Merauke, dari kolonisasi,rusa hingga program transmigrasi

Jayapura, Jubi – Program transmigrasi di tanah Papua sebenarnya dimulai sejak zaman Belanda dengan nama program kolonisasi.  Kala itu pemindahan penduduk dari luar Papua untuk memenuhi kebutuhan sayuran dan produk pertanian lainnya. Selain itu untuk membuka areal persawahan di Merauke yang dikenal dengan julukan Kota Rusa.
Meskipun rusa sendiri bukan hewan asli (endemi) yang hidup di habitat savanna dan hutan eucalyptus atau dalam bahasa Marind disebut kayu bush atau hutan bush.

“ Jenis Rusa Cervus timorensia dahulu dimasukkan ke daerah Merauke oleh Belanda pada 1928. Sejak itu populasi rusa telah berkembang biak luar biasa. Kini sudah meliputi hampir sebagian besar daratan Selatan Papua,”demikian ditulis Ronald pericz,  Prof Dr Konservasi Alam dan Pembangunan Irian Jaya.(halaman 100-101)

Pemerintah Belanda selanjutnya mengeluarkan aturan soal perburuan,  karena populasi hewan asal Pulau Timor ini sudah semakin langka dan termasuk hewan yang dilindungi. Hingga kini banyak rusa yang masih diburu sehingga banyak yang masuk ke wilayah Papua New Guinea terutama di wilayah Trans Fly di Daru, PNG.

Sedangkan program kolonisasi pemerintah Belanda.  Di Merauke itu  dimulai sejak 1902 selanjutnya pada 1902 penempatan warga Jawa dan orang-orang Timor di permukiman Kuprik, pada 1910 ditempatkan lagi orang-orang Jawa di lokasi Spadem dan Mopah Lama.


Merauke, dari kolonisasi,rusa hingga program transmigrasi

Merauke
Hutan tropis Merauke Papua Selatan berubah fungsi jadi lahan persawahan dan perkebunan tebu- Jubi/https://x.com/Dandhy_Laksono/status


More Read
Para ketua BEM di Uncen menyatakan sikap menolak program transmigrasi ke Tanah Papua. – Jubi/Aida Ulim
BEM Uncen minta Prabowo hentikan program transmigrasi ke Papua
Transmigrasi ke Tanah Papua: Solusi atau masalah baru?
Sampai kapan nelayan Indonesia bebas dari tahanan penjara PNG dan Australia
Kisah Merauke dari masa kolonial Belanda, transmigrasi hingga food estate
Fiji, Papua Nugini gagal membawa misi hak asasi manusia PBB ke Papua
Jayapura, Jubi – Program transmigrasi di tanah Papua sebenarnya dimulai sejak zaman Belanda dengan nama program kolonisasi.  Kala itu pemindahan penduduk dari luar Papua untuk memenuhi kebutuhan sayuran dan produk pertanian lainnya. Selain itu untuk membuka areal persawahan di Merauke yang dikenal dengan julukan Kota Rusa.
Meskipun rusa sendiri bukan hewan asli (endemi) yang hidup di habitat savanna dan hutan eucalyptus atau dalam bahasa Marind disebut kayu bush atau hutan bush.

“ Jenis Rusa Cervus timorensia dahulu dimasukkan ke daerah Merauke oleh Belanda pada 1928. Sejak itu populasi rusa telah berkembang biak luar biasa. Kini sudah meliputi hampir sebagian besar daratan Selatan Papua,”demikian ditulis Ronald pericz,  Prof Dr Konservasi Alam dan Pembangunan Irian Jaya.(halaman 100-101)

Pemerintah Belanda selanjutnya mengeluarkan aturan soal perburuan,  karena populasi hewan asal Pulau Timor ini sudah semakin langka dan termasuk hewan yang dilindungi. Hingga kini banyak rusa yang masih diburu sehingga banyak yang masuk ke wilayah Papua New Guinea terutama di wilayah Trans Fly di Daru, PNG.

Sedangkan program kolonisasi pemerintah Belanda.  Di Merauke itu  dimulai sejak 1902 selanjutnya pada 1902 penempatan warga Jawa dan orang-orang Timor di permukiman Kuprik, pada 1910 ditempatkan lagi orang-orang Jawa di lokasi Spadem dan Mopah Lama.

banner 400×130
Selanjutnya pada 1943 pemerintah Belanda melakukan penelitian (survey) di areal dekat Sungai Digoel dan Sungai Bian sampai ke Muting. Setelah Perang Dunia Kedua berakhir pemerintah Belanda berupaya untuk membuka areal yang direncanakan untuk mendatangkan orang-orang Jawa dan ditempatkan di sekitar Merauke.

Program transmingrasi  di Provinsi Irian Jaya menurut Prof Dr Ikrar Nusa Bhakti dan M Hamdan Basyar dalam artikelnya berjudul “ Dampak Sosial Politik dan Keamanan Transmigrasi di Irian Jaya” mengatakan program transmigrasi di Irian Jaya dimulai tahun 1964 memiliki dampak positif maupun negatif  terhadap provinsi yang kini telah dimekarkan menjadi enam provinsi itu.

Hasil positifnya,  telah memberikan sumbangan bagi pengadaan pangan untuk penduduk perkotaan. “Program ini juga dinilai berhasil meningkatkan pendapatan sebagian besar transmigran dari Jawa dan di beberapa daerah telah memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja di Irian Jaya kala itu.”

Walau demikian Ikrar Nusa Bhakti juga mengaku adanya dampak negatif dari program transmigrasi.  Antara lain menciptakan situasi tegang, khususnya antara penduduk transmigran dan penduduk asli. Program ini juga menjadi penyebab tak langsung bagi orang Irian (Orang Asli Papua) untuk menyeberang ke negara tetangga PNG. Menyebabkan situasi tegang dalam hubungan Indonesia dan PNG khususnya sampai akhir 1980 an.

“Bahkan sebagian kecil orang di luar Indonesia memandang program transmigrasi sebagai “Kolonisasi”, Jawanisasi, Islamisasi, Impeialisme Budaya, Militerisasi dan Alienasi Tanah” demikian tulis Prof Irkrar Nusa Bhakti dan kawan kawan.

Transmigrasi sendiri menurut Ikrar Nusa Bhakti adalah perpindahan penduduk dari pulau-pulau yang padat penduduknya, Jawa, Bali, Lombok ke daerah pertanian dan perkebunan baru yang dibuka oleh pemerintah Indonesia di daerah daerah yang kurang padat penduduknya.

Selanjutnya Prof Dr Ikrar Nusa Bhakti membagi menjadi dua kategori transmigrasi yaitu ‘transmigrasi umum dan transmigrasi swakarsa”

Pola-pola transmigrasi di tanah Papua

Meskipun Prof Dr Ikrar Nusa Bhakti membagi pola transmigrasi hanya dua saja,  tetapi sebenarnya di tanah Papua sejak masih menjadi Provinsi Irian Jaya.  Terbagi dalam lima pola transmigrasi yang dikutip dari buku berjudul, “Otonomi dan Lingkungan Hidup, Prospek Pengelolaan Hidup di Jawa, Papua, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Bali Nusa Tenggara, dan Maluku Pada Era Otonomi Daerah Semakin Buruk atau Baik?.”

1. Pola Tanaman Pangan : Hampir sebagian besar program (lebih dari 90 persen) Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) di Irian Jaya kala itu adalah pola tanaman pangan terutama padi. Pada pola ini setiap Kepala Keluarga (KK) transmigran memperoleh lahan pertanian seluar dua (2) hektar dengan perincian 0,5 lahan pekarangan dan 0,5 lahan usaha I serta lahan usaha II seluah 1 hektar masih berupa hutan.

2. Pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR Trans) : Pola PIR ini telah dikembangkan di Irian Jaya waktu itu adalah pola PIR Trans Kelapa Sawir di Kabupaten Manokwari (PIR Trans Prafi) sebanyak 5 UPT dan 5 UPT di Kabupaten Jayapura (PIR Trans Arso). PT Perkebunan II sebagai perusahaan inti. Kondisi lahan yang dibutuhkan untuk pengembangan pola perkebunan tidak harus lahan datar, namun bisa pula lahan bergelombang yang bisa digunakan. Setiap KK transmigrasi pola PIR mendapatkan lahan seluas 3 Hektar terdiri dari 0,25 Hektar lahan pekarangan, lahan pangan 0.75 Hektar, dan 2 Hektar lahan plasma yang dikembangkan (kelapa sawit).

3. Pola Nelayan (Trans Nelayan) : Pola trans nelayan ini dikembangkan pada 1 UPT di Wimro, Kecamatan Bintuni (sekarang Kab Bintuni, Papua Barat), Sedangkan di Kabupaten Sorong terutama warga Waigeo (sekarang Kab Raja Ampat) telah menyiapkan lahan seluar 10.000 hektar. Sedangkan di Biak Numfor direncanakan ditempat trans nelayan sebanyak 100 KK terdiri dari 60 persen trans lokal dan trans umum atau trans daerah asal (transdasal).

4. Pola Hutan Tanaman Industri (HTI Trans) : HTI yang dikembangkan disini yaitu komoditi varietas sagu unggul di lokasi UPT Aranday I dan Arandy II di Kabupaten Manokwari (sekarang Prov Papua Barat).

5. Pola Jasa dan Industri ( Trans Jastri) : Pola ini dikembangkan di Kabupaten Biak Numfor di lokasi UPT Moibaken. Industri yang dikembangkan adalah pemanfaatan galian C , dan industry dasar kayu (meubel dan kusen).

Semasa Jenderal (Purn) Hendro Priyono menjadi Menteri Transmigrasi dan PPH, ia  membuat program transmigrasi yang disebut , Transmigrasi Bhineka Tunggal Ika (Trans Bhintuka) di Provinsi Irian Jaya dan Daerah Istimewah Aceh (NAD sekarang). Pola ini menurut Hendro Priyono kala itu untu mengatasi Disintegrasi Bangsa di kedua wilayah ini semasa Orde Baru.

Terlepas dari pro dan kontra sebenarnya dari semua program transmigrasi yang telah dilaksanakan di tanah Papua sejak zaman Belanda sampai Indonesia. Terutama pola transmigrasi tanaman pangan yang telah mengubah sebuah hutan tropis menjadi lokasi permukiman dan juga areal persawahan termasuk pola PIR Trans.

Apalagi sekarang ditambah pula dengan Perkebunan Kelapa Sawit dan juga areal baru Food Estate jelas akan merobah bentangan alam dan lingkungan hidup ke depan.

Para pakar dan aktivis lingkungan hidup telah mengingatkan,  pembabatan hutan dapat pula mengakibatkan hilangnya siklus energi. Sehingga dapat menggangu kegiatan pertanian itu sendiri. Ini akan membuat banyak kegiatan pertanian di daerah tropis hanya memberikan hasil panen yang baik selama 2-3 tahun dan beberapa kali panen saja. Tanpa adanya input (berupa pupuk dan pestisida) kegiatan pertanian di daerah daerah tropis akan terhenti.

Peladang berpindah pindah sebenarnya suatu pola pemanfaatan lahan tropis yang sesuai dengan keadaan ini.

Hal ini sesuai  dengan pendapat antropolog Prof Dr Budhisantoso dari FISIP Universitas Indonesia,  bahwa etos kerja dan moralitas sosial melekat pda semua kelompok masyarakat termasuk kelompok peramu dan pemburu yang dianggap sebagai awal pengembangan pola pola adaptasi manusia terhadap lingkungannya.

Begitupula dengan masyarakat peladang, dalam pernyataan Prof Dr Budhisantoso pada artikel berjudul “Rekayasa Soslal Budaya Kembangkan Etos Kerja” (Kompas, 8/5/1998).

Celakanya lagi menurut antropolog dari Universitas Indonesia itu,  semua kelompok masyarakat termasuk kalangan  peramu dan pemburu seringkali dituduh sebagai perambah hutan. “Padahal etos kerja mereka sangat kuat untuk mencapai hasil sebaik mungkin tanpa harus merusak lingkungan hidup.

” Karena itu mereka dipaksa meninggalkan pola pola pengolahan sumber daya alam dan lingkungan yang selama ini mereka hayati untuk berpindah profesi sebagai petani menetap dengan etos kerja dan moralitas yang belum tentu mereka pahami.” (*)

Jenazah Korban Penyerangan OTK di Yahukimo telah Dievakuasi ke Kampung Halaman

JAYAPURA, LELEMUKU.COM – Jenazah warga sipil bernama Alm. Matius Ropa (50) yang menjadi korban penyerangan OTK di Kabupaten Yahukimo diterbangkan menuju Kampung Halamannya di Toraja Prov. Sulsel, Jumat (04/08).

Proses evakuasi dari Kabupaten Yahukimo menuju Kabupaten Jayapura tersebut menggunakan Pesawat Trigana Air IL222 (03/08).

Sesaat tiba di Bandara Sentani, Jenazah Alm. Matius (50) tersebut diterima oleh Kapolsek Bandara Ipda Wajedi, SH., M.Si. bersama personelnya untuk dibawa menuju Rumah kediaman Keluarga di BTN Sosial Sentani, Kabupaten Jayapura.

Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol. Ignatius Benny Ady Prabowo, S.H., S.I.K., M.Kom saat ditemui membenarkan proses evakuasi yang dilakukan aparat TNI-Polri tersebut.

Kabid Humas mengatakan, jenazah korban akan ditangani terlebih dahulu oleh pihak RS Bhayangkara sebelum diberangkatkan ke kampung halamannya untuk disemayamkan oleh pihak keluarga.

“Hari ini korban diberangkatkan menggunakan pesawat Batik Air ID6183 menuju Kota Makassar sekitar pukul 10.07 wit,” terangnya.

Sebelumnya, pada Rabu (02/08) sekitar pukul 11.15 wit, Polres Yahukimo menerima infirnasi bahwa ada seorang warga yang menjadi korban penganiayaan.

Di tubuh korban ditemukan tujuh luka akibat benda tajam. Sayangnya, ketika korban tiba di rumah sakit, keadaannya sudah sangat kritis dan nyawa tidak dapat diselamatkan.

Situasi pasca kejadian tersebut saat ini berangsur angsur kondusif. Aparat gabungan TNI/Polri tengah meningkatkan kegiatan seperti patroli untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan bersama. Kami mengajak warga khususnya di Kota Dekai untuk bersam-sama aparat keamanan dengan menjaga situasi kamtibmas yang aman dan kondusif.

Apabila menemukan atau mendengar hal-hal yang dianggap dapat mengganggu situasi kamtibmas di wilayahnya masing-masing untuk segera melaporkan ke pos aparat keamanan terdekat sehingga dapat diambil langkah-langkah tegas sesuai dengan UU yang berlaku.(HumasPoldaPapua)

Hati-Hati Dengan Dialog Jakarta – Papua Difasilitasi Komnas HAM Indonesia

Pada waktu Delegasi MSG desak Indonesia untuk berkunjung ke Papua, Presiden Jokowi terima tim 14 di istana Negara dan Pater Dr. Neles Tebay dan Menkopolhukam Wiranto ditunjuk untuk mengatur dialog tersebut. Tujuannya adalah untuk menghalangi kunjungan Delegasi MSG ke Papua, dan akhirnya dialog itu tidak jalan hingga akhir hidup Dr. Neles Tebay.

Hari ini pemerintah Indonesia telah mendapat tekanan oleh 79 negara ACP, Uni-Eropa, dan Komisi HAM PBB. Intervensi Special Prosedur PBB dan Komisi HAM PBB dan desakan 79 negara ACP dan Uni-Eropa tersebut menjadi tekanan luar biasa bagi Indonesia. Pemerintah Indonesia tidak ada pilihan lain untuk menghadapi tekanan tersebut, oleh karena itu Presiden Jokowi dan pemerintah Indonesia bersedia untuk dialog dengan Papua. Para pejuang dan rakyat Papua harus hati-hati dengan strategi ini, karena ini cara untuk menghindari atau memotong jalan bangsa Papua.

Sebuah perundingan bisa terjadi setelah kunjungan Delegasi Pencari Fakta PBB, dan berdasarkan hasil investigasi PBB itu barulah dapat dirundingkan antara pemerintah Indonesia dan Pemerintah Sementara ULMWP yang difasilitasi oleh PBB. Apakah dalam sidang umum PBB atau sesuai dengan mekanisme PBB. Hanya dengan mekanisme PBB dapat dicabut Resolusi 2504 tahun 1969 itu, karena Resolusi inilah Indonesia ada di Papua.

Dialog di luar dari mekanisme PBB adalah cara Indonesia untuk memotong dukungan internasional atas Papua dan tidak lebih dari itu. Apa lagi KOMNAS HAM Indonesia mau lobi dan fasilitasi dialog itu. Komnas HAM itu hanya sebuah lembaga kecil dan menjadi bagian dari pemerintah Indonesia. Masalah Papua tidak berada di Komnas HAM Indonesia, tetapi ada di PBB. Negara-negara anggota PBB lah yang memasukan Papua di Indonesia, karena itu PBB juga akan cabut Resolusi 2504 dan kembalikan hak kedaulatan bangsa Papua.

Untuk itu, sekali lagi hati-hati dengan strategi Indonesia yang mengangkat kembali isu Dialog Jakarta-Papua ini.

Indonesia: Pakar PBB membunyikan alarm tentang pelanggaran serius di Papua, menyerukan bantuan mendesak

#UNnews#NewsPBB Edisi, 1 Maret 2

JENEWA (1 Maret 2022) – Pakar hak asasi manusia PBB* hari ini menyatakan keprihatinan serius tentang memburuknya situasi hak asasi manusia di provinsi Papua dan Papua Barat di Indonesia, mengutip pelanggaran yang mengejutkan terhadap penduduk asli Papua, termasuk pembunuhan anak, penghilangan, penyiksaan dan pemindahan massal orang-orang.

Para ahli menyerukan akses kemanusiaan yang mendesak ke wilayah tersebut, dan mendesak Pemerintah Indonesia untuk melakukan penyelidikan penuh dan independen terhadap pelanggaran terhadap masyarakat adat.

“Antara April dan November 2021, kami telah menerima tuduhan yang menunjukkan beberapa contoh pembunuhan di luar proses hukum, termasuk anak-anak kecil, penghilangan paksa, penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi dan pemindahan paksa setidaknya 5.000 orang asli Papua oleh pasukan keamanan [Indonesia],” kata para ahli.

Mereka mengatakan perkiraan menyebutkan jumlah keseluruhan pengungsi, sejak eskalasi kekerasan pada Desember 2018, antara 60.000 hingga 100.000 orang.

“Mayoritas pengungsi di West Papua belum kembali ke rumah mereka karena kehadiran pasukan keamanan [Indonesia] yang kuat dan bentrokan bersenjata yang sedang berlangsung di daerah konflik,” kata para ahli. “Beberapa pengungsi tinggal di tempat penampungan sementara atau tinggal bersama kerabat. Ribuan penduduk desa yang mengungsi telah melarikan diri ke hutan di mana mereka terkena iklim yang keras di dataran tinggi tanpa mendapatkan akses ke makanan, perawatan kesehatan, dan fasilitas pendidikan.”

Selain pengiriman bantuan ad hoc, lembaga bantuan kemanusiaan, termasuk Palang Merah, memiliki akses terbatas atau tidak ada sama sekali kepada para pengungsi, kata mereka. “Kami sangat terganggu oleh laporan bahwa bantuan kemanusiaan untuk pengungsi Papua dihalangi oleh pihak berwenang,” tambah para ahli.

“Masalah gizi yang parah telah dilaporkan di beberapa daerah dengan kurangnya akses ke makanan dan layanan kesehatan yang memadai dan tepat waktu. Dalam beberapa insiden pekerja gereja telah dicegah oleh pasukan keamanan untuk mengunjungi desa-desa tempat pengungsi mencari perlindungan.

“Akses kemanusiaan yang tidak terbatas harus segera diberikan ke semua wilayah di mana penduduk asli Papua saat ini berada setelah mengungsi. Solusi yang [bisa dapat] bertahan lama harus dicari.”

Sejak akhir 2018, para ahli telah menulis surat kepada Pemerintah Indonesia pada selusin kesempatan** tentang berbagai dugaan insiden. “Kasus-kasus ini mungkin merupakan puncak gunung es mengingat akses ke wilayah tersebut sangat dibatasi sehingga sulit untuk memantau kejadian di lapangan,” kata mereka.

Mereka mengatakan situasi keamanan di dataran tinggi Papua telah memburuk secara dramatis sejak pembunuhan seorang perwira tinggi militer oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB) di Papua Barat pada 26 April 2021. Para ahli menunjuk penembakan dua anak, berusia 2 dan 6, pada tanggal 26 Oktober ketika peluru menembus rumah masing-masing selama baku tembak. Bocah 2 tahun itu kemudian meninggal.

“Tindakan mendesak diperlukan untuk mengakhiri pelanggaran hak asasi manusia yang sedang berlangsung terhadap penduduk asli Papua,” kata para ahli, menambahkan pemantau independen dan jurnalis harus diizinkan mengakses wilayah tersebut.

“Langkah-langkahnya harus mencakup memastikan semua dugaan pelanggaran menerima penyelidikan menyeluruh, cepat dan tidak memihak. Investigasi harus ditujukan untuk memastikan mereka yang bertanggung jawab, termasuk perwira atasan jika relevan, dibawa ke pengadilan. Pelajaran penting harus dipelajari untuk mencegah pelanggaran di masa depan.”

Para ahli kembali menyampaikan keprihatinan mereka kepada Pemerintah dan mereka mengakui Pemerintah telah mengirimkan balasan atas surat tudingan AL IDN 11/2021 tersebut.

SELESAI

___________

Sumber: (https://www.ohchr.org/…/NewsE…/Pages/DisplayNews.aspx…)

#WelcomeUNHC🇺🇳#WestPapua#HumanitarianCrisis#HumanRightsAbuses#PIF#ACP#UnitedNation#OHRCHR#UNHRC#FreeWestPapua

PT. Freeport di West Papua

[1] Pada 1623, Kapten Johan Carstensz, seorang pelaut Eropa pernah berlayar ke Papua dan ‘menemukan salju untuk pertama kalinya’ di daerah pegunungan, tepatnya di tengah daratan Papua. Hasil temuan itu kemudian diberi nama Puncak Carstensz Pyramide. Ratusan tahun setelah itu tepatnya pada Tahun 1936, dalam rangka pembuktian atas temuan Carstensz tersebut, Antonie Hendrikus Colijn, Jean Jacques Dozy dan Frits Julius Wissel melakukan ekspedisi ke Puncak Carstensz Pyramid.

Dalam eskpedisi tersebut, mereka juga menemukan gunung tembaga lalu menulisnya ke dalam sebuah laporan yang pada akhirnya menarik minat banyak pihak. Worbes Wilson, seorang geolog dari perusahaan tambang Amerika yang bernama Freeport menanggapi laporan Dozy tersebut. Wilson melakukan ekspedisi ke Papua pada 1959-1960 (setelah perang dunia kedua berakhir). Setibanya di sana, ia terpukau melihat tumpukan ‘harta karun’ bijih besi, tembaga, perak serta emas di atas puncak dengan ketinggian 2000 meter di atas permukaan laut itu.

Dari hasil analisis atas sejumlah batu dari Ertsberg yang dibawa Wilson ke Amerika setelah ekspedisi tersebut, para analis Freeport menyatakan bahwa penambangan gunung tersebut bakal membawa keuntungan yang besar dan modal awal akan kembali dalam tiga tahun setelah proses tambang dilakukan.

Silahkan baca Selanjutnya di blog: TRANSISI.ORG

Sederet Kematian: Pemimpin Papua Era pemerintah Republik Indonesia: 2016-2021

Semua manusia di dunia ini tidak luput dari kematian. Semua orang yang mengalami kelahiran pasti mengalami kematian.

Menyusul kematian oleh kejatuhan manusia pertama ke dalam dosa. Semua orang mengalami kematian. Kematian datang menjemput dengan berbagai cara: sakit penyakit, musibah, kecelakaan, bencana alam. Penyebabnyapun berbagai-macam. Ada penyebab alamiah, ada juga disebabkan oleh perbuatan manusia dengan sengaja. Walaupun akhirnya semua orang harus mati. Walaupun akhirnya Tuhan yang menentukan waktu lahir dan waktu mati. Cara dan pola kematian telah menimbulkan banyak terjemahan. Cara dan pola penanganan orang yang telah meninggal-pun menimbulakn banyak terjemahan.

Hari ini dunia di perhadapkan dengan penyakit global yaitu virus yang namanya korona (Covid-19). Tidak ada negara yang mampu mengatasi virus tersebut namun Tuhan masih memberikan anugrah untuk hidup di dunia. Di semua kawasan Melanesia dan Afrika, pengaruh Covid-19 tidak begitu banyak. Ada banyak orang berpendapat bahwa hutan yang masih utuh dan matahari yang bersinar baik di tempat kita ialah dua faktor penentu kita tidak mudah terserang Covid-19.

Dengan demikian setiap manusia perlu hidup dan melayani sesuai karunia yang di berikan oleh Tuhan.

Belakangan ini di wilayah Papua banyak Pemimpin Orang Asli Papua (POAP)yang mati akibat perbuatan manusia, baik itu segaja maupun tidak sengaja, semua kematian itu seakan-akan diiklaskan saja tanpa diselidiki penyebab kematian mereka. Artinya kematian yang di alami POAP menjadi kematian biasa saja.

Berikut ini daftar kematian misterius, beberapa Pemimpin Papua dalam Pemerintahan Republik Indonesia. Kematian mereka selama ini penuh kecurigaan terhadap berbagai kepentingan politik lokal maupun Nasional. Biarlah pembaca sendiri yang menilai dari sudut pandang masing-masing.

  1. Bupati Yalimo Er Dabi meninggal dunia saat menjalankan tugas, 7 Desember 2016 di Timika, akibat kematian tidak jelas
  2. Bupati Mamberamo Raya Periode 2011-2016, Demianus Kyeuw-Kyeuw SH, MH meninggal dunia pada hari Selasa (12/maret/2019), di Jayapura akibat “serangan jantung”
  3. Mantan Gubernur Provinsi Papua Barat, Brigadir Jenderal Marinir Abraham Octavianus Atururi meninggal di Papua Barat, Jumat, 20 September 2019. Akibat meninggal sakit, tapi keterangan kematian tidak jelas.
  4. Mantan Bupati Sorong selama dua periode (1997-2007), Dr. Jhon Piet meninggal hari Senin 18 Maret 2019, di sorong, akibat kematian tidak di ketahui
  5. Bupati Keerom Celsius Watae dikabarkan tutup usia pada pukul 14.20 Rabu (10/januari 2018) di Rumah Sakit Polri Bhayangkara, Kotaraja, Kota Jayapura. Akibat serangan Jantung
  6. Wakil Bupati maybrat Paskalis Kocu meninggal dunia pukul 08.00 WIT di kediamannya di sorong, Selasa (25/8/2020). Akibat kematian terjatu tiba-tiba dan tidak sadarkan diri.
  7. Bupati kabupaten Boven Digoel, BenediktusTambonop, ditemukan meninggal dunia, Senin (13/01/2020 di salah satu hotel bintang lima kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat, akibat kematian tidak diketahui dengan jelas.
  8. Bupati Nduga, Yairus Gwijangge meninggal pada Minggu (15/11/2020) di jakarta. Akibat kematian karena sakit tapi tidak di jelaskan secara terperinci alias tidak jelas.
  9. Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (Wakasad) Letjen TNI Herman Asaribab meninggal dunia pada hari Senin (14/12/2020) di Jakarta Pusat, akibat kematian Tidak Jelas
  10. Mantan Bupati jayapura Habel Melkias Suwai meninggal dunia kamis 3 september 2020 di Jakarta, akibat “Serangan jantung”
  11. Wakil Gubernur Klemen Tinal meninggal dunia di RS Abdi Waluyo Menteng, Jumat (21/5/2021) di Jakarta, akibat meninggal tidak jelas alias di duga dibunuh.
  12. Mantan Bupati Biak Numfor Yusuf Melianus Maryen,S.Sos. MM meninggal dunia, Jumat (23/7/2021) di Biak, akibat kematian Sakit tapi tidak di jelaskan secara terperinci.
  13. Alex Hesegem, mantan Wakil Gubernur Papua periode 2006-2011, meninggal di RSUD Jayapura, Minggu (20/Juni/2021). akibat sakit penyakit, seperti pneumonia dan diabetes melitus.
  14. Mantan Bupati Yahukimo, Abock Busup, karena sakit,” kata Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan kepada wartawan, Minggu (3/10/2021), di Jakarta. Akibat kematian tidak jelas.

Kematian seluruh pemimpin Papua bagaikan gugur dalam musiman.

Yang menjjadi pertanyaan: Mengapa mereka dibunuh seperti ini?

Mengapa cara kematian mereka hampir sama modus operandinya, yaitu penyakit serangan jatung?

Mengapa tempat kematian mereka selalu di Jakarta?

Holandia 04 oktober 2021 by, JW, dimofikasi PMNews

NIPORLOME: Ingat Kolam Merpati ingat Niporlome, Duka Dari Ilaga

NIPORLOME: Ingat Kolam Merpati ingat Niporlome.

Niporlome dilupakan sejak adanya jalan baru Kago 1- Eromaga (1991).

Jadinya Lupa Niporlome-Ingat Kolam Merpati.

Setelah Pemekaran Kabupaten Puncak, Niporlome disebut karena Darah & Air Mata mengalir bagaikan buangan air kolam Merpati.


Early morning, three West Papuan civilians were shot dead by Indonesian military during a raid in Nipulame Village:

Petianus Kogoya (head of village)

Patena Murib

Melius Kogoya

Four other civilians including children were injured.- Veronica Koman on Twitter

Murder of Melanesians in West Papua continues….What are Melanesian leaders doing today?

Komnas HAM sampaikan temuannya di Kabupaten Puncak ke Pemprov Papua

Kepala Kantor Komnas HAM perwakilan Papua, Frits Ramandey (tengah) bersama pengungsi di Puncak – Dok Komnas HAM perwakilan Papua

Jayapura, Jubi – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM perwakilan Papua telah menyampaikan temuannya mengenai kondisi pengungsi di Kabupaten Puncak, kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua.

Kepala Kantor Komnas HAM perwakilan Papua, Frits Ramandey mengatakan pihaknya melihat langsung kondisi pengungsi dari sejumlah kampung di Puncak pada awal pekan ini.

Sebanyak 3.019 pengungsi dari 23 kampung, kini berada di Ilaga, ibu kota Kabupaten Puncak dan ibu kota Distrik Gome. Pengungsi ini berasal dari sembilan kampung di Ilaga Utara, empat kampung di pinggiran Ilaga, lima kampung di Distrik Gome, dan lima kampung dari Gome Utara.

Ribuan warga kampung itu mengungsi lantaran memanasnya konflik antara aparat keamanan dan kelompok bersenjata di sejumlah wilayah Puncak, beberapa waktu lalu.

“Saya sudah bertemu Pemprov Papua dan Kapolda, menyampaikan gagasan ini dan direspons baik oleh Kapolda dan Pak Sekda, untuk mengambil langkah langkah. Terutama terhadap para pengungsi,” kata Frits Ramandey kepada Jubi, Kamis (3/6/2021).

Ramandey mengatakan, kondisi keamanan di Puncak sudah berangsur pulih. Aktivitas ekonomi sudah berlajan baik.

Akan tetapi, Komnas HAM perwakilan Papua menemukan dua masalah utama pengungsi, yakni kebutuhan air bersih dan terbatasnya tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan.

“Mesti ada tambahan tenaga medis, sehingga bisa melayani pengungsi di dua titik pengungsian besar, yakni di Distrik Ilaga dan Gome,” ucapnya.

Ia berharap Pemprov Papua membantu Pemkab Puncak menyelesaikan masalah pengungsi. Memulangkan warga ke kampung asalnya. Sebab kondisi keamanan di sana sudah mulai pulih.

“Ketika mereka tingga di pengungsian, itu menimbulkan masalah kemanusiaan. Baik dari aspek kesehatan, beraktivitas, makan dan lain sebagainya. Sekarang yang mesti dilakukan adalah memulangkan pengungsi ke kampung mereka, agar mereka bisa kembali beraktivitas,” ujarnya.

Ramandey mengatakan, Pemprov Papua mesti membantu Pemkab Puncak menangani pengungsi, sebab di wilayah itu sedang ada konflik. Selain itu, pemkab memiliki keterbatasan fasilitas dan anggaran.

“Terpenting, pemkab dan pemprov berkolaborasi. Konfliknya sudah mereda, apalagi ada jaminan dari TPN-OPM. Mereka juga tidak ingin melanjutkan kekerasan yang terjadi selama ini di Puncak,” kata Ramandey.

Sementara itu, satu di antara advokat Papua, Oktavianus Tabuni berharap pemerintah memberikan perhatian khusus bagi para warga sipil yang mengungsi karena konflik bersenjata di Puncak.

“Karena pengungsi semakin bertambah, dan mereka tidak mendapatkan perhatian khusus,” kata Tabuni.

Ia menegaskan negara memiliki kewajiban untuk mengurus para pengungsi di Kabupaten Puncak, termasuk dalam memenuhi hak konstitusional mereka sebagai warga negara.

“Banyak anak-anak kecil yang tidak mendapatkan haknya, termasuk hak hidup dan hak atas kesehatan,” kata Tabuni. (*)

Editor: Edho Sinaga

Papua: arrests over alleged plot to attack archbishop and police

Twelve people have been arrested over an alleged terrorist plot to attack an archbishop and police stations in the Indonesian province of Papua, local police officials said.

Indonesia’s Detachment 88 counter-terrorism unit carrying out a raid in Banten province, in 2018. Photo: AFP

The suspected terrorists were believed to be Muslim extremists and were arrested in the largely Christian Merauke Regency of Papua, for planning an attack on police stations and Petrus Canisius Mandagi, the Archbishop of Merauke.

Merauke police chief Untung Sangaji said a series of arrests were made, starting from Friday 28 May, by the Indonesian Detachment 88 (or Densus 88) counter-terrorism team of the police.

“Yes, bishops have been targeted, including the Resort Police and … Merauke Police,” Untung told Benar News.

“It is true that they had entered the church carrying backpacks to target the Archbishop of Merauke. Since no one was targeted, they left.”

Untung said police learned about the attempt from a priest and a nun.

The 12 people involved in the plot were affiliated with the Islamic State-inspired Jamaah Ansharut Daulah (JAD) group, which carried out a suicide bombing at a Catholic Church in the Indonesian city of Makassar at the end of March, said Detachment 88 head of operations Aswin Azhar Siregar.

At least 20 worshippers were injured in the Makassar church attack, and two suspected suicide bombers were killed.

However, Aswin said the Merauke plot appeared to be more focused on attacking security forces.

“The attack plan that stands out is not the church, but the police stations,” he said, adding that Detachment 88 was still tracing JAD networks in Papua.

The first 10 suspects were arrested on Friday 28 May, and were listed by police using their initials: AK, SB, ZR, UAT, DS, SD, WS, YK, and husband and wife AP and IK. An eleventh person was arrested on Sunday, said police inspector Argo Yuwono.

Those eleven were migrants from Java and Sulawesi who had lived in Papua for a long time, and had sworn allegiance to the Islamic State group in Merauke, Argo said. A twelfth person was arrested later.

“Air rifles, sharp weapons and arrows” had been found during the arrests, as well as chemicals that were confiscated, but were still being investigated to find out what was in them, Argo said.

At least 83 terrorist suspects connected with the Makassar JAD network had been arrested by Detachment 88 earlier this year, in at least six cities, the minister for security affairs Mohammad Mahfud said in April.

Potential new conflicts as extremists seek hiding places

The establishment of Islamic militant networks in Papua began in 2018, when the pro-ISIS group was looking for an alternative training location it felt was safe from the reach of security forces, said Muh Taufiqurrohman, a senior researcher at the Center for the Study of Radicalism and Deradicalization, King’s College, London.

“It’s not a native tribe. Even if there are genuine Muslims who are radical, they usually lean more towards movements such as Hizbut Tahrir Indonesia, not JAD… [they are] ideologically different and less supportive of JAD’s actions,” he said.

“They have been active in Papua, in Timika [city], since March 2018… At that time there were 14 people who moved to Papua,” he said. “Their affiliation is with JAD in Bekasi, led by Koswara – and JAD in Lampung, led by Rudi (alias Abu Azzam).”

Koswara (alias Abu Ahmad) was sentenced to four years in prison in 2016, for helping militants travelling to join ISIS in Syria.

The shift of the Papua JAD group from Timika to the Merauke area was caused by security forces pursuing separatist groups, Taufiqurrohman said.

He believed security forces should respond quickly to the latest discovery of the Merauke plans to attack police targets and the archbishop, in order to avoid potential inflammatory incidents and conflict designed to fan wider social divisions.

“If this bombing is successful, there is a possibility of provoking the anger of the Catholic-Christian people.”

Benar News

Daftar Tokoh Orang Asli Papua yang neninggal dalam 4 tahun terakhir 2018-2021

Dari Tahun Ke Tahun Orang Asli Papua (OAP) Meninggal Dunia Tanpa Gejala Bahkan Meninggal Di Hotel Jakarta. Pemerintah Provinsi Papua Dan Tokoh-Tokoh Gereja Serta Tokoh Masyarakat Di 7 (Tujuh Wilayah Adat) Perlu Evaluasi Bersama Dalam Rangka Keselamatan Orang Asli Papua Di Masa Mendatang. Penelitian Ini Dibuktikan Dengan Beberapa Peristiwa Kematian Para Pemimpin Papua Di Tahun 2018 antara Tahun 2021. Kematian Semakin meningkat, Nama-Nama Para Pemimpin Tersebut Sebagai Berikut;

  1. Benediktus Tombonop Bupati Boven Digul (3/1/2020), Meninggal Di Hotel Jakarta Secara Tiba-tiba.
  2. Paulus Demas Mandacan Bupati Manokwari (20/4/2020).
  3. Paskalis Kocu Wakil Bupati Maybrat (25/8/2020).
  4. Habel Melkias Suwae Mantan Bupati Jayapura (03/9/2020).
  5. Bertus Kogoya Mantan Wakil Bupati Lani Jaya (11/9/2020).
  6. Demas Tokoro Ketua Pokja Adat MRP (19/9/2020).
  7. Arkelaus Asso Mantan Wakil Bupati Yalimo (15/10/2020).
  8. Yairus Gwijangge Bupati Ndugama (14/11/2020).
  9. Wakasad LetJend TNI Herman Asaribab 14/12/2020
  10. Dr. Hengki Kayame, Mantan Bupati Kabupaten Paniai, Meninggal Bulan Maret 2021.
  11. Robby Omaleng, Ketua DPRD Kabupaten Mimika Meninggal Setelah Divaksinasi Pada Bulan April 2021.
  12. Repinus Telenggen, Mantan Bupati Kabupaten Puncak Meninggal Secara Tiba-tiba Pada Awal Bulan Mei 2021.
  13. Klemen Tinal, Wakil Gubernur Provinsi Papua Meninggal 21 Mei 2021 Meninggal Serangan Jantung…
  14. Drs. Alimuddin Sabe, Mantan Wakil Bupati Sarmi (meninggal dgn serangan jantung).
  15. Sendius Wonda, SH, M.Si. Kepala Biro Pemerintahan Setda Provinsi Papua.
  16. Obaja Waker, Asisten I Kabupaten Puncak Papua.
  17. Celsius Watae, Bupati Keerom Meninggal di Hotel Secara Tiba-tiba.
  18. Wemban Kogoya, Kepala Dinas Kesehatan Kabipaten Tolikara.
  19. Abraham Oktavianus Aturure, Mantan Gubernur Provinsi Papua Barat.
  20. Rowani Wanimbo, Mantan Ketua DPRD Kabupaten Tolikara.
  21. Thomas Tigi, Bupati Dogiyai Meninggal Dalam Tahanan di Jayapura Secara Tiba-tiba.
  22. Herman Auwe Mantan Wakil Bupati Kabupaten Dogiyai.

Dalam Tiga Tahun Terakhir Ini, Hitung-hitung Puluhan Pemimpin Papua Telah Meninggal Dunia. Tidak Terhitung Kematian Bangsa Papua Yang Meninggal Karena Ditembak Oleh TNI/POLRI Diseluruh Pelosok Papua. Sampai Kapan Air Mata Akan Berakhir❓

Maka Satu Hal Yang Kami Sarankan Kepada Para Pemimpin Papua Yang Ada di 44 Kabupaten Kota Yang Berasal Dari Kedua Provinsi “Perlu Evaluasi” Bersama MRP, DPRP Serta Libatkan Pihak Gereja Dari Berbagai Denominasi Yang Ada Di Tanah Papua. Demi Keselamatan Bangsa Papua Di Tahun Mendatang. Karena Peristiwa Kematian Ini Terjadi Dengan Cara Misterius.

Selanjutnya, Kami Juga Sarankan Bahwa Para Pemimpin Atau “Orang Papua Yang Sakit” Janganlah Dibawah Ke Jakarta, Kalau Bisa Bawah saja Berobat Di Luar Negeri Seperti “Singapur atau di Negara Tetangga Lainnya” Karena Percuma Orang Papua Berobat Di Jakarta Malah Dibawah Jenazah Terus Pulangkan Di setiap Tahun. Merupakan Peristiwa Yang Sesungguhnya Terjadi Di Papua. Maka Sekali Lagi Kami Sampaikan Ini Sebagai Suatu Sarang Kami Bagi Para Pemimpin Papua Yang Kami Sayangi. Semoga Saran Dan Pesan Ini Bermanfaat Bagi Kita Semua.

Kiranya TUHAN Yesus Memberkati Kita Sekalian..

Sumber: WestPapuaNews

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny