1 Desember 2016 merupakan kali kedua saya di tangkap dan di represi saat aksi bersama-sama kawan-kawan West Papua. Kali pertama, saat berorasi di depan Istana Presiden, ketika aksi mendukung ILWP pada tanggal 11 Agustus 2011.
Represi kali ini lebih menyakitkan, pukulan, tendangan dan pentungan bertubi-tubi menyasar terutama bagian kepala, ketimbang 5 tahun lalu.
Ada cacian yang sama dari 2 kali penangkapan tersebut, yakni: “Penghianat Bangsa”.
Coba bagaimana itu perwira menengah dan prajurit rendahan meneriaki kami (orang Indonesia) yang membela West Papua sebagai “Penghianat Bangsa”.
Justru “Papa Minta Saham” itu lah pengkhianat bangsa. Pembunuh Theys Elluay itu lah pengkhianat bangsa. Para pembantai lebih dari 500.000 orang West Papua itu pengkhianat bangsa. Sementara Soeharto tidak kalian cap sebagai penghianat bangsa, padahal kurang lebih 2 juta orang mati karena dia. Freeport dia legitimasi kehadirannya di Papua meski belum ada undang-undangnya lewat Kontrak Karya 1967. Prabowo yang di duga menculik aktivis dan melenyapkan beberapa diantaranya, serta mengakibatkan banyak orang meninggal di Timor Leste kalian dukung jadi calon Presiden. Koruptor yang bergelimang kekayaan di atas kemiskinan rakyat jelata kalian biarkan. Bah!
Tahu kah kalian, kita berasal dari suku-suku yang berbeda-beda. Bahasa yang tak sama. Bahkan ras pun diantaranya berbeda.
Kebangsaan kita lahir karena melawan kolonialisme, melawan imperialisme, melawan fasisme dan melawan rasisme. Tanpa itu semua, tak ada kebangsaan Indonesia.
Pembangunan karakter kebangsaan yang adil, demokratis, setara, anti penindasan itu lah yang hendak kami luruskan dan perluas.
Sederhana, tidak ada yang istimewa, mendukung hak penentuan nasib sendiri untuk West Papua merupakan kewajiban kami menjalankan tugas-tugas demokratik sebagai orang kiri.
Dan seharusnya tugas ini dijalankan sepenuh hati oleh orang-orang yang mendaku dirinya sebagai demokratik. Tapi sayang, masih banyak yang demokratik setengah hati. Serta tak sedikit pula orang kiri yang kurang demokratik.
Bagi kami bersolidaritas terhadap West Papua memberikan pelajaran yakni membangkitkan keberanian melawan ketakutan serta pengorbanan yang begitu besar bagi perjuangan. Sesuatu yang bisa jadi semakin surut dalam gerakan kita. Sehingga seharusnya kami lah yang mengucapkan Terima Kasih.
Kunume Wone, PBB – Antonio Guterres dilantik pada Senin (12/12) sebagai Sekretaris Jenderal PBB, sambil mengatakan bahwa lembaga dunia tersebut harus berubah lebih baik guna mengatasi krisis global seperti perang di Suriah.
Saat upacara pelantikan di Majelis Umum, mantan perdana menteri Portugal tersebut meletakkan tangannya di Piagam PBB dan diambil sumpah jabatannya oleh presiden Majelis Umum, Peter Thomson.
Guterres, mantan kepala negara pertama yang menjabat kepala PBB, mengambil alih posisi Ban Ki-moon pada 1 Januari di tengah pertumpahan darah di Suriah dan keraguan atas peran Amerika Serikat (AS) di dunia saat Donald Trump menjabat sebagai presiden AS.
“Organisasi ini adalah landasan multilateralisme dan telah berkontribusi dalam beberapa tahun terkait perdamaian, namun tantangan tersebut kini telah melebihi kemampuan kita untuk merespons,” kata Guterres.
“PBB harus siap untuk berubah.”
Politisi sosialis berusia 67 tahun tersebut mengatakan bahwa PBB harus “mengakui kekurangannya dan mereformasi cara kerjanya,” menyoroti kegagalan untuk mencegah krisis sebagai sebuah kelemahan yang serius.
Mantan kepala pengungsi PBB selama satu dekade itu dilantik saat pasukan Suriah hampir merebut kembali seluruh kota Aleppo — sebuah titik balik dalam perang yang telah terjadi hampir enam tahun.(Ant/AFP)
Pacific countries on tsunami alert following a 7.8 magnitude earthquake off Solomon Islands. Image: USGS
A tsunami warning has been issued for several Pacific countries – including Papua New Guinea, Nauru, Solomon Islands and Vanuatu – following an earthquake with magnitude 7.8 about 68km off the coast of Kirakira in the Solomon Islands early today.
The US Geological Survey (USGS) initially reported the quake at 4.18am local time as 8.0, but later downgraded it to 7.8.
“Hazardous tsunami waves from this earthquake are possible within the next three hours along some coasts of Solomon Islands, Vanuatu, Papua New Guinea, Nauru, New Caledonia, Tuvalu and Kosrae,” stated the warning issued by the Pacific Tsunami Warning Centre.
The centre called on government agencies responsible for dealing with emergency situations to “take action to inform and instruct any coastal populations at risk in accordance with their own evaluation”.
The epicentre of the quake was registered at a depth of 48.7km, according to USGS.
There were no immediate reports of damage to homes in the capital, Honiara.
Tsunami warnings with ETA just hours after the quake struck was issued by the USGS for Kirakira, Auki, Honiara and parts of the Central and Isabel Provinces, but has since passed.
No evacuation was planned for the national referral hospital located on the coast of Honiara, sources said.
Preliminary reports from Kirakira said that while the quake was perhaps the biggest felt in recent times, there was no damage to homes and no immediate reports of casualties.
Foreign Affairs and International Trade cabinet secretary Amina Mohamed. PHOTO | DIANA NGILA
Kenya has expressed support for the Saharawi Arab Democratic Republic’s (SADR) self-determination as part of the campaign by Foreign Affairs Cabinet Secretary Amina Mohamed for the chairperson of the African Union Commission.
Speaking when she made a historic visit to the Western Sahara country, Ms Mohamed said that Kenya supports the SADR quest for full self-determination and its membership to the African Union (AU).
“Kenya fought for its self-determination and supports the people of Saharawi whose land is still occupied. The suffering the people of this country have undergone should come to an end,” she said.
Morocco considers Saharawi as part of its territory.
Ms Mohamed met and held discussions with SADR Prime Minister Abdelkader Taleb.
She also presented a special message from President Uhuru Kenyatta, on her nomination for the AU Commission seat and requested for support.
Drum up support
The development could go against the rapport Kenya recently struck with Morocco that saw President Kenyatta travel to Rabat to drum up support for Ms Mohammed.
Morocco—that is seeking a comeback to AU since withdrawing from the continental body in 1981—has been lobbying for the expulsion of the SADR from AU before it is reinstated.
It is going to be one of the major issues to be discussed at the sidelines of the January 2017 AU heads of state summit in Addis Ababa.
Morocco withdraw from the then Organisation of African Unity (OAU) in 1981 because of the admission of SADR, which it believes it part of its territory.
Most of the citizens of SADR live in camps administered by Algeria and UNHCR.
Jayapura, Jubi – Sampari, sebutan bintang pagi dalam bahasa Biak, dijadikan judul sebuah pameran seni dan serangkaian pameran budaya Papua Barat, serta mengeksplorasi kebangsaan, ekologi, politik dan sejarah Papua Barat.
“Tujuan utama dari pameran ini adalah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat Papua Barat yang berharap mendapatkan kemerdekaan dan hak untuk menentukan nasib sendiri,” kata DR John Ballard, Wakil Rektor Universitas Katolik Australia melalui rilis yang diterima Jubi, Kamis (8/12/2016).
Pameran ini menampilkan tiga puluh enam karya lukis dari seniman dari Belanda, Amerika, dan Australia, serta negara-negara Melanesia seperti Papua Barat, Maluku, Kepulauan Solomon, Vanuatu, Fiji, dan Papua New Guinea. Lukisan yang dipamerkan pada umumnya menggunakan cat minyak dan akrilik di atas kanvas, charcoal di atas kertas, tinta, lino cut print, ilustrasi vektor komputer pada kayu, etsa, kolase, terra cotta yang membentuk relif, benda-benda alam mentah, macrame, seni digital dan fotografi.
Kartun karya John Spooner berjudul The things you see by a green light – Katalog Pameran
Saat membuka pameran seni Sampari yang merupakan pameran seni kedua kalinya dengan tema WEST PAPUA di Galeri ACU Art pada tanggal 2 Desember 2016, DR John Ballard menjelaskan karya-karya seni yang spektakuler ini ditata di ruang publik universitas untuk meningkatkan kesehatan psikologis dan fisik dari orang-orang yang telah mengalami pendudukan rasis selama lebih dari setengah abad.
Pameran ini juga menampilkan dua puluh delapan kartun yang diterbitkan setelah kedatangan 43 pencari suaka Papua Barat pada tahun 2006. Para pencari suaka mencapai pantai barat Semenanjung Cape York pada 17 Januari 2006. Saat itu, Menteri Imigrasi Australia, Amanda Vanstone percaya klaim dari para pencari suakan dan menerbitkan visa perlindungan, yang kemudian memicu kemarahan di Indonesia. Presiden Yudhoyono menarik duta besarnya.
Lukisan karya Peter Woods berjudul Ghost Gum Morning Star – Katalog Pameran
Perdana Menteri Howard mencoba mengelak dengan menyebutkan pencari suaka ini sebagai pendatang gelap (pengungsi). 10 bulan setelah kedatangan 43 orang ini, Indonesia dan Australia menandatangani perjanjian formal (Traktat Lombok) yang melarang orang Papua Barat mengibarkan bendera Bintang Kejora di kedua negara!
Fakta politik di belakang Traktat Lombok ini ditangkap oleh kartunis John Spooner yang menerbitkan karya kartunnya pada koran The Age, 9 November 2006. Sejak saat itu, dua puluh delapan kartun lainnya telah diterbitkan di media mainstream. Kartun-kartun ini menegaskan jurang yang dalam antara kekhawatiran dan opini masyarakat Australia dan bagaimana politisi mereka menterjemahkan keprihatinan dan opini mereka pada kebijakan pemerintah Australia.
Ruth McDougal, kurator seni Pasifik di The Qld Art Gallery dalam katalog pameran menjelaskan karya-karya seni rupa yang ditampilkan dikerjakan bersama oleh seniman dari seluruh Australia.
Lukisan karya seniman Papua Nugini, Martin Lance berjudul Freedom – Katalog Pameran
Mereka membangun dinding solidaritas spektakuler melalui karya seni bersama saudara-saudara Melanesia. Sampari berusaha memberikan bentuk yang sama dari tempat tinggal dan untuk mewujudkan fungsi edukatif yang sama,” tulis Ruth.
Sampari, lanjutnya berusaha untuk melibatkan warga Australia dalam percakapan tentang budaya dan sejarah Papua Barat untuk mengamankan masa depan yang lebih manusiawi untuk bangsa Papua Barat.
“Karya-karya ini merupakan referensi bentuk tradisional budaya, simbol kekuatan, ketahanan dan kebebasan, serta aspirasi sosial dan politik bangsa Papua Barat saat ini,” ungkap Ruth. (*)
Anggota Partai Sosialis Malaysia saat kampanye pemilu legislatif di Selangor, Malaysia – IST
Kuala Lumpur, Jubi – Empat belas organisasi politik dan komunitas internasional menyatakan dukungannya terhadap hak penentuan nasib sendiri West Papua, termasuk referendum, dan meminta pemerintah Indonesia memenuhi hak azasi manusia Papua tanpa disriminasi berbasis ras.
Pernyataan itu digagas oleh Partai Sosialis Malaysia (PSM) yang diluncurkan bersamaan dengan peringatan global 1 Desember.
“Ini memang inisiatif dari PSM. Pada pertemuan setelah Forum Sosialis di Kuala Lumpur (akhir November lalu) kami mendapat informasi tentang mobilisasi tanggal 1 Desember. Kami merasa ada keharusan bagi komunitas kiri internasional untuk mengekspresikan solidaritas. Lalu kami rumuskan pernyataan itu,” ungkap Julius Choo Chon Kai, yang menangani urusan internasional PSM kepada Jubi, Sabtu (3/12/2016).
Di dalam pernyataan tersebut ke-14 organisasi dan komunitas itu menuntut pemerintah Indonesia agar menghormati hak penentuan nasib sendiri rakyat West Papua, termasuk menyelenggarakan referendum untuk memutuskan masa depan West Papua.
Menghentikan represi terhadap rakyat West Papua yang meminta penentuan nasib sendiri, melindungi hak terhadap kebebasan informasi, kebebasan berekspresi, kebebasan berkumpul, dan kebebasan berpikir bagi rakyat West Papua.
Mereka juga mendesak perbaikan kualitas kehidupan Orang Asli Papua melalui pendidikan dan kesehatan serta mengakhiri praktek politik rasial oleh militer Indonesia dan kepolisian terhadap rakyat Papua.
Pernyataan ini didukung beragam organisasi antara lain Solidariti Anak Muda Malaysia (SAMM), Awami Workers Party Pakistan, Partido Lakas ng Masa Philipina, Socialist Alliance Australia, Nouveau Parti Anticapitaliste (NPA) Perancis, Globalization Monitor Hong Kong, Socialist Popular Alliance Mesir, Fourth International, dan Committee for Asian Women.
“Inisiatif ini memang pertama. PSM baru pertamakali bersolidaritas pada hak penentuan nasib sendiri West Papua. Di Malaysia belum terlalu banyak perhatian terhadap isu West Papua. Dulu kelompok HAM seperti SUARAM terlibat solidaritas West Papua, namun tampaknya tak banyak lagi akhir-akhir ini,” ujar Choon Kai.
Sebelumnya PSM telah terlibat dalam dukungan pembebasan Palestina dan Tamil di Sri Lanka. “Setelah pernyataan ini PSM akan terus memantau perkembangan di West Papua,” ujar Choon Kai.
PSM adalah salah satu partai politik haluan kiri di Malaysia yang cukup disegani karena banyak terlibat dalam gerakan sosial untuk perubahan. Mereka sempat memiliki satu kursi di Parlemen Malaysia. Setiap tahun mereka menyelenggarakan konferensi regional yang membicarakan isu-isu perjungan masyarakat di dunia.(*)
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Juru Bicara Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI West Papua), Surya Anta Ginting, telah dibebaskan oleh polisi setelah sempat ditangkap dan ditahan pasca aksi mereka pada 1 Desember.
Kebebasannya tersebut ia konfirmasi ketika satuharapan.com menanyakan hal itu kepadanya hari ini (2/12)
“Sudah bebas kemarin sore,” kata dia, lewat pesan singkat.
Berbeda dengan dugaan banyak orang bahwa ia dan kawan-kawannya ditangkap polisi karena dugaan makar dan ingin mengibarkan bendera Bintang Kejora, Surya Anta mengatakan mereka ditangkap polisi oleh alasan lain.
Menurut Surya Anta, mereka ditahan karena melanggar Peraturan Gubernur yang melarang aksi ke Bundaran Hotel Indonesia.
Sebelumnya, Veronica Koman, Pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, mengatakan, pada saat terjadi dorong-dorongan antara aparat dengan pelaku unjuk rasa, Surya terjatuh lalu ditarik oleh polisi untuk menjauhi kerumunan massa aksi unjuk rasa. Setelah lepas dari massa aksi, dia kemudian ditarik ke barisan polisi dan dipukuli menggunakan pentungan dua kali ke bagian kepala dan tubuh.
“Saya berusaha menunduk dan melindungi kepala saya dengan tangan. Polisi lalu memukul muka saya di mana-mana hingga luka-luka. Muka bagian hidung ditendang, perut dan badan saya juga ditendang,” kata Veronica Koman menceritakan kronologis yang disampaikan Surya Anta dalam pesan singkat, hari Kamis (1/12).
Veronica mengatakan, luka-luka yang dialami Surya antara lain benjol di kepala atas, benjol di kepala belakang, pelipis kanan memar, pelipis kiri memar, hidung luka robek.
Kemudian bagian rahang kanan dan kiri memar, lalu luka baret di punggung, leher, dan bagian badan depan juga diderita Surya akibat peristiwa itu.
Selain Surya Anta, Ketua Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Jefry Wenda, bersama beberapa aktivis lainnya, ditangkap polisi. Mereka di antaranya: Anka Thomas, Jefri Wanda, Frans Nawipa, Iriantibus Murib, Frans Douw, Pyan Pagawak, Minus Gibian, dan puluhan lainnya.
Kemerdekaan ialah Hak Segala Bangsa: Papua, Batak, Betawi, Jawa, Sunda, Bugis…
Dari Markas Pusat Pertahanan Tentara Revolusi Wset Papua (MPP-TRWP), lewat Sekretaris-Jenderal TRWP Lt. Gen. Amunggut Tabi, Gen. TRWP Mathias Wenda dengan ini pertama-tama mengucapkan Salam Jumpa! dan selamat bergabung dalam mebarakan Api Revolusi di seluruh rimba New Guinea dan di antara sekalian bangsa di wilayah Nusantara.
Sdr. Surya Anta dan teman-teman dari seluruh Indonesia, kami dari MPP TRWP menyatakan sambutan meriah dan menyatakan ini sebagai Hadiah HUT Kebangkitan Bangsa Papua I, dan sekaligus sebagai Bingkusan Natal bagi umat Kristian di Tanah Papua dan di seluruh Indonesia, dan bagi orang Melanesia, karena ini adalah sejarah, sebuah mujizat dan sebuah peristiwa, di mana kini, Bintang Fajar Terbit di Bagian Barat.
Peristiwa terbitnya Sang Bintang Fajar dari Barat akan menjadi pengetahuan unik, dan terkesan, akan dikenang sepanjang sejarah manusia, sepanjang manusia hidup di dunia ini. Tentu saja bangsa Indonesia selalu mengenang Sukarno sebagai proklamator. Bangsa Papua mengenal tokoh-tokohnya seperti Theys Eluay, Kelly Kwalik, Abdurrahman Wahid, Mako Tabuni, Elias Yikwa, Hans Bomay, Lukas Tabuni, SJ Roemkorem, Jacob Prai.
Bangsa Papua telah mencatat, dunia telah mencatat, Sdr Surya Anta adalah Surya yang terbit dari Barat, yang tidak dapat dipahami oleh akal sehat politik NKRI.
Apapun yang terjadi, kita patut bangga, kita patut bersyukur kepada nenek-moyang kita masing-masing, kepada para pendahulu kita, kepada para pahlawan, dan kepada Tuhan Pencipta Alam Semesta dan segala makhluk, karena hanya dengan bantuan ilham dan pengertian itulah kita dapat mendudukkan diri sebagai sesama manusia dan membela sesama kalau ada perbuatan manusia yang tidak manusiawi dan melampaui batas-batas rasa kemanusiaan kita.
Apa selama ini terjadi di Tanah Papua ialah sebuah musibah kemanusiaan yang memalukan dan merendahkan tingkat pemahaman dan nalar kita sebagai manusia.
Hanya manusia yang benar-benar manusia, benar-benar terlepas dari apapun yang melekat kepada identitas tubuhnya-lah, yang akan merdeka untuk menyatakan benar kapada yang benar dan salah kepada yang salah, membela kebenaran sampai titik darah penghabisan. Bagi manusia yang terjajah oleh dogma, ideologi dan identitas duniawi yang sementara, ia akan tetap berada dalam kekangan dunia ciptaan yang membawa mimpi buruk bagi dirinya, keluarganya dan bangsanya.
Kita harus akhiri bersama penjajahan ini, dan setiap bangsa di dalam NKRI harus merdeka dan berdaulat, bersama-sama sebagai sesama umat manusia, bertetangga sebagai bangsa, mengikuti langkah Timor Leste.
Simbol Front Rakyat Indonesia untuk West Papua, sebuah front yang dideklarasikan Selasa (29/11/2016) di Jakarta untuk mendukung penentuan nasib sendiri West Papua – pembebasan.org
Jayapura, Jubi – FRI West Papua, kelompok sipil Indonesia yang secara terbuka menyatakan dukungannya atas penentuan nasib sendiri West Papua, mengajak masyarakat Indonesia turut tunjukkan solidaritasnya pada hak bangsa Papua menentukan nasibnya sendiri.
Menurut Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI West Papua) itu, ada tujuh alasan mengapa penting bersolidaritas untuk bangsa West Papua.
Pertama, kata mereka, dunia akan lebih baik dan indah apabila setiap bangsa tidak hidup dalam penjajahan dan dapat bekerjasama secara demokratis, adil dan setara.
Bagi FRI West Papua, penjajahan masih terjadi di Papua oleh sebab integrasi Papua ke NKRI mereka anggap tidak demokratis. Mereka setuju beberapa pendapat gerakan pro kemerdekaan Papua yang menyatakan Pepera 1969 tidak sah, dan oleh karena itu West Papua bukan bagian sah NKRI, alias masih teritori yang tak berpemerintahan sendiri atau dibawah pendudukan.
Alasan kedua, kata Juru bicara FRI West Papua, Surya Anta, yang tampil solo di acara deklarasi front tersebut Selasa (29/11/2016) adalah penindasan sistematis yang tidak manusiawi di Papua harus mengusik nurani kemanusiaan semua masyarakat Indonesia. “Dan membiarkan penjajahan di atas tanah West Papua berlanjut adalah tindakan tidak manusiawi,” kata dia.
Mereka juga mengatakan solidaritas tersebut juga merupakan upaya untuk mendemokratisasikan rakyat dan bangsa Indonesia sendiri, memperjuangkan kesadaran kemanusiaan yang beradab terhadap rakyat dan bangsa Indonesia.
“Solidaritas diperlukan terkait perjuangan melawan Imperialisme dan Korporasi Internasional yang menyokong praktek kolonialisasi NKRI di tanah West Papua, sekaligus menghentikan praktek-prektek militerisme yang mengiringinya,” ujarnya.
FRI West Papua juga menyebutkan bahwa solidaritas terebut adalah bagian dari perlawanan terhadap rasisme terhadap siapapun termasuk rakyat West Papua, dan mereka menyatakan satu-satunya “tindakan bermoral” untuk hentikan “genosida” di West Papua adalah melalui dukungan terhadap penentuan nasib sendiri.
Dukungan
Tri Agus Susanto Siswowiharjo, Dosen Prodi Ilmu Komunikasi STPMD “APMD” Yogyakarta yang juga mantan aktivis Solidaritas untuk Penyelesaian Damai Timor Leste (Solidamor) menyatakan dukungannya pada inisiatif FRI West Papua itu.
“Bagus ada gerakan terbuka seperti itu. Sebagai inisiatif bersama antara orang Indonesia dan Papua. Selama gerakan di Jakarta non violence (anti kekerasan) maka tak ada alasan pemerintah dan publik Indonesia menolak organisasi ini,” kata Tri Agus melalui pesan singkat kepada Jubi, Selasa (29/11).
“Sa yakin orang Indonesia pasti mengetahui bunyi pembukaan UUD ’45: Bahwa kemerdekaan adalah hak setiap bangsa dan seterusnya. Dan dukungan terbuka ini bagus karena sekarang era demokrasi . Berjuang dengan jalur non kekerasan,” ujar dosen yang akrab dipanggil Tass itu. Selain mantan aktivis, dia juga populer karena menulis buku Mati Ketawa Cara Orde Baru dan sempat ditahan di jaman Orde Baru.
Tass menekankan pentingnya kampanye publik lanjutan pasca deklarasi itu. “Tak hanya strategi vs negara, tetapi juga kampanye karena orang-orang Indonesia perlu digelontor berita tentang Papua yang benar,” ujarnya.
Di tempat lain, Alghiffari Aqsa, Direktur LBH Jakarta juga mendukung inisiatif FRI West Papua. “LBH Jakarta bukan bagian FRI, tetapi kami mendukung kebebasan berpendapat dan berekspresi. Dan pembentukan FRI West Papua adalah bagian dari kebebasan berserikat dan berkumpul yang biasa dan sama saja dengan kelompok lainnya. Kita harus hormati hak konstitusionalnya,” kata dia.
Dari New York, AS, Coen Husein Pontoh, pendiri situs IndoProgress.com yang memberi ruang cukup banyak untuk isu-isu Papua, juga menyambut deklarasi front ini. “Sangat dibutuhkan agar rakyat Indonesia mengetahui bahwa ada persoalan besar terkait soal Papua,” kata dia.
Coen menekankan hak penentuan nasib sendiri Papua membutuhkan penghentian tindak kekerasan yang selama ini terjadi terhadap rakyat Papua. “melalui pelaksanaan hak menentukan nasib sendiri maka kita akan mengetahui dengan jelas sejauh mana klaim-klaim politik yang selama ini dilakukan baik oleh pemerintah Indonesia maupun oleh kalangan oposisi di Papua agar mendapat legitimasi dari rakyat Papua,” ujarnya.
Dia juga menambahkan hak tersebut sebetulnya bagian integral dari proses demokrasi sehingga pelaksanaan hak itu akan makin memperkuat sistem demokrasi yang kita anut saat ini.
Muhajir Abdul Azis, seorang anak muda asal Aceh menganggap inisiatif FRI West Papua juga sebagai hal yang mesti didukung. “Saya tidak tahu bagaimana menurut orang Indonesia, apalagi orang-orang di Pulau Jawa yang kebanyakan mengunyah slogan NKRI harga mati. tapi menurut saya sebagai orang Aceh inisiatif ini harus didukung, karena itu perjuangan riil,” kata dia kepada Jubi melalui pesan singkat.
Dia mengaku memahami apa yang dirasa masyarakat Papua, “Bagi yang pernah merasa bagaimana ganasnya militer Indonesia dalam berbagai kasus pembunuhan pasti paham akan apa yang diminta masyarakat Papua,” ujarnya yang merasa hal itu juga didorong oleh perasaan kebangsaan yang berbeda antara Indonesia dan Papua.
Perluasan perhatian
Sejak eskalasi isu penentuan nasib sendiri West Papua di Pasifik, masyarakat Indonesia juga sedikit banyak mengikuti dan coba mengambil sikap.
Pada bulan April 2016 lalu, setidaknya 154 orang dari berbagai spektrum sosial politik dan budaya menyatakan terbuka solidaritas mereka kepada United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dan mengutuk kekerasan yang terjadi pada aktivis-aktivis pendukung ULMWP di Papua.
Di dalam pernyataan 6 April 2016 lalu, seperti dilansir oleh situs papuaitukita.net, mereka menghendaki agar pemerintah Indonesia mendengarkan Papua; mengubah pendekatan represif dan eksploitatif pada Papua; menuntut evaluasi tindakan aparat keamanan di Papua dan menghentikan pengiriman pasukan, termasuk pembangunan komando teritorial dan markas-markas Brimob baru; serta mendukung proses politik damai yang diajukan oleh ULMWP untuk membicarakan hak penentuan nasibnya sendiri.
“Indonesia bukan milik aparat. Indonesia dibangun oleh rakyat, yang berjuang untuk kemerdekaan berkumpul, bersuara dan berekspresi demi kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial,” ujar pernyataan tersebut.
Bersamaan dengan deklarasi yang dilakukan FRI West Papua Selasa (29/11), tampak beberapa orang pemuda menggelar spanduk penolakan di luar gedung LBH Jakarta. Beberapa diantara mereka menggunakan almamater universitas tertentu.
Di dalam spanduknya, mereka menyatakan “Tolak West Papua, dari Sabang Sampai Merauke untuk Indonesia, Save NKRI”. Mereka mengatasnamakan Front Penyelamat Indonesia (FPI).
FRI West Papua tampaknya akan menjadi babak baru dalam pembukaan ruang bagi isu-isu penentuan nasib sendiri West Papua, baik pro maupun kontra, untuk dibicarakan oleh publik politik ibukota.(*)
TabloidWani.com – Kuala Lumpur — 13 organisasi internasional dan delapan kelompok dari Indonesia menyatakan dukungan terhadap perjuangan rakyat Papua Barat untuk menentukan nasib sendiri.
Seperti dilansir dari malaysiakini.com, hari Kamis (1/12), solidaritas 21 organisasi tersebut menyatakan menolak segala bentuk intervensi imperialis dalam proses perjuangan demokrasi di Papua Barat.
“Solidaritas kami dengan rakyat Papua Barat untuk menentukan nasib sendiri merupakan bagian dari perjuangan melawan imperialisme dan koorporasi internasional yang akan mendukung praktik perampasan tanah penjajahan di Papua Barat,” tulis pernyataan itu.
“Kami juga mendesak orang-orang di seluruh dunia untuk mengkonsolidasikan upaya untuk memperluas solidaritas dengan perjuangan rakyat Papua untuk menentukan nasib sendiri,” lanjut pernyataan itu.
Dalam pernyataan bersama itu, 21 organisasi itu menyampaikan lima point tuntutan kepada pemerintah Indonesia.
Menghormati hak untuk menentukan nasib sendiri rakyat Papua Barat, termasuk memegang referendum untuk memutuskan masa depan Papua Barat.
Berhenti melakukan represi terhadap rakyat Papua Barat yang menyuarakan permintaan atas penentuan nasib sendiri.
Lindungi hak untuk kebebasan informasi, kebebasan berekspresi, kebebasan berserikat dan kebebasan berpikir bagi masyarakat Papua.
Meningkatkan kehidupan rakyat Papua Barat dengan memberikan pendidikan gratis, kesehatan universal dan transportasi publik yang terjangkau.
Menolak politik rasial yang dilakukan oleh militer dan polisi Indonesia terhadap rakyat Papua Barat.
Menurut pernyataan bersama itu, sampai hari Kamis (1/12), orang-orang Papua Barat terus menghadapi intimidasi, penindasan dan kekejaman oleh pemerintah Indonesia.
“Tahun ini saja, ribuan telah ditangkap karena menyuarakan tuntutan mereka untuk menentukan nasib sendiri dan referendum kemerdekaan,” tulis pernyataan itu.
13 organisasi internasional tersebut di antaranya:
The Socialist Party of Malaysia (PSM) – Malaysia
Oppressed People’s Network (Shout) – Malaysia
Youth Solidarity Malaysia (SAMM) – Malaysia
Awami Workers Party – Pakistan
Partido Lakas ng Masa (PLM) – Philippines
socialist Alliance – Australia
Anticapitaliste Nouveau Party (NPA) – France
Pioneer – Hong Kong
Globalization Monitor – Hong Kong
Socialist Popular Alliance Party – Egypt
Asia Monitor Resource Centre (AMRC)
Committee for Asian Women (CAW) Fourth International
Kemudian delapan kelompok dari Indonesia di antaranya:
Partai Pembebasan Rakyat (PPR) – Indonesia
Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (PEMBEBASAN) – Indonesia
Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS) – Indonesia
Pusat Perjuangan Rakyat Indonesia (PPRI) – Indonesia
Asosiasi Solidaritas.net – Indonesia
Lingkar Studi Sosialis – Indonesia
States Culture Society Indonesia (earth) – Indonesia