Ketua MRP : Jangan Terprovokasi 1 Desember

JAYAPURA- Ketua MRP, Timotius Murib mengatakan, masyarakat tak perlu resah atau terganggu dengan segala aksi yang akan dilakukan jelang peringatan 1 Desember.

Menurut Murib momen 1 Desember bukan momen yang perlu ditakutkan sebab itu hanya diperingati kelompok tertentu. Untuk itu diingatkan bagi seluruh masyarakat di Tanah Papua jangan terprovokasi dengan hal hal yang pada akhirnya mengorbankan masyarakat sendiri. “Entah momen 1 Desember atau 14 Desember janganlah ditanggapi berlebihan atau merangkul massa untuk melakukan aksi yang akhirnya mengorbankan diri sendiri karena terbentur dengan aparat,” ujar Murib

Pesan Ketua MRP ini disampaikan ini kepada Bintang Papua, Senin( 26/11). Ia mengatakan masyarakat asli Papua jangalah terhasut oleh hal hal yang bersifat provokatif yang dilakukan sekelompok orang untuk kepentingan tertentu dengan memanfaatkan kedua momen ini, karena kedua momen ini dilakukan oleh kelompok tertentu dua pihak yang sama sama memperingati sebuah hari yang dimaknai sendiri dengan caranya sendiri dan pasti mereka juga tak menginginkan terjadi suasana yang tidak diinginkan. Untuk itu, Ketua MRP mengajak semua masyarakat di Papua khusus kaum Nasrani untuk lebih memfokuskan diri pada Perayaan Natal yang merupakan Hari raya Suci, Hari yang berbahagia, dari pada memikirkan hal hal yang tak mungkin hingga melupakan masa- masa Adven menuju Pesta Natal yang suci ini.” Sangat baik masyarakat kita memfokuskan diri pada persiapan Natal sehingga Bulan Desember 2012 ini makna Natal itu dapat dirasakan, sebab dari pengalaman tahun sebelumnya memasuki Natal selalu diwarnai situasi tak nyaman di masyarakat yang berpengaruh pada seluruh persiapan umat Kristen menyambut Natal. (Ven/don/l03)

Rabu, 28 November 2012 08:22, Binpa

‘1 Desember Sakral Jangan Dikotori’

Alex Baransano, Komandan SATGAS Port Numbay
Alex Baransano, Komandan SATGAS Port Numbay
JAYAPURA—Menilai isu-isu yang berkembang menjelang 1 Desember sudah berlebihan, membuat SATGAS Papua mengeluarkan himbauan agar masyarakat tidak perlu takut dalam menghadapi momen tersebut.

Alex Baransano, Wakil I Bidang Komando SATGAS Papua yang menyambangi Bintang Papua Senin (26/11) malam menyerukan agar seluruh pihak dapat memandang momen tersebut dengan baik walau di dalamnya menyangkut banyak kepentingan, termasuk kepentingan politik. “Masyarakat Papua dihimbau melihat (1 Desember) dengan baik, memang momen ini sangat sakral jadi jangan dikotori dengan aksi anarkis atau pun pengibaran bendera,” ucapnya.

Lebih lanjut ia mengutarakan bahwa dibalik 1 Desember ada momen yang jauh lebih penting, yang itu momen Pemilihan gubernur Papua. “Kami tidak mau orang Papua berkelahi di dapurnya sendiri, dan kami mengajak semua pihak untuk menyukseskan PILGUB agar putra Papua yang terpilih nantinya bisa membawa perubahan,” tuturnya lagi.

Alex yang juga mengaku menjabat Komandan SATGAS Port Numbay berucap agar masyarakat jangan melihat hal ini sebagai hal yang menakutkan. Dan kepada pihak-pihak yang memiliki kepentingan dibaliknya ia menegaskan agar mereka tidak mendahului kehendak Tuhan karena menurutnya ada waktu Tuhan untuk menentukan segalanya. Ditanya mengenai kemungkinan yang biasa terjadi pada saat 1 Desember seperti pengibaran bendera, ia berkomentar, belum ada pihak yang menjamin akan melakukan aksi tersebut.

“Tidak ada yang menjamin akan ada pengibaran bendera, bendera itu bukan mainan yang bisa dimainkan seenaknya saja, kadang dikibarkan lalu diturunkan,” cetusnya.

Ia pun berani menjamin bahwa 1 Desember akan bisa dilalui dengan situasi yang aman, sehingga masyarakat tidak perlu takut dalam melakukan aktifitas.

Polri Tak Boleh Tembak Warga Sipil
Adanya isu yang berhempus 1 Desember mendatang akan terjadi konflik di sejumlah wilayah di Tanah Papua yang acapkali diperingati sebagau HUT TPN/OPM ditanggapi dingin Wakil Ketua DPRP Yunus Wonda, SH yang dikonfirmasi, Senin (26/1).

Kata dia, pihaknya menghimbau kepada aparat Polri memberikan keleluasaan warga yang ingin menyampaikan ibadah syukur saat 1 Desember mendatang.

“Kalaupun rakyat melakukan ibadah syukuran. Ya, ibadah syukuran dengan Tuhan. Itu hak setiap warga negara. Kita tak bisa melarang orang beribadah karena itu dilindungi UU. Tapi menciptakan situsi yang kondusif hingga ibadah syukuran berakhir,”kata Wonda.

Namun, kata dia, bila pihak-pihak tertentu mengibarkan bendera Bintang Kejora, maka aparat Polri perlu melakukan pendekatan persuasif bukan justu melakukan pendekatan kekerasan dan represif seperti menembak mati dan menghilangkan nyawa warga sipil yang tak berdosa.

Politisi Demokrat ini menegaskan, pendekatan kekerasan dan represif menembak mati atau menghilangkan nyawa orang lain bukan solusi. Tapi pendekatan persuasif harus dibangun di Papua.
“Sudah terlalu banyak pertumpahan darah di Papua. Sudah waktunya mengakhiri dari semua itu, pendekatan yang dibangun selama ini oleh pihak aparat TNI Polri ini harus terus dibangun sekaligus komunikasi dengan masyarakat,” tuturnya.
Terkait adanya ancaman dari pihak-pihak tertentu yang ingin mengibarkan Bintang Kejora khususnya di wilayah Jayapura Utara, Kapolsek Jayapura Utara AKP KR Sawaki, SE yang dihubungi terpisah mengatakan, pihaknya memberikan jaminan pada 1 Desember tak ada pengibaran bendera Bintang Kajora.

“Saya tak mau mendahului kekuasaan Tuhan, tapi naluri saya menjamin 1 Desember wilayah saya aman karena saya menjadi bagian dari masyarakat. Masyarakat menjadi bagian dari saya dan ada komitmen bersama yang telah dibangun ketika kami melakukan acara bakar batu bersama masyarakat di Kelurahan Angkasa,”kata dia.

Dia mengatakan, bila ada pihak yang mengibarkan Bintang Kejora dalah provokator. Dan itu tetap disikapi secara serius oleh masyarakat adat baik secara hukum, budaya dan adat. “Kami telah berjanji bersama untuk menjaga stabilitas, keamanan dan ketertiban masyarakat melalui pendekatan humanis sebagaimana amanat Kapolda Papua ketika membuka Operasi Aman Matoa II,” ujarnya. (ds/mdc/don/l03)

Selasa, 27 November 2012 10:10, Binpa

Agustinus Waipon : HUT OPM 1 Desember Tak Punya Landasan Hukum

Bukan 1 Desember tapi 1 Juli

JAYAPURA – Momen 1 Desember yang setiap tahunnya diperingati  sebagai HUT Organisasi Papua Merdeka (OPM) ditanggapi berbeda oleh Agustinus Waipon yang mengaku sebagai Kepala Kantor Sekretariat Negara Republik Papua Barat. Menurutnya, peringatakan itu tidak mempunyai/memiliki landasan hukum konstitusional.  Ditegaskan demikian, karena kemerdekaan bangsa Papua Barat atau yang kini menjadi Negara Repoblik Papua Barat (NRPB) bukan pada 1 Desember 1961 melainkan pada 1 Juli 1971.

“Peringatan 1 desember adalah sebuah pembohongan politik bagi rakyat Papua,”

tegasnya kepada Bintang Papua, Rabu, (21/11).

Untuk itulah, dirinya mengajak semua komponen masyarakat Papua Barat untuk tidak melakukan perayaan peringatan kemerdekaan NRPB pada 1 Desember 2012 mendatang, karena hal itu sama saja mengkhianati perjuangan yang selama ini dilakukan para pejuangan rakyat Papua sejak dulu hingga sekarang.

“Janganlah berjuang dengan tindakan anarkis yang akhirnya merugikan diri sendiri, dan rakyat Papua serta menodai cita-cita luhur pejuangan kemerdekaan kita menjadi sebuah Negara yang berdaulat,”

tukasnya. Dijelaskannya, sesuai dengan dokumen kenegaraan, bahwa perjuangan TPN-OPM bersama rakyat bangsa Papua Barat dengan landasan dan ideologi Papua Merdeka yaitu tertanggal 1 juli 1971 diumumkan Proklamasinya di Waris-Keerom, dengan lahirnya Undang-Undang Dasar (UUD) nya itu . Dimana pada kesempatan itu menolak dengan tegas hasil Pepera 1969 itu karena cacat hukum dan pelanggaran HAM tinggi di Tanah Papua Barat.

Menurutnya, UU konstitusi NRPB yakni 1 Juli 1971 yang menyangkut didalamnya terdapat 343 pasal sudah lengkap dan pemerintahan secara ‘devacto’ bangsa dan negara sudah ada, tinggal menunggu pengakuan secara penuh (pengakuan secara ‘dejure’ atau hukum) dari NKRI dan dunia internasional.

“Kami menyampaikan kepada organisasi sipil yang tergabung dalam perjuangan kelompok-kelompok lain yang tidak punya hak sedikitpun kewenangan untuk membentuk negara atau umumkan pemerintahan, segera bubarkan diri karena tidak mempunyai legalitas hukum yang kuat,”

tegasnya.

Ditandaskan seperti itu, karena mengkotori perjuangan murni dari rakyat Papua untuk merdeka secara berdaulat, sebab NRPB sudah ada dalam konstitusi undang-undang 1 Juli 1971 dimaksud yang menyatakan adalah Organisasi Papua Merdeka merupakan organisasi induk.

“Kepada pihak-pihak yang selama ini di luar OPM yang mengklaim dirinya memperjuangkan kemerdekaan Papua Barat, sebaiknya jangan hanya beradu mulut, tapi harus beradu konsep yuiridis yang nyata yang mempunyai kekuatan hukum, sebab masalah Papua adalah masalah hukum,”

pungkasnya.(nls/don/l03)

Kamis, 22 November 2012 09:23, www.bintangpapua.com

Monumen untuk orang Papua yang dibunuh selama periode 1942 – 1962 didirikan di Royal Estate, Negeri Belanda

Peserta Peresmian Monumen di Negeri Belanda
Peserta Peresmian Monumen di Negeri Belanda

Tanggal 1 Ockober 2012 sebah monumen untuk orang Papua yang dibunuh selama periode 1942 – 1962 didirikan di Royal Estate  ‘Bronbeek’ di Arnhem, the Netherlands.

Monumen ini didanai oleh veteran dari Netherlands New Guinea.

Acara ini dibuka oleh Lieutenant-General Oostendorp di hadapan sekitar 900 termasuk veteran dan pengunjung.

Terjemahan dari Text yang tertulis pada monumen ini ialah seperti berikut:

  1. Untuk mengenang pahlawan Papua yang telah gugur
  2. Keberanian dan loyalitas Anda di atas segalanya.
  3. Kami akan terus mengenang Anda dengan penuh hormat
  4. Gabungan Veteran  New Guinea

Gambar-gambar monumen dapat dilihat di sini

Kampanye Papua Merdeka, IPWP dan ILWP

Semenjak pendirian International Parliamentarians for West Papua (IPWP) dan kemudian International Lawyers for West Papua (ILWP), maka terpantul tanggapan pro dan kontra dari berbagai pihak yang mendukung Kampanye Papua Merdeka dan yang mengadu nasib dalam bingkai NKRI. Sejak penjajah menginjakkan kakinya di Tanah Papua, perbedaan dan pertentangan di antara orang Papua sendiri sudah ada. Yang kontra perjuangan Papua Merdeka menghendaki “Tanah Papua menjadi Zona Damai” dengan berbagai embel-embel seolah-olah mau mendengarkan dan menghargai aspirasi bangsa Papua. Sementara yang memperjuangkan kemerdekaannya menentang segala macam kebijakan Jakarta dengan semua alasan yang dimilikinya.

Baik IPWP maupun ILWP hadir sebagai wadah pendamping penyaluran aspirasi yang disampaikan para penyambung lidah bangsa Papua, yang telah lama dinanti-nantikan oleh bangsa Papua. Sudah banyak kali aspirasi bangsa Papua disampaikan, bahkan dengan resiko pertaruhan nyawapun telah dilakukan tanpa hentinya, dari generas ke generasi, dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat di muka Bumi. IPWP dan ILWP ialah organisasi asing, wadah yang didirikan oleh para pemerhati HAM, politisi dan pengacara serta aktivis bidang hukum dan politik yang tentu saja tidak didasarkan kepada sentimen apapun dan juga tidak karena perasaan ataupun belas-kasihan terhadap apa yang terjadi.

Alasan utama keberpihakan masyarakat internasional terhadap nasib dan perjuangan bangsa Papua ialah “KEBENARAN YANG DIPALSUKAN”, dimanipulasi dan direkayasa, terlepas dari untuk apa ada pemalsuan ataupun manipulasi dilakukan antara NKRI-Belanda dan Amerika Serikat berdasarkan “The Bunker’s Plan”. Saat siapapun berdiri di atas KEBENARAN, maka sebenarnya orang Papua sendiri tidak perlu mendesak atau mengemis kepadanya untuk bertindak. Sebab di dalam lubuk hati, di dalam jiwa sana, setiap orang pasti memiliki nurani yang tak pernah berbohong, dan memusuhi serta terus berperang melawan tipu-daya dan kemunafikan. Nurani itulah yang berdiri menantang tipu-muslihat atas nama apapun juga sepanjang ada lanjutan cerita sebuah peristiwa yang memalangkan nasib manusia.

Mereka tahu bahwa ada yang “salah”, “mengapa ada kesalahan”, “bagaimana kesalahan itu bermula dan berakhir”, dan “siapa yang bersalah”. Mereka paham benar ada “penipuan”, “manipulasi”, dan “rekayasa” dalam pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 di Irian Barat, yang dilakukan oleh negara-negara yang konon menyodorkan dirinya sebagai pemenang HAM, demokrasi dan penegakkan supremasi hukum. Apalagi pelaksana dan penanggungjawab kecelakaan sejarah itu ialah badan semua umat manusia di dunia bernama Perserikatan Bangsa-Bangsa. Di satu sisi kita pahami jelas tanpa harus ada penafsiran hukum ataupun penjelasan pakar untuk menjelaskan apakah Pepera 1969 telah berlangsung demokratis atau tidak. Itu fakta, dan itulah KEBENARAN.

Karenanya, biarpun seandainya semua orang Papua ingin tinggal di dalam Bingkai NKRI, biarpun tidak ada orang Papua yang menuntut Papua Merdeka dengan alasan ketidak-absahan Pepera 1969, biarpun dunia menilai NKRI telah berjasa besar dalam membangun tanah dan masyarakat Papua selama pendudukannya sejak 1 Mei 1963, biarpun rakyat Papua memaksa masyarakat internasional menutup mata terhadap manipulasi Pepera 1969, biarpun begitu, fakta sejarah dan Kebenaran kasus hukum, HAM dan Demokrasi dalam implementasi Pepera 1969 tidak dapat begitu saja diabaikan dan dianggap tidak pernah terjadi. Kepentingan pengungkapan kebenaran ini bukan hanya untuk bangsa Papua, tetapi terutama untuk memperbaiki reputasi PBB sebagai lembaga kemanusiaan dan keamanan tertinggi di dunia sehingga tetap menjadi lembaga kredibel dalam penanganan kasus-kasus kemanusiaan dan keamanan serta perdamaian dunia, di samping kepentingan bangsa-bangsa lain yang mengalami nasib serupa. Maka kalau dalam sejarahnya PBB pernah bersalah dan kesalahannya itu berdampak terhadap manusia dan kemanusiaan bangsa-bangsa di dunia, maka PBB tidak boleh tinggal diam. Demikian pula dengan para anggotanya tidak bisa menganggap sebuah sejarah yang salah sebagai suatu fakta yang harus diterima hari ini. Ini penting karena kita sebagai umat manusia dalam peradaban modern ini menjuluki diri sebagai manusia beradab, berbudhi luhur dan bermartabat. Martabat kemanusiaan kita dipertaruhkan dengan mengungkap kesalahan-kesalahan silam yang fatal dan berakibat menyengsarakan nasib suku-suku bangsa manusia di muka Bumi.

ILWP secara khusus tidak harus berpihak kepada bangsa Papua dan perjuangannya. Ia lebih berpihak kepada KEBENARAN, kebenaran bahwa ada pelanggaran HAM, pengebirian prinsip demokrasi universal dan skandal hukum dalam pelaksanaan Pepera 1969. Untuk mengimbangi ketidak-berpihakan itu maka diperlukan IPWP yang secara khusus menyoroti aspirasi politik bangsa Papua yang didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi sebagaimana selalu dikumandangkan dan diundangkan dalam berbagai produk hukum internasional maupun nasional di muka Bumi.

Dalam perjalanannya, ILWP tidak harus secara organisasi dan kampanyenya mendukung Papua Merdeka karena ia berdiri untuk menelaah dan mengungkap skandal hukum dan pengebirian prinsip demokrasi universal serta pelanggaran HAM yang terjadi serta dilakukan oleh PBB serta negara-negara anggotanya. Ini sebuah pekerjaan berat, universal dan bertujuan untuk memperbaiki nama-baik PBB dan para anggotanya, bukan sekedar mengusik masalalu yang telah dikubur dalam rangka mendukung Papua Merdeka.

Sementara itu IPWP bertindak sebagai wadah pendamping penyaluran aspirasi bangsa Papua dalam rangka pendidikan dan pembelajaran terhadap masyarakat internasional tentang kasus dan perjuangan bangsa Papua untuk merdeka dan berdaulat di luar NKRI. IPWP tidak serta-merta dan membabi-buta mendukung Papua Merdeka oleh karena sogokan ataupun berdasarkan pandangan politik tertentu. Ia berpihak kepada KEBENARAN pula, tetapi dalam hal ini kebenaran yang ditampilkan dan dipertanggungjawabkan oleh bangsa Papua. Dalam hal ini NKRI juga berpeluang besar dan wajib mempertanggungjawabkan sikap dan tindakannya di pentas politik dan diplomasi global tanpa harus merasa risau, gelisah dan geram atas aspirasi bangsa Papua. NKRI haruslah “gentlemen” tampil dan menyatakan kleim-kleim-nya secara bermartabat dan bertanggungjawab sebagai sebuah negara-bangsa modern, bukan sebagai negara barbarik dan nasionalis membabi-buta.

IPWP tidak hanya beranggotakan orang-orang pendukung Papua Merdeka, tetapi siapapun yang saat ini menjabat sebagai anggota parlemen di negara manapun berhak mendaftarkan diri untuk terlibat dalam debat dan expose terbuka, demokratis dan bertanggungjawab. IPWP bukan organisasi perjuangan bangsa Papua, tetapi ia berdiri sebagai pendamping dan pemagar sehingga tidak ada pihak-pihak penipu dan penjajah yang memanipulasi sejarah.

Point terakhir, pembentukan IPWP dan ILWP bukanlah sebuah rekayasa politik, karena rekayasa selalu ditopang oleh kekuatan dan kekuasaan. Ia dibentuk oleh kekuatan KEBENARAN MUTLAK, fakta sejarah, dan realitas kehidupan masakini yang bertolak-belakang dengan cita-cita perjuangan proyek Pencerahan di era pertengahan. Ia kelanjutan dari proyek besar modernisasi yang mengedepankan HAM, penegakkan supremasi hukum dan demokrasi. Sama halnya dengan itu, para anggota Parlemen yang telah mendaftarkan dirinya, membentuk IPWP dan mengkampanyekan aspirasi bangsa Papua melakukannya oleh karena KEYAKINAN yang kuat bahwa Pepera 1969 di Irian Barat cacat secara hukum, HAM dan demokrasi, serta tidak dapat dibenarkan secara moral. Mereka bukan mempertaruhkan karier politik, nama baik, jabatan sebagai anggota Parlemen dan kepentingan negara mereka tanpa dasar pemikiran dan pemahaman serta pengetahuan tentang KEBENARAN itu secara tepat. Mereka bukan orang yang mudah dibeli dengan sepeser rupiah. Mereka juga tidak dapat diajak kong-kalingkong hanya untuk kepentingan sesaat. Mereka berdiri karena dan untuk KEBENARAN! Dan Kebenaran itu tidak pernah terkalahkan oleh siapapun, kapanpun, di manapun dan bagaimanapun juga.

Integrasi Papua ke NKRI Perlu Ditulis Kembali

Selasa, 14 Agustus 2012 22:25, http://bintangpapua.com

JAYAPURA—Integrasi  Papua  ke dalam pangkuan  Negara Kesatuan Republik  Indonesia (NKRI)  perlu  ditulis  kembali.

Hal  ini  dimaksudkan  agar  tidak menimbulkan  sejumlah  interpretasi,  baik di kalangan  masyarakat  Papua maupun masyarakat  internasional.   Pasalnya,  ketidakpahaman sejarah integrasi  Papua ke pangkuan NKRI  menyebabkan  makin berlarut -larutnya  penyelesaian masalah  Papua,  serta mempengaruhi   pelaksanaan  pemerintahan, khususnya di Papua.

Demikian  disampaikan Anggota  DPD  RI   Dapil  Papua  Drs  Paulus  Sumino di  Jayapura,  Selasa  (14/8).

Dikatakan,  penulisan  kembali  integrasi Papua kedalam NKRI sebaiknya  didahului  agenda  dialog  apapun  namanya dialog, rekonsiliasi  serta  komunikasi konstruktif  antara pemerintah  dengan masyarakat Papua .

Namun  demikian, agenda  dialog  antara pemerintah  dengan masyarakat Papua, tandas dia, perlu  melibatkan  sembilan kelompok,  termasuk  TPN yang  masih  berjuang  di hutan  belantara Papua  dan  diplomat  OPM  di  luar negeri yang aktif  melakukan diplomasi   untuk Papua  merdeka.  “Apabila  kedua  kelompok ini  tidak  dilibatkan  tetap menjadi masalah  yang  tidak  pernah  tuntas,” ujarnya.

Namun, kata dia,  khusus  untuk diplomat  OPM  yang  berada di luar negeri diharapkan agar  mereka  berlaku  jujur  sudah sejauhmana  hasil  selama 40 tahun melakukan diplomasi     dalam rangka perjuangan Papua Merdeka.  “Hasilnya itu dilaporkan kepada masyarakat  Papua  perlu   dibawa ke PBB atau   tidak perlu,” tutur dia seraya menambahkan,  apabila   tidak perlu  sebaiknya berhenti.”

PIDATO PADA UPACARA PERINGATAN HUT PROKLAMASI REPUBLIK WEST PAPUA 1JULI 2012


DEFACTO 41 TAHUN HUT PROKLAMASI REPUBLIK WEST PAPUA

Yang kami homati, 1. Segenap Makluk hidup dan segenap Rakyat West Papua
2. Seluruh Panglima Gerilya Kordap Daerah
3. Seluruh fungsionaris OPM dan diplomat West Papua
4. Seluruh inteltual dan mahasiswa bangsa Papua
5. Seluruh lapisan elemen perjuagan di dalam Negeri maupun diluar Negeri

Pada kesempatan yang bahagia dan hari yang sangat bersejarah bagi bangsa Papua yang telah menyatakan dirinya untuk berdiri degan kedua kaki diatas tanah air sendiri. Kami mengucapakan SELAMAT MERAYAKAN HARI ULANG TAHUN PROKLAMASI NEGARA WEST PAPUA YANG KE – 41.

Perjuagan suatu bangsa untuk menentukan kedaulatan dan harga diri sebagai suatu entintas suku bangsa adalah hak fundamental yang tidak dapat digadaikan dengan dan dalam bentuk apapun, karena kemerdekaan adalah hak segala bangsa di bumi.

Perjuagan merupakan bagian dari pengorbanan jiwa dan raga, nyawa dan harta benda merupakan suatu bentuk untuk, melindugi dan mempertahankan harga diri sebagai suatu bangsa yang tersendiri yaitu bangsa Papua degan mendirikan institusi modern atau Negara bangsa West Papua untuk berdiri sejajar dengan Negara bangsa lain di dunia.

Sejarah bangsa Papua telah tercatat bahwa, pernah membentuk suatu Negara yang merdeka pada tanggal 1 Desember 1962 dan , degan atribut kelengkapan Negara yang lengkap sebagaimana layaknya suatu Negara berdiri, namun oleh karena kepentingan semua Negara di dunia Negara Republik West Papua menjadi tumbal, digadaikan dan diabaikan dan dilehcekan harga diri kita, hak kita, lewat pelaksanaan PEPERA ( Pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat Papua ) yang penuh degan kebohongan, intimidasi, tekanan militer oleh Negara bangsa Indonesia terhadap Negara bangsa Papua diatas tanah air.
Untuk menyatakan sejarahnya sendiri, rakyat Papua telah menyatakan Proklamasi sebagai Negara yang merdeka secara Defacto pada tanggal 1 Juli 1971 oleh kedua Proklamator Zeth Yafet Roemkorem dan Yakop Pray di rimba raya Papua, demi menyatakan harga diri sebuah Negara bangsa Papua kepada dunia bahwa bangsa Papua menyatakan diri sebagai Negara Republik West Papua.

Kita bangsa Papua kini menjalani jalan yang sama dan yang suda dijalani oleh bangsa Indonesia. Bangsa-bangsa di eropa timur yang tadinya berada dalam integral daerah ( karena dipaksa dan dirampok) dari dan oleh komunisme dari Lenin dan Stalin degan Negara kesatuan yang bernama “ UNI SOVIET”, satu demi satu kini minta kemerdekaan masing-masing. Terlebih karena komunisme suda lenyap dari permukaan bumi.

Indonesia merebut tanah air kita degan bantuan isu komunisme dengan jalan kekerasan. Justru karena itu kita bangsa Papua harus membenahi, menata dan mempertahankan pemerintahan sebagai mana layaknya suatu bangsa mempraktekan, menyatakan martabatnya kepada Negara moderen yang lain di muka bumi dan kita harus beraksi di atas permukaan bumi selayaknya suatu bangsa yang merdeka. Kita terlalu lama berjuang pada tingkat-tingkat rendah sehingga kebanyakan orang di Negara moderen menyatakan” bangsa Papua masih sibuk degan perjuangan di tingkat rendah”.

Saudara sebangsaku; kita bukan suatu Negara miskin kita diberkati degan sumberdaya alam yang kaya-raya dan tidak terhitung nilainya, kita bukan lagi harus menderita di atas kekayaan sendiri, ibarat seekor tikus harus mati dalam gudang makanan, tetapi kita mampu membagun diri kita degan jumlah penduduk 2 setengah juta jiwa dan lebih dari kecukupan untuk menata perekonomian Negara kita untuk kepentingan bangsa Papua dan kesejahteraan rakyat di masa yang akan datang.

Dan juga saya mau tegaskan bahwa; bahwa kita bukan berjuang untuk kepentingan jabatan,pangkat, dan kedudukan tetapi kita harus berjuang demi harkat dan martabat sebagai suatu etintas bangsa Papua karena identitas kita berbeda dari bangsa Indonesia dan untuk berdikari diatas kaki kita sendiri dan Negara yang telah menyatakan dirinya sebagai Negara merdeka pada tanggal 1 Juni 1971 secara defato dan dejure di rimba raya Papua.

Pada kesempatan yang berbahagia ini saya Matias Wenda selaku Pemegang mandat dan tongkat estafet perjuangan Revolusi bangsa Papua, mengajak kepada kita semua degan mengedepankan motto” ONE PEOPLE ONE SOUL bahwa; sudah saatnya kita menata diri, berbenah diri dan terus bangkit bergandeng tangan dan merevolusi total mulai dari gaya berpikir kita, gaya bermain kita, irama kita, gaya pendekatan kita degan penuh keteguhan hati yang jujur dengan nurani yang bersih dan maju bersama-sama sejajar untuk beraksi sebagaimana selayaknya suatu Negara bangsa moderen berperan dalam kanca politik global demi rakyat dan tana air kita West Papua.

Atas nama Sang kalik, atas nama segenap makluk hidup dan segenap rakyat bangsa Papua, atas nama pegorbanan para pahlawan dan pendahulu kita, atas nama yatim piatu, janda, duda dan atas nama generasi bangsa Papua yang ada dan yang akan lahir diatas tanah air Papua, sekali lagi saya ucapkan SELAMAT MERAYAKAN HUT PROKLAMASI NEGARA REPUBLIK WEST PAPUA YANG KE – 41

Salam Revolusi

Dikeluarkan di : Markas Pusat Pertahan Tentara Revolusi West Papua
Pada tanggal : 1 Juli 2012
Jam : 00:10 Waktu WP
=============================
Panglima Komando Revolusi

Mathias Wenda, Gen.TRWP
NBP. A. 001076

Menggugat Organisasi Papua Merdeka (OPM)!

Sebelum Tanah Papua atau Irian Barat dikuasai oleh Kerajaan Belanda pada sekitar abad 18, Kesultanan Tidore dan Bacan telah menanamkan pengaruhnya di Papua (Irian Barat). Kesultanan Tidore memperluas wilayah kerajaannya ke daerah Raja Ampat, Sorong, Fak- Fak dan sepanjang pesisir pantai Teluk Bintuni, Manokwari. Kesultanan Tidore membangun bandar-bandar baru dengan membentuk beberapa kerajaan kecil, dan sebagai rajanya diangkat tokoh masyarakat atau ketua suku di Irian Barat tersebut. Adapun kerajaan–kerajaan tersebut yaitu Kerajaan Kaimana dan kerajaan Ati-Ati , terletak di Fak-Fak Timur, Kerajaan Fatagar di Fak-Fak ; Kerajaan Bintuni, Manokwa dan Kerajaan Kasim di Sele Kabupaten Dati II Sorong.

Untuk memantapkan pelaksanaan kekuasaan pemerintahan atas wilayah Irian Barat Pemerintah Belanda pada tahun 1898 mendirikan sebuah sebuah benteng bernama “Fort du Bus” terletak di kampung Lobo, desa Lobo, keimana, Fak-Fak. Sedang pos pemerintahan yang pertama berkedudukan di Manokwari. Pilihan Manokwari sebagai satu-satunya Pos Pemerintahan yang pertama pada waktu itu, disebabkan karena dari segi letak geografis, kedudukannya sangat strategis, disamping itu pada masa kesultanan Tidore pada tahun 1855 oleh pihak Zending telah mulai diadakan penyebaran Injil di Wilayah Irian Barat, tepatnya pada tanggal 5 Februari 1855, untuk pertama kalinya mereka (Ottow dan Geisler) menginjak kakinya di Pulau Mansinam, yang terletak kurang lebih 1 mill dari kota Manokwari, sehingga hubungan dengan penduduk setempat sudah lebih mudah. Kekuasaan Belanda semakin kuat setelah ada perjanjian dengan kekaisaran Jerman yang menguasai papua nugini utara dan kerajaan Inggris yang menguasai Papua Nugini Selatan.

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 ikut mempengaruhi para pemuda di Irian Barat antara lain Silas Papare, Albert Karubuy, Martin Indey. Pada tahun 1946 di Serui (Yapen Waropen), Silas Papare dan sejumlah pengikutnya mendirikan Organisasi Politik pro-Indonesia yang bernama “Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII)”. Di Manokwari pada tanggal 17 Agustus 1947 dilakukan upacara penarikan bendera merah putih yang dipimpin oleh Silas Papare. Upacara itu dihadiri antara lain oleh Johan Ariks, Albert Karubuy, Lodwijk dan Baren Mandatjan, Samuel Damianus Kawab, dan Franz Joseph Djopari serta ribuan rakyat Papua. Upacara tersebut untuk memperingati Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Peringatan ini diketahui Belanda, pemuda-pemuda itu ditangkap dan dipenjara selama lebih kurang 3 bulan.

Pasca proklamasi kemerdekaan , Belanda yang tidak setuju melakukan agresi militer atas wilayah Indonesia. Tahun 1949 terjadi perundingan antara pihak Indonesia -Belanda di Konferensi Meja Bundar yang menyepekati terbentuknya Republik Indonesia Serikat yang kemudian seperti diketahui masing-masing negara bagian bentukan Belanda membubarkan diri dan bergabung dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, pemerintah Belanda masih mempertahankan kekuasaan terhadap belahan barat pulau Nugini (Papua), dan ini menlanggar janji Belanda untuk menyerahkan Papua bagian barat kepada Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar .

Setelah negosiasi dengan Belanda mengenai penggabungan wilayah irian Barat dengan Indonesia gagal. Presiden Sukarno ingin segera membebaskan Irian Barat dari jajahan Belanda. Presiden Soekarno mencetuskan TRI KOMANDO RAKYAT (TRIKORA) pada tanggal 19 Desember 1961 di Yogyakarta yang isinya sebagai berikut: 1)Gagalkan pembentukan “Negara Papua” buatan Belanda Kolonial.2)Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia.3) Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan Kemerdekaan dan Kesatuan Tanah Air dan Bangsa. Soekarno kemudian membentuk Komando Mandala, dengan Mayjen Soeharto sebagai Panglima Komando. Tugas komando Mandala adalah untuk merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer untuk menggabungkan Papua bagian barat dengan Indonesia. Sedangkan pihak Belanda mengirimkan kapal induk Hr .Ms. Karel Doorman ke Papua bagian barat. Angkatan Laut Belanda (Koninklijke Marine) menjadi tulang punggung pertahanannya di perairan Papua bagian barat. TNI Angkatan Laut kemudian mempersiapkan Operasi Jayawijaya yang merupakan operasi amfibi terbesar dalam sejarah operasi militer Indonesia, Lebih dari 100 kapal perang dan 16.000 prajurit disiapkan dalam operasi tersebut. Satu tim Menpor kemudian berhasil menyusup ke Papua bagian barat melalui laut dengan mendarat di Fakfak. Tim Menpor ini terus masuk jauh ke pedalaman Papua bagian barat melakukan sabotase dan penghancuran objek-objek vital milik Belanda. Pertempuran Laut Aru menenggelamkan KRI Macan Tutul , Komodor Yos Sudarso gugur pada pertempuran ini setelah menyerukan pesan terakhirnya yang terkenal, “Kobarkan semangat pertempuran”. TNI AU dalam waktu tidak lebih dari 1 menit berhasil menerjunkan 81 pasukan penerjun payungdi daerah Teminabuan. Pesawat herculer yang membawa mereka yang menggunakan mesin Allison T56A-15 C-130B Hercules terbang menanjak untuk mencapai ketinggian yang tidak dapat dicapai oleh pesawat Neptune milik Belanda.

Karena kekhawatiran bahwa pihak komunis akan mengambil keuntungan dalam konfik ini, Amerika Serikat mendesak Belanda untuk berunding dengan Indonesia. Karena usaha ini, tercapailah persetujuan New York pada tanggal 15 Agustus 1962. Pada tanggal 1 Mei 1963 UNTEA menyerahkan pemerintahan Papua bagian barat kepada Indonesia. Pada tahun 1969, diselenggarakan referendum yang disaksikan oleh utusan PBB, Hasil referendum adalah Papua bergabung dengan Indonesia dan resmilah Papua bagian barat menjadi provinsi ke-26 Indonesia, dengan nama Irian jaya. Maka Terbebaslah Rakyat Indonesia ditanah papua yang hanya dijanjikan-janjikan kemerdekaan oleh kolonial Belanda padahal tujuannya adalah menjadikannya seperti Suriname di Afrika.

Proses Pembangunan Papua, dan pulau-pulau di Indonesia Timur memang berlangsung lambat dibandingkan dengan saudara-saudaranya di Indonesia seperti sumatera, Jawa , Indonesia Barat Umumnya. Ini tidak lain karena disebabkan karena proses sejarah yang berbeda antara indonesia timur dan Barat. Indonesia Barat sebelum kemerdekaan sudah lebih dahulu maju dari saudaranya di Indonesia timur. di indonsia Barat sudah tumbuh kerajaan -kerajaan Besar seperti Sriwijaya dan Majapahit yang menguasai nusantara, kebudayaan dan perdagangan juga sudah lebih maju, Sekolah-sekolah pun banyak sejak zaman Belanda, sedangkan di indonesia timur seperti halnya di Papua hanya ada satu sekolah yang pernah didirikan Belanda pada tahun 1942 itupun sekolah Polisi untuk mengatasi kekurangan personil tentara di Belanda. Artinya kesenjangan ekonomi antara indonesia barat dan timur dapat dikatakan “wajar” jika kita menengok sejarah . Alangkah naifnya kita di indonesia timur menuntut kemajuan yang sama dengan indonesia barat. Semua butuh proses, pemerintah pun berusaha bekerja keras untuk melakukan percepatan pembangunan di Indonesia timur. Bagaimana bisa pembanguna itu bisa berhasil kalau seperti halnya kita di Papua membiarkan sekelompok saudara kita yang haus kekuasaan dan ingin memperkaya diri atau golongannya terus melakukan kekacauan dan pemberontakan. Bagaimana kita bisa maju, seperti halnya di ambon, Maluku kita masih mempermasalahkan dan terprovokasi isu SARA sehingga terjadi pertumpahan darah sesama saudara sebangsa.

Sejarah pembangunan daerah di Tanah Papua dalam kurun waktu 30-an tahun, lebih dipengaruhi oleh paradigma pertumbuhan yang sentralistis ketimbang paradigma kesejahteraan yang memihak rakyat. hasilnya adalah :
Sumberdaya Manusia : berdasarkan laporan Pemerintah Provinsi Papua (2004) bahwa sebagian besar kualitas sumberdaya manusia di Papua masih belum memadai. Lebih dari 79,4 % penduduk usia kerja (15 tahun ke atas), masih berpendidikan SLTP ke bawah. Dengan kondisi ketenaga kerjaan yang demikian itu, akan sulit menangkap peluang usaha dan menciptakan lapangan kerja. Apalagi dihadapkan pada persaingan yang kian ketat dengan profesionalitas yang tinggi.

Pemberdayaan Ekonomi Daerah : Memperhatikan struktur ekonomi Papua dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, nampak didominasi sektor pertambangan dan penggalian, sektor pertanian, serta sektor perdagangan dan jasa. Sementara sektor-sektor lainnya hanya memberikan kontribusi terhadap PDRB sangat kecil. Menurut hasil penelitian UNDP bekerjasama dengan Universitas Cenderawasih (2005), diperkirakan masih terdapat 41,80% penduduk yang dikategorikan sebagai kelompok miskin di Papua, dan angka ini sedikit menurun pada tahun 2003 yaitu 39,02 %. Bila dibandingkan dengan angka nasional, Papua masih tergolong daerah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi. Di Kabupaten Jayawijaya, Paniai dan Toli-kara memiliki persentase penduduk miskin relatif lebih besar dibanding daerah pantai seperti Asmat, Keerom, Boven Digoel dan Sarmi. Demikian halnya dengan Kabupaten Asmat, Boven Digoel, dan Merauke sebagai kabupaten induknya, tidak ada perbedaan yang jauh dalam hal persentase penduduk miskin. Data yang dikeluarkan oleh Bappenas (2004) dan Susenas (2004) menunjukkan bahwa per-sentase penduduk miskin Papua, menurun dari 41,80 pada 2002 menjadi 39,02 pada tahun 2003. Tetapi jika dibandingkan dengan persentase tingkat nasional, kemiskinan di Papua tergolong tinggi. Sementara itu, Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) dan Indeks pembangunan Manusia (IPM) dapat dilihat pada tabel berikut :

Infrastuktur : Prasarana jalan dan transportasi di Papua adalah salah faktor penyebab utama dari ketertinggalan. Oleh karena itu, pembangunan dan perbaikan atau peningkatan jalan darat menjadi kebutuhan yang sangat mendesak dan penting. Teristimewa untuk tiga kabupaten, Paniai, Tolikara dan Boven Digoel yang memiliki lebih dari 35 kampungnya hanya dapat dijangkau oleh angkutan udara. Keadaan ini mengakibatkan kampung-kampung tersebut secara relatif masih terisolasi. Penambahan jaringan listrik dan kapasitasnya juga menjadi kebutuhan yang sangat mendesak. Kabupaten Paniai dan Sarmi kurang dari 3% penduduknya yang menikmati fasilitas listrik. Ada empat kabupaten, yaitu Sarmi, Keerom, Tolikara dan Boven Digoel yang tidak mengelola sampah dan sanitasi air kotor di daerahnya. Keadaan ini apabila dibiarkan, pada saatnya nanti akan menjadi permasalahan serius di empat kabupaten tersebut. Karena sampah dan sanitasi air kotor yang tidak dikelola dengan baik akan menjadi sumber penyakit bagi penduduk di daerah tersebut. Kebutuhan air bersih juga menjadi hal yang mendesak di lima kabupaten, yaitu Sarmi, Keerom, Tolikara, Boven Digoel dan Asmat. Karena situasi, kondisi dan lingkungannya, kelima kabupaten tersebut, sulit mendapatkan air sumur yang memenuhi standar minimal air bersih. Bahkan khusus untuk daerah Asmat tidak mungkin membuat sumur untuk air minum. Mereka hanya bisa mengandalkan air hujan. Kabupaten Paniai, Sarmi, Keerom dan Tolikara, juga membutuhkan peningkatan pelayanan listrik, jaringan dan kapasitasnya. Kurang dari 3% rumah tangga yang mendapatkan pelayanan listrik. Bahkan di Tolikara, belum ada kantor PLN (Perusahaan Listrik Negara).

Belum lagi masalah budaya, dimana dari ratusan suku-suku yang ada di Papua masih ada satu sama lain bermusuhan dan saling perang. Nah apakah dengan kondisi ini, memilih Merdeka “memisahkan diri ” dari saudaranya sebangsa dan setanah air adalah jalan terbaik? Yang merasakan kekecewaan dengan pemerintahan yang korup di indonesia ini bukan hanya saja Papua, kita semua merasakannya. Namun alangkah bijaknya jika kita bersama memperbaiki bangsa ini . Kita dukung program Otonomi khusus dan pemekaran di Papua sebagai upaya pemercepatan pembangunan. Sekarang 20% APBN disemua sektor diarahkan ke Papua. Pembangunan jalan baru, Pembangkit Listrik Baru, Sekolah, rumah sakit, Lapangan pekerjaan, dipacu diseluruh papua!

Apakah dengan kondisi seperti ini kita bisapercaya kepada OPM (organisasi Papua Merdeka ) yang orang-orangnya tidak pernah merasakan pahit manisnya hidup di papua, orang-orang yang hanya mencari kekuasaan, segelintir golongan yang ingin menguasai kekayaan Papua mampu mensejahterakan Papua dalam sekejap mata!

Saudara ku di Papua, mari letakkan senjata, ambil pena mu kawan! Mari kita berpacu mengisi jiwa raga kita dengan ilmu dan keterampilan! mari kita berkeringat membangun negri! Berlari kencang mengejar ketertinggalan! Ini bukannya zaman terpecah berbelah! ini zaman memperbanyak saudara dan sahabat!

Sejuta Sahabat, sejuta saudara masih kurang! Satu musuh sudah terlalu banyak!

Papua Saudaraku sebangsa setanah air! Rangkul dan peluk pundakku , kawan!

Bersama kita untuk indonesia jaya dan sejahtera dari Sabang sampai Merauke!

27 October 2011 | 21:42
http://regional.kompasiana.com/2011/10/27/menggugat-organisasi-papua-merdeka-opm/

UUD’45 RI DAN KOVENAN PBB MENGAKUI KEMERDEKAAN PAPUA BARAT

Mengakui dan mempertahankan hasil Pepera (plebisit/referendum) 1969 berdasarkan Resolusi PBB 2504 (November 1969) menyangkut Papua Barat (sekarang kedua provinsi Papua dan Papua Barat) sama saja dengan mengabsahkan atau menjustifikasi tindakan kriminal TNI (Tentara Nasional Indonesia) ketika 1.025 orang asli Papua dan non-asli Papua ditunjuk, dipelihara dan ditodong oleh TNI untuk menggiring Papua Barat pada tahun 1960an ke dalam genggaman NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).

Dr. John Saltford (sejarawan Inggris), Prof. Pieter Joost Drooglever (sejarawan Belanda), puluhan penulis (asing dan Papua) lainnya dan berbagai lembaga akademis telah melaporkan kebiadaban TNI sejak Papua Barat dicaplok atau dianeksasi oleh Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963 dengan menunjukkan data praktek yang berlawanan dengan hukum internasional (termasuk hukum Indonesia sendiri) di dalam keseluruhan proses pencaplokan Papua Barat ke dalam genggaman NKRI.

Pada tahun 1969, enam tahun setelah tanggal aneksasi 1 Mei 1963, semacam referendum (peblisit) model Indonesia digelar di Papua Barat dengan dua opsi yaitu Merdeka atau NKRI. Referendum tersebut disebut sebagai Penentuan Pendapat Rakyat (disingkat Pepera) yang pada mulanya akan dilaksanakan sesuai dengan New York Agreement (Perjanjian New York), yaitu suatu kesepakatan yang ditanda-tangani pada tanggal 15 Agustus 1962 antara Indonesia dan Belanda untuk menentukan status Papua Barat ke depan melalui sebuah referendum. Menurut kesepakatan awal, referendum tersebut akan dilaksanakan berdasarkan norma-norma yang berlaku secara universal.

Kesalahan mendasar yang terjadi pada mulanya adalah, bahwa New York Agreement (Perjanjian New York) ditanda-tangani –secara sepihak– oleh Indonesia dan Belanda tanpa mengikut-sertakan rakyat Papua Barat melalui wakil-wakil mereka dari Dewan Papua (lembaga legislatif) yang telah resmi berdiri pada tanggal 5 April 1961. Kesalahan mendasar lainnya bahwa terminologi Act of Free Choice (Tindakan Pilihan Bebas) yang tertuang di dalam New York Agreement dirubah terjemahannya oleh Indonesia menjadi Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Telegram-telegram tahun 1968 dan 1969 dari Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat mengkonfirmasikan bahwa AS mengetahui adanya upaya-upaya militer Indonesia untuk mencegah sebuah referendum atau plebisit dengan meminta Act of Free Choice (Tindakan Pilihan Bebas) digelar sebagai versi militer dengan sebutan Penentuan Pendapat Rakyat (disingkat, Pepera).

Kesalahan mendasar berikutnya adalah, bahwa selama 6 tahun (sejak 1 Mei 1963) sebelum referendum yang disebut Pepera itu dilaksanakan pada tahun 1969, rakyat Papua bersama para pemimpin mereka diintimidasi, diisolasi bahkan dibunuh untuk melicinkan keseluruhan proses aneksasi sampai kepada pemenangan Pepera oleh Indonesia. Pepera’69 merupakan referendum model Indonesia yang praktis dilaksanakan tidak sesuai dengan standard universal yang mengharuskan satu orang satu suara (one person one vote) oleh semua orang dewasa sebagaimana ditetapkan di dalam pasal 18 New York Agreement, tapi sebaliknya dilaksanakan berdasarkan sistem Indonesia yaitu musyawarah. Pepera’69 merupakan rekayasa Indonesia yang di dalam pelaksanaannya, rakyat Papua ditempatkan di depan moncong senjata dan di bawah tekanan sepatu lars TNI sehingga tidak bebas bergerak, tidak bebas melakukan rapat dan tidak bebas bersuara, padahal pasal 22 New York Agreement telah menjamin kebebasan itu.

Gereja Kristen Injili (GKI) Di Tanah Papua melaporkan untuk pertama kali secara terbuka pada Sidang Gereja Se-Dunia di Harare (Zimbabwe) pada tahun 1998 bahwa 100 ribu orang Papua telah meninggal dunia karena dihilangkan dan dieksekusi oleh TNI/Polri sejak 1 Mei 1963 karena mereka secara tegas dan terus menerus menentang penjajahan Indonesia di Papua Barat.
Sudah saatnya bagi Indonesia untuk:

1. Mengakui kesalahan sejarah sekaligus mengakui kebrutalan TNI/Polri di Papua Barat.

2. Mengembalikan status Papua Barat ke posisi 1962-1963 di mana Papua Barat (ketika itu disebut Nederlands Nieuw-Guinea) menjadi daerah yang – tidak berpemerintahan sendiri (non-self-governing territory) – dan berada di bawah pengawasan PBB ketika itu.

3. Mengakui Kovenan PBB Tentang Hak Sipil dan Politik, Pasal 1 ayat 1, bahwa: “Semua bangsa memiliki hak penentuan nasib sendiri. Berdasarkan hak tersebut mereka bebas menentukan status politik mereka dan bebas mengejar pembangunan ekonomi, sosial dan budaya”.

4. Mengakui Mukadimah UUD’45 Republik Indonesia: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.

5. Mengakui Kedaulatan Negara Papua Barat yang telah resmi dideklarasikan oleh Dewan Papua pada tanggal 1 Desember 1961 dengan ditetapkannya nama negara – Papua Barat, lagu kebangsaan – Hai Tanahku Papua dan bendera nasional – Kejora (Bintang Pagi). Sebuah negara yang walaupun belum memiliki pemerintah sendiri dan belum memperoleh pengakuan internasional tapi memiliki rakyat yang hidup turun-temurun di dalam sebuah wilayah yang garis batasnya jelas berdasarkan antropologi dan berdasarkan garis batas Indonesia dan Nederlands Nieuw-Guinea (sebelum 1 Mei 1961) dan sekarang berdasarkan garis batas antara kedua provinsi Papua dan Papua Barat dengan provinsi Maluku.

Ke-5 usulan tersebut di atas ini merupakan solusi yang paling mendasar bagi penyelesaian akar permasalahan di Papua Barat. Ditolaknya ke-5 usulan ini sama saja dengan mempertahankan ketidak-adilan dan ketidak-damaian di Papua Barat. (ottis s. wakum, jakarta 16.08.2011)***

Kaum Pemberontak Bisa Gugat PEPERA

JAYAPURA—Siapa bilang hanya negara yang bisa menggugat PEPERA 1969 ke Mahkamah Internasional?, ternyata subyek hukum lain di luar negara seperti kaum pemberontak dapat menggugat PEPERA.

Demikian disampaikan Dosen Hukum Internasional Fakultas Hukum Uncen Jayapura Yusak E Reba SH MH ketika dihubungi Bintang Papua di Jayapura, Selasa (16/8). Dia menegaskan, di dunia ini kaum pemberontak terdiri dari dua kategori yakni kaum pemberontak bilygrand adalah kaum pemberontak yang diakui secara nasional dan kaum pemberontak insurgent adalah kaum pemberontak yang tak diakui secara internasional. Namun demikian, lanjutnya, kaum pemberontak yang bisa mengugat PEPERA ke Mahkamah Internasional hanyalah kaum pemberontak biliygrand yang diakui secara internasional seperti Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).

Menurutnya, TPN-OPM tak masuk kategori kaum pemberontak bilygrand, tapi masih kategori kaum pemberontak insurgent. Karena itu, OPM tak bisa melakukan perbuatan secara internasional karena dia tak diakui oleh masyarakat internasional dalam hal ini negara negara didunia sebagai sebuah subyek hukum internasional.

Bisa menggugat PEPERA, kata dia, TPN—OPM bisa menggugat PEPERA ke Mahkamah Internasional apabila telah memenuhi empat syarat. Pertama, menguasai sebagian wilayah. Kedua, mempunyai tanda pengenal yang jelas. Ketiga, mempunyai pemimpin yang jelas. Keempat, mendapat dukungan rakyat.

“Apabila TPN-OPM memenuhi 4 syarat tersebut maka status mereka dari pemberontak insurgen naik menjadi pemberontak bilygrand,” ungkapnya.

Kata dia, OPM sangat sulit mememenuhi 4 syarat itu. Dari kategori wilayah, maka wilayah mana yang dikuasai. Atribut bisa terpenuhi. Dukungan dari rakyat belum tahu siapa yang memberikan dukungan kepada OPM.

Tapi apabila OPM sudah diterima negara negara internasional sebagai kaum pemberontak bilygrand, maka OPM atau bisa mempersoalkan PEPERA di Mahkamah Internasional.

Dia menegaskan, sebagaimana tertuang dalam Statuta Roma 1948 yang mengatur tentang keberadaan Mahkamah Pidana International mempunyai kewenangan untuk mengadili 4 jenis pelanggaran HAM berat yakni kejahatan kemanusiaan, kejahatan genocide (pemusnaan etnis), kejahatan perang (war criminal) serta kejahatan agresi (invasi).

Menurut dia, PEPERA tak masuk dalam 4 jenis pelanggaran HAM berat baik kejahatan kemanusiaan, kejahatan genocide, kejahatan perang serta kejahatan agresi.

Dari ke-4 jenis pelanggaran HAM berat itu, menurutnya, PEPERA masuk pelanggaran HAM berat atau tidak. Tapi, dia mengiyakan apabila ILWP hendak mempersoalkan keabsahan PEPERA 1969.

“Silakan ILWP melakukan gugatan. Apakah nanti menerima atau tidak gugatan tersebut tergantung keputusan Mahkamah Internasional,” ungkapnya.

Menurutnya, apabila hendak ditarik kedalam hukum nasional PEPERA juga tak bisa digugat karena Indonesia tak mengakui kejahatan agresi sebagai pelanggaran HAM berat. Pasalnya, UU HAM No 26 Tahun 2000. Tentang Pengadilan HAM Indonesia hanya mengadili dua jenis pelanggaran HAM yaitu kejahatan kemanusiaan dan kejahatan genocide.

Sedangkan kejahatan perang dan kejahatan agresi atau perluasan wilayah tak menjadi kompetensi pengadilan HAM di Indonesia.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Imparsial Jakarta Poengky Indarti menegaskan upaya International Lawyers for West Papua (ILWP) menggugat Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Tahun 1969 di Mahkamah Internasional sulit terwujud. Alasannya karena syarat untuk menggungat ke Mahkamah Internasional adalah sebuah negara, sementara ILWP sendiri bukanlah suatu negara. (mdc/don/l03)

Kamis, 18 Agustus 2011 17:35
http://www.bintangpapua.com/headline/13750-kaum-pemberontak-bisa-gugat-pepera

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny