Polisi Imbau Masyarakat tak Termakan Isu Kekerasan Mahasiswa Papua

Selasa, 19 Juli 2016, 09:48 WIB, Rep: Rizma Riyandi/ Red: Bilal Ramadhan

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN — Usai aksi demo dari sekelompok mahasiswa asal Papua di Asrama Papua Kamasan Yogyakarta pada 14 dan 15 Juli, muncul berbagai pemberitaan yang tidak sesuai dengan fakta di lapangan.

Kepala Bidang Humas Polda DIY, AKBP Anny Pudjiastuti menuturkan, ada pihak-pihak yang sengaja menebar isu dengan tujuan mempekeruh keadaan atau membiaskan alasan mengapa aksi tersebut tidak mendapat izin.

“Padahal aksi tersebut sudah sepatutnya dibubarkan guna menghindari konflik dengan masyarakat dan mencegah munculnya korban,” tuturnya, Selasa (19/7).

Menurutnya, ada beberapa isu yang sengaja disebarluaskan, namun bertentangan dengan fakta di lapangan, di antaranya adanya isu pengepungan dan isolasi terhadap asrama Papua Kamasan hingga berakibat penghuni kelaparan dan sakit.

“Faktanya upaya petugas agar aksi digelar di dalam asrama guna antisipasi terjadinya keributan di tempat umum. Di dalam asrama banyak terdapat persediaan makanan sehingga tidak ada yang kelaparan,” ujarnya.

Kemudian ada isu terjadi situasi rusuh dan pemukulan dan perusakan oleh peserta aksi terhadap warga umum yang lewat. “Faktanya situasi kondusif. Ketegangan kecil hanya terjadi saat massa didorong masuk ke dalam asrama,” papar Anny.

Saat pelaksanaan sweeping di area belakang asrama Kamasan, lanjutnya, ditemukan enam warga Papua bersepada motor yang masih berada di luar dan ada yang membawa panah. Saat hendak diberi pengarahan dan ditanya surat identitas serta SIM, mereka malah lari dan ada yg memukul petugas.

“Di sisi lain mereka juga tidak bisa tunjukan SIM. Maka itu mereka diamankan,” tegasnya.

PM Selandia Baru: Jokowi Janji Selesaikan Masalah HAM Papua

Penulis: Eben E. Siadari 08:32 WIB | Selasa, 19 Juli 2016

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Dalam pembicarannya dengan Presiden Joko Widodo di Jakarta hari Senin (18/7), Perdana Menteri Selandia Baru mengkonfirmasi bahwa salah satu topik yang mereka bicarakan adalah masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua.

Bahkan dalam pertemuan itu, menurut Key, seperti dilaporkan oleh sebuah media Selandia Baru, newshub.co.nz, Jokowi sendiri yang secara proaktif mengangkat isu tersebut.

Menurut Key, dibandingkan dengan desakan untuk menghentikan hukuman mati di Indonesia –yang juga menjadi kepedulian Selandia Baru dan dibicarakan dalam pertemuan– Jokowi lebih mudah menerima saran untuk menyelidiki setiap pelanggaran HAM di Papua.

Masalah pelanggaran HAM di Indonesia telah menjadi sorotoan dunia internasional, termasuk ketika Kepolisian menangkap lebih dari 1.000 orang pada sebuah unjuk rasa menuntut referendum di Papua, belum lama ini.

Di Selandia Baru, tuntutan agar John Key mengangkat isu pelanggaran HAM Papua dibicarakan dalam pertemuan ini datang dari Partai Hijau.

Sebelum pertemuan itu, Partai Hijau mendesak Key untuk membahas “memburuknya situasi hak asasi manusia” di Papua.

Kepada media yang mewawancarainya setelah pertemuan dengan Jokowi, Key mengatakan mantan wali kota Solo itu serius untuk menangani situasi dan isu hak asasi manusia di Papua.

“Mereka mengangkat secara khusus tentang HAM, dan mengatakan jika ada masalah khusus dengan HAM, maka mereka menangani isu-isu tersebut, mereka menyelidikinya dan memastikan hal itu tidak terulang,” kata dia.

“Mereka tampaknya cukup tertarik untuk memiliki transparansi yang lebih besar,” ia menambahkan.

Di bagian lain keterangannya, John Key menekankan bahwa Selandia Baru tidak mempermasalahkan kedaulatan Indonesia di Papua.

“Kami tidak mempermasalahkan isu kedaulatan di Papua. Saya kira sudah lama Selandia baru memiliki posisi bahwa kami mengakui hak kedaulatan (Indonesia) di wilayah Papua tetapi dalam isu HAM secara luas, kami mengatakan kepada mereka, hal itu akan selalu menjadi kepedulian rakyat Selandia Baru.”

Menurut John Key, Jokowi dan Menlu Retno Marsudi, “memberikan jaminan kepada kami bahwa mereka menjaga HAM di sana.”

Ketika ditanya, apakah John Key mempercayai jaminan itu, ia mengatakan bahwa Indonesia telah menciptakan kemajuan nyata dan Indonesia tidak meremehkan keprihatinan Selandia Baru.

Hukuman Mati

Sementara itu terkait dengan isu hukuman mati yang dibicarakan pada pertemuan tersebut, John Key mengatakan ia memahami bahwa Indonesia belum dapat menghapus hukuman jenis itu.

Pada hari yang sama dengan pertemuan, Amnesty International menyerukan agar Key membicarakan masalah hukuman mati dengan Jokowi, yang tahun lalu saja, digunakan setidaknya 14 kali di Indonesia.

Jaksa Agung mengindikasikan bulan lalu bahwa 16 orang ditetapkan untuk menghadapi regu tembak tahun ini, dan mereka memiliki anggaran untuk mengeksekusi 30 lainnya pada tahun 2017.

Key mengatakan ia menyampaikan kepada Jokowi bahwa Selandia Baru sangat menentang penggunaan hukuman mati. Tapi dia tidak mengharapkan perubahan dalam waktu dekat.

“Kami menyampaikan perasaan kami bahwa hukuman mati adalah sesuatu yang kami tidak dapat terima dan dukung, meskipun beratnya kejahatan yang dilakukan oleh orang yang dikenai hukuman mati itu,” kata dia.

Namun, Key memahami bahwa Indonesia tidak mungkin dalam waktu dekat dapat mengubah hal itu.

“Indonesia menghadapi masalah narkotika yang besar, mereka menghadapi banyaknya orang Indonesia pecandu dan mencoba untuk mengirim pesan yang kuat, sekarang kita di Selandia Baru percaya bahwa hal itu dapat dikatakan dengan cara yang berbeda. ”

Isu lain yang dibicarakan pada pertemuan itu adalah masalah hubungan ekonomi. Key secara khusus mengatakan yakin akan dicapai kesepakatan mengenai ekspor daging sapi Selandia Baru ke Indonesia.

Editor : Eben E. Siadari

Kapolri Diminta Jelaskan Soal Insiden Mahasiswa Papua di Yogyakarta

Monday, 18 July 2016, 19:28 WIB, Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Bilal Ramadhan

nggota polisi berjaga saat aksi tolak OPM di depan Asrama Mahasiswa Papua, DI Yogyakarta, Jumat (15/7).
nggota polisi berjaga saat aksi tolak OPM di depan Asrama Mahasiswa Papua, DI Yogyakarta, Jumat (15/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sejak setahun terakhir, warga negara Indonesia asal Papua dinilai mengalami kekerasan berlanjut. Hal tersebut lantaran pelarangan menyampaikan aspirasi melalui demonstrasi dan kebebasan berekspresi lainnya.

Kejadian terakhir adalah peristiwa di Yogyakarta pada Jumat (15/7). Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani mengatakan, demonstrasi adalah bentuk kebebasan berekspresi apa pun tema yang disampaikannya.

Bahkan, aspirasi pembebasan Papua juga sah untuk disampaikan dalam sebuah demonstrasi sebagai bentuk protes atas ketidakadilan yang dialami oleh warga Papua.

“Selama demonstrasi itu disampaikan secara damai dan tidak adanya tindakan permulaan yang menunjukkan adanya makar maka polisi apalagi ormas tidak boleh membatasi, melarang, dan menghakimi dengan kekerasan,” ujarnya dalam keterangan pers yang diterima Republika.co.id, Jumat (18/7).

Ismail mengatakan, penggunaan ormas tertentu atau pembiaran ormas dalam menghadapi aspirasi masyarakat yang berbeda adalah modus lama yang ditujukan untuk membersihkan tangan polisi sebagai aparat keamanan.

Dengan melibatkan atau membiarkan ormas, maka polisi terhindari dari tuduhan melakukan kekerasan. “Padahal, membiarkan seseorang atau ormas melakukan kekerasan adalah tindakan pelanggaran HAM (violation by omission–Red),” kata pengajar hukum tata negara di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini.

Menurut dia, Kapolri Tito Karnavian harus menjelaskan peristiwa di Yogyakarta secara gamblang agar kepercayaan publik tidak segera luntur di masa kepemimpinannya. Ismail menyebut Tito mempunyai pandangan agak konservatif perihal pembatasan HAM, seperti dalam kasus teorisme.

“Tetapi, membiarkan tindakan kekerasan terus-menerus terhadap warga Papua adalah tindakan pelanggaran HAM dan bertentangan dengan semangat Jokowi yang berkali-kali menegaskan hendak mengatasi persoalan Papua secara holistik,” ujarnya.

Polri harus bertindak adil dengan menghukum anggota ormas yang melakukan kekerasan. Menurut Ismail, apa pun argumen ormas tersebut, baik rasialisme, ujaran kebencian, dan kekerasan telah secara nyata diperagakan. Tindakan main hakim sendiri (vigilantisme) adalah pelanggaran hukum.

Papuan students in Yogyakarta attacked by Indonesian police and militia

Reported by AMP Yogyakarta 18th July 2016

20-year-old student Obi Kogoya attacked by Indonesian police and militia on 15th July outside the boarding house Yogyakarta
20-year-old student Obi Kogoya attacked by Indonesian police and militia on 15th July outside the boarding house Yogyakarta

Indonesian police and civilian reactionary groups stormed a boarding house for Papuan students in Yogyakarta on Friday. The State-Owned Papuan Dormotory at Kusumanegara Road, Kamasan I was besieged in the early morning of 15th July when mobile brigades (Brimob) of special forces officers forced their way through the back gate of the dormitory and caused extensive damage to student property. After entering the premises, they destroyed and sabotaged a number of motorcycles while other police surrounded the dormitory and blocked all access to the building. Students were forbidden from entering or moving about the premises, while Red Cross workers and local residents were restricted from providing relief for the students.

This action comes at a time when Papuan students in Yogyakarta had planned to stage a peaceful rally in support of the United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) bid to become a full member of the Melanesian Spearhead Group (MSG). The students also demanded West Papuan self-determination to be implemented by the Indonesian government as the best solution for resolving ongoing conflicts in the troubled province, and to demonstrate to the rest of the world a genuine regard for democratic principles.

The rally was organised by Persatuan Rakyat Untuk Pembebasan Papua Barat (People United for Free West Papua PRPPB)

Hundreds of Indonesian police ready to attack Papuan students boarding house on Friday 15th July 2016
Hundreds of Indonesian police ready to attack Papuan students boarding house on Friday 15th July 2016

An international spokesperson of the Papuan Student Alliance (AMP), Yely Wenda, witnessed the incident from inside the besieged building. Mr Wenda insisted that hundreds of police and armed civilians had arrived at the boarding house by 7 am and “that we were targeted and treated as though we were terrorists. There was absolutely no logic whatsoever for the Indonesian security forces to act the way they did. It was very embarrassing to see them act stupidly like this”

According to Wenda, police officers were sweeping several access points to the road leading toward Papua dormitory, and blocking and detaining any person entering or leaving the property. As many as fifteen students were arrested simply on account of their desire to enter their own property. One 20-year-old student was detained by the police on the street outside of the dormitory before being brutally tortured. The student, Obi Kogoya, had his jaw forcefully opened by police and militia, and is now in a critical condition at a local hospital.

In addition to the violence being perpetrated by police and militia, civilian groups conducted a demonstration attacking the Papuans’ message of independence. These groups were well-armed and protected by a throng of Indonesian security forces, and displayed a banner that stated their willingness to die in defending their “unitary state of the Republic of Indonesia”.

The President of the Papuan Students’ Association, Aris Yeimo, told BBC Indonesia that 60 to 70 students remain locked inside the building all day and unable to leave the premises. When asked why the dormitory was besieged by the police, Mr Yeimo insisted he had no idea why security forces acted in such an intimidating manner and that these kinds of confrontations are not uncommon. Incidents towards Papuans – such as this one – may occur as often as several times a month, everywhere Papuans live.

Hundreds of Indonesian police ready to attack Papuan students boarding house on Friday 15th July 2016
Hundreds of Indonesian police ready to attack Papuan students boarding house on Friday 15th July 2016

Police representatives have a clearer understanding about the justification for these kinds of actions. The Yogyakarta City Police Chief, Kombes Tommy Wibisono, asserts that pacification action such as this need to be carried out when demands for Papuan independence undermines national stability and promotes “social unrest”. However, Aris Yeimo insists that the current action against students has little to do with calls for Papuan independence, but rather because of the perceived threat they pose to the national integrity of the archipelago.

Veronica Koman from the Legal Aid Institute (LBH) in Jakarta has condemned the brutality of the police and demanded that security forces and their civilian paramilitary counterparts must not take the law into their own hands. This assertion applies not only to the current situation in Yogyakarta, but to other parts of the country as well.

Yely Wenda has appealed to Pacific Islands nations for moral support and to put pressure on Indonesia as an associate member of the Melanesian Spearhead Group to refrain from utilising these kinds of pressures on local Papuan students.

 

Further information, please contact:

 

 

Yamin Kogoya            

0477785680

kogoyay@gmail.com

Papuan student at the Australian National University Canberra-Australia

 

 

Yely Wenda

+6281344666626

aringgiklod@gmail.com

An International spokesperson of Papuan Student Alliance in Yogyakarta-Indonesia

 

 

20-year-old student Obi Kogoya attacked by Indonesian police and militia on 15th July outside the boarding house Yogyakarta.

 

Hundreds of Indonesian police ready to attack Papuan students boarding house on Friday 15th July 2016

West Papua Issue is NOT Just About Being “Pity” with Melanesians in West Papua

West Papua Issues is NOT Only about Melanesian brothers and sisters across the South Pacific to feel sorry and pity about the human suffering occurring in the Western half of New Guinea Island since the invasion and occupation of the territory by Indonesian nation-state since 1961. General Mathias Wenda the Commander in Chief of the West Papua Revolutionary Army (WPRA) says,

West Papua issue is not just regarding those of us Melanesians who were born and grown up in West Papua as being suffering from Indonesian invasion and occupation. It is more than that. It is to do with our common goal, shared fate, shared future, the common destiny of “Melanesia” as a human society in the South Pacific Region. The modernisation project has brought about catastrophic consequences on us in our region, but it does not mean we blame anybody or anything. It means, we as human beings, as human society, should stand up, think about, discusses, speak up, and act upon steps towards saving our own future.

General Wenda continues,

 

We are not talking about economic development, regional security and stability,nor pleasing Indonesia and the Western interests in the Pacific Rim. We are not talking about what is prosperity and how to achieve it. We are talking about the very survival or our Melaneisan race in our region. We are talking about the future of own children and grand-children. We are talking about hundreds of years to come. Yes, we hsave to be ready to accept that some of the islands in our region will sink. Of course, global warming is a reality that we must not regret but should anticipate from now on. Yes, this is why the Suva Declaration on Climate Change has the rightful Melanesian spirit, as it is directly to do with our own future. When we do sit down ourselves as Melanesians, without western and Asian interests and influences, then we can see we have our wisdom aired and decisions made addressing the “real needs” and “strategic issues” of Melanesian peoples and the South Pacific Region.

General Wenda also emphasizes that besides MSG as the regional body under the Pacific Island Forum (PIF), involving parties outside Melanesians, Micronesians and Polynesians, our Pacific Islands Development Forum (PIDF) is established on our own interest, to deal with our own issues.  PIDF is the native “Melanesian organisation”, that we needs to raise and nurture for our own sake.

Unity among Melanesians as a family is the key towards “Good News” for our future generations. We should not be fooled by security issues, regional peace issues, development issues that are being aired by Australia, New Zealand and Indonesia. We need to think first of all about “our own existence” in the coming 100 – 200 years in our small islands before we talk about wealth and prosperity, peace and justice, development and modernisation.

General Wenda maintains that New Guinea Island is the homeland of all Melanesians,

This Island is our Island, out future, out home, our fate is based on this Island. We should not allow foreigners occupy and exploit, take over and wipe our our Melanesian race. If this happens, then where will al Melanesians go? Australia? Sorry but our Aboriginal brothers and sisters have been occupied. They have no power to make decisions when anything happens to our small islands.

Our only hope is the Isle of New Guinea. Anytime, in the future, when anything happens in our small islands, every Melanesian man and woman knows that each of us has our big home-land, that is, the Isle of New Guinea. It is time now, to wisely and strategically prepare for our future generations, by saving West Papua for our own sake. Before we regret, before our children regret, before our grand-children put curse upon us for not acting wisely now, let us be wise, let us make up our minds in the spirit of Melanesia wisdom, in Melanesia way, based on Melanesia beliefs and philosophy.

Yes, we Melanesians in West Papua are being continuously killed, being systematically, structurally, and extensively being wiped out under the Indonesian project called “Pan-Pacific Rim of Great Indonesia” designed by Soekarno and Ali Murtopo in 1960s. Papua New Guinea is diplomaticall, not politically, fully under Indonesian control right now, by employing Indonesian strategy called “fear-and-terror” and conquer. In not long time to come, Papua New Guinea will be occupied diplomatically by Indonesia.

That is why, we are now, I am now, General Mathias Wenda, asking not for all Melanesian leaders not to feel pity about us Melanesians in West Papua. Let us take what is happening in West Papua as a “waking-up alarm” for all Melanesian leaders, to strategically think, tactically plan, and wisely act to save our Melanesian fate, politically, socially, culturally, and more importantly environmentally.

TNI ganti tiga batalyon pasukan perbatasan RI-PNG

Jayapura (Antara Papua) – Pimpinan TNI mengganti tiga batalyon pasukan pengamanan perbatasan RI-PNG untuk masa tugas sembilan bulan ke depan.

Pada rilis yang diterima Antara di Jayapura, Provinsi Papua, disebutkan Batalyon Infanteri (Yonif) Linud 700/R, Yonif 122/Tombak Sakti dan Yonif Mekanis 516/CY telah tiba di Bumi Cenderawasih pada Minggu (10/7) melalui Pelabuhan Jayapura.

Rencananya ketiga batalyon tersebut akan bertugas di bumi Cenderawasih sebagai Satgas Pamtas di wilayah Keerom menggantikan pasukan terdahulu dari Yonif 411/Raider, Yonif 431/Kostrad dan Yonif 406/CK yang sudah selesai melaksanakan tugas selama sembilan.

Pasukan Satgas Pamtas RI-PNG yang baru datang kini masih ditampung di Makodam Cenderawasih dan akan menerima pembekalan serta penjelasan tentang wilayah Papua agar memudahkan para prajurit untuk berdaptasi dengan lingkungan dan masyarakat dimana mereka bertugas nantinya.

Rencananya Satgas Pamtas Yonif 122/TS akan menempati Pos Sektor Japra Keerom, Yonif Mekanis 516/CY akan menempati Sektor Tengah Keerom dan Yonif 700/Raider menempati sektor Bawah Pegunungan Bintang.

Kepala Penerangan Kodam (Kapendam) XVII/Cenderawasih Kolonel Inf Teguh Pudji Raharjo mengatakan pergantian pasukan itu dimaksudkan agar prajurit yang melaksanakan tugas Satgas Pamtas tetap fresh dan tidak mengalami kejenuhan, sehingga tugas dapat terlaksana dengan baik.

Sebelum memasuki pos-pos Pamtas, Satgas akan mendapatkan pembekalan terlebih dahulu tentang situasi Papua secara umum maupun secara khusus baik geografi, demografi maupun kondisi sosial.

“Diharapkan dalam melaksanakan tugas di lapangan nantinya bisa cepat beradaptasi dengan lingkungan di sekitar tempat penugasannya,” ujarnya.

Pembekalan diberikan oleh Pangdam XVII/Cenderawasih selaku Pangkoops dan Danrem 172/PWY selaku Dankolakops Rem 172/PWY serta dari Pemda Keerom.

Setelah selesai mendapatkan pembekalan Satgas Pamtas tersebut baru masuk ke pos-pos yang telah ditentukan oleh Komando atas untuk melaksanakan tugas Pamtas RI-PNG di wilayah tugas masing-masing. (*)

Editor: Anwar Maga

COPYRIGHT © ANTARA 2016

TNI dan Polri di Biak Numfor Patroli Bersama 1 Juli

Berita , Peristiwa , salampapua.com

SAPA (BIAK) – Jelang 1 Juli nanti, TNI dan Polri di Kabupaten Biak Numfor akan melakukan patroli bersama pada daerah rawan dalam upaya mengantisipasi gangguan kamtibmas di wilayah itu.

“Setiap tanggal 1 Juli seringkali dijadikan kelompok separatis sebagai hari bersejarah Papua Barat sehingga perlu diantisipasi dengan berpatroli bersama TNI-Polri,” ungkap Kepala Bagian Operasi Polres Biak Komisaris Polisi Fauzan di Biak, Rabu.

Ia mengatakan, sasaran patroli bersama pada wilayah distrik Biak Timur, Biak Barat sekitarnya serta wilayah kampung lain yang dianggap rawan gangguan kamtibmas.

Kabag Ops Komisaris Fauzan berharap, dengan dilakukan patroli bersama akan memberikan rasa nyaman dan aman kepada masyarakat Kabupaten Biak Numfor dalam menjalankan aktivitas rutin keseharian dengan normal.

Dalam suasana umat muslim menjalankan ibadah puasa Ramadhan yang juga menyambut perayaan hari raya Idul Fitri 1437 H, menurut Kompol Fauzan, warga Biak harus membantu aparat keamanan TNI-Polri untuk senantiasa mewujudkan Biak selalu kondusif.

“Dengan situasi Biak tetap kondusif maka mendukung semua program pembangunan pemerintah dan setiap aktivitas masyarakat berjalan dengan lancar setiap waktu,” tegasnya.

Dia mengingatkan, warga Biak ikut serta untuk memberikan informasi kepada aparat penegak hukum jika menemukan aktivitas sekelompok orang yang akan mengganggu kambtimas Biak yang dikenal sangat kondusif.

Hingga Rabu pagi, aktivitas kamtibmas di Kabupaten Biak Numfor sangat kondusif karena berbagai kegiatan pelayanan publik seperti bandara, pelabuhan laut, angkutan umum, pasar tetap beroperasi normal melayani kebutuhan warga Biak sekitarnya. (ant)

Perbatasan Indonesia-Papua Nugini Jadi Tempat Pelarian Buron

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kondisi di daerah perbatasan Republik Indonesia (RI) dan Papua Nugini sering digunakan sebagai tempat pelarian orang-orang yang melakukan pelanggaran hukum. Mereka bertahan di sana lantaran pengaruh politik utamanya yang terlibat dalam gerakan separatis.

Di sisi lain, sebagian kecil kelompok yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) masih sering menunjukkan eksistensinya. Misalnya dengan melakukan aksi kekerasan dan perlawan bersenjata yang sasarannya adalah aparat keamanan baik TNI maupun Polri.

Pangdam VII Wirabuana Mayjend TNI Agus Surya Bakti mengatakan, penugasan prajurit ke daerah operasi (perbatasan) merupakan wujud nyata pengabdian dan dan kehormatan terhadap bangsa dan negara demi kokohnya persatuan dan kesatuan bangsa.

“Bagi prajurit yang sudah pernah bertugas ke daerah operasi, ini akan menambah pengalaman dan memungkinkan menemukan hal-hal baru, dan bagi yang pertama kali bertugas menjadi kesempatan berharga dalam kariernya,” ujar Agus, Kamis (30/6).

Persiapan dan pembekalan yang diterima sebelum menjalankan tugas menjadi pedoman dan modal dasar bagi satuan tugas dalam menghadapi berbagai kemungkinan permasalahan yang ada di lapangan. Dengan begitu, potensi timbulnya konflik dapat diantisipasi secara profesional.

Selama menjalankan tugas, prajurit TNI diminta merangkul masyarakat setempat dan menghormati adat istiadat masyarakat setempat. Mereka juga harus mengedepankan pendekatan persuasif dari persoalan yang dihadapi.

Baru-baru ini Satgas Yonif Raider 700/WYC memberangkatkan para prajurit dalam Rangka Operasi Pengamanan Perbatasan Darat RI-Papua Nugini di Wilayah Papua. Selama sembilan bulan mereka akan berada di daerah perbatasan Papua dan Papua Nugini menjalankan operasi pengamanan di perbatasan darat di perbatasan Papua.

Wali Kota Makassar Mohammad Ramdhan ‘Danny’ Pomanto yang menjadi inspektur upacara pemberangkatan tersebut meminta setiap prajurit menjaga kepercayaan yang diembankan negara. “Kepercayaan ini merupakan kehormatan dan tugas mulia untuk dipertanggungjawabkan serta dilaksanakan dengan sebaik-baiknya,” kata Danny.

Keberadaan prajurit TNI di daerah perbatasan penting untuk menjaga keamanan wilayah demi mempertahankan tetap tegaknya NKRI. Selama menjalankan tugas mereka diharapkan berperilaku positif agar keberadaan mereka di daerah perbatasan mendapatkan pengakuan dan penerimaan secara baik oleh masyarakat.

Kronologis Penembakan Pelajar SMA di Nabire oleh POLRI

Umaginews, Ini Kejadian sangat aneh, tapi ini adalah sebuah kenyataan yang menimpa seorang Pelajar atas nama Owen Pekei Berumur 18 Tahun Berstatus SMA kelas 2 Sekolah di SMA YPPGI Karang Mulia Nabire West Papua.

Kematian yang dialami oleh Seorang pelajar ini membuat ribuan pertanyaan di kalangan rakyat di tempat.

Namun kematian terhadap Pelajar atas nama Owen Pekei, Berusia 18 Tahun, bisa di katakan sebuah motif dari militer indonesia.

Kasus kematian ini adalah sebuah skenario atau taktik dari Polisi negara indonesia yang bertugas di nabire papua. Kenapa kita salakan kepada pihak polisi..?

Polisi seharusnya mengayomi dan mengamanka masyarakat tetapi kejadian yang menimpa Pelajaran ini lain, Polisi yang mengejarnya dan menembak di tugu Roket depan kantor Bupati.

Kenapa kita bilang penembaka.? Kita melihat dari foto korban saat terbaring dalam ruang mayat rumah sakit umum Sriwini nabire Papua.

Saksi Mata 1
Pada Jam 04;30 Polisi menggunakan tiga (3) motor dan 1 dalmas milik porlesta Nabire mengejar korban dari arah Pasar Oyehe Pusat kota nabire menuju arah karang Tumaritis.

Korban atas nama Owen Pekei, awal dari arah oyehe menuju Auri Karang Tumaritis hedak mau menontong bola Volly yang di adakan oleh Gereja Bethel (bethel Cap II) sampai di pusat kota Oyehe (Pasar Oyehe) Dia “Korban” Dikejar oleh polisi menggunakan sepede motor 3 buah dan satu Track Dalmas milik Porles Nabire.

Pengejaran ini dilakukan oleh polisi Menggunakan Sepedah Motor tiga (3) buah dan satu (1) Dalmas Milik Perles Nabire, setelah tiba depan SMA Adhi Luhur Korban belok lagi ke arah Oyehe Pusat Kota, Polisi yang hendak mengejar masih mengejar hingga tibah di tugu roket depat Kantor Bupati Nabire papua.

Sekitar jam 05;00 korban di katakan bawah menabrak Tembok tugu rokot, ada juga yang mengatakan Korban di tembak oleh satuan militer khusus yang telah di pakai oleh militer.

Ada juga informasi data yang di muat oleh beberapa akum Media seperti Facebook.com dan Blogger. Dalam akun Media Nabire_Net Memuat bawah “Ada dugaan Bawah, Kehilangan Kendali saat Menaiki Motornya, hingga jatuh tepat di Tugu Roket (rudel) depan Kantor Bupati.

Alasan yang di buat oleh media Nabire_Net Bawah Korban sama sekali tidak menggunakan Helm Ketika berkendara motor, Sehingga ketika jatuh korban terhantam Aspal.

Akibat benturan Keras Korban dilaporkan meninggal dunia, Oleh Aparat kepolisian, Korban Lansung di larikan Ke RSUD Sriwini Nabire”.

Dari Berita yang di muat dalam media Nabire_Net ini bisa di katakan benar jika mengatakan kehilangan kendali sebab posisi korban dalam pengejaran tampa sebab dan alasa yang jelas.

Dan jika polisi mengatakan kami mengejar karena tidak memakai Helm ini keliru sebab ini sudah soreh dan orang bebas beraktivitas pada sore hari.

Jika di katakan ada Swiping, ini juga jadi pertanyaan, masa sudah soreh ko swiping, di balik ini semua ada apa..?

Jika korban dikatakan kehilagan kendali saat menaiki motor ini sangat benar dan jelas, sebab korban saat itu sedang di kejar oleh polisi menggunakan tiga (3) Sepeda Motor dan satu Track Dalmas milik porles nabire.

Dan jika dikatakan korban jatuh atau tabrak tembok Tugu roket, ini keliru sebab dalam foto tidak ada luka goresang Jatuh atau Tabrakkan, yang ada satu luka bolong di kepada dekat alis mata sebelah kanan, luka bolong semacam sebuah batu/atau tima panas yang masuk dalam kepala korban Owen Pekei, berumus 18 Tahun.

Saksi Mata 2
Sekitar jam 04;50 korban atas nama Owen Pekei, pelajar kelas 2 sekolah di SMA YPPGI melewati depan SMP YPPK Antonius atau depan SMA Adhi Luhur Menuju Oyehe Pusat Kota Nabire, dia di kejar oleh Polisi Menggunakan tiga (3) sepedah Motor dan satu dalmas milik Porles Nabire.

Seketika tiba di depan Tugu Reket depan Kantor bupati dia di tembak oleh satuan militer yang sudah di pasang di arenah itu TKP. Penembakan dilakukan diri tiga titik. Satu titik yang di curigakan Depan Kator Telkom, Dua Dari Dalam tugu roket, tiga dari dalam mobil Dalmas Milik Porles Nabire.

Pembunuhan ini satu motif yang dilakukan oleh penjajah kolonial indonesia di bawah kaki tangannya yakni militer yang saat ini bertugas di papua khususnya di nabire. Ini motif pembunuhan cara militer di bawah strategi targetan yang memang sudah di atur dalam suatu kelompok yakni kelompok militer itu sendiri.

Dari situasi sebelumnya, sering militer menggunakan mobil dalmas dan motor sering keliling kota nabire, dari cara keliling mereka, mereka sering melakukan intimidasi dan pengejaran terhadap rakyat, dan rakyat yang memakai Noken Bendera bintang kejora, gelang bintang kejora dan berambut gimbal selalu di kejar dan di tahan selain di tahan mereka (militer) melakukan penembakan terhadap rakyat yang gayanya seperti demikian.

Selain dari itu juga, militer yang bertugas di nabire sering menggunakan bahaha kami tembak karena mereka mabuk padahal beberapa kejadian yang terjadi terhadp rakyat papua di nabire itu dengan kesadaran tidak mabuk. Cara ini adalah nyata yang di lakukan oleh militer indonesia di papua nabire.

Salah satu bukti ada penembahan yang dilakukan terhadap salah satu pelajar di nabire atas nama Owen Pekei U 18 Tahun.

“orang yang melakukan tindakan tidak mungkin akan mengakui perbuatannya” oleh karena itu kami meminta untuk Atvokasi di lakukan secara benar-bernar. Mohon Atvokasi dari internasional, indonesia adalah penjajah, penjajah tidak akan pernah mengakui perbuatan mereka.

Pertanyaan:
Pertama, Jika Korban (Owen Pekei) kehilangan kendali saat berkendarai lalu jatuh tertikan di aspal, kenapa tidak ada luka gores di sekucur tubuh korban. Yang ada loka berlobang pada kepala dekan alis mata sebelah kanan…?

Kedua, Dari keluarga mengatakan Owen Pekei adalah anak yang tidak suka dengan kekacauan, Owen pekei Anak yang baik, pekerjaan sehari-harinya Sekolah, Gereja dan Rumah. Jika dia bawah motor tidak selalu balap atau tidak selalu dalam kecepatan.
Kenapa sampai bisa Korban Owen Pekei bisa kehilangan kendali karena Motornya dalam kecepatan, berarti ada peksaan atau pengejaran..?

Ketiga, Ketika kejadian polisi sudah berada lebih dahulu tidak lewat dari 10 menit dan datang juga dari belakan satu dalmas, satu picap yang di numpangi Brimob di waktu yang bersaan..?

Keempat, Kenapa saat polisi bawah masuk ke Rumah sakit tidak melakukan pemeriksaat lebih dahulu, kenapa polisi lansing bawah ke ruang manyat dan di baringkan di ruang mayat.

Catatan; Pelaku adalah Militer, Awalnya di sebabkan karena polisi mengejarnya maka Polisi dan Militer yang ada di nabire harus bertanggung jawab.

Petugas Advokasi FI, ke-19 Sidang Dewan HAM PBB, Tentang Pelangaran HAM di West Papua

Written By Suara Wiyaimana Papua on Selasa, 28 Juni 2016 | Selasa, Juni 28, 2016

Fransiskan International, Jaringan Berbasis Kepercayaan pada Papua Barat dan TAPOL ingin menarik perhatian pada penyiksaan dan eksekusi di luar hukum masih berlangsung di Papua.

Organisasi kami sangat prihatin bahwa, meskipun fakta bahwa Indonesia meratifikasi Konvensi PBB Menentang Penyiksaan pada tahun 1998 dan karena itu secara hukum terikat untuk melarang penyiksaan dan semua bentuk lain dari perlakuan sewenang-wenang, penyiksaan terus berlanjut.

Ketentuan belum dibuat dalam hukum pidana militer dan sipil untuk mengkriminalisasi penyiksaan sehingga pasukan keamanan Indonesia masih melakukan praktek ini dengan impunitas. Militer secara teratur melakukan operasi sweeping anti-separatis untuk flush Gerakan Papua (OPM) pendukung dugaan. Ini sering melibatkan pembakaran desa-desa, membunuh ternak, penangkapan sewenang-wenang, pembunuhan di luar hukum dan penyiksaan. Orang-orang yang paling menderita dari aksi militer ini adalah warga sipil yang tidak bersalah.

Kami ingin menarik perhatian Anda untuk operasi militer yang berlangsung pada awal Desember 2011 di wilayah Paniai Papua Barat. Sebuah operasi sweeping besar-besaran yang dilakukan oleh unit militer, termasuk Amerika Serikat dan Australia yang didanai Densus 88, dan Polisi Brigade Mobil (Brimob), melaju ratusan (mungkin ribuan) penduduk desa dari rumah mereka karena mereka melarikan diri dari gelombang brutal udara dan serangan darat. Setidaknya 15 ditembak mati dan sekitar lima ratus penduduk desa Dagouto di Kabupaten Paniai meninggalkan rumah dalam ketakutan untuk mencari perlindungan di Enarotali berikut penyebaran seratus lima puluh petugas Brimob ke daerah mereka.

Mengingat bahwa Indonesia meratifikasi Konvensi PBB Menentang Penyiksaan empat belas tahun yang lalu, Pasal 4 yang mensyaratkan bahwa “setiap Negara Pihak harus memastikan bahwa semua tindakan penyiksaan merupakan tindak pidana menurut hukum pidananya,”

Fransiskan International, mendesak Pemerintah Indonesia untuk:

  • Perilaku yang cepat dan efektif penyelidikan ke dalam semua kasus pelanggaran hak asasi manusia terhadap warga Papua, di tuduhan khususnya penyiksaan dan eksekusi di luar hukum yang dilakukan oleh anggota militer; mengidentifikasi dan mengadili para pelakunya; dan memberikan solusi yang memadai untuk para korban.
  • Menjinakkan Konvensi Menentang Penyiksaan ke dalam hukum nasional segera sehingga untuk mengkriminalisasi penyiksaan sesuai dengan standar internasional dan kewajiban Indonesia sebagai negara pihak Konvensi.
  • Mengubah Hukum Militer No.31, 1997, untuk memastikan bahwa personil militer yang melakukan kejahatan, termasuk penyiksaan, terhadap warga sipil yang diadili di pengadilan sipil.
  • Melaksanakan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 2010-2014 secara penuh, dengan prioritas khusus ditempatkan pada meratifikasi Protokol Opsional untuk Konvensi Menentang Penyiksaan, dan membangun infrastruktur administrasi yang diperlukan untuk pelaksanaan komprehensif khususnya berkaitan dengan penunjukan setidaknya satu mekanisme pencegahan nasional.

Coba klik, nonton video disini, https://www.youtube.com/watch?v=Fzeh5eTqFhQ

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny