Upaya Amerika dan Indonesia atas Pendudukan West Papua

Anda harus memberitahu [Soeharto] bahwa kita memahami masalah yang mereka hadapi untuk Irian Barat,” kata penasihat keamanan nasional Henry Kissinger kepada Presiden Nixon tepat akhir bulan Juli 1969, saat kunjungan Nixon ke Indonesia.

Suharto dan Nixon. – (Arsip Chicago Tribune, 28 Juli 1969)

Pada peringatan ke-35 Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) yang juga disebut “Act of Free Choice” di Papua Barat dan pemilihan presiden Indonesia pertama yang langsung, National Security Archive memposting dokumen dideklasifikasi pada pertimbangan kebijakan kontroversial Amerika Serikat yang mengarah ke aneksasi Papua ke Indonesia pada tahun 1969. Dokumen-dokumen rinci dukungan Amerika Serikat untuk pengambilalihan Papua ke Indonesia, meskipun banyak oposisi asli Papua dan mendapatkan persyaratan PBB untuk menentukan nasib sendiri.Latar Belakang

Ketika Indonesia merdeka (diakui) dari Belanda pada tahun 1949, pemerintah Belanda mempertahankan kontrol atas wilayah West New Guinea. Dari tahun 1949 sampai 1961 pemerintah Indonesia berusaha untuk “merebut” West New Guinea (kemudian dikenal sebagai Irian Barat atau Papua Barat), dengan alasan bahwa wilayah, bagian dari bekas Hindia Belanda seharusnya jadi milik Indonesia.

Pada akhir tahun 1961, setelah berlulang kali gagal (diplomasi) untuk mengamankan tujuan (merebut Papua) di PBB, Presiden Indonesia Soekarno mengumumkan mobilisasi militer dan mengancam akan menyerang West New Guinea dan mencaplok dengan paksa. Pemerintahan Kennedy, takut jika AS menentang tuntutan Indonesia mungkin bisa saja mendorong negara itu ke arah komunisme, pembicaraan pun berlansung yang ditengahi AS antara Belanda dan Indonesia pada musim semi 1962 (New York Agreement). Negosiasi berlangsung di bawah bayang-bayang serangan militer yang sedang berlangsung Indonesia ke West New Guinea/Papua dan ancaman invasi Indonesia.

Pembicaraan yang ditengahi AS yang kemudian dikenal dengan Perjanjian New York, dilakukan pada Agustus 1962 , yang akhirnya dalam perjanjian tersebut memutuskan Indonesia diberikan kendali ke atas West New Guinea (yang segera berganti nama Irian Barat) setelah masa transisi singkat diawasi oleh PBB. (Catatan 1) Perjanjian wajib untuk Jakarta adalah melakukan pemilihan pada penentuan nasib sendiri dengan bantuan PBB paling lambat tahun 1969. Selama dibawah pengawasan Indonesia, dengan cepat militer menekan/membasmi perbedaan pendapat politik dari kelompok-kelompok asli Papua yang menuntut kemerdekaan langsung untuk wilayah tersebut.

Para pejabat AS sejak awal memahami bahwa Indonesia tidak akan pernah membiarkan Irian Barat untuk menjadi mandiri dan bahwa tidak mungkin akan pernah membiarkan tindakan penentuan nasib sendiri terjadi, dengan kepentingan untuk mengambil alih Papua. Johnson dan Nixon sama-sama enggan untuk menentang kekuasaan Indonesia atas Irian Barat, terutama setelah rezim konservatif anti-komunis Jenderal Soeharto yang mengambil alih pemerintahan pada tahun 1966, menyusul upaya kudeta yang gagal, yang menyebabkan pembantaian 500.000 orang Indonesia yang diduga Komunis. Suharto cepat pindah untuk meliberalisasi perekonomian Indonesia dan membuka pintu untuk Barat, dengan melahirkan sebuah hukum investasi asing (UU PMA) baru pada akhir 1967. Perusahaan pertama yang mengambil keuntungan dari hukum itu perusahaan tambang asal Amerika, Freeport Sulphur yang memperoleh konsesi untuk lahan yang sangat luas di Irian Barat yang mengandung cadangan emas dan tembaga. (Catatan 2)Selama enam minggu dari Juli hingga Agustus 1969, dilakukan yang disebut “Act of Free Choice.” menurut para pejabat PBB. Sesuai dengan Perjanjian New York (Pasal 18) semua orang Papua dewasa memiliki hak untuk berpartisipasi dalam tindakan penentuan nasib sendiri, dan harus dilakukan sesuai dengan praktek internasional. Sebaliknya, justru Indonesia memilih sepihak 1.025 orang Papua Barat untuk memilih publik dan secara bulat mendukung integrasi dengan Indonesia.

Meskipun bukti yang signifikan bahwa Indonesia telah gagal untuk memenuhi kewajiban internasionalnya, pada November 1969 PBB “mencatat” dari “Act of Free Choice” dan hasilnya, sehingga memberikan dukungan dari badan dunia untuk aneksasi oleh Indonesia.

Sesudah tiga puluh lima tahun PEPERA, untuk Indonesia melaksanakan pemilihan Presiden langsung, masyarakat internasional telah datang untuk mempertanyakan keabsahan pengambilalihan Jakarta atas Papua Barat dan pelanggaran hak asasi manusia yang sedang berlangsung di sana. Pada bulan Maret, 88 anggota Parlemen Irlandia mendesak Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan untuk meninjau peran PBB di tahun 1969 dalam PEPERA, dalamnya tergabung Uskup Agung Afrika Selatan Desmond Tutu dan sejumlah organisasi non-pemerintah dan anggota parlemen Eropa. Pada tanggal 28 Juni 2004, sembilan belas Senator AS mengirim surat kepada Annan mendesak penunjukan Perwakilan Khusus untuk Indonesia untuk memantau situasi hak asasi manusia di Papua Barat dan wilayah Aceh.

Dokumen

Dalam arsip ini termasuk sebuah rahasia, Februari 1968 sebuah telegram dari Duta Besar AS untuk Indonesia Marshall Green. Setelah percakapan dengan Menteri Luar Negeri Indonesia Adam Malik tentang situasi di Irian Barat, Green menyimpulkan bahwa kondisi di wilayah itu adalah “jauh dari memuaskan dan memburuk.” Telegram berikutnya melaporkan bahwa “Indonesia terlambat dan hampir putus asa mencari untuk mengembangkan dukungan di antara masyarakat Irian Barat” untuk “Act of Free Choice.”

Perjalanan seorang konsuler untuk Irian Barat pada awal 1968 mengamati bahwa “pemerintah Indonesia mengarahkan upaya utama” di wilayah itu untuk “mempertahankan alat politik yang ada dan menekan perbedaan pendapat politik.” Karena kelalaian, korupsi dan penindasan di tangan pihak berwenang Indonesia, hampir semua pengamat Barat mengatakan bahwa “Indonesia tidak bisa memenangkan pemilihan terbuka” dan bahwa sebagian besar penduduk Irian Barat lebih menyukai akan kemerdekaan.

Pada bulan Juli 1968, Duta Besar PBB yang ditunjuk, Fernando Ortiz Sanz tiba di Jakarta sebagai Sekretaris Jenderal Perwakilan Khusus untuk membantu Indonesia dalam pelaksanaan plebisit Irian Barat, seperti yang disebut dalam Perjanjian 1962 New York.

Sebuah telegram rahasia dari Kedubes AS ke Departemen Luar Negeri menguraikan pertaruhan di “Act of Free Choice” mendatang. Memperingatkan bahwa pemerintah AS “tidak harus terlibat langsung dalam masalah ini,” Duta Besar Green khawatir bahwa Ortiz Sanz atau anggota PBB lainnya mungkin “bertahan untuk pemilu yang bebas dan langsung” di Irian Barat, Indonesia berniat untuk mempertahankan wilayah tersebut karena telah memakan biaya tak sedikit dan bisa frustasi.

Akibatnya, pejabat AS dan Barat lainnya khawatir untuk bertemu dengan Ortiz Sanz, untuk “membuat dia sadar realitas politik.” Dalam telegram rahasia pada Oktober 1968 Kedubes AS melaporkan dengan lega bahwa Ortiz sekarang “mengakui bahwa itu akan menjadi tak terbayangkan dari sudut pandang kepentingan PBB, serta Pemerintah Indonesia, selain hasil kelanjutan dari Irian Barat dalam kedaulatan Indonesia harus muncul.”

Pemerintah Indonesia dengan tegas menolak kemungkinan satu orang, plebisit satu-suara di Irian Barat, bersikeras tidak karena telah memilih “perwakilan” lokal dengan lebih dari 1.000 pemimpin suku (dari perkiraan populasi 800.000), akhirnya dilakukan pada bulan Juli tahun 1969 dibawah pengawasan 6,000-10,000 tentara Indonesia yang tersebar di seluruh wilayah. Dalam sebuah telegram dari Kedubes AS pada Juli 1969 menyatakan:

Act of Free Choice (AFC) di Irian Barat sedang berlangsung seperti tragedi Yunani, kesimpulan yang dapat dipastikan. Protagonis utama, pemerintah Indonesia, tidak dapat dan tak akan mengizinkan resolusi selain memasukan Irian Barat ke Indonesia. Kegiatan pembangkang cenderung meningkat namun angkatan bersenjata Indonesia akan mampu meminimalisir dan, jika perlu.., mereka menekannya.

Duta Besar Frank Galbraith mencatat pada tanggal 9 Juli 1969, yang pelanggaran di masa lalu telah mendorong sentimen intens anti-Indonesia dan pro-kemerdekaan di semua golongan masyarakat Irian, menunjukkan bahwa “mungkin 85 sampai 90%” dari penduduk “yang menyebabkan bersimpati dengan Papua Merdeka.” Selain itu, Galbraith mengamati, operasi militer baru-baru ini Indonesia, yang mengakibatkan kematian ratusan, mungkin ribuan warga sipil, “telah menyebakan ketakukan dan rumor genosida terhadap orang Irian.”Presiden Nixon dan penasihat keamanan nasional Henry Kissinger mengunjungi Jakarta pada Juli 1969 saat “Act of Free Choice” sedang berlangsung. Meningkatkan hubungan dengan rezim otoriter di Indonesia jelas paling penting dalam pikiran Kissinger, yang menandai Suharto sebagai “orang militer moderat … berkomitmen untuk kemajuan dan reformasi.” Dalam dokumen rahasia Nixon pengarahan (Dokumen 9 dan Dokumen 10) kunjungan Kissinger untuk mengatakan kepada Presiden datar “Anda tidak harus menaikkan isu” Irian Barat dan berpendapat “kita harus menghindari, AS mengindikasi tidak terlibat tindakan itu.” Gedung Putih biasanya tidak menentukan posisi ini selama periode sebelum dan sesudahnya “Act of Free Choice.”

Meskipun mereka mengakui kelemahan dalam dalam UU dan niat Indonesia, para pejabat AS tidak tertarik dalam menciptakan masalah untuk rezim Suharto mereka melihat sebagai non sejajar tapi pro-Washington. Sementara AS tidak bersedia untuk secara aktif campur tangan atas nama Indonesia (Untuk sebuah aksi mereka berpikir tidak perlu kontraproduktif) di PBB untuk memastikan penerimaan Majelis cepat Umum pengambilalihan resmi di Indonesia Papua Barat, AS diam-diam menandakan bahwa itu tidak tertarik pada perdebatan panjang atas masalah itu dipandang sebagai kepastian dan didiamkan untuk kepentingan AS. Dalam sebuah memo pengarahan rahasiah untuk pertemuan dengan Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat Soedjakmoto, seorang pejabat Departemen Luar Negeri mengungkapkan keyakinan bahwa kecaman internasional dari “Act of Free Choice” cepat akan memudar, yang memungkinkan Administrasi Nixon untuk bergerak maju dengan rencana untuk menempa lebih dekat hubungan militer dan ekonomi dengan rezim otoriter di Jakarta.Dokumen-Dokumen

Dokumen 1

29 Februari 1968
Perihal: Irian Barat
U. S. Kedutaan Besar di Jakarta, Telegram Rahasia

Duta Besar AS untuk Indonesia, Marshall Green melaporkan percakapan dengan Menteri Luar Negeri Indonesia Adam Malik di Irian Barat. Malik menunjukkan kemungkinan mengurangi lebih dari 10.000 tentara Indonesia di Irian. Dia juga mengisyaratkan Indonesia akan bersikeras pada cara tidak langsung untuk memastikan keinginan penduduk wilayah pada tahun 1969, mungkin mengandalkan para pemimpin suku yang dapat diinduksi dengan “nikmat bagi mereka dan suku mereka.” Marshall Green mengungkapkan keprihatinan tentang situasi “memburuk”.

Dokumen 2

2 Mei 1968

Perihal: Irian Barat
U. S. Kedutaan Besar di Jakarta, Telegram Rahasia Duta Besar AS untuk Indonesia Marshall Green, melaporkan percakapan dengan Menteri Luar Negeri Indonesia Adam Malik, di mana Malik menguraikan beberapa langkah Jakarta melakukan dalam upaya untuk membangun dukungan di kalangan rakyat Irian Barat untuk bergabung dengan Indonesia.

Dokumen 3

10 Mei 1968
Perihal: Perjalanan Konsuler ke Irian Barat
U. S. Kedutaan Besar di Jakarta, Airgram RahasiaPada bulan Januari 1968, Konsultan Politik Kedutaan, Thomas Reynders kunjungan Irian Barat selama satu bulan. Reynders mengamati tingkat pembangunan ekonomi yang relatif rendah di wilayah ini sejak Indonesia mengambil alih kontrol pada tahun 1962, mencatat bahwa “kehadiran pemerintah Indonesia di Irian Barat dinyatakan terutama dalam bentuk Angkatan Darat.” Reynders menyimpulkan, seperti yang telah pengamat Barat hampir semua, bahwa “Indonesia tidak akan menerima Kemerdekaan untuk Irian Barat dan tidak akan mengizinkan plebisit yang akan mencapai hasil seperti itu” dan catatan antipati “atau diyakini memendam kebencian langsung terhadap Indonesia dan itu terjadi Indonesia dengan Orang Irian Barat di daerah yang relatif maju. ”

Dokumen 4

20 Agustus 1968
Subject: “Act of Free Choice”
U. S. Kedutaan Besar di Jakarta, Telegram Rahasia

Duta Besar AS Marshall Green menyatakan “Act of Free Choice” di Irian Barat “Mungkin juga isu politik yang paling penting di Indonesia selama tahun mendatang.” Catatan Bahasa Indonesia “dilema” dalam mencari “merancang beberapa cara untuk melakukan pemastian bermakna yang tidak akan melibatkan resiko yang nyata kehilangan Irian Barat.” Green mengingatkan Departemen Luar Negeri, dalam mendorong pendekatan tangan-off oleh AS, bahwa “kita berhadapan dengan usia batu dasarnya, kelompok-kelompok suku buta huruf” dan bahwa “pemilihan umum yang bebas di antara kelompok-kelompok seperti ini akan lebih dari lelucon, dari pada Indonesia merancang mekanisme yang curang. ”

Dokumen 5

4 Agustus 1968
Perihal: “Act of Free Choice” di Irian Barat
U. S. Kedutaan Besar di Jakarta, Telegram Rahasia

Marshall Green menulis kepada Sekretaris Asisten Wakil Negara Asia Timur dan Pasifik G. McMurtry Godley mengungkapkan keprihatinan atas pandangan Perwakilan Khusus PBB untuk Irian Barat Ortiz Sanz. Green merekomendasikan bahwa “dalam pandangan taruhan tinggi … kita harus melakukan apapun yang kita dapat secara tidak langsung untuk membuatnya menyadari realitas politik” mengenai niat Indonesia terhadap Irian Barat.

Dokumen 6

4 Oktober 1968
Perihal: Irian Barat
U. S. Kedutaan Besar di Jakarta, Airgram Rahasia

Politik Kedutaan Konsul Jack Lydman menjelaskan hasil kunjungan terakhir Ortiz Sanz untuk Irian Barat dan menegaskan bahwa Sanz sekarang “mencoba untuk merancang rumus untuk” tindakan pilihan bebas “di Irian Barat yang akan mengakibatkan penegasan kedaulatan Indonesia” belum “bisa bertahan dalam ujian, opini internasional.”

Dokumen 7

9 Juni 1969
Perihal: Penilaian dari situasi Irian
U. S. Kedutaan Besar di Jakarta, Telegram Rahasia

Kedutaan menyimpulkan dengan kepedulian kepada “hubungan Indonesia masa depan dengan orang Irian,” banyak dari mereka menampilkan “antagonisme bernanah dan ketidakpercayaan terhadap Indonesia.”

Dokumen 8

9 Juni 1969
Perihal: Irian Barat: The Nature of Oposisi
U. S. Kedutaan Besar di Jakarta, Airgram Rahasia

Galbraith menawarkan penilaian rinci dari pandangan berbagai kelompok Irian menentang integrasi dengan Indonesia dan kemerdekaan advokasi, termasuk Gerakan Papua Merdeka (OPM). Dia mengamati bahwa “oposisi terhadap Pemerintah berasal dari kekurangan ekonomi selama bertahun-tahun, represi militer dan ketidakteraturan, dan maladministrasi,” dan menunjukkan bahwa kelompok-kelompok anti-Indonesia akan mampu mengubah hasil akhir dari “Act of Free Choice.”

Dokumen 9 dan 10

10 Juni dan 18 Juli 1969
Perihal: Kunjungi Jakarta : Pertemuan Anda dengan Presiden Suharto
Henry Kissinger, Memorandum untuk Presiden

Penasihat keamanan nasional Henry Kissinger bersama Presiden Nixon pada kunjungannya ke Indonesia dan percakapan dengan Presiden Indonesia Soeharto. Kissinger berpendapat bahwa tidak ada bunga AS untuk terlibat dalam masalah Irian Barat dan bahwa itu adalah orang-orang tertentu yang akan memilih integrasi dengan Indonesia. Dalam beberapa waktu Nixon sempat hendak berbicara, namu Kissinger mendesak agar Presiden menahan diri dari mengangkat isu, untuk dicatat simpati dari AS dalam kekhawatiran Indonesia.

Dokumen 11

25 Agustus 1969
Perihal: Panggilan oleh Duta Besar Indonesia Soedjakmoto

A.S. Departemen Luar Negeri, Nota Rahasia

Paul Gardner, Asisten Menteri Luar Negeri dan Marshall Green bertemu Duta Besar Indonesia untuk AS, Soedjakmoto yang membahas jika Indonesia akan meminta bantuan dari AS dalam “mempersiapkan kelancaran penanganan PBB” dari “Act of Free Choice” di Majelis Umum PBB.

Catatan:

Untuk gambaran mendetail tentang kejadian sebelum dan sesudah Perjanjian New York, Baca: Jones, Matthew. Conflict and Confrontation in Southeast Asia, 1961-1965: Britain, the United States, Indonesia and the Creation of Malaysia (Cambridge: Cambridge Press, 2002): Hal 31-62; C.L.M. Penders. The West New Guinea Debacle: Dutch Colonization and Indonesia, 1945-1962 (Hawaii, 2002); John Saltford. The United Nations and the Indonesian Takeover of West Papua, 1962-1969 (Routledge, 2003).
Denise Leith. The Politics of Power: Freeport in Suharto’s Indonesia (Hawaii, 2003).
Artikel ini sudah dipublikasikan di website pacebro.com

Sumber: National Security Archive

Suara Papua:
https://suarapapua.com/2017/08/10/upaya-amerika-dan-indonesia-atas-pendudukan-papua/

Share this:

Camberra Agreement atur Dekolonisasi West Papua

1 Desember 1961 dan persiapan segala atribut Negara-Bangsa West Papua adalah proses dekolonisasi West Papua sesuai dengan Camberra Agreement, tanggal 6 February 1947. Agreement ini dilakukan oleh the South Pacific Commission untuk mempersiapkan proses Dekolonisasi wilayah-wilayah yang tidak perpemerintahan di Sendiri (Non-Self-Governing Territories) di Wilayah Pasifik.

Anggota dari South Pacific Commission terdiri atas t Negara: Prancis, Inggris dan Irlandia Utara, Australia, Selandia Baru, Belanda, dan Amerika Serikat. Dimana West Papua disebutkan secara tegas dalam Agremment ini, pada Artikel II ayat 2, sebagai berikut:

“The territorial scope of the Commission shall comprise all those non-self-governing territories in the Pacific Ocean which are administered by the participating Governments and which lie wholly or in part south of the Equator and east from and including Netherlands New Guinea.”

Dalam pasal ini sangat jelas dan tegas bahwa West Papua yang disebut “Netherlands New Guinea” adalah “non-self-governing territories in the Pacific Ocean”. Implementasi agremment itu, 1 Desember 1961 deklarasi Parlemen New Guinea, Bendera, Lagu, Partai-partai politik, dan simbal negara bangsa lain. Deklarasi ini dihadiri resmi delegasi Pemerintah Inggris, pemerintah Francis, Pemerintah Australia, pemerintah Belanda, dan Pemerintah Provinsi Australia-Papua New Guinea. Kehadiran Delegasi Resmi ini adalah pengakuan resmi kemerdekaan West Papua.

Karena itu, Invasi Indonesia 1 Mei 1962 adalah ilegal. Indonesia juga tidak implementasikan One Man one Veto sesuai New York Agremment 15 Agustus 1962 pasal 18 menegaskan, Acht of Free Choice di West Papua dilakukan dengan tata cara Internasional, One Man One Vote, setiap orang Papua di atas usia 17 tahun terlibat langsung dalam referendum itu. Oleh karena itu, Resolusi 2504 tidak disahkan dan tidak resmi.

Pada artikel IX-XIV mengatur tentang Pacific Konfrence yang saat ini disebut Pacific Islands Forum (PIF), pada artikel 9 (IX) tegas mengatakan anggota dari forum ini adalah mencakup semua wilayah tak berpemerintahan sendiri yang masuk dalam Komisi Pasifik Selatan ini. Maka West Papua secara otomatis adalah anggota dari PIF dan peluang West Papua menjadi anggota PIF sangat terbuka lebar. Seperti dilakukan oleh GKI-TP Papua telah kembali di Konferensi Geraja-Gereja Pasifik sebagai pendiri sekaligus anggota, dan GKI-TP bawa tiga gereja lain di forum gereja ini yakni: GIDI, Baptis dan Kingmi.

Dengan demikian, status West Papua sampai hari ini adalah “non-self-governing territory”, yang diakui dalam Camberra Agremment itu.

The Chinese mechanic who secretly led a 40-year Melanesian revolution

By Rohan Radheya *

In 1975 when Tan Sen Thay fled his native land Indonesia he arrived in the Netherlands with just two gulden and a traditionally woven West Papuan noken bag.

The Chinese Indonesian claimed to Dutch immigration authorities that he was a senior representative of The West Papuan government, a predominantly black elite from a Melanesian province in Indonesiaʼs most Eastern federation.

Their government was on a critical stage waging a poorly equipped rebellion for independence.

“If we do not get Dutch assistance immediately, we will be wiped out,” he warned.

Tan Sen insisted that the Dutch had a moral obligation to help West Papua. After the infamous Trikora incident between the Netherlands and Indonesia in 1961, the Dutch were forced to relinquish Papua under international pressure.

In 1969, West Papua was annexed by Indonesia in a highly criticised referendum known as the Act of Free Choice.

Some 1025 tribal leaders were rounded up to vote for the political status of a population of nearly one million native Papuans while Indonesian soldiers allegedly held entire villages at gunpoint. The participants voted unanimously for Indonesian control.

Serious allegations of human rights violations would follow, including claims of war crimes and genocide committed against indigenous Papuans. Tan Sen and his comrades swore they would not accept the result of the referendum, but would continue battling Indonesia for the fate of the resource-rich island.

The Dutch government realised that by deporting Tan Sen, he would almost certainly be persecuted at return. He was granted political asylum in The Netherlands.

After first setting foot in The Netherlands, Tan Sen started working in an old garage in the Hague, just a few miles away from the Dutch Parliament.

“I then picked the Hague, the seat of the Dutch parliament because the Dutch government had a moral obligation to free my country,” he said.

The garage was a famous hotspot for producing golf cars that were nationally renowned in those days.

As a mechanic Tan Sen earned a minimum wage of 1000 gulden a month (about US$500 at the time) for working 80 hours a week. He would send the majority of his pay back to his comrades in West Papua who were launching sporadic hit and run attacks on Indonesian soldiers from the rugged forests of West Papua.

The remaining money he would wrap in a loin cloth and hide under his pillow while just surviving on simple instant noodles.

“A penny saved is a penny earned, that was my motto,” he said. After toiling for 12 years Tan Sen decided he had saved enough money to open his own gift-shop.

He named it after West Papuaʼs capital Hollandia (now named Jayapura).

His antique gift shop sold everything from imported porcelain statues and rare astrological gem stones to Confucian art paintings and cheap Chinese jewellery.

Money started to flow in and Tan Senʼs hard work began to pay off. He intensified his contributions to the Organisasi Papua Merdeka or OPM ( Free Papua Movement).

Tan Sen is still living in the Hague today, two blocks away from my home. In spring 2016 when I visited Tan Sen in the Hague he had closed his shop and converted it into his home.

Aged 92 and in perfect health, he had by then already made enough savings to secure his retirement. A wise Confucian who holds some of the best kept secrets to a lost history, Tan is still hoping one day to return to his beloved fatherland.

Warning me not to take photos and to leave my phone in the hall with my shoes, he shows me old documents that ”no one has ever seen”: old black and white photos of West Papuan guerrillas in the 1970’s, transaction data from high profile West Papuan sympathisers around the globe and testimonials from freshly joined recruits worldwide.

“Did you know that during the fall of Soeharto, one of his relatives came to us and offered us $500,000 to purchase arms?” Tan Sen asks.

I’m a little bit sceptical until he shows me records with numbers, dates, and figures relating to a foreign bank account.

He tells me that before he will die, he will send all documents to Leiden University in the Netherlands and sell them for a million euros. The profit will go to his West Papuan wife.

For years Tan Sen designed and weaved handmade uniforms, then smuggled them back to the OPM via refugee camps in areas near the border with PNG.

He would also arrange asylum for West Papuan refugees and finance their trips overseas to help them resettle in countries such as Sweden and Greece.

West Papuans who later took asylum in all corners of Europe had heard about him. In admiration at what he did for West Papua, they would address him as ‘Meneer Tan’ (Lord Tan) or ‘Bapak Tan’ (Father Tan) and send him homemade sago cakes with flowers and gifts.

If anyone wanted to join the independence movement abroad, Tan Sen was the only one mandated by the leadership of the OPM to take their oath of loyalty.

Recruits had to put their right hand on the bible, and smell the outlawed West Papuan morning star flag. If Tan Sen deemed them fit, they could join.

CONTINUE Reading HERE

MELIHAT STATUS NEW GUINEA BAGIAN BARAT DALAM PERCATURAN POLITIK INTERNASIONAL

By: Kristian Griapon, Oct 10, 2022

New Guinea Bagian Barat (Papua Barat) setelah perang dunia ke-2 (perang pasifik) menjadi “Daerah Protektorat Kerajaan Belanda”. Berbeda dengan New Guinea Bagian Timur (PNG), setelah perang dunia ke-1 menjadi “Daerah Mandat Liga Bangsa-Bangsa (LBB)” dibawah kekuasaan Kerajaan Inggris. Dan setelah perang dunia ke-2 terbentuknya PBB pengembangan dari LBB, maka daerah-daerah mandat LBB dibawah kekuasaan negara-negara sekutu yang memenangkan perang dunia ke-1, dialihkan statusnya menjadi Daerah Perwalian PBB, yang diatur melalui system perwalian internasional. Daerah Perwalian PBB, diantaranya Wilayah New Guinea Bagian Timur (PNG) yang statusnya dari “Daerah Mandat LBB (Inggris) beralih menjadi Derah Perwalian PBB (Australia)” yang dimerdekakan pada 16 September 1975.

Status Daerah Perwalian berbeda dengan Status Daerah Protektorat, Perbedaannya:

Daerah Perwalian adalah wilayah-wilayah geografi yang ditetapkan oleh PBB kedalam system perwalian internasional berdasarkan piagam dasar PBB setelah perang dunia ke-2, sebagaimana diatur dalam pasal 75 s/d pasal 85 Bab XII dan pasal 86 s/d pasal 91 Bab XIII. Daerah Perwalian PBB terakhir yang dimerdekakan dari AS, adalah Negara Kepulauan Palao dikawasan regional pasifik pada 1 Oktober 1994.

Daerah Protektorat adalah Wilayah Geografi di luar kedaulatan suatu negara, yang dikuasai dan dikelola secara terpisah melalui system pemerintahan negara, yang disebut Daerah Otonom (daerah pendudukan suatu negara). Wilayah-Wilayah protektorat diatur melalui pasal 73 dan pasal 74 Bab XI piagam dasar PBB, dibawah Pengawasan Komite Dekolonidasi PBB.

Konflik Kekuasaan atas Wilayah Geografi New Guinea Bagian barat antara Indonesia dan Belanda telah memposisikan New Guinea Bagian Barat kedalam wilayah protektorat PBB berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB 1752. Dan Indonesia yang menerima tanggungjawab transfer kekuasaan dari Belanda melalui PBB (UNTEA), statusnya menjalankan admistrator PBB di New Guinea Bagian Barat, mempersiapkan penduduk asli Papua menuju penentuan nasib sendiri, sebagaimana yang tertuang dalam klausul pasal-pasal perjanjian New York, 15 Agustus 1962, bagian dari implementasi piagam dasar PBB pasal 73 di daerah tidak berpemerintahan sendiri.

*). Pernyataan Dr.Djalal Abdoh Pada Masa Berakhirnya Untea Di New Guinea Bagian Barat :

”Indonesia yang akan Memerintah Sebagai Pengganti PBB”. Ini berarti bahwa, Kepala Pemerintahan UNTEA Dr. Djalal Abdoh akan pergi bersama pasukan keamanan PBB topi baja biru pulang kenegeri tempat asalnya. Penugasan mereka sudah akan berakhir, dan ’’mereka akan diganti oleh pasukan keamanan Indonesia. Pasukan ini akan mengambil alih tugas membantu polisi menjaga ketertiban umum”.

Bendera biru dari PBB tidak akan lagi berkibar disamping bendera indonesia.”Undang undang Indonesia akan berlaku, akan tetapi saudara orang Papua tidak akan menjadi warga negara Indonesia begitu saja. Persoalan ini harus saudara yang menentukan sendiri.”

Saudara harus menentukan sendiri sebelum akhir tahun 1969, apakah saudara ingin melanjutkan dengan indonesia, ataukah saudara ingin melepaskan ikatan saudara dengan Indonesia?. Dengan alasan ini saudara boleh juga mengatakan bahwa jangka waktu Pemerintahan Indonesia akan menjalankan jangka waktu persiapan menuju penentuan nasib sendiri melalui pemilihan bebas.

PBB memberikan arti yang sangat penting kepada dasar pemilihan bebas dari persetujuan itu, yaitu sejumlah pasal dari persetujuan itu mengarah kepada persiapan untuk Menentukan Nasib Sendiri ”.

Marilah kita lihat lebih dulu apa yang menjadi “Urusan Pemerintah Indonesia yang menurut kata persetujuan itu yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia untuk mempersiapkan saudara guna pemilihan bebas.”

”Setelah pemindahan tanggung jawab pemerintahan penuh kepada Indonesia, tugas utama dari Indonesia adalah usaha lebih lanjut mempergiat pendidikan untuk rakyat, memberantas buta huruf, dan memajukan perkembangan saudara dibidang sosial, kebudayaan dan ekonomi untuk dapat menulis, membaca, mengolah kekayaan alam daerah saudara, sehingga saudara dapat memainkan peranan yang lebih baik dalam suatu pilihan yang akan menentukan masa depan saudara “.

**). Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat Berada Dalam Krisis Penyelengaraan Negara Setelah Ditransfer Kekuasaan Dari UNTEA Ke Indonesia:

Indonesia Negara yang menguasai serta mengelola Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat (Papua Barat) sejak mengambil alih kekuasaan negara dari Negara kerajaan Belanda, yang ditransfer melalui UNTEA pada 1 Mei 1963.

Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat termasuk dalam kategori “Wilayah Tidak Berpemerintahan Sendiri” di kawasan regional pasifik. Wilayah New Guinea Bagian Barat menjadi Daerah Protectorat PBB berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB 1752, implementasi dari New York Agreement, 15 Agustus 1962, daerah ini yang dipersiapkan menuju referendum berdasarkan standar kebiasaan internasional pada tahun 1969.

Krisis Penyelenggaraan Negara Oleh Indonesia, negara yang menguasai, serta mengelola Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat, dimulai sejak transfer kekuasaan dari UNTEA kepada Pemerintahan Negara Republik Indonesia pada, 1 Mei 1962. Krisis itu dapat diamati dari berbagai kebijakan negara yang berdampak pada berbagai pelanggaran berat HAM terhadap Penduduk Asli Papua, di Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat.

Indikasi berbagai pelanggaran teramati jelas sejak awal Indonesia hadir di bumi Penduduk asli Papua, dimana terjadi tindakan represif besar-besaran terhadap kebebasan dasar penduduk asli Papua yang dijamin oleh hukum internasional, tertuang dalam New York Agreement, 15 Agustus 1962 yang telah diratifikasi Indonesia – Belanda, wujud dari perjanjian internasional.

Status Wilayah Geografi New Guinea Bagian Barat hingga saat ini tidak jelas statusnya di dalam negeri Indonesia maupun di dunia internasional, sejak wilayah itu ditransfer kekuasaan dari UNTEA ke Pemerintahan Republik Indonesia. Faktor penyebab utama adalah New York Agreement yang dibuat Indonesia-Belanda diluar dari tata aturan Majelis Umum PBB, sehingga New York Agreement kedudukannya lemah dan tidak mengikat Indonesia untuk menerapkan (menjalankan) klausul dari isi perjanjian itu, dan masyarakat internasional melihat masalah New Guinea Bagian Barat sudah diselesaikan melalui New York Agreement.

Belanda sudah tidak berurusan lagi dengan New Guinea Bagian Barat setelah wilayah itu ditransfer ke UNTEA dan PBB juga demikian setelah ditransfer ke Indonesia.

Indonesia Negara anggota PBB yang menerima tanggungjawab menjalankan administrator PBB di New Guinea Bagian Barat, harus konsisten terhahadap perjanjian internasional yang telah diratifikasinya, yang menjadi dasar diterbitkan resolusi majelis umum PBB 1752 yang memberi ruang atau dengan kata lain menjadi jaminan PBB mengintervensi wilayah New Guinea Bagian Barat..

Indonesia tidak konsisten terhadap perjanjian international yang telah dibuat dan diratifikasinya, dimana Sengketa Wilayah New Guinea Bagian Barat dijadikan “Solusi Satu Negara”, artinya Indonesia memasukkan wilayah geografi New Guinea Bagian Barat kedalam wilayah kedaulatan Negara Republik Indonesia tanpa melalui konsensus yang melibatkan seluruh penduk asli Papua yang mempunyai hak pilih,

“Solusi Satu Negara” mengacu pada resolusi konflik Israel-Palestina melalui pembentukan sebuah negara kesatuan, atau federasi/kon federasi Israel-Palestina.

Dalam klausul perjanjian New York pasal XVIII poin (d) menjelaskan:
bahwa “Persyaratan untuk pilhan bebas adalah semua orang dewasa, pria dan wanita, tidak termasuk warga negara asing, untuk berpartisipasi dalam tindakan penentuan nasib sendiri yang akan dilaksanakan sesuai dengan praktek hukum internasional, dan untuk mereka yang menjadi penduduk pada saat penandatanganan kesepakatan ini dibuat, dan termasuk penduduk yang berangkat setelah tahun 1945 dan kembali ke wilayah tersebut untuk melanjutkan tempat tinggal setelah penghentian administrasi Belanda”. Dan pada pasal XIX menjelasakan bahwa “Perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa akan melapor kepada Sekretaris Jenderal atas pengaturan yang dicapai sesuai kebebasan memilih”, Doc;No.6311.

Konflik Wilayah New Guinea Bagian Barat yang mengambang sejak Indonesia mengambil alih kekuasaan dari UNTEA hingga saat ini, mengacu pada “Solusi Dua Negara”. Artinya Penduduk asli Papua menuntut pengakuan Indonesia terhadap “Deklarasi 1 Desember 1961”, yang adalah Wujud dari Implementasi Manifesto Politik Bangsa Papua Barat pada tahun 1961. (Kgr)

Penulis adalah Aktivis Pemerhati Masalah Papua Barat.

Peta Wilayah Geografi New Guinea

Tanggal 14 Juni dalam peristiwa bangsa Papua

(1). IPWP dan ILWP, bersama Presiden Sementara West Papua, Hon. Benny Wenda akan melakukan pertemuan dengan Parlemen Inggris di Westminster, London – UK, pada tanggal 14 Juni 2022. Pertemuan tersebut akan membahas tentang Hak Asasi Manusia dan Hak Penentuan Nasib Sendiri West Papua.

(2). Jenazah tokoh pendiri, pemimpin pergerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM), Alm. Jacob Hendrik Prai akan dimakamkan di Stockholm, Swedia pada tanggal 14 Juni 2022. Pemberitahuan resmi meninggalnya Alm. pada tanggal 26 Mei 2022.

(3). Jenazah tokoh perempuan pemimpin Papua Merdeka, Ketua West Papua Council Prov. Gov. ULMWP Wilayah Anim-Ha, Almh. Ibu. Pangrasia Yeem akan dimakamkan pada tanggal 14 Juni 2022 di Merauke – West Papua. Almh. Meninggal pada hari Minggu, 12 Juni 2022 di Merauke.

(4). 14 Juni 2022 merupakan peringatan usia yang ke-10 tahun meninggalnya tokoh revolusi pergerakan Papua Merdeka dalam sipil kota, yakni Alm. Mako Tabuni. Mako ditembak mati di Jayapura oleh pasukan anti teror Densus 88, pada tanggal 14 Juni 2012.

#14Juni#14Juni2022#IPWP#ILWP#JacobPrai#PangkrasiaYeem#MakoTabuni#WestPapua#FreeWestPapua

Sejarah Papua yang perlu diketahui oleh semua penduduk Bumi

Beberapa tahun lalu KontraS mendapatkan data penting bahwa pembunuhan Theys Eluay adalah pembunuhan yang telah direncanakan oleh negara. Theys dan dua orang tokoh lainnya dianggap memiliki pengaruh untuk membakar semangat perlawanan dan persatuan rakyat Papua.

Theys sampai saat ini masih disebut sebagai sosok yang kontroversi karena keterlibatannya dalam Pepera 1969. Dalam sebuah kesempatan, ia diwawancarai dan ia menjelaskan bahwa dirinya dipaksa, dibawah didalam mobil tanpa istri dan tanpa anak, diancam untuk harus memberikan suara.

Benar saja, insiden Trikora dan kejahatan militer diawal tahun 60an telah membuat banyak anak-anak asli dari Sentani yang terlibat dalam perjuangan politik rakyat Papua melarikan diri bahkan ada juga yang ditawan dan disiksa, dipaksa menelan sendal.
Cerita mengerikn itu segera menyebar ke seluruh Danau Sentani. Ketakutan akan kejahatan Indonesia memaksa orangtua-orangtua untuk menahan anak-anak mudanya untuk tidak terlibat dalam perjuangan kemerdekaan Papua Barat.

Sebelum masa gelap 1969 itu tiba, rumah di Kampung dipenuhi buku, ada yang berjudulkan Papua dan ada juga buku dengan kumpulan teori. Tumpukan buku itu ada, tetapi pemilik buku itu telah melarikan diri ke PNG. Dari kampung-kampung ia dicari. Ia adalah kakek C.F, Kakak dari Alm Kakek yang melarikan diri ke timur PNG. Ketakutan mulai membayangi orangtuanya. Malam hari dengan cahaya bulan yang memberikan harapan, Yobe (panggilan untuk orangtua kakek/nenek) , membawah buku² itu menggunakan perahu, mendayungnya perlahan sampai ke pertengahan danau antara Kampung Yobe dan Kampung Yahim dan membuang buku-buku itu. Buku-buku itu segera tenggelam dan hilang bersama sedikit kepanikan Yobe yang sudah berhasil membuang buku-buku itu.

Seperti halnya buku yang tenggelam karena ketakutan, semangat perlawanan juga tenggelam di Danau Sentani sejak penggunaan kekerasan itu ditunjukan. Banyak orangtua menginginkan kemerdekaan dan hanya berani menyebutnya dalam doa. Banyak juga yang beranjak pergi dari semangatnya yang telah tenggelam, mengganti mimpinya dengan mimpi yang lain, memilih berteman dengan Indonesia dari pada harus dibunuh oleh Indonesia. Ini perna ditulis oleh salah satu anak Sentani lewat Bukunya, ia menuliskan tentang Perubahan Sikap Politik Masyarakat Sentani.

Dalam kegelapan ketakutan di Sentani. Theys Eluay hadir mendobrak ketakutan itu. Tidak ada orang Sentani yang akan membayangkan bahwa ada Ondofolo tanpa kekuataan magis, akhirnya memilih berdiri bukan hanya menjadi pemimpin di Kampungnya, tetapi membawah diri sebagai Pemimpin Bagi Rakyat Papua. Pilihannya hari itu berbanding terbalik dengan pilihan tokoh Sentani lainnya, yang sedang aktif-aktifnya dalam mendapatkan kekuasaan karena angin reformasi dan wangi desetralisasi kekuasaan telah sampai di Papua. Membuat mereka menjadi tak acuh terhadap kejahatan Indonesia atas Papua. Theys saat itu menjahit ketakutan ketakutan menjadi keberaniaan, Bintang Kejora pun berkibar.

Saat itu, dalam kepulangannya menghadiri undangan yang diberikan oleh Kopassus, ia diiringi oleh ucapan selamat tinggal yang disampaikan padanya “Selamat Jalan Pejuang Rakyat Papua”. Ucapan yang menjadi kode bahwa Theys akan segera dieksekusi.

Theys telah mati. Sebelum jazadnya dikubur ditahun 2001, ada pesan bertuliskan “Mati Satu Tumbuh Seribu” , tapi dengan hati yang terluka ditahun 2021 ini saya juga ingin menulis “Seribu Yang Datang Tidak Sama Seperti Satu Yang Pergi”
Semoga ini hanya menjadi luka sementara, luka karena belum ada figur dari Sentani yang bisa seperti dia.



PEPERA! Proses New York Agreement ternyata melibatkan OAP (Orang Asli Papua)

Admint, 24 Oktober 2021.

Selama ini kita di suguhkan perdebatan serta tulisan-tulisan yang mengatakan bahwa OAP (Orang asli Papua) tidak pernah ikut dalam proses PEPERA juga tidak di libatkan dalam New York Agreement 1962, dimana Ketentuan tersebut menjadi pegangan bahwa; setelah Tahun 1963-1969 papua harus terbebas dari indonesia dan kemudian di wajibkan melakukan Self determination (Penentuan nasib sendiri).

Pertanyaan nya benarkah sesuai Issue yang ada bahwa OAP tidak terlibat di dalam proses-proses PEPERA?, disinilah yang menjadi substansial masalah tersebut; bahwa selama ini kelompok pembebasan Telah melakukan pembohongan publik atas kepentingan kelompok elit-elit organisasi.

Pada kenyataan nya Self Determination (Penentuan nasib sendiri) juga di galang dan berikut di dukung ke-ikut sertaan Delegasi dari Orang asli papua Yang bernama Silas Papare yang ketika itu aktif dalam Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB) menjadi salah seorang delegasi Indonesia dalam Perjanjian New York yang ditandatangani pada 15 Agustus 1962, yang mengakhiri konfrontasi Indonesia dengan Belanda perihal Irian Barat. Disini jelas Secara tidak langsung jelas bahwa ternyata Soekarno telah mendukung proses keberadaan self determination serta menyerahkan prosesnya terhadap orang asli papua yang bernama ‘Silas Papare’

Berikut juga Anak papua asli ‘Marthen Indey’ berangkat ke New York sebagai delegasi pada bulan Desember 1962. Walaupun mereka terlibat dalam pihak militer dan Turut merumuskan strategi gerilya mengusir kolonialisme yang secara sah dilarang dalam Resolusi PBB 1514, Tgl 14 Desember 1946. Namun marthen Indey mendukung dan setuju dalam proses win-win solution penentuan Nasib sendiri untuk rakyat papua pada tahun 1969.

Perjalanan menuju PEPERA menjadi sarat politisasi setelah ada perlakuan pencurian start pada tahun 1963 oleh Gubernur Pertama Irian (Papua) yang bernama Elias Jan Bonai, yang menjabat kurang dari setahun (1963–1964). Kental nya sikap politik antara Niuew Guinea Raad & Soekarnoisme membuat Bonay yang pada awalnya berpihak pada Indonesia Namun melakukan pembelotan tepat nya pada tahun 1964 dimana menggunakan penyalahgunaan rencana Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang akhirnya bergabung bersama Organisasi Papua Merdeka.

Dari rekaman perjalanan sejarah itu jelas bahwa keterlibatan OAP dari Delegasi yang menghadiri penandatanganan ‘New York Agreement’ 1962. hingga panas dingin politik menjelang self determination dimana belanda dan Australia turut mendukung aktivitas demonstrasi-demonstrasi yang dilakukan kelompok organisasi papua merdeka, dengan segala kejadian ini jelas bahwa peristiwa OAP sebagai bentuk kehadiran itu terbukti ada, dan bahwa bukan Autobots semacam transformer hingga di katakan antara Jin dan setan yang hadir serta tidak pernah melibatkan OAP disana; merupakan Framming kebohongan dan ketidak jujuran atas pengakuan yang terus di ulang-ulang.
Salam merdeka wa wa wa wa wa wa wa!.

Sumber pengembangan : Wikipedia, ketik nama-nama Tertera.

Aliansimahasiswapapua #AMP #Bennywenda #ULMWP #Bazokalogo #papuamerdeka #TPNPB #KNPB #organisasipapuamerdeka #TPNPBOPM #OPM

The Chinese mechanic who secretly led a 40-year Melanesian revolution

By Rohan Radheya *

In 1975 when Tan Sen Thay fled his native land Indonesia he arrived in the Netherlands with just two gulden and a traditionally woven West Papuan noken bag.

Traditional accessories from West Papua alongside the outlawed West Papuan independence flag, the Morning Star. Photo: Rohan Radheya

The Chinese Indonesian claimed to Dutch immigration authorities that he was a senior representative of The West Papuan government, a predominantly black elite from a Melanesian province in Indonesiaʼs most Eastern federation.

Their government was on a critical stage waging a poorly equipped rebellion for independence.

“If we do not get Dutch assistance immediately, we will be wiped out,” he warned.

Tan Sen insisted that the Dutch had a moral obligation to help West Papua. After the infamous Trikora incident between the Netherlands and Indonesia in 1961, the Dutch were forced to relinquish Papua under international pressure.

In 1969, West Papua was annexed by Indonesia in a highly criticised referendum known as the Act of Free Choice.

Some 1025 tribal leaders were rounded up to vote for the political status of a population of nearly one million native Papuans while Indonesian soldiers allegedly held entire villages at gunpoint. The participants voted unanimously for Indonesian control.

Serious allegations of human rights violations would follow, including claims of war crimes and genocide committed against indigenous Papuans. Tan Sen and his comrades swore they would not accept the result of the referendum, but would continue battling Indonesia for the fate of the resource-rich island.

The Dutch government realised that by deporting Tan Sen, he would almost certainly be persecuted at return. He was granted political asylum in The Netherlands.

After first setting foot in The Netherlands, Tan Sen started working in an old garage in the Hague, just a few miles away from the Dutch Parliament.

“I then picked the Hague, the seat of the Dutch parliament because the Dutch government had a moral obligation to free my country,” he said.

The garage was a famous hotspot for producing golf cars that were nationally renowned in those days.

As a mechanic Tan Sen earned a minimum wage of 1000 gulden a month (about US$500 at the time) for working 80 hours a week. He would send the majority of his pay back to his comrades in West Papua who were launching sporadic hit and run attacks on Indonesian soldiers from the rugged forests of West Papua.

The remaining money he would wrap in a loin cloth and hide under his pillow while just surviving on simple instant noodles.

“A penny saved is a penny earned, that was my motto,” he said. After toiling for 12 years Tan Sen decided he had saved enough money to open his own gift-shop.

He named it after West Papuaʼs capital Hollandia (now named Jayapura).

His antique gift shop sold everything from imported porcelain statues and rare astrological gem stones to Confucian art paintings and cheap Chinese jewellery.

Money started to flow in and Tan Senʼs hard work began to pay off. He intensified his contributions to the Organisasi Papua Merdeka or OPM ( Free Papua Movement).

A rare photo of Tan Sen Thay (right) with Louis Nussy (left), an former high ranking Commander of the OPM, taken in the Hague, The Netherlands 2016. Photo: NGRWP

Tan Sen is still living in the Hague today, two blocks away from my home. In spring 2016 when I visited Tan Sen in the Hague he had closed his shop and converted it into his home.

Aged 92 and in perfect health, he had by then already made enough savings to secure his retirement. A wise Confucian who holds some of the best kept secrets to a lost history, Tan is still hoping one day to return to his beloved fatherland.

Warning me not to take photos and to leave my phone in the hall with my shoes, he shows me old documents that ”no one has ever seen”: old black and white photos of West Papuan guerrillas in the 1970’s, transaction data from high profile West Papuan sympathisers around the globe and testimonials from freshly joined recruits worldwide.

“Did you know that during the fall of Soeharto, one of his relatives came to us and offered us $500,000 to purchase arms?” Tan Sen asks.

I’m a little bit sceptical until he shows me records with numbers, dates, and figures relating to a foreign bank account.

He tells me that before he will die, he will send all documents to Leiden University in the Netherlands and sell them for a million euros. The profit will go to his West Papuan wife.

For years Tan Sen designed and weaved handmade uniforms, then smuggled them back to the OPM via refugee camps in areas near the border with PNG.

He would also arrange asylum for West Papuan refugees and finance their trips overseas to help them resettle in countries such as Sweden and Greece.

West Papuans who later took asylum in all corners of Europe had heard about him. In admiration at what he did for West Papua, they would address him as ‘Meneer Tan’ (Lord Tan) or ‘Bapak Tan’ (Father Tan) and send him homemade sago cakes with flowers and gifts.

If anyone wanted to join the independence movement abroad, Tan Sen was the only one mandated by the leadership of the OPM to take their oath of loyalty.

Recruits had to put their right hand on the bible, and smell the outlawed West Papuan morning star flag. If Tan Sen deemed them fit, they could join.

Seth Jafeth Rumkorem, the proclamator of the Republic of West Papua on 1 July,1971. Photo: NGRWP

The Quest for Nationhood

Tan Sen Thay was born in Surabaya, Indonesia in a wealthy Chinese family. Growing up as a Chinese Indonesian during the 1965 communist purge by Soeharto, his family fled to West Papua in fear of persecution. His parents were Hokkien transmigrants who migrated to Indonesia from China in search of a better life.

After making generous contributions to Papuan communities, his family soon started to build a respected reputation around The Abepura neighbourhood in West Papuaʼs capital Jayapura. When young Tan Sen saw mass human rights violations committed against West Papuans at the hands of the Indonesian Army, it angered him.

He made a drastic decision. The next day he would depart to the jungles to join the Papuan movement led by a former Papuan-Indonesian Sergeant named Seth Jafeth Rumkorem.

Rumkorem was a young charismatic Papuan officer trained in the Indonesian military academy in Bandung. His father Lukas Rumkorem had been part of a nationalistic Indonesian militia called Barisan Merah Putih. Initially both father and son opened their arms for the Indonesians after Dutch departure.

But after seeing Indonesian cruelty committed against his fellow countrymen, Seth Rumkorem would soon defect and go on to orchestrate a decades-long rebel insurgency from the Papuan jungles against the Indonesian army over the fate of the Western half of New Guinea island.

On 1 July 1971 Rumkorem and his followers gathered in the border areas with PNG. The intention was to boycott Papuan-Indonesian elections. In consultation with Tan Sen and other prominent Papuans, Rumkorem proclaimed a constitution, senate, army, national flag, and anthem.

The proclamation read as follows:

”To all the people of Papua, from Numbai to Merauke, from Sorong to Baliem(Star Mountains) and from Biak to Adi Island. With the help and blessing of God Almighty, we take this opportunity to declare to you all that today, 1 July 1971, the land and people of Papua have been proclaimed to be free and independent (de facto and de jure) May God be with us, and may the world be advised, that the true will of the people of Papua to be free and independent in their own homeland has been met.”

Sink or Swim

Tan Sen was a pious, gentle-mannered introvert with no real experience in war but with his steadfast loyalty and ethnic background he was considered the ultimate propaganda tool by his senior black commanders. Rumkorem appointed him as Minister of Finance in his cabinet.

Tan was asked to travel abroad to lobby for West Papuan independence. With a small delegation Tan Sen set off to London, Senegal and Solomon Islands to muster international support. His fellow comrades under the leadership of Rumkorem would stay fighting from the dense Papuan bush until Tan Sen and co managed to find diplomatic support.

“But without outside help it was impossible,” claimed Louis Nussy, one of Rumkoremʼs most trusted associates, who explained that their small force couldn’t match the Indonesian Army for equipment.

“The Indonesians were supplied by allies such as Russia and the United States. We were just depending on old rusty mouser rifles that we occasionally managed to snatch away from Indonesian soldiers,” he explained.

“There was no ammunition. We would just melt iron in the midst of the jungle,” he said.

Rumkorem and his comrades continued to suffer heavy casualties, and were losing huge terrain on a daily basis. After being pushed out of cities such as Jayapura, Biak and Manokwari, Rumkorem started to realise that it was a ‘sink or swim’ situation. He and his supporters retreated back to the forests while Tan Sen ended up taking asylum in the Netherlands.

Tan ran out of funds to continue his lobby abroad. “Returning would be suicide,” he later testified.

“A chain is only as strong as its weakest link. This was certainly the case in our context,” said Louis Nussy, who is now exiled in Greece.

“We were very efficient in guerrilla tactics but without proper hardware we were facing tough sledding.

“We realised it was just a matter of time before we would be captured or killed,” he explained.

In the meantime with Tan abroad, Rumkorem gained valuable intelligence from fellow independence fighters who had fled to Australia. A cell of West Papuan sympathisers at the highest political level in Vanuatu, were secretly willing to lend weapons and ammunition.

In 1982, Rumkorem decided to leave for the PNG border town of Vanimo to sail to Vanuatu. He was accompanied by eight of his most trusty men.

The plan was straightforward. Rumkorem would leave for arms and return back in a month.

He summoned his intelligence branch PIS (Papua Intelligence Service) and ordered them to obtain accurate weather schedules in PNG waters.

“What Rumkorem did not know was that the head of his intelligence unit had been detained and tortured by the notorious Indonesian special forces Kopassanda,’ʼ said Sonny Saba, one of Rumkoremʼs eight companions.

“In jail he was bribed and given the task to become an informant we would later found out.

“The enemies strategy was clear. Lure away the shepherd and there will just be sheep,” explained Saba, who now lives in exile in PNG.

“Rumkorem knew Indonesian Army tactics inside out, since he was a former Indonesian sergeant.”

“When he was away, the rebels would be a body without a brain,” he said.

Sonny Saba at his home in the border town of Vanimo, Papua New Guinea. Photo: Rohan Radheya

The head of Rumkoremʼs intelligence unit then came up with a date just before a devastating storm would strike PNG waters.

Rumkorem left full leadership on the shoulders of his defence minister, Richard Joweni and departed to Vanuatu.

Facing the storm, their prao (traditional Melanesian boat) broke down in the Pacific Ocean and they ended up stranded in Rabaul without food and supplies.

A Dutch map of Rabaul Photo: Supplied

Fearing Indonesian pressure, PNG officials told Rumkorem they could not stay, but they also did not want to extradite them.

In Rabaul, the Papuans met NY Times journalist Colin Campbell. Rumkorem declared to him that his movement sought a revolution, universal human rights, freedom, democracy and social justice.

When asked if it included any Marxist factions, he replied, ”No, our country is a Christian country.”

Betrayal

When Rumkorem eventually realised that there were no weapons in Vanuatu, he called Tan Sen in the Hague.

“Rumkorem was crying, and understood he was tricked,” said Tan Sen. “He told me he wanted to return to West Papua.”

“I told him that I gained valuable intelligence that the Indonesians had sealed the border and were waiting for his return… returning would be suicide.”

“Don’t bite off more than you can chew,” I told him.

“Discredition is the better part of valour and you are no use to us death, I warned him.”

Tan Sen then arranged asylum for Rumkorem in Greece.

From Greece, Rumkorem migrated to the Netherlands from where he continued to lobby for West Papuan independence till his death in 2010, in Wageningen.

Rumkoremʼs departure would be a devastating blow for the remaining West Papuan fighters in the forest who had few or no military experience nor weapons.

Rumkoremʼs successor in West Papua Richard Joweni continued to wage a three-decades long guerrilla insurgency after Rumkoremʼs departure, but he was also no match against the modern weapons of the Indonesian army.

Fearing the death of more of his men, Joweni finally signed a ceasefire with Jakartaʼs special envoy Dr Farid Hussein in 2011, known as the 11-11-11-11 agreement.

The deal was brokered on 11 November 2011, at 11 o’clock at OPM headquarters in the West Papuan jungle.

Dr Hussein earlier also brokered a ceasefire with the independence movement in Aceh in what led to the Helsinki agreement which provided a basis for peace in the restive Indonesian region.

Joweni would later sneak out of West Papua using a fake passport and travel to Vanuatu to meet with Prime Minister Moana Carcasses Kalosil in 2013.

There he would discuss a proposal to lobby for West Papuan membership in the Melanesian Spearhead Group.

After the death of Joweni in 2015, the quest was carried onwards by the United Liberation Movement for West Papua under the stewardship of Andy Ayamiseba, Rex Rumakiek, Octo Mote and others, then eventually taken over by Oxford-based Benny Wenda.

Having attained observer status in the MSG the ULMWP has gained a measure of international recognition that worries Jakarta.

West Papuan Author and Journalist Aprila Wayar grieving at the grave of Seth Jafeth Rumkorem in the Hague. Photo: Rohan Radheya

Duct-taped windows

In Tan Sen’s living room hangs several old photos of ancient Confucian war-gods, a religion that was strictly forbidden during Soeharto’s rule.

The living room is decorated with several book closets full of rusty files and old documents. He has pasted all windows with duck tape and builded a fence around the glass in fear of Indonesian spies.

Tan Sen claims the military attache of the Indonesian consulate in the Hague recently paid him a visit.

“He asked for a list of West Papuan independence fighters who lived in exile in The Netherlands,” Tan reveals.

“I would be royally rewarded.”

“What did you do?” I ask curiously.

“What else? I slammed the door at his nose,” he laughs viciously.

Tan Sen doesn’t trust the internet and doesn’t own a smart phone. He doesn’t speak English but is fluent in Dutch.

He reads the full Dutch newspaper in the morning, take notes and then puts the newspaper in his archive. Tan has a full closet of newspapers dating back to 1980.

This pioneering figure in the Papuan independence movement uses an old landline number to occasionally remain in contact with his old comrades in the jungle.

He enquires about the latest developments in the MSG where the ULMWP continued to appeal for full membership.

It is as if the world has passed him by. Most West Papuans do not even know he is alive today.

Even Papuan intellectuals, activists, international journalists, and the young generation of Papuan fighters I met during my trips in West Papua did not know who Tan Sen was.

It has become clear that when the first generation of West Papuan independence fighters fled Papua, they took a huge chunk of Papuan history alongside with them.

The result was that the younger Papuan generation lost a huge part of their own history.

When I ask whether he remains optimistic for West Papuan Independence, Tan Sen says he feels disappointed by the new generation of Papuan independence fighters who don’t deem him fit to lead them any longer.

They would not visit him or include him in the decision making because they felt he was not a native Papuan and not eligible.

“How would you define a Papuan today?” he asks.

“There are tens of thousands of Papuans serving in Indonesian armed forces today.

“They consider themselves Indonesians. Why canʼt I consider myself Papuan Melanesian?

“If race would define your identity or nationality, there wouldn’t be white Africans or black Europeans today,” he explains, citing the plight of white Afrikaners in post independent Zimbabwe.

“What will happen to the millions of Indonesian transmigrants that are born in Papua after 1962 and consider themselves Papuan? ” he stresses.

I remain silent. He pauses before concluding.

“I am still optimistic that I can return to a free and independent West Papua one day,” he shrugs.

*Rohan Radheya is an award-winning filmmaker, documentary photographer and journalist from the Netherlands.

Source: RNZ

Nicolaas Jouwe: Cucu, Tete Benci Manusia Papua dengan Ego Besar, tetapi Miskin Pemikirannya untuk Masa Depan Papua

Selama seminggu penuh, tepat Bulan Mei, tahun 2000, telah berlangsung Kuliah Khusus dengan topik, “Sejarah dan Arah Papua Merdeka” di Den Haag, Negeri Belanda. Ruang kuliahnya ialah ruang tamu dari Rumah mantan gerilyawan TEPENAL Alez Derey, dan dosen yang memberikan kuliah ialah Prof. OPM Nicolaas Jouwe. Mahasiswanya hanya satu orang, bernama Capt. TPN/OPM Amunggut Tabi.

Setelah kuliah itu berlangsung, maka Capt. TPN/OPM Amunggut Tabi datang ke Tanah Papua, menghadiri Kongres Rakyat Papua II (KRP II) 2000.

Akan diberitakan dalam PMNews rentetan perkuliahan dimaksud. Akan tetapi terkait dengan arahan umum Gen. Mathias Wenda dari Markas Pusat Pertahanan (MPP) Tentara Revolusi West Papua (TRWP) menyangkut perjuangan Papua Merdeka dan “ego” dari tokoh dan aktivis Papua Merdeka hari ini, maka kita angkat catatan perkuliahan ini dengan judul “Nicolaas Jouwe: Cucu, Tete Benci Manusia Papua dengan Ego Besar, tetapi Miskin Pemikirannya untuk Masa Depan Papua

Topik ini, “ego pemimpin Papua harus dimatikan”, itu muncul pada Prof. OPM Jouwe berkuliah tentang

“Apa penyebab utama kegagalan demi kegagalan dialami oleh para tokoh perjuangan Papua Merdeka, padahal Timor Leste yang baru mulai berjuang 10 tahun belakangan malah sudah merdeka waktu itu?”

Ini pernyataan sebagai pertanyaan dari sang mahasiswa kepada professornya, karena dia baru saja kehilangan banyak teman-temannya dari Timor Leste karena mereka telah pulang dari Eropa, setelah mengakhiri perjuangan mereka. Sang mahasiswa bertanya, mereka berjuang belakangan tetapi masuk ke garis finish duluan, sedangkan orang Papua mengambil start 10 tahun lebih dulu, tetapi belum juga menunjukkan garis-garis final.

Jawaban pertama dari Nicolaas Jouwe sebagai berikut

Cucu, Tete kasih tahu bahwasannya para pejuang Papua Merdeka, anak-anak dan cucu-cucu saya semua, sekalian bangsa Papua yang masih berjuang dengan ego-ego pribadi, dengan kepentingan kelompok sendiri dan mengesampingkan kepentingan Bintang Kejora, seperti adik saya Theys Eluay dan lain-lain, mereka semua akan mati sebelum tete mati. Mereka tidak akan melihat Papua Merdeka.

Mereka akan mati di seberang sungai Yordan. Alasannya karena mereka itu egonya besar, egonya masih hidup. Kepentingan pribadi mereka untuk dapat kursi di DPR RI, di provinsi Irian Jaya, untuk menjadi pejabat itulah sebabnya mereka minta Papua Merdeka. Ini alasan dan cara salah. Ini hanya melayani ego pribadi.

Sama dengan itu, cucu sudah tahu di hutan itu banyak terjadi cek-cok dan baku bunuh kiri-kanan. Ini anak Derey masih ada, dia ada dengar. Generasi mereka ini tidak baik, mereka harus mati semua dulu baru Indonesia keluar dari Tanah Papua.

Bahwasannya ego pribadi Alex Derey, Theys Eluay,. Thom Beanal, Mathias Wenda, semua harus mati dulu, itu baru Papua Merdeka.

Ingat cucu, Fretelin menyatukan semua perjuangan Timor Leste, dan mereka lepas. Orang Papua sidang beribu-ribu kali di Negeri Belanda ini, mereka bilang mau satukan barisan. Tetapi tokoh-tokoh seperti …., …., …., mereka-mereka ini yang tidak mau bersatu. Masing-masing pertahankan ego dan kelompok mereka.

Cucu harus camkan, dan ingat baik-baik. Bahwasannya sebuah perjuangan kebangsaan untuk mendirikan negara baru seperti kita bangsa Papua, kita butuh orang-orang negarawan, yang sepenuh hidupnya memikirkan kepentingan bangsanya dan berjuang untuk negara West Papua.

Saya yakin, cucu, saya percaya cucu. Tuhan sudah kasih tahu tete, makanya tete datang ke sini. Generasi kalian ini-lah yang akan membawa Papua menjadi merdeka. Tetapi cucu harus jaga adik-adik semua, siapa saja yang ego-nya besar, suruh mereka mundur dari barisan ini. Kalau tidak kalian akan tunda waktu kemerdekaan bangsa Papua.

Perkuliahan dilakukan selama 24 jam, 2 minggu, Senin sampai Minggu. Babi yang disembelih waktu itu diantar langsung dari warung yang telah dipesan Tete Jouwe, babi guling ala Bali, dua ekor, dan anggur yang dibawa waktu itu 2 karton, masing-masing karton berisi kira-kira 12-20 botol.

Tete Jouwe memang senang anggur, sangat menyukainya, dan pipa cerutu selalu di mulutnya sambil berbicara. Tongkat komando adatnya selalu saja disamping. Saat bicara yang penting, bersifat komando atau mandat, beliau selalu memnita cucunya, Capt. TPN/OPM Amunggut Tabi untuk memegang dan mencium tongkatnya itu.

[Berlanjut ke cerita 2)

Riset Perang Indonesia 1945-1950, Belanda Kucurkan 4,1 Juta Euro

Ilustrasi: Salah satu kapal perang Belanda yang tenggelam pada Pertempuran Laut Jawa 1942, tenggelam saat menghadang invasi Jepang ke Pulau Jawa. (Royal Navy Official Photographer)
Ilustrasi: Salah satu kapal perang Belanda yang tenggelam pada Pertempuran Laut Jawa 1942, tenggelam saat menghadang invasi Jepang ke Pulau Jawa. (Royal Navy Official Photographer)

Leiden – Tiga lembaga penelitian Belanda akan melanjutkan penelitian penggunaan kekerasan selama perang dekolonialisasi tahun 1945 sampai 1950 di Indonesia. Penelitian ini berdana Rp 64,8 miliar dan dimulai bulan ini.

Sebagaimana diberitakan situs resmi Universitas Leiden pada 2 Maret 2017 dan diakses detikcom, Minggu (17/9/2017), penelitian ini bakal berlangsung sampai empat tahun ke depan.

Tiga lembaga penelitian yang terlibat adalah Lembaga Ilmu Bahasa, Negara dan Antropologi Kerajaan Belanda (KITLV) dari Universitas Leiden, Lembaga Belanda untuk Penelitian Perang, Holocaust, dan Genosida (NIOD), dan Lembaga Penelitian Belanda untuk Sejarah Militer (NIMH).

Mereka menyebut dana yang dikucurkan sebesar 4,1 juta Euro. Bila dikonversi dengan kurs 17 Maret 2017 (1 Euro = Rp 14.334) maka itu sama dengan Rp 58.769.400.000. Bila dikonversi dengan kurs saat ini (1 Euro = Rp 15.814) maka itu sama dengan Rp 64.840.450.743.

Penelitian kolaboratif ini tak akan memeriksa sisi militer dari serjarah ini, namun juga bakal memeriksa aksi politik, administratif, serta hukum Belanda dan Indonesia pada masa-masa itu.

Pada akhir 2016, pemerintah Belanda sudah memutuskan untuk mempersiapkan penelitian komprehensif dan independen terhadap perang revolusi nasional Indonesia itu. Pada tahun-tahun belakangan, publikasi ilmiah dan karya jurnalistik bermunculan. Karya-karya itu menyebut Belanda menggunakan kekerasan struktural dan berlebihan selama konflik.

“Kita harus melihat baik-baik cermin masa lalu kita,” kata Menteri Luar Negeri Belanda, Bert Koenders, saat mengumumkan proyek penelitian ini.

KITLV akan berkolaborasi dengan sejumlah universitas di Indonesia dan mengundang para peneliti Indonesia dalam berbagai sub-proyek penelitian ini. Riset baru ini sudah dimulai sejak 2012, diadakan oleh KITLV sebagai penelitian aksi militer Belanda di Indonesia periode 1945-1950.

Profesor Universitas Leiden Gert Oostindie telah bertahun-tahun melakukan lobi untuk menyelenggarakan penelitian ini. Dalam bukunya, ‘Soldaat in Indonesië’, dia menunjukkan dasar dokumen personal milik para tentara belanda, menunjukkan adanya kekerasan saat itu.

“Meski begitu, ada banyak hal yang kita tak pahami sepenuhnya,” kata Oostindie pada tahun lalu. “Misalnya konteks dari kekerasan. Bagaimana para politisi, pejabat, dan penegak hukum bereaksi?” imbuhnya yang puas dengan pengumuman kelanjutan penelitian ini.

(dnu/fay)

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny