Versi Polisi Berbeda dengan Komnas HAM

JAYAPURA – Komisi Nasional (Komnas) Hak Azasi Manusia (HAM) perwakilan Papua mengkalim versi polisi terkait kasus di Enarotali Kabupaten Paniai sangat berbeda dengan apa yang disampaikan masyarakat.

“Ada dua pengadu yang diterima Komnas Papua pasca peristiwa Enarotali, diantaranya Kepala Distrik Yuliana Youw dan Tokoh Masyarakat dan Pendeta setempat Apa yang mereka sampaikan ke Komnas berdasarkan laporan dari masyarakat setempat. Namun kronologis kejadian sangat berbeda apa yang telah disampaikan Polda Papua kepada Media,” katanya

Menurutnya, versi yang diterima Komnas HAM dari Kepala Distrik dan pendeta setempat, awalnya pukul 20.00 WIT malam warga Gunung Merah setempat memutar lagu Natal di pondok Natal.

“Tak lama kemudian datang mobil berpenumpang 4 orang lalu warga setempat menegur karena lampu mati. Mereka turun lalu melakukan pemukulan,” katanya kepada wartawan di Tugu Theys Entrop, distrik Jayapura Selatan-Kota Jayapura.

Menurutnya, peristiwa itu langsung memberitahukan kepada warga Gunung Merah. Keesokan harinya, berkisar 400-600 orang datang ke Markas Koramil dengan membawa kayu dan batu. “Tujuan hanya meminta penjelasan peristiwa malam itu. Sebab, mereka mengetahui salah satu dari dalam mobil merupakan anggota Koramil,” jelas Frits.

Namun permintaan warga setempat tidak mendapatkan jawaban dari salah satu pimpinan maupun anggota Koramil setempat hingga akhirnya eskalasi meningkat hingga terjadi pelemparan batu lalu terjadi penembakan. Akibatnya 4 warga meninggal dunia. Entah arah tembakan dari mana, jelas ada korban tembakan.
Bahkan lanjutnya, dari informasi terakhir yang diterima, salah satu anak SD meninggal Dunia pada siang hari sesaat kejadian di Markas Koramil. “Anak tersebut meninggal karena mengalami luka kritis,” katanya.

Sementara Lanjutnya, dari keterangan Polda Papua, penembakan itu muncul ketika terjadi pemalangan namun sempat dibuka setelah dilakukan negosiasi. Tak lama kemudian, tiba-tiba terjadi pembakaran Kantor Kantor KPU lalu terjadi penembakan.

“Disini terjadi perbedaan versi karena dari pengaduan ke Komnas HAM bahwa penembakan itu terjadi sebelumnya sudah dilakukan penembakan ketika mereka ada di pos untuk menuntut kejadian malam itu dan disitulah terjadi penembakan. Sementara menurut polisi ada penembakan dari gunung dan itu yang memicu 400-600 menuju pos koramil,” .

“Perbedaan ini harus jelas, apakah peristiwa ini ada sebuah peristiwa keributan diantara warga atau k warga dengan warga atau kemudian warga dengan aparat. Kemudian kenapa kantor KPU dibakar, pemalangan. Ini harus dipastikan,” kata Frits meminta.

Untuk itu, dirinya meminta agar pemerintah daerah setempat melakukan tindakan pertama. “Di sini pemda harus berperan untuk negosiasi, memberikan jaminan kepada para pihak baik kepada korban, masyarakat setempat maupun aparat keamanan agar masing-masing pihak menahan diri,” katanya.

Disisi lain, kemarin Komnas HAM telah meminta agar 5 jenazah termasuk siswa SD yang ada dapat dilakukan tindakan medis. Tindakan medis harus dilakukan dan kalau tindak medis tidak dilakukan maka sulit untuk memastikan penyebab kematiannya seperti apa.

Sambung Frits, tindakan medis sebenarnya merupakan tindakan atas nama HAM untuk bisa memastikan agar jenazah ini harus ada tindakan medis misalnya otopsi.

“Dengan otopsi atau visum maka akan dipastikan dan diketahui penyebab kematiannya. Kalau penyebab kematiannya akibat peluru bisa ditelusuri dan kalau tidak dilakukan maka polisi dan pihak lain akan mengalami kesulitan untuk mengungkap itu,” tukasnya.

Lebih lanjut disampaikan Frits, Tim-tim yang diturunkan, seperti tim mabes, polda, DPRP, Komnas HAM perwakilan Papua. “Tim-tim yang datang ini diminta untuk tidak saling memaksa tapi lebih koperatif untuk mengungkap ini secara pelan-pelan dan terukur,” ungkapnya. (loy/don)

Kamis, 11 Desember 2014 12:01, BP

Kapolda Klaim Paniai Kondusif

Jayapura – Pasca tewasnya empat warga Paniai karena diduga ditembak, Polda Papua mengklaim situasi Enarotali Ibukota Paniai Papua kondusif. Konsentrasi massa dan jenazah 4 warga kini disemayamkan di Kantor Distrik Paniai Timur. Hal itu diungkapkan Kapolda Papua Irjen Pol Yotje Mende.

“Situasi Enarotali sudah kondusif berkat peran serta pemerintah daerah, tokoh masyarakat, adat, agama yang ikut memediasi dan bersinergi terutama dalam mengimbau masyarakat untuk tenang serta tidak mudah terprovokasi oleh hasutan kelompok-kelompok tak bertanggung jawab,”

ujar Kapolda kepada wartawan, Selasa 9 Desember saat menggelar ‘Coffee Morning’ dengan wartawan di Markas Polda Papua.

Lanjutnya, sejumlah warga memang masih berkonsentrasi, tapi sudah bergeser ke Kantor Distrik Paniai tempat jenazah disemayamkan. “Konsentrasi massa sudah berpindah ke Kantor distrik,” singkatnya.

Kapolda mengungkapkan, dalam penanganan kasus Paniai pihak kepolisian sangat berhati-hati dan tetap bekerja secara profesional. “Menangani kasus di sana tetap dilakukan secara profesional. Saya akan sampaikan kepada teman-teman jika ada informasi itu,” katanya.

Soal diduga penembakan terhadap empat warga sipil pasca rusuh di Paniai tersebut, Kapolda mengemukakan, bahwa pihaknya tidak bisa menyampaikan secara dini apakah anggotanya yang melakukan penembakan, atau pihak TNI ataukah dari kelompok Kriminal bersenjata.

Sebab menurutnya, ketika warga yang berkisar dua ratus orang datang dari arah Gunung Merah ke Markas Koramil lalu merusak kantor tersebut disertai tembakan dari arah gunung.

“Dari informasi yang kami terima di lapangan, terutama dari Kapolres Paniai bahwa anggotanya tidak melakukan penembakan. Saat itu mereka melakukan penembakan peringatan ke udara, tapi tidak mengarah pada warga. Kalaupun ada kami akan proses secara hukum karena ada prosedur melakukan penembakan oleh anggota,”

tandasnya.

Namun pihaknya memastikan korban penembakan pasca kejadian itu, hanya 4 empat orang dengan identitas masing-masing, Yulian Yeimo (16 tahun pelajar), Simon Gegey (17 tahun) Alpius Gobay (17 tahun), dan Alpus Youw,” kata Kapolda Papua.

Sementara untuk luka-luka sebanyak 10 orang. Mereka diantaranya, 10 korban luka-luka diantarnaya, Jeri Gobay (13 tahun), Okatavianus Gobay (13), Noak Gobay (29), Yulian Mote (36), andarieas Dogopia (23 tahun), Yulianus Tebay (40), Naftali Neles Gobay (45), Jeremias Kayame (59), Italias Endowae (35), Albert Nadus (10 tahuh).

Meski sudah dipastikan 4 orang meningga dunia dan 10 warga luka, namun 6 aparat TNI dan Polri ikut luka-luka.”Ada tiga anggota TNI mengalami luka-luka dan tiga anggota kami yang bertugas di Polsek. Kami belum penanganan seperti apa di sana sekarang,” katanya.

Kapolda Yotje, juga menyatakan bahwa diduga ada pihak ketiga dalam peristiwa yang terjadi di Paniai hingga menewaskan warga sipil.

“ Kita belum bisa memastikan apakah penembakan itu dilakukan oleh aparat, warga atau kelompok mana? Karena belum diselidiki. Tapi diduga, ya ! Ada pihak ketiga di balik insiden ini,”

ungkapnya

Oleh karena itu, kata dia, kini tim pencari fakta dari Polda Papua telah diturunkan ke Paniai guna melakukan penyelidikan lebih lanjut. Penyelidikan akan dilakukan atas peluru yang mengenai tubuh korban sehingga akan diketahui siapa pelaku penembakan.

Namun pihaknya akan menindak tegas oknum aparat kepolisian, jika dalam penyelidikan nanti, terbukti bersalah dalam melakukan penembakan terhadap para korban.

“ Ya, saya akan tindak. Jika nanti hasil penyelidikan penyebutkan mereka (personil Polsek Kota Paniai Timur) bersalah. Tapi yang jelas, penembakan itu sudah sesuai protap. Karena kita tahu warga lebih dulu melakukan penyerangan Koramil dan Polsek,”

ungkap Kapolda Yotje.

Mengenai peristiwa yang sebenarnya, ia menjelaskan, permasalahan ini diawali perselisihan paham antara aparat dengan masyarakat. “Waktu itu ada warga menggunakan kendaraan di jalan raya namun tidak menyalakan lampu kemudian ditegur terjadi bentrok fisik. Tak terima, ia membawa massa sehingga tidak puas dengan kejadian akhirnya terjadi sedikit perkelahian. Kejadian sempat dilerai,” jelasnya.

Sejak suasana mulai kondusif, tiba-tiba terjadi pemalangan dan anggota di lapangan sempat melakukan negosiasi dan akhirnya pemalangan berhasil dibuka. Tidak lama kemudian terjadi penembakan dari arah gunung dan disusul warga dari gunung merah menyerang pos koramil.

“Anggota di sana bertahan lalu mengeluarkan tembakan ke udara agar massa tidak melakukan penyerangan atau pengrusakan koramil dan Polsek yang letaknya kebutulan berdekatan, ada 4 unit mobil rusak dan 6 anggota TNI dan polri mengalami luka pasca kejadian itu,” imbuhnya. (loy/don)

Rabu, 10 Desember 2014 11:23, BP

Indonesian Army Kills Five Civilians as West Papua Independence Campaign Strengthens

By Scott Mitchell

Indonesian troops opened fire in West Papua and killed five civilians during disturbances on Monday, as Indonesia faces growing pressure over its occupation of the region.

The exact events that led to the deaths are difficult to trace, especially given media censorship and inconsistent reporting inside West Papua. It has been established that the shootings occurred in Paniai, where locals gathered to demonstrate at Karel Gobay Square. At least five people have been reported dead, with at least 12 wounded.

The cause of the protests is unclear. Local media quoted community leaders claiming that the unrest was provoked by the beating of a 12-year-old boy on Sunday night, while military spokesperson Rikas Hidayatullah claimed it was a political demonstration against the electoral commission.

The crowd “ran amok,” according to Hidayatullah, who added that the incident happened after the “police asked the military to help them.”

Activists for West Papuan independence began circulating a number of horrific pictures, that they claimed were taken at the scene of the shootings, on blogs and Twitter.

Indonesia occupied West Papua in 1963, following a colonial Dutch government. Ever since, the national Morning Star flag of West Papua has been banned and independence supporters have been suppressed. An estimated 100,000 West Papuans have died as a result of the occupation.

West Papua is a valuable strategic asset for Indonesia. It is home to the world’s largest known deposit of gold at Grasberg Mine, and is also a major palm oil producer.

Indonesia argues it secured the province fairly after a vacuum of internal leadership left the country completely ungoverned with no central authority. The UN did grant Indonesia control of West Papua in 1963, on the condition that a plebiscite on self-determination was held within six years.

Journalists face jail for reporting on Indonesia’s separatist rebels. Read more here.

In 1969, Indonesia organized a vote that surveyed 1,026 handpicked West Papuans. They voted to join Indonesia, and the other 800,000 West Papuans — who were considered “too primitive” and not consulted — were forced to go along with it.

News broke of Monday’s tragic shooting in Paniai just as West Papuan independence activist organizations announced they had unified after negotiations in Vanuatu. The new body, called the United Liberation Movement for West Papua, has been set up with the ambition of being recognized by the Melanesian Spearhead Group, an intergovernmental organization that advances the interests of the Melanesian peoples of the Pacific.

Topics:asia & pacific, war & conflict, indonesia, west papua, papua, independence, tni, melanesia, south east asia, oceania, protest, human rights, colonialism

Wakil Dubes Inggeris dan MRP Bahas Kasus HAM di Papua

Wakil Duta Besar dan Konsul Jenderal Kedutaan Besar Inggris Rebecca Razavi menerima cinderamata dari Wakil Ketua II MRP Enggel Bertha Kotorok, ketika audiensi di Kantor MRP di Kantor MRP, Kota Jayapura, Papua, Rabu (3/12).JAYAPURA — Wakil Dubes Inggris dan Konsul Jenderal Kedubes Inggris Rebecca Razavi didampingi Feye Belnis selaku penterjemah bersama pimpinan dan anggota MRP, masing-masing Wakil Ketua I MRP Pdt. Hofni Simbiak, S.Th, Wakil Ketua II Enggel Bertha Kotorok, Anggota Pokja Adat Joram Wambrauw, SH., dan anggota Pokja Perempuan Debora Mote, S.Sos, membahas kasus pelanggaran HAM di Papua, khususnya terhadap ibu dan anak asli Papua di wilayah Pegunungan Tengah. Pertemuan itu berlangsung di Kantor MRP, Kota Jayapura, Provinsi Papua, Rabu (3/12).

Terkait kasus pelanggaran HAM di Papua, cetus Hofni Simbiak, pihaknya menyampaikan kasus pelanggaran HAM di Papua, khususnya pelanggaran terhadap ibu dan anak asli Papua yang terjadi di Pegunungan Tengah, diantaranya, kasus perang suku disejumlah wilayah di Papua, yang telah mengalami pergeseran nilai dari nilai adat ke nilai komersial atau mengkomersialkan Orang Asli Papua (OAP) mengatasnamakan adat. Padahal sebagaimana aturan hukum, tak ada seorangpun berhak menghilangkan nyawa orang lain.

Pasalnya, perang suku bisa pecah kapan dan dimanapun di wilayah Papua, hanya untuk mendapatkan pembayaran kepala, yang jumlahnya mencapai puluhan miliar.

“Kita harapkan keadaan seperti ini tak boleh terjadi lagi, yakni menyelesaikan kasus perang suku dengan ganti rugi uang,” tandasnya.

Hofni Simbiak menjelaskan, pihak Kedubes Inggris juga ingin melihat pembangunan hukum berhubungan dengan keamanan, terutama situasi yang terjadi akhir-akhir ini di Tanah Papua.

Dikatakan Hofni Simbiak, ada kejadian di Papua yang sebenarnya paradox. Di satu sisi disampaikan situasi keamanan di Papua aman dan terkendali, sebagaimana seruan para tokoh agama Papua tanah damai. Tapi di sisi lain terjadi gejolak seperti aksi penembakan dan pembunuhan yang dilakukan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Semua aksi-aksi yang terjadi modus operandinya sama, karena tak pernah diketahui siapa pelaku.

Kesulitannya tak ada investigasi yang jelas menyangkut aksi penembakan dan pembunuhan tersebut,” katanya.

Hofni menerangkan, pihaknya bekerjasama dengan Komnas Perempuan tengah mengumpulkan dokumen kasus-kasus pelanggaran HAM terhadap ibu dan anak asli Papua, khususnya di wilayah Pegunungan Tengah Papua sejak 1962 hingga 2010 bekerjasama dengan Komnas Perempuan.

Diutarakan Hofni, pihaknya tengah mempersiapkan Buku berjudul Anyaman Noken Kehidupan, direncanakan dilaunching 15 Desember mendatang di Kampus Universitas Indonesia Jakarta, diinisiasi ibu-ibu dari wilayah Pegunungan Tengah Papua. (Mdc/don/l03/par)

Sabtu, 06 Desember 2014 12:34, BP

Kelompok Leka Talenggen Diduga Pelaku Penembakan Anggota Brimob

JAYAPURA Wakapolda Papua Brigjen Pol. Papualus Waterpauw meninjau lokasi penembakan aggota Brimob di Ilaga.[PAPOS]- Pelaku Penembakan terhadap anggota Brimob, Aipda Thomson Siahaan dan Bripda Everson di iIIaga Puncak, Rabu pagi (3/12) diduga merupakan kelompok Leka Tenggelan,(LT). Dimana, awalnya kelompok LK tersebut bergabung dengan masyarakat sambil berpura-pura membantu menaikkan kursi-kursi yang akan digunakan dalam kegiatan Perayaan Natal di gereja GKII itu.

Kabidhumas Polda Papua, Kombes Pol. Sulistyo Pudjo Hartono kepada wartawan membeberkan , sebelum ditembak ke dua anggota Brimob tersebut dipukul dengan senjata tajam dan akhirnya ditembak.

Dari otopsi, Bripda Everson ditemukan luka dihidung dan luka bacok dan luka bekas goresan senjata tajam dibagian tangan bekas goresan senjata tajam, sedangkan Aipda Thomson Siahaan bagian kaki kanan dipotong dan ditembak dibagian pelipis,” ungkapnya, Kamis (4/12).

Pudjo menjelaskan, Saat ini Polisi sedang memintai keterangan terhadap masyarakat disekitar itu guna mengetahui cirri dan indentitas pelaku penembakan tersebut sebab tak mungkin masyarakat sekitar tak tahu siapa-siapa yang ikut membantu kegiatan gereja GKII tersebut. Tentunya, satu sama lainnya mengetahui siapa dan bagaimana si pelaku sehingga akhirnya ditemukan pelakunya, namun dugaan pelakunya adalah kelompok Leka Telenggan,(LT).

Pudjo menyakini bahwa dua anggota Brimob itu awalnya siaga namun karena ada permintaan bantuan dari gereja GKII tersebut, dua anggota Brimob itu meninggalkan senjatanya.

” Tak mungkin dua anggota Brimob itu tak siaga, bila memang ada permintaan dari gereja, mereka pasti siaga kalau tahu akan diserangkan kelompok LT tersebut. Dua Brimob itu, diperkirakan sudah lebih dulu diintip. Hal itu berdasarkan dari gerakan dari Gereja itu,”

ujarnya.

Kelompok LT, kata Pudjo sebelumnya telah ditolak oleh masyarakat iIIaga Kabupaten Puncak. Dimana, tiga minggu lalu, masyarakat iIIaga telah menandatangani kesepakatan iIIaga yang isinya adalah menolak semua kegiatan kelompok kriminal bersenjata,(KKB)di iIIaga dan sekitarnya lalu mendenda sebanyak 2 Milliar kepada KKB sebagai pelaku Penembakan terhadap masyarakat dan aparat, dimana denda itu akan diberlakukan kepada para keluarga pelaku bahkan dikenaka hokum adat dan hokum pidana.

“ Diperkirakan kelompok LT beranggotakan tiga orang yang melakukan aksi penembakan terhadap dua anggota Brimob tersebut. Pasca kejadian, status di iIIaga ditingkat menjadi siaga satu,”

tegasnya.

Honai Dibakar

Soal 20 honai dibakar Brimob, Pudjo membeberkan memang setelah kejadian itu, Brimob bertanya kepada warga sekitar namun tidak satupun yang mengenal pelaku, karena sudah terlalu emosi akhirya beberapa tenda honai dibakar dan beberapa ditarik lalu melepaskan. Kalau anggota berniat jahat, bukan honai saja yang menjadi sasaran, orangpun ikut namun tak dilakukannya sebab anggota saat itu sudah menahan kekesalan menimpa rekannya. Saat ini, 10 orang dimintai keterangan disekitar kejadian itu sebab sebelumnya mereka berada di lokasi itu,” katanya.

Pudjo menjelaskan dari kejadian itu, 1 regu Brimob diberangkat menuju iIIaga Kabupaten Puncak namun itu akan berkembang sesuai dengan perkembangan aman.

Sementara itu, Ketua Sinode GKI di Tanah Papua, Pdt. Alberth Yoku menyatakan kami mengapresiasikan apa yang dikerjakan dua anggota Brimob itu sebab dia apa yang dikerjakan itu berarti telah menghormati, Tuhan. Namun kami menyayangkan kejadian itu karena itu, apa yang dilakukan saudara-saudara yang melakukan tindakan itu, suatu saat Tuhan akan menghukum mereka sebab tak boleh melakukan seperti itu.

Kita manusia harus tahu memilah, ini orang mengerjakan apa, kalau orang sedang bekerja untuk Tuhan, sejahat apapun kita jangan kita melakukan hal-hal tercela,” katanya.

Soal langkah yang diambil gereja GKI, Alberth Yoku menjelaskan bahwa kita tetap mengiriman surat teguran kepada gereja GKII iIIaga apalagi menganggu persiapan dalam ibadah. Jadi, GKI ditanah Papua berduka bersama dengan Polda terhadap dua warga jemaatnya tersebut. Dan diserukan kepada saudara-saudara di pegunungan agar menghentikan kebiasaan membunuh sebab membunuh bukan hak kita melainkan haknya Tuhan. “Mau mati atau hidup itu sudah menjadi hak Tuhan dan bukan hak manusia,” tandasnya. [tom]

Ditulis oleh Tom/Papos, Jum’at, 05 Desember 2014 00:20

Kapolda Papua Curhat Ke Presiden

JAKARTA [PAPOS] – Kapolda Papua Irjen Yotje Mende saat memaparkan kondisi keamanan di Papua kepada presiden Jokowi dalam pertemuan kapolda seluruh Indonesia dengan presiden di Akademi Kepolisian di Semarang, Selasa 02-12-2014a polda Papua, Irjen Yotje Mende curhat ke Presiden Jokowi soal kondisi keamanan di Papua dimana masih ada 6 kelompok Kelompok Kriminal Bersenjata dan ada 5 Kelompok separatis yang menjadi target pihak kepolisian.

Masih ada kelompok separatis militer yang beroperasi di Papua Tengah. Sedang kelompok kriminal bersenjata ada 6 kelompok besar yang menjadi sasaran target operasi‎ kami,” kata Kapolda Papua kepada Presiden Joko Widodo ketika pertemuan para Kapolda se-Indonesia dengan Presiden Jokowi yang diberikan kesempatan untuk mengutarakan uneg-unegnya dalam pertemuan di Akademi Kepolisian (Akpol) di Semarang, Jawa Tengah, Selasa (02/12) kemarin.

Kelompok-kelompok ini adalah Goliath Tabuni dengan kekuatan 20 orang dan 11 pucuk senjata di Puncak Jaya. Puro Wenda dengan kekuatan 50 orang dan 24 pucuk senjata di Puncak Jaya dan Lani Jaya. Mathias Wenda beranggotakan 80 orang dengan 14 senjata di Jayapura dan Wamena. Kelompok Legatap Telegan dengan 30 orang anggota dan 20 senjata di Puncak Jaya. Kelompok Kalikopi Kualik beranggotakan 50 orang dengan 11 senjata di Timika dan sering mengganggu Freeport. Lalu ada kelompok Leogami Yogi dengan kekuatan 150 orang dan 24 senjata di Nabire dan Timika.

Sedangkan untuk separatis politik ada 5 kelompok,” katanya.

Menurut Kapolda Yotje. pihaknya telah menerapkan berbagai strategi untuk menangkal berbagai kejahatan tersebut. Langkah yang diambil termasuk melakukan pelayanan dan kebijakan yang pro rakyat, adil dan transparan.

“Kita juga lakukan kegiatan intelijen, penegakan hukum yang profesional dan proporsional. Selain itu juga penguatan deteksi dini, intelijen dan memaksimalkan Bimas, Babinkamtibmas,”

katanya.

Yotje mengatakan, masalah menonjol di kawasan tersebut adalah konflik vertikal, konflik horizontal dan juga persoalan hukum lainnya.

Kurangnya personel polisi di Papua menjadi suatu kendala dalam penengakan hukum di wilayah Papua, untuk itu Kapolda Yotje Mende sekaligus meminta agar Polda Papua Barat dibentuk mengingat luasnya wilayah Papua menjadi suatu wilayah Polda.

“Sebagaimana diketahui Polda Papua sangat luas, ada dua provinsi yaitu Papua dan Papua Barat. Dengan luas wilayah 443 ribu kilometer persegi. Penduduk 2,7 jiwa, 31 Polres, 42 Kabupaten Kota, 176 Polsek. Ada 14.630 personel ini masih kurang 45 persen dari daftar standar personel,”

kata Yotje Mende.

Yotje berharap agar Polda Papua Barat bisa segera dibentuk. Selain itu, dia mengusulkan membentuk Direktorat Polisi Udara dan Direktorat Tipikor di Papua.

“Ini penting karena ketika kami bergerak harus menggunakan pesawat, kemudian peningkatan sarana/prasarana Kompi Brimob,” katanya.

Sebelumnya, Kapolri Jenderal Sutarman menyatakan Presiden Jokowi ingin menerima masukan dari wilayah masing-masing. Hal ini penting untuk pengambilan keputusan strategis Presiden.

“Para Kapolda dipersilakan menyampaikan singkat, maksimal 2-3 menit dan itu menggambarkan persoalan di daerahnya masing-masing. Tidak perlu basa-basi bahasanya, tapi persoalan langsung, sehingga persoalan bisa langsung disampaikan kepada Presiden dan Presiden akan membuat arahan. Nanti juga diberikan waktu untuk bertanya,”

katanya.

Acara ini digelar di Gedung Graha Cendika Akademi Kepolisian Semarang. Hadir seluruh kapolda dan kapolres se-Indonesia. Hadir juga Menko Polhukam Tedjo Edhi, Menhan Ryamizard Ryacudu, dan MenPAN RB Yuddy Chrisnandi. Setelah pemaparan Kapolda Papua acara berlangsung tertutup. [dtk/agi]

Ditulis oleh Dtk/Agi/Papos, Rabu, 03 Desember 2014 00:52

FPM-PKPLP Jawa Bali Desak Kapolri Ungkap Kasus-Kasus yang Menimpa Orang Papua

Yogyakarta, Jubi – Front Pelajar dan Mahasiswa Peduli Kemanusian Papua di Luar Papua, (FPM-PKPLP) Jawa – Bali menilai kondisi orang Papua semakin drastis menuju kepunahan. Hal itu disebabkan oleh pembunuhan, penangkapan, secara sistematis oleh aparat Indonesia terhadap pejuang kemanusian Papua di Papua maupun luar Papua. Maka, pihak berwenang harus menjalankan aturan dengan benar dan mengadili pelaku

Hal itu disampaikan dalam jumpa pers yang diselenggarakan oleh FPM-PKPLP di Asrama Papua, Kamasan I, Jln. Kusuma Negara No 119, Yogyakarta, Kamis, 27/11.

Aris Yeimo, FPM-PKPLP Koordinator Wilayah Yogyakarta dalam keterangan persnya menyampaikan, FPM-PKPLP telah mencatat paling kurang tujuh kasus yang menimpa orang Papua di Papua maupun di luar Papua tetapi kasus-kasus ini tidak pernah ditindaklanjut oleh pihak berwajib.

Pembunuhan Jesica Elisabet Isir (2010) dan Paulus Petege (2014) di wilayah hukum Polresta Yogyakarta itu sampai sekarang belum ada proses penyelidikan,” ujarnya.

Hal serupa diungkapkan Deby Jamer, Sekretaris FPM-PKPLP wilayah Yogyakarta. Menurutnya penegak hukum melenceng dari aturan yang sudah dibuat.

“Tugas pokok Kepolisan Republik Indonesia sebagai pengayom dan pelindung masyarakat telah dijamin pada Pasal 13, Undang Undang Nomor 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sebagai institusi yang berwenang menjamin, melindungi, dan menghargai hak konstitusi warga Negara maka kepolisian secara institusi telah mengeluarkan Peraturan Kepolisian Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2009 Tentang Implementasi Standar dan Pokok-Pokok HAM dalam tugas-tugas kepolisian, namun dalam pelaksanaannya itu tidak berjalan,”

ungkapnya.

FPM-PKPLP wilayah Yogyakarta mencatat paling sedikit tujuh kasus yang belum diungkapkan pelakunya oleh kepolisian RI; Selain kasus pembunuhan Jesica Elisabet Isir (2010) dan Paulus Petege (2014) di wilayah hukum polresta Yogyakarta, pengeroyokan dan pembunuhan Petius Tabuni (2014) di wilayah hukum Polda Sulawesi Utara, kasus pembunuhan Carles Enumbi (2014) diwilayah hukum Polda Sulawesi Selatan, kasus penculikan dan pembunuhan terhadap ketua KNPB Wilayah Sorong (2014) di wilayah hukum Polres Sorong, Papua Barat, pembunuhan terhadap ketua Umum KNPB, Musa Alias Mako Tabuni (2012) oleh Detasemen 88 Polda Papua di wilayah hukum Polresta Jayapura, Papua, pembunuhan terhadap Ketua KNPB wilayah Baliem, Hubertus Mabel (2013) oleh Anggota Polres Jayawijaya di wilayah hukum Polres Jayawijaya, dan penangkapan serta penahanan 20 (orang) Aktifis KNPB di Nabire, Dogiyai.

Dengan kondisi itu, FPM-PKPLP menyampaikan tiga butir tuntutan ; pertama, Mengungkap pelaku tindak pidana pembunuhan sebagaimana diatur pada pasal 338 KUHP dan Pelanggaran HAM agar selanjutnya diadili untuk menjawab rasa keadilan dalam masyarakat dan kepastian hukum; kedua, memerintahkan pembebasan tanpa syarat terhadap 26 (orang) aktivis KNPB yang sedang ditahan di Polres Nabire demi melindungi Hak Konstitusi dalam Negara hukum Indonesia dan ketiga, membuat Surat Edaran Kapolri Tentang Tidak Menyalah Artikan Perihal Pemberitahuan dengan Perizinan sebagaimana dalam prinsip-prinsip demokrasi yang dijamin dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kebebasan menyampaikan pendapat dimuka umum demi terwujudnya amanah Peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi standar dan prinsip HAM dalam Tugas-tugas kepolisian diseluruh wilayah hukum Polda Papua. (Mecky)

Penulis : Mecky Wetipo on November 28, 2014 at 03:27:36 WP, TJ

FKP Freeport Minta Klarifikasi Moffet New – Era Agreement

Timika, Jubi – Forum Komunitas Peduli PT Freeport Indonesia (FKP-PTFI) meminta klarifikasi pimpinan Freeport, James Moffet tentang New – Era Agreement, demi menghindari terjadinya benturan dengan pekerja yang selama ini bekerja.

“Keputusan kami bahwa, pak Silas akan bicara lagi dengan pak Moffet, pertemukan kami dari forum ini untuk menindak-lanjuti surat (New-Era Agreement) yang dari grupnya SPSI. Itu kita lakukan sehingga ke depan kita tidak mau ada benturan-benturan fisik akibat masalah yang kemarin,” kata Ketua FKP PTFI, Arie Mandessy, di kediamannya, di Kampung Timika Jaya SP2, Selasa (25/11).

Menurut Arie, pihaknya menginginkan stetament atau perjanjian yang dikeluarkan James R Moffet dan ketiga ketua PUK SPSI betul-betul bijak dan bertanggungjawab. Hal ini dimaksud agar keputusan yang keluar tidak merugikan salah satu pihak dan mengandung dampak seperti intimidasi maupun sejenisnya antar pekerja yang bekerja dan tidak bekerja.
“Kami mau statement itu betul-betul bijak dan bertanggungjawab, karena kami kuatir dampaknya besok lusa ini pasti akan ada. Sehingga kami tidak mau sampai mungkin terjadi intimidasi atau hal-hal yang diluar aturan hukum. Kami tidak mau dampaknya sampai ke Timika sini,” terang Arie.

Sementara itu, perjanjian New-Era atau New-Era Agreement pada 20 November kemarin, yang disepakati oleh tiga ketua PUK SPSI bersama CEO Freeport MC Moran, James R Moffet telah ditolak oleh masyarakat dan karyawan yang mengatasnamakan tujuh suku beserta sejumlah karyawan non masyarakat tujuh suku lainnya. Kelompok ini menolak dan tidak menganggap sah serta menantang Moffet melihat Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dan Perjanjian Hubungan Industrial (PHI) yang menjadi aturan dalam kerjasama industrial antara pekerja dan manajemen PT Freeport Indonesia.

Kegiatan orasi secara damai yang dilakukan karyawan masyarakat tujuh suku beserta karyawan lainnya didepan main office Tembagapura mile 68, diikuti sekitar 250 massa baik masyarakat Papua maupun non Papua. Setelah berkumpul di halaman main office, tim dari masyarakat tujuh suku yang terdiri dari Yonpis Tabuni, Demi Magai, Albert Janampa, Ham Korwa, Fredrik Magai dan Martina Natkime.

“Penolakan Surat Kesepakatan tersebut karena menurut kami tidak sesuai dengan aturan dan komitmen bersama yang telah disepakati dalam PKB-PHI PTFI 2013-2015 dan Interoffice Memo Manajemen PTFI yang dikeluarkan pada tanggal 13 November 2014.” kata Yonpis Tabuni, kordinator karyawan masyarakat tujuh suku. (Eveerrth Joumilena)

Penulis : Eveert Joumilena on November 27, 2014 at 12:16:53 WP, TJ

45 Marga di Wilayah Adat Meepago Musnah Akibat HIV/AIDS

Pastor Nato Gobay (baju putih) saat mendam-pingi Gubernur ketika menyak-sikan ceremonial pemusnahan Miras.JAYAPURA—Memprihatinkan, 45 marga di enam Kabupaten wilayah adat Meepago sudah habis alias musnah akibat terjangkit virus Hiv/Aids, yang sampai saat ini tidak ada obatnya.

Hal itu diungkapkan Pastor Nato Gobay Pr, saat berpidato di hadapan Gubernur Papua Lukas Enembe, Forkompimda Provinsi dan masyarakat wilayah adat Meepago pada acara Musyawarah Besar Pencegahan Hiv/Aids dan Penanggulangan Minuman Keras (Miras) di wilayah Adat Meepago Provinsi Papua, di Gedung Gereja Katolik Malompo – Distrik Siriniwi – Kabupaten Nabire. Senin (17/11).

Sudah habis, dengan demikian mungkin yang sisa – sisa ini bisa dihabiskan oleh penyakit ini. Kami prihatin dengan keadaan ini,” keluhnya.

Menurutnya, gereja sebagai perpanjangan tangan dari Tuhan sangat menyadari hal itu dan mencoba memberikan sesuatu kepada umat agar tidak terganggu karena penyakit Hiv/Aids ini. Seperti diketahui Mubes dengan Thema Dengan Mubes berusaha menciptakan kesadaran atau jati diri yang sejati bermartabat di wilayah adat Meepago Provinsi Papua, serta sub thema Melalui Mubes ini berusaha mencegah mengurangi penyakit Hiv /Aids dan Miras terhadap Ancaman Kepunahan Manusia Papua.

Mubes digelar oleh 6 kabupaten di wilayah adat Meepago diantaranya Nabire, Dogiyai, Deiyai, Paniai. Intan Jaya dan Mimika, berlangsung selama empat hari. Diharapkan dengan Mubes ini ada perubahan yang terjadi di Papua, yang hasilnya akan diserahkan kepada Pemprov Papua, sebagai bahan masukan.

Dikatakan Pastor Nato Gobay, penyakit Hiv/Aids mulai menghabiskan manusia di seluruh dunia mulai tahun 1987. Kemudian 1998 penyakit ini tiba di Nabire.

“Penyakit ini datang darimana kita tidak tau. Tetapi dikatakan datang dari Afrika Selatan. Pada akhirnya penyakit Aids jadi bagian integral dari kita. Ia juga menjadi musuh bagi kita, sekaligus jadi musuh kehidupan kita,”

katanya.

Bagaimana tidak sekitar 2000 – 3000 manusia Papua sudah dirampas hak hidupnya akibat penyakit ini.

“Kita tidak pernah pikir penyakit ini sudah datang di dunia ini dan sungguh – sungguh menghabisi manusia di daerah ini. Belum sempat kita antisipasi penyakit ini. Datang lagi yang lebih berbahaya virus ebola yang lebih jahat dan ganas. Bagaimana kalau penyakit ini bersatu dengan penyakit Aids yang sudah lama disini. Orang tua kita, pemuda dan pemudi kita sudah habis. Siapa yang harus bertanggung jawab terhadap penyakit ini. Apakah pemerintah, gereja para dokter dan para medis. Saya mau katakan hal ini menjadi tugas dan tanggung jawab dari seluruh masyarakat di Tanah Papua,”

katanya panjang lebar.

Pastor Nato mengingatkan, penyakit Aids menjadi musuh bersama mulai dari pejabat tinggi sampai rendah dan harus merasa bertanggung jawab terhadap hidup seluruh manusia di tanah ini. Hal ini demi anak cucu dan masa depan kita.

”Kalau bukan kita siapa lagi. Mengurangi dan mencegah sudah mempunyai nilai tinggi. Kalau dibiarkan maka manusia tidak berdosa di daerah ini tinggal cerita dan akan punah. Cepat atau lambat manusia akan punah,”

tuturnya. (ds/don/l03)

Selasa, 18 November 2014 03:00, BinPa

Kematian Theys Eluay: Megawati Buat Masalah, Jokowi Harus Selesaikan

Yogyakarta, MAJALAH SELANGKAH — Tanggal 10 November, Indonesia peringati sebagai hari pahlawan. Orang Papua sejak 10 November 2001 peringati sebagai hari pahlawan juga. Tokoh sentral bangsa Papua, Dortheys Hiyo Eluay dibunuh militer Indonesia.

10 November 2014, di Yogyakarta, mahasiswa Papua dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) peringati 13 tahun kematian Theys. AMP Yogyakarta bikin nonton bersama dan diskusi. Melawan Lupa, itu tema yang diangkat.

Hari Minggu (10/11/14), Victor Mambor, pemimpin redaksi Jubi merilis artikel mengenai kematian Theys. Judulnya Kami Tak Pernah Lupa Pembunuhan 13 Tahun Lalu.

Sabtu, 10 November 2001, pukul 10.30 Waktu Papua (WP), Komandan Satgas Tribuana (Kopassus) Kol. Inf. Hartomo datang menjemput Theys Hiyo Eluay, pemimpin besar Papua, di rumahnya. Berselang setengah jam kemudian, Theys berangkat dari rumah menuju Hotel Matoa untuk mengikuti rapat Presidium Dewan Papua (PDP).

Namun pemimpin besar Papua ini tak pernah pulang ke rumahnya di Sentani. Esok harinya, 11 November 2001, Theys Hiyo Eluay ditemukan sudah tak bernyawa dalam mobilnya di KM 9, Koya, Muara Tami, Jayapura.

Tubuh Theys dalam posisi duduk terlentang dan kedua kakinya memanjang ke depan. Di bagian pusat perutnya ada bekas goresan merah lembab. Tak ada yang menyangkal, Theys meninggal karena dibunuh.

Mambor di tulisannya menjelaskan para pembunuh Theys hanya dikenai hukuman yang paling berat 3 setengah tahun. Bahkan para pembunuh naik pangkat.

Mambor mengutip penelitian Made Supriatna, seorang peneliti dan wartawan lepas menulis di situs indoprogress.com. Hartomo (Akmil 1986) yang saat pembunuhan terjadi berpangkat Letkol, sekarang sudah menyandang pangkat brigadir jenderal dan menjabat sebagai Komandan Pusat Intel Angkatan Darat (Danpusintelad).

Terdakwa lain, Mayor TNI Donny Hutabarat (Akmil 1990), sempat menjabat sebagai Komandan Kodim 0201/BS di Medan, dan sekarang menjabat sebagai Waasintel Kasdam Kodam I/Bukit Barisan.

Sementara, Kapten Inf. Agus Supriyanto (Akmil 1991), yang juga terlibat dalam pembunuhan itu, sempat menduduki jabatan sebagai komandan Batalion 303/Kostrad.

Perwira terakhir yang terlibat dalam pembunuhan Theys adalah Lettu Inf. Rionardo (Akmil 1994). Sekarang dia diketahui menjabat sebagai Paban II Srenad di Mabes TNI-AD.

Sempat mendengarkan Emanuel Gobay bicara mengenai kematian Theys. Gobay, seorang sarjana hukum. Ia saat ini bantu-bantu di Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta. Ia menilai, negara belum memberikan rasa adil pada hampir semua kasus HAM di Papua. Lebih-lebih soal kematian Theys Eluay.

“Kita semakin tidak percaya akan hukum yang ada di Indonesia.Tapi kita tidak bisa tinggal diam.”

Dalam hati kecil, tampak sekali, Gobay telah pesimis negara yang namanya Indonesia ini akan mengusut tuntas kasus pembunuhan seorang Theys yang menurutnya pantas disebut bapak Demokrasi dan HAM Indonesia yang dilupakan ini.

“Theys beraksi sebelum kran-kran jaminan demokrasi berupa hukum dan undang-undang diluncurkan. Ia beraksi jauh sebelum Munir. Tapi Indonesia lupakan dia. Mungkin karena ia juga menjadi ikon pemersatu dan perjuangan kemerdekaan Papua, dianggap separatis dan dilupakan.”

Mengenai pengadilan militer yang menghukum beberapa eksekutor lapangan, Gobay kecewa. “Mereka (para eksekutor yang diadili) pelaksana lapangan. Ada otak yang mengatur. Adili di pengadilan sipil, para perancang dan otak di balik kematian Theys.”

“Atau jangan-jangan negara Indonesia adalah otak di balik kematian Theys,” tegas Gobay.

Theys tidak sendiri saat kematian. Sopir pribadinya, Aristoteles Masoka, juga hilang sejak kejadian itu. Sekarang 13 tahun.

Victor Mambor dalam tulisan yang sama menulis, ada kelompok masyarakat sipil yang melakukan investigasi kasus pembunuhan almarhum Theys Eluay ini berhasil menemukan saksi yang kemudian mengaku membawa Aristoteles Masoka ke Markas Satgas Tribuana Kopassus di Hanurata-Hamadi.

Saksi ini mengaku berada di sekitar Perumahan Pemda I Entrop-Jayapura, saat aksi penculikan terhadap Theys Hiyo Eluay terjadi. Menurut saksi ini, mereka melihat sebuah mobil kijang berwarna gelap menghadang sebuah mobil kijang yang juga berwarna gelap yang kemudian diketahui milik Theys Eluay.

Dari mobil yang menghadang, dua orang turun lalu memukul Aristoteles kemudian mencoba menariknya keluar pintu. Dua orang ini berhasil merebut mobil yang ditumpangi oleh Theys Eluay. Mobil ini kemudian melaju dan berhenti sekitar 50 meter dari tempat kejadian. Tubuh Aristoteles terlempar keluar mobil.

Aristoteles berlari dan minta tolong kepada saksi. Saksi kemudian membawa Aritoteles ke Markas Satgas Tribuana Kopassus di Hanurata-Hamadi atas permintaan Aristoteles. Aristoteles diturunkan sekitar lima meter dari markas Kopassus ini. Inilah informasi terakhir yang diketahui tentang Aristoteles Masoka.

Elias Petege, aktivis HAM dari Papua berkesempatan kami wawancarai. Petege menjelaskan, masa kepemimpinan Jokowi yang datang dari payung partai PDI Perjuangan lebih pantas untuk dituntut mengusut tuntas kasus ini.

“Rakyat Papua tak lupakan kasus ini. Terindikasi Megawati di bawah payung PDI Perjuangan menghabisi nyawa Theys dan Aristoteles Masoka waktu itu. Dan kini Jokowi-JK berkuasa saat ini dibawah payung PDI. Karena itu Jokowi harus selesaikan masalah warisan PDI Perjuangan,” tegas Petege melalui seluler.

Menurut Petege, kasus ini dilakukan secara terencana dan sistematis oleh negara. “Karena itu, Komnas HAM harus berani membuka kembali hasil tim pencari fakta dan menindaklanjutinya untuk mengungkap tuntas kasus ini,” jelasnya.

Menurut Petege, ada dua hal yang belum terungkap dari 13 tahun umur kasus ini.

Pertama, siapa dalang pembunuh Theys, karena 7 orang yang diadili di pengadilan militer adalah pelaku lapangan, bukan pelaku utama atau otak/pemikirnya. Ungkap siapa aktor/pelaku utama. Adili di pengadilan sipil, bukan militer.

Kedua, ungkap dimana keberadaan Aristoteles Masoka, sopir pribadi Theys yang hilang hingga saat ini tanpa jejak. Selidiki, temukan dan adili di pengadilan sipil, siapa saja yang menghilangkan saksi kunci peristiwa pelanggaran HAM ini.

“Megawati buat masalah. Jokowi harus berani menyelesaikannya saat ini,”  tegas Petege. (Topilus B. Tebai/MS)

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny