Pacific leaders resolve for Papua to be taken up at UN

Vanuatu says the Pacific Islands Forum leaders have resolved for regional countries concerned about West Papua to take it up at the United Nations.

Leaders at the Pacific Islands Forum in the Federated States of Micronesia in 2016.
Leaders at the Pacific Islands Forum in the Federated States of Micronesia in 2016. Photo: PNG PM media

The Vanuatu prime minister Charlot Salwai says that Forum leaders at last week’s summit in the Federated States of Micronesia reached consensus on reports of alleged human rights violations committed by Indonesia in Papua.

According to the Vanuatu Daily Post, this includes the Forum bringing the allegations to the table with Indonesia, and taking up the case at the UN Human Rights Committee.

This comes after the Forum abandoned last year’s plan to have a fact-finding mission to Indonesia’s Papua region, after Jakarta opposed the idea.

Despite West Papua self-determination and human rights abuses being billed as a leading item for the Forum leaders agenda last week, the summit’s resulting communique was light on substance about Papua.

“Leaders recognised the political sensitivities of the issue of West Papua (Papua) and agreed the issue of alleged human rights violations in West Papua (Papua) should remain on their agenda,”

it read.

Vanuatu’s Prime Minister Charlot Salwai listens to speeches at the 16-nation Pacific Islands Forum (PIF) opening in the Micronesian capital Palikir on September 8, 2016.

The leaders reportedly agreed on the importance of an open and constructive dialogue with Indonesia on the issue.

However the regional response about Papua is increasingly directed at the UN, rather than the Forum which Mr Salwai concedes has very few member states supporting the call for West Papuan self-determination.

He said the five Forum countries who do support it, believe that if there are human rights violations there, it is because of West Papuans’ political aspirations.

Mr Salwai said the Forum resolved for these countries to take up the case at the UN Decolonisation Committee and he is going to raise the issue of alleged human rights abuses in West Papua at this month’s UN General Assembly in New York.

Melanesians’ support for West Papua strong – Natuman

Vanuatu’s deputy prime minister says the strong support for West Papuans among the people of Melanesia should eventually translate to a co-ordinated regional response.

Joe Natuman admits there are differences of approach on Papua among member governments of the Melanesian Spearhead Group about the bid for full membership by the United Liberation Movement for West Papua.
Ousted Vanuatu Prime Minister Joe Natuman

Deputy Prime Minster Joe Natuman. Photo: RNZI / Kim Baker-Wilson
Deputy Prime Minster Joe Natuman. Photo: RNZI / Kim Baker-Wilson

Mr Natuman said there’s been a lot of lobbying of members by Indonesia’s government, with announcements of assistance to regional governments.

But he said people in Melanesia are firmly in support for helping Papua.

“The population in Melanesia, so far they have been very vocal. Before it was only Vanuatu, but now Solomons, PNG and Fiji. The Churches are involved, the chiefs are involved, the general populace are involved. And I sure that eventually they’ll force their attitude regarding human rights, and self-determination and independence in West Papua.”

Mr Natuman conceded that the MSG has been a bit compromised due to is budgetary shortfalls, forcing it seek more funding for its operations but he doesn’t think Indonesia’s promises of help are genuine.

Delegasi Indonesia: LSM Pasifik Bermotif Politik dan Tak Beritikad Baik

Jayapura, Jubi – Delegasi pemerintah Republik Indonesia menolak tegas campur tangan luar terhadap urusan dalam negeri Indonesia, serta menganggap bahwa tuduhan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua dari beberapa individu dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) asing di Pasifik, didasari oleh itikad tidak baik dan motivasi politik.

Pernyataan pemerintah Indonesia, seperti disampaikan dalam keterangan pers yang dilansir Antara, Rabu (14/9/2016), menegaskan kembali posisi strategisnya di Pasifik pasca pertemuan Forum Kepulauan Pasifik (PIF) yang baru lalu.

Delegasi RI mengatakan bahwa Pasifik penting bagi Indonesia, dan sebaliknya Indonesia juga penting bagi Pasifik. Kembali pihaknya menegaskan bahwa Indonesia merupakan bagian dari Pasifik secara geografis dan kultural, dan sebanyak 11 juta dari 240 juta penduduk Indonesia memiliki latar belakang budaya Melanesia.

Menanggapi komunike PIF terkait isu pelanggaran HAM West Papua, delegasi RI tetap menolak tegas campur tangan luar terhadap urusan dalam negeri Indonesia. Pihaknya menghargai keputusan PIF yang menyatakan sensitifnya isu Papua bagi Indonesia, dan tak lagi mencantumkan usulan untuk pengiriman misi pencari fakta ke Papua pada hasil Komunike tahun ini.

Delegasi RI menganggap bahwa tuduhan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua dari beberapa individu dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) asing, didasari oleh itikad tidak baik dan motivasi politik.

Delegasi RI juga menegaskan bahwa Indonesia memiliki mekanisme nasional yang kredibel terkait pemajuan dan perlindungan HAM.

Baca juga Inilah Alasan Indonesia Menolak Tim Pencari Fakta PIF

Pemerintah RI dikatakan juga tetap berkomitmen melakukan kerja sama konstruktif dengan negara anggota PIF, dan Indonesia juga secara strategis dapat menjadi jembatan antara Pasifik dengan Asia dan Samudera Hindia.

Berbeda, peneliti Abdurrahman Wahid Centre (AWC), Dr. Budi Hernawan, yang dikonfirmasi beberapa waktu lalu, justru menyesalkan sikap pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) yang mengaku tidak mau didikte asing tetapi malah tidak memiliki tawaran kebijakan yang jelas.

“Saya pikir Kemenlu masih suka dengan cara lama melalui beli suara PNG dan Fiji. Penolakan Kemenlu atas penawaran ‘tim pencari fakta’ dan dialog oleh MSG, di satu sisi, ingin menunjukkan bahwa Indonesia tidak mau didikte, ini kan garis kebijakan pemerintah Jokowi,” kata Budi yang lama telah meneliti dan terlibat advokasi isu-isu pelanggaran HAM di Papua.

Namun dia juga menekankan bahwa sikap Kemenlu tersebut hanya akan memperkuat mobilisasi di Pasifik.

“Konsekuensi ini disadarikah tidak sama Kemenlu? Tawaran dari Kantor Staf Kepresidenan (KSP) terkait Special Envoy Papua juga ditentang mereka, jadi tidak jelas maunya apa,” ujarnya.

Pada akhirnya, lanjut Budi, yang terjadi bukanlah tawaran kebijakan baru buat Papua melainkan kegiatan-kegiatan reaktif belaka.

Seperti diketahui, sepanjang Juni 2016 berbagai kelompok masyarakat sipil, aktivis HAM, pengacara HAM, termasuk Komisi I DPR Papua, pesimis hingga menolak tim penyelesaian pelanggaran HAM yang dibentuk pemerintah Indonesia melalui Menkophukam pada Mei lalu.

Baca juga ULMWP Tolak Tim HAM Buatan Jakarta, KNPB Siap Gelar Demo Akbar

“Ini tim bentukan pemerintah. Saya tak yakin. Orang-orang yang ada dalam tim membuat kami pesimis. Apalagi ditargetkan tahun ini beberapa kasus dugaan pelanggaran HAM di Papua dapat tuntas,” kata Sekretaris Komisi I DPR Papua, Mathea Mamoyau, Juni lalu.

Tim tersebut juga ditolak oleh tim kerja ULMWP dalam negeri sesaat setelah dibentuk. “Tim ini hanya tipu muslihat Jakarta untuk menghindari pertanyaan masyarakat Internasional dalam pelaksaan Universal Periodik Review (UPR) di dewan HAM PBB dan juga mengalihkan opini dan menghindari pertanyaan negara-negara yang tergabung dalam Pasific Island Forum,” menurut Sam Awom mewakili ULMWP di dalam negeri.

Baca juga Bertentangan Dengan UU, Presiden Diminta Bubarkan Tim Terpadu HAM Papua

Bahkan, tim bentukan Kementerian Kordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) ini dianggap melawan hukum.

“Saya menilai bahwa pembentukan Tim Terpadu yang dilakukan oleh Menko Polhukam RI tersebut bertentangan dengan Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Keputusan itu jelas mengabaikan tugas dan kewenangan Komnas HAM yang sudah diatur menurut Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,” ujar Yan Christian Warinussy, pengacara HAM Papua, di Forum Papua Lawyers Club (PLC) Juni lalu.(*)

Charlot Salwai: Pemimpin Pasifik Sepakat Bawa Isu Papua Ke PBB

Perdana Menteri Vanuatu, Charlot Salwai mendengarkan pidato pembukaan Forum Kepulauan Pasifik (PIF) di Palikir, Ibu Kota Mikronesia, Kamis, (8/9/2016) - Foto: AFP
Perdana Menteri Vanuatu, Charlot Salwai mendengarkan pidato pembukaan Forum Kepulauan Pasifik (PIF) di Palikir, Ibu Kota Mikronesia, Kamis, (8/9/2016) – Foto: AFP

Jayapura, Jubi – Vanuatu menegaskan bahwa para pemimpin Forum Kepulauan Pasific (PIF) telah bersepakat membawa isu West Papua ke Perserikatan Bangsa-Bangsa, sebagai wujud keprihatinan kawasan tersebut pada persoalan Papua.

Pertemuan PIF minggu lalu di Negara Federasi Mikronesia (FSM) telah mencapai konsensus terhadap laporan kejahatan hak azasi manusia yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia di Papua, demikian dinyatakan Perdana Menteri Vanuatu, Charlot Salwai, seperti dilansir Radio New Zealand International/RNZI, Kamis (15/9/2016).

Konsensus ini termasuk membicarakan tuduhan pelanggaran HAM tersebut dengan Indonesia, sekaligus membawanya ke Komite HAM PBB.

Hal ini merupakan tindak lanjut atas gagalnya rencana Forum tahun lalu mengirimkan misi pencari fakta ke wilayah Papua karena penolakan Jakarta.

Oleh karena itu, menurut Salwai, respon kawasan terkait Papua justru semakin mengarah ke PBB, “walaupun Forum (PIF) masih sedikit yang mendukung seruan penentuan nasib sendiri West Papua,” ujar Salwai dengan nada menyesal.

Dia menyatakan, lima negara Forum (PIF) yang mendukung hak penentuan nasib sendiri West Papua meyakini bahwa pelanggaran HAM yang terjadi di Papua justru disebabkan oleh aspirasi politik rakyat Papua. Oleh karena itu Forum bersepakat agar negara-negara (5 negara) tersebut membawa kasus West Papua ke Komite Dekolonisasi PBB, tegas Salwai.

Sementara dirinya sendiri akan menyuarakan isu pelanggaran HAM di West Papua pada pertemuan Majelis Umum PBB bulan ini di New York.

Sebelumnya, seperti diberitakan, komunike PIF ke-47 terkait West Papua dirasa kurang memiliki substansi, padahal isu pelanggaran HAM dan hak penentuan nasib sendiri sudah masuk menjadi agenda pembicaraan para pemimpim Forum.

“Para pemimpin mengakui sensitifitas isu West Papua (Papua) dan sepakat isu tuduhan pelanggaran HAM di West Papua (Papua) harus tetap ada dalam agenda,” demikian hasil komunike yang juga menegaskan kesepakatan para pemimpin atas pentingnya dialog terbuka dan konstruktif dengan Indonesia terkait isu itu.(*)

PIF Didorong Gunakan Mekanisme PBB Untuk Kasus Papua

Pohnpei, Jubi – Perwakilan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) Pasifik telah mendorong para pemimpin Pasifik untuk mendukung keterlibatan PBB dalam kasus rakyat dan bangas Papua Barat.

Ini adalah salah satu poin kunci dari perwakilan OMS yang diajukan selama pertemuan dengan Forum Troika Pacific Islands Forum (PIF). Troika forum adalah forum yang melibatkan Ketua PIF sebelumnya, Ketua PIF saat ini dan Ketua PIF mandatang. Ketua saat ini, Perdana Menteri PNG, Peter O’Neill tidal hair dalam pertemuan tersebut karena belum tiba di Ponhpei, Negara Federasi Micronesia. Ia diwakili oleh Menteri Luar Negerinya, Rimbink Pato.

Kepada Jubi, usai pertemuan dengan forum Troika, Ketua Pacific Islands Association of NGO (PIANGO), Emele Duituturaga mengatakan ia bersama rekan-rekan NGO se Pasifik menyampaikan kepada pemimpin PIF tentang proses-proses di PBB yang tersedia untuk mengadvokasi kasus Papua Barat.

“Kami melihat proses-proses di PBB mungkin bisa menjadi salah satu jalur untuk menyelesaikan kasus Papua Barat,” kata Emele.

Ia menambahkan hingga saat ini publik di Pasifik dan Melanesia hanya berpikir kasus Papua Barat adalah isu di Melanesia saja. Inilah yang membedakan advokasi sebelumnya dan saat ini untuk Papua Barat yang dilakukan beberapa negara dan NGO di Pasifik.

“Dalam rekomendasi kami, kami juga mencoba membantu para pemimpin kami untuk mengidentifikasi beberapa hubungan bilateral antara negara-negara di Pasifik dengan Indonesia. Terutama bantuan bilateral yang bisa menghalangi kepentingan dan pilihan kita di Pasifik yang perdu menjadi kepedulian kita,” lanjutnya.

Sebagai salah satu dari enam perwakilan OMS Pasifik yang ditunjuk untuk bertemu forum Troika, Emele juga mendorong pemimpin PIF untuk mensponsori Papua Barat masuk dalam daftar dekolonisasi dan berbicara pada Sekretaris Jenderal PBB untuk menunjuk utusan khusus dalam menangani kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia di Papua Barat.

Dalam kesempatan yang sama, Perdana Menteri Samoa, Tuilaepa Lupesoliai Neioti mengkonfirmasi perwakilan OMS mengangkat isu Papua Barat dalam pertemuan dengan Forum Troika. Namun ia mencatat, isu Papua Barat terdiri dari dua isu.

“Pertama adalah soal Hak Asasi Manusia. Isu ini bisa kita angkat dalam situasi seperti saat ini. Tapi soal penentuan nasib sendiri, ada proses yang harus kita ikuti,” kata Neoti.

Ia mencontohkan kasus negaranya sendiri yang menurutnya sangat mirip dengan kasus Papua Barat saat ini.

“Apa yang muncul di Papua Barat sangat mirip dengan situasi negara saya sendiri ketika kami ingin menjadi negara merdeka. Tentu saja kemudian PBB datang dan membimbing kami sepanjang jalan menuju kemerdekaan akhir tahun 1962. Jadi ada proses yang harus dilewati dan itu adalah langkah formal yang harus dilakukan,” lanjutnya.

Namun kekhawatiran atas isu Papua Barat dalam pertemuan puncak para pemimpin PIF pada Sabtu (10/9/2016) sempat muncul di kalangan NGO Pasifik ini. Hal ini disebabkan kemungkinan ketidakhadiran Perdana Menteri Kepulauan Solomon, Manasye Sogavare dalam pertemuan retreat tersebut, karena dilakukan pada hari Sabath. Sogavare adalah penganut Advent. Sogavare, sebagai Ketua Melanesia Spearhead Group (MSG) adalah salah satu kunci utama dalam advokasi kasus Papua Barat

Terkait hal ini Direktur Jenderal Kantor Perdana Menteri Vanuatu, Johnson Naviti menegaskan posisi Koalisi Pasifik untuk Papua Barat sangat jelas dalam pertemuan PIF kali ini. Menurutnya, Perdana Menteri Vanuatu, Charlot Salwai akan membawa isu Papua Barat dalam retreat nanti.

“Ketika saya berbicara atas nama pemerintah Vanuatu, ketika koalisi terbentuk di Honiara tahun lalu, saya telah menjelaskan kepada Perdana Menteri Kepulauan Solomon, posisi kami jelas; Dukungan yang kami nyatakan bukan hanya dari pemerintah atau satu kelompok politik, namun dari seluruh populasi Vanuatu,” kata Naviti.

Koalisi Pasifik untuk Papua Barat di Pasifik di bentuk di Honiara pada bulan Juli lalu atas inisiatif Sogavare setelah pertemuan khusus MSG. Anggota awal koalisi ini adalah Kepulauan Solomon, Vanuatu, Kepulauan Marshall, Tonga, Front Pembebasan Kanak (FLNKS), United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dan Pacific Islands Association of NGO (Piango). Saat ini dua negara, Tuvalu dan Nauru telah bergabung dalam koalisi ini. (*)

Yeimo: PIF Leaders Dorong West Papua ke PBB

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — “Para pemimpin mengakui sensitivitas isu Papua dan setuju bahwa tuduhan pelanggaran HAM di Papua tetap menjadi agenda mereka. Para pemimpin juga menyepakati pentingnya dialog yang terbuka dan konstruktif dengan Indonesia terkait dengan isu ini.”

Ini bunyi poin 18 dari komunike bersama para pemimpin Pasifik yang tergabung dalam Pacific Islands Forum (PIF) pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-47 yang berlangsung di Pohnpei, ibukota negara federal Mikronesia, 7 hingga 11 September 2016.

Hal ini senada dengan pernyataan Sekretaris Jenderal PIF, Dame Meg Taylor yang berbicara sebelum KTT ini berlangsung. Menurutnya, isu Papua dianggap sensitif oleh beberapa pemerintah di Pasifik walaupun isu tersebut tetap masuk dalam agenda untuk dibahas.

Victor F. Yeimo, tim kerja ULMWP yang juga ketua umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB), mengatakan, perjuangan bangsa Papua makin menggema di tingkat internasional dengan dukungan dari negara-negara Pasifik.

“Satu langkah kita, negara-negara Pasifik sudah membulatkan tekad untuk dorong masalah hak penentuan nasib sendiri dan persoalan pelanggaran hak asasi manusia ke PBB,” demikian Yeimo kepada suarapapua.com melalui keterangan tertulis, malam ini.

Tentang komunike PIF ke-47 tahun 2016, sedikitnya 46 poin terbagi dalam 19 bagian yang dihasilkan di akhir KTT kali ini.

Ia menyebutkan tiga poin penting bagi Papua Barat dari komunike bersama para pemimpin negara-negara Pasifik.

Pertama, negara-negara Pasifik mengakui sensitifitas masalah politik West Papua.

Kedua, PIF menyetujui agar tetap menempatkan masalah HAM dalam agenda.

Ketiga, menjaga untuk melakukan dialog konstruktif dengan Indonesia.

KTT dihadiri pemimpin negara dan pemerintahan Australia, Cook Islands, Federated States of Micronesia, Republik Nauru, Selandia Baru, Papua Nugini, Republic of Marshall Islands, Samoa, Tonga, Tuvalu dan Vanuatu.

Solomon Islands diwakili Deputi Perdana Menteri, sedangkan Fiji, Niue dan Republik Papau diwakili menteri luar negeri. Kiribati diwakili utusan khusus.

Selain anggota, KTT kali ini dihadiri pula anggota associate, yaitu French Polynesia, Kaledonia Baru dan Tokelau yang diperkenankan turut dalam sesi-sesi resmi.

Peninjau di KTT PIF adalah The Commonwealth of the Northern Marianas Islands, Timor Leste, Wallis dan Futuna, Bank Pembangunan Asia, the Commonweath Secretariat, PBB, the Western and Central Pacific Pacific Fisheries Agency (PIFFA), Pacific Power Association (PPA), Secretariat of Pacific Community (SPC), Secretariat of the Pacific Regional Environment Programme (SPREP) dan the University of the South Pacific (USP).

Sesuai keputusan, KTT PIF tahun depan akan diselenggarakan di Samoa, sedangkan KTT PIF 2018 di Nauru dan 2019 di Tuvalu.

Salah satu keputusan penting dari KTT PIF ke-47, diterimanya French Polynesia dan Kaledonia Baru sebagai anggota penuh. Di mata sementara kalangan ini sebuah keputusan berani karena French Polynesia dan Kaledonia Baru adalah wilayah kekuasaan Prancis, yang pada KTT ini diwakili dua organisasi yang berjuang untuk menggelar penentuan nasib sendiri.

Pewarta: Mary Monireng

PIF Didorong Gunakan Mekanisme PBB Untuk Kasus Papua

Pohnpei, Jubi – Perwakilan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) Pasifik telah mendorong para pemimpin Pasifik untuk mendukung keterlibatan PBB dalam kasus rakyat dan bangas Papua Barat.

Ini adalah salah satu poin kunci dari perwakilan OMS yang diajukan selama pertemuan dengan Forum Troika Pacific Islands Forum (PIF). Troika forum adalah forum yang melibatkan Ketua PIF sebelumnya, Ketua PIF saat ini dan Ketua PIF mandatang. Ketua saat ini, Perdana Menteri PNG, Peter O’Neill tidal hair dalam pertemuan tersebut karena belum tiba di Ponhpei, Negara Federasi Micronesia. Ia diwakili oleh Menteri Luar Negerinya, Rimbink Pato.

Kepada Jubi, usai pertemuan dengan forum Troika, Ketua Pacific Islands Association of NGO (PIANGO), Emele Duituturaga mengatakan ia bersama rekan-rekan NGO se Pasifik menyampaikan kepada pemimpin PIF tentang proses-proses di PBB yang tersedia untuk mengadvokasi kasus Papua Barat.

“Kami melihat proses-proses di PBB mungkin bisa menjadi salah satu jalur untuk menyelesaikan kasus Papua Barat,” kata Emele.

Ia menambahkan hingga saat ini publik di Pasifik dan Melanesia hanya berpikir kasus Papua Barat adalah isu di Melanesia saja. Inilah yang membedakan advokasi sebelumnya dan saat ini untuk Papua Barat yang dilakukan beberapa negara dan NGO di Pasifik.

“Dalam rekomendasi kami, kami juga mencoba membantu para pemimpin kami untuk mengidentifikasi beberapa hubungan bilateral antara negara-negara di Pasifik dengan Indonesia. Terutama bantuan bilateral yang bisa menghalangi kepentingan dan pilihan kita di Pasifik yang perdu menjadi kepedulian kita,” lanjutnya.

Sebagai salah satu dari enam perwakilan OMS Pasifik yang ditunjuk untuk bertemu forum Troika, Emele juga mendorong pemimpin PIF untuk mensponsori Papua Barat masuk dalam daftar dekolonisasi dan berbicara pada Sekretaris Jenderal PBB untuk menunjuk utusan khusus dalam menangani kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia di Papua Barat.

Dalam kesempatan yang sama, Perdana Menteri Samoa, Tuilaepa Lupesoliai Neioti mengkonfirmasi perwakilan OMS mengangkat isu Papua Barat dalam pertemuan dengan Forum Troika. Namun ia mencatat, isu Papua Barat terdiri dari dua isu.

“Pertama adalah soal Hak Asasi Manusia. Isu ini bisa kita angkat dalam situasi seperti saat ini. Tapi soal penentuan nasib sendiri, ada proses yang harus kita ikuti,” kata Neoti.

Ia mencontohkan kasus negaranya sendiri yang menurutnya sangat mirip dengan kasus Papua Barat saat ini.

“Apa yang muncul di Papua Barat sangat mirip dengan situasi negara saya sendiri ketika kami ingin menjadi negara merdeka. Tentu saja kemudian PBB datang dan membimbing kami sepanjang jalan menuju kemerdekaan akhir tahun 1962. Jadi ada proses yang harus dilewati dan itu adalah langkah formal yang harus dilakukan,” lanjutnya.

Namun kekhawatiran atas isu Papua Barat dalam pertemuan puncak para pemimpin PIF pada Sabtu (10/9/2016) sempat muncul di kalangan NGO Pasifik ini. Hal ini disebabkan kemungkinan ketidakhadiran Perdana Menteri Kepulauan Solomon, Manasye Sogavare dalam pertemuan retreat tersebut, karena dilakukan pada hari Sabath. Sogavare adalah penganut Advent. Sogavare, sebagai Ketua Melanesia Spearhead Group (MSG) adalah salah satu kunci utama dalam advokasi kasus Papua Barat

Terkait hal ini Direktur Jenderal Kantor Perdana Menteri Vanuatu, Johnson Naviti menegaskan posisi Koalisi Pasifik untuk Papua Barat sangat jelas dalam pertemuan PIF kali ini. Menurutnya, Perdana Menteri Vanuatu, Charlot Salwai akan membawa isu Papua Barat dalam retreat nanti.

“Ketika saya berbicara atas nama pemerintah Vanuatu, ketika koalisi terbentuk di Honiara tahun lalu, saya telah menjelaskan kepada Perdana Menteri Kepulauan Solomon, posisi kami jelas; Dukungan yang kami nyatakan bukan hanya dari pemerintah atau satu kelompok politik, namun dari seluruh populasi Vanuatu,” kata Naviti.

Koalisi Pasifik untuk Papua Barat di Pasifik di bentuk di Honiara pada bulan Juli lalu atas inisiatif Sogavare setelah pertemuan khusus MSG. Anggota awal koalisi ini adalah Kepulauan Solomon, Vanuatu, Kepulauan Marshall, Tonga, Front Pembebasan Kanak (FLNKS), United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dan Pacific Islands Association of NGO (Piango). Saat ini dua negara, Tuvalu dan Nauru telah bergabung dalam koalisi ini. (*)

Geopolitik Pengaruhi Hasil PIF-47, PICWP Konsisten Hingga ke PBB

Jayapura, Jubi – PIANGO memandang Australia dan Selandia Baru berperan besar secara geopolitik hingga membuat hasil komunike Forum Kepulauan Pasifik Selatan (PIF) ke-47 tentang West Papua belum maksimal.

Pertemuan para pimpinan PIF sejak Rabu (7/9) berakhir pada retreat Minggu (11/9/2016). Isu pelanggaran HAM Papua tetap menjadi agenda dan perhatian para pemimpin negeri Pasifik.

Namun, menurut Direktur Eksekutif Asosiasi NGO Kepulauan Pasifik (PIANGO), Emele Duituturaga, kepada Jubi Selasa (13/9/2016), hasil komunike PIF-47 kali ini belum mencerminkan desakan masyarakat sipil, khususnya terhadap hak penentuan nasib sendiri West Papua.

“Tampak jelas bahwa geopolitik bermain dalam isu ini. Kami menduga para pemimpin kami tidak cukup berani dan tegas di hadapan negara-negara tetangga besar seperti Australia dan Selandia Baru,” ujar Duituturaga yang menyesalkan desakan masyarakat sipil, agar PIF medorong isu penentuan nasib sendiri West Papua ke PBB, belum tercermin dalam hasil Komunike PIF-47.

Namun demikian, lanjutnya, isu pelanggaran HAM Papua, yang tidak bisa digeser dari agenda PIF, adalah capaian penting.

“Kami tahu beberapa negara anggota PIF bahkan berharap isu West Papua dihapuskan sama sekali dari agenda PIF,” kata dia sambil memahami bahwa hasil komunike tersebut adalah pertarungan politik dan pengaruh.

Hasil komunike terkait isu West Papua di dalam poin 18 menyatakan, bahwa para pemimpin mengakui sensitivitas politik isu West Papua (Papua) dan bersepakat isu dugaan pelanggaran HAM di West Papua (Papua) harus tetap ada dalam agenda. Para pemimpin juga bersepakat pentingnya sebuah dialog terbuka dan konstruktif dengan Indonesia terkait masalah itu.

Menanggapi hasil Komunike PIF ke 47 yang belum memenuhi harapan perjuangan politik West Papua, Octovianus Mote, Sekretaris ULMWP kepada Jubi mengatakan dirinya tidak menganggap hal tersebut sebagai kekalahan.

“Kita menang dalam hal dukungan. Tahun ini hampir semua negeri mendukung Papua Barat. Tahun lalu masih sangat sedikit karena masih banyak yang belum tahu dan tidak bersuara,” ujarnya.

Dia mengaku justru lebih lebih optimis saat ini. “Saya lebih optimistik karena pemimpin kunci bersuara sama.”

PICWP Lanjutkan ke PBB

Terlepas dari hasil PIF-47 tersebut, Emele Duituturaga menegaskan bahwa PICWP, yang terdiri dari Kepulauan Solomon, Vanuatu, Republik Kepulauan Marshall, Nauru, Tuvalu dan PIANGO, adalah platform yang semakin bisa diandalkan untuk terus mendorong West Papua menjadi agenda di badan PBB.

“Kami sangat berbesar hati dan semakin positif karena anggota-anggota negara PICWP sudah secara terbuka tunjukkan komitmen mereka untuk mendorong isu West Papua ini.”

Pihaknya kedepan akan bekerja secara individual dengan negeri-negeri tersebut agar PBB mengintervensi isu pelanggaran HAM West Papua, sekaligus mendorong agenda penentuan nasib sendiri West Papua ke Majelis Umum PBB, Dewan HAM PBB, serta Sekretaris Jenderal PBB.

Selain itu, Perdana Menteri Samoa yang merupakan ketua PIF selanjutnya, menurut Duituturaga, sudah menunjukkan sinyal bahwa pihaknya akan menggelar pertemuan 16 anggota CSO dengan keseluruhan pimpinan PIF pada pertemuan PIF tahun depan di Samoa.

“Tidak terlalu banyak nilainya bertemu segelintir pimpinan PIF di Troika,” ujar Emele yang memandang usulan Perdana Menteri Samoa sebagai terobosan yang bagus untuk memberi tekanan lebih besar pada isu politik West Papua.

Victor Yeimo, Ketua Umum KNPB dalam pernyataan tertulisnya kepada Jubi Senin (12/9) mengakui beratnya pertarungan pengaruh di PIF terkait isu politik West Papua, khususnya karena hubungan ekonomi politik negara-negara besar seperti Australia dan Selandia Baru dengan Indonesia.

“Ada dua level perjuangan yang akan terus kami lakukan untuk perluasan dukungan terhadap hak penentuan nasib sendiri West Papua hingga ke PBB. Level pertama adalah dukungan gerakan sosial dan politik di Pasifik, dan level kedua adalah dukungan pemerintah negaranya. Keduanya bisa berjalan seiring, bisa juga tidak. Tetapi level pertama, yaitu dukungan gerakan sosial dan politik, adalah penentu,”

ujar Yeimo.

Dia juga menjelaskan bahwa solidaritas gerakan sosial dan politik di Australia, Selandia Baru dan Indonesia sendiri saat ini sedang bertumbuh.

“Pemerintah Australia, Selandia Baru dan Indonesia boleh jadi masih kepala batu untuk mengakui persoalan politik Papua, tetapi mereka tidak akan bisa membendung perluasan dukungan dari rakyatnya sendiri pada kami,” ujar Yeimo.(*)

Question of the integration of New Caledonia as a full member of the Pacific Islands Forum

Roch WAMYTAN

UC-FLNKS and NATIONALISTS Group

FLNKS Signatory of the Noumea Accord

President of the Group Congress of New Caledonia

rockwamytan@hotmail.com

roch.wamytan@congres.nc

To H.E. Dame Meg TAYLOR Secretary General to the Pacific Islands Forum

Noumea, 5th September 2016

Subject: Question of the integration of New Caledonia as a full member of the Pacific Islands Forum

Excellency, During the 47th Summit of the Pacific Islands Forum (PIF) which will be held from September 7 to 11, 2016, in Pohnpei, Federates States of Micronesia, the candidacy of New Caledonia to the status of full member will be again examined.

In this way, considering the current political situation in Kanaky/New Caledonia, particularly in the prospect of electoral consultation on the achievement of full sovereignty of the country which is planned from 2018, I am writing to send you the position of my political group at the Congress of New Caledonia, shared also by the FLNKS1 .

This letter is in the continuity of the letter I sent you already last year. First, let me remind the role of the PIF in the international support of the Kanak people’s struggle, in particularly within the framework of the reinscription, in 1986, of 1 Until now, during all the FLNKS Congresses, no motion was passed in the direction of an agreement for the change of status of New Caledonia in the PIF. New Caledonia on the United Nations list of Non Self Governing Territories.

This support was able to be developed, among others, under the aegis of our countries brothers of the Melanesia. Indeed, since 1986, the FLNKS benefits a special guest status as an observer member of the PIF. In 1998, after the signing of the Nouméa Accord which involved the country in a process of emancipation and decolonization, the Kanak independentists have accepted to integrate the government of New Caledonia at the time and place of the FLNKS as observer member within the PIF. This open-mindedness gesture was made during the PIF’s summit in Palau in 1999. Besides, in 2006, New Caledonia became associate member of the PIF.

In September 2013, following a mission of the ministerial committee in New Caledonia, the executives of the organization recognized the legitimacy of the New Caledonian candidacy for the status of full member within PIF. Unfortunately, since 2006, we notice a sidelining of the independentist executives concerning all the decisions, as political as diplomatic, relative to the PIF, taken by the government of New Caledonia. Moreover I had informed Mr Henri PUNA of this problem, in 2013, during the mission of the ministerial committee. As signatory of the Noumea Accord, I have called out on several occasions the partners of this accord on the respect for its sincere and whole implementation.

The Melanesian Spearhead Group, the PIF and the United Nations Special Committee on Decolonization were also notified on the problems that our country crosses, in particular on the question of the establishment and the revision of the special electoral rolls for the provincial elections and for the consultation on the country’s achievement of full sovereignty.

As you know, Oceania is today considered as the new center of the world growth, provided with a considerable potential which can raise the challenges of the 21th century (energy, raw materials, halieutic resources, etc.). So, it is clear that France, in the name of its greatness, of its place in the world, of its best interests, of its rank of the second naval strength in the world behind the USA, wishes to ensure to keep the sovereign powers in New Caledonia. Recently, a symposium organized by the French Senate in January 2013, in Paris, confirmed again the interest of France for its French territories of the Pacific.

The speakers of this symposium thus recommended to defend in this continent the best interests of France in connection with the public and private French companies. France also defends its own interests by using the French territories as a bridgehead or support base.

Concerning French overseas territories, the President François Hollande during his tour of the « last French colonies » had a constant in his speeches: « France is present all around the world, a country where the sun never goes down, France is a country of Oceania, Indian Ocean, America, the Atlantic Ocean, Caribbean ».

These declarations express the politic of red line of the forbidden independence which France implements. Sometimes, under the cover of democracy, we can reveal maneuvers of a State trying to assure its domination while putting up a good show in front of the international community. The independentist executives that we are have what to be worried in view of this situation in French overseas territories and taking in consideration the declarations of certain high-level French politicians following the example of President François Hollande during his last journey in New Caledonia in November 2014 asserting in his speech in the Tjibaou Cultural center that the best interests of France are also situated in the Pacific.

Yet, New Caledonia is an oceanian country and France is an european country. The FLNKS gave time to build and reach its independence. Important results were obtained, but serious drifts, further to a deliberated will of confinement from the State, led New Caledonia towards a trapdoor into which France locks it more and more in the name of the best interests of the Nation. For us, it is so out of the question for the moment, and as long as New Caledonia is not independent, that she could obtain the status of full member within the PIF.

In the same line, it is inconceivable for us, as regard to the Melanesian Spearhead Group, that the FLNKS could give its place to the government of New Caledonia. Because it would definitely let France enter in these regional organizations, following the principle of the « Trojan horse », organizations which were of all fights for the Kanak people’s independence. Our country which is going to commemorate, on September 24th, 2016, 163 years of taking possession by France, does not have vocation to play eternally the role of casting a favourable light on its administrative power which the only purpose is to claim, in the eyes of the nations of this region, its status of « oceanian » country, to benefit from this position.

The geographical and political reality reminds that France, situated in 20 000 km of the Pacific is an european, and not an oceanian State. To permanently tweak the shot on this basic reality amounts to maintain the colonialist and imperialist system, and paves the way for future situations of conflicts. More than ever New Caledonia, Melanesia and the Pacific, need stability, cohesion and peace. Gain independence peacefully and through negotiation was a difficult choice that we made. The support of regional institutions (PIF, MSG) and Independent States of the region is crucial for our people and our country. Indeed, the balance of power between the Administering power, France, and the colonized people, the Kanak people, is not in our favor.

If we are engaged for 30 years in a decolonization process with the signing of the political agreements (Matignon and Noumea) with our colonial power, we believe that it does not want the independence of our country. We are today in the last mandate of the Noumea Accord, and the political development of these last months does not allow us to envisage the granting, to New Caledonia, of a status of full member within the PIF.

In this way, allow non-independent and non-autonomous countries to become full member of the PIF is equivalent to bring our colonial power as a full member. Because the sovereign powers and full sovereignty is always that of the colonial power. Support for regional institutions and independent countries in the region is indispensable in our fight for independence. Considering elements developed above, I am writing to ask for your understanding, kindness, and support of your high authority to postpone the examination of the candidacy of New Caledonia to the status of full member of the Pacific Islands Forum.

Finally, I inform you that brother countries of our Pacific region, the Melanesian Spearhead Group, and the President of the United Nations Special Committee of Decolonization, were also seized on this matter.

Please accept, Excellency, the assurances of my highest consideration.

President of the UC-FLNKS and Nationalists Group Former president of the Congress of New Caledonia (2011-2012/2013-2014) Former president of the Melanesian Spearhead Group (2001-2003) Former president of the FLNKS (1995-2001) Roch WAMYTAN

Ro Teimumu: Fiji Menguat Dukung Papua Barat

Kabar Mapegaa 10.39.00

Ro Teimumu Kepa, Photo/Fijisun.com/KM/2016/
Ro Teimumu Kepa, Photo/Fijisun.com/KM/2016/

Yogyakarta (KM)—Pemimpin Oposisi Fiji, Ro Teimumu Kepa, mengatakan memberikan dukungan kepada ULMWP pada keanggotaan MSG merupakan sebuah aksi tanggung jawab yang dapat di lakukan oleh setiap Pemimpin Melanesia.

Kepa mengatakan, Indonesia berusaha menjadi keanggotaan blok regional hanya untuk melindungi kepentingan sendiri dan telah menunjukkan rasa tidak hormat kepada keprihatinan Melanesia terhadap Papua, bahwa genosida sedang berlangsung di Papua Barat.

“Ro Teimumu telah menyatakan mendukung penuh untuk ULMWP sebagai keanggotaan penuh pada pertemuan MSG di Honiara”.

Lanjut Dia, mengatakan Indonesia tidak punya keinginan untuk terlibat dalam dialog tentang isu-isu hak asasi manusia dan mereka telah menunjukkan hal ini berkali-kali dalam setiap serangan pandangannya terhadap ‘pejuang kemerdekaan Papua’ dan penindasan kegiatan penentuan nasib mereka.

Ia bergabung dalam ribuan orang Fiji yang merasa kuat tentang perubahan pada posisi negara dan menyuarakan kebebasan dan kemerdekaan Papua Barat, Bebernya lagi.

Dengan memberikan keanggotaan penuh, para pemimpin Melanesia akan langsung menanggapi terhadap keinginan untuk mengakhiri kekerasan waja anggota ULMWP,ungkapnya.

Kepemimpinan KTT MSG adakan pertemuan minggu ini di Honiara, Salomon Island.

Sumber: Radio NZ

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny