Empat KKB DPO Polda Ditangkap

Foto : Empat anggota KKB yang jadi DPO, saat digelandang di Mapolda Papua, Sabtu (15/10/2016) akhir pekan kemarin untuk menjalani proses hukuman. (Loy/Binpa)
Foto : Empat anggota KKB yang jadi DPO, saat digelandang di Mapolda Papua, Sabtu (15/10/2016) akhir pekan kemarin untuk menjalani proses hukuman. (Loy/Binpa)

JAYAPURA – BinPa – Empat orang anggota Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) Polda Papua, berhasil diciduk oleh anggota Direktorat Reskrim Umum Polda Papua berhasil menangkap.

Keempatnya ditangkap di tempat yang berbeda di Kota Jaypaura. Dimana, tiga orang diantaranya berinisial DMY, JW dan AK ditangkap di area Bandara Sentani, Kabupaten Jayapura, Kamis (13/10/2016) lalu.

Sementara JMY sebelumnya ditangkap aparat di kawasan Perumnas IV Blok D Padang Bulan, Distrik Heram-Kota Jayapura, pada Selasa (11/10/2016) lalu, dan kini keempat orang tersebut telah digelandang ke ruang tahanan Mapolda Papua untuk menjalani proses hukuman.

Kapolda Papua, Inspektur Jenderal Polisi Paulus Waterpauw dalam keterangan persnya mengatakan, JMY dan MDY merupakan pimpinan kelompok kriminal bersenjata di wilayah Paniai.

“Kedua ditangkap terkait sejumlah aksi kekerasan dan pemerasan di Paniai, yang melibatkan AK,” tukas Kapolda Papua sambil memperlihatkan empat anggota KKB di ruang Cenderawasih Mapolda Papua, pada Sabtu (15/10/2016) akhir pekan kemarin.

Kapolda mengemukakan, pelaku JMY dan MDY bisa dibilang memiliki hubungan darah dengan Tadius Yogi, pimpinan KKB di Paniai yang lama.

Sementara JW yang ditengarai sebagai juru bicara dewan militer TPN-PB. Terbukti, saat ditangkap memiliki pemalsuan dokumen. “JW ini juru bicara kelompok TPN, dia punya identitas ganda yang berarti dikenai pemalsuan dokumen,” jelas Waterpauw.

Adapun pasal yang dikenakan kepada keempatnya, sambung Waterpauw, DMY dan JMY dikenai pasal 365 ayat (1) KUHP tentang pencurian dengan kekerasan serta pasal 368 KUHP tentang pengancaman dan pemerasan.

Keduanya juga terancam UU Darurat RI Nomor 12 Tahun 1951 dan pasal 55 atau 56 KUHP.

“Untuk AK hanya dikenai pasal 368 KUHP karena melakukan pengancaman dan pemerasan. Untuk JW dikenai pasal 263 KUHP tentang pemalsuan dokumen,” jelas Waterpauw.

Ia menambakan, saat ini keempatnya telah ditahan di rumah tahanan Mapolda Papua. “Mereka masih akan dimintai keterangannya, kami masih akan dalami terus,” tegasnya.

Sekedar diketahui, JMY dan DMY merupakan pimpinan tertinggi kelompok Kriminal bersenjata di wilayah Paniai. Dimana, sejak tahun 2011 silam, mereka diduga terlibat dalam beberapa kasus kriminal.

Kasus yang krminal yang dilakukan diantaranya, kasus pengancaman dengan menggunakan senjata api yang terjadi pada tanggal, 29 Juli 2011 di kampung Madi, distrik Paniai Timur kebupaten Paniai.

Kedua, kasus pengancaman yang terjadi pada tanggal, 13 Juni 2011 di kampung Uamani kabupaten Paniai., ketiga, kasus penodongan pemerasan dan pengancaman camp PT.Bongi Alo indah pada tanggal 25 Juli 2012, gancaman dengan kekan yang terjadi di kampung Bagumoma pada tanggal, 17 Juni 2014.

Kemudian, kasus pemilikian amuni yang terjadi pada tangga, 298 Januari 2014 dan kasus pemerasan dan pengamcanan dengan menggunakan senjata api yang terjadi pada tanggal 31 Januari 2015. (Loy/don)

PNWP Sudah Sahkan UURWP, Sekarang Giliran ULMWP Menjalankan Perintah UURWP

Momentum dukungan Pasifik untuk kemerdekaan West Papua saat ini sudah tidak dapat ditahan lagi, yang menahannya akan terlempar keluar, karena kekuatan yang sedang bermain saat ini bukan hanya kekuatan manusia, tetapi kekuatan para pahlawan, keuatan nenek-moyang, kekuatan alam Papua, kekuatan anak-cucu kita, ya, semua kekuatan sedang “all out” untuk mendukung Papua Merdeka. Oleh karena itu, barangsiapa mengerem, bermain-main, atau mau memeti kkeuntungan pribadi, membalas dendam pribadi atau kelompok, memakan uang dari NKRI, semuanya akan lenyap dari Tanah Papua, dari kepulauan Melanesia.

Pesan ini disampaikan oleh Komandan Pasukan Operasi Khusus Tentara Revolusi West Papua yang bermarkas pusat di Maroke.

Menurut pesan tersebut, diperingatkan kepada semua orang Papua yang mengatasnamakan perjuangan Papua Merdeka untuk kepentingan pribadi atau kelompok, yang sekedar bermain-main untuk mencari kepentingan pribadi, yang ragu dan bingung tentang Papua Merdeka, semua ini akan disapu bersih, oleh kakuatan KEBENARAN, karena kita sedang mengawal “KEBENARAN berberang melawan tipu-muslihat”, atau “benar lawan tipu!”.

Catatan tersebut melanjutkan

ULMWP tidak perlu bekerja seperti LSM lagi, ULMWP itu wadah yang sudah diakui dunia internasional, oleh karena itu secara hukum internasional sudah harus berubah bentuk menjadi sebuah pemerintahan transisi. Tidak usah dibentuk kelompok lobi dan lain-lain. Perjuangan ini perlu Istana Negara, perlu Presiden Negara perlu menteri dan pejabat pemerintah, bukan tokoh Papua Merdeka lagi, bukan aktivis Papua Merdeka lagi, bukan pejuang Papua Merdeka lagi.

Kalau tidak dibentuk, maka jelas-jelas dunia internasional akan punya kesimpulan sama dengan kesimpulan para leluhur dan para pahlawan yang telah gugur di medan perjuangan, bahwa para tokoh dan pejuang Papua Merdeka saat ini sebenarya tidak punya nyali, tipu-tipu dan tidak serius berjuang untuk Papua Merdea.

 

Negara West Papua, Tanah dan Bangsa Papua Kini Telah Memiliki UU Perjuangan Papua Merdeka

Dari Sekretariat-Jenderal Tentara Revolusi West Papua (TRWP) menyampaikan informasi menyusul pembocoran peristiwa penting yang telah terjadi dalam sejarah perjuangan kemeredkaan West Papua dari Markas Pusat Pertahanan (MPP) TRWP bahwa Negara West Papua, Bangsa Papua dan Tanah Papua di bagian barat Pulau New Guinea kini telah dengan resmi, di era revolusi kemerdekaan West Papua, memiliki sebuah “Undang-Undang Revolusi West Papua” (disingkat UURWP).

URWP berfungsi sebagai Dasar Hukum bagi semua komponen perjuangan Papua Merdeka melandasi perjuangan ini sehingga dalam perjuagnan ini kita tidak dianggap berjuang sebagai LSM/ ORMAS, tetapi kita berjuang dalam sebuah format yang menunjukkan kita telah siap menjalankan pemerintahan Republik West Papua.

UURWP ini juga perlu dalam rangka memberikan gambaran kepada para sponsor dan pendukung kemerdekaan West Papua melihat sejak dini wajah West Papua setelah NKRI keluar dari Tanah Leluhur bangsa Papua.

Dari Sekretariat-General TRWP, Lt. Gen Amunggut Tabi menyatakan UURWP diterbitkan oleh MPP TRWP dalam rangka mendorong Parlemen Nasional West Papua (PNWP) untuk segera mensahkan UURWP atau Undang-Undang yang akan menjadi dasar bersama dalam perjuangan kermedekaan West Papua. Menurut Tabi dalam suratnya yang diterima redaksi PMNews,

UURWP merupakan pijakan hukum perjuangan Papua Merdeka, karena kita sudah mendapatkan dari negara-negara merdeka dan berdaulat di kawasan Melanesia dan Pasifik Selatan sehingga kita harus segera tampil sebagai perjuangan yang berbasiskan hukum, perjuangan yang sudah siap mengarah kepada sebuah pemerintahan Revolusioner atau Pemerintahan Transisi Negara Republik West Papua.

Sudah waktunya kita berbicara sebagai negarawan dan pemimpin bangsa Papua, negara West Papua. Kami sudah sah diterima sebagai anggota MSG. Dukungan PIF sudah jelas. Proses menuju pembentukan Negara West Papua sudah matang. Kita harus menyambut perkembangan ini dengan persiapan-persiapan internasl sejak dini. Kalau tidak, negara akan lahir tanpa fondasi yang jelas.

Gen. Tabi melanjutkan dalam pesannya bahwa PNWP segera mengambil langkah-langkah konkrit mewujudkan sebuah Dasar Hukum yang jelas untuk perjuangan Papua Merdeka. Kalau tidak kita akan dianggap melanggar UU kolonial. Tabi mengatakan,

Selama ini kita dianggap melanggar hukum kolonial, karena tanah Papua di bagian Barat pulau New Guinea ini berada dalam status tak berhukum. Hukum yang berlaku selama ini ialah hukum asing, hukum paksaan, hukum penjajah. Dengan pemberlakukan UURWP, maka wilayah West Papua, Negara Republik West Papua, pemerintahan Negara West Papua dalam pimpinan ULMWP sudah punya dasar hukum yang formil dan jelas sehingga tidak ada yang salah arah dalam mewujudkan sebuah negara yang merdeka dan berdaulat di luar NKRI.

Amunggut Tabi kembali menegaskan,

Dengan pemberlakukan UURWP ini, per tanggal 13 September 2016 besok hari, Wilayah hukum teritorial West Papua telah memiliki Payuing Hukum untuk selanjutnya diperealisasikan sebagai sebuah negara merdeka dan berdaulat, duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan NKRI.

Sekretaris-Jenderal TRWP kembali menegaskan bahwa tugas-tugas administrasi dalam rangka persiapan kemerdekaan West Paupa yang telah dijalankan oleh Sekretariat-Jenderal berdasarkan Surat Tugas yang diberikan oleh Panglima Tertinggi Komando Revolusi kini memasuki tahapan penghabisan karena tugas administrasi dalam mempersiapkan sebuah Negara dan pemerintahan West Papua telah selesai.

Berdasarkan Perintah Panglima TPN/OPM Jenderal TPN/OPM Mathias Wenda tahun 2006, maka sebuah Komite Persiapan Kemerdekaan West Papua telah bekerja dan kini telah menghasilkan sejumlah dokumen penting bagi perjuangan kemerdekaan Wset Papua. Sebelumnya telah diterbitkan Surat Keputusan Panglima Tertinggi Komando Revousi Disiplim Militer TRWP, yang berisi semua hal tentang gerilyawan perjuangan Papua Merdeka.

Surat Keputusan tentang Disiplin ini dikeluarkan setelah sayap militer perjuangan Papua Merdeka dipisahkan dari sayap politik, yaitu organisasi induk bernama Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan sayap militer diberi nama Tentara Revolusi West Papua.

Organisasi Papua Merdeka dalam bahasa Inggris disebut Free West Papua Campaign telah berkampanye dari basis di Kerajaan Inggris dan dalam proses perjuangan sejak itu telah mengerucut menjadi wadah yang telah diakui di pentas politik regional dan global bernama ULMWP (United Liberation Movement for West Papua – Serikat Pergerakan Pembebasan untuk West Papua). Oleh karena itu semua pihak diharapkan bersatu dan mendukung langkah ULMWP.

Surat Keputusan Panglima Tertinggi Komando Revolusi tentang Undang-Undang Revolusi West Papua, yang dokumen aslinya akan segera beredar dan disosialisasikan ke seluruh dunia ini berisi dasar hukum untuk perjuangan kemerdekaan West Papua.

Gen. Wenda melalui Sekretariat-Jenderal berpesan agar semua pihak mempelajari dan menaati UURWP ini sebagia hukum formil resmi dari bangsa Papua, untuk wilayah teritorial Negara West Papua.

Ada dua pesan penting tercantum di dalam UURWP ini, yaitu

  1. Pertama, agar dalam tempo yang ditentukan sesuai SK ini, agar PNWP segera menyelenggarakan Sidang Paripurna Khusus untuk pengesahan UURWP; dan melakukan Amandemen di mana saja dianggap perlu. Agar PNWP tidak berbicara politik, tidak berkampanye ke sana-kemari mencampuri urusan para diplomat dan politikus dari ULMWP, tetapi memfokuskan diri menuntaskan Undang-Undang, dan peraturan-peraturan perjuangan Papua Merdeka.
  2. Kedua, agar dalam tempo sebagaimana ditentukan dalam UURWP ini, PNWP segera memberikan mandat kepada ULMWP untuk membentuk Pemerintahan Transisi Republik West Papua, dengan menetapkan Istana Kepresidenan Transisi di salah satu negara di kasawan Pasifik Selatan, dengan selanjutnya dengan segera mengangkat para diplomat, Duta Besar dan menyelenggarakan Pemerintahan berdasarkan UURWP.

OPM, TPN/OPM dan Penembakan di Tanah Papua Pasca ULMWP, Logis?

Ada tiga nama organisasi yang kita orang Papua harus rapihkan, sejalan dengan diterimanya ULMWP sebagai organisasi perjuangan politik dan diplomasi Papua Merdeka. Organisasi ini tidak hanya diakui oleh orang Papua di West Papua, tetapi juga orang Papua di seluruh pulau New Guinea dan orang Melanesia. Bukan orang Papua dan Melanesia saja, tetapi negara-negara Melanesia dan negara-negara di Pasifik Selatan, yang disebut kawasan Oceania, dan bahkan di seluruh dunia telah mengakui ULMWP.

Sekarang di dalam negeri kita diupayakan oleh NKRI untuk dipertentangkan dengan ingatan dan logika kita tentang organisasi selain ULMWP, yaitu TPN/OPM, OPM dan organisasi lainnya.

  1. Kata mereka 1 Juli adalah HUT OPM,
  2. kata mereka 1 Desember adalah HUT OPM,
  3. kata mereka penembakan di Lanny Jaya dilakukan oleh OPM,
  4. kata mereka 100 anggota TPN/OPM menyerah di HUT NKRI ke-71 di Puncak Jaya

Ya, itu kata mereka, bukan?

 

Lalu, apa kata orang Papua? Apa kata para pejuang Papua Merdeka? Apa kata organisasi yang selama ini memperjuangkan kemerdekaan West Papua?

Kita sebagai individu, organisasi, yang memperjuangkan kemerdekaan West Papua sudah waktunya bertanya kepada diri sendiri dan menjawab kepada diri sendiri pula:

  1. Kalau sudah ada OPM, mengapa harus perlu ULMWP kemarin?
  2. Kalau sudah ada OPM, mengapa justru ULMWP yang mendaftarkan diri ke MSG dan diterima di sana kemarin?
  3. Kalau sudah ada ULMWP, bukankah OPM itulah yang sekarang bernama ULMWP hari ini?
  4. Kalau OPM itulah ULMWP hari ini, maka apakah tugas ULMWP: berperang di hutan atau berpolitik dan berdiplomasi di pentas politik dan diplomasi dunia?
  5. Kalau sudah ada ULMWP hari ini, mengapa masih ada OPM di Tanah Papua hari ini? Siapa yang pelihara OPM di Tanah Papua hari ini?
  6. Kalau sudah ada ULMWP, mengapa masih ada organisasi TPN/OPM? Apa ini organisasi politik atau organisasi gerilya militer? Apa pernah ada organiasi perjuangan di dunia yang banci seperti ini: mau bilang militer salah, mau bilang politik juga salah, karena namanya TPN/OPM?
  7. Kalau sudah ada ULMWP hari ini sebagai nama baru dari OPM, mengapa masih ada juga TPN/OPM hari ini di Puncak Jaya?
  8. Kalau ULMWP berdiplomasi menyambung pekerjaan OPM untuk diplomasi dan politik mengapa OPM dibilang masih menembak orang di Lanny Jaya?

Konservatiasme dalam perjuangan sangatlah penting, tetapi yang lebih penting ialah konservatisme SETELAH kemerdekaan dan bukan sebelumnya. Di era revolusi, kita harus progresif dan agresif, tidak konservatif. Kita menjadi ekor dari sebuah perkembangan, secepatnya menyesuaikan diri, secepatnya menyambut bola, secepatnya berkamuflase. Yang menginginkan status quo itu biasanya kaum penjajah.

Di Era ULMWP ini, yaitu sejak ULMWP diterima oleh manusia dan makhluk lain di seluruh dunia, menjadi hal yang aneh luarbisa kalau OPM masih menembak orang di Tanah Paupa, menjadi aneh lagi kalau ada TPN/OPM menyerahkan diri.

“Biar anjing menggonggong, sebaiknya kafilah tetap berlalu”, kalau tidak kita jadi bodoh sama dengan mereka nanti.

Tentara Revolusi West Papua Menuntut Penembakan di Lanny Jaya Segera Diusut Tuntas

Menanggapi berita terakhir yang diturunkan oleh media Online bersumber dari Cyber Army Indonesia, harianpapua.com, dari Markas Pusat Pertahanan Tentara Revolusi West Papua (MPP TRWP), Lt. Gen. Amunggut Tabi atas nama MPP menyatakan

Polisi Kolonial Indonesia segera usut tuntas dan hukum pelaku penembakan manusia sipil di Lanny Jaya 22 Agustus 2016.

Menanggapi pemberitaan oleh Harian Papua, PMNews mengutip pernyataan TRWP:

Penembakan seperti ini pasti dilakukan oleh orang-orang yang benci Papua Tanah Damai. Kami yakin Polri tidak akan pernah mengungkap siapa dalangnya, karena dalangknya ada di dalam Polri sendiri. OPM ada di mana? OPM punya siapa? OPM piaraan siapa? siapa yang mau OPM ada di Tanah Papua? Sejak dibentuknya ULMWP, OPM Sudah otomatis tidak ada lagi. Ditambah lagi, OPM tidak punya pasukan, OPM tugasnya berpolitik, bukan bunuh-bunuh orang. Yang pembunuh orang di Tanah Papua selama ini bukan OPM, tetapi pasukan TNI/Polri.

Lewat Secretary-General TRWP menuntut kepolisian kolonial Indonesia untuk menunjukkan kepada rakyat Indonesia di manapun mereka berada siapa pembunuh masyarakat sipil dimaksud dan apa alasan pembunuhannya.

TRWP juga menuntut kepolisian kolonial Indonesia untuk menghukum berat para pelaku pelanggaran HAM, entah itu anggota Kopassus, anggota BIN atau BAIS, anggota Densus 88, siapapun juga, harus ditunjukkan kepada publik siapa dalang dan siapa pelakunya.

Dalam penutupan pernyataan Tabi katakan

Bangsa Papua lagi enak-enaknya menikmati kemenangan mutlak di politik regional Melanesia dan kawasan Pasifik Selatan. Orang gila siapa pergi tembak orang sembarang seperti ini, kalau bukan NKRI yang membunuh?

 

Dialog Jakarta-Papua Kalah Cepat oleh Ujung Tombak Melanesia

Jayapura, Jubi – Dialog Jakarta-Papua, yang menjadi agenda Jaringan Damai Papua (JDP) sejak buku Papua Road Map (2009) diluncurkan, hadir dalam bentuk lain lewat siaran televisi langsung Papua Lawyers Club (PLC), Rabu malam (10/8/2016) di salah satu stasiun televisi di Jayapura.

“Topik ini terasa provokatif,” ujar Adriana Elizabeth, yang hadir mewakili peneliti LIPI dan sempat terlibat di dalam proses penyusunan buku Road Map Papua. Topik dialog pada malam itu mengambil tema ‘Mengakhiri Pertarungan Pemerintah Indonesia VS ULMWP’.

“Pertarungan itu mensyaratkan perbedaan melihat akar masalah, dan itu memang masih relevan. Karena upaya penyelesaiannya dari pihak pemerintah, belum maksimal,” ujar Adriana di sesi ketiga dialog yang dimoderatori oleh Anton Raharusun, SH tersebut.

Penyelesaian masalah di dalam negeri

Adriana percaya bahwa pemerintah, melalui Luhut Pandjaitan yang sempat ditemuinya, sedang berupaya menyelesaikan Papua lebih demokratis. “Saya rasa pemerintah cukup responsif mendengar masukan-masukan dari JDP dan LIPI, agar ada pendekatan holistik.” Tetapi dia tampak menyayangkan, bahwa apa yang didengarkan oleh pemerintah berbeda di tataran praktik lapangan.

Hal itu, lanjutnya, menyebabkan akar masalah Papua tidak tertangani. “Makanya kami sejak awal mengajak dialog, agar masalah ini tidak keluar,” ujar dia.

Masalah yang dimaksud Adriana, sebetulnya sudah jelas dalam perumusan Peta Jalan Papua sejak tujuh tahun lalu, semasa almarhum Muridan Widjojo, intelektual LIPI yang sangat membekas di hati orang Papua, masih hidup. Peta Jalan Papua itu dirumuskan setelah melalui banyak forum konsultasi dengan berbagai pemangku kepentingan di Papua Barat, termasuk kelompok-kelompok pro kemerdekaan.

Tetapi tampaknya, hal tersebut luput singgah di pikiran Asisten Deputi Bidang Otonomi Khusus Menkopolhukam, Brigjen Herwin Suparjo, satu-satunya narasumber yang hadir dengan kemeja putih bersih pada kesempatan itu.

Dia menilai, isu-isu HAM terkait Papua tidak perlu dipolitisir. Menurut dia, dengan mengundang beberapa Duta Besar negara Pasifik berkunjung ke Papua, pemerintah hendak menunjukkan Papua secara langsung. “Kita perlihatkan fakta saja ke Duta-duta besar Melanesia itu, biarkan MSG yang menilai,” ujarnya.

Ketika disinggung terkait kasus-kasus pelanggaran HAM yang sampai sekarang belum tampak ada titik terang penyelesaian, Herwin mengatakan bahwa pihaknya sedang meneliti kasus-kasus mana yang kriminal dan mana yang politis.

Terhadap MSG, lanjut Herwin, “pemerintah tidak sedang meyakinkan, tetapi membiarkan para wakil MSG melihat sendiri isu-isu tersebut.”

Pdt. Sofyan Yoman menyesalkan pemerintah Indonesia yang masih saja tidak mengakui berbagai persoalan pelanggaran HAM di Papua yang terus terjadi. “Ini bukan isu lagi, Pak. Tidak bisa dibilang isu,” ujarnya lantang.

“Coba kita lihat dulu wajah Indonesia di Papua ini. Orang Papua punya toko kah tidak? Hotel? Restoran? Inilah sebagian wajah pembangunan di Papua. Indonesia sudah gagal secara ekonomi,” kata Sofyan, yang belum lama ini juga melawat Australia untuk bertemu wakil-wakil gereja untuk mendiskusi laporan situasi HAM dan keadaan lingkungan di Papua.

“Proses integrasi Papua ke Indonesia itu tidak adil, militer yang mengintegrasikannya. Kita kembali saja ke Peta Jalan yang dibuat LIPI, kenapa sampai sekarang pemerintah tidak pakai landasan itu?” lanjut Sofyan.

Pendeta Sofyan menganggap pembentukan ULMWP saat ini adalah tindakan cerdas rakyat Papua yang berjuang untuk penentuan nasib sendiri. “Jangan pikir negara-negara Pasifik itu kecil. Mereka negara berdaulat. Mereka anggota PBB dan punya hak suara di sana,” ujarnya.

Di depan tokoh-tokoh gereja, lanjut Sofyan, pemerintah melalui Menkopolhukam pernah berjanji untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM Paniai secepatnya, tetapi hingga sekarang tidak terjadi. Bagi Sofyan, Indonesia hanya tidak mau mengakui persoalan pelanggaran HAM di Papua sebagai realitas.

Adriana Elizabeth mengakui bahwa pemerintah sudah terlambat, tetapi ia masih meyakini dialog penyelesaian HAM adalah arena yang paling mungkin untuk mempertemukan berbagai pihak. Dia memahami, proses integrasi utuh Papua ke Indonesia tidak terjadi di semua aspek sosial, politik ekonomi dan kebudayaan.

Dan sayangnya, menurut dia, “Strategi pemerintah masih saja bersifat ad-hoc (sementara) tidak ada strategi jangka panjang, sementara tuntutan terhadap self determination sudah pasti tidak akan mungkin dipenuhi Indonesia.”

Persaudaraan Melanesia di Pasifik

Herwin Suparjo mengatakan bahwa kehadiran Indonesia mewakili sekitar 11 juta ‘warga Melanesia’ di 5 propinsi Indonesia (Papua, Papua Barat, NTT, Maluku dan Maluku Utara) atau yang dikonsepkan sebagai Melindo (Melanesia Sperhead Group) oleh pemerintah Indonesia.

Namun, berbeda menurut Victor Yeimo, ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB), yang juga hadir mewakili tim kerja dalam negeri ULMWP di pertemuan KTT MSG Juli lalu di Honiara. Menurut dia, Indonesia baru menoleh ke Pasifik sejak 2010, sementara rakyat Papua Barat telah menjalin hubungan persaudaraannya selama lima puluh tahun.

Menurut Victor, proses pencarian identitas Papua selema puluhan tahun, mendapatkan pertolongan pertamanya dari saudara-saudari Melanesia. “Melanesia tidak lengkap tanpa Papua Barat,” katanya.

Sementara pembentukan Melindo, lanjut Victor, adalah proyek politik belaka. “Melindo bukan Melanesia, dan hal tersebut dikatakan jelas oleh pemimpin MSG, bahwa selain Papua dan Papua Barat, ketiga propinsi lain adalah Polynesia.”

Victor menganggap, pemerintah Indonesia tidak mengerti bahwa MSG itu dibentuk untuk membebaskan wilayah-wilayah Melanesia dari kolonialisme. “Jadi agenda dekolonisasi adalah misi dasar MSG,” ujar Yeimo. Para pemimpin MSG, lanjut Victor, sangat memperhatikan isu-isu pelanggaran HAM di Papua dan kehendaknya menentukan nasib sendiri.

“Ini bukan lagi isu main-main, tetapi sudah menjadi isu dan agenda di negara-negara Melanesia, hingga ke akar rumput,” kata Viktor sambil tetap mengapresiasi hubungan diplomatik Indonesia dengan Melanesia secara ekonomi sambil mengritik upaya pendekatan politik pemerintah Indonesia di Pasifik. .

“Pemerintah Indonesia tidak pernah mengajukan aplikasi resmi ke MSG untuk menjadi anggota, mereka datang hanya dengan agenda ekonomi,” ujarnya.

Hal itu, menurut dia, membuat pemerintah-pemerintah Melanesia tersinggung, karena pembentukan MSG bukan bertitik tolak pada kepentingan ekonomi, melainkan persaudaraan Melanesia.

Adriana membenarkan bahwa dukungan terhadap ULMWP di Pasifik sangat kuat hingga ke akar rumput, sementara Melindo tidak kuat. “Indonesia hanya berhubungan G to G (pemerintah ke pemerintah), tidak mengakar,” ujarnya.

Oleh karena itu, lanjut Adriana, diperlukan konsolidasi politik untuk memungkinkan negosiasi. “ULMWP sudah progres luar biasa, pemerintah jangan menyangkalnya, tetapi dijadikan refleksi kenapa itu bisa terjadi.”

Juli lalu, Manasye Sogavare, Perdana Menteri Kepulauan Solomon yang juga Ketua MSG, dalam sebuah wawancaranya dengan wartawan Jubi di Honiara, Solomon, mengatakan bahwa masalah Papua saat ini sudah menjadi masalah bukan hanya Melanesia, tapi juga Pasifik, terutama negara-negara di Mikronesia dan Polinesia.

Sulitnya menemukan Common Ground

Tidak mudah menemukan landasan pijak bersama untuk mengatasi persoalan Papua yang suda menyejarah ini.

Septer Manufandu, Deputy Jaringan Damai Papua, menjelaskan bahwa persoalan menjadi berlarut-larut karena perjuangan rakyat Papua yang mencari identitas politiknya, yang saat ini sudah diwakili oleh ULMWP, tidak diakomodir oleh negara.

“Indonesia belum melihat nasionalisme Papua sebagai bagian dari konstruksi nasional bangsa Indonesia,” ujarnya. Karena tidak mendapatkan tempat di negeri ini maka proses pencarian tersebut terawat baik sampai sekarang.

Septer menyarankan agar pemerintah mau duduk berdialog dengan kelompok-kelompok yang berseberangan, “jangan dialog dengan kelompok-kelompok buatan,” ujarnya. Dalam dialog itu nanti, lanjut Septer baru bisa ditentukan apakah rumah Indonesia masih cocok untuk Papua.

Berbeda dengan Septer, Victor Yeimo mengatakan ULMWP belum punya kesiapan untuk berdialog dengan pemerintah Indonesia, karena tugasnya untuk menjalankan perjuangan di level regional dan internasional. “Indonesia dan Papua Barat sudah satu level sekarang di MSG. Hari ini, Melanesia adalah honai kami,” tegas Victor.

Internasionalisasi isu Papua memang telah gagal dibendung pemerintah Indonesia. Seperti yang telah dikatakan Perdana Menteri Sogavare Juli lalu, dirinya telah berkirim surat kepada Presiden Joko Widodo untuk membahas masalah Papua, namun permintaan dalam surat tersebut ditolak. Surat tersebut dikirim olehnya dalam kapasitasnya sebagai Ketua Melanesia Spearhead Groups.

“Saya mengirimkan surat untuk dua hal. Pertama untuk membahas masalah Papua dalam kapasitas saya sebagai ketua MSG, sebab Indonesia adalah anggota assosiasi dan Papua adalah pengamat dalam MSG. Kedua, meminta agar Indonesia sebagai anggota assosiasi mulai membuka diri untuk membahas masalah Papua di forum MSG. Namun kedua permintaan tersebut tidak mendapatkan respon positif dari Indonesia,” ujar Sogavare.

Acara dialog berakhir tanpa kesimpulan. Tetapi siaran Dialog PLC ini, seperti kata Pdt. Sofyan Yoman, telah membuka ruang pendidikan politik bagi rakyat Papua yang menilai.

Mayoritas anak-anak muda beratribut kaos merah dan jacket hijau army, tampak antusias hadir mendengarkan langsung dialog tersebut. Mereka bertepuk tangan spontan beberapa kali, sebagai tanda setuju menanggapi beberapa pernyataan penting yang meluncur dari beberapa pembicara yang mereka dukung.

Tidak ada represi dalam ruangan itu. Semua bebas bicara apa adanya. Sebuah ruang yang hingga saat ini, belum diberikan oleh pemerintah Indonesia sendiri.(*)

Ada Pengakuan Negara Terhadap Politik Papua

LIPI dan sejumlah LSM serta individu di Jakarta selama ini bersuara bahwa di Papua itu persoalan utama adalah politik maka pendekatan harus politik, dialog atau referendum.

Tetapi, selama ini pemerintah klaim tak ada soal politik di Papua. Dan dianggap soal Papua adalah soal eknomi, pendidikan dan kesejahteraan. Juga pemerintah mengatakan di Papua itu tidak ada TPN-OPM, yang ada adalah kelompok kriminal bersenjata, kelompok pengacau keamanan dan lainnya. Intinya tak ada pengakuan bahwa ada TPN- OPM di Papua.

Namun tak sadar, apa yang pemerintah klaim itu, bahwa kini, pengakuan itu datang tanpa disadari, secara logika pemerintah sudah mengakui ada tiga peristiwa pengakuan akan eksisnya TPN-OPM dan persoalan Papua adalah persoalan politik.

Pertama, koran Rakyat Merdeka Edisi 22 Maret 2016, Halaman 2 memberitakan, pengakuan kepala BIN, Sutiyoso atas keberadaan TPN-OPM di teritory Papua dan Papua Barat.

Kedua, waktu lalu, Menkopolhukam, Luhut B. Panjaitan datang ke Jayapura dan kunjungi makam Pemimpin Besar Bangsa Papua, Alm. Theys Hiyo Eluay. Saat ia datang, lukisan-lukisan bintang kejora (Gambar Bendera Papua) di makam tersebut ditutup dengan kain putih dan menabur bungga.

Ketiga, Jokowi saat diwawancara wartawan Aljazera mengakui bahwa ia sadar ada gerakan politik yang kini mulai pengaruhi Pasific.

Sekarang sudah ada pengakuan terbuka oleh Indonesia atas persoalan politik bangsa Papua (Melanesia). Tapi, Indonesia tetap malas tahu dan masih lihat dari kacamata kesejahteraan. Indonesia abaikan dialog dan referendum.

Tidak mengapa, yang penting pengakuan itu secara tidak langsung sudah naikan status masalah Politik Papua di Pasific, Afrika, Rusia, dan China serta Eropa.

Papua saat ini sudah terdaftar sebagai salah satu wilayah bersama 60 bangsa lain yang berjuang untuk kemerdekaan dan segera akan terdaftar di komisi dekolonisasi PBB. Setelah itu, masuk pada tahapan referendum.

Proses ini berjalan karena rakyat yang terus melawan atas mediasi KNPB dan organisasi lainnya. Ini terjadi karena rakyat terus mendukung ULMWP dengan berbagai cara, aksi, dana dan doa.

Jadi bangsa Melanesia dan lebih khususnya orang Papua sadar bahwa Indonesia atau siapapun tidak akan memberikan kemerdekaan West Papua, kalau orang Papua sendiri berdiam diri. Merdeka akan di raih hanya dengan berjuang, doa, memberi sumbangan dana pada organisasi payung ULMWP serta terlibat dalam demonstrasi-demontrasi yang dibuat oleh rakyat Papua yang dimediasi oleh gerakan-gerakan yang ada di tanah Papua, semacam KNPB, Garda, AMP, dan lainnya untuk mendapatkan simpati dunia menuju referendum Bangsa Papua yang merdeka. (*)

Kapolri: Penyerangan di Papua Akibat Kelalaian Polisi

Prima Gumilang, CNN Indonesia Selasa, 29/12/2015 18:00 WIB

Jakarta, CNN Indonesia — Kepala Kepolisian RI Badrodin Haiti menilai kasus penyerangan di Markas Polsek Sinak, Kabupaten Puncak, Papua, disebabkan karena kelalaian anggota kepolisian. Menurutnya, para gerilyawan selalu mencari kelengahan pihak lawan.

“Namanya juga gerilya, cari kelengahan. Siapa yang lengah itu yang jadi sasaran mereka,” kata Badrodin di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (29/12).

Badrodin mengatakan, siapapun bisa menjadi sasaran penyerangan tersebut, baik TNI, Polri, maupun masyarakat. Semua itu tergantung kebutuhan para gerilyawan.

“Kalau kepentingannya senjata kan dia menyerangnya polisi atau TNI, tapi kalau kepentingannya merampas motor bisa saja dari masyarakat sipil,” ujarnya.

Dia mengimbau kepada seluruh jajarannya yang bertugas di Papua agar taat pada standar operasional prosedur. Polisi yang bertugas di Papua, kata Badrodin, memiliki resiko yang cukup tinggi.

“Itu harus disadari anggota Polri yang bertugas di sana,” ujarnya.

Dia mengatakan, saat penyerangan tersebut, beberapa personel kepolisian sedang melaksanakan Hari Raya Natal. Kantor Polsek hanya diisi lima petugas. Kondisi itu mudah dibaca pihak lawan.

“Papua seringkali yang keluar dari SOP, yang tidak memenuhi ketentuan-ketentuan, biasanya lengah,” katanya.

Badrodin memastikan bahwa pelaku penyerangan adalah kelompok Organisasi Papua Merdeka.

Dia menyatakan, konflik bersenjata yang terjadi di Papua adalah masalah politik. Karena itu aksi yang dilakukan OPM tidak bisa dikaitkan dengan undang-undang terorisme.

“Kita kenakan kejahatan umum, seperti penembakan,” katanya.

Penyerangan kelompok sipil bersenjata ke Polsek Sinak di Kabupaten Puncak, Papua, menewaskan tiga anggota Polri. Pesawat rombongan Kapolda Papua Irjen Paulus Waterpauw juga ditembaki saat hendak mendarat di Sinak.

“Saat Kapolda akan melakukan evakuasi terhadap korban yang meninggal, dilakukan penembakan. Itu masih dilakukan oleh kelompok yang sama, yakni kelompoknya Benny Wenda,” kata Badrodin. (obs)

Kapolri Sebut Benny Wenda Dalang Penyerbuan Polsek di Papua

Abraham Utama, CNN Indonesia Selasa, 29/12/2015 11:25 WIB

Jakarta, CNN Indonesia — Kapolri Jenderal Badrodin Haiti menyatakan kelompok Benny Wenda berada di balik penyerangan Polsek Sinak di Kabupaten Puncak, Papua, yang menewaskan tiga polisi. Kelompok itu pula, kata Badrodin, yang menembak pesawat rombongan Kapolda Papua Irjen Paulus Waterpauw saat hendak mendarat di Sinak kemarin.

Lihat juga:Kronologi Suara Tembakan Saat Pesawat Kapolda Hendak Mendarat
“Saat Kapolda akan melakukan evakuasi terhadap korban yang meninggal, dilakukan penembakan. Itu masih dilakukan oleh kelompok yang sama, yakni kelompoknya Benny Wenda,” kata Badrodin.

Polri menuding Tentara Pertahanan Nasional Organisasi Papua Merdeka sebagai dalang di balik peristiwa tersebut. “Ada indikasi penyerangan itu dilakukan oleh kelompok TPN,” ujar Wakapolri Komisaris Jenderal Budi Gunawan.
Lihat juga:Kronologi Kelompok Bersenjata Serbu Polsek Sinak Papua
Benny Wenda, tokoh penggerak referendum kemerdekaan Papua sekaligus Kepala Perwakilan Organisasi Papua Merdeka pada kantor perwakilan OPM di London, Inggris, kini menjadi tertuduh.

Penggerak referendum Papua

Penyerangan sekelompok orang bersenjata terhadap Markas Polsek Sinak Papua hanya satu dari pelbagai kekerasan yang tak kunjung usai di provinsi paling timur Indonesia itu.

Peristiwa itu bagian dari gejolak keamanan sejak pemerintah Republik Indonesia merangkul Papua Barat melalui Penentuan Pendapat Rakyat pada tahun 1969.

Papua –dan Aceh– menghendaki referendum setelah pemerintah RI mengizinkan rakyat Timor Timur menghelat referendum pada 1999.

Kala itu Benny merupakan pemimpin Dewan Musyarawah Masyarakat Koteka. Lembaga tersebut menunjang kinerja Dewan Presidium Papua (PDP) dalam bernegosiasi dengan pemerintah pusat tentang aspirasi rakyat Papua.

Periode 1999 hingga 2001 merupakan bulan madu antara warga Papua dengan pemerintah RI yang dipimpin Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Presiden keempat itu mengizinkan pengibaran Bendera Bintang Kejora, pelaksanaan Kongres Papua yang melahirkan PDP, serta penggunaan kembali istilah Papua untuk menghapus nama Irian Jaya.
Lihat juga:Rentetan Aksi Penyerbuan Polsek Sinak Papua
Selanjutnya pergantian rezim mengubah peta dialog antara pemerintah pusat dan Papua. Ketua PDP Theys Hiyo Eluay tewas pada November 2001. Penyidikan Kepolisian Daerah Papua serta keputusan pengadilan militer menunjuk anggota Komando Pasukan Khusus sebagai orang-orang yang harus bertanggung jawab atas pembunuhan Theys.

Juni 2002, Kepolisian akhirnya menangkap Benny. Ia dituduh menyerang kantor polisi dan membakar dua toko di Abepura, Papua, pada 7 Desember 2000. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat mencatat, seorang polisi tewas dan tiga orang lainnya mengalami luka akibat peristiwa yang kini disebut sebagai pemicu Peristiwa Abepura.

Kejadian yang kemudian disidangkan di pengadilan hak asasi manusia berat itu membebaskan dua perwira tinggi Polri dari seluruh dakwaan. Di sisi lain, Benny menghadapi ancaman pidana penjara selama 25 tahun.

Jadi eksil di Inggris

Satu bulan setelah persidangan pertamanya, Oktober 2002, Benny melarikan diri dari Lembaga Pemasyarakatan Abepura. Ia menyelundupkan diri ke perbatasan Papua dan Papua Nugini sebelum akhirnya terbang ke Inggris dan mendapatkan suaka dari pemerintah setempat.

“Saya sebenarnya tidak ingin melarikan diri ketika itu, tapi saya tidak bersalah. Saya membela masyarakat saya. Pemerintah Indonesia tiga kali melakukan percobaan pembunuhan terhadap saya di penjara,” ujar Benny pada forum TEDx di Sydney, Australia, Mei 2003.

Saat menjadi pembicara pada forum yang digagas lembaga nirlaba internasional itu, Benny menuturkan keputusan melarikan diri dia ambil di menit-menit terakhir.

“Saya berpikir, jika saya tetap di tempat itu, saya akan terbunuh. Salah satu pemimpin pergerakan, Theys Elluay, dibunuh Kopassus tahun 2001. Setahun kemudian, saya menjadi target mereka karena saya adalah salah satu penggagas gerakan,” ucapnya.

Kini Benny hidup di Inggris bersama istri dan anak-anaknya. Ia berkeliling dunia mengampanyekan referendum bagi masyarakat Papua.

Dalam usahanya, Benny didampingi Jennifer Robinson, seorang advokat yang bergiat pada isu hak asasi manusia. Jennifer dikenal atas advokasinya terhadap Julian Assange pada kasus WikiLeaks.
Lihat juga:Lambert: RI Duduk untuk Aceh, Kenapa dengan Papua Tak Berani?
Di Indonesia, Polri memasukkan nama Benny pada Daftar Pencarian Orang. Ia menjadi buron. Benny, menurut Badan Intelijen Negara, sesungguhnya tidak memiliki dukungan kuat di dunia internasional.

“Mereka (kelompok yang dipimpin Benny) bersinergi dengan LSM-LSM yang memang mendukung kelompok-kelompok separatis di manapun juga,” kata Marciano Norman saat masih menjabat sebagai Kepala BIN.

Apapun, di tengah sorotan Kepolisian dan badan telik sandi terhadapnya, Benny belum berhenti menuntut kemerdekaan Papua.

September 2014, Benny berada di Glasgow,  menyaksikan warga Skotlandia menjalankan pemungutan suara untuk menentukan masa depan negara mereka, tetap bergabung dengan Kerajaan Inggris atau memerdekakan diri.

Sebagaimana terekam pada video berjudul Benny Wenda from West Papua on Scottish Independence yang diunggah akun IndependenceLive ke situs Youtube, Benny sempat berpidato dan menyanyikan sebuah lagu di Glasgow kala itu.

“Hari ini saya menyaksikan penentuan nasib sendiri oleh masyarakat Skotlandia. Suatu saat, Anda juga akan menyaksikan referendum bagi masyarakat Papua Barat,” kata Benny, yakin. (agk)

Lekhaka Telenggen Klaim Bertanggungjawab Atas Penyerangan Polsek Sinak

Admin Jubi Dec 29, 2015

Sinak, JUBI — Lekhaka Telenggen (Leka Telenggen) yang mengaku sebagai pimpinan Kelompok bersenjata di kabupaten Puncak membenarkan peristiwa penembakan yang terjadi di Polsek Sinak, Distrik Sinak, Kabupaten Puncak Papua dilakukan oleh anggotanya.

“Saya siap bertanggung jawab dalam peristiwa ini. Saya dan anggota sedang was-was di markas kami untuk mengatispasi serangan balik,” kata Lekhaka, saat dihubungi Jubi, Senin (28/12/2015).

Menurutnya, anggotanya melakukan penyerangan Polsek Sinak Minggu (27/12/2015) sekitar pukul 23.00 malam. Penyerangan ini menewaskan 3 anggota polisi yakni Bripda Rasyid (32), Bribda Armansyah (37), dan Bripda Ilham (37) dan dua lainnya mengalami luka.

“Kami juga mengambil tujuh pucuk senjata api, dua AK 47, dua SS1, tiga Mouser dan satu peti amunisi,” ujar Lekakha.

Lekhaka Telenggen kerap dituding sebagai pelaku kekerasan bersenjata di Kabupaten Puncak maupun Kabupaten Puncak Jaya. Padat Januari 2014, ia dituding sebagai pelaku penembakan iring-iringan mobil aparat keamanan dari Kompi E Yonif 751 Rider yang di pimpin Letnan Satu Infanteri Alafa di Pintu Angin, Mulia, Puncak Jaya. Ia juga dituding sebagai pelaku penyerangan yang menewaskan dua anggota Brimob di Ilaga, ibu kota Kabupaten Puncak pada awal Desember 2014.

Baca Setelah Ayub waker Dituding Polisi, Kini Giliran Lekhaka Telenggen

Up ↑

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny

Melanesia Web Hosting

Melanesia Specific Domains and Web Hosting

Sem Karoba Tawy

Patient Spectator of the TRTUH in Action

Melanesia Business News

Just another MELANESIA.news site

Sahabat Alam Papua (SAPA)

Sahabat Alam Melanesia (SALAM)

Melanesian Spirit's Club

Where All Spirit Beings Talk for Real!

Breath of Bliss Melanesia

with Wewo Kotokay, BoB Facilitator

Fast, Pray, and Praise

to Free Melanesia and Melanesian Peoples from Satanic Bondages