Berdoa Jutaan Kali, NKRI Tidak Akan Pernah Menebus Dosa-Dosanya atas Bangsa Papua

Menanggapi berbagai pemberitaan di media-media kolonial Indonesia dan berbagai jaringan aktifis Papua Merdeka, yang menuntut Presiden Kolonial NKRI Joko Widodo menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM Papua dan membandingkan peliputan media Indonesia terhadap pembunuhan terhada Wayang Mirna Solihin yang dilakukan oleh Jessica Kulama Wongso, jugra kritikan dan harapan-harapan dari organisasi LSM Indonesia Indonesia seperti Setara, Kontras, LBH dan lembaga milik kolonial Inodnesia seperti Komnas HAM, maka dari Kantor Sekretariat-Jenderal Tentara Revolusi West Papua, Lt. Gen. Amunggut Tabi mengatakan,

Orang Papua harus belajar kembali, doa orang Papua tidak dijawab Tuhan karena dua alasan: pertama karena salah berdoa, dan kedua karena jawaban ditunda, belum waktunya. Dan dalam hubungan NKRI – West Papua, jawaban salah berdoa lebih tepat. Biar berdoa jutaan kali, NKRI tidak akan pernah menebus dosa-dosanya atas bangsa Papua.

Mendengar pernyataan itu, PMNews kembali menggali lagi, supaya bila mungkin disebutkan sumber-sumber berita atau para pribadi yang mengharapkan kebaikan atau perbaikan datang dari NKRI, tetapi Gen. Tabi menolak, dan mengatakan, “Kalian semua kan bisa memonitor sendiri media semua terbuka sekarang, tidak sama seperti era orde baru kolonial Indonesia.”

Kemudian PMNews menyebutkan beberapa ungkapan atau ucapan oleh para tokoh Papua, dan lalu Gen. Tabi menggapinya sebagai berikut.

Ada orang Papua katakan bahwa biar pun 1000 kali presiden kolonial NKRI Joko Widodo mengunjuni Papua, tidak akan merubah nasib orang Papua? Apa tanggapannya?

Sangat benar! Itu pasti Orang Asli Papua yang bicara.

Ada orang Papua juga yang bilang, tidak ada orang Papua yang minta Papua Merdeka?

Oh, itu maksudnya yang dibilang oleh Lukas Enembe, gubernur kolonial NKRI, bukan? Ya, dia juga takut dong. Semua orang Papua, biar anggota TNI/ Polri, biar anggota BIN, biar menteri atau gubernur, siapapun, di dalam MKRI, pasti, ya, pasti di dalam nurani terdalam punya pertanyaan ini, “Kapan saya dibunuh NKRI?” itu ada, jadi semua yang dikatakan pejabat kolonial NKRI, oleh orang Papua, itu semua dalam rangka jaga-jaga diri dan nyawa.

Itu bukan karena disogok atau dibayar Indonesia. Itu karena rasa takut. Ya, masuk akal. Siapa orang Papua yang rela dibunuh karena alasan kita dilahirkan sebagai orang Papua, karena kita yang dilahirkan sebagia orang Papua menjabat sebagai pejabat kolonial sudah lama dijadikan dasar untuk berbagai macam hal-hal mematikan di tanah ini. Kita sudah belajar banyak, tidak perlu diragukan dan dipertanyakan.

Ada lagi orang Papua yang bilang, kok berita tentang peracunan dan pembunuhan yang dilakukan Jessica Kulama Wongso terhadap Wayang Myrna Solihin kok disiarkan siang-malam, sebanyak lebih dari 20 kali diliput, tetapi kok media kolonial Indonesia tidak sekalipun meliput berbagai pelanggaran HAM oleh NKRI di Tanah Papua?

Oh, itu yang dibilang Phillip Karma. Kami mengundang Phillip Karma untuk berdoa seribu kali, satu juta kali, supaya NKRi bertobat. Pasti tidak dijawab. Karena apa? Karena itu salah berdoa. Kenapa salah berdoa? Masa mengharapkan media kolonial menyiarkan korban dari bangsa jajahan di wilayah jajahan. Salah besar kalau Pak Karma msih punya harapan KRI akhirnya akan selesaikan masalah Papua. Itu kesalahan fatal. Seharusnya semua pejuang Papua Merdeka menaruh harapan kepada saudara-saudara sebangsa di Papua New Guinea, satu ras di Melanesia, daripada mengharapkan matahari terbit dari barat dan terbenam di timur.

Ada juga orang Papua yang menuntut Joko Widodo, presiden kolonial NKRI untuk tidak melulu kunjungi Papua tetapi selesaikan kasus-kasus HAM di Tanah Papua.

Itu harapan dari ELSAM, Lembaga HAM di Manokwari, Ketua-Ketua Sinode Kingmi, GIDI dan Baptis, GKI, dan lembaga-lembaga HAM di Tanah Papua. Harapan kosong! Salah berharap! Sama dengan salah berdoa tadi. Pertama orang Papua harus jawab dulu alasan NKRI menginvasi secara militer per 19 Desember 1961 dan menduduki tanah Papua sejak 1963 lewat UNTEA dan disahkan 1969 oleh PBB.

Alasannya bukan karena mereka mau bangun Papua. Mereka tergiur oleh kekayaan alam, Tanah Papua, bukan bangsa Papua.

Jokowi sebagai presiden Kolonial NKRi datang ke Papua tidak ada hubungan dengan orang Papua, apalagi HAM Papua. Hubungannya adalah kekayaan alam Papua. Dia sedang pulang-pergi memberikan arahan langsung dari muka ke muka kepada agen-agen ring satu di Tanah Papua membicarakan bagaimana mempercepat proses pengerukan hasil Bumi Tanah Papua, sehingga beberapa tahun ke depan saat mereka keluar dari Tanah Papua maka kekayaan yang tertinggal sudah ampas-ampas saja, semua yang mereka mau ambil sebagian besar sudah terjarah.

Sekarang kami mau tanya hal yang penting, terkait perjuangan Papua Merdeka. Kebanyakan lembaga Orang Asli Papua menuntut referendum, atau dialgoue kepada Jakarta, bagaimana ini?

Prinsipnya masih sama. Sama saja. Seharusnya tidak usah tanya, karena sudah jelas tadi.

Tujuan NKRI menginvasi secara militer, dan menduduki secara militer, ialah menguras dan menjarah kekayaan alam Papua. Titik di situ. Jadi tidak ada tujuan lain. Apa hubungan tujuan mereka ada di Tanah Papua dengan tuntutan orang Papua? Tidak ada, malahan merugikan kolonial, bukan?

Jaringan Damai Papua (JDP) bersama Dr. Neles Tebay yang minta dialogue dan tuntutan Pak Karma, tokoh Papua yang mina referendum, kedua-duanya tidak akan dipenuhi NKRI, karena bertabrakan langsung dengan tujuan kehadiran dan keberadaan NKRI sebagai penguasa kolonial di atas Tanah Papua.

Sekali lagi, harapan itu yang salah. Kita harapkan, kita berdoa agar NKRI berdialog, supaya NKRI memberikan kesempatan referendum kepada bangsa Papua itu yang salah.

Sekarang pemikiran kami semakin tersudut: tuntut penuntasan kasus-kasus HAM sulit; tuntut referendum susah, tuntut dialogue juga salah. Semua pemikiran-pemikiran cemerlang dari tokoh Papua sudah tersudut. Apa kira-kira arahan dari MPP TRWP?

Paradigma kita harus kita rombak. Cara kita berpikir dalam hungungan West Papua – NKRI harus kita rombak habis. Pertama, kita harus yakin dan petakan bahwa West Papua ialah wilayah jajahan NKRI, dan Indonesia ialah penjajah, bukan pemerintah, tetapi penguasa.

Siapa saja menyebut NKRI dengan istilah pemerintah Indonesia, berarti dari awal paradigma berpikir dalam hubungan NKRI – West Papua sudah salah.

Kalau sudah salah, pasti tuntutan juga salah.

Yang kedua, berdasarkan terms of reference atas dasar paradigma berpikir kita tadi, maka kita harus menuntut hal-hal apa saja yang bisa dikerjaka oleh NKRI. Sekali lagi, kita minta apa yang bisa dilakukan NKRI. Kalau meminta hal-hal yang di luar kemampuan NKRI, maka pasti mereka tidak akan menanggapinya.

Yang ketiga, kalau kita menuntut, kita juga dari hatinurani yang terdalam, harus punya jawaban bahwa tuntutan kita akan diberikan. Kalau masih ada ‘keraguan’ dalam hatinurani, maka kita harus sesuaikan diri dan tuntutan kita dengan kata-kata hatinurani.Kalau kita dari awal salah menuntut, jangan kecewa kalau tidak dijawab atau tidak terpenuhi.

Dari tiga saran ini semakin membuat kita menjadi sulit melihat jalan keluar?

Tidak usah terlalu rumit. Kita orang Melanesia, kita bukan hadir ke Bumi sebagai orang Melanesia tunggal. Kita harus percaya diri, bangga kepada diri sendiri, percaya kepada diri sendiri, dan sandarkan kepada kemampuan sendiri. Itu modal pemberian Tuhan, sejak penciptaan, bukan buatan NKRI, bukan frame Amerika Serikat bukan atas persetujuan Australia. Realitas kodrat kita orang Melanesia.

Nah, dunia kita di situ. Identitas kita di situ. Realitas kodrat kita itu. Jadi, kita bangun segala-sesuatu dari situ. Untuk mengkleim sebuah identitas, kita harus punya dasar pemikiran, paradigma yang benar, lalu dari situ kita mengejar apa yang kita anggap salah. Dasar pemikiran harus benar dan tepat. Kita harus punya pemikiran yang murni didaasrkan atas jatidiri kita sebagai orang Melanesia. Jangan membangun sebuah perjuangan, jangan merancang hal-hal berdasarkan kebencian kepada Indonesia, kedongkolan kepada NKRI, tetapi atas dasar realitas mutlak, ciptaan Tuhan semesta alam.

Apa masih bingung?

Mulai ada titik terang. Jadi, titik awalnya ialah “berdiri sebagia orang Melansia”, dan kemduian “bekerja dengan orang-orang Melanesia”. Tetapi kita bicara soal hubungan Melanesia dengan Indonesia?

Itu yang kami maksudkan.

Kapan? Berapa kali? Siapa pejuang Papua Merdeka atau tokoh Papua yang meminta dan menuntut Perdana Menteri PNG, Perdana Menteri Vanuatu, Perdana Menteri Solomon Islands, untuk datang membantu West Papua?

Kalau sudah pernah ada, siapa dan kapan itu pernah ada?

Kalau sudah salah alamat, jangan berharap surat Permohonn Anda akan dibalas, ya, namanya salah alamaat kok.

 

Octovianus Mote: Pemerintah Indonesia itu Penjajah Bagi Orang Papua

8 September 2016, Mikael Kudiai, Harian Indoprogress

PAPUA bagi mayoritas rakyat Indonesia, adalah tanah yang dicintai sekaligus dilupakan. Tidak banyak yang mau tahu dan peduli bahwa di Papua segala klaim tentang Indonesia sebagai bangsa yang peramah, harmonis, dan cinta damai adalah bohong belaka. Bagi rakyat Papua, kehadiran Negara Indonesa lengkap dengan aparatusnya hanya berarti sebagai perampasan tanah, pencaplokan dan eksploitasi besar-besaran kekayaan alamnya, pembunuhan tanpa perikemanisaan, penangkapan, pemukulan, pemenjaraan, kemiskinan, kesenjangan sosial, penyebaran penyakit, genosida kultural, rasisme, diskriminasi, dan segala bentuk keburukan yang tak pernah bisa dibayangkan oleh pendiri Republik Indonesia.

Tidak heran jika kemudian muncul perlawanan dari rakyat Papua untuk merdeka dari Indonesia. Perlawanan-perlawanan ini tentu saja mengalami represi yang sangat brutal dan kejam dari pemerintah Indonesia. Tetapi, hingga saat ini pemerintah Indonesia terbukti gagal meredam aksi-aksi perlawanan tersebut. Bahkan bentuk-bentuk dan metode-metode perlawanan itu semakin berkembang dan meluas.

Untuk mengetahui sejauhmana perkembangan gerakan perlawanan rakyat Papua tersebut, Coen Husain Pontoh, Pemimpin Redaksi IndoPROGRESS, mewawancarai Octovianus Mote, Sekretaris Jenderal United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) atau Gerakan Persatuan Pembebasan Papua Barat. Wawancara ini sebelumnya telah dimuat di IndoPROGRESS TV, pada 25 Mei 2016, dan ditranskip oleh Mikael Kudiai untuk Papua Bicara. Berikut wawancara lengkapnya:

Kita mau ngomong-ngomong tentang perjuangan Papua. Sebagai sekjen ULMWP, coba diceritakan kapan organisasi ini berdiri, di mana dan tujuannya apa?

Organisasi ini dibentuk pada tahun 2014 di Port Vila, Vanuatu. Ini untuk menindaklanjuti permintaan Melanesian Leaders di Port Moresby, Papua New Guinea (PNG). Pertemuan itu untuk merespon atau follow up pertemuan-pertemuan Melanesia Spearhead Group (MSG) sebelumnya.

Jadi sejarahnya itu mulai dari tahun 2013, pada saat MSG merayakan 25 tahun berdirinya organisasi itu, lalu para anggota pemimpin MSG keliling ke seluruh Negara-negara Melanesia untuk mengumpulkan data dan kira-kira untuk 25 tahun ke depan, masalah apa yang perlu diselesaikan. Para pemimpin MSG keliling di setiap Negara dan bertemu dengan siapa saja, mengumpulkan pendapat dan menentukan strategi MSG ke depan.

Nah, di dalam perjalanan itu, di seluruh wilayah Melanesia penyelesaian masalah Papua menjadi perhatian yang paling utama. Pada bulan Agustus 2013 itu, di New Caledonia, pemimpin MSG telah memutuskan tiga hal utama yang sangat signifikan: pertama, diakuinya West Papua Inalienable Right for Self Determination; kedua, entah pribadi atau kelompok, mereka harus bicara dengan Indonesia tentang masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang sudah luar biasa di West Papua; dan ketiga, mereka juga membicarakan kemungkinan diterimanya West Papua menjadi anggota yang diwakili oleh West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL). Tetapi tiba-tiba Indonesia manuver masuk melalui Fiji dengan mengatakan, kalau soal keanggotaan, bagaimana kalau menteri-menteri MSG berkunjung ke Indonesia dulu dan melihat langsung kenyataan yang terjadi.

Berdasarkan diplomasi ini, lalu para pemimpin MSG mengatakan, kita pergi melihat terlebih dahulu di West Papua. Lalu dikirim satu delegasi, menteri-menteri luar negeri MSG ke West Papua. Tetapi Vanuatu mengatakan tidak mau ikut karena hal ini akan direkayasa oleh Indonesia. Lalu, setelah para menteri MSG balik dari Indonesia, dibuat pertemuan di Port Moresby dan diputuskan lamaran keanggotaan West Papua melalui WPNCL itu tetap terbuka. Tetapi kalian melamar lagi dengan catatan kalian bersatu dulu, bentuk satu organisasi persatuan yang mampu menyatukan gerakan-gerakan orang West Papua.

Sesudah itu, Vanuatu mengatakan kami akan membiayai seluruh komponen persatuan orang Papua.

Sebenarnya proses persatuan, sudah dilakukan mulai dari bawah dan sudah mengerucut pada tiga organisasi induk perjuangan yang eksis di West Papua, yaitu WPNCL, Parlemen Nasional West Papua (PNWP) yang keanggotaannya, salah satunya, adalah Komite Nasional Papua Barat (KNPB), dan Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB). Jadi, tiga kelompok besar ini datang ke Port Vila, Vanuatu dan proses rekonsiliasi di fasilitasi oleh Dewan Gereja Pasifik atau The Pacific Conference of Churches (PCC). Lalu pemerintah Vanuatu mengeluarkan biaya dan karena ini didukung oleh MSG, tentu saja PNG berusaha untuk membantu formasi.

Kalau kita memakai WPNCL saja, dianggap organisasi-organisasi West Papua pecah karena ini hanya koalisi, maka kami membentuk United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Lalu ketika kita united kami langsung melamar di MSG pada 5 Februari 2015.

Apa tujuannya?

Tujuan dibentuknya ULMWP adalah, pertama, memperjuangkan West Papua menjadi full members di MSG; kedua, memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri sampai Papua merdeka. Jadi, the goal itu Papua merdeka.

Apa capaian ULMWP sejauh ini?

Dari segi struktur organisasi, kita memilih hanya lima orang di dalam pertemuan itu dan hanya memilih Sekertaris Jenderal (Sekjen) dan Juru Bicara (Jubir), karena ketua dari pada perjuangan ini mesti di tanah air (West Papua).

Jadi tiga pendiri, mereka adalah dewan komite yang memiliki kewenangan untuk memberikan mandat atas nama rakyat West Papua kepada kami, untuk memperjuangkan kemerdekaan di tingkat internasional. Oleh karena itu, posisinya tidak ada ketua. Ketua ada di West Papua. Perjuangan itu ada di West Papua. Yang ada hanya Sekjen yang mengorganisir semua diplomasi perjuangan ini, baik di West Papua, mau pun di luar negeri untuk mencapai tujuan kemerdekaan itu.

Lalu saya terpilih secara bulat sebagai Sekjen untuk tiga tahun masa kerja dan Benny Wenda terpilih sebagai Jubir. Di tambah dengan tiga anggota Rex Rumakiek, Jacob Rumbiak, Leonie Tanggahma.

Yang juga menarik adalah dalam konstitusi kami itu sepertiga dari pada kepemimpinan itu, paling tidak satu, harus selalu perempuan. Jadi dari lima orang itu, minimal harus ada perempuan.

Lalu yang menarik dari perjuangan-perjuangan sebelumnya lagi adalah di tanah air, kami punya kantor penghubung, dimana mereka ini yang mewakili dari tiga elemen ini, yaitu Victor Yeimo dari PNWP, Markus Haluk dari NRFPB, dan Sem Awom dari WPNCL. Selain itu, yang menarik juga adalah mereka ini pemimpin generasi di bawah saya. Mereka yang memimpin mobilisasi di tanah air, maka seluruh komponen di seluruh tanah air bersatu di bawahi oleh ULMWP. Terlihat ketika pada 2 Mei 2015 kemarin, seluruh tanah air melakukan aksi masa mendukung ULMWP menjadi full members di MSG.

Kalau kita bicara program, apa program jangka pendek, menengah, dan panjang ULMWP?

Program yang paling utama itu adalah kami betul-betul perkuat akar kami di Pasifik.

Kalau ibarat di dalam sistem kolonial, sebuah Negara yang menjajah itukan mengikat daerah jajahan dengan berbagai macam cara.

Jadi, di Papua proses kemerdekaan sudah kami mulai dari dibentuknya ULMWP, tadi. Jadi, mindset kami, masyarakat di Papua itu ada di Pasifik.

Jalur hubungan kami itu, dari Jayapura, Fiji, Suva, Port Vila, Honiara, dan kemudian luar negeri. Tidak ada orientasi sekarang untuk Jayapura, Jakarta, terus ke luar negeri. Kami putuskan hubungan. Eksistensi kami adalah keluarga Melanesia. Kami keluarga Pasifik. Kami bukan Indonesia.

Lalu berikutnya, Gereja Kemah Injili (GKI) di Tanah Papua, juga masuk menjadi anggota The Pacific Conference of Churches (PCC). Kemudian gereja Kingmi, yang di pimpin oleh Pdt. Dr. Benny Giay tahun ini (2016) akan masuk sebagai anggota gereja-gereja Kingmi di Pasifik. Kemudian akan disusul oleh Gereja Baptis. Juga Gereja Katolik yang sudah mengangkat Papua, walau pun gereja Katolik di Jayapura belum bersuara. Tetapi di Pasifik, dari Australia, seluruh Pasifik, beberapa waktu lalu ada 35 uskup di PNG berkunjung ke Jayapura.

Jadi, kalau kita melihat hal ini kami sudah putus hubungan dan jaringan perlahan-lahan dengan Indonesia dan kami akan masuk ke macam-macam organisasi di Pasifik. Dan itu sebabnya, misalnya, beberapa waktu lalu di London, Inggris, pemimpin-pemimpin dari Pasifik Selatan, bersama-sama datang dan mengumumkan hak penentuan nasib sendiri di parlemen Inggris.

Pada saat kami di terima sebagai Observer (pengamat) di MSG, yang menarik adalah pidato dari Perdana Menteri Fiji, Josaia Voreqe Bainimarama, salah satu pemimpin yang paling dekat sekali dengan MSG, dia mengatakan, jangan terima ini sebagai sebuah kekalahan. Kalian diterima sebagai observer saja, tetapi kalian kembali untuk menyusun strategi lebih jauh untuk beberapa tahun ke depan. Dan itu, bagi kami, hal itu yang paling penting.

Nah, kami, kembali kepada MSG, karena MSG dibentuk untuk membantu perjuangan Papua Barat dengan Kanaki. Itu dari awal dibentuk untuk membebaskan wilayah-wilayah yang masih dijajah oleh kolonial, yaitu Prancis dan Indonesia.

Kalau melihat sekarang ini kan, eskalasi perhatian soal Papua ini meningkat di dunia internasional. Yang paling terbaru kan di Inggris kemarin. Bagaimana, pak Octo melihat soal respon pemerintah Indonesia terhadap peningkatan eskalasi ini?

Soal persoalan Papua, diplomasi Indonesia selalu tutupi. Semua yang terjadi di Papua di buat seakan tidak ada masalah. Saya sebagai mantan wartawan Kompas, memahami politik Indonesia yang menjalankan rezim ini secara baik sekali.

Indonesia di bawah pola budaya Orde Baru, yang mampu meredam persoalan, seakan-akan tidak ada masalah. Hal ini yang sampai saat ini mereka lakukan di Papua.

Sampai beberapa waktu lalu, mereka membawa surat protes kepada Jeremy Corbyn, ketua Partai Buruh di Inggris, karena melihat dia vokal mendukung hak penentuan nasib sendiri untuk Papua. Surat resmi pemerintah Indonesia itu di antar oleh Fadli Zon, Wakil Ketua DPR RI untuk protes terhadap sikap Jeremy tersebut. Hal ini sangat menarik.

Pada saat pertemuan mau diadakan di Inggris, Dubes RI di London, Rizal Sukma, yang juga adalah teman angkatan saya sewaktu mahasiswa di Bandung, mengatakan kepada saya bahwa jangan menganggap kedatangan Fadli Zon itu adalah pertemuan resmi, karena ini hanya dua orang anggota parlemen yang akan bicara dan tidak ada artinya. Saya sudah telepon parlemen Inggris, saya sudah cek departemen luar negeri.

Dan dia (Fadli Zon) lupa bahwa yang hadir di situ adalah delegasi dari Negara-negara Pasifik. Mereka ada dalam ruangan pertemuan itu. Juga dia lupa bahwa dari opposition leader parlemen Inggris yang akan hadir dan membuka secara resmi pertemuan itu.

Ini kan ada tawaran proposal dialog damai Jakarta-Papua oleh Indonesia. Bagaimana sikap ULMWP?

Kalau soal dialog, sebetulnya kami sudah berjuang dari tahun 2000. Kami mau mewujudkan hak penentuan nasib sendiri melalui dialog. Itu keputusan Kongres Rakyat Papua (KRP) II tahun 2000. Selama ini kami terus melobi dengan Indonesia, tetapi Indonesia tidak pernah merespon sama sekali.

Lalu di MSG, itu menerima Indonesia untuk meng-update posisi mereka sebagai opposition dan kami sebagai observer. Tujuannya agar kami dan Indonesia bisa duduk dan bicara di MSG. Hanya itu tujuannya. Supaya dua-dua di terima di dalam MSG.

Karena itu kondisinya, ketua MSG, Perdana Menteri Salomon Island, Manasseh Sogavare mengirim surat mau berkunjung ke Indonesia, antara lain untuk mengajak pemerintah Indonesia untuk berdialog. Karena itu, mereka di terima dalam kondisi itu.

Tetapi yang Indonesia lakukan adalah mereka tidak mau menerima tawaran itu. Jadi coba bayangkan, bahwa Indonesia ini anggota di MSG dan Manasseh berkunjung ke semua wilayah yang tergabung dalam MSG. Kami dari ULMWP, terus mendukung inisiatif MSG untuk negosiasi dengan Indonesia dengan mempergunakan MSG sebagai media, karena hanya di situ kami bisa bertemu. Mereka ada di situ, kami juga ada di situ.

Jadi dalam kampanye dialog ini ada dua posisi yang sangat berseberangan, satu menginginkan dialognya menuju pada penentuan nasib sendiri, satunya dialog yang tidak ingin penentuan nasib sendiri itu terjadi. Dari pihak ULMWP, apa tawaran yang dipersiapkan agar dialog ini bisa terselenggara?

Kalau bagi kami, soal agenda dialog Indonesia boleh ajukan konsep mereka, kami juga ajukan konsep kami. Yang paling penting adalah kita duduk dulu lalu kita bicara. Tetapi Indonesia belum ajukan konsep mereka jadi bagaimana kita mau lakukan dialog dengan mereka? Kami sangat siap untuk berdialog dengan Indonesia, tetapi paling penting itu kedua pihak harus datang dan duduk dulu.

Jadi tampaknya tidak ada perbedaan diplomasi dan strategi dari pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono ke pemerintahan Jokowi?

Tidak ada sama sekali. Bahkan menurut saya, kalau melihat hal ini cara Jokowi membangun Papua, hanya terlalu banyak janji dan retorika tetapi implementasi di Papua sama sekali tidak ada. Contohnya saja, pembangunan pasar. Hanya pasar, yang hanya pembangunan konstruksi saja yang uangnya bisa ambil dari Freeport seperti dulu Gus Dur meminta uang dari Freeport untuk diadakan KRP II di Jayapura, itu kan bukan uangnya Negara. Nah, hal itu saja sampai saat ini, sama sekali tidak dilaksanakan oleh presiden Jokowi.

Jadi, jangankan bicara tentang politik di Papua, ini sebuah bangunan pasar mama-mama Papua saja Jokowi ini omong kosong.

Menurut saya, Papua itu benar-benar di bawah kendali Militer. Mengapa? Kita lihat saja kalau Luhut Binsar Pandjaitan, inikan jelas Jenderal Kopasus! Dia yang memblokir semua inisiatif pembangunan dari Jokowi. Jadi semua pembangunan di Papua di bawah kendali dia. Yang jelas Luhut lah yang melindungi kepentingan militer di Papua.

Papua sebagai proyeknya militer itu sama sekali tidak berubah. Baik di zaman SBY, mau pun pemimpin sipil yang dikendalikan oleh jenderal kopasus.

Kalau sekarang kita masuk ke Papua. Sekarang ini kan di Papua sedang gencar dengan proyek-proyek investasi yang mengambil alih tanah-tanah adat, kemudian merampas dan menggusur penduduk yang bermukim di atas tanah-tanah itu. Bagaimana respon dari ULMWP?

Terus terang, mandat kami yang paling utama memperjuangkan kemerdekaan. Jadi, ULMWP tidak banyak bekerja secara langsung terkait hal itu. Kami hanya memberi dukungan kepada jaringan-jaringan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang ada untuk bersuara. Misalnya, kami sebagai pemimpin politik meminta untuk memberitahukan kepada rakyat bahwa apa pun yang terjadi di bawah ini perlu di datakan kemudian dilaporkan kepada lembaga-lembaga kemanusiaan.

Kami juga memberi dukungan terhadap pembentukan kelompok-kelompok pejuang pembela HAM yang juga beroperasi di sana untuk terus mendorong mereka bahwa perjuangan kemerdekaan itu harus kita cari di segala elemen. Jadi ini bukan lewat ULMWP saja untuk hak penentuan nasib sendiri, tetapi kami juga terus memberi dukungan pada setiap elemen dalam mencari keadilan. Karena kami di ULMWP hanya lima orang, kami hanya mendorong bahwa semua yang diperjuangkan lewat LSM-LSM juga sangat penting. Jangan menganggap bahwa nanti setelah merdeka baru hal-hal ini nanti kita urus. Semua elemen harus bergerak, karena kolonialisme Indonesia lahir dari berbagai macam kebijaksanaan di Papua. Dan itu adalah senjata kami, di dalam diplomasi internasional.

Oleh karena itu tugas kami adalah memberdayakan semua jaringan gerakan yang ada untuk bersama-sama berjuang. Pengalaman-pengalaman penjajahan itu perlu dihidupkan. Masa lalu mau pun yang sedang terjadi. Ini perlu didokumentasikan, itu yang kami pakai sebagai peluru.

Kemarin, di united nation sini, masalah Papua didorong dan dimasukkan sebagai salah satu contoh oleh semua lembaga-lembaga dan LSM-LSM Internasional. Hal-hal yang mereka bicarakan adalah terkait perusahan-perusahan asing, eksploitasi SDA, misalnya Freeport yang mempergunakan militer untuk melakukan pelanggaran HAM, mau pun kebebasan berpendapat dan berekspresi, juga hak kebebasan untuk menentukan nasib sendiri. Jadi kemarin itu menjadi momen yang paling luar biasa.

Kemudian, ada kebijakan baru yang ingin dilakukan oleh pemerintahan SBY menyangkut penyelesaian kasus HAM berat di Papua itu. Bagaimana tanggapan ULMWP?

Kalau bagi kami, Indonesia saat ini tidak perlu melakukan propaganda. Kalau kriminal, ya, apakah dengan perlakukan Indonesia selama ini akan mengubah cara pandang dan hidup kita orang Papua? Tidak akan pernah. Indonesia itu penjajah.

Sampai kapan pun kami mengetahui bahwa Indonesia akan terus memberikan gula-gula politik (Otonomi Khusus Papua) untuk kami orang Papua. Semua itu omong kosong.

Kita lihat saja nanti. Apakah mereka, para pembunuh pembunuh itu, betul-betul mampu membawa pelanggaran HAM ke pengadilan atau tidak?

Jadi posisi organisasi itu pelanggaran HAM, kalian lakukan penyelesaiannya. Tetapi posisi ULMWP adalah tetap memperjuangkan penentuan nasib sendiri?

Iya. Indonesia itu penjajah. Saya selalu memuji KRP II pada tahun 2000. Sangat luar biasa. Hal paling menarik adalah pada saat itu mereka merumuskan posisi dari pada bangsa Papua: kita ini sedang dimana, dan akan menuju kemana, apa kekuatan yang ada pada kita. Di dalam kongres tersebut, jelas bahwa bangsa Papua telah memutuskan tidak ada masa depan di bawah Indonesia. Di bawah Indonesia kami bangsa Papua hanya tulang. Itu keputusan kongres.

Sebagai orang yang terlibat dalam perjuangan pada kongres tersebut, pada bulan Februari tahun 1999, saya juga termasuk memimpin Tim 100 yang pergi ke Jakarta untuk bertemu dengan presiden Habibie untuk menuntut diadakannya dialog.

Jadi, pada tahun 1998 perjuangan orang Papua itu berubah melalui mekanisme demokrasi, bukan lagi gerilya di hutan.

Pak Octo menyadari bahwa kalau proses penyelesaian kasus HAM ini dilakukan dengan sebenar-benarnya dengan pemerintah Indonesia, ini kan akan mendapatkan simpati dari dunia internasional, dan hal ini akan menyempitkan perjuangan orang Papua untuk merdeka. Bagaimana menanggapi hal ini?

Akar dari pada seluruh pelanggaran HAM di Papua adalah in life for self determination, hak kami di rampas. Kalau memang Indonesia mau menunjukkan kepada dunia bahwa mereka adalah negara demokrasi, ya itu akarnya. Semua orang Papua yang mati dibunuh oleh Indonesia ini bukan karena curi ayam atau merampok barang milik Indonesia. Tidak. Tidak sama sekali. Kami mati karena perjuangan politik. Hak penentuan nasib sendiri kami di rampas dan dilanggar oleh Indonesia.

Jadi, kalau Indonesia mau menjadi sebuah Negara yang demokratis dan diakui oleh dunia dia harus buka demokrasi itu seluas-luasnya. Pembunuhan terhadap orang Papua yang dilakukan pada tahun 1960an sejak perjanjian New York Agreement itu di tanda tangani.

Makanya di dalam demonstrasi-demonstrasi orang Papua selalu mengatakan New York Agreement tahun 1962 itu akar persoalan. Karena masalah itu ada di situ.

Apa kaitan identitas Melanesia dengan identitas orang Papua? Kalau misal kita mau ngomong, siapa orang asli Papua?

Identitas Melanesia sebetulnya identitas antropologi yang dipakai untuk membatasi, kalau di dalam Indonesia, hanya orang Papua saja. Maluku itu sebetulnya Polinesia. Ciri khasnya adalah di dalam budaya Melanesia itu tidak mengenal tembaga. Kalau di Nusa Tenggara Timur (NTT) itu ada gold, dan itu peralihan dan itu sebetulnya adalah Polinesia. Melanesia itu hanya Papua ke PNG hingga Salomon Island.

Tetapi ada yang mengatakan, misalnya orang NTT, Flores ini pun masuk Melanesia. Kalau saya, misal saya berkunjung ke pulau-pulau kecil, itu baru saya tahu betul, namanya orang Flores bukan Melanesia. Mereka itu Polinesia. Orang Maluku itu Polinesia. Melihat dari bahasanya mereka, wajah mereka, sama dengan orang Maulind.

Sekarang tergantung definisi apa yang harus kita pakai. Antara Papua dan PNG sama sekali tidak ada perbedaan. Dalam budaya, kebiasaan, cara hidup, dan lain-lainnya.

Sekarang kan Indonesia akan bilang kami punya 11 juta rakyat Melanesia yang ada di Indonesia. Sekarang pertanyaannya, apakah orang Maluku pernah bangga dan mengatakan kalau mereka itu Melanesia? Tidak pernah to? Apakah orang Flores pernah mengaku kalau mereka itu orang Melanesia? Tidak pernah to?

Sangat aneh ketika melihat tiba-tiba Negara melakukan klaim kalau ada juga Melanesia lainnya selain Papua di Indonesia. Apakah Maluku pernah bangga dengan adanya PNG, Salomon Island, Vanuatu dan lain-lainnya? Dan mereka pernah bermimpi untuk akan bersama-sama? Tidak pernah to? Jakarta bagi mereka adalah pusat segala-galanya, bukan di Negara-negara melanesia. Karena itu ada jong Ambon, jong Maluku, tetapi tidak ada jong Papua pada saat sidang BPUPKI dan PPKI pada tahun 1945. Batas itu ada di Maluku, tidak sampai di Papua.

Orang Papua itu menderita karena hanya mempertahankan identitas dan budaya mereka sebagai Melanesia. Musik dan tari sebagai Melanesia. Identitas adat istiadat sebagai Melanesia. Mengapa? Karena itulah identitas kami dalam memperjuangkan identitias bangsa kami yang adalah bukan Indonesia. Melanesia itu identitas kami dalam perjuangan.

Negara membuat kami supaya tidak menyebut identitas kami bertahun-tahun. Musik, tari, dan lain-lain dilarang untuk berkembang, dengan alasan yang diberikan Indonesia karena akan memperkuat nasionalisme Papua. Kita lihat, Arnold Ap yang seorang kurator, budayawan dan antropolog yang ternama melalui group musik Mambesak, dia hanya berjalan dari kampung ke kampung dan memberi semangat kepada rakyat untuk kembali menghidupkan budaya. Apa yang terjadi? Dia dibantai dan dibunuh oleh tentara Indonesia. Ini adalah bagian dari mesin kolonial.

Jadi kalau saudara-saudara dorang bilang kami sesama bangsa Melanesia, saya bilang tidak. Tentara Patimura adalah tentara yang paling jahat. Yang bangsa Papua tahu sampai detik ini.

Ini berkaitan dengan soal identitas orang asli Papua. Kalau kita lihat statistik penduduk Papua sekarang, 52 persen itu kan jumlahnya orang non Papua. Bagaimana ULMWP menanggapi persoalan ini, dalam konteks siapa orang asli Papua?

Hal ini menjadi tantangan bagi kami dan memacu kami bekerja lebih keras, siang dan malam sebelum tahun 2020, dimana pada tahun itu, kami hanya akan menjadi kurang dari 25 persen. Itu pasti akan terjadi.

Jadi tugas kami itu adalah menceritakan tentang fakta ini. Ini temuan akademis yang mempergunakan statistik Indonesia. Indonesia tidak lakukan perbandingan terkait pergeseran penduduk, dimana di tahun 2020, kami akan menjadi 23 persen jumlah orang asli Papua.

Nah, oleh karena itu bagi kami menjadi alat pendorong dan kami akan pakai secara maksimal dan memperlihatkan tameng kebijaksanaan Indonesia yang sebetulnya adalah proses penjajahan. Dengan, pertama, mengembangkan Papua yang hanya satu provinsi menjadi dua provinsi, lalu dari DPR RI sudah mensahkan Papua menjadi tiga provinsi. Tinggal dianggarkan dari pemerintah untuk mekarkan provinsi tersebut karena pertemuan parlemen sudah lewat.

Juga, dimana sekarang ini ada 43 kabupaten akan menjadi 72 kabupaten. Lalu pembangunan yang bukan untuk masyarakat sipil dan infrastruktur yang dibangun yang dipenuhi dengan investasi, penambahan militer, transmigrasi penduduk. Setiap kabupaten akan membentuk Kodam, Kodim, Korem, Koramil, Kapolres, dan lain-lainnya. Infrasitruktur milik militer kan dibangun karena berbatasan langsung dengan PNG, Australia, dan Filipina maka sesuai dengan undang-undang pertahanan Negara akan dipenuhi defense, katanya. Sekarang, apakah PNG atau Australia punya pasukan militer dan pernah menyerang ke Papua? Tidak ada to.

Iya, itulah undang-undang memberikan peluang untuk masuknya militer secara besar-besaran ke Papua. Jadi, hilangnya bangsa Papua itu rill dan sampai saat ini sedang terjadi. Hal-hal ini yang perlu untuk kita beritahukan dan menjelaskan kepada dunia.

Ini juga yang penting untuk diketahui oleh pembaca IndopPROGRESS soal munculnya gerakan anak-anak muda di Papua yang militan, berani memobilisasi masa, juga mulai ada diskusi-diskusi soal ideologi. Bagaimana reaksi ULMWP melihat hal ini?

Ini merupakan hal utama yang harus saya ucapkan banyak terima kasih kepada iklim yang tercipta. Anak-anak ini kan mereka bertumbuh dari realitas di depan mereka, dimana temannya yang di bantai kayak binatang oleh militer Indonesia. Begitu banyak teman dalam perjuangan yang dibantai dan tidak pernah di proses secara hukum.

Jadi mereka melihat bahwa kamu sekolah tinggi-tinggi juga akan habis di bawah penjajahan Indonesia. Antara berjuang atau betul-betul kau tersingkir di dalam komunitas gerakan yang mereka bentuk.

Ini merupakan suatu kemenangan yang tidak pernah kami rencanakan. Dan ini adalah sebuah kebangkitan dan revolusi yang I am taking for granted dan saya tahu betul bahwa saya harus berperan dalam hal-hal ini. Jadi kami saling menguntungkan. Saya beruntung karena, pertama, saya punya pasukan lapangan yang siap take and do peaceful movement anytime. Sedangkan mereka sudah lama merindukan seorang pemimpin yang bisa menyatukan dan bisa melihat dan mendengar semua yang mereka inginkan. Dan ketika saya mulai terpilih untuk memimpin ULMWP di dalam strategi, kemudian Benny Wenda yang punya keahlian di dalam public speak. Mereka juga melihat bahwa mereka yang selama ini jalan sendiri-sendiri bisa bersatu. Anak-anak ini melihat dari sisi ini. Dan anak-anak ini luar biasa. Kami sudah dapat momentum. Jadi betul-betul ini sangat luar biasa untuk kami dan sebuah kemenangan yang Indonesia tidak akan bisa patahkan. Indonesia bunuh satu orang, ok. Anak-anak ini akan siap mati dan berjuang terus. Tetapi darah dari pada perjuangan ini akan selalu berkobar dan mengalir di mereka, maupun kami.

Dulu zaman saya, tahun 1980an dan 1990an, saya tidak menyaksikan teman dan saudara saya di bunuh depan saya. Tahun 1968 di kampung saya kebetulan ada peristiwa pembunuhan dan penembakan. Tetapi sesudah itu tidak ada lagi saya menyaksikan teman dan saudara saya dibantai dan dibunuh oleh militer.

Tetapi sekarang ini, temannya dibunuh dan dibantai di depan mereka sendiri. Masuk penjara hanya karena melakukan demonstrasi. Itu kan ideologis dan itu pahlawan. Misalnya saya punya keponakan-keponakan di Papua, saya paksa mereka untuk kuliah tetapi mereka tidak mau kuliah dan mereka lebih memilih untuk berjuang demi bangsa ini. Ini momen dan semangat perjuangan.

Sekarang anak-anak ini mereka bangga setiap menit bisa mereka daur ke mana-mana lalu baku bakar (saling menaikan isu dengan tuntutan Papua Merdeka lewat demonstrasi damai). Jadi ini tidak hanya ada di Papua tetapi di seluruh pulau-pulau kecil di Pasifik, semua semua ada perwakilan dari Papua yang bicara tentang Papua merdeka.

Jadi Indonesia punya diplomasi yang hanya mainkan PNG dan Fiji, silahkan saja kalau mereka bisa menang. Tetapi kami selalu bilang bahwa kamu datang di tempat yang kami sudah bikin kebun. Kami sekarang ibarat pohon kelapa yang kuat. Kami sudah tanam dari tahun 1960an hingga sampai saat ini. Perjuangan kami yang juga bagian dari Pasifik itu sudah sejak zaman Belanda. Kalau Indonesia mau jualan dan beritahu ke mereka bahwa Papua itu Indonesia, omong kosong. Untuk Pasifik, Indonesia tidak akan mampu pengaruhi mereka.

Mungkin yang terakhir, pak Octo ada pesan dan kesan untuk kaum demokrat di Indonesia mau pun anak-anak muda di Papua?

Bagi kami, kemerdekaan Papua sungguh-sungguh akan memberikan keuntungan yang besar untuk Indonesia. Misalnya di PNG, 60 persen inverstasi milik Australia. Pertama dari sisi ekonomi Indonesia mempunyai tenaga kerja yang luar biasa yang kami butuhkan di Papua. Jadi secara ekonomi akan menguntungkan Indonesia.

Kemudian dari sisi populasi penduduk dan hubungan Indonesia dengan Papua Barat, ini hubungan sudah 53 tahun. Kawin-mengawin dan lain sebagainya sudah menyebabkan percampuran yang luar biasa. Jadi, kemerdekaan Papua itu tidak akan putus serta-merta dengan pemisahan ini.

Lalu yang lebih penting lagi sebetulnya, kalau kita mau memperlihatkan Indonesia itu sebagai sebuah Negara demokrasi yang menghargai bangsa-bangsa, misal kita bilang Australia, kamu sikat bangsa Aborigin atau kamu hancurkan Maulind di New Zeland, dan atau Indian di Amerika begitu, Indonesia bisa menjadi satu role model dengan memberikan satu kesempatan kepada rakyat Papua untuk menentukan nasibnya sendiri. Dan penentuan nasib sendiri belum tentu akan merdeka. Tetapi karena orang Papua belum pernah ada kesempatan untuk menentukan nasib sendiri, maka inilah yang diminta oleh rakyat Papua, oleh pejuang kemerdekaan: kasihlah kesempatan bahwa rakyat Papua mau memilih, apakah rakyat Papua ingin merdeka, atau bagian dari Indonesia, itu sesuatu yang akan terjadi di kemudian hari.

Kami betul-betul memohon kepada para pejuang HAM yang memperjuangkan kebebasan untuk mendukung (back-up) anak-anak muda Papua yang terus bangkit ini. Hanya satu yang anak-anak muda Papua Barat minta, yaitu penentuan nasib sendiri. Mereka tidak pilih untuk membunuh orang, mereka hanya bicara dengan yang ada pada mereka untuk menentukan nasib mereka sendiri.

Saya juga ucapkan banyak terima kasih kepada mereka yang selama ini menjadi suara dan bersedia bersama-sama dengan anak-anak Papua untuk berjuang dan juga kepada media-media di Indonesia yang sangat menyedihkan ini, bahwa di era reformasi yang terbuka ini, hanya beberapa media alternatif saja yang mewartakan keadaan yang rill di Papua. Ini sangat menyedihkan.

Karena itu, media-media mainstream, seperti Kompas, Sinar Harapan, Suara Pembaharuan, Republika, Tempo, mereka ini tidak pernah mau menyuarakan kejadian-kejadian di Papua. Padahal, dulu waktu Tempo di bredel, saya yang ada di lapangan pada saat itu. Tanya semua aktivis itu. Saya berjuang dengan Goenawan Mohammad, untuk kembalikan Tempo seperti semula. Goenawan meminta kepada para pejuang Papua Merdeka di Belanda, pada saat saya waktu ikut kursus di Welsh, Belanda. Kita bantu Goenawan untuk pembebasan bersama kita. Juga waktu Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dibentuk, saya juga terlibat untuk berjuang bersama-sama demi kebebasan kita.

Jadi, orang Papua selalu menjadi bagian di dalam demokrasi Indonesia, sehingga menjadi tidak adil kalau media-media ini, di era reformasi, tidak mengkat realita yang ada di Papua.

Saya juga mau bicara untuk pembawa-pembawa agama Kristen di Indonesia. Kami orang Papua itu mayoritas orang Kristen. Kenapa tidak ada persekutuan gereja-gereja untuk melihat umat di Papua itu di bantai? Dimana statemen-statemen dari pembawa-pembawa gereja yang protes terhadap Negara, kalau jemaat di Papua sedang dibantai oleh militer Indonesia? Jadi, bagi kami, para pemimpin gereja di Papua, pada suatu saat, saya yang memimpin gerakan kemerdekaan mau pun Anda, kami semua akan menghadap Tuhan Allah dan kami akan di tanya waktu saya memberikan kewenangan itu, what you do? Apa yang kau lakukan untuk umat saya yang di bantai ini? Pada saat itu mereka juga akan bertanggung jawab kepada Tuhan yang memanggil mereka untuk memimpin gereja, ketika rakyat Papua dibantai di depan gereja, tidak ada pemimpin gereja yang berjuang. Tidak ada pemimpin gereja yang bersuara. Hingga seluruh Pasifik Selatan bersekutu dan membawa persoalan Papua pun pemimpin-pemimpin gereja Indonesia ini berusaha mengatakan bahwa, situasi di era Jokowi ini baik adanya, dia orang baik, banyak orang Kristen dipakai disekitarnya, dia sangat manusiawi. Ini sangat menyedihkan.

Gereja yang semestinya berjuang untuk manusia yang tertindas, sampai saat ini tidak berjuang. Hanya itu saja dari saya. Saya ucapkan banyak terima kasih.***

Luhut Binsar Panjaitan itu Preman Politik Tidak Jauh Berbeda dari Milisi Jalanan

Lt. Gen. TRWP Amunggut Tabi dari Markas Pusat Pertahanan Tentara Revolusi West Papua menyebut cara kerja Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan HAM Republik Indonesia tidak jauh berbeda daripada cara berpikir dan cara bekerja preman politik dan milisi jalanan. Cara kerjanya jauh tidak bermartabat daripada para aktivis Papua Merdeka.

Berikut petikan wawancara Papua Merdeka News (PMNews) dengan Gen. Tabi (TRWP) lewat Ponsel:

PMNews: Belakangan ini kami telah menyiarkan beberapa seruan dan catatan dari Markas Pusat Pertahanan (MPP) Tentara Revolusi West Papua (TRWP). Kali ini kami mau tanyakan tanggapan khusus tentang kegiatan yang dilakukan oleh Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan HAM Republik Kolonial Indonesia.

TRWP: Antara Luhut Panjaitan dengan Preman Tanah Abang tidak jauh berbeda, beda tipis. Perbedaannya Preman Tanah Abang jarang dilihat di TV, semenara yang ini selalu suka tampil di TV, bahkan bawa diri berwisata politik ke sana-kemari, sampai-sampai mau masuk ke kamar tidur orang-orang Melaneisa pula.

PMNews: Ada beberapa hal yang kami mau klarifikasi atas pernyataan ini. Pertama, masalah Pak Luhut dengan Preman Tanah Abang Jakarta, kedua Pak Luhut yang suka pamer di TV dan ketiga masalah masuk ke kamar tidur orang Melanesia. Kami minta jelaskan satu per satu.

TRWP: OK. Pertama, coba semua orang saat ini pikirkan apa perbedaan preman Jakarta di Tanah Abang dengan Preman Pemerintahan Jokowi hari ini? Sedikit-sediki bicara “babat”, sedikit-sedikit paksa kehendak dan ambisi, malahan orang ini selalu mengancam sesama menteri juga, bukan hanya dia mengancam orang Papua. Malah orang Papua disuruh ke Melanesia sana, tinggalkan Indonesia.

Jadi, bukan hanya kelakuannya, tetapi pengetahuannya mirip preman, dan juga cara berpikirnya juga sama saja.

Kedua, dia selalu “show of force”, mengundang Pendeta di Tanah Papua, mengundang pegiat HAM dari berbagai kalangan, mengungan korban G-30 S/PKI, menegur dan mengancam menteri lain. Jadi dia tampail seolah-olah dialah NKRI sejati, yang lainnya penipu. Yang dikejarnya hanyalah “agar mBak Mega senang”, hanya sampai di situ. Dia tidak punya banyak kepentingan dengan NKRI, sama seperti mBak Mega sendiri.

Ketiga, ada Menteri Luar Negeri, ada protokol negara, ada etika politik dan diplomasi internasional, tetapi ini menteri kerjanya serobot sana-sini, menyeberang perbatasan semaunya, masuk ajak menteri-menteri bertemu, kejar para duta besar diajak berwisata politik ke mana-mana dengan hiburan-hiburan malam ala Melayu-Indonesia, inilah membunuh karakter, akal sehat, nurani manusia. Ini hanya melakukan pekerjaan service di permukaan, padahal semua orang Melanseia tahu dari lubuh hati terdalam, West Papua harus terlepas dari NKRI.

Dia masuk ke negara-negara Melanesia bukan hanya senyum-senyum, tetapi dia juga membawa madu dan racun di tangan kiri dan kanannya.

Ini semua kan model operasi preman, bukan?

Cuman sayangnya, orang ini adalah seorang Jenderal, tetapi ruang berpikir, kedalaman berpikir dan kerjaannya tidak mewakili pangkatnya. Apalagi, langkah-langkahnya tidak mewakili tugasnya sebagai Menteri Koordinator. Tidak mengkoordinir, tetapi malah terjun sendiri kemana-mana, malahan melebihi Tuhan.

PMNews: Puas, sangat puas. Sudah jelas,

TRWP: Masih ada banyak komentar tentang orang ini, tetapi sampai di stu dulu. Yang jelas orang ini tidak mewarnai kolonial Indonesia, dia tampil sebagai mewakili sukunya, mewakili dirinya, mengatas-namakan Negara. ini yang hebatnya lewat batas, di satu sisi memalukan sebenarnya.

PMNews: Apa tanggapan TRWP atas keterlibatan beberapa kedutaan negara Melanesia dan perwakilan dari Tanah Papua dari pihak masyarakat sipil dan aktivis HAM?

TRWP: Sudah kami katakan tadi. Preman kan di tangan kanan ada madu, di tangan kiri ada racun. Jadi, selama dia bergerak, kedua tangan diacungkan. Yang mau madu, ya nurut saja.

PMNews: Kalau begitu caranya, nanti semua negara Melanesia akan ikut kemauan NKRI?

TRWP: Jangan salah! Itu kemauan NKRI! Itu persis yang mereka mau! Tetapi realitas lapangan kan tidak begitu! NKRI punya kemampuan sebesar apa untuk menaklukkan Melanesia? Menaklukkan diri sendiri saja tidak sanggup. Indonesia kalau punya Gus Dur baru akan bisa, tetapi saya beliau sudah almarhum. Jokowi bukan orangnya. Jokowi dilahirkan dengan tugas lain. Dan Luhut Binsar Panjaitan dilahirkan untuk mengacaukan peta politik Indonesia.

PMNews: Kami sangat berterimakasih. Untuk menghemat berita ini agar pesannya sampai, kami cukupkan sampai di sini dulu. Selamat pagi.

TRWP: Terimakasih dan selamat pagi. Ingat bahwa cara kerja Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan HAM Republik Indonesia tidak jauh berbeda daripada cara berpikir dan cara bekerja preman politik dan milisi jalanan. Cara kerjanya jauh tidak bermartabat daripada para aktivis Papua Merdeka

Wawancara Khusus Benny Wenda: Kami akan Bawa Papua ke PBB

Penulis: Eben E. Siadari 22:16 WIB | Rabu, 25 Mei 2016

SYDNEY, SATUHARAPAN.COM – Juru Bicara United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), Benny Wenda, menilai tidak ada keseriusan pemerintah Indonesia untuk berdialog dengan rakyat Papua. Oleh karena itu, ia mengatakan pihaknya akan memfokuskan perjuangan membawa masalah Papua ke Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Tujuan akhir adalah terselenggaranya referendum penentuan nasib sendiri di bawah pengawasan lembaga antarbangsa itu.

Hal itu ia ungkapkan dalam wawancara dengan satuharapan.com hari ini (25/5) lewat sambungan telepon. Benny Wenda saat ini tengah berada di Sydney, Australia, dan berharap dapat mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi pemimpin Melanesian Spearhead Group (MSG) di Port Moresby, Papua Nugini. KTT itu dijadwalkan mulai 30 Mei hingga 3 Juni 2016, namun belum dipastikan.

Benny Wenda lahir di Lembah Baliem, Papua, 17 Agustus 1974, oleh Indonesia digolongkan sebagai tokoh separatis. Ia kini bermukim di Inggris setelah mendapat suaka pada tahun 2013.

Benny Wenda mengklaim dirinya sebagai salah seorang keturunan pemimpin suku terbesar di Papua dan kedua orang tuanya beserta sebagian keluarga besarnya, merupakan korban pembunuhan militer Indonesia. Ia selalu menyuarakan perlunya rakyat Papua diberi hak menentukan nasib sendiri karena integrasi Papua ke dalam RI lewat Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 penuh rekayasa.

Setelah Orde Baru jatuh, gerakan referendum dari rakyat Papua yang menuntut pembebasan dari NKRI kembali bangkit. Benny Wenda, sebagaimana dicatat oleh Wikipedia, melalui organisasi Demmak (Dewan Musyawarah Masyarakat Koteka), membawa suara masyarakat Papua. Mereka menuntut pengakuan dan perlindungan adat istiadat, serta kepercayaan, masyarakat suku Papua. Mereka menolak apapun yang ditawarkan pemerintah Indonesia termasuk otonomi khusus.

Dia pernah dipenjarakan pada 6 Juni 2002 di Jayapura, dituduh atas berbagai macam kasus, di antaranya melakukan pengerahan massa untuk membakar kantor polisi, hingga harus dihukum 25 tahun penjara.

Pada 27 Oktober 2002 Benny Wenda berhasil kabur dari penjara dibantu oleh para aktivis, diselundupkan melintasi perbatasan ke Papua Nugini dan kemudian dibantu oleh sekelompok LSM Eropa untuk melakukan perjalanan ke Inggris. Di sana lah ia mendapat suaka politik.

Ke arah mana pergerakan ULMWP dalam memperjuangkan rakyat Papua, dan sejauh mana kemungkinan adanya titik temu dengan pemerintah RI, berikut ini selengkapnya wawancara dengan Benny Wenda.

Satuharapan.com: Pada akhir bulan ini akan ada pertemuan MSG di Port Moresby. Apa yang Anda harapkan dari pertemuan tersebut?

Benny Wenda: Kami harapkan bahwa pertemuan ini sangat penting, special summit, kami harap dalam pertemuan ini akan membahas ULMWP menjadi anggota dengan keanggotaan penuh (full membership). Itu harapan kami.

Apakah Indonesia akan hadir pada KTT itu?

Pasti. Karena mereka juga associate member.

Apakah kemungkinan ada dialog dengan Indonesia di MSG  dalam kaitan dengan yang diperjuangkan ULMWP selama ini?

Dialog melalui permintaan dari ketua MSG sudah disampaikan kepada pemerintah Indonesia. Tetapi ternyata tidak jadi. Ditolak. Dan kedua, ketua MSG sendiri mengusulkan bertemu dengan presiden RI tetapi tidak ada respon. Dan juga rekomendasi Pacific Islands Forum (PIF) untuk diadakannya fact finding misson ke Papua, tidak ada follow up dari pemerintah Indonesia. Sehingga kami menganggap Indonesia tidak ada niat melakukan dialog. Jadi saya pikir tidak mungkin.

Jadi ULMWP lebih fokus menjadi anggota penuh MSG?

Itu kami target.

Jika sudah menjadi full member, apa langkah selanjutnya?

Langkah selanjutnya, akan dibicarakan oleh pemimpin ULMWP dalam diskusi internal. Namun agenda kami yang kami targetkan adalah internationally supervised vote for independence seperti yang sudah dideklarasikan oleh International Parliamentarians for West Papua (IPWP) di London pada 3 Mei kemarin. Jadi kami akan fokus ke sana. Pemerintah Indonesia tidak serius dalam dialog dan kami pikir kami sudahi sampai di situ. Kami harus kembali ke United Nations (UN). Membawanya ke UN.

LIPI sudah memberikan rekomendasi agar ada dialog antara Jakarta dan Papua. Apa pendapat Anda? Format dialog seperti apa yang diinginkan oleh ULMWP?

Saya pikir, dialog nasional yang dirumuskan LIPI lebih ke arah dialog internal antara orang Papua dan Jakarta. Lebih menekankan sisi pembangunan dan kesejahteraan. Tetapi kami mengharapkan masalah ini akan kembali ke UN, itu yang akan jadi fokus kami. Sebelumnya kami akan fokus dulu ke full membership bagi ULMWP di MSG, setelah itu baru kami membicarakan bagaimana berhadapan dengan Indonesia.

Apakah Anda akan berangkat ke Port Moresby?

Pasti, saya akan berusaha pergi. Untuk sementara ini saya tidak bisa masuk, tetapi karena kami (ULMWP) sudah menjadi anggota MSG, pasti saya akan ke sana. (Catatan: Benny Wenda pernah tidak diizinkan masuk ke Papua Nugini, red).

Anda sudah pergi ke berbagai negara untuk mendapatkan dukungan, termasuk ke Ghana dan beberapa negara Afrika. Apa saja dukungan yang Anda terima?

Saya pikir negara-negara ini memiliki sentimen yang sama karena mereka juga lepas dari neokolonialisme. Jadi mereka support kami. Mereka memiliki sentimen yang sama. Mereka simpati pada bangsa Papua. Dan bangsa Papua merupakan bagsa yang ditindas dalam hal ini, dan mereka melihat Papua sebagai koloni, sehingga mereka memberikan dukungan.

Belakangan ini Menkopolhukam Luhut Binsar Pandjaitan menemui Tokoh Gereja Inggris, Lord Harries di London yang selama ini mendukung kemerdekaan Papua. Apa pendapat Anda?

Saya pikir itu tidak apa-apa. Wajar saja jika demi kepentingan negara Indonesia, ia mewakili bangsa, ia bisa pergi kemana saja.

Editor : Eben E. Siadari

Pater John Djonga: Cepat atau Lambat Papua Pasti Merdeka

TEMPO.CO, Wamena: Tokoh masyarakat Papua Pater John Djonga dipanggil sebagai saksi oleh pihak kepolisian terkait dengan peresmian kantor United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) atau Gerakan Pembebasan Papua di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua, pada 15 Februari lalu. Oleh pihak kepolisian, peresmian kantor ULMWP dituding sebagai tindakan makar. John Djonga sendiri hingga saat ini belum memenuhi pemanggilan tersebut.

Menurut juru bicara ULMWP, Markus Haluk, bahwa Pater John diundang untuk memimpin ibadah atau liturgi, pemberkatan air di kantor ULMWP.

Pater John Djonga adalah seorang pastor kelahiran Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur. Sebagai seorang pemimpin agama, peraih penghargaan “Yap Thiam Hien” 2009 ini keluar masuk hutan Papua untuk menemui umat. Lantas, bagaimana pendapat Pater John Djonga tentang masyarakat Papua, terutama aspirasi politiknya? Berikut cuplikan wawancara wartawan TEMPO Maria Rita dengan Pater John Djonga Desember tahun lalu.

Video dan Reporter: Maria Rita
Editor: Ngarto Februana

Politik Papua Merdeka setelah Kemenangan di MSG dan PIF

Dari Markas Pusat Pertahanan Tentara Revolusi West Papua (TRWP) kami ucapkan selamat memasuki tahun baru 2016, dan selamat Successful Year of 2015. Tugas kita ke depan ada tiga yang pokok: membina hubungan dengan negara-negara Melanesia dengan pendekatan Melanesian Way, membangun solidaritas di Indonesia dan membangun sistem pendanaan yang terpusa, reliable dan auditable.

Demikian kata Lt. Gen. Amunggut Tabi dari Markas Pusat Pertahanan Tentara Revolusi West Papua (TRWP) saat dikontak oleh Papua Merdeka News (PMNews). Berikut petikan wawancara.

PMNews: Selamat malam, kami minta waktu sedikit.

TRWP: Selamat malam, selamat Tahun Baru, Selamat meninggalkan Successful Year of 2015 bagi politik Papua Merdeka.

PMNews: Kami mau bertanya secara khusus terkait dengan isu Kontrak Karya PT Freeport Indonesia dengan kolonial Republik Indonesia yang sulit diperpanjang oleh pemerintah kolonial sampai saat ini. Presiden Direktur Freeport pusat sudah mengundunrkan diri beberapa waktu lalu, dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia juga sudah mengundurkan diri awal tahun 2016 ini. Apa yang dapat dipetik oleh perjuangan Papua MErdeka?

TRWP: Tidak ada sama sekali. Pertanyaan ini harus ditanyakan kepada Gubernur Provinsi Papua, Lukas Enembe dan secara khusus kepada Wakil Gubernur Klemen Tinal.

PT Freeport itukan perpanjangan tangan dari Freeport McMoran Copper & Gold, Inc., BUMN Amerika Serikat yang punya perusahaan di Indonesia. Jadi, apa yang terjadi di dalam Indonesia itu bukan urusan kami.

PMNews: Kami bertanya karena apakah kesempatan sikap Indonesia yang tidak bersahabat dengan Freepoprt McMoran ini dapat dimanfaatkan oleh TRWP dan teman-teman pejuang Papua Merdeka.

TRWP: Itu kita harus tanya keapda Freeport McMoran sendiri, apakah mereka berkepentingan melanjutkan pertambangan di Tanah Papua atau tidak. Soalnya kami bukan cari makan, kamu bukan cari muka. Kami mentuntu hak dan kedaulatan hakiki sebagai manusia dan sebagai pemilik hak ulayat Tanah leluhur pulau New Guinea. Jadi sbagai tamu, biak Inodnesia maupun Freeport kalau sama-sama mau aman di Tnaah Papua sebaiknya mereka tahu bahwa mereka dua dalam posisi sebagai pencuri dan penjarah. Jadi, yang terjadi sekarang pencuri yang satu dan yang lain sedang bertengkar jatah makan mereka. Itukan sebuah dram para pencuri yang memalukan peradaban manusia saat ini.

Indonesia bertiandak seolah-olah Tanah Papua itu tanah ulayatnya, sementara Freeport berkelakuan seolah-olah dia pemilik tanah Papua.

PMNews: Terimakasih. Kami akan tanyakan tentang posisi Freeport Indonesia dan Freeport McMoran lebih lanjut di waktu lain. Tetapi sekarang kami lanjutkan ke kaitan dengan politik Papua Merdeka di Pasifik Selatan (MSG dan PIF). Apa pandangan TRWP tentang perkembangan yang sudah terjadi, yang disebut tadi sebagai Successful Year of 2015?

TRWP: Kalau menyangkut tahun kemenangan 2015, maka dari TRWP punya tiga strategi lanjutan:  membina hubungan dengan negara-negara Melanesia dengan pendekatan Melanesian Way, membangun solidaritas di Indonesia dan membangun sistem pendanaan yang terpusa, reliable dan auditable.

Membina hubungan di sini kami maksudkan tidak sama dengan cara-cara senior kita pendahulu perjuangan Papua Merdeka. Kita harus tampil all-inclusive dan membawa kepribadian rendah hati dan negarawan. Artinya apa? Kita tidak boleh berkampanye di kawasan Melanesia/ PIF dengan cara menjelek-jelekkan satu sama lain, menuding dan menuduh satu sama lain, dan kita juga tidak boleh bersifat memihak secara penuh kepada kelompok atua partai politik tertentu di kawasan ini. Dua hal, satu keberpihakan kita kepada partai politik dan pemimpin lohak dan kedua kebersamaan kita orang West Papua dalam mengkampanyekan Papua Merdeka harus dirombak.

Kalimat-kalimat seperti, “Kami ini yang benar, mereka itu dipakai Indonesia. Kami betul, mereka dicurigai dipakai CIA” seperti itu haruslah dibuang ke tong sampah. Yang kedua, kita jangan membentuk kelompok pendukung Papua Merdeka atas nama satu partai politik, atau satu pemerintahan. Kita harus berada di luar blok-blok politik lokal. Kita juga harus menghindari terjerumus ke dalam blok-blok kepentingan nasional di masing-masing negara di Melanesia. Kita harus hadir sebagai pembawa Kabar Baik dan Pewujud Mimpi Melanesia bagi ras dan kepulauan Melanesia. Kita harus hadir dengan visi-visi Melanesia-hood dan Melanesia-ness, bukan sebatas West Papua dan OPM dan KNPB dan ULMWP dan sebagainya. Itu semua perlu menjadi pupuk dan penunjang bagi mimpi besar sebuah Kesatuan Pasifik Selatan  yang kuat dan berjaya di 100 tahun sampai 200 tahun ke depan.

Yang kedua, kita harus membangun dukungan di dalam Indonesia sendiri. Ingat bahwa banyak rakyat Indonesia sebenarnya menginginkan Papua Merdeka. Atau kalau tidak, mereka paling dasar tidak perduli Papua keluar atau tetap di dalam NKRI. Yang menginginkan NKRI harga mati hanya-lah segelintir orang, segelintir elit, dan minoritas dalam politik Indonesia.

Apa yang telah terjadi selama lebih dari setengah abad, atas nama pembangunan, atas nama nasionalisme, atas nama pertambangan Freeport, atas nama komunisme, dan terorisme semua sudah menjadi pembelajaran berharga bagi umat manusia di Indonesia sehingga sudah ada pandangan yang jelas bahwa memperthaankan West Papua di dalam Indonesia tidak-lah manusiawi, dan jelas menunjukkan neo-colonialism yang nyata di era globalisasi ini.

Selain itu, rasionalisasi kemerdekaan West Papua sudah dapat diterima oleh orang-orang Indonesia. Oleh karena itu, para pejuang Papua Merdeka mulai berpikir dan berkiprah dengan cara tidak memandang “orang Indonesia sebagai musuh”, tetapi negara Indonesia-lah menjadi musuh kita bersama. Negara Indoneia itu hadir ke muka Bumi bukan menurut peta orang Indoensia, tetapi seauai “Peta Kolonial Belanda”. Oleh karena itu, rakyat Indoneia dan rakyat West Papua harus menentang kolonialisme Belanda dengan merombak peta kolonialisme mereka. Memperthaankan peta kolonialisme ialah perbuatan kaum terjajah paling bodoh di dunia. Oleh karena itu biarpun Indonesia merdeka 1000 tahun, tetapi kemerdekaan menurut peta kolonial Belanda TETAP artinya sama dengan masih dijajah oleh Belanda. Akibat dari bernegara-bangsa dalam peta penjajah Belanda tidak akan pernah menghadirkan rasa keadilan dan  kemakmuran. Indonesia saat ini ditimpa banyak masalah karena Indonesia sedang diusahakan dimakmurkan dalam kerangka peta kolonial.

Kalau mau merdeka, Anda dan saya harus bongkar peta kolonial, kembalikan kepada peta Allah, peta Pencipta, bukan melestarikan peta penjajahan yang penuh penderitaan dan kemalangan bagi umat manusia sedunia itu.

Dikaitkan dengan PT Freeport, pejuang Papua Merdeka harus berani menjamin bahwa kerjasama Indonesia dan West Papua sebagai dua negara berdaulat dan bertetangga dalam mengelola sumberdaya alam di Tanah Papua lebih menguntungkan beratus-ratus kali-lipat daripada kita mengikuti peta kolonial yang akibatnya para kolonialis-lah yang menikmati hasil-bumi dan kekayaan alam dari peta-peta kolonial mereka.

Kita harus berani berhitung sebagai dua bangsa yang pernah dijajah Belanda untuk duduk sama-sama bermufakat untuk mendirikan dua negara yang kuat menentang peta kolonial Belanda dan membangun diri ke depan di luar peta kolonial Belanda, yaitu West Papua, Papua New Guinea, Timor Leste dan Indonesia sebagai negara-negara berdaulat, bekerjasama, dan saling berbagi semua kekayaan dan kelebihan yang kita miliki. Ini pembangunan kawasan orang pintar, ini strategi politik yang harus dirintis di Pasifik Selatan.

Yang ketiga, para pejuang Papua Merdeka harus punya basis dukungan financial baik di Vanuatu, Solomon Islands dan Papua New Guinea yang diorganisir dalam sistem kementerian negara-negara Melanesia, di bawah pengawasan Kementerian Keuangan dan Kementerian Luar Negeri sehingga semua pengelolaan keuangan untuk Papua Merdeka dapat dimobilisasi dan dapat dipertaunggungjawabkan, artinya dapat diaudit oleh auditor publik maupun auditor negara.

Dengan dukungan dana yang cukup dan dapat dipertanggungjawabkan, dan dengan strategi politik dan pendekatan kampanye yang kami sarankan ini, kami menunggu tindak-lanjut dari para politisi dan fungsionaris berbagai kekuatan yang memperjuangkan kemerdekaan West Papua, dan terutama oleh United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).

ULMWP sudah harus bertindak sebagai “The Provinsional Government of the Republic of West Papua” saat ini, jangan dia bermain di tingkat parlemen dan aktivisme lagi, tetapi harus lanjut ke tingkat “decision-maing authorities”, yaitu negara-negara dan pemimpin negara-negara.

PMNews: Sudah banyak hal yang kami terima untuk kali ini. Kami harus laporkan ini. Kami ucapkan banyak terimakasih.

TRWP: Terimakasih. Terimakasih.

Gen. TRWP Mathias Wenda: Sandera-Menyandera itu Drama Abad Lalu

Menanggapi berbagai polemik berujung kepada saling menuduh di antara para kelompok piaraan NKRI di wilayah perbatasan West Papua – Papua New Guinea, terkait dengan penyanderaan dua warga kolonial Indonesia beberapa hari lalu, dan kini telah ditemukan hidup, atau dikembalikan oleh para kriminal piaraan NKRI, maka PMNews berkomunikasi dengan Markas Pusat Pertahanan Tentara Revolusi West Papua.

Menurut Gen. TRWP Mathias Wenda, “Sandera-Menyadera itu Drama Abad Lalu! Sekarang para gerilyawan sedang menunggu proses politik dan diplomasi Papua Merdeka! Era gerilya dengan berbagai taktik telah ditangguhkan, walaupun perang melawan kolonial NKRI masih harus terus dilanjutkan sampai cita-cita Papua Merdeka! tercapai.”

Berikut petikan wawancara per telepon tadi malam.

PAPUAPOST.com (PMNews): Selamat malam! Kami dari PMNews mau tanyakan hal-hal terkait penyanderaan dua warga Indonesia oleh kelompok yang menurut pemberitaan media di Indonesia dilakukan oleh OPM (Organisasi Papua Merdeka).

Gen. TRWP Mathias Wenda (TRWP): Pertama-tama saya ucapkan terimakasih. Terimakasih karena anak-anak tanya orang tua. Banyak wartawan orang Papua di Indonesia mereka tidak pernah tanya, tapi bikin berita macam mereka sudah tanya. Bikin malu banyak jadi, anak-anak di PMNews selalu tanya itu baik. Kasih tahu anak-anak Papua di mana-mana Bapak punya telepon ini nomornya sudah umum berlaku, Pemerintah PNG juga sudah tahu, jadi tidak masalah.

Ah, mengenai berita NKRI bahwa OPM yang sandera itu tidak benar. Tukang tipu mereka. Siapa itu OPM? Apakah OPM angkatan bersenjata? OPM itu bukan Tentara, itu organisasi. Mana organisasi baru bergerilya. Tidak ada OPM di hutan sini. OPM ada di kota, di Port Numbay, di Port Moresby, di Port Vila, di London, di Canberra, di Jakarta, di Port Vila, di New York. OPM tidak ada di hutan-hutan. OPM punya pekerjaan bukan berburu babi hutan atau tikus hutan. OPM punya tugas berdiplomasi dan berpolitik di pentash politik dan diplomasi lokal, nasional, regional dan internasional.

Ada berita yang bilang OPM yang sandera, berarti kolonial sudah kalah point, salah main kartu, salah zaman, dan salah waktu. OPM sudah tidak ada di hutan, tetapi yang ada itu OPM buatan NKRI, OPM peliharaan Indonesia, OPM bayaran Indonesia.

Ingat OPM NKRI, OPM Merah-Putih, OPM buatan Indonesia itu ada di Jakarta, ada di West Papua dan ada di Papua New Guinea, ada di mana-mana.

Jadi kesimpulannya, kalau ada OPM yang menyandera orang pada tahun 2015 ini, maka itu OPM-NKRI, OPM Merah-Putih, OPM-Indonesia. Itu pasti! Itu jelas! Jangan ada yang salah!

PMNews: Siapa kelompok peliharaan itu. Kira-kira intelijen TRWP punya informasi?

TRWP: Kami tahu persis siapa mereka tetapi kami tidak harhus membukanya di sini. Itu rahasia operasi kami. Kalian sudah baca berita ka tidak, banyak berita menyebutkan para tokoh adat di wilayah perbatasan, baik di wilayah West Papua maupun di wilayah Papua New Guinea jelas-jelas menyebutkan bahwa penyanderaan dilakukan oleh kelompok peliharaan NKRI.

PMNews: OK Baik. Terimakasih. Ada tuduhan bahwa sandera ini dilakukan oleh OPM, itu sangat kuat beredar di media-media nasional Indonesia. Kepolisian dan TNI juga menunjukkan jari kepada OPM, walaupun TRWP menyangkal. Semua orang tahu, yang ada di perbatasan West Papua – PNG itu TRWP, bukan?

TRWP: Sandera-Menyadera itu drama abad lalu! Itu lagu lama! Itu sudah basi! Kasihan NKRI tidak mengerti politik, atau mereka ketinggalan kereta jadi bikin akal-akalan.

Sekarang para gerilyawan sedang menunggu proses politik dan diplomasi Papua Merdeka! Era gerilya dengan berbagai taktik telah ditangguhkan, walaupun perang melawan kolonial NKRI masih harus terus dilanjutkan sampai cita-cita Papua Merdeka! tercapai. Jadi kalau ada yang bilang gerilyawan Papua Merdeka, bukan OPM, tapi gerilyawan, menyandera maka itu termasuk skenario yang menyedihkan, karena sudah tidak dipakai oleh semua gerilyawan Papua Merdeka.

PMNews: Kami ucapkan terimakasih atas penjelasan ini. Mudah-mudahan orang Papua dan pemerintah Indonesia memahami penjelasan ini.

TRWP: Terimakasih. Tanya apa saja nanti. Kasih tahu anak-anak lain itu. Kasih tahu nomor HP Bapak punya. Sudah terimakasih.

Andreas Harsono: Negara Sedang Isolasi Persoalan HAM di Papua

Andreas Harsono dari Human Right Watch (HRW). Foto Ist.

Jakarta, MAJALAH SELANGKAH — Andreas Harsono dari Human Rights Watch (HRW) mengungkapkan saat ini negara terkesan mengisolasi rentetan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua dengan tidak menyelesaikan secara tuntas pelaku kejahatan untuk diadili dan diproses secara hukum.

“Kekerasan yang dialami orang Papua sedang ditutupi pantauan pihak luar. Wartawan independen dan jurnalis internasional dilarang meliput masalah Papua. Hal seperti ini tidak mesti terjadi di negara yang menganut sistem demokrasi,”

ungkapnya dalam diskusi pembacaan situasi Papua yang digelar di rumahnya, Jakarta, Senin (12/1/2015) sore.

Kata Andreas, hingga kini telah terjadi banyak kasus pelanggaran HAM di Papua.

“Yang masih hangat diperbincangkan saat ini adalah kasus di Enarotali, Paniai, di mana 5 pelajar ditembak mati dan 17 masyarakat sipil lainnya luka-luka. Sementara pelakunya masih belum diungkap ke publik,”

lanjutnya. (Baca: Penembakan di Paniai)

“Semua itu membuktikan bahwa negara melalui militernya sedang melakukan impunitas. Di mana rakyat dikorbankan, pelaku kejahatannya dilindungi dan tidak diberikan sanksi,”

kata Harsono.

Dalam kesempatan sama, aktivis HAM Papua, Marten Goo, mengatakan, wilayah Papua tidak pernah sunyi dari persoalan pelanggaran HAM. Militer (TNI/POLRI) menjadi biang di balik serangkaian persoalan di tanah Papua selama ini.

“Kasus HAM yang di Paniai belum selesaikan, kembali terjadi peristiwa penembakan yang dilakukan oleh Brimob dari Polda Papua terhadap salah satu siswa SMA YPPGI Timika, Melkias Nawipa di pos polisi Gorong-gorong Timika, Sabtu kemarin,”

jelas Goo.

Jadi, kata dia, situasi di Papua sulit dikendalikan, karena militer (TNI/POLRI) yang berkuasa di tengah masyarakat Papua.

“Orang Papua mau lakukan aktivitas selalu dipantau militer, rambut gimbal dicurigai, kumis panjang, distigma OPM,”

ujarnya.

Senada disampaikan oleh Ruth Ogetai, seorang aktivis Perempuan Papua di Jakarta. Kata dia, orang Papua diibaratkan binatang buruan.

“Kapan saja dan di mana saja, tanpa bersalah bisa tewas ditembak dengan alat negara. Jika kondisi ini dibiarkan berlangsung lama, orang Papua akan punah,”

kata Ogetai. (Mateus Badii/MS)

Mateus Badii | Selasa, 13 Januari 2015 22:18,MS

Sudah Jelas: Pdt . Albert Yoku itu Gembala Berbulu Serigala

Menanggapi berbagai kasus penembakan dan tanggapan yang datang dari berbagai pihak, PMNews menyempatkan diri menelepon langsung Panglima Tertinggi Komando Revolusi Tentara Revolusi West Papua, Gen. TRWP Mathias Wenda di Markas Pusat Pertahanan (MPP). Berbagai tanggapan dari dalam negeri dan luar negeri disampaikan. Gen. Wenda terfokus kepada berbagai tanggapan secara rentetan yang disampaikan oleh Ketua Sinode GKI Papua, Pdt. Albert Yoku. Secara langsung Gen. Wenda nyatakan,

Jangan tanyakan saya komentari semua tanggapan, saya mau nyatakan kepada orang Papua semua, baik gembala ataupun domba-domba di seluruh dunia, bahwa Pdt. Albert Yoku itu Serigala berbulu Domba, Gembala yang ditugaskan untuk mengamankan pembunuhan oleh sang serigala. Saya yakin, semua domba dalam pengembalaannya hari ini tidak sejahtera melihat sang Gembala berbulu Serigala terlibat politik praktis NKRI. Sangat memalukan. Dulu Gembala dari Gereja lain yang jadi serigala, sekarang GKI yang jadi serigala. Memalukan.

Berikut petikan wawancara.

PMNews: Selamat pagi dan selamat atas kesuksesan peristiwa bersejarah dalam perjuangan bangsa Papua yang baru-baru berakhir di Vanuatu, di mana Sdr. Okto Motte terpilih menjadi Sekjend, dan Sdr. Benny Wenda menjadi Jurubicara perjuangan Papua Merdeka.

TRWP: Selamat pagi. Saya perbaiki dulu pernyataan Anda. Okto Motte dan Benny Wenda itu tidak dipilih untuk perjuangan Papua Merdeka saja, tetapi tujuan utama ialah menyatukan semua bangsa Papua, ras Melanesia, baik yang ada di dalam negeri, yang ada di rimba, yang ada di luar negeri, dan di mana-pun. Kita semua punya. Jadi, bapak kasih nama itu organ dengan nama “Payung Identitas”. Itu payung identitas. Bapak sebenarnya sedikit tidak setuju dengan nama yang mereka kasih, karena tujuan payung itu bukan untuk memecah-belah ras Melanesia, tetapi tujuannya untuk menyatukan orang Papua Merah-Putih, orang Papua Bintang Kejora, orang Papua Bintang Empatbelas, orang Papua Bintang apa saja semua bersatu menjadi orang Melanesia dan datang kepada Indonesia dan MSG untuk melamar menjadi anggota MSG.

Jadi, organisasi yang berjuang untuk merdeka dari NKRI itu sudah ada, tidak diganti, tidak dirubah, tidak dilebur, tidak disatukan. Semua ada di tempat masing-masing, dengan tugas masing-masing.

Sekali lagi, mari orang Melanesia bersatu, mari NKRI kalau bilang NKRI hadir untuk memajukan Papua maka mari berikan fasilitas negara dan perlindungan kepada semua orang di Parlemen Nasional West Papua, Majels Rakyat Papua, DPRP yang ada di dua provinsi NKRI. Jokowi jangan hanya jago kandang, Jokowi saya tantang berani bermain di politik regional dan internasional secara laki-laki. Jangan hanya berani menjinakkan Prabowo waktu selesai Pemilu, sekarang buktikan permainan yang dinantikan orang Indonesia dengan memberikan fasilitas dan perlindungan kepada semua orang Papua di manapun kami berada untuk mendaftarkan diri menjadi anggota MSG.

PMNews:Fokus pertanyaan kami sebenarnya tadi terkait dengan pernyataan dan tanggapan dari berbagai pihak terhadap peristiwa pelanggaran HAM yang dilakukan NKRI di Tanah Papua pada kahir tahun ini.

TRWP: Jangan tanyakan saya komentari semua tanggapan, saya mau nyatakan kepada orang Papua semua, baik gembala ataupun domba-domba di seluruh dunia, bahwa Pdt. Albert Yoku itu Serigala berbulu Domba, Gembala yang ditugaskan untuk mengamankan pembunuhan oleh sang serigala. Saya yakin, semua domba dalam pengembalaannya hari ini tidak sejahtera melihat sang Gembala berbulu Serigala terlibat politik praktis NKRI. Sangat memalukan. Dulu Gembala dari Gereja lain yang jadi serigala, sekarang GKI yang jadi serigala. Memalukan.

Dulu saya say Herman Saut dan Ketua Sinode sebelumnya tidak sejahat gembala ini. Saya heran ini instruksi dari Ondoafinya Fransalbert Joku atau ini instruksi dari NKRI langsung. Ini mengindikasikan campurtangan Indonesia ke dalam sistem penggembalaan jemaat di Tanah Papua sangat kental. Kemarin-kan gereja lain yang dikekang, sekarang GKI yang dikekang.

Saya ini gembala, saya bukan gembala gereja, tetapi gembala perjuangan sebuah bangsa terjajah, jadi saya tahu saat serigala muncul bagaimana para domba berikan reaksi. Pasti Tuhan sedih melihat ini. Kemarin Tuhan sedih karena Serigala berbulu Gembala ada di gereja lain, sekarang Tuhan sedih kembali karena ada di dalam gereja GKI.

PMNews: Ini tuduhan sangat langsung dan antara sesama gembala apakah ini tidak membahayakan penggembalaan Bapak sebagai gembala dengan Pdt. Yoku sebagai gembala?

TRWP: Pdt. Yoku tidak memiliki sifat Yesus, Sang Gembala Agung. Saya pimpin perjuangan ini sebagai Panglima Tertinggi Komando Revolusi tetapi saya tunduk kepada Panglima Agung saya, Yesus Kristus sebagai Tokoh Revolusioner Semesta Sepanjang masa. Apakah Pdt. Yoku tunduk kepada Sang Gembala Agung? Mana buktinya?

Kenapa NKRI yang bunuh rakyat tidak pernah dia kutuk? Rakyat Papua membalas kebrutalan NKRI, malah dia kutuk? Ingat, kutuk itidak boleh dikeluarkan sembarang, apalagi oleh sang gembala jemaat Tuhan, apalagi yang menjadi korban ialah orang Papua. Sang gembala harus tahu siapa yang menjadi korban dalam kasus-kasus di Tanah Papua.

Gembala Jemaat harus tahu dalam kasus hubungan NKRI-Papua ini siapa yang dikorbankan dan siapa yang mengorbankan; siapa yang menjadi serigala dan siapa yang menjadi gembala, siapa yang memangsa dan siapa yang dimangsa. Jangan marah kepada domba yang lari ke jurang lalu serigala ikut jatuh ke jurang lalu dibilang saya kutuk domba jatuh ke jurang karena itu menyebabkan serigala juga jatuh ke jurang. Ini gembala jahat! Saya tahu Tuhan sama-sama dengan saya, saya tahu Tuhan tidak senang melihat gembalanya disulap jadi serigala untuk kepentingan politik penjajah.

PMNews: Sulit Pada posisi sulit dalam hal ini, karena ….

TRWP: Stop dulu, kalian takut karena takut kepada Pdt., bukan? Jangan takut kepada Pendeta kalau dia sudah jelas menjadi serigala. Takutlah kepada Tuhan yang punya jemaat, yang telah bangun kerajaan di Tanah Papua, yang menamai Tanah ini sebagai Tanah Surgawi, Bumi Cenderawasih. Jangan main-main di atas tanah ini. Semua yang bermain-main akan lenyap. Tanah ini akan mengatasi mereka.

PMNews: Kami tertarik dengan serigala berbulu domba yang dulu, yang sudah diganti kata Bapak?

TRWP: Itu sudah bukan saatnya disebut, tidak perlu dibahas.

PMNews: Baik. Terimakasih banyak. Kami akan tanyakan besok tentang pernyataan Bapak di awal tadi tentang penangangkatan Motte dan Wenda. Untuk sekarang sekian dulu.

TRWP: Ya, baik. Terimakasih.

Kami Siap Berperang Dengan Indonesia Kapan Saja

Aksi lilin untuk Papua. ©2012 Merdeka.com/imam buhori

Merdeka.com – Kalau dihitung sejak Penentuan Pendapat Rakyat 1969, Papua sudah 45 tahun bergabung dengan Indonesia. Sejak itu pula konflik berdarah terus membekap Bumi Cendrawasih.

Tokoh Papua sekaligus Menteri Luar Negeri Federasi Papua barat Jacob Rumbiak menegaskan kesabaran rakyat Papua ada batasnya.

“Kami terlalu yakin dalam waktu tidak lama akan ada perlawanan bersenjata besar-besaran oleh rakyat Papua,”

katanya saat dihubunginya melalui telepon selulernya kemarin sore.

Berikut penuturan Jacob Rumbiak kepada Faisal Assegaf dari merdeka.com.

Tadi Anda bilang OPM bisa melawan kalau darurat militer ditetapkan. Siapa melaih dan memasok senjata bagi OPM?

Yang jelas bukan saja OPM tapi juga rakyat Papua sudah siap melawan. Rakyat sudah siap bertindak. Kekuatan OPM tidak seberapa, tapi rakyat dan mahasiswa sudah berada di garis depan bukan di hutan lagi. Sekarang mahasiswa asal Papua di Jakarta, Yogya, Bandung, Surabaya, dan kota-kota lain sudah menuntut kemerdekaan.

Jadi kapan OPM bakal menyatakan perang terhadap Indonesia?

Saya tidak tahu itu kapan, tapi saya terlalu yakin perlawanan dalam skala besar pasti datang, ditambah lagi pendekatan militer dilakukan Indonesia bertambah besar.

Perlawanan rakyat waktunya tidak bisa saya tentukan, tapi kekuatan diplomatik, politik, intelijen dan militer sudah terbangun rapih. Kami berpikir penyelesaian secara damai itu penyelesaian sangat bermartabat.

Menggunakan cara militer merupakan cara terakhir. Kami terlalu yakin dalam waktu tidak lama akan ada perlawanan bersenjata besar-besaran oleh rakyat Papua.

Tapi Anda setuju kalau tidak ada perlawanan bersenjata besar-besaran tidak bakal dapat perhatian masyarakat internasional?

Ini kan masih melihat situasi. Rakyat sipil Papua sangat besar jumlahnya, ini butuh pertimbangan. Jadi jangan ada pengorbanan besar dari mereka. Itu juga jadi perhitungan pribadi buat rakyat Papua merdeka untuk tidak melakukan kejahatan dalam melakukan revolusi.

Tapi Anda sudah melihat pemerintah berencana melakukan pendekatan militer. Kenapa OPM masih berdiam diri?

Sabar dan terus menggunakan cara-cara damai sedang kami dorong. Kami melihat isu global sangat alergi dengan perang. Kami harus hati-hati karena teroris hampir mirip dengan isu global. Kami harus hati-hati menghadapi pendekatan militer. Kami tidak mau dicap teroris.

Artinya OPM belum siap berperang dengan Indonesia?

Kami melihat ada batas kesabaran juga sehingga kita berusaha melakukan pendekatan lagi. Saya berharap awal tahun depan ada komite khusus diatur dari luar ke dalam. Kami sudah melakukan pendekatan secara khusus, mendesak pihak luar menjadi pendengar sebelum kami bertindak.

Kapan batas waktunya diberikan karena korban sipil terus berjatuhan?

Yakinlah, sabar adalah subur dan sehat. Masih ada waktu buat kami terus melakukan pendekatan bermartabat dan waktu kami terbatas.

Jadi OPM belum siap berperang dengan Indonesia?

Sebenarnya sudah siap, tapi kami tidak tahu waktunya, mungkin tahun depan. Yang jelas pihak Papua sudah siap sekali. Kami masih terus melakukan pendekatan sangat bermartabat, kami coba dulu.

Seberapa siap? Atau ini cuma sesumbar doang buat menjaga semangat untuk merdeka?

Kami sudah sangat siap dari sisi militer. Persiapan kami sudah cukup bisa hadapi militer Indonesia, tapi kami lihat itu bukan sebuah solusi cepat. Saya harap pihak Indonesia sudah bisa melihat kaki Papua suah siap kapan saja.

Bisa jelaskan kesiapannya dengan persenjataan lengkap militer?

Kami sedang dalam semangat dan momentum tepat. Kami ini mengalami kebijakan salah. Sekarang masyarakat internasional merasa bersalah memasukkan Papua ke tempat salah.

Jadi momentum perlawanan bersenjata besar-besaran perlu menunggu hingga 2019, bertepatan dengan setengah abad Papua bergabung dengan Indonesia sejak pepera 1969?

Saya pikir itu terlalu lama,

Kapan perlawanannya jika itu terlalu lama?

Kekuatan lain itu (militer) siap tapi tidak mungkin saya katakan soal itu. Kami melakukan persiapan bersenjata. Kami telah memutuskan harus menyeselaikan konflik politik di Jakarta dengan internasional secara damai.

Keputusan penyelesaian Papua ada di tangan para pemimpin. Saya tidak bisa mendahului keputusan para pemimpin tinggi buat menyelesaikan konflik Papua secara damai. Walau menderita, ada kucuran darah dan air mata, penderitaan terlalu hebat, kami ahrus menunjukkan kami tetap berkomitmen menyelesaikan permasalahan ini dengan cara damai.

Kalau nanti dengan cara cara damai tidak bisa nanti, baru kami menggunakan cara militer. Sekarang kami masih mencoba untuk beberapa tahun ke depan.

Jadi tenggat penyelesaian damai hingga 2019?

Bisa terlalu lama, mungkin juga bisa terlalu cepat. Harusnya lebih cepat lebih baik, bisa saja tahun depan atau 2019. Kami belum bisa pastikan. Tapi kami ingin kalau merdeka nanti kami tidak ingin rakyat Papua mencap Indonesia sebagai negara penjajah.

[fas],Jumat, 12 Desember 2014 11:39,merdeka.com

Up ↑

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny

Melanesia Web Hosting

Melanesia Specific Domains and Web Hosting

Sem Karoba Tawy

Patient Spectator of the TRTUH in Action

Melanesia Business News

Just another MELANESIA.news site

Sahabat Alam Papua (SAPA)

Sahabat Alam Melanesia (SALAM)

Melanesian Spirit's Club

Where All Spirit Beings Talk for Real!

Breath of Bliss Melanesia

with Wewo Kotokay, BoB Facilitator

Fast, Pray, and Praise

to Free Melanesia and Melanesian Peoples from Satanic Bondages