
MSG foreign ministers discuss membership

Bersuara Karena dan Untuk KEBENARAN!

A series of Melanesian Spearhead Group meetings are taking place this week in Vanuatu’s capital to look at the group’s membership guidelines.
Last month, the MSG secretariat scheduled this week’s meeting in Port Vila for leaders of its members to discuss a West Papuan bid for full membership.
However there will not be a leaders summit component at this week’s meetings, with the expectation that they will now meet early in the new year.

But today in Vila, MSG senior officials met, and tomorrow the group’s foreign ministers are to meet, to discuss the findings of a constitutional committee that has reviewed MSG rules on membership.
It’s understood there won’t be a decision on the full membership application by the United Liberation Movement for West Papua this week.
In a sign of the sensitivity around the issue within the MSG, leaders have this year deferred a number of summits where West Papuan membership was a priority item.
The Sub-Committee on Legal and Institutional Issues was tasked by MSG leaders at their Honiara summit in July to clarify guidelines for observer, associate and full membership in the group.
The MSG’s five full members – Papua New Guinea, Fiji, Solomon Islands, Vanuatu and New Caledonia’s FLNKS Kanaks Movement – have been divided over whether to grant full membership to West Papuans.
The United Liberation Movement for West Papua was granted observer status in the MSG last year but its bid for full membership has been deferred pending clarity on the guidelines.

The Liberation Movement’s leaders, including Octo Mote, Benny Wenda, Rex Rumakiek and Jacob Rumbiak are in Port Vila for this week’s meetings.
Representatives of Indonesia, which has associate member status at the MSG, are also present.

Jayapura, Jubi – Perdana Menteri Kepulauan Solomon, Manasseh Sogavare menegaskan bahwa Melanesia Spearhead Group (MSG) akan mengikutsertakan Mikronesia, Polinesia, dan negeri-negeri Afrika untuk berjuang melawan pelanggaran HAM di West Papua.
Sogavare mengungkapkan hal tersebut di hadapan Parlemen Kepulauan Solomon ketika ditanyakan oleh Pemimpin Oposisi, Jeremiah Manele, Kamis, (15/12) seperti dilansir Solomon Star Jum’at (16/12/2016).
Menurut Sogavare, Papua Nugini dan Fiji sudah jelas memilih jalan berbeda atas persoalan West Papua dan tidak berkeinginan mengikuti tujuan dan pendirian MSG.
“PNG itu berbatasan langsung dengan Indonesia dan memilih lebih berhat-hati, sedangkan Fiji sudah punya hubungan yang kokoh dengan Indonesia,” ujar Sogavare.
Atas dasar itulah, lanjutnya, Kepulauan Solomon, Vanuatu, dan Kaledonia baru akan mengikutsertakan negeri-negeri Mikronesia dan Polinesia serta kelompok non aliansi di Afrika,” ujarnya.
Lebih lanjut Sogavare menegaskan pemerintahannya akan terus melanjutkan diplomasi terkait isu West Papua melalui pengiriman utusan khusus untuk berkonsultasi dan menjalin hubungan di negeri-negeri Pasifik.
“Kami kirimkan utusan untuk bicara dengan para pemimpin di dalam lingkaran kami sendiri dan keluar Melanesia,” ujar Ketua MSG tersebut.
Rex Horoi adalah utusan khusus Kepulauan Solomon untuk persoalan West Papua. Sogavare mengatakan masa tugas utusan tersebut akan berakhir setelah dua tahun periode kepemimpinannya di MSG.
Namun, Sogavare menghendaki persoalan ini dibicarakan di Parlemen untuk mencari cara agar tugas-tugas (penanganan West Papua) tersebut bisa tetap berlanjut walau kepemimpinannya di MSG selesai.
Jeremiah Manele, Pemimpin Oposisi parlemen Solomon di kesempatan itu mengakui bahwa persoalan West Papua adalah isu kompleks karena keterkaitan antara pelanggaran HAM dan penentuan nasib sendiri.
Namun, lanjutnya, inilah pertama kalinya Pemerintah Solomon mengambil langkah proaktif terkait kebijakan ini.
“Penting sekali bagi Indonesia untuk memahami posisi kita,” kata Manele sambil berharap bahwa konsultasi dan jalinan hubungan dua arah di Pasifik tersebut dapat berlanjut. “Hal itu bisa membantu Indonesia mengerti darimana asal usul kita,” tambahnya.
Manele juga mendukung kebijakan pemerintah Kepulauan Solomon terhadap West Papua dengan menambahkan bahwa pendekatan yang sudah dilakukan sekarang tidak kontra produktif.
“Saya kira sebaiknya memang pendekatan konsultatif dan lebih dua arah harus kita lanjutkan terkait persoalan ini, agar tidak kontra produktif,” ujarnya.
Manele juga mendukung gagasan melanjutkan kebijakan ini di Parlemen setelah periode Horoi berakhir.
Awal November lalu sebuah pernyataan sikap dari Kelompok Oposisi Parlemen sempat menggugat Perdana Menteri Sogavare atas kebijakannya yang dinilai sangat konfrontatif terkait West Papua. Oposisi menghendaki perubahan pendekatan terkait isu tersebut.
“Kita semua peduli masalah pelanggaran HAM di West Papua. Namun ada cara lain menangani isu ini ketimbang mengambil pendekatan konfrontatif seperti yang dilakukan Perdana Menteri. Itu tak saja sudah mengintervensi kedaulatan Indonesia, namun juga urusan domestik negara itu,” ujar pernyataan tersebut.
Namun, dengan pernyataan tanggapan Jeremiah Manele, pemimpin oposisi, Kamis lalu itu di hadapan parlemen, tampaknya Pemerintah Solomon dan Parlemen pada akhirnya melanjutkan komitmen mengadvokasi persoalan pelanggaran HAM dan penentuan nasib sendiri West Papua dengan pendekatan yang lebih partisipatif.(*)
Mr Sogavare explained this in Parliament when asked by Opposition Leader, Jeremiah Manele on Thursday.
He said Papua New Guinea and Fiji have taken different stand on this issue and did not want to follow the purpose and stand of MSG.
“PNG shares the same border with Indonesia and want to take cautious and Fiji has fixed connections with Indonesia,” Mr Sogavare said.
“Therefore, Solomon Islands, Vanuatu and New Caledonia will include the Micronesia and Polynesia countries ply non alliance group in Africa,” he said.
Furthermore, Mr Sogavare said the government will continue with the shuttle diplomacy of sending the envoy to consult and engage in Pacific countries.
“We send our envoy to talk with the leaders within our own circle and outside of Melanesia,” the MSG chair said.
Rex Horoi is the Solomon Islands’ special envoy to West Papua.
Mr Sogavare said the envoy’s term will end after his two years with MSG lapses.
However, he wants to take it up to Parliament to find ways to continue after the chair of MSG ends.
Opposition leader, Mr Manele said it’s a complex issue because it involves self-determination and human rights.
However, he said this is the first time for the government to take a proactive step on this policy.
“It’s important for Indonesia to understand our position,” Mr Manele said.
“I hope the engagement and consultation go on, can help Indonesia to understand where we are coming from,” he added.
“I guess it’s advisable for more engaging and consultative approach we continue to take on this matter, at the end of the day, not counter-productive,” he said.
Mr Manele supports the idea to continue with a policy in Parliament after the end of Mr Horoi’s term.
By EDDIE OSIFELO
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Belakangan ini gejala ‘anti-China’ tampak meningkat di Indonesia. Berkembang persepsi bahwa masuknya investasi Tiongkok ke tanah air akan diikuti penyingkiran pelaku-pelaku usaha dalam negeri. Lebih jauh, muncul pula kekhawatiran semakin dalamnya cengkeraman negara Tirai Bambu itu di Tanah Air.
Belakangan ini berkembang wacana Tiongkok sedang melakukan infiltrasi dan subversi ekonomi terhadap Indonesia. Salah satu isu yang menyebar luas lewat media sosial adalah dugaan konspirasi Tiongkok menguasai Indonesia menyusul tertangkapnya empat warga negara Tiongkok di Bogor pekan lalu. Mereka ditangkap karena diduga menanam cabai beracun yang mengandung bakteri berbahaya, Erwina Chrysanthem.
Bakteri itu masuk dalam kategori organisme pengganggu tumbuhan karantina (OPTK) golongan A1 dan belum pernah ada di Indonesia. Sejumlah media melaporkan pernyataan Kepala Pusat Karantina Tumbuhan dan Keamanan Hayati Nabati Balai Besar Karantina Pertanian (BBKP) Soekarno Hatta, Antarjo Dikin, bahwa pihaknya telah memusnahkan sebanyak 5.000 batang cabai yang mengandung bakteri itu.
Dikatakan, bakteri tersebut berpotensi menyebabkan gagal produksi hingga mencapai 70 persen petani cabai di Indonesia. Menurut keterangan, para pelaku membawa tanaman cabai dari negara asalnya secara ilegal atau tanpa sertifikasi sebelumnya.
Keempat pelaku berinisial C, Q, B dan H, menyewa lahan seluas 4 ribu meter persegi dengan rencana menanam cabai berbakteri ini. Bila sudah panen, rencananya dipasarkan ke pasar-pasar besar yang ada di Indonesia.
Tidak kurang dari pakar hukum Yusril Ihza Mahendra, memberi perhatian serius atas penangkapan tersebut. Ia mengangkat isu tentang kemungkinan Tiongkok melakukan infiltrasi terhadap perekonomian RI.
Kekhawatiran tersebut ia ungkapkan lewat akun Twitternya.Menurut dia, seperti dikutip dari Republika, sudah saatnya polisi turun tangan menyelidiki kasus ini. Ini, kata dia, bukan soal petani biasa, melainkan kegiatan sengaja yang terencana dengan rapi.
Menanggapi hal ini, Juru Bicara Kedutaan Besar Tiongkok di Indonesia, mengungkapkan kecemasan negaranya atas reaksi yang berlebihan atas kasus ini.
“Tidak beralasan dan tidak dibenarkan untuk menafsirkan secara berlebihan kasus terisolasi ini sebagai ‘konspirasi’ atau ‘senjata biologis untuk menghancurkan perekonomian Indonesia’ atau secara salah menafsirkan perilaku individu warga negara ‘sebagai tindakan negara,'”
demikian pernyataan resmi juru bicara Kedubes Tiongkok, lewat laman Kedubes Tiongkok di Jakarta.
“Laporan tersebut menyesatkan dan menyebabkan kekhawatiran besar. Pihak Tiongkok tidak ingin melihat ada gangguan terhadap hubungan persahabatan kedua negara dan bangsa dan antar rakyatnya,”
lanjut pernyataan tersebut.
Duta Besar Tiongkok untuk Indonesia, Xie Feng, pada 15 Desember lalu juga telah bertemu dengan Menko Polhukam, Wiranto. Seusai pertemuan, Xie Feng mengatakan kepada wartawan bahwa hubungan antar penduduk Tiongkok dan Indonesia terus bertumbuh. Semakin banyak orang Indonesia berkunjung ke Tiongkok untuk bertemu dengan sahabat mereka, menikmati budaya lokal dan mempromosikan kerjasama yang saling menguntungkan. Demikian pula sebaliknya.
Oleh karena itu, Duta Besar Xie berharap kasus yang menimpa empat warga negaranya dapat ditangani secara tepat tanpa mengganggu hubungan bilateral kedua negara.
Kedubes Tiongkok juga mengingatkan bahwa Tiongkok merupakan sumber turis terbesar ke Indonesia. Dewasa ini semakin banyak warga Tiongkok bepergian ke Indonesia. Kunjungan-kunjungan tersebut telah memberi kontribusi pada kerjasama dan persahabatan antara kedua negara dan untuk pengembangan sosial ekonomi Indonesia.
Lebih lanjut dalam pernyataannya, Kedubes Tiongkok menegaskan bahwa pihaknya telah memberi perhatian serius terhadap empat warganya yang terlibat dalam penanaman cabai secara ilegal. Kedubes Tiongkok mengatakan warga negara Tiongkok yang berada di luar negeri harus mematuhi undang-undang dan peraturan setempat, menghormati adat dan kebiasaan lokal dan menjalin persahabatan dengan penduduk setempat.
“Dalam kasus individu warga negara Tiongkok yang dicurigai terlibat dalam kegiatan melawan hukum dan peraturan Indonesia, pihak Tiongkok menghormati pemerintah Indonesia dalam penanganan yang tidak memihak atas kasus tersebut, sesuai dengan fakta-fakta dan hukum, sementara hak hukum dan kepentingan warga negara Tiongkok akan efektif terjamin,”
kata juru bicara tersebut.
The United Nations has adopted a resolution asking France to put in place a self-determination process for French Polynesia.
The resolution said the people of French Polynesia should freely choose its political status, noting that over 30 years France carried out nuclear weapons tests which have had an impact on health and the environment.
It called on France to intensify the dialogue despite French Polynesia’s government in October calling for the territory to be removed from the United Nations decolonisation list.
France has refused to organise a referendum in Tahiti despite being asked by the territorial assembly three years ago.
France pulled the so-called French Establishments in Oceania off the UN decolonisation list in 1947 – 67 years after it annexed the erstwhile Kingdom of Tahiti.
However, in 2013 the UN General Assembly returned French Polynesia to the list.
The move angered Paris which labelled it as glaring interference by the UN and it has shunned co-operation with the UN on the matter.
France does however recognise the UN in the decolonisation process of its other Pacific territory, New Caledonia, which is due for a referendum on independence within two years.

Jayapura, Jubi – Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Indonesia, Siswo Pramono mengatakan Indonesia perlu lebih sabar dan tidak reaktif dalam menghadapi isu Papua.
Jakarta Post mewawancarai Siswo Pramono dan menerbitkannya dalam cuplikan tanya jawab seputar kebijakan dan strategi luar negeri Indonesia dalam tiga tahun kedepan. Selain kebijakan di lingkup Asia Tenggara (ASEAN), Siswo juga mengungkapkan kebijakan dan strategi Indonesia di Pasifik, termasuk di kawasan Melanesia.
Siswo dalam artikel wawancara berjudul Government should be ‘more patient, less reactive on Papua issue ini mengatakan rencana pusat kelautan yang dikembangkan oleh Presiden Jokowi, termasuk juga Pasifik, yakni Pasifik Barat Daya yang erat konteksnya dengan Melanesia Spearhead Groups (MSG) dan isu Papua.
Indonesia, menurutnya, dalam posisi anggota G20 menjadi negara donor yang harus membagi sumberdayanya di Pasifik
Ia mengakui, Kemlu memang berupaya menghindari internasionalisasi persoalan Papua.
“Meskipun kami mencoba untuk menghindari internasionalisasi masalah Papua, banyak orang di luar sana membuat keributan tentang hal itu (masalah Papua),” ujarnya.
Pemerintah Indonesia, kata Siswo, perlu lebih sabar tidak terlalu reaktif dalam menghadapi isu Papua.
“Kami menempatkan perhatian besar dalam MSG karena merupakan bagian dari Pasifik Selatan. […] Karena ini adalah masalah sensitif di Indonesia timur dan Presiden Jokowi baru saja meresmikan beberapa proyek di Papua. MSG harus merasa diuntungkan dari Indonesia yang menjadi salah satu anggotanya. […]” ungkap Siswo dalam wawancara dengan Jakarta Post ini.
Siswo berpandangan MSG sedang mengarahkan dirinya ke ASEAN.
Ia juga menekankan kembali pandangan yang menyatakan Indonesia adalah bagian dari Melanesia, sebagaimana dibuktikan oleh 11 juta penduduk Melanesia di Indonesia Timur. Jika 11 juta penduduk Indonesia ini bergabung dengan MSG, menurutnya, kue politik mereka akan lebih besar dan wilayah timur Indonesia akan menjadi jembatan Melanesia ke pasar Asia. Saat ini, lanjutnya, sudah ada penerbangan langsung ke Bali dari Papua New Guinea.
“Papua adalah masalah domestik utama dan penting di Indonesia. Papua juga menjadi pintu gerbang potensial untuk teman-teman kita di Pasifik untuk mengakses pasar Asia,” ujar Siswo. (*)
TheNational – THE Government has been urged to do more about the plight of West Papuans and to assist them obtain full membership of the Melanesian Spearhead Group.
National Capital District Governor Powes Parkop made the call while celebrating the International Humanitarian Day with the West Papuan refugees at Vabukori in the National Capital District on Saturday.
“I call on our people and our Government not to abandon the West Papua people,” he said.
“Let us be brave and allow moral righteousness to prevail by allowing West Papuans to full membership of the Melanesian Spearhead Group.”
Prime Minister Peter O’Neill in May said PNG was concerned about what was happening in West Papua and expressed this directly to Indonesian President Joko Widodo.
He said West Papuans were welcomed in PNG.
“We are equally concerned about what is happening in West Papua,” O’Neill said.
“We have expressed that directly to the highest authority, including the president (Widodo), this year, particularly the human rights issue and for autonomy.”
Parkop said a humanitarian right issue facing PNG was the denial of the West Papuan people to properly and legally exercise their rights to self determination.
“These are fundamental human rights expressed clearly in the United Nations Human Rights Charter,” he said.

RNZ – Papua New Guinea’s opposition leader says his country and Australia need to play a greater role in responding to human rights abuses in neighbouring West Papua.
Don Polye said basic human rights of West Papuans continue to be repressed by Indonesian authorities and security forces, requiring a more “honest” approach from neighbouring countries.
He said the problem had a set of direct consequences for PNG, yet its government continued to turn a blind eye to what was going on.
Mr Polye said recent remarks by Australia’s Foreign Minister Julie Bishop playing down reports of rights abuses in Papua were unfortunate.
“She said that there is not enough justification or evidence to show if there is any human rights abuse along the border between Papua New Guinea and Indonesia. I believe that Australia should assess the situation more closely, in partnership with Indonesia as well as with Papua New Guinea, to be honest about it and to look at the issues more carefully,” he said.
Mr Polye said as party to international conventions on human rights, PNG and Indonesia needed to engage more to address the situation in Papua.
He said that West Papuan calls for a legitimate self-determination process could no longer be ignored.
A need for meaningful dialogue at both international and bilateral level, he said, also required leadership from the Melanesian Spearhead Group.
However the MSG’s full members – PNG, Fiji, Vanuatu, Solomon Islands and New Caledonia’s Kanaks – are divided over advancing the Papua issue.
Governments of PNG and Fiji in particular appear opposed to granting the United Liberation Movement for West Papua full membership in the group.
They also firmly support Indonesian territorial control over Papua.
Yet Mr Polye says the example of France in granting a self-determination referendum to its Melanesian territory of New Caledonia shows that the Papua question could be solved peacefully.

New research has found that traditionally prepared kava could help treat or prevent cancer.
Scientists used ground kava combined with other elements including sap from different sources in Micronesia.
Prepared this way, in a form used by people in the Pacific, rather than filtered, kava was more active in inhibiting breast and colon cancer cells.
One of the principal scientists behind the study, Linda Saxe Einbond from the New York Botanical Garden and the City University of New York, said the results were encouraging.
“We prepare kava the way it’s prepared traditionally, as a water extract high in particular content and we did it squeezed or strained through hibiscus bark, in traditional preparation.
“I find it very interesting that what people were actually drinking turned out to be more active.”
Dr Einbond said the study arose because epidemiological data showed cancer incidence was inversely associated with kava in countries like Fiji, Samoa and Vanuatu.
“And we found that the less we did to it, the unfiltered preparation was more active than the filtered, that what people actually drink has particles in it is more active than the next step of filtering it or purifying it.”
Dr Einbond said the extracts used in the study were from Fiji and Hawaii, with those from Fiji most active against cancer cells.
Dr Einbond said it would be worthwhile to develop and further assess traditional kava to prevent and treat colon and other cancers.
Listen to interview with Linda Saxe Einbond in Dateline Pacific duration 2′ :58″
Listen to interview with Linda Saxe Einbond in Dateline Pacific

Kava for sale in a market in Fiji Photo: RNZ
Organic Arabica - Papua Single Origins
MAMA Stap, na Yumi Stap!
Just another WordPress.com site
Melanesia Foods and Beverages News
Melahirkan, Merawat dan Menyambut
for a Free and Independent West Papua
Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!
Promoting the Melanesian Way Conservation
The Roof of the Melanesian Elders
To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!
This is My Origin and My Destiny