Pacific Vanuatu 10 Oct 2016 Plans afoot for West Papuan membership by year end

RadioNZ – A Vanuatu churchman says there are plans underway to ensure West Papua will be granted full membership of the Melanesian Spearhead Group before Christmas.

The Melanesian Spearhead Group Secretariat in Port Vila, Vanuatu
The Melanesian Spearhead Group Secretariat in Port Vila, Vanuatu Photo: RNZI / Jamie Tahana

Summit meetings of the regional body have been deferred twice this year amid apparent disagreement among leaders over the issue.

The Chairman of the Vanuatu Free West Papua Association, Pastor Alan Nafuki, said he received a briefing on the situation from the MSG’s chair and Solomon Islands Prime Minister Manasseh Sogavare last week.

Pastor Nafuki said he’d been told the summit would now go ahead in early December whether or not all countries attend.

He said full membership for West Papua would be a great achievement and like Christmas cake for all Melanesian countries.

“I am satisfied with what he said and I am very pleased. I think some of the government people they are trying to revisit the MSG constitution and see what option they can take best to accommodate the West Papuans.”

Pastor Nafuki said he’d made sure the prime ministers of Vanuatu and Solomon Islands understood that the people of Vanuatu were 100 percent behind membership for West Papuans.

Tokoh lintas Agama: Jakarta berubah, atau Papua merdeka

JAKARTA, Indonesia – Pemerintah harus mengubah pendekatan terhadap Papua dan diplomasi luar negeri jika tidak ingin provinsi tersebut lepas dari Indonesia, beberapa tokoh lintas agama ingatkan pada Rabu, 5 Oktober.

KONDISI PAPUA. Pendeta Hendrik Lokra, rohaniwan Katolik Benny Susetyo, Humas PGI Jeirry Sumampow, dan Direktur LIMA Indonesia Ray Rangkuti mengadakan konferensi pers mengenai kondisi Papua di Jakarta pada Rabu, 5 September. Foto oleh Kanis Dursin/Rappler  Sumber Dari: http://www.anginselatan.com/2016/10/tokoh-lintas-agama-jakarta-berubah-atau.html#ixzz4MfZCgP7H
KONDISI PAPUA. Pendeta Hendrik Lokra, rohaniwan Katolik Benny Susetyo, Humas PGI Jeirry Sumampow, dan Direktur LIMA Indonesia Ray Rangkuti mengadakan konferensi pers mengenai kondisi Papua di Jakarta pada Rabu, 5 September. Foto oleh Kanis Dursin/Rappler Sumber Dari: http://www.anginselatan.com/2016/10/tokoh-lintas-agama-jakarta-berubah-atau.html#ixzz4MfZCgP7H

Pendeta Hendrik Lokra, Direktur Eksekutif Komisi Keadilan dan Perdamaian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), mengatakan pendekatan keamanan selama ini membuat masyarakat Papua merasa terasing dan kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah.

“Setiap hari ada pembunuhan. Demo, berapa pun jumlah pesertanya, selalu dihadapi oleh polisi dan tentara bersenjata lengkap, seolah-olah sedang berhadapan dengan musuh di medan perang. Fakta-fakta ini yang membuat orang Papua semakin kehilangan trust kepada Jakarta,” kata Hendrik dalam konferensi pers di Jakarta.
Pada akhir September lalu, 7 negara di Kepulauan Pasifik meminta Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyelidiki dugaan pelanggaran HAM berat di Papua.

Salah satu kritikan mereka adalah penangkapan ribuan aktivis Komite Nasional Papua Barat saat melakukan demo damai menuntut referendum di berbagai kota di Papua dan Papua Barat.

Desakan tersebut mendapat tanggapan keras dari delegasi Indonesia yang mengatakan ketujuh negara tersebut tidak memahami sejarah, situasi, dan perkembangan HAM terkini di Indonesia.
Saat ini, sebuah tim gabungan sedang melakukan investigasi tiga dugaan pelanggaran

HAM berat di Papua, termasuk penembakan warga sipil di Paniai pada 8 Desember 2014. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia juga sedang menyelidiki kasus pembunuhan tokoh Papua Theys Hiyo Eluay pada bulan November 2001.

Sejak penentuan pendapat rakyat atau referendum pada 1969, Papua telah berulangkali menjadi daerah operasi militer untuk mengejar kelompok bersenjata Operasi Papua Merdeka. Laporan mengenai penembakan dan penyiksaan warga sipil sering muncul, tetapi belum satu pun orang yang bertanggung jawab atas kekerasan itu dihukum.
Menurut rohaniwan Katolik Benny Susetyo, pendekatan kekerasan membuat orang Papua merasa “bukan bagian dari Indonesia dan terasing” dan menuntut kemerdekaan.
Dia meminta pemerintah menggunakan pendekatan budaya terhadap masyarakat Papua seperti yang dilakukan mantan presiden Abdurrahman Wahid yang mengganti nama Irian dengan Papua dan mengizinkan “bendera budaya Bintang Kejora” bersanding dengan bendera nasional Indonesia.

“Pendekatan budaya maksudnya berdialog, duduk bersama tokoh Papua, dan melibatkan mereka dalam pembangunan ekonomi dan pendidikan,” kata Benny.
Dia juga meminta pemerintah membentuk tim rekonsiliasi di bawah presiden yang bertugas memulihkan martabat orang Papua lewat pendekatan budaya.

“Pemerintah harus berani berdialog dan merangkul orang-orang Papua diaspora. Mungkin sikap mereka keras, mungkin (mereka) menuntut merdeka, mungkin suara mereka lantang menuntut penyelesaian masalah HAM, tetapi kalau kita dengar dengan hati dan mau memahami mereka, mereka akan melunak,” kata Benny.

Menurut Benny, diplomasi luar negeri Indonesia untuk masalah Papua harus mengutamakan dialog dengan negara-negara lain. “Tidak boleh sepelekan negara lain walau mungkin mereka kecil. Dalam diplomasi, Indonesia harus melakukan persuasi dan meyakinkan negara-negara lain bahwa memang benar ada masalah (HAM di Papua) tetapi sedang ditangani oleh pemerintah,” kata Benny.

Sementara itu, Humas PGI Jeirry Sumampow mengatakan maraknya pelanggaran HAM di Papua dan Papua Barat, antara lain, disebabkan oleh perbedaan cara pandang terhadap apa yang terjadi di dua provinsi tersebut.

Pemerintah, menurut Jeirry, selalu melihat demonstrasi di Papua dari kacamata subversi sehingga harus menggunakan pendekatan keamanan dan kekerasan.
“Ini yang membuat banyak yang tidak masuk akal. Demo oleh 5 atua 10 orang dijaga ratusan polisi dengan senjata lengkap, padahal orang-orang Papua masih trauma dengan polisi dan tentara,” kata Jeirry.

Dia mengingatkan negara asing akan terus memantau kondisi HAM di Indonesia, terutama di Papua.

“Di sini kita melihat fenomena sidang PBB. Sebelumnya, jarang (ada negara) yang terang-terangan mengkritik Indonesia dalam kaitan Papua. Dulu, isu Papua diangkat oleh lembaga swadaya masyarakat atau gereja. Tetapi sekarang, negara-negara (di Kepulauan Pasifik) mengambil inisiatif untuk membawa masalah Papua ke PBB,” kata Jeirry.

Pelanggaran HAM

Selain mengubah pendekatan terhadap Papua, Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti meminta pemerintah menyelesaikan secara tuntas berbagai pelanggaran HAM di Papua, terutama dugaan pelanggaran HAM sejak Presiden Joko “Jokowi” Widodo dilantik pada Oktober 2014.

Menurut Ray, intensitas pelanggaran HAM pada era reformasi ini memang cenderung menurun dibandingkan pada zaman Orde Baru tetapi belum ada penangan serius oleh pemerintah.

“Belum ada satu pun kejadian pelanggaran HAM di Papua yang betul-betul selesai secara tuntas oleh pemerintah, padahal eskalasinya menurun,” kata Ray.

Menurut Ray, Presiden Jokowi mempunyai modal politik untuk menyelesaikan masalah Papua karena sebagian besar masyarakat Papua mendukung dia dalam pemilihan presiden tahun 2014 lalu.

Masyarakat Papua, kata Ray, percaya Jokowi bisa menyelesaikan masalah mereka. Sayangnya, dengan semangat “kerja, kerja, kerjanya”, Jokowi mengabaikan masalah hukum dan HAM di Papua.

“Memang benar Papua harus dibangun, tetapi harus ada jaminan bahwa kita (orang Papua) tidak lagi diteror secara psikologis dan ada jaminan kebebasan menyampaikan pendapat,” katanya. Sumber – Rappler.com

Parkop urges Government to address West Papua issue

LoopPNG – Freddy Mou, October 6, 2016  – Bational Capital District Governor Powes Parkop has called on the Government to seriously look into the plight of West Papua.

In a statement, Parkop said Papua New Guinea should be adopting a more moral and humanistic policy on West Papua instead of sticking to the immoral position of continuing to recognize Indonesia Sovereignty over the territory without question or conditions.

Parkop said he will be making submission to this effective to the NEC and will impress on NEC to change our policy.

“Otherwise I will be pushing for such changes in the next Government after 2017 General Election.

“I will be proposing that PNG adopt a position where while we acknowledge Indonesia control over the territory of West Papua, we must question the legality of the integration and call on Indonesia to correct this historical error so as to bring lasting peace and harmony to our region.

“We all know that so called Act of Free Choice in 1969 did not comply with the law as it exist in 1969 or since.

“We all know Indonesia invaded West Papua in 1962 and had military, political and administrative control of the territory in 1969 when the Vote on Integration was taken.

“We all know Indonesia only allowed 1000 people out of 1.2 million Papuans to vote in 1969. We all know that these 1000 people were selected and subject to undue pressure by the Indonesia.

“Indonesia is obliged to correct this historical mistake that continues to retard the progress of the Papua People and hinder their freedom.”

Parkop added that although the Government has made progress in addressing the Papuan issue on a bilateral and multilateral basis but our policy has not changed.

“Our policy to just recognize Indonesia Sovereignty over West Papua without reservation is immoral, outdate and inhuman.

“It is also against our conscience. It is also against the stand or position of all Pacific Countries including Polynesians and Micronesians.”

Indonesia invaded Timor Leste in 1975 and eventually allowed them to decide their future by a referendum 2000.

“We all applaud them for correcting that historical mistake. They should do the same with West Papua. Indonesia will be doing a service to humanity and to itself by making this honorable decision rather than to lie.

Parkop further added that as friends of Indonesia, we should not be afraid to speak our mind about the nature of our friendship including pointing out any impediment to a robust friendship.

He said the future between PNG and Indonesia will be more robust and enhance if Indonesia relents and agree to allow Papuans to morally and legally decide their future by a properly supervised referendum under the United Nations.

“This is the policy PNG Government should adopt as it is moral, humanistic, legal and honest policy.”

VFWPA perkuat solidaritas Melanesia untuk dekolonisasi West Papua

Pertemuan Wantok Melanesia yang diselenggarakan oleh Vanuatu Free West Papua Association (VFWPA) di Vanuatu beberapa waktu lalu - bennywenda facebook page
Pertemuan Wantok Melanesia yang diselenggarakan oleh Vanuatu Free West Papua Association (VFWPA) di Vanuatu beberapa waktu lalu – bennywenda facebook page

Jayapura, Jubi – Pertemuan Wantok Melanesia yang diselenggarakan oleh Vanuatu Free West Papua Association (VFWPA) di Vanuatu beberapa waktu lalu, menegaskan komitmen dukungan terhadap proses dekolonisasi atas anggota-anggota keluarga Melanesia di kawasan negara-negara anggota MSG, khususnya West Papua.

Didukung oleh Asosiasi LSM Kepulauan Pasifik (PIANGO), sekitar 43 perwakilan masyarakat sipil dari Vanuatu, West Papua, Fiji, Kanaky, Papua Nugini, dan Kepulauan Solomon bertemu di Vanuatu untuk memperkuat solidaritas identitas dan kebudayaan Melanesia, demikian dilansir pina.com.fj, Selasa (4/10/2016).

“Tujuan pertemuan ini untuk meninjau dan memperkuat identitas, kebudayaan, bahasa, warisan budaya dan suku serta mendengar perkembangan gerakan solidaritas akar rumput di negara-negara MSG guna mendukung proses Dekolonisasi keluarga besar Melanesia yang masih mengalami kolonisasi, khususnya West Papua,” demikian pernyataan Komunike Murray Centre Senin (3/10) lalu.

Pertemuan dibuka oleh Pastor Alan Nafuki, Ketua VFWPA yang juga menjabat ketua Dewan Gereja Vanuatu, yang menekankan pentingnya peran gereja dalam proses dekolonisasi Vanuatu, yang dari namanya berarti “pulau kebangkitan.”

Rence Sore, Sekretaris Perdana Menteri Solomon menegaskan posisi anggota-anggota MSG seperti Vanuatu, Kepulauan Solomon, dan pemerintah Kanaky tetap teguh mendukung perjuangan rakyat West Papua untuk kemerdekaan.

Hadir juga wakil United Liberation for West Papua (ULMWP), yang menegaskan persatuan rakyat West Papua di dalam dan di luar negeri tetap mendukung ULMWP sebagai pemimpin bagi perjuangan penentuan nasib sendiri.

ULMWP juga mendesak agar MSG menjamin keanggotaan penuh ULMWP untuk selanjutnya mendapat pengakuan internasional terhadap perjuangan pembebasan West Papua.

Pastor Nafuki saat menandatangani Komunike Murray Centre mengatakan pertemuan tiga hari tersebut berlangsung sukses.

“Hasil komunike ini akan diserahkan kepada setiap pemimpin MSG di Port Vila,” ujarnya sambil menyatakan kekecewaannya atas penundaan Pertemuan Tingkat Tinggi MSG untuk mendiskusikan isu West Papua dan status keanggotaanya.

Walau demikian dia mengungkapkan rasa terima kasihnya pada pemerintahan Vanuatu saat ini atas dukungannya pada keanggotaan penuh West Papua di MSG. Dia juga mengungkapkan penghagaan tingginya atas dukungan rakyat Vanuatu kepada rakyat Melanesia West Papua. (*)

Fiji and PNG ‘playing games’ over Papua issue

 Pacific Fiji, 3 Oct 2016, Radio NZ

A former prime minister of Vanuatu says the Melanesian Spearhead Group is becoming ineffective because of games being played by Fiji and Papua New Guinea.

A leader’s summit for the regional group originally scheduled for this week has again been postponed without explanation.

This comes as the MSG grapples with a bid for full membership by the United Liberation Movement for West Papua, which is opposed by Indonesia.

Barak Sope, a staunch advocate for West Papuan independence, said the group has become ineffective because Fiji and Papua New Guinea, which both support Indonesia, are dodging making a decision.

“My view is that it’s just a game between the government of Papua New Guinea and the government of Fiji,” he said.

“I think they’re working with the Indonesians, and they’re not supporting the Melanesian people in West Papua who want their independence. The postponements just keep on going on.”

Mr Sope said the three remaining members of the MSG – Vanuatu, Solomon Islands and New Caledonia’s FLNKS – should go ahead and make a decision without the other two.

MSG Leaders Summit postponed

The Melanesian Spearhead Group’s Leaders Summit scheduled to be hosted in Port Vila from October 3-4 2016 has been postponed to December.

The MSG Secretariat has verbally confirmed this to 96 Buzz FM news but gave no reasons for this postponement, advising it will issue a press release in due course to clarify the reasons for this postponement. This week, the Vanuatu West Papua Association hosted the Wantok Summit which brought together Free West Papua Civil Society Organisation support groups within Melanesia, including the United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).

The Wantok Summit was planned months ago to be hosted in Port Vila in parallel with the MSG Leaders Summit, which unfortunately has been deferred to the end of 2016.

Daily Post understands that one of the main issues to host the Wantok Summit is to convince the MSG Leaders on the admission of ULMWP as a full member of MSG.

Members of the ULMWP and other Free West Papua Civil Society Organisation support groups will leave the country this weekend.

glenda@dailypost.vu By Glenda Willie Sep 30, 2016 0

PNG : Masalah HAM Papua harus ditangani oleh PBB atau MSG

Port Moresby, Jubi – Pemerintah Papua Nugini (PNG) menegaskan kembali sikap mereka terhadap isu Papua yang belakangan ini semakin menguat di forum regional maupun internasional.

“Setiap masalah Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua harus ditangani oleh lembaga-lembaga seperti PBB atau MSG,” kata Menteri Luar Negeri dan Imigrasi PNG Rimbink Pato kepada wartawan di Port Moresby.

Lanjut Pato, posisi PNG terhadap masalah Papua selalu jelas. PNG tetap menganggap Papua adalah bagian integral dari Indonesia dan mengenai dugaan pelanggaran HAM, ada lembaga yang menanganinya.

“Papua Nugini selalu jelas pada isu Papua. Apa yang sangat jelas adalah masalah hak asasi manusia. Jika ada dugaan, dan memang ada, itu adalah hal-hal yang dapat dilihat oleh institusi di seluruh dunia. Ada sejumlah lembaga yang berhubungan dengan isu-isu ini seperti MSG dan PBB,” kata Pato.

Namun soal penentuan nasib sendiri, posisi PNG sangat jelas bahwa Papua tetap merupakan bagian integral dari Indonesia.

“PNG memiliki hubungan yang kuat dengan Indonesia dan memiliki berbagai macam perjanjian dan kerjasama,” jelas Pato.

Pada Sidang Umum PBB baru-baru ini di New York, enam negara pulau Pasifik – Kepulauan Solomon, Vanuatu, Nauru, Kepulauan Marshall, Tuvalu dan Tonga – menyatakan keprihatinan atas apa yang terjadi di Papua

Perdana Menteri Kepulauan Solomon, Manasye Sogavare mengatakan dugaan pelanggaran HAM di Papua ini berkaitan dengan dorongan dan keinginan rakyat Papua memperjuangkan kemerdekaannya. (*)

Mahasiswa Papua di Bandung bahas “penindasan rakyat Papua”

Jayapura, Jubi – Mahasiswa Papua di kota studi Bandung yang tergabung dalam Solidaritas Rakyat untuk Demokrasi (Sorak) menggelar diskusi “Penindasan Rakyat Papua” dengan menghadirkan dua pemateri, Filep Karma dan Surya Anta di halaman Sekretariat Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Kota Bandung, Kamis (29/9/2016).

Koordinator Sorak Barra Vrada yang dikontak Jubi pada Jumat (30/9/2016) menjelaskan, sedikitnya 50 mahasiswa Orang Asli Papua (OAP) dan non Papua hadir mengikuti diskusi.

“Diskusi ini hadir sebagai respon terhadap maraknya penindasan terhadap rakyat Papua yang tak pernah kunjung usai dan pemerintah Indonesia menutup pemberitaan,” katanya.

Selain itu, tambahnya, media tak diperbolehkan meliput berlangsungnya proses kolonisasi Indonesia terhadap bangsa Papua yang mengambil bentuk pembunuhan, diberangusnya demokrasi, dan kemiskinan.

“Atas kemuakan itu Sorak Kota Bandung menginisiasi diskusi tersebut dan tak tanggung-tanggung narasumber yang dihadirkannya ialah seorang tahanan politik (tapol) Papua, juga sebagai tokoh perjuangan pembebasan bangsa Papua, yaitu Filep Karma,” ujarnya.

Sedangkan pembicara kedua aktivis pro-demokrasi, juru bicara Partai Pembebasan Rakyat (PPR), Pusat Perjuangan Rakyat Indonesia (PPRI) yaitu Surya Anta, yang aktif dalam memperjuangkan demokrasi, termasuk untuk Rakyat Papua.

“Diskusi ini sebagai ajang mengungkap fakta bagaimana sebenarnya situasi di Papua, terutama Papua Barat, penindasan terhadap rakyat Papua yang tak pernah terpublikasi di media massa Indonesia akibat dari aparatur negara serta korporasi-korporasi yang terlibat di dalamnya, tujuannya agar proses penindasan di Papua tertutup rapat,” katanya.

Pemerintah Indonesia, tambahnya, menutupi fakta betapa bengisnya mereka dalam mengeruk di tanah Papua dengan menghantam siapa saja yang ingin melawannya. Dan saat ini, Papua menjadi korban keserakahan pemodal. Di dalamnya termasuk pembunuhan secara brutal oleh tentara dan polisi.

Saat diskusi, katanya, Filep Karma menyatakan,penjara tak bisa membuatnya jadi patuh dan bungkam. Penyiksaan dan perlakuan tak manusiawi pun tak pernah melemahkan kehendak memerdekakan Papua.

Filep mengaku banyak belajar dari kegagalan demi kegagalan Indonesia dalam bernegara. Sehingga kelak ketika Papua menjadi merdeka, ia tidak akan menggunakan kegagalan itu untuk membangun bangsa Papua.

Meskipun Filep divonis 15 tahun penjara, ia tak menyesali perbuatannya. Karena apa yang ia perbuat bukanlah kriminal, melainkan karena politik dan perjuangan terhadap kemerdekaan Papua, sehingga ia memaknai keberadaannya di penjara sebagai upaya memperteguh tujuannya.

Sedangkan Surya Anta, ujarnya, mengatakan bahwa ia beserta gerakan pro-demokrasi, sebagai orang Indonesia ingin membersihkan dirinya dari kata penjajah dengan cara bersolidaritas dan berjuang bersama Rakyat Papua untuk kemerdekaan Papua.

Menurutnya, pembebasan Papua ialah pembebasan dari kolonialisme Indonesia. Tujuannya adalah membebaskan diri dari penjajahan manusia atas manusia itu sendiri. Surya mengatakan, seharusnya Rakyat Indonesia turut bersolidaritas untuk kemerdekaan Rakyat Papua agar bebas dari penjajahan. (*)

Melanesian Solidarity Summit Today

Melanesian Solidarity Summit Today

The Vanuatu West Papua Association is hosting a “Wantok Summit” for Free West Papua Civil Society Organization support group in the Melanesian region of Vanuatu, Solomon Islands, Kanaky, Fiji, Papua New Guinea and West Papua at the Vanuatu Christian Council (VCC) office, 8.30 am today.

The Summit is being held in parallel with the MSG Leader’s Summit in Port Vila which the Daily Post understands will take place on the 3rd and 4th of October 2016. The theme for the Melanesian Associations in support for West Papua full membership in the MSG is “Melanesian Solidarity”.

According to the Chairman of the Vanuatu West Papua Association, Pastor Allan Nafuki, the three-day summit will focus on the issues of Defining “Melanesia; its cultures, language heritage, ethnicity, Impact of colonization on Melanesian solidarity, how Melanesian countries are advocating for Melanesian Solidarity, Restoring the Melanesian Solidarity and what can Melanesians do together in this regard and winding up the Summit with a Melanesian Government heads Reconciliation customary ceremony on Saturday to be facilitated by the Vanuatu Malvafumauri National Council of Chiefs.

Some prominent Melanesian figures behind the support for West Papua full MSG membership include; Benny Wendy, Spokesman for the United Liberation Movement for West Papua, Damson Faisi, Chairman of the Solomon Islands in Solidarity for West Papua, Joko Peter Kassey, of the Free West Papua –PNG Chapter and West Papua Refugee Relief Association, Inco, as others from Fiji and Papua New Guinea were expected to be in Port Vila for the summit.

Without commenting further, the Chairman of the Vanuatu West Papua Association Pastor Allan Nafuki, said a press communiqué will be issued at the end of the summit on the resolutions.

ligo@dailypost.vu

PM Reiterates Call For Recognition Of Taiwan, Expresses Concern On WP

he United Nations General Assembly Hall where leaders convene every September to discuss UN Agendas in the world.
he United Nations General Assembly Hall where leaders convene every September to discuss UN Agendas in the world.

By PM Press, Prime Minister Hon Manasseh Sogavare has reiterated Solomon Islands call on the United Nations for the recognition of Taiwan and expressed concern about the human rights violations in West Papua when he addressed the 71st United Nations General Assembly yesterday, Friday 23rd September.

Solomon Islands commits a section in its annual address to the United Nations General Assembly to call on the UN for the recognition of Taiwan and when reiterating that call yesterday, the Prime Minister said, “Solomon Islands recognises the fundamental right of Taiwan’s 23 million people to participate meaningfully in the United Nations specialised bodies.”

However, the Prime Minister said Solomon Islands finds Taiwan’s limited and restricted participation with the World Health Organisation regrettable, especially at a time when the spread of infectious diseases is impacting children and needs everyone to assist.

He said similarly, Taiwan remains unjustly on the fringes of the International Civil Aviation Organisation’s decision-making process despite managing more than a million flights or 58 million passengers through ‘Taipei Flight Information Region.’

“We (therefore) call for Taiwan’s open and free access to all WHO meetings and also call for Taiwan’s predictable and certain participation in ICAO gatherings.

“There has always been two political systems along the Taiwan Strait and the reality is the world works with one and turns a blind eye to the other.”

He said the implementation of the (UN) 2030 Agenda calls for all hands on deck and therefore the UN must put the interest of humanity first and work with all including Taiwan.

On the issue of human rights violations in West Papua, the Prime Minister said Solomon Islands is gravely concerned about the human rights violations against Melanesians in that region.

And he added that the human rights violations and the pursuit for self-determination of West Papua are two sides of the same coin.

“Many reports on the human rights violations in West Papua emphasise the inherent corroboration between the rights to self-determination that results in direct violations of human rights by Indonesia in its attempts to smother any form of opposition.”

The Prime Minister said, “The principle of sovereignty is paramount to any institution whose core rationale is the respect for sovereignty. If the justification of sovereignty rests on a series of decisions that are questionable, then there is a case to challenge the legality of the argument of sovereignty.”

He added that, “As the chair of the Melanesian Spearhead Group that also includes Indonesia as an associate member and the United Liberation Movement of West Papua (ULMWP) as an Observer, Solomon Islands affirms the need for constructive engagement with Indonesia and looks forward in cooperating with Indonesia to address the violations of human rights in West Papua.

The Prime Minister also took the opportunity to reaffirm Solomon Islands support for the unalienable right of the people of the Territory of French Polynesia pursuant to annual resolutions of the UNGA beginning in 2013.

He said Solomon Islands continues to request the Administering power to work and cooperate with the UN Special Committee on the question of French Polynesia and C24 (UN Committee on Decolonisation).

The Prime Minister also made mentioned the question of New Caledonia on the United Nations Agenda.

He said the Melanesian Spearhead Group continues this issue and wished the people of New Caledonia all the best as they prepare to decide on their political future in 2018.

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny