DPR: Pelanggaran HAM Pemerintahan Jokowi Capai 700 Orang di Papua

Penulis: Endang Saputra 13:48 WIB | Rabu, 30 Maret 2016

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Republik Indonesia (DPR-RI), Sufmi Dasco Ahmad, menyatakan keprihatinannya atas pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam satu tahun Pemerintahan Presiden Joko Widodo mencapai 700 orang di Papua.

“Soal dugaan pelanggaran HAM di Papua memang cukup memprihatinkan. Kami menerima info dari Komnas HAM, dalam satu tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo telah terjadi berbagai peristiwa pelanggaran HAM, penangkapan, penganiayaan, penyiksaan, dan pembunuhan terhadap setidaknya 700 orang Papua,”

kata Dasco saat dihubungi wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, hari Rabu (30/3).

Menurut politisi Partai Gerindra itu, data tersebut memang cenderung bombastis. Namun, perlu diingat bahwa Komnas HAM adalah institusi negara. Pemerintah harus memverifikasi dan menindaklanjuti temuan Komnas HAM tersebut.

“Yang perlu dicatat, kondisi Papua saat ini tidak terlepas dari kesalahan treatment yang sudah terjadi sejak lama. Pendekatan keamanan yang diterapkan  selama ini memang memperbesar risiko terjadinya pelanggaran HAM,” kata dia.

“Kasus-kasus lama yang tidak tuntas diusut menyisakan kekecewaan dan bahkan dendam bagi masyarakat yang menjadi korban. Dalam kondisi seperti ini situasi papua seperti api dalam sekam, setiap saat bisa muncul dan berkobar,”

dia menambahkan.

Sebelumnya, Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan, pemerintah akan segera menuntaskan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di seluruh Indonesia, termasuk Papua.

“Kami mengapresiasi pernyataan Menkopolhukan yang akan menuntaskan 16 kasus HAM Papua dalam waktu satu tahun, supaya masyarakat tenang memang harus ada tenggat waktu penyelesaian, prinsipnya ada kepastian,”

kata dia.

“Yang tak kalah penting, saat ini kami berharap pemerintah mengambil langkah-langkah konkret untuk menciptakan tanah Papua damai dan aman serta melaksanakan pembangunan berbasis HAM,”

dia menambahkan.

Editor : Sotyati

Pendeta Minta Rakyat Papua Ampuni Luhut Pandjaitan

JAYAPURA, SATUHARAPAN.COM – Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua (PGGBP), Pendeta Socratez Sofyan Yoman, meminta rakyat Papua untuk memaafkan pernyataan yang dilontarkan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan RI, Luhut Binsar Pandjaitan yang mereka rasakan sangat menyakitkan.

Menurut dia, meskipun pernyataan Luhut merupakan bentuk penghinaan kepada orang asli Papua, dia mengimbau rakyat Papua tetap memegang Firman Tuhan untuk mengampuni musuh.

“Yang terkasih orang-orang Asli Papua di mana saja. … Jenderal Luhut Pandjaitan menghina orang asli Papua. Yoo…kita pegang Firman Tuhan: Ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” tulis Socratez dalam pesan singkat yang dikirim ke satuharapan.com, hari Jumat (26/2).

Socratez yang berada di Jayapura menceritakan pengalaman orang-orang Papua yang pernah dihina oleh Jenderal Ali Murtopo pada tahun 1969. Dia mengatakan saat itu orang Papua yang mau merdeka diminta untuk meninggalkan tanah Papua juga. Menurut dia, penghinaan tersebut terulang kembali seperti disampaikan Luhut pada pekan lalu.

“Tahun 1969 Jenderal Ali Murtopo pernah menghina orang Papua: ‘Kalau orang Papua mau merdeka minta Amerika cari satu pulau di bulan dan tinggal di sana.’ Setelah 47 tahun, pada 2016 ini dari bangsa yang sama, Jenderal Luhut Pandjaitan menghina orang asli Papua. ‘Orang Papua yang mau merdeka pindah saja di Pasifik dari tanah Papua.”

“Jadi, apakah orang asli Papua hanya terima terus penghinaan dari bangsa Indonesia? Kejahatan dan penghinaan ini harus dilawan. Kita punya harga diri dan kehormatan sebagai pemilik tanah pusaka Papua. …kita pegang Firman Tuhan: ‘Ampunilah mereka sebab penjajah tidak tahu apa yang penjajah perbuat’,”

tulisnya.

“Terimakasih Pak Luhut…”

Pada kesempatan terpisah, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Cenderawasih (BEM FISIP Uncen) Jayapura, Papua, menyampaikan ucapan “terimakasih” kepada Luhut Binsar Pandjaitan atas pernyataannya ‘Pergi Saja Sana ke Melanesia, Jangan Tinggal di Indonesia!’

Ketua BEM Fisip Uncen, Yali Wenda mengatakan, baru kali ini seorang Menkopolhukam Republik Indonesia dengan sejujurnya dan tanpa ragu mengatakan pernyataan seperti itu.

“Kami sebagai generasi penerus bangsa Papua Barat, ras Melanesia mengucapkan banyak terima kasih kepada Pak Luhut Pandjaitan karena baru kali ini seorang Menkopolhukam Republik Indonesia yang dengan sejujurnya dan tanpa ragu mengatakan pernyataan seperti itu,”

kata Yali Wenda hari Selasa (24/02) di kampus Uncen, sebagaimana dikutip mahasiswanews.com.

Menurut Yali, dari pernyataan tersebut sangat jelas Luhut Pandjaitan telah membedakan orang Papua.

“Tetapi kami rakyat Papua sesunguhnya bangsa Papua Barat dan ras Melanesia. Maka, kami menyatakan sikap, bahwa tak lama lagi kami orang Papua akan berpisah dengan NKRI. Tinggal waktu mainnya saja,” katanya.

Sementara itu, Samuel Womsiwor, Biro Hukum Fisip Uncen Jayapura, seperti dilansir tabloidjubi mengungkapkan, pihaknya meminta kepastian jelas kepada Indonesia, apa maksud orang Papua meninggalkan Indonesia. Artinya, kapankah Pemerintah Indonesia yang berkuasa di atas tanah Papua meninggalkan negeri milik orang Melanesia di West Papua.

“Jika Indonesia menggangap kami bukan bagian dari Indonesia, maka kapan Indonesia menerima tawaran dialog yang ditawarkan Melanesian Spearhead Group (MSG) melalui wadah United Liberation Movement for West Papua (ULMWP)?”

tanya Samuel.

Rekan lainnya, Muel Alue menambahkan, bahwa ULMWP merupakan wadah persatuan dan resmi milik seluruh rakyat Papua dari Sorong sampai Merauke.

Sebelumnya, menanggapi itu, Anggota Komisi I Bidang Politik, Hukum dan HAM, DPR Papua, Ruben Magay mengatakan, Luhut Pandjaitan salah besar dan keliru memberi pernyataan itu. Pasalnya, Tanah Papua adalah tanah milik orang asli Papua yang adalah salah satu bangsa turunan ras Melanesia.

“Menkopolhukam itu siapa? Dia salah besar usir orang (asli) Papua ke luar dari Papua. Dia bilang ke Melanesia itu maksud dia kemana? Melanesia itu ya orang Papua itu sendiri dengan apa yang Tuhan sudah kasih yaitu tanah Papua dan alamnya,”

tegas Magay.

Peneliti LIPI, Cahyo Pamungkas juga menyesalkan pernyataan Luhut.

“Pesan-pesan yang disampaikan Pak Luhut menambah luka bagi orang Papua karena pesan yang disampaikan Pak Luhut pernah dikatakan almarhum Ali Murtopo, kalau mau merdeka orang Papua pergi saja ke bulan. Dan ini menambah luka bagi orang Papua. pernyataan Luhut tidak bijaksana,”

kata dia dalam wawancara dengan satuharapan.com.

Tanggapi Isu ULMWP

Pada pekan lalu, Luhut Binsar Pandjaitan menanggapi isu kemunculan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) atau Gerakan Pembebasan Papua yang bergabung dengan Melanesian Spearhead Group (MSG).

Kelompok ini mewacanakan diri ingin menyatukan negara-negara kawasan Melanesia dan memerdekakannya sebagai sebuah negara baru.

“Ya pergi saja mereka ke MSG sana, jangan tinggal di Indonesia lagi,” ujar Luhut di Kompleks Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, hari Jumat (19/2), seperti dilansir oleh kompas.com.

Luhut menegaskan, keberadaan mereka adalah ancaman. Namun, Pemerintah Indonesia tidak gentar atas keberadaan gerakan tersebut.

Gerakan semacam itu, kata Luhut, didasari oleh kesenjangan ekonomi yang tinggi. Dia pun menyoroti pemerintah setempat yang dianggap tidak mampu mengatur keuangan daerah untuk pembangunan dengan baik.

“Rp 52 triliun untuk otonomi khusus Papua itu sudah. Tapi hampir 60 persen pemimpin-pemimpin di Papua itu meninggalkan tempatnya. Bagaimana dia mau me-manage dengan baik? Manajemen mereka yang tidak baik,”

ujar Luhut.

Oleh karena itu, mantan Kepala Staf Presiden itu mendorong agar pejabat di Papua tidak terlalu sering meninggalkan daerahnya. Mereka diharapkan bisa menyalurkan dengan baik dana otonomi khusus yang sudah dialirkan oleh pemerintah pusat.

Editor : Eben E. Siadari

Penulis: Melki Pangaribuan 18:40 WIB | Jumat, 26 Februari 2016

Presiden Evaluasi Otsus Papua Pasca Ramadhan

Potret Kemiskinan di Papua. Meski Otsus Papua sudah 9 tahun, namun jumlah rakyat miskin di Papua dan Papua Barat masih menduduki urutan tertinggi di negeri ini. Ada apa?JAYAPURA—Mencermati dinamika politik di Papua akhir-akhir ini yang banyak menyoroti keberadaan UU 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Papua, lantaran dinilai gagal membawa perubahan dan peningkatkan kese­jahteraan bagi masyakat Papua, secara diam-diam mulai terekam oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Terkait dengan itu Presiden akan melakukan langkah-langkah penanganan masalah Papua secara komprehensif dengan melakukan eveluasi Otsus Papua maupun Papua Barat, dengan demikian Otsus yang sudah berjalan hampir 9 tahun ini, bisa benar-benar dirasakan masyarakat sesuai tujuan diberlakukannya Otsus tersebut.

Rencana evaluasi Otsus secara menyeluruh atas hal subtansial  di Papua oleh Presiden  RI Susilo Presiden RI, Susilo Bambang YudhoyonoBambang Yudhoyono ini, disampaikan langsung oleh tiga Staf Khusus Presiden SBY yang membidangi Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah, masing masing Thanan Aria Dewangga, Velix Vernando Wanggai dan Moksen Sirfepa saat bertandang ke Kantor Redaksi Bintang Papua, Selasa (31/8), kemarin. Dalam kunjungan tim staf khsusus Presiden diterima oleh Wa­kil Piminan redaksi Daud Sonny.

Dalam pertemuan satu jam lebih itu, secara khusus terungkap keprihatinan Presiden SBY tentang  penggunaan anggaran yang cukup besar setiap tahunnya digelontorkan ke Papua, namun belum membawa suatu perubahan  peningkatan kualitas hidup yang membawa  rakyat Papua asli menuju kesejahteraan.

Masalah substansial tadi telah membawa rakyat asli Papua pada masalah kemiskinan, sehingga presiden SBY yang diwakili ataf khususnya menilai adanya simpul simpul yang macet dalam pelaksanaan otsus, sehingga diperlukan pena­nganan khusus  atau  Grand Design untuk mengatasi masalah  Otsus Papua secara komprehensif.” Perlu ada beberapa usulan yang bersifat solutif yang menarik untuk penataan Otsus, tidak hanya di tataran implementasi, tetapi juga di tararan formulasi kebijakan (policy formulation) yang bersifa konseptual,”katanya.

Dikatakan,Fokus Presiden SBY dalam memecahkan kemelut Otsus dengan memberikan perhatian pada peningkatan pangan, pengentasan kemiskinan, pendidikan dan kesehatan, infrastruktur wilayah dan penanganan affirmative Policy bagi pengembangan SDM Papua,  dalam kerangka Otsus Papua.

Hal itu juga telah ditegaskan Presiden dalam pidato kenegaraannya pada HUT 17-an, bahwa menyelesaikan masalah substansial Papua yang pertama akan dilakukan  dengan menjalin komunikasi yang konstrutif pasca Ramadhan nanti antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, DPRP dan MRP.

Ada empat kerangka  yang menimbulkan masalah besar di Papua,  sehingga Otsus dinilai gagal oleh kalangan tertentu, sehingga Presiden merasa perlu   menata kembali  kerangka anggaran Otsus Papua penataan dimulai dengan kembali   menata strategi Pembangunan Daerah, menata strategi kelembagaan Pemerintahan Daerah dan menata  kerangka Politik  dan HAM terkait pasal- pasal yang mengatur  keberadaan KOMNAS HAM, Pengadilan Adhoc Papua, Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi, Partai Politik dan lambang lambang daerah yang jadi isu hangat  dari waktu ke waktu.

Penataan keempat kerangka Otsus tadi sejak Pemberlakuan Otsus pada mulanya kurang memperhatikan Grand Designnya. Padahal Grand design ini memuat staregi-stretegi umum untuk rencana yang lebih konkret dan fokus untuk melaksanakan pasal dari Otsus Papua, termasuk jangka waktu, intitusi penang­gungjawab dan indikator pencapaiannya (performance indicator). Contohnya  lima tahun pertama  dan kedua  capaian bidang Pendidikan ,kesehatan, ekonomi dan infrastruktur sudah sampai dimana capaiannya

Kemudian di dalam Grans design tersebut perlu ditekan­kan perlunya grand strategy pembanguan sektor-sektor utama, seperti pendidikan, kesehatan,ekonomi rakyat, dan infrastruktur wilayah dengan masa waktu 20 tahu ke depan.

Dikatakan, Grand Strate­gy ini multlak dimiliki oleh Pemprob maupun Pemprov Papa Barat sebagai acuan bagi semua pemangku kepentingan untuk memangun tanah Papua. Ini juga dilengkapi dengan aksi Action plan yang jelas dan terukur.

Target seperti lima tahun pertama sudah berapa banyak orang Papua asli yang menge­nyam pendidikan setingkat  S1,S2, dan S3 sudah berapa banyak rumah sakit dibangun  gunakan dana Otsus  serta dokter yang  ditempatkan di Rumah sakit rumah sakit yang pakai dana otsus
Dalam  bidang Pendidikan, kesehatan, ekonomi  dan infrastruktur yang tidak dievaluasi, setiap tahun dan jadi masalah hingga ketika gubernur ditanya rakyat, buktinya tidak dapat ditunjukkan. Oleh sebab itu grand Design sangat diperlukan agar indicator capaiannya dapat dilihat,  yang sekarang, justru Otsus Papua yang berjalan  sekarang  adalah manual, mana kekhususannya, tidak ada terang staf ahli khusus Presiden.

Diterangkan Otsus yang diberlakukan di Papua tidak hanya dilihat dari dana saja, melainkan ada aspek aspek lainnya yang harus diperhatikan sekedar dana Otsus, contoh konkrit rasio untuk pendidikan ada 30 persen, sedangkan kesehatan 2 per­sen,  sebenarnya hasil yang mau dicapai sudah berlipat, namun mengapa belum tercapai? Akan lebih spesifik lagi bila startegi pembangunan dan anggaran dilihat kembali pada aspek perencanaannya sehingga pelaksanaan Otsus Papua kedepannya bisa tertata baik.

Kemudian yang berikutnya tentang kewenangan pendanaan yang relatif besar, artinya kalau kita melihat Papua memiliki istilahnya ada dana perimbangan dae­rah, ada dana otonomi khusus itu selama 20 tahun. Pemerintah Provinsi Papua mendapat dana 2% dari Dana Alokasi Umum Nasional, itu cukup besar. Kemudian ada juga dana untuk pembangunan infrastructur, itu dana Otsus pembangunan infrastructur. Dimana tercatat sampai tahun 2008 saja misalnya, Provinsi Papua mendapat alokasi dana sekitar Rp 28 trilyun. Itu dana yang cukup besar dibandingkan dengan Propinsi-Propinsi lain, memang itu berbagai sumber dana.

Dana Otsus meningkat terus dari tahun 2002 pertama sekitar 1, 9 trilyun, kemudian tahun 2008 naik tercapai sampai 3,5 trilyun. Kemudian tahun 2009 ini 4,1 trilyun, tahun 2010 lebih besar lagi. Itu menunjukkan kenaikan sangat besar. Jadi mengalami proses kenaikan dana Otonomi Khusus setiap tahun. Pertama dari 1,9 trilyun sampai sekarang 4,2 trilyun dan ditambah sumber-sumber dana lain total sampai 2008, termasuk dana Otsus, sekitar 28 trilyun. Itukan polocy yang sudah berjalan. Tetapi persoalannya seberapa besar efektifnya Otsus ditingkat implementasi, itu yang jadi persoalan, seberapa efektif, bukan seberapa berhasil tapi seberapa efektif UU Otsus ini sudah dijalankan atau sudah seberapa besar korelasi terhadap kesejahteraan masyarakat Papua, ini yang mejadi pertanyaan.

Jadi ini bisa menimbulkan kekecewaan, kalau kita milihat akhirnya ba­nyak dikalangan masyarakat Papua, misalnya sejak tahun 2005, sebagian kelompok masyarakat menginginkan Otsus ingin dikembalikan ke Pusat. Kemudian 2008 juga ada demonstrasi Otsus mau dikembalikan ke Pusat dan terakhir menuntut refe­redum. Karena memang banyak persoalan-persoalan yang tidak dibenahi selama Otsus itu.

Untuk itu dengan ada­nya perhatian SBY dengan melakukan eveluasi Otsus masalah ini bisa teratasi, Semoga. (ven/don)

Revisi UU Otsus Sepihak, Dapat Ciptakan Persoalan Besar Bagi Papua

Ir. Weynand Watory & Ruben Magai SIPJAYAPURA—Revisi UU No 21 Tahun 2001 atau  UU Otsus terutama Pasal 7 huruf a yang  menyatakan Gubernur Papua dipilih oleh  DPRP, ternyata pasal tersebut telah dihilangkan melalui perubahan UU No 35  tahun 2008. Padahal dalam UU tersebut hanya menyatakan Provinsi Irian Jaya  Barat masuk bagian dalam UU Otsus.

“Apabila ada pihak yang melakukan revisi, maka sa­ngat berbahaya serta  menciptakan  sebuah persoalan besar di  tanah ini,” tukas Ketua Komisi A DPRP  Ruben Magai SIP ketika dikonfirmasi Bintang Papua diruang kerjanya, Selasa  (31/8) kemarin.      

Dia mengatakan, pihaknya mempertanyakan dasar apa dilakukan revisi UU Otsus.  Atas dasar usul siapa dan berdasarkan rekomendasi apa. Apabila hendak revisi  UU Otsus melibatkan tokoh tokoh Papua yang waktu lalu minta merdeka supaya  pikiran- pikiran mere­ka juga diakomodir dalam sebuah konstitusi sehingga  dikemudian hari tak menuntut merdeka.

“ Tapi kalau  itu tak diakomodir ini berarti bahaya. Bahaya dalam arti bahwa  kepentingan sekelompok  itu diakomodir dan rakyat selalu termarginalkan. Tak  terakomodir masuk di dalam sebuah sistim yang benar untuk mendorong dan  memajukan rakyat Papua,” tukasnya.  

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi A DPRP Ir Weynand Watory menegaskan ada  mekanisme untuk  pengajuan judicial review (uji material) terhadap  UU No 21  tahun 2001 atau UU Otsus khususnya pasal 7 huruf a bahwa Gubernur Provinsi  Papua dipilih oleh DPRP.  Tapi perubahan melalui  Perpu No 1 Tahun 2008  menjadi UU No 35 Tahun 2008 dimana konsiderannya adalah memberikan payung  hukum kepada Provinsi Papua Barat bukan mengubah pasal 7 huruf a UU Otsus.

“Pasalnya, hal  ini berkonsekuensi kepada pendanaan, tapi juga harus menjadi  keputusan politik dari lembaga maka tentu ada proses proses untuk   memutuskannya. Dan dari proses proses  memutuskannya  itu kan dari Komisi  mengajukan hal itu kepada pimpinan kemudian  dibawah ke rapat Badan Musyawarah  (Banmus) DPRP,” ujar  Watory  ketika dihubungi  Bintang Papua di ruang  kerjanya, Senin (30/8) kemarin terkait rencana DPRP ajukan judicial review  terhadap  UU No 21 Tahun 2001 atau UU Otsus.

Menurut dia, selanjutnya  pihaknya  akan mendengar  keputusan politik dari  setiap  Fraksi di DPRP. Dan  kare­na itu harus  ke paripurna DPRP untuk  mendapatkan  pengesahan serta  mendengar pandangan pandangan setiap Fraksi  DPRP  terkait  rencana  judicial review terhadap UU Otsus tersebut “Kami sudah melakukan itu cukup jauh dan setelah itu kami  wajib melaporkannya   kepada pimpinan DPRP untuk kemudian  dibuat menjadi  suatu keputusan lembaga  bukan keputusan Komisi.  Tapi apabila tiba pada keputusan harus dikembalikan  lagi kepada mekanisme di DPRP,” tukasnya.

“Karena itu kami tekah melaporkan kepada pimpinan DPRP dan ternyata sudah  disetujui maka kami harus  kembalikan ke proses atau mekanisme di DPRP untuk  diputuskan.”

Politisi senior Partai Kedaulatan ini menambahkan, pihaknya mengharapkan  agar  semua pihak berjalan diatas aturan dan tak perlu melakukan perubahan perubahan  tanpa mengacu kepada perintah UU. Pasalnya,  perintah UU sangat  jelas bahwa  UU Otsus yang berlaku khusus ini bisa dilakukan perubahan sesuai  mekanismenya  harus lewat keputusan rakyat.

“Kita bikin pertemuan rakyat Papua ka atau kita bikin semacam Musyawarah Besar  ka yang difasilitasi DPRP dan MRP kemudian sekarang harus dengan Papua Barat  karena sekarang Otsus itu sudah berlaku juga di Papua Barat. Dan masyarakat di  kedua Provinsi ini harus berkumpul dan mereka menyatakan bahwa   menurut kami  perlu ada perubahan perubahan,” katanya.

Menurunya, ironisnya  rakyat yang memiliki mandat  dan kedaulatan untuk  melakukan perubahan ini tak pernah berbicara  sekalipun  tiba tiba perubahan  itu dilakukan dan anehnya  lagi bahwa dilakukan perubahan itu pada Perpu No 1  Tahun 2008 dimana konsideran itu hanya memberikan payung hukum kepada Provinsi  Pa­pua Barat yang secara de fakto sudah ada.

Menurut dia, kalaupun misalnya mau ditambahkan maka itu hanya ditambahkan  bahwa perubahan Perpu itu memberikan payung  hukum sebagai dasar untuk  kemudian diterbitkan UU No 35 tahun 2008 itu hanya menambahkan penjelasan atau  pasal yang menyatakan bahwa Provinsi Papua Barat  itu adalah dari pembelakuan  Otsus di Tanah Papua.

“Koq tak ada hubungan sama sekali dengan penghila­ngan pasal 7 huruf a UU  Otsus tak ada konsideran yang mempertimbangkan bahwa pelaksanaan Pemilu yang  dilakukan DPRP itu setelah evaluasi  tak  benar makanya dikembalikan kepada  rakyat sesuai dengan semangat reformasi. Jadi  sama sekali tak ada satu huruf  atau satu katapun yang menjelaskannya.  Saya menganggap ini perubahan ini  sangat amburadul dan inkonsitusional atau tak sesuai dengan UU,” urainya.

Kerana itu, tambahnya, pihak pihak  yang melakukan perubahan terhadap UU No 21  Tahun 2001 khusus pasal 7 huruf a  ini  tanpa mengikuti konstitusi   perlu  diproses hukum.”Nanti akan kita lihat kalau memang itu kesalahan ya negara ini  adalah negara hukum wajib. Kalaupun keputusan mereka harus dikenakan sanksi ya  kenakan sanksi tak ada seorang pun yang kebal hukum di negara ini,” tukasnya.

“Tapi itu kan proses masih jauh kita lihat dulu proses ini kita jalankan dulu.  Mudah mudahan itu berlanjut sampai kepada posisi dimana

DPRP Minta Masa Jabatan Anggota MRP Diperpanjang

JAYAPURA—Menindaklanjuti sikap masyarakat yang  telah menyatakan mengembalikan Otsus, maka DPRP, DPRD Papua Barat dan MRP  direncakan  melakukan pertemuan bersama, 15 September 2010 di Jayapura. Agenda utama  pertemuan itu menyangkut Perdasus  tentang pemilihan anggota MRP, serta evaluasi  Otsus yang  telah berjalan selama  sembilan tahun di Tanah Papua.

Demikian Ketua Komisi A DPRP Ruben Magai ketika ditanya Bintang Papua di ruang kerjanya, Selasa (31/8) kemarin.  Untuk  membahas kedua masalah krusial ini, ujarnya, DPRP minta agar  masa jabatan anggota MRP yang akan berakhir Oktober ini diperpanjang selama 6 bulan, hingga anggota MRP periode mendatang  terbentuk. Hal ini dimaksud   agar ang­gota MRP juga dapat memberikan saran dan masukan serta indikator indikator kegagalan dan  keberhasilan  saat evaluasi  Otsus tersebut.

Menurutnya,  draf Perdasus  tentang pemilihan anggota MRP telah diserah­kan pihak eksekutif  kepada DPRP, serta beberapa poin tuntutan masyarakat beberapa waktu lalu yang dibawa ke DPRP. Saat per­temuan DPRP bersama masyarakat  telah disepa­kati  untuk  dibahas bersama menyangkut kegagalan Otsus.

“Kegagalan Otsus itu nanti juga akan kita dorong sampai terbentuknya Pansus Otsus kemudian kita evaluasi kegagalan dan keberhasilan Otsus, sehingga pada momen ini MRP yang  sekarang ini harus ada dan mereka juga harus presentasi selama lima tahun sebagai lembaga kultural itu mereka lihat seperti apa,” katanya.

Dikatakan, upaya pengesahan Perdasus  tentang pemilihan  anggota MRP tetap jalan di DPRP sesuai mekanisme. Setelah Perdasus  tersebut disahkan selanjutnya dilakukan  verifikasi  dan seleksi di lapangan tetap jalan.  Selama masa verifikasi dan seleksi administrasi oleh panitia seleksi itu yang nanti akan dimanfaatkan.

Ketika ditanya draf Perdasus tentang pengang­katan anggota MRP  berasal dari pihak  lembaga yakni eksekutif dan Demokratic Center Uncen, dia mengatakan,  tak ada soal kare­na keduanya itu adalah se­buah kekayaan untuk dapat menyatukan kedua konsep tersebut.

Terkait  sikap  MRP yang telah menyatakan mengembalikan Otsus, tapi di sisi lain mereka justru hendak  evaluasi  Otsus, tuturnya, sebenarnya MRP telah melaksanakan UU untuk memfasilitasi masyarakat adat menyampaikan apa yang mereka lihat dan mereka rasakan dalam masa perjalanan Otsus.

Dengan demikian, tambahnya, pada saat mereka menyatakan pengembalian Otsus bukan otomatis MRP bubar  tapi mereka juga melaksanakan konstitusi memfasilitasi masyarakat adat untuk menyampaikan aspirasi mereka.                
Kenapa proses pembahasan peraturan pemilihan anggota MRP sangat lambat, menurut dia, hal itu ada keterkaitan dengan kesiapan draf  Perdasus terutama di eksekutif juga ada kaitannya dengan DPRP yang menjadi tugas Badan Legislasi DPRP.
Menyoal draf Perdasus,  katanya,  kelompok mana saja bisa menyampaikannya seperti yang telah dilaksanakan Demokratic Center Uncen dan eksekutif  serta bisa juga dari inisiatif DPRP. Tapi  semua ini intinya adalah menyiapkan regulasi supaya dapat dipakai sebagai  acuan.

“Kita dorong dalam sebuah mekanisme dan  kita  sahkan supaya itu dapat dipakai sebagai dasar untuk   merekrut semua anggota MRP,” imbuhnya.
Kenapa draf Perdasus tentang pemilihan anggota MRP terlambat, ujarnya,  hal ini dikarenakan  DPRP juga  memiliki agenda kerja yang harus segera dibahas. Tapi dengan niat baik eksekutif dan Demokratic Center Uncen yang telah  memberikan suatu konsep dan pada saat pembahasan diprentasikan  untuk penambahan penambahan dari setiap pasal UU No 21 Tahun 2001 atau UU Otsus tersebut.

Dikatakannya,  revisi  UU Otsus dapat dilakukan setelah dievaluasi UU Otsus seperti pasal pasal mana yang harus direvisi atau pasal pasal mana dikurangi agar pelaksanaan Otsus di Papua dapat berjalan.  Tanpa melakukan evaluasi tapi eksekutif telah mengisukan pihaknya telah mengevaluasi itu inkonstitusional.

“Mau direvisi atau diubah itu sudah pelanggaran pemerintah juga tak boleh inkonstitusional karena UU itu jelas atas dasar usul rakyat. Usul rakyat itu dibicarakan dalam sebuah  bentuk evaluasi.  Rekomendasi rekomendasi yang dihasilkan dalam evaluasi itu menjadi bahan pertimbangan untuk dilaksanakan revisi terhadap UU Otsus. (mdc)

Polda Diminta Stop Panggil Sokrates

Gereja di Tanah Papua Serukan Dialog Nasional

Benny GiayJAYAPURA—Pemanggilan Pdt Duma Sokrates Sofyan Yoman Oleh Polda Papua, terkait pernyataan tentang berlarut-larutnya penyelesaian konflik di Puncak Jaya yang dinilai memojokkan TNI/Polri, menyulut keprihatinan Gereja. Sebagai bentuk keprihatinan itu, gereja akhirnya menyerukan dialog nasional menjadi pilihan satu-satunya penyelesaian konflik berkepanjangan tersebut.

Pernyataan gereja ini menyusul keresahan serta keprihatian gereja-ger eja di Tanah Papua terhadap kondisi umat dan masyarakat di Kabupaten Puncak Jaya serta Tanah Papua secara keseluruhan.

Rapat yang dihadiri peting­gi Gereja di Tanah Papua yakni Ketua Sinode GKI di Tanah Papua Pdt Jemima J Mirino-Krey Sth, Ketua Sinode Gereja Injili di Indonesia Pdt Lipius Biniluk STh, Ketua Sinode Kingmi di Tanah Papua Pdt DR Benny Giay, Persekutuan Gereja-Gejera Baptis di Tanah Papua Pdt Andreas Kogoya SMth, dan Keuskupan Jayapura Leo Laba Lajar OFM, di Kantor Sinode GKI di Tanah Papua di Jayapura, Kamis (12/8) kemarin.

Berhasil merumuskan pernyataan-pernyataan moral serta keprihatinan gereja-gereja di Tanah Papua terha­dap kasus-kasus di Tanah Papua serta Kabupaten Puncak Jaya secara khusus. Petinggi gereja di Tanah Papua menyerukan untuk segera dilakukan dialog nasional dalam rangka mencari solusi penyelesaian masalah-masalah di Tanah Papua secara adil, bermartabat dan manusiawi yang dimediasi pihak ketiga yang lebih netral. Gereja-gereja di Tanah Papua akan tetap konsisten dan teguh dalam memperjuangkan hak-hak umat Tuhan sesuai injil Yesus Kristus.

Gereja juga menyerukan kepada Gubernur Provinsi Papua, para pemimpin gereja dan agama di seluruh Tanah Papua, Dewan Adat Papua, Majelis Rakyat Papua (MRP), DPR Papua, Pangdam XVII Cenderawasih, Kapolda Papua untuk berdialog dan dialog ini difasilitasi oleh pihak gereja.
Tanpa melupakan pemanggilan Polda Papua terhadap salah satu pemimpin gereja, maka gereja pun meminta kepada Kapolda Papua untuk segera menghentikan pemanggilan terhadap Ketua Umum Badan Pelayanan Pusat Gereja-Gereja Baptis Papua atas nama Pendeta Duma Sokratez Sofyan Yoman.

Khusus untuk masyarakat di Kabupaten Puncak Jaya dan Tanah Papua secara umum, gereja memohon agar tetap tenang dalam menghadapi tragedi menyedihkan yang masih terus berlangsung di Tanah Papua hingga saat ini.

DPRP dan MRP juga diminta untuk membuka mata dan telinga terkait rentetan persitiwa penembakan di Kabupaten Puncak Jaya dengan segera memanggil Gubernur Provinsi Papua selaku penguasa sipil di Papua, Kapolda Papua dan Pangdam XVII Cenderawasih pejabat negata yang bertanggungjawab akan keamanan wilayah di Tanah Papua untuk memberikan kejelasan terkait sejumlah kasus kekerasan yang terjadi di Kabupaten Puncak Jaya selama ini.

Lebih khusus kepada Kapolda Papua, Gereja mengharapkan, pengungkapan terhadap para pelaku teror penembakan di wilayah tersebut segera diungkapkan kepada publik.

Dan kepada Komisi Hak Asasi Nasional (KOMNAS HAM) dan KOMNAS HAM Perwakilan Papua untuk segera membentuk Tim Independent dalam rangka mencari pelaku dibalik seluruh kekerasan yang terjadi di Puncak Jaya untuk memperoleh data dan fakta yang akurat demi penegakan hkum, keadilan dan kebenaran.

Dalam berbagai persoalan dan realita kekerasan terhadap masyarakat asli Papua di seluruh Tanah Papua, gereja-gereja di Tanah Papua terus mendoakan Pemerintah, TNI da POLRI agar dikuatkan dan diberi hikmat oleh Tuhan Allah untuk menghadirkan keamanan yang sepenuhnya bagi masyarakat di Papua dalam takut akan Tuhan dan mengasihi sesama manusia. (hen)

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny