Sekjen PBB Terima Laporan Genosida di Papua

ISTANBUL, SATUHARAPAN.COM – Laporan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua yang menggambarkannya sebagai ‘genosida gerak lambat’ telah sampai ke tangan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) kemarin (25/5).

Laporan itu diberikan oleh Direktur Eksekutif  Pacific Islands Association for Non-Governmental Organisations (PIANGO),  Emele Duiturage, pada hari kedua Konferensi Kemanusiaan Dunia (World Humanitarian Summit/WHS) di Istanbul, Turki. Laporan itu diterimakan kepada asisten Sekjen PBB.

Menurut PACNEWS, Duituturaga menyerahkan laporan tersebut kepada Ban Ki-moon pada siang hari. Duituturaga mengatakan dirinya senang sempat melakukan percakapan singkat dengan Ban pada akhir KTT.

Penyerahan ini dilakukan setelah Duituturaga menyampaikan paparannya pada pleno WHS hari pertama, dimana ia menyerukan intervensi PBB terhadap pelanggaran HAM di Papua.

“PIANGO adalah pendukung kuat pendekatan berbasis HAM dan kami berkomitmen untuk menegakkan norma-norma yang melindungi umat manusia, khususnya dalam kaitannya dengan berbicara tentang pelanggaran hukum kemanusiaan dan hak asasi manusia internasional,”

kata dia.

“Di Pasifik, kami menghadapi konflik yang disebabkan tantangan kemanusiaan. Kami memuji penutupan kamp pengungsi di Papua Nugini, kami prihatin atas konflik di pusat penahanan Nauru dan kami meminta intervensi PBB untuk pelanggaran HAM di Papua,” kata dia.

Laporan ini pelanggaran HAM ini merupakan temuan Komisi Keadilan dan Perdamaian Gereja Katolik Keuskupan Brisbane, Australia, yang dilansir secara resmi  pada hari Minggu (1/5) di Brisbane. Dalam laporan yang diberi judul We Will Lose Everything, A Report of Human Right Fact Findings to West Papua  itu, mencuat rekomendasi yang cukup progresif, termasuk mendesak adanya campur tangan PBB terhadap pelanggaran HAM di Papua dan bagi upaya penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua.

Dalam laporan setebal 24 halaman itu,  salah satu rekomendasi mereka adalah “Mendesak pemerintah-pemerintah di Pasifik, termasuk Australia, untuk mengupayakan intervensi Dewan Hak Asasi Manusia PBB dan Sidang Umum PBB untuk melakukan investigasi independen terhadap pelanggaran HAM di Papua.”

Laporan yang merupakan hasil pencarian fakta yang dilakukan oleh Executive Officer Komisi, Peter Arndt dan Suster dari St Joseph Sydney, Susan Connelly, juga merekomendasikan agar “negara-negara di Pasifik, termasuk Australia, menekan pemerintah Indonesia secara langsung dan mengupayakan intervensi PBB untuk menyelenggarakan dialog antara Indonesia dengan para pemimpin rakyat Papua, United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), untuk mengidentifikasi jalur yang kredibel bagi penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua.”

Laporan ini dibuat setelah delegasi Komisi mengunjungi Merauke, Jayapura, Timika dan Sorong. Mereka berbicara dan mengorek keterangan dari penduduk Papua, termasuk saksi sejarah kecurangan pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969. Sebagian dari laporan ini telah beredar awal Maret lalu yang dilaporkan oleh catholicleader.com.au.

Misi pencarian fakta ini  mewawancarai lebih dari 250 tokoh masyarakat di Jayapura, Merauke, Timika dan Sorong. Bukan hanya soal HAM, laporan itu juga  mendokumentasikan berbagai diskriminasi ekonomi, sosial dan agama di Papua, termasuk bagaimana penguasaan tanah telah lebih menguntungkan perusahaan multinasional sedangkan warga Papua dikecualikan dari kepemilikan dan pekerjaan.

Laporan tersebut mengungkap secara rinci bagaimana tim pencari fakta mengunjungi sejumlah tempat dan orang di Papua, hingga tiba pada rekomendasi tersebut. Pelanggaran HAM di masa lalu yang terus berlanjut hingga kini diutarakan dalam bentuk narasi maupun angka.

Sebagai contoh, disebutkan bahwa pada tahun 1977 terjadi pengeboman dan kelaparan selama tiga bulan di dataran tinggi Papua, yang diperkirakan menewaskan 25.000 orang. Pengeboman juga terjadi pada tahun 1997 yang merusak ladang dan ternak, yang menyebabkan kelaparan dan kematian ribuan penduduk desa.

Pada 1998 dilaporkan terjadi pembunuhan terhadap pria dan wanita yang sedang berdoa untuk kemerdekaan. Selain itu, dicatat pula pembunuhan terhadap tokoh Papua seperti Arnold Ap (1984), Dr. Thomas Wainggai (1996) dan Theys Eluay (2001) dan Kelly Kwalik (2009).

Lebih lanjut, disebutkan bahwa dalam dekade belakangan ini terjadi pelecehan dan intimidasi terhadap sejumlah lembaga-lembaga kemanusiaan internasional, termasuk Komite Internasional Palang Merah, lembaga Cordaid dari Belanda dan Peace Brigades International. “Organisasi-organisasi ini diusir dari Papua karena mereka membela HAM di wilayah mereka bekerja,” kata laporan itu.

“Delegasi Komisi yang berkunjung ke Papua pada bulan Februari 2016 menemukan tidak ada perbaikan dalam situasi HAM. Laporan pelanggaran HAM oleh anggota pasukan keamanan Indonesia tidak berkurang dan status ekonomi dan sosial rakyat Papua tidak meningkat. Sistem politik dan hukum Indonesia tidak mau dan tidak mampu mengatasi pelanggaran HAM di Papua,” demikian bunyi laporan tersebut.

“Banyak yang berbicara tentang adanya genosida dalam gerak lambat,” kata laporan itu.

Selain menyampaikan keprihatianan tentang Papua dalam forum ini Duiturage juga menegaskan bahwa sebagai organisasi masyarakat sipil terkemuka, PIANGO mewakili LSM di 21 negara dan wilayah Kepulauan Pasifik, berkomitmen terhadap Agenda Kemanusiaan.

“Di Pasifik di mana 80 persen dari populasi berbasis di pedesaan, respon yang pertama dan  terakhir selalu respon lokal, karena itu kita perlu memperkuat kepemimpinan lokal, memperkuat ketahanan masyarakat dan memprioritaskan ulang lokalisasi bantuan.”

“PIANGO berkomitmen untuk memfasilitasi koordinasi yang efektif dari organisasi masyarakat sipil lokal dan nasional dengan peran pelengkap LSM internasional.”

KTT dihadiri oleh 9.000 peserta dari 173 negara, termasuk 55 kepala negara, ratusan perwakilan sektor swasta dan ribuan orang dari masyarakat sipil dan organisasi non-pemerintah. Konferensi berakhir pada hari Rabu (25/5).

Editor : Eben E. Siadari

West Papua report given to Ban ki Moon at Humanitarian Summit

25/05/2016, Turkey, PINA.com.fj

UN Secretary General, Ban Ki Moon has been presented with the West Papua Fact Finding Mission Report titled “We Will Lose Everything” by PIANGO’s executive director, Emele Duituturaga.

Duituturaga presented the report to Ban Ki Moon during day two of the World Humanitarian Summit in Istanbul, Turkey. The report was received by the assistant Secretary General.

Duituturaga who captured the handing over in a photograph said she was privileged to have had a brief exchange with Ban at the end of the summit.

The handover comes after Duituturaga addressed the World Humanitarian Summit (WHS) plenary on day one calling for United Nations intervention on human rights violations in West Papua.

“PIANGO strongly advocates human-rights based approaches and we commit to upholding norms that safeguard humanity, specifically in relation to speaking out on violations of international humanitarian and human rights laws,” she said.

“In the Pacific, we have our share of conflict induced humanitarian challenges. We applaud the closing of the Manus Refugee camp in Papua New Guinea, we are concerned about the conflicts at the Nauru detention centre and we call for UN intervention for human rights violations in West Papua.”

“As a leading civil society organisation, the Pacific Islands Association for Non-Governmental Organisations (PIANGO), representing NGOs in 21 Pacific Islands Countries and Territories, is committed to this Agenda for Humanity.”

“In the Pacific where 80% of our population are rural based, the first and the last response is always the local response and so we need to reinforce local leadership, strengthen community resilience and reprioritise localisation of aid.”

She said while governments remain the driver at the national level, community engagement is the lever.

“PIANGO is committed to facilitate effective coordination of local and national civil society organisations with the complimentary role of international NGOs.”

“We also expect our leaders to match the ambition of this agenda with national and regional strategies and accountability mechanisms for inclusive and participatory implementation, bringing all stakeholders together and at all levels – to include government, civil society, private sector, academics, parliamentarians, local authorities, faith communities and UN agencies.”

The summit which had 9000 participants from 173 states, including 55 heads of state, hundreds of private sector representatives and thousands of people from civil society and non-governmental organisations ended Wednesday.

SOURCE: PIANGO/PACNEWS

Pemisahan Papua dari Indonesia tidak akan Memberikan Keuntungan bagi Warga Papua?

Ada artikel yang sangat menarik ditulis oleh Silmi Kafhah, silmi09021992@gmail.com dalam https://www.islampos.com/ Judul artikelnya ialah “Waspadai Upaya Asing Memisahkan Papua dari Indonesia” tanggal 11 Maret 2016.  Artikel ini sebenarnya tidak punya alasan-alasan yang rasional dan empirik. Isinya penuh dengan kecurigaan dan kebencian terhadap kapitalisme dan dunia barat. Maklum saja karena penganut Negara Islam Indonesia lewat situs-situs mereka di satu sisi selalu memojokkan yang non-Muslim, padahal di sisi lain sebenarnya apa yang mereka katakan punya dampak sangat fatal bari NKRI, yaitu penerapan syariah Islam.

Artikel ini membahas keterlibatan, tangan-tangan asing dalam meniup api kemerdekaan, memberi ruang dan bahkan mendanai perjuangan kemerdekaan West Papua dan menyatakan solusi terbaik ialah dengan meninggalakn proses demokratisasi yang sudah terlewati di Indonesia dan kembali kepada Syariah Islam.

Pada satu sisi menyalahkan perusahaan asing dan LSM asing karena mereka dipandang membantu perjuangan Papua Merdeka. Terlihat jelas, penulis menunjukkan betapa dirinya sangat nasionalis Indonesia. Di sisi lain, sangat bertentangan dan malahan bertentangan dengan konstitusi yang dia sebut dibelanya, yaitu NKRI. Dia mengusulkan Negara yang disebutnya Indonesia itu kembali kepada Syariat Islam. Arti sebenarnya dari tulisan ini seratus persen mengandung tulisan separatis, tulisan mendukung makar, yaitu membubarkan negara bernama Indonesia yang berdasarkan Pancasila dengan negara Islam Indonesia, yaitu negara Indonesia berdasarkan Syaariah Islam.

Lebih lucu lagi, tulisan ini mengatakan kemerdekaan West Papua tidak menguntungkan bagi orang Papua sendiri. Berikut dalam kalimatnya sendiri:

Penting untuk disadari oleh semua pihak Papua, pemisahan Papua di Indonesia tidak akan memberikan keuntungan bagi warga Papua. Meminta bantuan dari negara imperialis untuk memisahkan diri merupakan bentuk bunuh diri politik. Pemisahan Papua dari Indonesia hanya akan membuat Papua lemah. Sebenarnya warga Papua sedang diperdaya demi segelintir elit politik agar mereka mendapat keuntungan.

Satu kalimat ini saja kalau kita bedah mengandung banyak kesalahan fatal secara konsep berpikirnya. Perama, uangkapan “semua pihak Papua” maksudnya apa atau siapa? Kedua, kalimat “pemisahan Papua di Indonesia“, apa artinya pemisahaan Papua di Indonesia? Tidak benar dan tidak logis. Ketiga, “tidak akan memberikan keuntungan bagi warga Papua.” Keuntungan apa yang dikehendaki oleh penulis artikel ini? Apakah keuntungan ekonomi? Apakah tujuan kemerdekaan Papua untuk keuntungan ekonomi?

Memang tujuan kemerdekaan Indonesia ialah “mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila”. Itu tujuan kemerdekaan Indonesia. Apakah tujuan kemerdekaan West Papua sama?

Rupanya penulis ini melihat tujuan kemerdekaan West Papua sama dengan tujuan kemerdekaan Indonesia. Masa dua negara yang berbeda harus punya tujuan kemerdekaan yang sama? Mengapa kalau tujuannya sama, ya Papua tinggal saja di Indonesia?

Penulis perlu ketahui, bahwa tujuan kemerdekaan West Papua BUKANLAH kepentingan ekonomi, bukan adil dan makmur. Sama sekali tidak! Kami tidak mencari keuntugnan ekonomi dari kemerdekaan West Papua.

SecGen. Tentara Revolusi West Papua, Lt. Gen. TRWP Amunggut Tabi pernah katakan kepada PMNews dalam sebuah Upacara Bendera di Markas Pusat Pertahanan TRWP bahwa

tujuan kemerdekaan West Papua, pertama dan terutama ialah “mengusir penjajah keluar dari Tanah Papua”, dan setelah itu “membiarkan Papua memimpin dirinya sendiri dalam kehidupan peri-kehidupan yang penuh sukacita, tenteram dan harmoni dengan berbagai unsur kehidupan.” Kami tidak berjuang untuk jadi kaya, kami tidak mencari adil-makmur seperti Indonesia. Yang kami cari ialah Indonesia angkat kaki dari Tanah leluhur bangsa Papua, ras Melanseia.

Alasannya jelas, mana perusahaan asing yang pernah bantu Papua Merdeka sampai hari ini seperti dikleim dalam artikel tulisan http://www.islampos.com ini? Mana LSM luarnegeri yang membantu Papua Merdeka?

Gen. Tabi katakan,

Perjuangan Papua Merdeka bukan mencari kekayaan untuk kemakmuran. West Papua yang merdeka dan berdaulat tidak ambil pusing dengan emas dan perak dibawa keluar oleh Amerika Serikat atau Indonesia. Papua Merdeka akan pertama-tama akan menghentikan total teror, intimidasi, marginalisasi dan pemusnahan bangsa Papua ras Melanesia. Papua Merdeka artinya menghentikan total pemusnahan manusia Papua. Itu dulu, jangan bicara kaya-miskin. Itu urusan setelah merdeka. Jangan bicara sebelum merdeka sama seperti Negara penjajah Indonesia sudah punya cita-cita adil makmur sebelum merdeka tetapi tidak pernah akan terwujud sampai kiamat tidak akan pernah.

Setelah PMNews membacakan isi artilkel IslamPos.com ini, Amunggut Tabi kembali bertutur,

Masing-masing bangsa hadir ke muka Bumi dengan hak asasi yang tidak dapat dikurangi, apalagi dilanggar oleh bangsa lain. Orang Indonesia lebih bagus bicara tentang wanita sundal di pusat lokalisasi dan pengemis di jalan-jalan seluruh Indonsia karena miskin melarat, daripada menyinggung West Papua, yang jelas-jelas bangsa lain, dan jelas-jelas memperjuangkan negara lain.

Saat ditanya, “Pemisahan Papua dari Indonesia tidak akan Memberikan Keuntungan bagi Warga Papua?” Gen. TRWP Tabi kembali menjawab:

Maaf saja, yang mencari kekayaan itu NKRI. Kalau penulis artikel ini mau agar rakyatnya menjadi adil dan makmur, kami akan berikan kepada NKRI semua tambang emas, tembaga, gas, apa saja yang ada di Tanah Papua, dengan syarat satu-satunya:, NKRI harus angkat kaki dari seluruh wilayah kedaulatan Negara West Papua. Maaf, West Papua tidak punya cita-cita kemerdekaan adil dan mamkur, kami punya cita-cita NKRI keluar dari Tanah Papua dan mewujudkan Tanah Papua yang penuh sukacita dan hidup selaras dengan semua makhluk berdasarkan filsafat dan budaya Melanesia yang kami warisi dari nenek-moyang kami.

Pater John: Jayawijaya Darurat Kemanusiaan

MAY 16, 2016/ISLAMI ADISUBRATA

Wamena, Jubi – Pastor penerima Yap Thiam Yien Award 2009, Pater John Djonga menilai kondisi yang terjadi di Kabupaten Jayawijaya, Papua belakangan ini sebagai situasi darurat kemanusiaan.

Hal itu dikatakannya menanggapi demo yang dilakukan para bidan dan tenaga medis lainnya di Wamena, Jumat (13/5/2016).

Aksi itu dilakukan untuk mendesak Pemerintah dan Polres Jayawijaya agar segera menjamin keamanan bagi tenaga medis saat bekerja sebab mereka rentan menjadi korban pelecehan seksual dan pemerkosaan.

Pater John pun meminta agar kejadian tersebut segera disikapi Pemkab dan Polres Jayawijaya.

“Apa yang mereka (baca: para bidan) lakukan, saya salut dan mendukung,” katanya kepada Jubi di Wamena, Jayawijaya, Senin (16/5/2016).

Ia menyebutkan setidaknya 37 kasus pelecehan seksual dan kekerasan terhadap tenaga medis yang bekerja di kampung-kampung. Polisi, masyarakat adat dan gereja bahkan memilih diam terhadap persoalan ini.

“Saat ini situasi di Jayawijaya sudah darurat kemanusiaan. Para pekerja yang memperhatikan soal-soal kemanusiaan, seperti perawat, bidan atau guru dan lainnya merasa terancam hidupnya,” katanya.

Menurut dia ancaman pemerkosaan hingga pembunuhan terhadap para medis menandakan pihak berwajib tidak mampu melindungi masyarakatnya.

“Kalau bidan tidak ada, suasana atau angka kematian ibu dan anak pasti lebih tinggi lagi. Itu pun kepunahan orang Papua terancam. Jadi, saya harapkan masyarakat adat, orang tua supaya melindungi semua petugas-petugas kesehatan, tenaga pendidik dan para penggiat kemanusiaan lainnya,” katanya.

Ia mengatakan jika mau membatasi kematian ibu dan anak, maka harus melindung petugas yang bertugas. Begitu pula dengan pendidikan; guru-guru harus dilindungi.

“Tidak ada lagi kelakuan-kelakuan yang pura-pura mabuk atau juga melakukan tindakan-tindakan ancaman kekerasan atau bahkan sampai membunuh,” katanya.

Wakapolres Jayawijaya, Kompol Fransiskus Elosak mengatakan pihaknya sudah memanggil para kepala distrik terkait kejadian percobaan pemerkosaan yang dialami seorang bidan di Distrik Libarek, Pisugi dan Witawaya. Para kepala distrik itu lalu ditugaskan untuk membantu kepolisian dalam mengungkap kasus tersebut dengan melaporkan pelakunya kepada polisi.

“Kalau mereka memang tidak menghadapkan pelaku ke polisi, maka harus memberikan informasi kepada kita. Kami pun sudah siap untuk menangkap pelaku,” kata Kompol Fransiskus.

Ia mengatakan jumlah personil polisi di Polres Jayawijaya terbatas meski ada program Polri ‘satu polisi satu desa’ sehingga jaminan keamanan belum dipenuhi. Oleh karena itu, ia mengharapkan agar penempatan tenaga medis perlu ditinjau kembali dan dikoordinasikan dengan kepala distrik, kepala kampung dan tokoh masyarakat agar mendapatkan perlindungan dan jaminan keamanan dari masyarakat lokal. (*)

Gereja Katolik Minta PBB Investigasi Pelanggaran HAM Papua

Penulis: Eben E. Siadari 13:21 WIB | Selasa, 03 Mei 2016

Rekomendasi penyelidikan terhadap pelanggaran HAM di Papua datang dari Komisi Keadilan dan Perdamaian Gereja Katolik Keuskupan Brisbane, Australia.

Foto anak-anak Suku Dani di Papua, yang menjadi salah satu gambar ilustrasi dalam laporan Komisi Keadilan dan Perdamaian Gereja Katolik Brisbane (Foto: Komisi Keadilan dan Perdamaian Gereja Katolik Brisbane)

BRISBANE, SATUHARAPAN.COM – Setelah sebagian hasil temuan mereka ke Papua sempat jadi berita ramai di media massa bulan lalu, Komisi Keadilan dan Perdamaian Gereja Katolik Keuskupan Brisbane, Australia, akhirnya melansir secara lengkap hasil temuan tersebut pada hari Minggu (1/5) di Brisbane dan hari ini di Jakarta. Dalam laporan yang diberi judul We Will Lose Everything, A Report of Human Right Fact Findings to West Papua itu, laporan ini menerbitkan rekomendasi yang cukup progresif, termasuk mendesak adanya campur tangan PBB terhadap pelanggaran HAM di Papua dan bagi upaya penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua.

Dalam laporan setebal 24 halaman itu, salah satu rekomendasi mereka adalah “Mendesak pemerintah-pemerintah di Pasifik, termasuk Australia, untuk mengupayakan intervensi Dewan Hak Asasi Manusia PBB dan Sidang Umum PBB untuk melakukan investigasi independen terhadap pelanggaran HAM di Papua.”

Selanjutnya, laporan yang merupakan hasil pencarian fakta yang dilakukan oleh Executive Officer Komisi, Peter Arndt dan Suster dari St Joseph Sydney, Susan Connelly, juga merekomendasikan agar “negara-negra di Pasifik, termasuk Australia, menekan pemerintah Indonesia secara langsung dan mengupayakan intervensi PBB untuk menyelenggarakan dialog antara Indonesia dengan para pemimpin rakyat Papua, United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), untuk mengidentifikasi jalur yang kredibel bagi penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua.”

Laporan ini dibuat setelah delegasi Komisi mengunjungi Merauke, Jayapura, Timika dan Sorong. Mereka berbicara dan mengorek keterangan dari penduduk Papua, termasuk saksi sejarah kecurangan pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969. Sebagian dari laporan ini telah beredar awal Maret lalu yang dilaporkan oleh catholicleader.com.au.

Misi pencarian fakta ini mewawancarai lebih dari 250 tokoh masyarakat di Jayapura, Merauke, Timika dan Sorong. Bukan hanya soal HAM, laporan itu juga mendokumentasikan berbagai diskriminasi ekonomi, sosial dan agama di Papua, termasuk bagaimana penguasaan tanah telah lebih menguntungkan perusahaan multinasional sedangkan warga Papua dikecualikan dari kepemilikan dan pekerjaan.

Laporan tersebut mengungkap secara rinci bagaimana tim pencari fakta mengunjungi sejumlah tempat dan orang di Papua, hingga tiba pada rekomendasi tersebut. Pelanggaran HAM di masa lalu yang terus berlanjut hingga kini diutarakan dalam bentuk narasi maupun angka.

Sebagai contoh, disebutkan bahwa pada tahun 1977 terjadi pengeboman dan kelaparan selama tiga bulan di dataran tinggi Papua, yang diperkirakan menewaskan 25.000 orang. Pengeboman juga terjadi pada tahun 1997 yang merusak ladang dan ternak, yang menyebabkan kelaparan dan kematian ribuan penduduk desa.

Pada 1998 dilaporkan terjadi pembunuhan terhadap pria dan wanita yang sedang berdoa untuk kemerdekaan. Selain itu, dicatat pula pembunuhan terhadap tokoh Papua seperti Arnold Ap (1984), Dr. Thomas Wainggai (1996) dan Theys Eluay (2001) dan Kelly Kwalik (2009).

Lebih lanjut, disebutkan bahwa dalam dekade belakangan ini terjadi pelecehan dan intimidasi terhadap sejumlah lembaga-lembaga kemanusiaan internasional, termasuk Komite Internasional Palang Merah, lembaga Cordaid dari Belanda dan Peace Brigades International. “Organisasi-organisasi ini diusir dari Papua karena mereka membela HAM di wilayah mereka bekerja,” kata laporan itu.

“Delegasi Komisi yang berkunjung ke Papua pada bulan Februari 2016 menemukan tidak ada perbaikan dalam situasi HAM. Laporan pelanggaran HAM oleh anggota pasukan keamanan Indonesia tidak berkurang dan status ekonomi dan sosial rakyat Papua tidak meningkat. Sistem politik dan hukum Indonesia tidak mau dan tidak mampu mengatasi pelanggaran HAM di Papua,” demikian bunyi laporan tersebut.

“Banyak yang berbicara tentang adanya genosida dalam gerak lambat,” kata laporan itu.

Diakui, laporan ini bermula dari kedatangan delegasi ULMWP ke Australia dan melakukan presentasi tentang yang terjadi di Papua. Seminggu setelah pertemuan, Komisi Keadilan dan Perdamaian Gereja Katolik Keuskupan Brisbane mengirimkan tim ke Papua.

Sebetulnya, demikian laporan ini memberi alasan, pada tahun 2015 pemimpin negara-negara Pasifik Selatan yang tergabung Pacific Islands Forum (PIF) Leader Summit di Port Moresby telah merekomendasikan pencarian fakta ke Papua. Tetapi pemerintah Indonesia tidak mengizinkan. Padahal, salah satu tujuan Komisi mengirimkan delegasi ke Papua adalah untuk membangun hubungan dengan gereja di Papua untuk berkolaborasi di masa mendatang di sekitar isu HAM dan lingkungan.

Karena RI tidak bersedia menerima misi PIF, maka dapat dikatakan Komisi ini menjadi salah satu misi pencari fakta tidak resmi dari Pasifik yang mengunjungi Papua.

Lebih jauh laporan itu mengatakan gereja dan organisasi masyarakat sipil di Pasifik harus melanjutkan membangun jejaring solidaritas dengan mitra mereka di Papua untuk mendukung advokasi dan aksi terhadap pelanggaran HAM serta mengupayakan penentuan nasib sendiri bagi rakyat dan pemimpin Papua, ULMWP.

Di Indonesia, laporan tersebut diluncurkan secara resmi di Jakarta pada Selasa, 3 Mei, oleh VIVAT International Indonesia, sebuah lembaga advokasi international.

Selengkapnya laporan ini, dapat dilihat di link ini: We Will Lose Everything.

Editor : Eben E. Siadari

DPR: Pelanggaran HAM Pemerintahan Jokowi Capai 700 Orang di Papua

Penulis: Endang Saputra 13:48 WIB | Rabu, 30 Maret 2016

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Republik Indonesia (DPR-RI), Sufmi Dasco Ahmad, menyatakan keprihatinannya atas pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam satu tahun Pemerintahan Presiden Joko Widodo mencapai 700 orang di Papua.

“Soal dugaan pelanggaran HAM di Papua memang cukup memprihatinkan. Kami menerima info dari Komnas HAM, dalam satu tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo telah terjadi berbagai peristiwa pelanggaran HAM, penangkapan, penganiayaan, penyiksaan, dan pembunuhan terhadap setidaknya 700 orang Papua,”

kata Dasco saat dihubungi wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, hari Rabu (30/3).

Menurut politisi Partai Gerindra itu, data tersebut memang cenderung bombastis. Namun, perlu diingat bahwa Komnas HAM adalah institusi negara. Pemerintah harus memverifikasi dan menindaklanjuti temuan Komnas HAM tersebut.

“Yang perlu dicatat, kondisi Papua saat ini tidak terlepas dari kesalahan treatment yang sudah terjadi sejak lama. Pendekatan keamanan yang diterapkan  selama ini memang memperbesar risiko terjadinya pelanggaran HAM,” kata dia.

“Kasus-kasus lama yang tidak tuntas diusut menyisakan kekecewaan dan bahkan dendam bagi masyarakat yang menjadi korban. Dalam kondisi seperti ini situasi papua seperti api dalam sekam, setiap saat bisa muncul dan berkobar,”

dia menambahkan.

Sebelumnya, Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan, pemerintah akan segera menuntaskan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di seluruh Indonesia, termasuk Papua.

“Kami mengapresiasi pernyataan Menkopolhukan yang akan menuntaskan 16 kasus HAM Papua dalam waktu satu tahun, supaya masyarakat tenang memang harus ada tenggat waktu penyelesaian, prinsipnya ada kepastian,”

kata dia.

“Yang tak kalah penting, saat ini kami berharap pemerintah mengambil langkah-langkah konkret untuk menciptakan tanah Papua damai dan aman serta melaksanakan pembangunan berbasis HAM,”

dia menambahkan.

Editor : Sotyati

New Catholic report tells stories of murder, kidnapping and torture in West Papua

Pacific horror: A new Catholic report has shown allegations of recent military and police intimidation, beatings and torture, kidnapping and murder in the country.
Pacific horror: A new Catholic report has shown allegations of recent military and police intimidation, beatings and torture, kidnapping and murder in the country.

ALLEGATIONS of recent military and police intimidation, beatings and torture, kidnapping and murder in West Papua, have been documented in a new Church report.

The report documents Muslims being radicalised in the once predominantly Christian Papuan provinces, and “very active” Muslim militias that burn down Papuan houses.

The report was compiled by the Brisbane Catholic Justice and Peace Commission’s Shadow Human Rights Fact Finding Mission to West Papua, following a visit to West Papua last month.

It has not yet been publicly released, nor comment sought from Indonesian authorities.

The report documents religious, social and economic discrimination including how the carve up of land for major development has benefited multinationals and excluded Papuans from ownership and jobs.

It refers to a slow motion genocide happening 250km north of Australia and states that “the Indonesians want to replace the Christian religion with Islam”.

The report author Josephite Sister Susan Connelly was accompanied to West Papua by Brisbane archdiocese’s Catholic Justice and Peace Commission executive officer Peter Arndt.

During their fact-finding mission they interviewed more than 250 community leaders in Jayapura, Merauke, Timika and Sorong.

Sr Connelly, a respected human rights advocate, likened her visit to West Papua to “stepping back twenty years when I first went to East Timor”.

“The same oppressive security presence everywhere, the same suspicion, bewilderment, frustration and sadness,” she said.

“The same fear. The same seemingly groundless hope.

“A man took my hands in his and said, ‘We are in danger’. That simple statement sums up for me the experience of the whole visit.

“The Papuan people have lost so much, and are facing erasure as a people, merely preserved as oddities of the past or artifacts to be photographed for tourist brochures.

“They realise that their land is considered more valuable than they are.”

The fact-finding team heard many accounts of alleged military and police brutality and murder.

“There is clear evidence of ongoing violence, intimidation and harassment by the Indonesian security forces,” Mr Arndt said on his return to Brisbane.

“That is especially the case for Papuans expressing their support for particular political points of view.

“Authorities want to close down any Papuan efforts to promote discussion about self-determination, and they have applied a military response to deal with the irrepressible desire of a large number of Papuans to promote their cause for freedom.”

Based on his interviews across West Papua, Mr Arndt (pictured) identified the instigators of alleged human rights violations as members of the Indonesian army including Kopassus, police including a special counter insurgency unit, Detachment 88, and Indonesia’s intelligence agency, BIN.

“Even demonstrations about social issues such as access to education get broken up by authorities,” he said.

The fact-finding team heard many examples of how the Indonesian Government pushed economic development, but ignored human rights.

“The Government has carved up the land and given it for exploitation to some 50 multinational companies,” the report said.

“The procedure is that the local government invites companies to come and gives permits.

“People are usually shocked when the companies come to sign a MoU (memorandum of understanding) with them, showing them the permit and the map.

“If the villagers don’t agree to the proposal, the company goes back to the local government and returns with the police.”

Troubling times: A group holds a Free West Papua protest in Melbourne.
Troubling times: A group holds a Free West Papua protest in Melbourne.

In the 1970s, ethnic Papuans accounted for 96 per cent of the population.

Today they are a minority 48 per cent, because of the rapid migration of Indonesians from other more populated islands such as Java.

The report found that Papuans were now marginalised economically at the expense of immigrants, the majority of whom are Muslims.

The report said there was “a movement for Muslims from Indonesia to replace Papuans in every sector”.

“The Indonesians want to replace the Christian religion with Islam. Many mosques are being built everywhere. They want Papua to be a Javanese Malay nation,” the report said.

“Radicalisation is happening in Papua, with some militias very active near the border with PNG.

“They burn down the Papuan houses. They are recruited as illegal loggers. Their camps and logging are well protected by the military.

“The military are certainly killing the people, and closed access to opportunity to Papuans in all areas of life constitutes a slow motion genocide.

“The general opinion encountered was that Indonesia is a total failure regarding Papua and is just another coloniser.

“The Indonesian Government does not give opportunities to Papuan people or protect them.

“It was said that most Church leaders try to deal with the problems one by one, but the whole picture should be looked at as a series of policies designed to overcome the Papuan people.

“In every sector of government the system is composed of Indonesian tactics to destroy the Papuans.

“Beatings and torture are used, but also the economic aspects of lack of opportunity, the sidelining of the indigenous peoples, the taking over of land by companies … are part of the plan.”

Accusations in the report

  • A young, wealthy businessman poisoned in 2015. He had financially supported building an office for the National Committee for West Papua, an independence-oriented group. He also funded Papuans being sent to international conferences.
  • A Papuan woman activist arrested in 2015 by police for holding a prayer service in support of an international conference in London. She and her group were interrogated for five hours.
  • In January this year, 27 Papuan palm oil workers were allegedly tortured by the Indonesian army’s special force Kopassus. The men had previously complained to their company bosses after they had not been paid for two months.
  • A man aged 35 who used to work for Papua’s Freeport gold mine was kidnapped in 2015, killed, and his body thrown on the street. There was no sign of torture and the police told his family that it was an accident.
  • Police and military broke up community activities such as prayer meetings.
  • In September 2015, 18-year-old Daniel Bowgow was killed. His father was a local prayer meeting leader.
  • People reported they couldn’t move freely at night to search for food for fear of being kidnapped. The military and police use Papuan informers to let them know of people’s movements.

By Mark Bowling

Pendeta Minta Rakyat Papua Ampuni Luhut Pandjaitan

JAYAPURA, SATUHARAPAN.COM – Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua (PGGBP), Pendeta Socratez Sofyan Yoman, meminta rakyat Papua untuk memaafkan pernyataan yang dilontarkan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan RI, Luhut Binsar Pandjaitan yang mereka rasakan sangat menyakitkan.

Menurut dia, meskipun pernyataan Luhut merupakan bentuk penghinaan kepada orang asli Papua, dia mengimbau rakyat Papua tetap memegang Firman Tuhan untuk mengampuni musuh.

“Yang terkasih orang-orang Asli Papua di mana saja. … Jenderal Luhut Pandjaitan menghina orang asli Papua. Yoo…kita pegang Firman Tuhan: Ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” tulis Socratez dalam pesan singkat yang dikirim ke satuharapan.com, hari Jumat (26/2).

Socratez yang berada di Jayapura menceritakan pengalaman orang-orang Papua yang pernah dihina oleh Jenderal Ali Murtopo pada tahun 1969. Dia mengatakan saat itu orang Papua yang mau merdeka diminta untuk meninggalkan tanah Papua juga. Menurut dia, penghinaan tersebut terulang kembali seperti disampaikan Luhut pada pekan lalu.

“Tahun 1969 Jenderal Ali Murtopo pernah menghina orang Papua: ‘Kalau orang Papua mau merdeka minta Amerika cari satu pulau di bulan dan tinggal di sana.’ Setelah 47 tahun, pada 2016 ini dari bangsa yang sama, Jenderal Luhut Pandjaitan menghina orang asli Papua. ‘Orang Papua yang mau merdeka pindah saja di Pasifik dari tanah Papua.”

“Jadi, apakah orang asli Papua hanya terima terus penghinaan dari bangsa Indonesia? Kejahatan dan penghinaan ini harus dilawan. Kita punya harga diri dan kehormatan sebagai pemilik tanah pusaka Papua. …kita pegang Firman Tuhan: ‘Ampunilah mereka sebab penjajah tidak tahu apa yang penjajah perbuat’,”

tulisnya.

“Terimakasih Pak Luhut…”

Pada kesempatan terpisah, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Cenderawasih (BEM FISIP Uncen) Jayapura, Papua, menyampaikan ucapan “terimakasih” kepada Luhut Binsar Pandjaitan atas pernyataannya ‘Pergi Saja Sana ke Melanesia, Jangan Tinggal di Indonesia!’

Ketua BEM Fisip Uncen, Yali Wenda mengatakan, baru kali ini seorang Menkopolhukam Republik Indonesia dengan sejujurnya dan tanpa ragu mengatakan pernyataan seperti itu.

“Kami sebagai generasi penerus bangsa Papua Barat, ras Melanesia mengucapkan banyak terima kasih kepada Pak Luhut Pandjaitan karena baru kali ini seorang Menkopolhukam Republik Indonesia yang dengan sejujurnya dan tanpa ragu mengatakan pernyataan seperti itu,”

kata Yali Wenda hari Selasa (24/02) di kampus Uncen, sebagaimana dikutip mahasiswanews.com.

Menurut Yali, dari pernyataan tersebut sangat jelas Luhut Pandjaitan telah membedakan orang Papua.

“Tetapi kami rakyat Papua sesunguhnya bangsa Papua Barat dan ras Melanesia. Maka, kami menyatakan sikap, bahwa tak lama lagi kami orang Papua akan berpisah dengan NKRI. Tinggal waktu mainnya saja,” katanya.

Sementara itu, Samuel Womsiwor, Biro Hukum Fisip Uncen Jayapura, seperti dilansir tabloidjubi mengungkapkan, pihaknya meminta kepastian jelas kepada Indonesia, apa maksud orang Papua meninggalkan Indonesia. Artinya, kapankah Pemerintah Indonesia yang berkuasa di atas tanah Papua meninggalkan negeri milik orang Melanesia di West Papua.

“Jika Indonesia menggangap kami bukan bagian dari Indonesia, maka kapan Indonesia menerima tawaran dialog yang ditawarkan Melanesian Spearhead Group (MSG) melalui wadah United Liberation Movement for West Papua (ULMWP)?”

tanya Samuel.

Rekan lainnya, Muel Alue menambahkan, bahwa ULMWP merupakan wadah persatuan dan resmi milik seluruh rakyat Papua dari Sorong sampai Merauke.

Sebelumnya, menanggapi itu, Anggota Komisi I Bidang Politik, Hukum dan HAM, DPR Papua, Ruben Magay mengatakan, Luhut Pandjaitan salah besar dan keliru memberi pernyataan itu. Pasalnya, Tanah Papua adalah tanah milik orang asli Papua yang adalah salah satu bangsa turunan ras Melanesia.

“Menkopolhukam itu siapa? Dia salah besar usir orang (asli) Papua ke luar dari Papua. Dia bilang ke Melanesia itu maksud dia kemana? Melanesia itu ya orang Papua itu sendiri dengan apa yang Tuhan sudah kasih yaitu tanah Papua dan alamnya,”

tegas Magay.

Peneliti LIPI, Cahyo Pamungkas juga menyesalkan pernyataan Luhut.

“Pesan-pesan yang disampaikan Pak Luhut menambah luka bagi orang Papua karena pesan yang disampaikan Pak Luhut pernah dikatakan almarhum Ali Murtopo, kalau mau merdeka orang Papua pergi saja ke bulan. Dan ini menambah luka bagi orang Papua. pernyataan Luhut tidak bijaksana,”

kata dia dalam wawancara dengan satuharapan.com.

Tanggapi Isu ULMWP

Pada pekan lalu, Luhut Binsar Pandjaitan menanggapi isu kemunculan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) atau Gerakan Pembebasan Papua yang bergabung dengan Melanesian Spearhead Group (MSG).

Kelompok ini mewacanakan diri ingin menyatukan negara-negara kawasan Melanesia dan memerdekakannya sebagai sebuah negara baru.

“Ya pergi saja mereka ke MSG sana, jangan tinggal di Indonesia lagi,” ujar Luhut di Kompleks Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, hari Jumat (19/2), seperti dilansir oleh kompas.com.

Luhut menegaskan, keberadaan mereka adalah ancaman. Namun, Pemerintah Indonesia tidak gentar atas keberadaan gerakan tersebut.

Gerakan semacam itu, kata Luhut, didasari oleh kesenjangan ekonomi yang tinggi. Dia pun menyoroti pemerintah setempat yang dianggap tidak mampu mengatur keuangan daerah untuk pembangunan dengan baik.

“Rp 52 triliun untuk otonomi khusus Papua itu sudah. Tapi hampir 60 persen pemimpin-pemimpin di Papua itu meninggalkan tempatnya. Bagaimana dia mau me-manage dengan baik? Manajemen mereka yang tidak baik,”

ujar Luhut.

Oleh karena itu, mantan Kepala Staf Presiden itu mendorong agar pejabat di Papua tidak terlalu sering meninggalkan daerahnya. Mereka diharapkan bisa menyalurkan dengan baik dana otonomi khusus yang sudah dialirkan oleh pemerintah pusat.

Editor : Eben E. Siadari

Penulis: Melki Pangaribuan 18:40 WIB | Jumat, 26 Februari 2016

AHRC: Australia dan AS Bantu TNI Bantai Rakyat Papua

Kamis, 24 Oktober 2013 | 16:28 WIB

HONGKONG, KOMPAS.com — Sebuah lembaga pengamat HAM yang bermarkas di Hongkong, Asian Human Rights Commision (AHRC), menyatakan, militer Indonesia menggunakan helikopter-helikopter bantuan Australia dan pesawat tempur dari Amerika Serikat (AS) untuk membantai warga Papua pada dekade1970-an.

Dalam laporan AHRC disebutkan, sejumlah petinggi militer Indonesia bertanggung jawab atas pembunuhan, pemerkosaan, dan penyiksaan lebih dari 4.000 orang penduduk Papua pada akhir 1970-an.

Termasuk dalam daftar mereka yang bertanggung jawab dan harus diadili pengadilan HAM adalah mantan Presiden Soeharto.

Laporan ini berjudul “The Neglected Genocide-Human Rights abuses against Papuans in the Central Highlands, 1977-1978” (Pembantaian yang Terabaikan-Pelanggaran HAM terhadap warga Papua di Daerah Pedalaman Tengah, 1977-1978).

Laporan tersebut mencatat kekerasan yang terjadi saat Indonesia meluncurkan beberapa operasi militer di sekitar daerah Wamena dalam rangka menyikapi usaha mencapai kemerdekaan Papua setelah pemilihan umum tahun 1977.

ARHC mengadakan kunjungan lapangan, mewawancara sejumlah saksi, dan memeriksa catatan sejarah. Badan ini telah mengumpulkan 4.416 nama yang dilaporkan dibunuh militer Indonesia dan menyatakan bahwa jumlah korban tewas akibat penyiksaan, penyakit, dan kelaparan berbuntut kekerasan tersebut bisa jadi lebih dari 10.000 orang.

Laporan ini menyatakan warga Papua di daerah pedalaman tengah menjadi korban pengeboman dan penembakan dari udara, yang terkadang dilakukan militer menggunakan pesawat yang dipasok Australia dan Amerika Serikat.

Dalam salah satu gambaran kejadian, penduduk desa di daerah Bolakme diberi tahu akan mendapat bantuan dari Australia yang dijatuhkan dari atas, tetapi justru kemudian dibom menggunakan pesawat dari Amerika.

Laporan ini juga mengandung gambaran-gambaran kejadian seperti pembakaran dan perebusan hidup-hidup para pendukung gerakan kemerdekaan. Sejumlah laporan menyebut warga Papua dipaksa melakukan kegiatan seks depan umum, dan terjadi pemotongan payudara serta anak-anak tewas dipenggal.

Basil Fernando, Direktur Kebijakan dan Program AHCR, mengatakan pada ABC bahwa tindakan-tindakan semacam itu bisa digolongkan ke dalam tindakan genosida.

Sebanyak 10 orang komandan dan petugas senior militer Indonesia disebut sebagai yang bertanggung jawab karena memerintahkan atau tidak mencegah kekerasan yang dilakukan berbagai batalyon.

Menurut Fernando, sejumlah nama yang disebutkan dalam laporan tersebut, beberapa di antaranya masih memegang jabatan dalam militer Indonesia. Laporan ini menyerukan dibentuknya pengadilan HAM ad hoc, komisi kebenaran, dan agar masyarakat internasional meminta Indonesia bertanggung jawab atas pelanggaran HAM di Papua.
Editor : Ervan Hardoko
Sumber : ABC Australia

Di Mana Akal Sehat? Freeport Dapat 121 Triliun, Negara Hanya Rp.40 Triliun

Admin Jubi Dec 20, 2015

PPI Jepang rekomendasikan Pemerintah kuasai minimal 51 persen saham Preeport – reuters.com

Jayapura, Jubi – Tahukah anda bahwa tambang emas terbesar di dunia itu adalah di Grasberg Papua – Indonesia dengan produksi 40.9 ton per tahun? Jika 1 gram emas = 300 ribu. 1 kilogram = 300 juta. 1 ton = 300 M. 40.9 ton = 12.3 Triliun per tahun. Itulah produksi sampingan PT. Freeport Indonesia (FI).

Kenapa disebut produksi sampingan PT. Freeport Indonesia, karena produksi utama Freeport adalah tembaga yang besarnya 18 juta ton. Perak 3400 ton. Kandungan emas terbukti di tambang Grasberg Papua saja (belum termasuk area tambang freeport di area lain di Papua) = 1600 Ton. Dengan harga 300 ribu/ gram (harga pasar sudah di atas 400 ribu/gram) didapatkan total = 480 triliun. 50% saja kembali ke Papua, sudah kaya raya. Jika 480 triliun itu dibagi ke 2.8 juta penduduk Papua, rata-rata per orang punya kekayaaan = Rp. 171 juta, termasuk bayi yang baru lahir.

Itu baru dari emas di 1 (baca : satu) gunung emas di Papua dari belasan gunung emas yang dimiliki. Dan hanya baru dari emas saja. Belum lainnya. Dari hasil tembaga di Grasberg saja (tidak termasuk lainnya) Freeport Indonesia menghasilkan USD. 178 milyar atau Rp. 1.600 triliun. Jika 1.600 triliun tersebut dibagi rata ke 2.8 juta penduduk Papua, masing-masing per orang akan menerima = Rp. 5.715 juta. Hampir Rp. 6 milyar per orang. Ditambah produksi perak yang terdapat di area tambang Grasberg saja, total pendapatan Freeport adalah USD 298 Milyar atau Rp. 2.682 triliun.

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny