Upaya Amerika dan Indonesia atas Pendudukan West Papua

Anda harus memberitahu [Soeharto] bahwa kita memahami masalah yang mereka hadapi untuk Irian Barat,” kata penasihat keamanan nasional Henry Kissinger kepada Presiden Nixon tepat akhir bulan Juli 1969, saat kunjungan Nixon ke Indonesia.

Suharto dan Nixon. – (Arsip Chicago Tribune, 28 Juli 1969)

Pada peringatan ke-35 Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) yang juga disebut “Act of Free Choice” di Papua Barat dan pemilihan presiden Indonesia pertama yang langsung, National Security Archive memposting dokumen dideklasifikasi pada pertimbangan kebijakan kontroversial Amerika Serikat yang mengarah ke aneksasi Papua ke Indonesia pada tahun 1969. Dokumen-dokumen rinci dukungan Amerika Serikat untuk pengambilalihan Papua ke Indonesia, meskipun banyak oposisi asli Papua dan mendapatkan persyaratan PBB untuk menentukan nasib sendiri.Latar Belakang

Ketika Indonesia merdeka (diakui) dari Belanda pada tahun 1949, pemerintah Belanda mempertahankan kontrol atas wilayah West New Guinea. Dari tahun 1949 sampai 1961 pemerintah Indonesia berusaha untuk “merebut” West New Guinea (kemudian dikenal sebagai Irian Barat atau Papua Barat), dengan alasan bahwa wilayah, bagian dari bekas Hindia Belanda seharusnya jadi milik Indonesia.

Pada akhir tahun 1961, setelah berlulang kali gagal (diplomasi) untuk mengamankan tujuan (merebut Papua) di PBB, Presiden Indonesia Soekarno mengumumkan mobilisasi militer dan mengancam akan menyerang West New Guinea dan mencaplok dengan paksa. Pemerintahan Kennedy, takut jika AS menentang tuntutan Indonesia mungkin bisa saja mendorong negara itu ke arah komunisme, pembicaraan pun berlansung yang ditengahi AS antara Belanda dan Indonesia pada musim semi 1962 (New York Agreement). Negosiasi berlangsung di bawah bayang-bayang serangan militer yang sedang berlangsung Indonesia ke West New Guinea/Papua dan ancaman invasi Indonesia.

Pembicaraan yang ditengahi AS yang kemudian dikenal dengan Perjanjian New York, dilakukan pada Agustus 1962 , yang akhirnya dalam perjanjian tersebut memutuskan Indonesia diberikan kendali ke atas West New Guinea (yang segera berganti nama Irian Barat) setelah masa transisi singkat diawasi oleh PBB. (Catatan 1) Perjanjian wajib untuk Jakarta adalah melakukan pemilihan pada penentuan nasib sendiri dengan bantuan PBB paling lambat tahun 1969. Selama dibawah pengawasan Indonesia, dengan cepat militer menekan/membasmi perbedaan pendapat politik dari kelompok-kelompok asli Papua yang menuntut kemerdekaan langsung untuk wilayah tersebut.

Para pejabat AS sejak awal memahami bahwa Indonesia tidak akan pernah membiarkan Irian Barat untuk menjadi mandiri dan bahwa tidak mungkin akan pernah membiarkan tindakan penentuan nasib sendiri terjadi, dengan kepentingan untuk mengambil alih Papua. Johnson dan Nixon sama-sama enggan untuk menentang kekuasaan Indonesia atas Irian Barat, terutama setelah rezim konservatif anti-komunis Jenderal Soeharto yang mengambil alih pemerintahan pada tahun 1966, menyusul upaya kudeta yang gagal, yang menyebabkan pembantaian 500.000 orang Indonesia yang diduga Komunis. Suharto cepat pindah untuk meliberalisasi perekonomian Indonesia dan membuka pintu untuk Barat, dengan melahirkan sebuah hukum investasi asing (UU PMA) baru pada akhir 1967. Perusahaan pertama yang mengambil keuntungan dari hukum itu perusahaan tambang asal Amerika, Freeport Sulphur yang memperoleh konsesi untuk lahan yang sangat luas di Irian Barat yang mengandung cadangan emas dan tembaga. (Catatan 2)Selama enam minggu dari Juli hingga Agustus 1969, dilakukan yang disebut “Act of Free Choice.” menurut para pejabat PBB. Sesuai dengan Perjanjian New York (Pasal 18) semua orang Papua dewasa memiliki hak untuk berpartisipasi dalam tindakan penentuan nasib sendiri, dan harus dilakukan sesuai dengan praktek internasional. Sebaliknya, justru Indonesia memilih sepihak 1.025 orang Papua Barat untuk memilih publik dan secara bulat mendukung integrasi dengan Indonesia.

Meskipun bukti yang signifikan bahwa Indonesia telah gagal untuk memenuhi kewajiban internasionalnya, pada November 1969 PBB “mencatat” dari “Act of Free Choice” dan hasilnya, sehingga memberikan dukungan dari badan dunia untuk aneksasi oleh Indonesia.

Sesudah tiga puluh lima tahun PEPERA, untuk Indonesia melaksanakan pemilihan Presiden langsung, masyarakat internasional telah datang untuk mempertanyakan keabsahan pengambilalihan Jakarta atas Papua Barat dan pelanggaran hak asasi manusia yang sedang berlangsung di sana. Pada bulan Maret, 88 anggota Parlemen Irlandia mendesak Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan untuk meninjau peran PBB di tahun 1969 dalam PEPERA, dalamnya tergabung Uskup Agung Afrika Selatan Desmond Tutu dan sejumlah organisasi non-pemerintah dan anggota parlemen Eropa. Pada tanggal 28 Juni 2004, sembilan belas Senator AS mengirim surat kepada Annan mendesak penunjukan Perwakilan Khusus untuk Indonesia untuk memantau situasi hak asasi manusia di Papua Barat dan wilayah Aceh.

Dokumen

Dalam arsip ini termasuk sebuah rahasia, Februari 1968 sebuah telegram dari Duta Besar AS untuk Indonesia Marshall Green. Setelah percakapan dengan Menteri Luar Negeri Indonesia Adam Malik tentang situasi di Irian Barat, Green menyimpulkan bahwa kondisi di wilayah itu adalah “jauh dari memuaskan dan memburuk.” Telegram berikutnya melaporkan bahwa “Indonesia terlambat dan hampir putus asa mencari untuk mengembangkan dukungan di antara masyarakat Irian Barat” untuk “Act of Free Choice.”

Perjalanan seorang konsuler untuk Irian Barat pada awal 1968 mengamati bahwa “pemerintah Indonesia mengarahkan upaya utama” di wilayah itu untuk “mempertahankan alat politik yang ada dan menekan perbedaan pendapat politik.” Karena kelalaian, korupsi dan penindasan di tangan pihak berwenang Indonesia, hampir semua pengamat Barat mengatakan bahwa “Indonesia tidak bisa memenangkan pemilihan terbuka” dan bahwa sebagian besar penduduk Irian Barat lebih menyukai akan kemerdekaan.

Pada bulan Juli 1968, Duta Besar PBB yang ditunjuk, Fernando Ortiz Sanz tiba di Jakarta sebagai Sekretaris Jenderal Perwakilan Khusus untuk membantu Indonesia dalam pelaksanaan plebisit Irian Barat, seperti yang disebut dalam Perjanjian 1962 New York.

Sebuah telegram rahasia dari Kedubes AS ke Departemen Luar Negeri menguraikan pertaruhan di “Act of Free Choice” mendatang. Memperingatkan bahwa pemerintah AS “tidak harus terlibat langsung dalam masalah ini,” Duta Besar Green khawatir bahwa Ortiz Sanz atau anggota PBB lainnya mungkin “bertahan untuk pemilu yang bebas dan langsung” di Irian Barat, Indonesia berniat untuk mempertahankan wilayah tersebut karena telah memakan biaya tak sedikit dan bisa frustasi.

Akibatnya, pejabat AS dan Barat lainnya khawatir untuk bertemu dengan Ortiz Sanz, untuk “membuat dia sadar realitas politik.” Dalam telegram rahasia pada Oktober 1968 Kedubes AS melaporkan dengan lega bahwa Ortiz sekarang “mengakui bahwa itu akan menjadi tak terbayangkan dari sudut pandang kepentingan PBB, serta Pemerintah Indonesia, selain hasil kelanjutan dari Irian Barat dalam kedaulatan Indonesia harus muncul.”

Pemerintah Indonesia dengan tegas menolak kemungkinan satu orang, plebisit satu-suara di Irian Barat, bersikeras tidak karena telah memilih “perwakilan” lokal dengan lebih dari 1.000 pemimpin suku (dari perkiraan populasi 800.000), akhirnya dilakukan pada bulan Juli tahun 1969 dibawah pengawasan 6,000-10,000 tentara Indonesia yang tersebar di seluruh wilayah. Dalam sebuah telegram dari Kedubes AS pada Juli 1969 menyatakan:

Act of Free Choice (AFC) di Irian Barat sedang berlangsung seperti tragedi Yunani, kesimpulan yang dapat dipastikan. Protagonis utama, pemerintah Indonesia, tidak dapat dan tak akan mengizinkan resolusi selain memasukan Irian Barat ke Indonesia. Kegiatan pembangkang cenderung meningkat namun angkatan bersenjata Indonesia akan mampu meminimalisir dan, jika perlu.., mereka menekannya.

Duta Besar Frank Galbraith mencatat pada tanggal 9 Juli 1969, yang pelanggaran di masa lalu telah mendorong sentimen intens anti-Indonesia dan pro-kemerdekaan di semua golongan masyarakat Irian, menunjukkan bahwa “mungkin 85 sampai 90%” dari penduduk “yang menyebabkan bersimpati dengan Papua Merdeka.” Selain itu, Galbraith mengamati, operasi militer baru-baru ini Indonesia, yang mengakibatkan kematian ratusan, mungkin ribuan warga sipil, “telah menyebakan ketakukan dan rumor genosida terhadap orang Irian.”Presiden Nixon dan penasihat keamanan nasional Henry Kissinger mengunjungi Jakarta pada Juli 1969 saat “Act of Free Choice” sedang berlangsung. Meningkatkan hubungan dengan rezim otoriter di Indonesia jelas paling penting dalam pikiran Kissinger, yang menandai Suharto sebagai “orang militer moderat … berkomitmen untuk kemajuan dan reformasi.” Dalam dokumen rahasia Nixon pengarahan (Dokumen 9 dan Dokumen 10) kunjungan Kissinger untuk mengatakan kepada Presiden datar “Anda tidak harus menaikkan isu” Irian Barat dan berpendapat “kita harus menghindari, AS mengindikasi tidak terlibat tindakan itu.” Gedung Putih biasanya tidak menentukan posisi ini selama periode sebelum dan sesudahnya “Act of Free Choice.”

Meskipun mereka mengakui kelemahan dalam dalam UU dan niat Indonesia, para pejabat AS tidak tertarik dalam menciptakan masalah untuk rezim Suharto mereka melihat sebagai non sejajar tapi pro-Washington. Sementara AS tidak bersedia untuk secara aktif campur tangan atas nama Indonesia (Untuk sebuah aksi mereka berpikir tidak perlu kontraproduktif) di PBB untuk memastikan penerimaan Majelis cepat Umum pengambilalihan resmi di Indonesia Papua Barat, AS diam-diam menandakan bahwa itu tidak tertarik pada perdebatan panjang atas masalah itu dipandang sebagai kepastian dan didiamkan untuk kepentingan AS. Dalam sebuah memo pengarahan rahasiah untuk pertemuan dengan Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat Soedjakmoto, seorang pejabat Departemen Luar Negeri mengungkapkan keyakinan bahwa kecaman internasional dari “Act of Free Choice” cepat akan memudar, yang memungkinkan Administrasi Nixon untuk bergerak maju dengan rencana untuk menempa lebih dekat hubungan militer dan ekonomi dengan rezim otoriter di Jakarta.Dokumen-Dokumen

Dokumen 1

29 Februari 1968
Perihal: Irian Barat
U. S. Kedutaan Besar di Jakarta, Telegram Rahasia

Duta Besar AS untuk Indonesia, Marshall Green melaporkan percakapan dengan Menteri Luar Negeri Indonesia Adam Malik di Irian Barat. Malik menunjukkan kemungkinan mengurangi lebih dari 10.000 tentara Indonesia di Irian. Dia juga mengisyaratkan Indonesia akan bersikeras pada cara tidak langsung untuk memastikan keinginan penduduk wilayah pada tahun 1969, mungkin mengandalkan para pemimpin suku yang dapat diinduksi dengan “nikmat bagi mereka dan suku mereka.” Marshall Green mengungkapkan keprihatinan tentang situasi “memburuk”.

Dokumen 2

2 Mei 1968

Perihal: Irian Barat
U. S. Kedutaan Besar di Jakarta, Telegram Rahasia Duta Besar AS untuk Indonesia Marshall Green, melaporkan percakapan dengan Menteri Luar Negeri Indonesia Adam Malik, di mana Malik menguraikan beberapa langkah Jakarta melakukan dalam upaya untuk membangun dukungan di kalangan rakyat Irian Barat untuk bergabung dengan Indonesia.

Dokumen 3

10 Mei 1968
Perihal: Perjalanan Konsuler ke Irian Barat
U. S. Kedutaan Besar di Jakarta, Airgram RahasiaPada bulan Januari 1968, Konsultan Politik Kedutaan, Thomas Reynders kunjungan Irian Barat selama satu bulan. Reynders mengamati tingkat pembangunan ekonomi yang relatif rendah di wilayah ini sejak Indonesia mengambil alih kontrol pada tahun 1962, mencatat bahwa “kehadiran pemerintah Indonesia di Irian Barat dinyatakan terutama dalam bentuk Angkatan Darat.” Reynders menyimpulkan, seperti yang telah pengamat Barat hampir semua, bahwa “Indonesia tidak akan menerima Kemerdekaan untuk Irian Barat dan tidak akan mengizinkan plebisit yang akan mencapai hasil seperti itu” dan catatan antipati “atau diyakini memendam kebencian langsung terhadap Indonesia dan itu terjadi Indonesia dengan Orang Irian Barat di daerah yang relatif maju. ”

Dokumen 4

20 Agustus 1968
Subject: “Act of Free Choice”
U. S. Kedutaan Besar di Jakarta, Telegram Rahasia

Duta Besar AS Marshall Green menyatakan “Act of Free Choice” di Irian Barat “Mungkin juga isu politik yang paling penting di Indonesia selama tahun mendatang.” Catatan Bahasa Indonesia “dilema” dalam mencari “merancang beberapa cara untuk melakukan pemastian bermakna yang tidak akan melibatkan resiko yang nyata kehilangan Irian Barat.” Green mengingatkan Departemen Luar Negeri, dalam mendorong pendekatan tangan-off oleh AS, bahwa “kita berhadapan dengan usia batu dasarnya, kelompok-kelompok suku buta huruf” dan bahwa “pemilihan umum yang bebas di antara kelompok-kelompok seperti ini akan lebih dari lelucon, dari pada Indonesia merancang mekanisme yang curang. ”

Dokumen 5

4 Agustus 1968
Perihal: “Act of Free Choice” di Irian Barat
U. S. Kedutaan Besar di Jakarta, Telegram Rahasia

Marshall Green menulis kepada Sekretaris Asisten Wakil Negara Asia Timur dan Pasifik G. McMurtry Godley mengungkapkan keprihatinan atas pandangan Perwakilan Khusus PBB untuk Irian Barat Ortiz Sanz. Green merekomendasikan bahwa “dalam pandangan taruhan tinggi … kita harus melakukan apapun yang kita dapat secara tidak langsung untuk membuatnya menyadari realitas politik” mengenai niat Indonesia terhadap Irian Barat.

Dokumen 6

4 Oktober 1968
Perihal: Irian Barat
U. S. Kedutaan Besar di Jakarta, Airgram Rahasia

Politik Kedutaan Konsul Jack Lydman menjelaskan hasil kunjungan terakhir Ortiz Sanz untuk Irian Barat dan menegaskan bahwa Sanz sekarang “mencoba untuk merancang rumus untuk” tindakan pilihan bebas “di Irian Barat yang akan mengakibatkan penegasan kedaulatan Indonesia” belum “bisa bertahan dalam ujian, opini internasional.”

Dokumen 7

9 Juni 1969
Perihal: Penilaian dari situasi Irian
U. S. Kedutaan Besar di Jakarta, Telegram Rahasia

Kedutaan menyimpulkan dengan kepedulian kepada “hubungan Indonesia masa depan dengan orang Irian,” banyak dari mereka menampilkan “antagonisme bernanah dan ketidakpercayaan terhadap Indonesia.”

Dokumen 8

9 Juni 1969
Perihal: Irian Barat: The Nature of Oposisi
U. S. Kedutaan Besar di Jakarta, Airgram Rahasia

Galbraith menawarkan penilaian rinci dari pandangan berbagai kelompok Irian menentang integrasi dengan Indonesia dan kemerdekaan advokasi, termasuk Gerakan Papua Merdeka (OPM). Dia mengamati bahwa “oposisi terhadap Pemerintah berasal dari kekurangan ekonomi selama bertahun-tahun, represi militer dan ketidakteraturan, dan maladministrasi,” dan menunjukkan bahwa kelompok-kelompok anti-Indonesia akan mampu mengubah hasil akhir dari “Act of Free Choice.”

Dokumen 9 dan 10

10 Juni dan 18 Juli 1969
Perihal: Kunjungi Jakarta : Pertemuan Anda dengan Presiden Suharto
Henry Kissinger, Memorandum untuk Presiden

Penasihat keamanan nasional Henry Kissinger bersama Presiden Nixon pada kunjungannya ke Indonesia dan percakapan dengan Presiden Indonesia Soeharto. Kissinger berpendapat bahwa tidak ada bunga AS untuk terlibat dalam masalah Irian Barat dan bahwa itu adalah orang-orang tertentu yang akan memilih integrasi dengan Indonesia. Dalam beberapa waktu Nixon sempat hendak berbicara, namu Kissinger mendesak agar Presiden menahan diri dari mengangkat isu, untuk dicatat simpati dari AS dalam kekhawatiran Indonesia.

Dokumen 11

25 Agustus 1969
Perihal: Panggilan oleh Duta Besar Indonesia Soedjakmoto

A.S. Departemen Luar Negeri, Nota Rahasia

Paul Gardner, Asisten Menteri Luar Negeri dan Marshall Green bertemu Duta Besar Indonesia untuk AS, Soedjakmoto yang membahas jika Indonesia akan meminta bantuan dari AS dalam “mempersiapkan kelancaran penanganan PBB” dari “Act of Free Choice” di Majelis Umum PBB.

Catatan:

Untuk gambaran mendetail tentang kejadian sebelum dan sesudah Perjanjian New York, Baca: Jones, Matthew. Conflict and Confrontation in Southeast Asia, 1961-1965: Britain, the United States, Indonesia and the Creation of Malaysia (Cambridge: Cambridge Press, 2002): Hal 31-62; C.L.M. Penders. The West New Guinea Debacle: Dutch Colonization and Indonesia, 1945-1962 (Hawaii, 2002); John Saltford. The United Nations and the Indonesian Takeover of West Papua, 1962-1969 (Routledge, 2003).
Denise Leith. The Politics of Power: Freeport in Suharto’s Indonesia (Hawaii, 2003).
Artikel ini sudah dipublikasikan di website pacebro.com

Sumber: National Security Archive

Suara Papua:
https://suarapapua.com/2017/08/10/upaya-amerika-dan-indonesia-atas-pendudukan-papua/

Share this:

Kongres ke-I di Sentani Bagian dari Faksi Baru, Presiden ULMWP: Tidak Ada Kaitannya dengan Kami

TRIBUN-PAPUA.COM,JAYAPURA – Badan Eksekutif United Liberation Movement For West Papua (ULMWP) melalui Presiden Eksekutif ULMWP, Manasye Tabuni mengatakan, Kongres-I yang digelar di Sentani, Kabupaten Jayapura, bukan kegiatan ULMWP, melainkan bagian dari kegiatan faksi gerakan masyarakat Papua untuk membahas pemerintahan sementara.

“Kami melihat ini sebagai kegiatan faksi baru yang muncul yang dilakukan oleh PNPB yang dimunculkan oleh Tuan Benny Wenda melalui pemerintahan sementara,” ungkap Manasye Tabuni saat mengelar jumpa pers di Waena, Senin, (20/11/2023).

Manasye Tabuni berharap faksi baru tersebut kedepannnya bisa bergabung sebagai faksi pergerakan rakyat dalam honai besar ULMWP.
“Silahkan saja (Panitia Kongres I) ini merupakan hak politik mereka dan merupakan bagian dari demokrasi untuk perjuangan ke depan, tapi ULMWP sudah mengelar KTT II secara sah,”terangnya sembari menunjukan hasil KTT II beserta ringkasan Undang- Undang ULMWP.

Manasye Tabuni juga menyebut, bahwa ULMWP juga telah melakukan KTT kedua setelah deklarasi Saralena 2014 di Vanuatu.

“Puncak di mana gerakan Papua merdeka bersatu di sana. Setelah itu semua pimpinan melakukan kongres pertama 2017 dan 2023. Ini Kongres ke- II, seharusnya KTT yang kedua ini digelar pada 2020 tetapi karena Covid-19, maka legislatif dari tiga pendiri ini bersepakat untuk memperpanjang jabatan Tuan Benny Wenda sampai Covid berakhir, dan mempersiapkan amandemen konstitusi yang akan ditetapkan pada KTT II,”beber dia.

Masih dikatakan Manasye Tabuni, hal yang terjadi di luar kesepakatan ULMWP adalah Beny Wenda mendeklarasikan pemerintahan sementara saat pandemi Covid-19 itu.

“Jadi KTT II kemarin kami pertanyakan itu juga, tapi mereka mengatakan bahwa undang-undang itu tidak terjadi dan dalam komisi konstitusi, mereka juga menghapus pemerintahan sementara, ada dua komisi program dan konstitusi,”terangnya.

Saat itu, sebagai pemimpin sidang Ediaon Waromi dan Buktar Tabuni.

Dinamika berjalan dengan baik kendati ada riak-riak tetapi berhasil dengan sebuah konsensus.

“Jadi aksi yang dilakukan oleh sejumlah pihak menggelar Kongres ke-I ini merupakan bagian dari faksi pemerintahan sementara yang pada saat KTT II sudah tidak disahkan undang undang pemerintahan sementara,”ujar Manasye Tabuni.

“Dalam UUD ULMWP pada alinea terakhir tentang peralihan, semua konstitusi yang sudah berlaku sebelumnya tidak berlaku lagi. Jadi kami pikir sudah selesai di KTT dari semua kesepakatan bersama,” katanya.
Baca juga: Aksi Massa di Jayapura, Rakyat Papua Tuntut Deklarator ULMWP Soal Konstitusi dan Kontroversi MSG

Sebagai anggota eksekutif, Manasye Tabuni menilai kongres tersebut merupakan kegiatan pemerintah sementara yang mungkin saja akan menjadi faksi baru sendiri.

“Ini sebenarnya agenda pemerintahan sementara bukan ULMWP. Karena kalau mereka jalan dengan pemerintahan sementara masyarakat tidak akan datang, Jadi mereka memakai ULMWP untuk menarik masyarakat (datang),” tegasnya.

Selain itu, sikap yang dilakukan pada Kongres I ini jelas di luarkesepakatan KTT ke-II.

“Hal ini juga mereka sedang merusak eksistensi perjuangan bangsa Papua, karena ULMWP dibuat bukan untuk bersenang-senang atau mengisi jabatan tetapi tujuannya adalah menyelesaikan penderitaan rakyat dan menuju kedaulatan rakyat bangsa Papua,”papar Manasye Tabuni.

“Jadi kalau dengan cara ini tidak mempertimbangkan eksistensi perjuangan rakyat Papua, dan persatuan perjuangan rakyat itu motifnya bukan sebagai pejuang.

Jangan sampai ada muatan lain atau pihak ketiga jadi banyak indikasi dan strategi,”tegasnya lagi.

“Masyarakat harus tau, kegiatan yang dilakukan Buktar, Benny dan Basoka Logo itu adalah kegiatan pemerintahan sementara sehingga masyarakat harus bedakan, karena ULMWP dibangun untuk semua kelompok perjuangan,”imbuh dia.

Lebih jelas di kawasan Pacifik yang diakui hanya ULMWP, sehingga tidak ada organisas lain yang bisa ke MSG kecuali ULMWP.

“Jika bertujuan untuk menghancurkan ULMWP maka pergerakan ini bisa saja dipertanyakan.

Siapa dibalik ini? Apakah ini mereka menghancurlan perjuangkan eksistensi rakyat Papua. Apakah betul-betul untuk mengakhiri penderitaan rakyat Papua atau mereka mau merusak perjuangan bangsa Papua. Kami berharap jangan kita merugikan perjuangan ini,”tandas Manasye Tabuni. (*)

Artikel ini telah tayang di Tribun-Papua.com dengan judul Kongres ke-I di Sentani Bagian dari Faksi Baru, Presiden ULMWP: Tidak Ada Kaitannya dengan Kami, https://papua.tribunnews.com/2023/11/20/kongres-ke-i-di-sentani-bagian-dari-faksi-baru-presiden-ulmwp-tidak-ada-kaitannya-dengan-kami?page=all&fbclid=IwAR3iXn6ZQgRfdiJxlphUvh68iAY_OrbSy6K1x1GzBHWmoQZha2ccFD9IVQc.
Penulis: Noel Iman Untung Wenda | Editor: Lidya salmah

MOBILISASI UMUM MENDUKUNG AGENDA KEANGGOTAAN PENUH

HIMBAUAN UMUM

WEST PAPUA (ULMWP) DI MELANESIAN SPEARHEAD GORUP (MSG)

Agustus 2023 – “West Papua for Full Membership MSG 2023”

Pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi pemimpin Melanesian Spearhead Group (KTT-MSG/Leader Summit) yang ditunda pada bulan Juli 2023 akan berlangsung tanggal 23-24 Agustus 2023 di Port Vila, Ibukota Negara Republik Vanuatu sebagaimana telah dikonfirmasi resmi pemerintah Vanuatu melalui Wakil Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Vanuatu yang baru, Hon. Matai Seremiah. Dalam MSG Leader Summit ini juga turut akan dihadiri oleh Presiden Pemerintah Sementara ULMWP, Hon. Benny Wenda bersama dengan delegasinya.

United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) adalah anggota MSG dengan status keanggotaannya sebagai ‘observer/pengamat’, diterima dalam Melanesian Spearhead Gorup (MSG) pada tahun 2015 di Solomon Islands.

Selang beberapa tahun, ULMWP secara maksimal melakukan lobi-lobi politik kepada negara-negara anggota tetap MSG termasuk Kanaky (FLNKS/New Caledonia) dalam rangka memperjuangkan peng-upgrade-tan status keanggotaan ULMWP dari ‘Observer Member’ menjadi ‘Full Member’, dan pada tahun 2018 melalui KTT Pemimpin MSG yang berlangsung di Port Moresby Papua Nugini, ULMWP dinyatakan telah memenuhi syarat kriteria untuk mendapat status keanggotaan penuh MSG yang selanjutnya diproses di sekretariat.

KTT-pemimpin secara tatap lama tidak terjadi hampir 5 tahun akibat pandemi Covid-19, sejak terakhir kalinya digelar di Port Moresby 2018. Pada Juli 2022 di sela-sela pertemuan retreat Pacific Island’s Forum (PIF) yang berlangsung di Fiji, para pemimpin MSG bertemu dan mengadakan KTT MSG Khusus untuk dilakukan menyerahkan tonggak estafet kepemimpinan MSG dari PNG kepada Vanuatu.

Akhir Juni dan awal Juli 2023, serangkaian pertemuan MSG terjadi di Port Vila Vanuatu, yaitu pertemuan lintas pejabat senior atau Senior Official Meeting (SOM) dan tingkat Menteri Luar Negeri (Foreign Minister Meeting/FMM) dengan merumuskan sejumlah agenda untuk dibawa ke Leader’s Meeting atau KTT pemimpin yang dijadwalkan Juli 2023 namun tertunda dan dijadwalkan sekarang (23-24 Agustus 2023).

Berkaitan dengan agenda keanggotaan penuh West Papua (ULMWP) di MSG, pemerintah Vanuatu melalui Wakil Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri, Hon. Jotham Napat mengatakan pengesahan ULMWP sebagai anggota penuh MSG tidak berada di tingkat Menteri Luar Negeri, tetapi itu berada di tingkat KTT pemimpin (leaders). Pertemuan tingkat Menlu hanya membahas agenda anggaran dan persetujuannya.

Ia menegaskan, pemerintah Vanuatu sangat mendukung keanggotaan penuh ULMWP di MSG, dimana agenda ini akan dibahas di KTT sebelum diadopsi “…pengajuan ULMWP menjadi anggota penuh akan dibahas secara retret oleh Perdana Menteri MSG sebelum diadopsi. Vanuatu sangat mendukung agenda ini.” kata Napat.

Dengan dikonfirmasi nya jadwal KTT Pemimpin MSG tersebut, maka kami menghimbaukan kepada seluruh rakyat West Papua dan elemen bangsa Papua dimana pun berada untuk melakukan dukungan secara damai dan bermartabat dalam bentuk demonstrasi damai, mimbar bebas, diskusi publik, ibadah, doa dan puasa serta kampanye di jejaring media semaksimal mungkin hingga puncak KTT Pemimpin MSG.

Aksi demonstrasi damai secara nasional serentak dilakukan di tanah air West Papua (Sorong-Merauke) pada tanggal 22 Agustus 2023. Dukungan dapat dilakukan dengan Thema Central berikut: “West Papua for Full Membership MSG 2023”

Selain thema utama di atas, thema turunan atau tagar lain yang dapat digunakan: (1) West Papua for MSG (2) Full Membership for MSG (3) Melanesia is Not Free (4) Bring Back West Papua to the Melanesia Family.

Demikian himbauan umum ini kami keluarkan, atas perhatian dan kerjasamanya diucapkan terima kasih.

Port Numbay, 14 Agustus 2023

KEMENTERIAN URUSAN POLITIK
PEMERINTAH SEMENTARA UNITED LIBERATION MOVEMENT
FOR WEST PAPUA (ULMWP)

BAZOKA LOGO
MENTERI

__
WEST PAPUA for
FULL MEMBERSHIP MSG 2023!
🇻🇺🇵🇬🇳🇨🇫🇯🇸🇧 (West Papua)🔥✊🏾

WestPapua #Melanesia #MSG4WestPapua #MSG #FreeWestPapua #FreeKanaky #FreeMelanesia

Presiden Wenda Menyerukan Kepada Seluruh Rakyat West Papua Mendukung Keanggotaan Penuh di MSG

Pernyataan | Edisi, 6 Juni 2023

Kami berada di momen bersejarah bagi rakyat West Papua. Pada KTT para pemimpin Melanesian Spearhead Group (MSG) mendatang, kami sangat yakin bahwa negara-negara Melanesia akan memutuskan untuk menerima ULMWP sebagai anggota penuh Grup. Atas nama ULMWP, saya menyerukan kepada semua orang West Papua, baik di pengasingan, di balik jeruji besi [penjara], di semak-semak [hutan/rimba], atau di kamp pengungsian, untuk mendukung aplikasi kami dan berdoa untuk keberhasilannya.

Pada pertemuan hari Minggu [4 Juni 2023] di Jayapura, sayap Eksekutif, Yudikatif, dan Legislatif ULMWP bersama-sama meluncurkan kampanye kami untuk keanggotaan penuh MSG. Saya menyambut dukungan mereka: dengan ketiga cabang ULMWP berbicara, seluruh gerakan kita bersatu untuk mendukung tujuan ini. Seperti apa yang dikatakan Perdana Menteri ULMWP Edison Waromi selama pertemuan, bahwa agenda kami sekarang benar-benar terfokus pada konsolidasi dukungan untuk keanggotaan penuh.

Kami telah membuat kemajuan luar biasa selama dekade terakhir, tetapi keanggotaan penuh MSG akan menjadi kemenangan diplomatik terbesar gerakan kami. Untuk pertama kalinya, orang West Papua dapat sepenuhnya mewakili diri mereka sendiri di forum internasional. Sebagai anggota penuh, kami akan dapat duduk satu meja dengan Indonesia dan membahas status politik West Papua dengan pijakan yang setara. Indonesia seharusnya tidak perlu khawatir tentang aplikasi kami, karena mekanisme inilah yang akan memungkinkan kami mencapai solusi damai untuk masalah West Papua.

Sejak pembentukan ULMWP pada tahun 2014, masyarakat West Papua telah berdoa untuk keberhasilan realisasi tujuan tersebut. Sebagai anggota pengamat MSG, kami telah membuktikan diri sebagai anggota kelompok yang menunggu , serta bertanggung jawab dan aktif. Tetapi keanggotaan pengamat tidak memungkinkan kami untuk terlibat dengan Indonesia secara setara: kami hanya dapat berbicara dengan pelan, dengan setengah suara kami. Mencapai keanggotaan penuh, kita dapat berbicara dengan suara penuh.

Selama enam puluh tahun terakhir, kami sering merasa tidak bersuara dan sendirian saat kami berjuang melawan rasisme , pembersihan etnis, dan genosida kolonial. Semua orang West Papua tahu bahwa kita tidak aman dengan Indonesia. Tetapi agar perjuangan kemerdekaan kita dapat maju, pertama-tama kita membutuhkan dukungan dari saudara-saudari Melanesia kita. Solidaritas Melanesia ada dalam DNA MSG: sejak didirikan pada tahun 1988, MSG telah berkomitmen untuk “seluruh dekolonisasi dan kemerdekaan negara dan wilayah Melanesia.” Dan sebagai salah satu pemimpin besar Melanesia, Perdana Menteri pertama Vanuatu Walter Lini mengatakan, Melanesia tidak merdeka sampai West Papua merdeka.

Saya berharap pada KTT yang akan datang para pemimpin Melanesia mengingat tradisi yang membanggakan ini, dan bertindak dalam semangat solidaritas Melanesia ini. Keanggotaan penuh ULMWP adalah keputusan yang tepat untuk Melanesia, Pasifik, dan untuk stabilitas dan perdamaian kawasan. Setelah enam puluh tahun di hutan belantara, saatnya membawa West Papua pulang ke keluarga Melanesianya.

Karena itu saya menyerukan kepada seluruh rakyat West Papua, dari semua usia, perempuan maupun laki-laki, semua suku dan afiliasi politik, baik Anda Melanesia ataupun migran Indonesia: bersatu di belakang tujuan ini. Kami juga membutuhkan kelompok solidaritas internasional kami, organisasi agama dan masyarakat sipil Pasifik kami, termasuk Dewan Gereja West Papua, untuk mendukung permohonan kami. Keanggotaan penuh adalah jalan menuju perdamaian dan penentuan nasib sendiri. Dengan satu suara, kita semua harus berteriak: West Papua for MSG!

Benny Wenda | Presiden ULMWP

____

(https://www.ulmwp.org/president-wenda-calls-for-all-west…)

#WestPapua#Melanesia#MSG4WestPapua#MSG#FreeWestPapua#FreeKanaky#FreeMelanesia

Dr Peyon: Apakah Politik Bagi-Bagi Uang NKRI di Melanesia Berhasil?

Seru Permainan!

Dulu SBY ke PNG, Salomon dan Fiji. Retno dan Wiranto juga ke sana, dan terakhir tahun 2022 Retno ke PNG, Salomon dan Fiji. Semua bawa cek.

Tahun 2019 Wiranto umumkan akan libatkan 41 kementerian dan badan untuk bangun negara-negara Pasifik. Tahun 2019 Tantowi Yahya, Franzalbert Yoku, Nicolas Meset, dan bersama delegasi Indonesia halangi Ketua ULMWP Benny Wenda di Fiji. Indonesia bayar pesawat Fiji dan Selandia yang mengangkut delegasi KTT PIF ke Tuvalu. Benny Wenda sudah naik pesawat, tetapi pilot melarangnya naik pesawat tersebut. Akhirnya, pada hari kedua, Benny naik pesawat ke Tuvalu melalui bandara lain. Dengar hal ini, Ketua PIF saat itu dan juga presiden Tuvalu marah kepada Indonesia. Ketua PIF mengatakan negara lain di luar regional jangan datang atur kami, kami negara-negara anggota PIF mempunyai aturan sendiri, kami mengundang orang-orang kami untuk masalah regional kami.

Meskipun, 41 kementerian Indonesia mobilisasi uang dan program untuk bangun negara-negara Pasifik tahun 2019, tetapi nilai kebenaran itu tidak bisa dibeli dengan uang dan program. Hal itu terbukti, tahun tahun 2019, dalam KTT PIF di Tuvalu resmi keluarkan resolusi HAM untuk West Papua.

Presiden Jokowi sendiri terlibat dalam pengiriman makanan dan uang ke Vanuatu. Ini berbeda dari kebiasaan selama ini, dimana pengiriman bantuan dan diplomasi ke Pasifik dilakukan oleh Menlu atau Kedubes. Bantuan kali ini keterlibatan langsung dengan Presiden Jokowi, Menteri Pertahanan dan Menteri Luar Negeri.

Status ULMWP full member MSG sangat menentukan perubahan di West Papua. Hal ini menjadi alasan mendasar, bahwa presiden Jokowi terlibat langsung dalam diplomasi politik cek ekonomi ini. Mari kita saksikan, dua bulan ke depan.

Camberra Agreement atur Dekolonisasi West Papua

1 Desember 1961 dan persiapan segala atribut Negara-Bangsa West Papua adalah proses dekolonisasi West Papua sesuai dengan Camberra Agreement, tanggal 6 February 1947. Agreement ini dilakukan oleh the South Pacific Commission untuk mempersiapkan proses Dekolonisasi wilayah-wilayah yang tidak perpemerintahan di Sendiri (Non-Self-Governing Territories) di Wilayah Pasifik.

Anggota dari South Pacific Commission terdiri atas t Negara: Prancis, Inggris dan Irlandia Utara, Australia, Selandia Baru, Belanda, dan Amerika Serikat. Dimana West Papua disebutkan secara tegas dalam Agremment ini, pada Artikel II ayat 2, sebagai berikut:

“The territorial scope of the Commission shall comprise all those non-self-governing territories in the Pacific Ocean which are administered by the participating Governments and which lie wholly or in part south of the Equator and east from and including Netherlands New Guinea.”

Dalam pasal ini sangat jelas dan tegas bahwa West Papua yang disebut “Netherlands New Guinea” adalah “non-self-governing territories in the Pacific Ocean”. Implementasi agremment itu, 1 Desember 1961 deklarasi Parlemen New Guinea, Bendera, Lagu, Partai-partai politik, dan simbal negara bangsa lain. Deklarasi ini dihadiri resmi delegasi Pemerintah Inggris, pemerintah Francis, Pemerintah Australia, pemerintah Belanda, dan Pemerintah Provinsi Australia-Papua New Guinea. Kehadiran Delegasi Resmi ini adalah pengakuan resmi kemerdekaan West Papua.

Karena itu, Invasi Indonesia 1 Mei 1962 adalah ilegal. Indonesia juga tidak implementasikan One Man one Veto sesuai New York Agremment 15 Agustus 1962 pasal 18 menegaskan, Acht of Free Choice di West Papua dilakukan dengan tata cara Internasional, One Man One Vote, setiap orang Papua di atas usia 17 tahun terlibat langsung dalam referendum itu. Oleh karena itu, Resolusi 2504 tidak disahkan dan tidak resmi.

Pada artikel IX-XIV mengatur tentang Pacific Konfrence yang saat ini disebut Pacific Islands Forum (PIF), pada artikel 9 (IX) tegas mengatakan anggota dari forum ini adalah mencakup semua wilayah tak berpemerintahan sendiri yang masuk dalam Komisi Pasifik Selatan ini. Maka West Papua secara otomatis adalah anggota dari PIF dan peluang West Papua menjadi anggota PIF sangat terbuka lebar. Seperti dilakukan oleh GKI-TP Papua telah kembali di Konferensi Geraja-Gereja Pasifik sebagai pendiri sekaligus anggota, dan GKI-TP bawa tiga gereja lain di forum gereja ini yakni: GIDI, Baptis dan Kingmi.

Dengan demikian, status West Papua sampai hari ini adalah “non-self-governing territory”, yang diakui dalam Camberra Agremment itu.

The Chinese mechanic who secretly led a 40-year Melanesian revolution

By Rohan Radheya *

In 1975 when Tan Sen Thay fled his native land Indonesia he arrived in the Netherlands with just two gulden and a traditionally woven West Papuan noken bag.

The Chinese Indonesian claimed to Dutch immigration authorities that he was a senior representative of The West Papuan government, a predominantly black elite from a Melanesian province in Indonesiaʼs most Eastern federation.

Their government was on a critical stage waging a poorly equipped rebellion for independence.

“If we do not get Dutch assistance immediately, we will be wiped out,” he warned.

Tan Sen insisted that the Dutch had a moral obligation to help West Papua. After the infamous Trikora incident between the Netherlands and Indonesia in 1961, the Dutch were forced to relinquish Papua under international pressure.

In 1969, West Papua was annexed by Indonesia in a highly criticised referendum known as the Act of Free Choice.

Some 1025 tribal leaders were rounded up to vote for the political status of a population of nearly one million native Papuans while Indonesian soldiers allegedly held entire villages at gunpoint. The participants voted unanimously for Indonesian control.

Serious allegations of human rights violations would follow, including claims of war crimes and genocide committed against indigenous Papuans. Tan Sen and his comrades swore they would not accept the result of the referendum, but would continue battling Indonesia for the fate of the resource-rich island.

The Dutch government realised that by deporting Tan Sen, he would almost certainly be persecuted at return. He was granted political asylum in The Netherlands.

After first setting foot in The Netherlands, Tan Sen started working in an old garage in the Hague, just a few miles away from the Dutch Parliament.

“I then picked the Hague, the seat of the Dutch parliament because the Dutch government had a moral obligation to free my country,” he said.

The garage was a famous hotspot for producing golf cars that were nationally renowned in those days.

As a mechanic Tan Sen earned a minimum wage of 1000 gulden a month (about US$500 at the time) for working 80 hours a week. He would send the majority of his pay back to his comrades in West Papua who were launching sporadic hit and run attacks on Indonesian soldiers from the rugged forests of West Papua.

The remaining money he would wrap in a loin cloth and hide under his pillow while just surviving on simple instant noodles.

“A penny saved is a penny earned, that was my motto,” he said. After toiling for 12 years Tan Sen decided he had saved enough money to open his own gift-shop.

He named it after West Papuaʼs capital Hollandia (now named Jayapura).

His antique gift shop sold everything from imported porcelain statues and rare astrological gem stones to Confucian art paintings and cheap Chinese jewellery.

Money started to flow in and Tan Senʼs hard work began to pay off. He intensified his contributions to the Organisasi Papua Merdeka or OPM ( Free Papua Movement).

Tan Sen is still living in the Hague today, two blocks away from my home. In spring 2016 when I visited Tan Sen in the Hague he had closed his shop and converted it into his home.

Aged 92 and in perfect health, he had by then already made enough savings to secure his retirement. A wise Confucian who holds some of the best kept secrets to a lost history, Tan is still hoping one day to return to his beloved fatherland.

Warning me not to take photos and to leave my phone in the hall with my shoes, he shows me old documents that ”no one has ever seen”: old black and white photos of West Papuan guerrillas in the 1970’s, transaction data from high profile West Papuan sympathisers around the globe and testimonials from freshly joined recruits worldwide.

“Did you know that during the fall of Soeharto, one of his relatives came to us and offered us $500,000 to purchase arms?” Tan Sen asks.

I’m a little bit sceptical until he shows me records with numbers, dates, and figures relating to a foreign bank account.

He tells me that before he will die, he will send all documents to Leiden University in the Netherlands and sell them for a million euros. The profit will go to his West Papuan wife.

For years Tan Sen designed and weaved handmade uniforms, then smuggled them back to the OPM via refugee camps in areas near the border with PNG.

He would also arrange asylum for West Papuan refugees and finance their trips overseas to help them resettle in countries such as Sweden and Greece.

West Papuans who later took asylum in all corners of Europe had heard about him. In admiration at what he did for West Papua, they would address him as ‘Meneer Tan’ (Lord Tan) or ‘Bapak Tan’ (Father Tan) and send him homemade sago cakes with flowers and gifts.

If anyone wanted to join the independence movement abroad, Tan Sen was the only one mandated by the leadership of the OPM to take their oath of loyalty.

Recruits had to put their right hand on the bible, and smell the outlawed West Papuan morning star flag. If Tan Sen deemed them fit, they could join.

CONTINUE Reading HERE

Pratu Hamdan, Prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) Yonif R 321/GT ditembak mati oleh TPNPB /OPM

Pratu Hamdan, Prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) Yonif R 321/GT ditembak mati oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka (TPNPB OPM) di Distrik Yal, Kabupaten Nduga, Papua Barat pada Senin, 3 April 2023 sekitar pukul 09.20 pagi.

Hamdan mengalami luka tembak pada bagian kepala dan tewas setelah melakukan kontak senjata dengan prajurit TPNPB dibawa pimpinan Panglima Kodap III Nduga, Egianus Kogoya.

Pemerintah indonesia dibawa kepemimipinan Presiden Joko Widodo dan New Zealand ParliamentNew Zealand Government diminta untuk melakukan negosiasi dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM) sebagaimana yang telah menyandera pilot Philips Marthens warga negara New Zealand oleh TPNPB sejak 7 februari 2023 lalu untuk segera dibebaskan.

United Nations Human RightsUN GenevaUnited Nations Police – UNPOL dan semua komunitas Hak Asasi Manusia (HAM) diseluruh dunia harus ketahui bahwa konflik bersenjata di West Papua telah mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dari pihak sipil bahkan terhadap prajurit TNI/POLRI dan TPNPB sebagaimana dalam bukti dibawa ini adalah Jazad Pratu Hamdan prajurit TNI yang ditembak mati oleh TPNPB di Nduga kemarin.

Dunia internasional juga harus ketahui bahwa pilot Philips Marthens warga negara New Zealand hari ini nyawa telah terancam. Sebab, Ia berada ditengah konflik bersenjata.

Naftall Tipagau Pemerintah indonesia minta untuk melakukan perundingan dengan OPM agar nyawa pilot Philips Marthens bisa terselamatkan di wilayah konflik bersenjata di Nduga, West Papua sebab, Ia adalah warga sipil tak bersenjata yang di sandera oleh TPNPB hanya karena tak patuh atas peringatan yang dikeluarkan oleh OPM TPNPB yang menyatakan bahwa pesawat sipil dilarang masuk dalam wilayah konflik bersenjata di Nduga, Intan Jaya dan sejumlah tempat lainnya. Maka Ia ditangkap pada 7 Februari 2023 lalu hingga sekarang masih berada di hutan bersama prajurit TPNPB.

CNN Africa CNN Politics FOX Channel CNN Create CNN CoCNN AfricansCNN Politicso FOX ChannelisCNN CreateCNCNN CommunicationseaCNN Directo USAonCNN This MorningCNN Parenting CCNN WeathererCNN OpinionNNCNN en EspañolCNN BusinessnmCNNCNN InternationalUnCNN KurdiShXiCNN+ NCNN EntertainmentgiCNN State of the Unions China Xinhua News SBBC News PidginmeBBC PashtowsBBC News 中文(繁體)wsBBC World Service ABBC BurmesejaBBC News YorubackBBC News नेपाली BBBC News AfriqueBBBenjamin BurtonC black-ishBBBBC URDU BBBC News AfricaFoBBC NewsFoBBC1 BBC AmericaBBC EarthBBC News MundoFox NewsFox 11 Los Angeles

Prime Minister ULMWP Provisional Government: UUDS ULMWP dan UU Otsus Kolonial NKRI

Secara Hukum hanya 2 (dua) Provinsi yaitu: Provinsi Papua dan Papua Barat yang akan di serahkan Administrasinya kepada Pemerintah West Papua saat Kemerdekaan itu tiba.

Sisa Provinsi lainnya yang saat ini gencar di bicarakan oleh Pemerintah Indonesia adalah: Hanya Politik mengelabuhi Rakyat West Papua akan situasi dan jalannya Perjuangan Bangsa Papua saat ini.

WaSalam…!!

Hon. Edison Waromi

Prime Minister

Provisional Government of West Papua [ULMWP]

————————

#ProvisionalGovernmentofWestPapua

#WestPapuaArmy#GreenStateVision

#Referendum#SelfDetermination

MELIHAT STATUS NEW GUINEA BAGIAN BARAT DALAM PERCATURAN POLITIK INTERNASIONAL

By: Kristian Griapon, Oct 10, 2022

New Guinea Bagian Barat (Papua Barat) setelah perang dunia ke-2 (perang pasifik) menjadi “Daerah Protektorat Kerajaan Belanda”. Berbeda dengan New Guinea Bagian Timur (PNG), setelah perang dunia ke-1 menjadi “Daerah Mandat Liga Bangsa-Bangsa (LBB)” dibawah kekuasaan Kerajaan Inggris. Dan setelah perang dunia ke-2 terbentuknya PBB pengembangan dari LBB, maka daerah-daerah mandat LBB dibawah kekuasaan negara-negara sekutu yang memenangkan perang dunia ke-1, dialihkan statusnya menjadi Daerah Perwalian PBB, yang diatur melalui system perwalian internasional. Daerah Perwalian PBB, diantaranya Wilayah New Guinea Bagian Timur (PNG) yang statusnya dari “Daerah Mandat LBB (Inggris) beralih menjadi Derah Perwalian PBB (Australia)” yang dimerdekakan pada 16 September 1975.

Status Daerah Perwalian berbeda dengan Status Daerah Protektorat, Perbedaannya:

Daerah Perwalian adalah wilayah-wilayah geografi yang ditetapkan oleh PBB kedalam system perwalian internasional berdasarkan piagam dasar PBB setelah perang dunia ke-2, sebagaimana diatur dalam pasal 75 s/d pasal 85 Bab XII dan pasal 86 s/d pasal 91 Bab XIII. Daerah Perwalian PBB terakhir yang dimerdekakan dari AS, adalah Negara Kepulauan Palao dikawasan regional pasifik pada 1 Oktober 1994.

Daerah Protektorat adalah Wilayah Geografi di luar kedaulatan suatu negara, yang dikuasai dan dikelola secara terpisah melalui system pemerintahan negara, yang disebut Daerah Otonom (daerah pendudukan suatu negara). Wilayah-Wilayah protektorat diatur melalui pasal 73 dan pasal 74 Bab XI piagam dasar PBB, dibawah Pengawasan Komite Dekolonidasi PBB.

Konflik Kekuasaan atas Wilayah Geografi New Guinea Bagian barat antara Indonesia dan Belanda telah memposisikan New Guinea Bagian Barat kedalam wilayah protektorat PBB berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB 1752. Dan Indonesia yang menerima tanggungjawab transfer kekuasaan dari Belanda melalui PBB (UNTEA), statusnya menjalankan admistrator PBB di New Guinea Bagian Barat, mempersiapkan penduduk asli Papua menuju penentuan nasib sendiri, sebagaimana yang tertuang dalam klausul pasal-pasal perjanjian New York, 15 Agustus 1962, bagian dari implementasi piagam dasar PBB pasal 73 di daerah tidak berpemerintahan sendiri.

*). Pernyataan Dr.Djalal Abdoh Pada Masa Berakhirnya Untea Di New Guinea Bagian Barat :

”Indonesia yang akan Memerintah Sebagai Pengganti PBB”. Ini berarti bahwa, Kepala Pemerintahan UNTEA Dr. Djalal Abdoh akan pergi bersama pasukan keamanan PBB topi baja biru pulang kenegeri tempat asalnya. Penugasan mereka sudah akan berakhir, dan ’’mereka akan diganti oleh pasukan keamanan Indonesia. Pasukan ini akan mengambil alih tugas membantu polisi menjaga ketertiban umum”.

Bendera biru dari PBB tidak akan lagi berkibar disamping bendera indonesia.”Undang undang Indonesia akan berlaku, akan tetapi saudara orang Papua tidak akan menjadi warga negara Indonesia begitu saja. Persoalan ini harus saudara yang menentukan sendiri.”

Saudara harus menentukan sendiri sebelum akhir tahun 1969, apakah saudara ingin melanjutkan dengan indonesia, ataukah saudara ingin melepaskan ikatan saudara dengan Indonesia?. Dengan alasan ini saudara boleh juga mengatakan bahwa jangka waktu Pemerintahan Indonesia akan menjalankan jangka waktu persiapan menuju penentuan nasib sendiri melalui pemilihan bebas.

PBB memberikan arti yang sangat penting kepada dasar pemilihan bebas dari persetujuan itu, yaitu sejumlah pasal dari persetujuan itu mengarah kepada persiapan untuk Menentukan Nasib Sendiri ”.

Marilah kita lihat lebih dulu apa yang menjadi “Urusan Pemerintah Indonesia yang menurut kata persetujuan itu yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia untuk mempersiapkan saudara guna pemilihan bebas.”

”Setelah pemindahan tanggung jawab pemerintahan penuh kepada Indonesia, tugas utama dari Indonesia adalah usaha lebih lanjut mempergiat pendidikan untuk rakyat, memberantas buta huruf, dan memajukan perkembangan saudara dibidang sosial, kebudayaan dan ekonomi untuk dapat menulis, membaca, mengolah kekayaan alam daerah saudara, sehingga saudara dapat memainkan peranan yang lebih baik dalam suatu pilihan yang akan menentukan masa depan saudara “.

**). Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat Berada Dalam Krisis Penyelengaraan Negara Setelah Ditransfer Kekuasaan Dari UNTEA Ke Indonesia:

Indonesia Negara yang menguasai serta mengelola Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat (Papua Barat) sejak mengambil alih kekuasaan negara dari Negara kerajaan Belanda, yang ditransfer melalui UNTEA pada 1 Mei 1963.

Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat termasuk dalam kategori “Wilayah Tidak Berpemerintahan Sendiri” di kawasan regional pasifik. Wilayah New Guinea Bagian Barat menjadi Daerah Protectorat PBB berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB 1752, implementasi dari New York Agreement, 15 Agustus 1962, daerah ini yang dipersiapkan menuju referendum berdasarkan standar kebiasaan internasional pada tahun 1969.

Krisis Penyelenggaraan Negara Oleh Indonesia, negara yang menguasai, serta mengelola Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat, dimulai sejak transfer kekuasaan dari UNTEA kepada Pemerintahan Negara Republik Indonesia pada, 1 Mei 1962. Krisis itu dapat diamati dari berbagai kebijakan negara yang berdampak pada berbagai pelanggaran berat HAM terhadap Penduduk Asli Papua, di Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat.

Indikasi berbagai pelanggaran teramati jelas sejak awal Indonesia hadir di bumi Penduduk asli Papua, dimana terjadi tindakan represif besar-besaran terhadap kebebasan dasar penduduk asli Papua yang dijamin oleh hukum internasional, tertuang dalam New York Agreement, 15 Agustus 1962 yang telah diratifikasi Indonesia – Belanda, wujud dari perjanjian internasional.

Status Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat hingga saat ini tidak jelas statusnya di dalam negeri Indonesia maupun di dunia internasional, sejak wilayah itu ditransfer kekuasaan dari UNTEA ke Pemerintahan Republik Indonesia. Faktor penyebab utama adalah New York Agreement yang dibuat Indonesia-Belanda diluar dari tata aturan Majelis Umum PBB, sehingga New York Agreement kedudukannya lemah dan tidak mengikat Indonesia untuk menerapkan (menjalankan) klausul dari isi perjanjian itu, dan masyarakat internasional melihat masalah New Guinea Bagian Barat sudah diselesaikan melalui New York Agreement.

Belanda sudah tidak berurusan lagi dengan New Guinea Bagian Barat setelah wilayah itu ditransfer ke UNTEA dan PBB juga demikian setelah ditransfer ke Indonesia.

Indonesia Negara anggota PBB yang menerima tanggungjawab menjalankan administrator PBB di New Guinea Bagian Barat, harus konsisten terhahadap perjanjian internasional yang telah diratifikasinya, yang menjadi dasar diterbitkan resolusi majelis umum PBB 1752 yang memberi ruang atau dengan kata lain menjadi jaminan PBB mengintervensi wilayah New Guinea Bagian Barat..

Indonesia tidak konsisten terhadap perjanjian international yang telah dibuat dan diratifikasinya, dimana Sengketa Wilayah New Guinea Bagian Barat dijadikan “Solusi Satu Negara”, artinya Indonesia memasukkan wilayah geografi New Guinea Bagian Barat kedalam wilayah kedaulatan Negara Republik Indonesia tanpa melalui konsensus yang melibatkan seluruh penduk asli Papua yang mempunyai hak pilih,

“Solusi Satu Negara” mengacu pada resolusi konflik Israel-Palestina melalui pembentukan sebuah negara kesatuan, atau federasi/kon federasi Israel-Palestina.

Dalam klausul perjanjian New York pasal XVIII poin (d) menjelaskan:
bahwa “Persyaratan untuk pilhan bebas adalah semua orang dewasa, pria dan wanita, tidak termasuk warga negara asing, untuk berpartisipasi dalam tindakan penentuan nasib sendiri yang akan dilaksanakan sesuai dengan praktek hukum internasional, dan untuk mereka yang menjadi penduduk pada saat penandatanganan kesepakatan ini dibuat, dan termasuk penduduk yang berangkat setelah tahun 1945 dan kembali ke wilayah tersebut untuk melanjutkan tempat tinggal setelah penghentian administrasi Belanda”. Dan pada pasal XIX menjelasakan bahwa “Perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa akan melapor kepada Sekretaris Jenderal atas pengaturan yang dicapai sesuai kebebasan memilih”, Doc;No.6311.

Konflik Wilayah New Guinea Bagian Barat yang mengambang sejak Indonesia mengambil alih kekuasaan dari UNTEA hingga saat ini, mengacu pada “Solusi Dua Negara”. Artinya Penduduk asli Papua menuntut pengakuan Indonesia terhadap “Deklarasi 1 Desember 1961”, yang adalah Wujud dari Implementasi Manifesto Politik Bangsa Papua Barat pada tahun 1961. (Kgr)

Penulis adalah Aktivis Pemerhati Masalah Papua Barat.

Peta Wilayah Geografi New Guinea

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny