Pacific leaders raise West Papua at the UN

Leaders of six Pacific Island nations have highlighted concern about West Papua while speaking at the United Nations General Assembly.

At the general debate of the Assembly’s 71st session, Vanuatu, Solomon Islands, Tonga, Nauru, Marshall Islands and Tuvalu called for UN action on alleged human rights abuses in Papua.

Calls for West Papuan self-determination rights to be respected were also made by some of the leaders.

Johnny Blades filed this report. Listen

Pacific leaders at the UN General Assembly expressed concern about human rights abuses in Papua.

Pacific leaders at the UN General Assembly expressed concern about human rights abuses in Papua. Top L to R: Vanuatu Prime Minister Charlot Salwai; Solomon Islands Prime Minister Manasseh Sogavare; Tonga Prime Minister ‘Akilisi Pohiva. Bottom L to R: Nauru President Baron Waqa; Marshall Islands President Hilda Heine; Tuvalu Prime Minister Enele Sopoaga Photo: UN Photo

Tuduhan NKRI terhadap Negara Pasifik Selatan dan Tanggapan Indonesia (2)

Dalam tuduhannya, Indonesia mengatakan beberapa hal yang patut dicatat

pernyataan tersebut tidak memiliki itikad baik dan bermotif politik yang bisa ditafsirkan sebagai pendukung kelompok separatis di provinsi-provinsi yang telah terlibat dalam menghasut kekacauan publik dan dalam serangan teroris bersenjata terhadap warga sipil dan personel keamanan. <Indonesia Menuduh Solomon Punya Motif Politik Angkat Isu Papua>

Pertama, Indonesia menuduh Solomon Islands dan koleganya di Pasifik Selatan “tidak memiliki itikad baik”; kedua “bisa ditafsirkan sebagai pendukung kelompok separatis”;  ketiga “menghasut kekacauan politik”, keempat, “kekerasan publik dan serangan teroris bersenjata terhadap warga sipil dan personel keamanan”.


Kedua, intervensi oleh Enam Negara Pasifik Selatan dalam Sidang Umum PBB tahun 2016 ini dianggap oleh Indonesia “bisa ditafsirkan sebagai kelompok pendukung separatis”.  Indonesia lupa, bahwa NKRI adalah sebuah kesatuan politik separatis, Sukarno, Moh. Hatta, Sudirman, semua pejuang NKRI merdeka dan Indonesia sebagai sebuah negara yang diwakili di Sidang Umum PBB saat berbicara, adalah sebuah “Negara Separatis”, karena ia telah memberontak terhadap negara kolonialnya, Belanda.

Pemberontakan terhadap penjajah ialah tujuan dari pembentukan PBB. Penegakkan HAM ialah alasan mengapa PBB didirikan. Piagam PBB dengan jelas-jelas mengatakan HAM sebagai dasar pendirian dan keberadaan PBB. Hak Asasi Manusia yang fundamental ialah hak hidup, dan hak hidup sebagai orang Papua terancam oleh kehadiran NKRI. Oleh karena itu, NKRI harus keluar dari Tanah Papua untuk keberlangsungan hidup sebuah ras Melanesia dan sebuah bangsa Papua.

Ini bukan tindakan separtis, tetapi sebuah perbuatan luhur untuk “menghapuskan penjajahan di seluruh dunia”, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan sebagaimana NKRI sendiri nyatakan dalam mukadimah UUD 1945. Bukan bangsa Indonesia saja berhak merdeka dan berdaulat, bangsa Papua juga berhak untuk merdeka dan berdaulat. Apa yang dilakukan orang Papua bukan separatis, ini merupakan perjuangan mempertahankan jatidiri, membela sebagai “basic human nature” dalam mempertahankan eksistensinya di Bumi.

Apa yang dikatakan keenam negara Pasifik Selatan ini, bukan “bisa ditafsirkan”, tetapi sudah jelas harus ditafsirkan sebagai dukungan mereka terhadap perjuangan kemerdekaan West Papua. NKRI berhak membela diri, tetapi keenam negara Pasifik Selatan juga berhak menyatakan kebenaran sesungguhnya tentang situasi terakhir di Tanah Papua.

Situsai terakhir di Tanah Papua sangat jelas. Orang Papua dibunuh hampir setiap hari. Setiap detik hidup orang Papua tidak menentu, orang Papua selalu punya pertanyaan, “Kapan saya akan dibunuh?” Bahkan Gubernur, Kapolda Papua saat ini, semuanya pasti punya pertanyaan ini di dalam hati nuraninya. Dan dalam setiap orang Papua tersimpan pertanyaan sampai mati-pun membawa pertanyaan tersebut, “Kapan Indonesia bunuh saya?”

Ini situasi kemanusiaan yang sangat fatal. Dan itu bukan dapat ditafsirkan seabagai dukungan terhadap separatisme.

Pemimpin Pasifik Selatan jelas-jelas menyatakan soal pelanggaran HAM dan penentuan nasib sendiri tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena justru perjuangan kemerdekaan West Papua itulah yang mengakibatkan banyak pelanggaran HAM

Di atas kepentingan negara, kepentingan nasionalisme, kepentingan politik, kepentingan ekonomi, kepentingan kekayaan, kepentingan kedamaian, kestabilan, kepentingan persahabatan, itikad baik atau buruk apapun itu, yang pertama dan terutama ialah hak fundamental orang untuk hidup. Dan hak itu terancam di Tanah Papua oleh kehadiran NKRI.

Itulah sebabnya, apa yang dikatakan Vanuatu, Solomon Islands, Nauru, Tuvalu, Marshal Islands dan Tonga adalah sesuatu yang tidak bisa dinegasikan, dibatasi atau disangkal aas nama nasionalisme, NKRI harga mati, integritas wilayah negara, dan sebagainya.

Negara manapun itu buatan Indonesia. Nasionalisme manaun itu aspirasi manusia. Kepentingan politik, ekonomi dan pembangunan itu proyek manusia. Tetapi menyangkut nyawa dan hak asasi manusia, itu terkait langsung dengan Sang Pencipta, karena Dialah Pencipta dan Dialah pula berhak mencabut nyawa orang. Selain daripada itu, atas nama apapun, adalah kejahatan. Dan pembalasan ialah hak Tuhan, Dia pasti akan membalaskannya, entah dalam bentuk apapun, kapan-pun, entah bagaimana-pun, pembalasan itu pasti dan amin!

Corbyn Terpilih Lagi Jadi Ketua Partai Buruh Inggris

Jeremy Bernard Corbyn terpilih kembali sebagai Ketua Partai Buruh setelah memperoleh suara pemilih sebanyak 313.209. (Foto: telegraph.co.uk)
Jeremy Bernard Corbyn terpilih kembali sebagai Ketua Partai Buruh setelah memperoleh suara pemilih sebanyak 313.209. (Foto: telegraph.co.uk)

LONDON, SATUHARAPAN.COM – Jeremy Bernard Corbyn terpilih kembali sebagai Ketua Partai Buruh setelah memperoleh suara pemilih sebanyak 313.209 dan mengalahkan pesaingnya Owen Smith yang hanya memperoleh 193.229 suara dari total 506.438 suara.

Seperti dilaporkan telegraph.co.uk, hari Sabtu (24/9), Corbyn memperoleh suara sebanyak 61,8 persen dan Smith memperoleh 38,2 persen.

Corbyn menyampaikan terima kasih kepada para pendukungnya dan para relawan yang telah membantu pesaingannya Owen Smith.

“Owen, kita telah memiliki musim panas yang menarik dari perdebatan. Perdebatan tidak diragukan lagi akan terus berlanjut karena kita adalah bagian dari keluarga Buruh yang sama,” kata Corbyn kepada pesaingannya.

“Keluarga Buruh akan menghadapi masa depan, melihat bagaimana kita melakukan hal-hal di masa depan. Saya akan melakukan semua yang saya bisa untuk membayar kembali kepercayaan dan dukungan.”

Corbyn menambahkan ia ingin memberikan “perubahan nyata di negara ini” dan akan melakukan “sekuat tenaga” untuk mencapai itu.

Sementara itu Owen Smith mengucapkan selamat kepada Corbyn untuk kemenangan “yang menentukan” dan menyerukan partai untuk bersatu.

Corbyn lahir di Chippenham, Wiltshire, pada 26 Mei 1949. Ia merupakan seorang politisi dan aktivis berkebangsaan Inggris.

Corbyn menjabat sebagai Pemimpin Oposisi di Parlemen Britania Raya sejak 2015, setelah terpilih menjadi pemimpin Partai Buruh. Ia telah duduk di Dewan Rakyat Britania Raya mewakili daerah pemilihan Islington North sejak tahun 1983.

Editor : Eben E. Siadari

Solomon Islands Repeats Call for Independent Assessment of West Papua

SolomonTimesOnline – The Solomon Islands representative in Geneva, Switzerland, has repeated calls for Indonesia to allow a UN Special Rapporteur on Freedom of Expression to visit West Papua and Papua Provinces.

Minister Councilor at the Solomon Islands Mission in Geneva, Switzerland, Barrett Salato made the call at the start of the 33rd Human Rights Council Meeting in Geneva on Monday this week.

Mr. Salato highlighted a “worrying trend by the Member States resisting human rights scrutiny by the work of the Council.”

“More unsettling is the fact that some large democracies who profess to uphold universal human rights values are evading scrutiny on their domestic human rights practices by shielding such practices behind the principle of non-interference.”

Mr Salato says that the Solomon Islands share the view that protecting human rights of all people requires collective responsibilities and continues to condemn violations of human rights whenever it occurs.

Presiden Marshall Islands Minta PBB Selidiki Kasus Pelanggaran HAM di Papua

Presiden Marshall Islands Minta PBB Selidiki Kasus Pelanggaran HAM di Papua
Presiden Marshall Islands, Hilda C.Heine (Foto: UN Photo/Cia Pak)

New York, Tabloid-WANI — Setelah Presiden Nauru mengangkat isu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua saat berpidato pada Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) di New York (22/9), satu lagi kepala negara Pasifik juga menyuarakan hal yang sama di forum yang sama.

Ketika mendapat kesempatan berpidato, Presiden Marshall Islands, Hilda C.Heine, menyerukan agar Dewan HAM PBB membentuk investigasi independen dan kredibel atas pelanggaran HAM di Papua.

Ia menyerukan hal itu karena menurut dia, HAM sangat penting bagi negaranya.

“Karena pentingnya HAM bagi negara kami, saya meminta Dewan HAM PBB untuk menginisiasi investigasi yang kredibel dan independen atas pelanggaran HAM di Papua (Barat),” kata dia, di akhir pidatonya.

Marshall Islands atau Republik Kepulauan Marshall adalah sebuah negara kepulauan yang terletak di Samudra Pasifik bagian barat. Negara ini berbatasan dengan Republik Nauru dan Kiribati di sebelah selatan, Mikronesia di barat, dan Pulau Wake di utara.

Wilayah ini awalnya ditemukan oleh penjelajah Spanyol tetapi kapten Inggris John Marshall yang mengunjuginya pada 1788 lah yang menamainya sebagai pulah Marshall. kepulauan ini dinamakan menurut namanya.

Jepang menguasai kepulauan ini pada Perang Dunia I berdasarkan mandat Liga Bangsa-Bangsa. Namun, pada 1944 saat Perang Dunia II, Amerika Serikat menyerbu kepulauan ini dan memasukkannya ke dalam Wilayah Perwalian Kepulauan Pasifik (Trust Territory of the Pacific Islands).

Setelah perang berakhir, AS mulai melaksanakan beberapa uji coba nuklir di Kep. Marshall yang berlanjut hingga 1960-an. Akibatnya, banyak penduduk Marshall yang terkena efek tingkat radiasi tinggi sehingga klaim kompensasi masih berlangsung hingga kini.

Pada 1979, Republik Kepulauan Marshall didirikan dan sebuah perjanjian Compact of Free Association dengan AS ditandatangani, yang mulai berlaku pada 1986.

Negara ini tergolong kecil, sama dengan sebagian besar negara kepulauan lainnya di Pasifik. Luas perairannya 750.000 mil persegi (1.900.000 km2) sedangkan luas daratan hanya 70 mil persegi (180 km2). Kendati demikian, di PBB suara mereka diperhitungkan sama dengan anggota lainnya.

Marshall Islands adalah salah satu negara yang telah ikut menyatakan dukungan kepada Koalisi Pulau Pasifik untuk Papua atau Pacific Islands Coalition for West Papua (PICWP) atau Koalisi Pasifik untuk Papua Barat. Koalisi yang diinisiasi oleh Presiden Kepulauan Solomon, Manasye Sogavare, ini bertujuan untuk menggalang dukungan negara-negara Pasifik untuk menyerukan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) melakukan intervensi atas pelanggaran HAM dan penentuan nasib sendiri bagi Papua.

Anggota awal PICWP terdiri dari Pemerintah Kepulauan Solomon, Pemerintah Vanuatu, kelompok Front de Liberation Nationale Kanak et Socialiste (FLNKS), United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dan kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Pasifik, Pacific Islands Association Non Govermental Organization (PIANGO).

Selanjutnya dalam pertemuan mereka di Aloha, Honolulu, pada hari 2 September lalu, dukungan terhadap koalisi ini bertambah dengan bergabungnya dua negara Pasifik lain, yaitu Pemerintah Tuvalu dan Republik Nauru. Belakangan dukungan pun bertambah lagi yaitu dari Kerajaan Tonga dan Republik Kepulauan Marshall.

Korea Utara dan Taiwan Di bagian lain pidatonya, Heine mengatakan negaranya akan melanjutkan ratifikasi kesepakatan tentang HAM PBB menjadi undang-undang pada sidang parlemen medatang. “Sebagian dari kesepakatan ini telah tercermin dalam konstitusi kami,” kata dia.

Dalam kaitan itu pula, ia menyerukan agar PBBI mengakui peranan Taiwan sebagai salah satu pemangku kepentingan kunci dan berperan penting dalam urusan global. “Saya menyerukan kepada komunitas internasional untuk mendukung Taiwan dan upaya-upaya negara itu dalam dialog dan stabilitas perdamaian regional dan global,” kata dia.

“PBB harus memberikan komitmen yang lebih besar untuk menjamin pengakuan atas hak-hak dasar Taiwan untuk berpartisipasi di berbagai mekanisme, rapat dan aktivitas badan-badan khusus PBB, atas kontribusinya dalam bekerja sama dengan kita,” lanjut dia.

Di bagian lain pidatonya, Heine juga mendesak Korea Utara untuk menghentikan percobaan nuklir sampai tercapai perlucutan senjata nuklir. Tanggapan Indonesia Sementara itu Indonesia belum memberikan tanggapan atas hal ini. Wakil Presiden Jusuf Kalla, dijadwalkan akan berbicara di Sidang Umum PBB pada hari Kamis (23/9) sore waktu setempat.

Sumber: http://www.tabloid-wani.com

Tiga negara tegaskan hak penentuan nasib sendiri West Papua di PBB

Perdana Menteri Kepulauan Solomon, Manasseh Sogavare, dalam pidatonya dihadapan Majelis Umum PBB Jumat, (23/9/2016) mendukung hak penentuan nasib sendiri West Papua - unmultimedia.org
Perdana Menteri Kepulauan Solomon, Manasseh Sogavare, dalam pidatonya dihadapan Majelis Umum PBB Jumat, (23/9/2016) mendukung hak penentuan nasib sendiri West Papua – unmultimedia.org

Manasseh Sogavare menekankan hubungan tak terpisahkan antara pelanggaran HAM dan kehendak penentuan nasib sendiri West Papua sebagai dua sisi pada mata koin yang sama, karena keinginan menentukan nasib sendiri itu berdampak langsung pada pelanggaran HAM yang dialami oleh rakyat West Papua selama ini.

Jayapura, Jubi – Tiga negara, Kepulauan Solomon, Vanuatu dan Tuvalu, menekankan dukungan mereka atas hak penentuan nasib sendiri West Papua di hadapan sesi Debat Majelis Umum PBB ke-71, Jumat (23/9/2016) di New York City-Amerika Serikat.

Pelanggaran HAM dan kehendak penentuan nasib sendiri West Papua adalah dua sisi pada mata koin yang sama, karena keinginan untuk menentukan nasib sendiri itu berdampak langsung pada pelanggaran HAM yang dialami oleh rakyat West Papua selama ini.

Manasseh Sogavare menekankan hubungan tak terpisahkan itu dalam pesan pidatonya untuk West Papua sepanjang 1 Menit 79 detik di hadapan 193 negara-negara anggota PBB.

“Kepulauan Solomon ikut prihatin atas pelanggaran HAM terhadap orang Melanesia di West Papua. Pelanggaran HAM di West Papua dan perjuangan untuk mendapatkan hak penentuan nasib sendiri adalah dua sisi dari koin yang sama,” tegasnya.
Dia menyatakan berbagai laporan terkait pelanggaran HAM di West Papua menunjukkan bahwa keinginan menentukan nasib sendiri berdampak langsung pada pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Indonesia di Papua yang bertujuan untuk memperkecil segala bentuk oposisi (terhadap Indonesia).

Secara khusus Perdana Menteri Solomon juga menggarisbawahi penghormatan terhadap kedaulatan suatu negara sebagai hal yang penting. Namun, dia tegaskan, keabsahan yurisdiksi (status hukum) atas kedaulatan tersebut juga harus menjadi perhatian.

“Jika yurisdiksi kedaulatan itu berdiri atas dasar rangkaian keputusan yang masih dipertanyakan, maka sudah sepatutnya menggunggat keabsahaan argumen kedaulatan itu, dalam hal ini terkait keputusan New York Agreement 1962, dan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969 (di West Papua),” ujar dia.

New York Aggrement 1962 adalah kesepakatan yang ditandatangani oleh Belanda dan Indonesia terkait administrasi teritori West New Guinea (sekarang Propinsi Papua dan Papua Barat).

Kesepakatan itu meminta PBB menangani administrasi teritori tersebut, dan menetapkan syarat-syarat sosial yang harus dipenuhi PBB sebelum pemindahan kekuasaan administrasi kepada pemerintah Indonesia. Kesepakatan tersebut ditandatangani 15 Agustus di Markas Besar PBB, New York City difasilitasi oleh Amerika Serikat.

Hal senada dinyatakan oleh Charlot Salwai Tabimasmas, Perdana Menteri Republik Vanuatu, yang meneruskan pernyataan Manasseh Sogavare untuk mendesak PBB mengambil inisiatif dan tindakan kongkrit untuk mengatasi persoalan West Papua.

“Masalah HAM di West Papua masih belum terurai. Dengan keyakinan moral yang sama seperti yang disampaikan sebelumnya, mendesak PBB mengambil tindakan kongkrit untuk mengatasi persoalan ini. PBB hendaknya tidak tutup mata atas HAM yang dilanggar di West Papua. Rakyat di sana sudah meminta dukungan PBB dan mencari terang atas harapan mereka terhadap kebebasan untuk menjalankan hak azasi di atas tanah mereka agar dapat bebas menegaskan kembali identitanya,” ujar Salwai.
Sementara itu, Enele Sosene Sopoaga, Perdana Menteri Tuvalu, menekankan prinsip penentuan nasib sendiri sebagai hak yang harus dihormati dan dimuliakan.

“Pelanggaran HAM di West Papua dan kehendak mereka untuk mendapatkan hak penentuan nasib sendiri, adalah kenyataan. Kenyataan itu tidak boleh terus menerus diabaikan oleh lembaga besar dan aula hebat ini. Badan ini harus memperhitungkan, tidak boleh membiarkan tindakan-tindakan yang bersembunyi dibalik topeng “non-intervensi” dan kedaulatan, sebagai alasan untuk tidak bertindak apa-apa,” tegas Sopoaga dengan nada yang sama atas sikapnya terhadap Taiwan.

Dia menuntut PBB harus bertindak terkait isu tersebut, “dan mencari solusi yang bisa dikerjakan untuk memberi otonomi bagi masyarakat asli West Papua,” ujarnya.

Respon Pemerintah Indonesia

Sehari sebelumnya, Kamis (22/9/2016) Presiden Kepulauan Marshall, Hilda Heine, perempuan pertama yang memimpin di kawasan Pasifik, juga menegaskan komitmen negaranya terhadap hak azasi manusia di West Papua, dan meminta PBB melakukan kerja kongkrit.

“Saya meminta Dewan HAM PBB memulai penyelidikan yang kredibel dan independen terhadap pelanggaran HAM yang terjadi di West Papua,” ujarnya.
Demikian pula Nauru (22/9) menekankan keprihatinannya terhadap situasi West Papua.

“Nauru juga sangat prihatin atas situasi yang terjadi di West Papua, termasuk pelanggaran HAM seperti yang ditekankan oleh hasil komunike Pacific Islands Forum (PIF), bahwa penting segera ada dialog terbuka dan konstruktif dengan Indonesia terkait situasi ini.”
Terkait hal itu, Kepulauan Solomon meminta negara Indonesia bekerja sama mengatasi pelanggaran HAM di West Papua.

“Menambah suara-suara dari negara-negara anggota lainnya; organisasi masyarakat sipil, yang prihatin atas pelanggaran HAM di West Papua; sebagai pemimpin MSG, dimana Indonesia sebagai associate member dan ULMWP sebagai observer, Kepulauan Solomon menegaskan perlunya hubungan konstruktif dengan indonesia dan berharap agar indonesia bekerja sama untuk mengatasi pelanggaran HAM di Papua,” ujar Sogavare di pengujung pidatonya terkait West Papua.

Seperti diketahui, Kepulauan Solomon memimpin Koalisi Kepulauan Pasifik untuk West Papua (PICWP) yang didukung oleh Vanuatu, Tuvalu, Nauru, Kepulauan Marshall, Tonga, FLNKS-Kaledonia Baru, ULMWP dan Aliansi NGO Kepulauan Pasifik (PIANGO).

Wakil Presiden RI Jusuf Kalla, pada kesempatan yang sama, Jumat (23/9) tampak tidak memberikan pernyataan apapun terkait West Papua. Wapres Kalla menegaskan komitmen Indonesia pada perdamaian dunia, persoalan Israel dan Palestina serta isu-isu pembangunan secara umum.

Seperti diketahu, keputusan komunike Pasifik Islands Forum (PIF) tahun 2015 membentuk misi ‘Tim Pencari Fakta’ ke West Papua, tidak ditanggapi pemerintah Indonesia karena tidak nyaman dengan istilah tersebut, sambil terus menegaskan kedaulatan Indonesia atas West Papua.

Berdasarkan laporan Human Right Watch (HRW) tahun 2015, yang bertajuk Indonesia’s Restrictions on Media Freedom and Rights Monitoring in Papua, sejak tahun 2006 hingga tahun 2013, upaya utusan-utusan khusus PBB memonitor persoalan HAM di Papua tidak membuahkan hasil.

Bulan Januari 2006, Juan Mendez, special envoy Sekjen PBB terkait pencegahan genosida, menyatakan keprihatinannya atas hambatan pemerintah Indonesia terhadap pengawasan HAM di Papua. Pada tahun 2013, pemerintah Indonesia juga tidak menggubris permintaan kunjungan oleh Special Rapporteur PBB, Frank La Rue, terkait promosi dan perlindungan hak berpendapat dan berekspresi.

“Dengan nada ramah, mereka berjanji: ‘Ya, kami sedang menentukan tanggal yang tepat, kami senang sekali menerima anda, dan sedang mencari tanggal yang tepat.’ Namun tanggal itu tidak pernah ada. Itu kan bentuk penolakan dengan cara halus. Saya kira itu menunjukkan banyak hal sedang disembunyikan di Papua,” ujar Frank La Rue seperti dikutip oleh laporan tersebut.(*)

Solomons urges Indonesia to allow Papua scrutiny

RNZ – Solomon Islands has again called on Indonesia to cooperate with the United Nations Human Rights Council to allow a UN Special Rapporteur on Freedom of Expression to visit its Papua region.

A march through the streets of Honiara in support of West Papua's bid to join the MSG.
A march through the streets of Honiara in support of West Papua’s bid to join the MSG. Photo: Supplied

The call was made by a Solomons official Barrett Salato at the Human Rights Council Meeting in Geneva.

Mr Salato said there was a worrying trend by member states resisting human rights scrutiny by the Council.

A march through the streets of Honiara in support of West Papua's bid for MSG membership
A march through the streets of Honiara in support of West Papua’s bid for MSG membership Photo: Supplied

He said some large democracies professed to uphold universal human rights values but evaded scrutiny of their domestic practices by claiming non-interference in their sovereign affairs.

Mr Salato said Solomon Islands had consistently raised its concerns about human rights violations in West Papua and called for independent investigations of the reports.

PM, UN Christian Mission President Meet In New York

PMPress Office – The President of the Christian Mission for the United Nations Community, Dr Garry Allen yesterday, Monday 19th September, met with Prime Minister Hon Manasseh Sogavare, inspiring him about the difference between the politician and statesperson and the challenges to the latter.

The President of the Christian Mission for the United Nations Committee, Dr Allen, with Prime Minister Sogavare and the Cabinet Sub-Committee on Gold Ridge, Hon Tovosia and the Caucus Chairman, Hon Fiulaua after their meeting.

The meeting was held at the margin of the 71st United Nations General Assembly in New York, where Prime Minister Sogavare and other heads of governments and heads of states of UN member countries are in attendance.

Dr Allen said he is convinced that the statesperson uses the authority of his/her office to serve the welfare of the people, has vision to improve the society, is receptive to the work of God in peoples’ lives, is dependent on God and accountable to him, is willing to take political risks in order to do the right thing and relentlessly strives to achieve his/her national vision.

He said in contrary, the politician thinks only of the next election, thinks only about the success of his/her party and is satisfied to make a drift.

The President of the Christian Mission for the UN Community said people the world-over are pleading for their government officials to be visionary leaders who care about their welfare and the authority of the office they hold to help them reach their God-given potential, adding that the demand for and expectation for transparency and accountability are fuelling this movement.

Dr Allen said he believes that God has been very active in Solomon Islands because all Solomon Islands Government officials he has had the privilege of meeting over the last few decades were passionate about following God and fulfilling his mission on Earth.

He said he is available to serve Prime Minister Sogavare and all others in leadership positions in Solomon Islands, adding that he sees serving Solomon Islands as the opportunity to experience blessings that few other nations have had because of their willingness to obey God.

Prime Minister Sogavare in response acknowledged the words of inspiration from Dr Allen and told him of his personal experiences as a politician striving to ensure the implementation of policy intentions that he believes would bring about positive changes to the country in the face of political challenges.

He said he draws inspiration from King Solomon’s reliance on God for wisdom and guidance in his leadership over Israel and also acknowledgement of the fear of God as the beginning of wisdom.

Prime Minister Sogavare said after taking office for the third time in late 2014 as Solomon Islands Prime Minister, his office introduced a daily devotional programme as introduction to each new working day and this has been a great enlightenment to him and his staff.

Prime Minister Sogavare also said he would like to see Dr Allen visit Solomon Islands one day to fulfil his desire to serving Solomon Islanders in leadership position including himself.

Also present at the meeting were the Chairman of Government Caucus, Hon Jackson Fiulaua and Chairman of the Cabinet Sub-Committee on Gold Ridge, Hon Bradley Tovosia.

Meanwhile, Prime Minister Hon Manasseh Sogavare today undertook Solomon Islands first engagement as Vice-President of the 71st United Nations General Assembly when he chaired the UN-OHRLLS dialogue on Climate Displacement and Dignity: Needs of the Most Vulnerable countries.

UN-OHRLLS stands for United Nations Office of the High Representative for the Least Developed Countries, Landlocked Developing Countries and Small Island Developing States.

“Climate Displacement as a growing issue faced by millions of people and its impacts can be felt at the international. Regional, national and sub-national levels

“As climate change disproportionately affects the socio-economic development of the most vulnerable countries in the world including LDCs, LLDCs and SIDS, climate-induced migration both within and across borders in those countries deserves immediate attention and effective response from the international community.

“Within this context, this meeting aims to share experiences and identify challenges faced by LDCs, LLDCs and SIDS in coping with climate displacement, and brainstorm on a strategy for a cohesive international approach across current international processes to protect climate displaced people,” the UN-OHRLLS stated.

Speaking after chairing the first UNGA dialogue, Prime Minister Sogavare said he was honoured to represent Solomon Islands in this important engagement and other UN engagements as well as other side-events that he will undertake during the course of this week in New York.

New York is 14 hours behind Solomon Islands.

West Papua’s Black Brothers message to PNG musicians: ‘Stay committed’

Local musicians in Papua New Guinea are encouraged to stay committed to what they do in order to succeed in their music careers.

Band manager and founder of the West Papuan group Black Brothers, Andy Ayamiseba, urges PNG musicians to always commit to their music and learn to sacrifice their time.

The group was in Papua New Guinea to perform at the Sir John Guise stadium in Port Moresby to celebrate the country’s 41st anniversary of independence celebrations on Friday.

Black Brothers is an eclectic band that was the most popular musical group in Papua New Guinea during the 1980s.

The band is known for hit songs back in the 1980s including Apuse, Permata Hatiku, Hari Kiamat, Terjalin Kembali, kerongcong kenangan, Anita and Wan Pela Meri.

Their music, sung in Tok Pisin, and originally in Bahasa Indonesia, included influences from reggae and political elements inspired by the Black Power movement.

Ayamiseba has been the band manager for more than three decades and says the secret to being successful is through commitment and hard work.

“You have to stay committed because music is a platform to express yourself.

‘Universal language’
“It’s like a universal language so you have to explore your feelings through music rather than having a big protest about an issue.

“Music is another medium to preach what you think,” Ayamiseba explains.

Black Brothers have toured more than 10 countries in Europe, Asia, Pacific Islands and Australia.

The reggae inspiration of the Black Brothers has influenced various other PNG and Pacific music groups.

Ayamiseba adds that artists face the challenge of piracy so it’s good for them to record under a recognised music label to protect their rights so nobody can pirate their creation.

The original Black Brothers band included Hengky Sumanti Miratoneng (vocals, guitar), Benny Bettay (bass), August Rumwaropen (lead guitar, vocals), Stevy Mambor (vocals, drums), Willem Ayamiseba (percussion) and Amri Kahar (trumpet).

The 16-member band in PNG to perform includes three original members and the Black Sisters.

Two of the original members, August and Sumanti, have died while Stevy Mambor could not make the tour due to health reasons.

The Black Sisters – Petronela, Rosalie and Lea Rumwaropen – are daughters of late August Rumwaropen and they performed alongside their uncles.

Quintina Naime is a Loop PNG journalist.

14qn_black_brothers 680wide
Black Brothers – and Sisters – at a photo session with PNG’s National Capital District Governor Powes Parkop (centre). Image: Tabloid Jubi English

Negara-negara Pasifik Pendukung Referendum Papua Bertambah

Penulis: Reporter Satuharapan 19:41 WIB | Senin, 05 September 2016

Anggota dan simpatisan Pacific Coalition on West Papua (PCWP) berfoto bersama Sekretaris Jenderal Pacific Islands Forum, Dame Meg Taylor di East West Center, di Honolulu. (Foto: Sekretariat Pers PM Solomon Islands)

HONOLULU, SATUHARAPAN.COM – Para diplomat Indonesia tampaknya belum dapat tidur nyenyak. Gerakan yang menyuarakan penentuan nasib sendiri Papua belakangan ini menggeliat lagi.

Setelah sempat melemah pasca tertahannya permohonan United Liberation Movement for West Papua (UMWP) untuk bergabung dengan Melanesian Spearhead Group (MSG), gerakan ini mencoba bangkit. Kali ini melalui apa yang disebut sebagai Pacific Coalition for West Papua (PCWP) atau Koalisi Pasifik untuk Papua Barat.

Menurut siaran pers dari sekretariat pers PM Kepulauan Solomon, PCWP yang diprakarsai oleh PM negara tersebut, Manasye Sogavare, yang juga ketua MSG (Melanesian Spearhead Group), terbentuk beberapa bulan lalu di Honiara, ibukota Kepulauan Solomon. PCWP terbentuk pasca terhentinya ULMWP bergabung ke MSG.

Menurut penjelasan resmi Sogavare, PCWP bertujuan untuk menggalang dukungan negara-negara Pasifik untuk menyerukan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) melakukan intervensi atas pelanggaran HAM dan penentuan nasib sendiri bagi Papua. Anggota awal PCWP terdiri dari Pemerintah Kepulauan Solomon, Pemerintah Vanuatu, kelompok Front de Liberation Nationale Kanak et Socialiste(FLNKS), ULMWP dan kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Pasifik, Pacific Islands Association Non Govermental Organization (PIANGO).

Dalam pertemuan mereka di Aloha, Honolulu, pada hari Jumat lalu (2/9), dukungan terhadap koalisi ini bertambah dengan bergabungnya dua negara Pasifik lain, yaitu Pemerintah Tuvalu dan Republik Nauru. Kedua negara ini masing-masing diwakili oleh Perdana Menteri Tuvalu, Enele Sopoaga dan Duta Besar Nauru untuk PBB, Marlene Moses.

Tidak hanya dua negara ini yang memberikan dukungan. Dua pihak lain juga sudah menunjukkan dukungan, ketika inisiatif ini diperkenalkan di Honiara. Keduanya adalah Kerajaan Tonga dan Republik Kepulauan Marshall. Dukungan kedua negara ini juga telah terkonfirmasi pada Jumat lalu (2/9) dengan kehadiran Perdana Menteri Tonga, Akilisi Pohiva dan Menteri Pekerjaan Umum Republik Kepulauan Marshall, David Paul.

Pada pertemuan di Aloha itu, semua anggota PCWP hadir, kecuali Republik Vanuatu yang tidak mengirimkan wakil. Sekretaris Jenderal Pacific Islands Forum (PIF) –sebuah forum negara-negara Pasifik lain yang keanggotaannya lebih luas dan akan bertemu pekan ini — Dame Meg Taylor, turut pula hadir pada pertemuan tersebut.

Pada pertemuan itu, Sogavere berpidato dan mengatakan negara-negara Pasifik memiliki tugas mengatasi masalah-masalah yang dihadapi Papua, sebagai kerabat terdekat. Dia kembali menekankan bahwa referendum atau ‘menentukan nasib sendiri’ adalah hak Papua, yang sejak 50 tahun terakhir telah dituntut. Hak itu, kata dia, juga merupakan prinsip dasar Piagam PBB.

Ia menekankan bahwa tujuan dari PCWP benar-benar sejalan dengan prinsip-prinsip HAM dan demokrasi, dan semua negara PBB harus mematuhi dan melindunginya.

Di bagian lain, Sogavare mengakui apa yang diinisiasi oleh PCWP bukan tugas yang mudah. Bangsa-bangsa di Pasifik, kata dia, memerlukan pendekatan kolaboratif dan strategis untuk mengantisipasi masalah yang akan datang. “Hanya dengan bekerja secara strategis dan bersama-sama, kita bisa menangani masalah di Papua Barat,” tuturnya.

Menunggu Respon Presiden Joko Widodo

Sekjen PIF, Dame Taylor, ketika mendapat kesempatan berbicara pada pertemuan itu. mengatakan bahwa pada pertemuan puncak PIF ke-46 di Port Moresby pada tahun 2015, telah diputuskan untuk mengirim tim pencari fakta ke Papua. Namun, kata dia, Pemerintah Indonesia menganggap istilah ‘pencari fakta’ terkesan ofensif.

Dame Taylor mengatakan sampai saat ini pihaknya masih menunggu respon dari Presiden Joko Widodo atas rekomendasi PIF. Ia mengatakan sudah bertemu dengan Ketua PIF yaitu PM Papua Nugini, Peter O’Neil dan juga dengan Presiden Indonesia, Joko Widodo. Proses sedang berjalan untuk memenuhi resolusi PIF, kata dia, dan ia mengharapkan Ketua PIF dan presiden Joko Widodo akan bertemu.

Sementara itu, Sekjen ULMWP, Octovianus Mote mengklaim bahwa ULMWP mewakili gerakan kemerdekaan Papua dan akan terus mengejar hak-hak rakyatnya untuk menentukan nasib sendiri dan semua hak-hak lainya yang tercantum dalam Piagam PBB.

Perdana Menteri Sapoaga dari Tucalu mengatakan negaranya menghargai dan bersimpati sepenuhnya dengan aspirasi dan keinginan rakyat Papua untuk mempunyai hak otonomi sendiri.

Sementara Menteri Republik Kepulauan Marshall mengatakan negaranya melihat masalah Papua dari perspektif kemanusiaan dan masalah kemanusiaan berada di garis depan mereka.

Perwakilan dari FLNKS, Rodrigue Tiavouane, mengatakan bahwa FLNKS mendukung penuh inisiatif PCWP dan strategi yang akan dilaksanakan.

Ia menambahkan bahwa FLNKS juga melalui proses yang sama dalam ‘penentuan hak otonom sendiri’ dimulai dari bergabung dengan MSG lalu ke PIF dan akhinya ke Komite 24 PBB (Komite Khusus Dekolonisasi).

Perdana Menteri Pohiva dari Tonga mengatakan adalah kewajiban moral untuk mengatasi pelanggaran HAM di Papua dengan adanya seruan ‘penentuan nasib sendiri’.

Dia mengatakan pada Sidang Umum PBB ke-70 tahun lalu, ia berbicara tentang tujuan dan pertanggung jawaban pemerintah atas semua hal yang tidak mungkin terwujud tanpa dukungan penuh kepada HAM di daerah konflik di seluruh dunia termasuk di Kepulauan Pasifik.

Sementara itu Duta dari Tuvalu mengatakan adalah penting bahwa masalah Papua akan dibawa ke Komite 24 PBB. Namun ia juga mengatakan apa yang berhasil untuk beberapa orang tidak selalu berhasil pada orang lain.

Anggota PIANGO dari Tonga, Drew Havea mengatakan PIANGO mengakui penderitaan yang dialami rakyat Papua adalah juga penderitaan Pasifik dan mendesak para pemimpin Pasifik untuk bersepakat menghentikan kekerasan di Papua dan selanjutnya menemukan jalur damai ‘menentukan nasib sendiri’. (kav)

Editor : Eben E. Siadari

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny