindakan pelanggaran HAM berat, namun sangat disayangkan karena hingga saat ini para pemerhati HAM dan Komnas HAM belum mengambil sikap yang tegas mengenai kasus-kasus kekerasan yang dilakukan oleh TNI-POLRI di Papua”,
tegas Telius.
Untuk itu, menyikapi kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Puncak Jaya, Yapen dan seluruh tanaha Papua yang marak terjadi yang dilakukan oleh militer Indonesia (TNI-POLRI), maka Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] menyatakan sikap “Mengutuk Tindakan Brutal TNI-POLRI di Puncak Jaya, Yapen dan Seluruh tanah Papua”, dan menuntut :
1. Hentikan Penyisiran Brutal TNI-POLRI Terhadap Rakyat Sipil Papua, dan Tarik Seluruh Militer (TNI-POLRI), Organik Maupun Non Organik Dari Seluruh Tanah Papua.
2. Hentikan Eksplorasi dan Tutup Seluruh Perusahaan Milik Kaum Imperealis dan Kapitalis ; Freeport, BP, LNG Tangguh, Corindo, Medco, Antam dll.
3. Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri Bagi Rakyat Papua Barat, Sebagai Solusi Demokratis Bagi Penyelesaian Persoalan Papua.
Jayapura, 30/1(Jubi)-President Gereja Injil di Indonesia (GIDI) Dorman Wandikbo (Karobanak) sangat menyesalkan atas tindakan aparat TNI/POLRI terhadap anggota jemaatnya. Terutama saat aparat melakukan penyisiran di Puncak Jaya pasca pengambilan delapan pucuk senjata milik polisi di Distrik Kulirik, Puncak Jaya, Papua.
“Sangat menyesalkan peristiwa itu terjadi Minggu (26/1). Saat jemaat sementara beribadah, dan tiba-tiba tentara masuk hentikan dan suruh keluar. Semua panik. Saat panik itu, satu persatu anggota jemaat keluar sambil merayap,” tutur Dorman (Karobanak) kepada tabloidjubi.com di kantor Pusat GIDI, Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, Kamis (30/1).
Menurut Karobanak, tindakan aparat ini membuktikan bahwa negara ini tidak menghargai Gereja hingga para pemimpinnya. ”Mereka meginjak-injak gereja. Tidak lagi menghargai pemimpin gereja, padahal Injil yang lebih dulu berada di Papua,” katanya.
Jikalau aparat TNI menghargai Gereja lanjut dia, mestinya tindakan harus dengan alamat yang jelas dan tindakan mereka tidak jelas dan salah. “Orang yang merampas senjata itu arah larinya jelas. Mengapa mereka (TNI/POLRI) ada di gereja? Apa tujuannya?” tanya Karobanak.
Menurutnya, kalau TNI/POLRI mau tahu dan mencari informasi tentang kebenaran, keberadaan pelaku, mestinya datang saja dengan pakaian biasa atau pakaian preman. Dikatakan mereka bisa tanya langsung ke masyarakat, tokoh agama. “Cara itu etika yang baik,” katanya.
“Mengapa masyarakat yang korban? Cara ini tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Mereka dari dulu sampai sekarang berperilaku begitu. Mereka lihat orang Papua seperti biadab,” tegas Karobanak.
Kalau mau menyelesaikan persoalan, ingin mengembalikan delapan pucuk senjata, menurut Karobanak, pemimpin TNI/POLRI harus Negosiasi dengan Pemda setempat. “Beri waktu kepada Pemda. Pemerintah undang pemimpin Gereja, tokoh adat dan masyarakat. Kalau semua ini tidak berhasil, sampai kita menghadapi satu kebuntuan, silahkan TNI ambil reaksi,” katanya.
Semua proses ini tidak jalan lanjut dia dan TNI/POLRI segera mengambil tindakan.”Bicara dulu dengan Gereja, pemerintah, adat juga tidak. Mereka langsung mengambil tindakan. TNI dan Polri tidak punya hati untuk Papua. Mereka anggap orang Papua biadab,”tegas Karobanak.
Sebelumnya, seorang warga Puncak Jaya yang mengaku bernama, Ely Tabuni mengatakan kepada tabloidjubi.com bahwa beberapa warga, jemaat Gereja di Kulirik, dianiaya aparat TNI. Kepada tabloidjubi.com, Ely menceritakan kalau telah terjadi tindakan kekerasan yang dilakukan aparat keamanan kepada warga yang sedang beribadah di Gereja Dondobaga, Kulirik, sekitar pukul 08.00 WIT.
“Pada saat itu, mereka sedang merazia warga yang diduga anggota OPM yang ada dalam gereja. Beberapa dari aparat itu sempat memukul dan mengusir warga yang tak terima adanya gangguan dalam ibadah itu. Beruntung ada aparat lain yang berhasil menghentikan aksi kekerasan rekannya,” katanya, Senin (27/1).
Ely menambahkan, aparat kemudian mengamamankan dua orang warga dalam gereja itu yakni Tenius Telenggen dan Tigabur Enumbi untuk dibawa ke Polres setempat.
Setelah beberapa hari kemudian Bapak Presiden GIDI Pdt D. Wandikbo (Karobanak) menambahkan mengenai penggeledahan dan penyisiran yang di lakukan oleh aparat, terlebih khusus terhadap semua anggota jemaat yang di indikasi sebagai anggota OPM lalu di tangkap sewenang-wenang tersebut, Karobanak menambahkan bahwa “Kalau bicara hukuman mati, saya (Karobanak) mau tanya, apakah perjuangan Papua Merdeka itu teroris? Bicara Hukuman mati itu adalah teroris. Mereka itu bukan bunuh delapan orang, hanya delapan pucuk senjata bagaimana sampai bicara hukum mati, ”tutur Wandikbo (Karobanak) kepada tabloidjubi.com di kantor Pusat GIDI, Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua,Kamis (30/1).
Perjuangan Papua Merdeka, menurut Karobanak, bukan teroris, bukan kriminal melainkan perjuangan menuntut hak yang melekat pada orang Papua yang tidak bisa diganggugat. “Papua merdeka itu hak dasar orang Papua,” tutur Karobanak. “Orang Papua minta merdeka bukan karena penderitaan, kelaparan dan kemiskinan, tapi mau lepas karena ideologi yang harus kita pahami,”tegas Karobanak.
Karena itu, menurut Karobanak, Yemiter Talenggen yang dituduh tidak layak dihukum mati. Apalagi yang bersangkutan belum terbukti keterlibatannya hingga kepemilikan senjata. Kalau pun terbukti, menurut Karobanak, Yemiter Talenggen tidak bisa dihukum mati kalau bicara ajaran Agama. “Saya tahu Bapak Wakapolda itu anak Tuhan jadi tahu firman Tuhan. Saya pikir TNI/POLRI perlu belajar pengampunan,”tuturnya.
Sebelumnya Wakapolda Papua, Paulus Paterpau mengatakan Yemiter Talenggen dihukum mati saja karena yang bersanggkutan meresahkan masyarakat, menyebabkan korban warga sipil dan militer. (Jubi/Mawel).
Jayapura,6/1(Jubi)—- “Aksi perampasan senjata pada 4 Januari 2014 di Pos Polisi Kulirik, Puncak Jaya adalah murni operasi gerilya dibawa pimpinan Tengamati Telenggen yang merupakan anggota TPN-PB dari Pimpinan Panglima Gen. Goliat Tabuni,” tegas Victor Yeimo melalui situs web resmi KNPB
Komite Nasional Papua Barat (KNPB) mengatakan tidak perlu ada spekulasi tentang siapa pelaku dan motif perampasan senjata di Kulirik, Puncak Jaya yang masih terjadi selama 10 tahun belakangan ini. Sebab daerah ini secara nyata, sudah dan sedang berlangsung perlawanan bersenjata antara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB) dan Militer Kolonial Indonesia yakni TNI dan Polri.
Tentara Pembebasan Nasional West Papua dibawah komando Panglima Gen. Goliat Tabuni sudah berulang kali menyampaikan bahwa tujuan perang terbuka dan perang gerilya yang sedang terjadi adalah murni untuk mengusir pendudukan kolonial Indonesia diatas tanah West Papua. Sehingga, Goliat Tabuni berulang kali menolak penyebutan OTK, GPK/B, Teroris, dan sebutan lainnya yang bertujuan untuk mereduksi nilai perjuangannya.
“Aksi perampasan senjata pada 4 Januari 2014 di Pos Polisi Kulirik, Puncak Jaya adalah murni operasi gerilya dibawa pimpinan Tengamati Telenggen yang merupakan anggota TPN-PB dari Pimpinan Panglima Gen. Goliat Tabuni. Aksi perampasan senjata adalah salah satu taktik gerilya yang selalu ada dalam dunia perang dan perjuangan, sehingga sangat salah bila Poengky Indarti dari Imparsial yang tidak tahu situasi lapangan Puncak Jaya itu menyebut aksi gerilya itu sebagai gangster atau untuk kepentingan uang dan Pilkada,”
kata Victor Yeimo.
Menurut KNPB, aksi gerilya TPN-OPM bukan hal baru, sehingga TNI/Polri, NGO, dan semua pihak terutama media-media lokal dan nasional Indonesia tidak perlu mencari-cari pelaku aksi, karena TPN/OPM adalah pelaku yang selalu eksis melakukan perlawanan sekalipun tidak ada Pilkada atau kepentingan kolonial lainnya. Berulang kali Goliat mengatakan dirinya dan semua anggota yang tersebar tidak sedang perang untuk soal makan minum atau uang, tetapi murni memperjuangkan pembebasan bangsa Papua.
Goliat Tabuni adalah anggota resmi TPN-PB dibawah komando Kelly Kwalik di era 90-an hingga 2004. Di Puncak Jaya ia diangkat menjadi panglima wilayah dan pada Kongres TPB-PB di Biak 2012 lalu, Goliat terpilih menjadi Panglima Tinggi TPN-PB. Goliat dilantik pada 14 Desember 2012 di Tingginabut, Puncak Jaya. TPN-PB adalah sayap pertahanan militer Papua Barat yang berjuang untuk cita-cita kemerdekaan Papua Barat.
Menurut Web KNPB, penyebutan pelaku sebagai OTK, GPK/B, Gangster dan lain-lainnya justru memiliki dampak fatal bagi proses pengambilan resolusi antara subjek konflik, dan lebih parah lagi, penyebutan yang kabur justru akan dimanfaatkan oleh kepentingan penguasa dan petinggi militer yang selalu bermain di air keruh. Pihak-pihak yang ikut mengaburkan pelaku konflik justru terkesan memelihara konflik.
Sebelumnya, Kapolres Puncak Jaya, AKBP Marcelis juga menyebutkan pelaku penyerangan Pos Polisi di distrik Kulirik, Puncak Jaya adalah kelompok Leka Telenggen. Kapolres Puncak Jaya menyebut kelompok bersenjata ini sebagai kelompok binaan.
“Mereka ini sebenarnya anak binaan yang diikutsertakan untuk menjaga pembuatan jalan di Puncak Jaya tetapi entah bagaimana hal itu bisa terjadi,”
kata Marcelis, (5/1).
Marcelis juga mengatakan Leka dan Tengamati Telenggen bersama beberapa teman-temannya mengambil senjata milik anggota Polres Puncak Jaya, bukan Brimob. Para pelaku ini merupakan anggota kelompok Goliat Tabuni. Saat ini, tengah dilakukan pendekatan kepada kelompok adat dan tokoh agama, juga masyarakat agar meminta Leka Telenggen dan rekan-rekannya ini mau mengembalikan senjata yang mereka ambil. (Jubi/Mawel)