Asosiasi Mahasiswa Maori Beri Dukungan Untuk Gerakan Pembebasan Papua

Jayapura, Jubi – Mahasiswa Māori di Selandia Baru berpawai hari ini sebagai dukungan untuk gerakan pembebasan Papua Barat. Pawai ini dilakukan dalam rangkaian kegiatan konferensi tahunan Te Huinga Tauira o Te Mana Ākonga selama tiga hari (25-28 Agustus) yang diselenggarakan oleh Ngāi Tauira, Asosiasi Mahasiswa Māori ‘di Victoria University of Wellington.

“Peristiwa saat ini Papua Barat bergema dengan sejarah bangsa kita,” kata Ivy Harper, Pemimpin Te Mana Ākonga, Asosiasi Nasional Mahasiswa Māori.

“Kami ingin menyoroti apa yang terjadi di sana (Papua Barat) seperti apa yang terjadi pernah dan sedang terjadi pada masyarakat adat lainnya,” kata Harper kepada Jubi, melalui sambungan telepon, Kamis (25/8/2016).

a menekankan masyarakat internasional saat ini menerima beberapa gerakan pembebasan tapi menolak gerakan pembebasan lainnya dan publik, terutama masyarakat Selandia Baru tidak melakukan apa-apa.

Pimpinan asosiasi mahasiswa lainnya, Raimona Tapiata mengatakan para mahasiswa mulai memperkenalkan yel-yel “MA Tatou te reo Kawe nama mo te Hunga kua MU na nga aupēhitanga. Papua Merdeka” kepada publik Selandia Baru sebagai ajakan untuk mendukung pembebasan Papua Barat.

“Orang-orang di Papua Barat dipenjara atau dibunuh hanya untuk berbicara bahasa mereka. Bagaimana mungkin kita tidak mengatakan sesuatu?” kata Raimona Tapiata, Co-Tumuaki dari Ngāi Tauira.

Ia menambahkan, suara mahasiswa Maori adalah suara yang mewakili orang Papua Barat yang tidak bisa bebas menuntut pembebasan.

“Tapi kami juga ingin sesuatu yang lebih di Aotearoa. Bahasa Māori harus wajib tersedia di sekolah, bukan hanya subjek dalam kurikulum. pendidikan kewarganegaraan juga harus diajarkan sehingga orang tahu sejarah kita sendiri,” lanjut Raimona.

Para mahasiswa ini diagendakan bertemu dengan anggota parlemen Marama Fox (Māori Partai), Catherine Delahunty (Partai Hijau) dan anggota parlemen lainnya di Parlemen.

“Kami ingin pemerintah Selandia Baru berbicara di forum internasional sehingga orang Papua Barat bisa bebas untuk hidup. Kita tidak diam sementara kekejaman di Papua Barat terjadi,” katanya lagi. (*)

Hon. Powes Parkop MP on The Vote of No Confidence

The Vote of No Confidence’

As a leader of a party within the governing coalition government led by Prime Minister O’Neil, and in my capacity as Governor of NCD, I welcome the decision of the Supreme Court to recall Parliament to deal with the Vote of No Confidence. After all the stress that the country has faced in the last nine or ten weeks and the continuous pressure by the opposition to use this mechanism to try to discredit the Government, the decision of the Court will give everyone an opportunity to settle this matter once and for all so that our people and our nation can hopefully heal and move on to address the many issues facing all of us as a nation.

This is an opportunity for the Prime Minister to show if he still has the support of Parliament and the support of the people of our nation. It is also an opportunity for the Opposition to show if they have the numbers to carry out the Vote of No Confidence to change the Government. From here the public will be able to assess for themselves, if the decision to file the motion is genuine and not just a tactical ploy by the Opposition to create instability to the country.

The Social Democratic Party (SDP) helped form this current Government and as a party we are committed to remaining in Government. We are also committed to do whatever we can for national interest and for the interest of the people. As far as we are concerned, as members of the coalition government, there are no reasons to change the Government. The issue is with the Prime Minister and as Government of the day; we are still strong and delivering on all the policies that we have set out as mandated leaders and members of parliament.

While welcoming the decision of the Supreme Court, I am concerned as to the extent and implications the decision of the Court may have on future governments. As far as I am aware of the law, the decision of the court is actually breaching on the doctrine of separation of powers, which is the foundation of our democracy. When parliament last met, the Vote of No Confidence motion was not a formal agenda of Parliament. If it was submitted, it was still the property of the permanent parliamentary committee of Private Members Bill. It was not on the parliament notice paper. When parliament was adjourned in the last sitting, we adjourned knowing that the notice for the motion of Vote of No Confidence was not a business of parliament yet as it was not on the notice paper. For the Supreme Court to order Parliament to be recalled and meet on a matter still before a parliamentary committee, who have not deliberated on its merits or demerits, and have not made any report to Parliament, clearly shows that the Court has gone beyond its bounds.

I hope and appeal to both the Opposition Leader and the Speaker not to allow this decision to stand as precedence, as it will serve as a basis for continuous interference by the Court in the legislature in future. It is therefore important, for the sake of future parliaments, that this decision by the Supreme Court is challenged, perhaps at a later date, after parliament has dealt with the business of the motion of Vote of No Confidence this Friday.

Thank you

HON POWES PARKOP LLB LLM MP
Parliamentary leader of Social Democratic Party

Black Brothers Show Kemerdekaan PNG

David Rumagesan (Vocal/saxxofon), Amri Kahar (Trombone); Benny Betay (Bass); Sandy Betay eks Black Papas (Vocalis),Yochy Pattipelohi (Keyboard)-Jubi/Ist
David Rumagesan (Vocal/saxxofon), Amri Kahar (Trombone); Benny Betay (Bass); Sandy Betay eks Black Papas (Vocalis),Yochy Pattipelohi (Keyboard)-Jubi/Ist

Jayapura,Jubi – Grup legendaris asal Papua, Black Brothers akan tampil di Hari Ulang Tahun ke 41 Tahun Papua New Guinea. Papua New Guinea (PNG) merdeka, pada 16 September 1975 dari Australia. Jelang kemerdekaan Papua New Guinea 16 September 2016, Gubernur National Capital Districk(NCD) Port Moresby PNG, Pemerintah Papua Nugini (PNG) mengundang grup musik legenda “Black Brothers” dari Bumi Cenderawasih guna memeriahkan Hari Kemerdekaan. di negara itu pada September 2016.

Gubernur National Capital District (NCD) Port Moresby PNG, Hon Powes Parkop, di Jayapura, pekan lalu mengatakan pihaknya ingin lebih mempopulerkan grup musik “Black Brothers” di wilayah PNG.

“The legend are returning (legenda akan kembali) dengan kembali konsernya grup ‘Black Brothers’ khusus di PNG,” katanya sebagaimana dilansir Antara.

Menurut Powes, pihaknya akan membuat “Black Brothers” menjadi bintang internasional jika bisa konser di PNG sehingga grup legenda ini akan merasa senang dan dapat kembali kemudian hari untuk tampil di Port Moresby.

“Selain Black Brothers, kami juga akan menampilkan hiburan-hiburan dari Jakarta dan tempat lainnya, tapi yakin masyarakat akan lebih bersemangat dengan kehadiran grup legenda Papua,” ujarnya.

Catatan Jubi, Black Brother pertama kali lahir di Jayapura dengan nama Iriantos dan hijrah ke Jakarta sekitar 1976. Rekaman di Jakarta dan langsung menggebrak blantika musik Indonesia.

Andy Ayamiseba, manajer Grup Band Black Brothers, mengatakan Black Brothers bukan sekadar kelompok musisi biasa. Mereka memiliki visi dan misi utama untuk mengangkat martabat bangsanya yang selalu dibilang masih terbelakang.

“Misi dan visi yang kedua untuk menciptakan masyarakat yang adil dan sejahterah serta yang ketiga dan maha penting adalah untuk membebaskan bangsanya dari segala bentuk penindasan oleh kaum penjajah,”katanya,melalui akun Facebooknya, belum lama ini.

Menurut Ayamiseba, misi itu bisa dibuktikan dengan karya-karya mereka melalui syair lagu-lagu nya dan keputusan-keputusan yang diambil untuk meninggalkan ketenaran mereka di tanah airnya Indonesia. Bahkan, kemudian meninggalkan kontrak musik di EMI Holland dan akhirnya hijrah ke Vanuatu untuk menjalankan lobi OPM di kawasan Pasifik Selatan, termasuk PNG.

Para personel BB pun diseleksi berdasarkan potensi-potensi mereka secara individu agar produksi bisa mencapai hasil yang semaksimal mungkin. Jocky Phu, dijuluki si pena emas karena dia adalah penyair besar yang berwatak cinta damai dan keadilan. Kemudian, Hengky (alm) yang memiliki suara emas yang khas Black Brother dan sulit diganti oleh suara lain.

Sijari emas August Rumaropen (alm) dijuluki George Bensonnya Papua dengan watak halus dan rendah hati. Ada juga Benny pada bass dan Stevie si penabuh drum. Keduanya adalah tulang punggung rythm section-nya. Akhirnya David(Dullah) dan Amry yang menciptakan dandanan rythem musik BB. Paduan musik dan vokal mereka yang harmonis sesuai dengan melodi dan syair lagu-lagunya telah menembus nusantara dan Pasifik Selatan. Hal ini membuat grup musik Black Brother melegenda di Pasifik Selatan, Indonesia, dan Eropah dengan lagu Jalikoe.

“Saya selaku pendiri dan manajer sekaligus produser eksekutif supergroup ini sulit untuk mendapatkan musisi-musisi alam yang diberkati dengan talenta oleh Tuhan Yang Maha Kuasa seperti mereka. Saya sangat berterima kasih dan bangga karena diberkati dengan kesempatan untuk bekerja dengan group legendaris ini,”tulis Ayamiseba.

Sekadar diketahui, Black Brothers sangat terkenal di negara tetangga seperti Papua Nugini dengan musik yang merupakan campuran antara rock, pop, reggae, funk dan etnis Papua.

Beberapa lagu pop mereka juga menjadi hits, seperti “Kisah Seorang Pramuria” yang kemudian di remake oleh band rock Boomerang.

Lagu mereka yang berjudul “Saman Doye” di 2011 masuk kompilasi “Those Shocking Shaking Days: Indonesian Hard, Psychedelic, Progressive Rock and Funk” bersama Koes Ploes, Aka, dan lainnya.

Personil “Black Brothers” terdiri dari Hengky MS (lead vocal/guitar), Yochie Pattipeilohy (organ), Benny Betay (bass guitar), David Rumagesang (terompet/rythm), Amry M. Kahar (saxophone) dan Stevie Mambor (drumer).

Grup musik ini melakukan hal yang sangat berani ketika pada 1979 mereka memprotes perlakuan pemerintah Indonesia terhadap Papua. (*)

Powes Parkop (NCD Governor) Meetis Lukas Enembe (Papua Governor)

Today I was honoured to celebrate the 71st anniversary of the Republic of Indonesia. I was invited by the Governor of Papua, Mr Lucas Enambe.

The celebration was simple and straight forward but what was really special was the people of Papua. They are part of the Malenesia family. Being a Free West Papuan activist, I was initially a bit apprehensive, paranoid and reluctant about this trip.

However I also knew that submitting my ego, seeing the bigger picture and making peace with the Indonesian Government and respect the invitation of my fellow brother and Governor was equally as important for the cause we are fighting and most importantly for the freedom of the people of West Papua.

The invitation was sent by the Governor who is a Papuan and who had been my guest in 2014 in Port Moresby. I made this trip to reciprocate the goodwill that was shown to me. I also took advantage of the invitation to visit Jayapura and see the situation on the ground and hear from the people first hand. I am glad that I made this trip with my officers from NCD, accompanied by Governor of Sandaun Pronvince Hon. Amkat Mai and his officers from the Sandaun provincial office.

After the celebration, I also had the privilege to meet with the Papuan political leaders inside the system and outside. They were unanimous in their desire for independence. Their plea to us Papua New Guinean, who are their fellow brother and sisters is , “Please don’t leave to just become a land and a story. Our rights as a people must be heard and preserved. Help us to wipe our tears”, this was conveyed by the West Papua leaders including the Governor of Papua himself. He proudly said, ” If I had a choice, I would choose Freedom for the people of Papua”.

My ultimate goal is to get the Papuans and the Indonesian to put the issues on the table and discuss it openly and find resolution as soon as possible. What I hope to achieve is a window in which the winds of freedom can flow through and that window becomes a door and that door becomes a gate and it can’t be stopped anymore.

I assured them of my commitment and dedication to stand together with them to achieve this outcome. This is the same strategy that we are following through to the MSG, Pacific Island Forum and ultimately to the United Nations. I wish to reiterate here that the Indonesians must be part of the solution and not just the problem. They have done that in Timor Leste and Ache Sumatra so I am sure they can do it in West Papua as well.

Together with the Sandaun Provincial Government, we also discussed opening up of the borders so goods and people can easily move in and out between West Papua and PNG. From here the possibilities are limitless including Freedom for West Papua.

Kepulauan Solomon akan Pimpin Advokasi Isu-isu Papua Barat

Jayapura, Jubi – Kepulauan Solomon akan memimpin advokasi terkait isu-isu pelanggaran HAM di Papua Barat oleh mandat pertemuan Forum Menteri-Menteri Luar Negeri di Suva, Fiji, minggu lalu.

Tak saja berhasil menjadi salah satu dari enam inisiatif yang terdaftar untuk menjadi pertimbangan bagi para pemimpin di forum Menteri Luar Negeri Pasifik, kini isu-isu Papua Barat akan dipimpin langsung advokasinya oleh pemerintah Kepulauan Solomon.

Hal itu ditegaskan Joseph Ma’ahanua, Sekretaris Permanen untuk Urusan Luar Negeri dan Perdagangan Internasional Kepulauan Solomon, yang mengatakan pada SIBC news Kamis lalu (18/8/2016), bahwa negaranya merasa senang dan terhormat karena mandat sebagai peran kunci tersebut akan memelihara ruang bagi isu-isu Papua Barat menjadi lebih luas dan bermomentum panjang.

“Kami merasa senang karena faktanya isu-isu Papua Barat akan terus berlanjut dan dikelola dalam agenda-agenda yang dihasilkan dari laporan-laporan komite resmi Forum Menteri-Menteri tersebut dan akan dipresentasikan kepada para pemimpin,” ujarnya.

Hal ini akan membuat Kepulauan Solomon berada di posisi memimpin untuk memastikan isu-isu Papua Barat terus diadvokasi secara aktif di kalangan para pemimpin forum.

Sebelumnya, Emele Duituturaga, Direktur Pacific Islands Association of NGOs (PIANGO), juga menyatakan optimismenya terkait tekanan masyarakat sipil di Pasifik yang terus meningkat dalam mengadvokasi isu-isu terkait HAM dan dekolonisasi Papua Barat.

“Jadi ini membesarkan hati kami setelah melihat Papua Barat berada dalam daftar inisiatif untuk pertimbangan para pemimpin dalam ringkasan rekomendasi yang disusun oleh Forum Spesialis Sub-Komite Regonal,” kata Duituturaga.(*)

Papua dan NCD PNG Sepakat Jalin Kerjasama

Jayapura, Jubi – Pemerintah Provinsi Papua dan National Capital District Papua Nugini (PNG) bersepakat menjalin sekaligus membuka kerjasama di bidang ekonomi.

Gubernur Papua Lukas Enembe kepada wartawan, di Jayapura, Kamis (18/8/2016) mengatakan penjajakan kerjasama bidang ekonomi sudah dibicarakan dengan Gubernur National Capital District PNG, Powes Parkop.

“Hal ini sesuai kebijakan Presiden Jokowi yang memerintahkan Pemda agar bagaimana membuka akses (barang) dari Papua kemudian dioper ke PNG,” katanya.

Enembe menilai, jika akses sudah terbuka, maka manfaat yang didapat adalah PNG bisa datang mengambil barang di Papua, begitu juga sebaliknya.

“Ini hal positif yang tidak boleh di sia siakan,” ucapnya.

Selain kerja sama di bidang ekonomi, ujar Enembe, kedepan pemerintah provinsi Papua berkeinginan untuk melakukan pertukaran di bidang sosial dan budaya.

“Sehingga harapannya masyarakat di Papua bisa berkunjung ke PNG begitu sebaliknya. Sebab kami tak ingin hanya bicara politik saja, tetapi lebih kepada kemajuan pembangunan di kedua wilayah,” kata Enembe.

Menanggapi itu, Enembe berharap penjajakan kerjasama ini tak berhenti begitu saja, tetapi terus ditindaklanjuti dengan pertemuan serupa yang membahas tentang kerja sama di bidang ekonomi dan sosial budaya yang telah dibicarakan dalam pertemuan itu.

“September nanti kami akan kembali mengundang Gubernur NCD Powes Parkop untuk membicarakan poin-poin dalam draft kerja sama yang akan disusun kedua belah pihak,” katanya.

Sementara itu, Gubernur National Capital District Port Moresby, Papua Nugini Powes Parkop memberikan apresiasi yang tinggi terhadap rencana pembukaan kerja sama perbatasan (open border) antar wilayahnya dengan Indonesia melalui Provinsi Papua di bidang ekonomi, sosial dan budaya.

“Sangat penting bagi saya untuk datang ke Papua dan melihat secara langsung bagaimana dan apa yang terjadi di sini. Namun yang lebih penting lagi adalah bagaimana membuka wilayah masing-masing untuk mempermudah kerja sama di bidang ekonomi, sosial dan budaya,”

kata Parkop.

Dia menjelaskan, pada September 2016, pihaknya akan mengundang Provinsi Papua untuk menghadiri peringatan hari kemerdekaannya, sekaligus membahas dukungan pembangunan di wilayah masing-masing.

“Kami juga akan mendukung pembukaan akses ke berbagai tempat di wilayah masing-masing yang nantinya akan membawa keuntungan bagi kedua belah pihak,” ucapnya. (*)

Change of mood on West Papua issue

AVINESH GOPAL, Fiji Times Online, Wednesday, August 17, 2016

Update: 12:23PM PACIFIC Islands Association of NGOs executive director Emele Duituturaga says the groundswell of support for West Papua across the region is the ideal build up to the upcoming Forum Leaders meeting in Federated States of Micronesia.

Ms Duituturaga made the comments after presenting the issue of West Papua to the Regional Civil Society Forum in Suva last week.

“There is definitely a change of mood across the Pacific on this issue as they begin to understand the severity of the human rights abuses and violence faced by West Papuans and the colonial history,” she said in a statement today.

“Our CSO forum heard of issues raised in national consultations and what other CSO partners had echoed and we were pleased to hear that there is widespread support from CSO partners across the region for this as a priority regional issue.

“So it is heartening to see West Papua under the list of initiatives for leaders consideration in the summary of recommendations compiled by the Forum Specialist Sub-Committee on Regionalism.”

Dua Anak Australia ini pun Tau Apa yang Terjadi di Papua

Jayapura, Jubi – Di awal tahun 2016 ini, dua bersaudara Kara dan Neisha tidak pernah berpikir tentang Papua. Enam bulan kemudian, garasi di rumah dua anak perempuan yang tinggal di Waratah, Newscastle, Australia ini penuh sesak dengan sumbangan, yang akan dikirim ke Papua dalam minggu ini.

Keduanya juga dengan sukarela membagikan pengetahuan mereka tentang Papua kepada teman-teman sekelas mereka,.

“Kami menceritakan tentang nasib ribuan pengungsi Papua Barat, yang telah mengungsi akibat konflik yang sedang berlangsung dengan pemerintah Indonesia,: kata Kara, dikutip The Herald Australia.

Menurut keduanya, militer Indonesia yang berkuasa atas Papua Barat telah dituduh secara brutal menindas gerakan Papua Merdeka, yang diperjuangkan oleh penduduk asli Papua.

Kara (kiri) dan Neisha (kanan), diantara barang-barang sumbangan masyarakat Newcastle yang akan dikirimkan oleh keduanya untuk anak-anak di Papua - The Herald Australia
Kara (kiri) dan Neisha (kanan), diantara barang-barang sumbangan masyarakat Newcastle yang akan dikirimkan oleh keduanya untuk anak-anak di Papua – The Herald Australia

“Bibi kami dulu tinggal di Papua New Guinea dan ketika dia kembali dia mengatakan kepada kami tentang bagaimana mereka menangani orang-orang di Papua Barat,” kata Niesha yang baru berusia 12 tahun Neisha, seorang murid di Callaghan College.

“Pemerintah dan tentara tidak memperlakukan mereka seperti manusia. Saya dan kakak saya pikir itu tidak boleh terjadi sehingga kami memohon kepada ibu kami untuk membantu orang Papua Barat,” lanjut Neisha.

Dua beradik ini mengaku kewalahan oleh respon yang diberikan masyarakat Australia pada ajakan memberikan sumbangan bagi penduduk asli Papua Barat.

“Kami menerima linen, pakaian, sepatu, mainan dan perlengkapan mandi,” ujar Kara, yang masih berusia 11 tahun dan bersekolah di Waratah Public School.

Kara mengatakan para guru di sekolahnya berharap barang yang disumbangkan oleh masyarakat kotanya bisa membuat perbedaan bagi anak-anak seusianya di Papua Barat yang “tidak mampu”.
“Orang-orang ini tidak terlalu jauh dari Australia – itu jarak yang sama dari Newcastle ke Tasmania – dan tidak ada yang melakukan apa-apa untuk membantu mereka,” kata Kara. (*)

Sofyan Yoman: Biarkan Rakyat Papua Berjuang Dengan Cara Mereka

“Pertarungan” Indonesia dan ULMWP “berlanjut” di Papua Lawyer Club (PLC), Rabu malam (10/8/2016), dalam satu dialog yang disiarkan TV Swasta, di Kota Jayapura, Papua. Setidaknya itulah yang coba disajikan oleh Jaringan Damai Papua (JDP) dalam dialog yang bertema Pertarungan Pemerintah Indonesia versus United Liberation Movement West Papua (ULMWP).

Hadir dalam acara tersebut wakil-wakil dari masing-masing pihak yang “bertarung”. Wakil ULMWP, seperti Victor Yeimo dan Edison Waromi, juga tokoh gereja Pdt. Sofyan Yoman, serta pemerintah Indonesia, diwakili oleh Asisten Deputi Bidang Otonomi Khusus Menkopolhukam, Brigjen Herwin Suparjo. Wakil LIPI, Adriana Elizabeth dan JDP, Septer Manufandu, berperan sebagai jembatan dari kedua belah pihak. dilansir dilaman tabloidjubi.com.

Dalam acara lewat siaran televisi langsung Papua Lawyers Club (PLC) tersebut Sofyan Yoman mengakatan dalam pidatonya, Mentri Polhukam Luhut Binsar Panjahitan pernah berjanji didepan pemimpin gereja, Bapak Pdt. Albert Yoku, Presiden GIDI Pdt. Dorman Wandikbo, Ketua Sinode KINGMI di tanah Papua Pdt. Dr. Benny Giay dan saya sendiri Ketua Gereja Persekutuan Baptis Papua, bahwa beliau (Mentri Polhukam Luhut B. Panjahitan) sendiri bilang begini, Bapak-bapak dalam waktu singkat saya akan menyelesaikan kasus Paniai, ia sangat berbohong kepada kami, itu pemerintah sudah berbohong kepada pemimpin Gereja!, ini luar biasa dia bilang dikantor sinode GKI, dalam waktu singkat saya akan kastau kepada presiden Jokowi bahwa kami akan selesaikan kasus Paniai dalam waktu singkat bulan ini, ini satu penipuan yang besar negara lakukan terhadap umat Tuhan di tanah Papua, kami sangat menyesal Pdt-Pdt seperti itu, kebohongan seperti itu, lalu kita lihat kasus di Tolikara, Tolikara itu, kasusnya itu yang terbakar Mushola, sementara itu, itu sebenarnya terbakar bukan dibakar, itu bukan mushola, itu tempat rumah tinggal, “rumah” dijadikan tempat ibadah terbakar, sekarang Presiden diam, kasus Paniaipun diam, kepala mentrinya diam, tapi seketika kasus Tolikara mushola terbakar, Panglima TNI, Kapolri, tiga mentri langsung kunjungi kesana urus mushola.

Sementara 11 orang ditembak hari itu satunya meninggal yang lain luka-luka dibiarkan tidak diselediki, ini bagaimana, urus mushola atau urus kemanusiaan Papua? Hanya ada omong kosong, kalau pemerintah mau bangun, “bangun” itu kewajiban anda selama 54 tahun dan akan datang ” bangun”.

“Tapi perjuangan bangsa Papua untuk menentuan nasip sendiri biarkan mereka berjuang dengan cara mereka” itu bukan mereka berjuang dihutan-hutan, bukan dipingir jalan, berjuang dalam forum-forum resmi, biarkan mereka berjuang, mereka tidak membunuh orang, menculik, menangkap orang seperti pemerintah lakukan terhadap rakyat Papua, menculik, menangkap, membunuh dengan stigma separatisme.

Saya pemimpin gereja bicara, saya bukan politisi, saya bukan bagian dari pemerintah, cukup lama umat Tuhan ini mederita, jangan alasan ini alasan itu, otonomi khusus gagal, itu sudah gagal. Pemerintah Amerika juga bilang gagal, itu berbau politik seketika orang Papua mau merdeka, jangan selalu bilang nilai uang, orang Papua tidak bisa diukur dengan nilai uang.

Orang Papua punya uang, Freeport punya uang, Tipi punya uang, Sorong minyak, kayu disini ada banyak, bisa mereka bangun, mereka punya uang banyak. Saya sampaikan selama ini pemerintah selalu bilang bicara dengan siapa, oh salah sekarang sudah membentuk ULMWP, perdana bilang ULMWP untuk siapa, pemerintah segerah bicara dengan ULMWP.

Minta maaf saya ini gereja bicara, jadi saya kastau itu umat Tuhan tidak boleh menderita. Terimakasih Tuhan Memberkati, diakhiri pidatonya. (*)

PM Tonga Serukan Para Pemimpin di Pasifik Bersatu untuk Papua Barat

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Perdana Menteri Tonga, Akilisi Pohiva menyerukan agar para pemimpin negara-negara di kawasan Pasific bersatu dan mengambil sikap tegas dan meminta intervensi PBB atas Papua Barat untuk menyelidiki dugaan adanya pelanggaran HAM di Papua Barat.

Dalam sidang tahunan Majelis Umum PBB di New York tahun lalu, Pohiva mengatakan, ada dugaan pelanggaran HAM di Papua Barat dan ia meminta agar PBB harus menyelidiki dugaan pelanggaran hak asasi manusia terhadap rakyat Papua Barat oleh Indonesia.

Dalam kesempatan tersebut, ia menyerukan agar PBB segera mengambil sikap terhadap tindakan brutal dan tidak manusiawi yang dilakukan oleh Indonesia di Papua Barat.

Menjelang pertemuan Pasific Island Forum (PIF) yang akan digelar di Micronesia pada bulan depan, Pohiva meminta para pemimpin Pasifik tidak menghindar (dari isu pelanggaran HAM di Papua Barat) dan mengambil sikap untuk bersatu dalam isu (Papua Barat) tersebut.

“Saya akan melakukan apa yang saya lakukan di pertemuan PBB nanti. Keprihatinan saya adalah bahwa saya hanya ingin negara-negara lain, para pemimpin di Pasifik untuk bergabung bersama saya atau untuk mendukung posisi saya dalam hal pelanggaran HAM yang terjadi dalam 20 tahun terakhir atau lebih di Papua Barat,” kata Pohiva seperti dikutip suarapapua.com dari http://www.radionz.co.nz.

Perdana Menteri Solomon Islands, Manasseh Sogovare juga telah meminta intervensi PBB untuk menyelidiki dugaan adanya pelanggaran HAM di Papua Barat.

Pewarta: Arnold Belau

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny