Petugas Advokasi FI, ke-19 Sidang Dewan HAM PBB, Tentang Pelangaran HAM di West Papua

Written By Suara Wiyaimana Papua on Selasa, 28 Juni 2016 | Selasa, Juni 28, 2016

Fransiskan International, Jaringan Berbasis Kepercayaan pada Papua Barat dan TAPOL ingin menarik perhatian pada penyiksaan dan eksekusi di luar hukum masih berlangsung di Papua.

Organisasi kami sangat prihatin bahwa, meskipun fakta bahwa Indonesia meratifikasi Konvensi PBB Menentang Penyiksaan pada tahun 1998 dan karena itu secara hukum terikat untuk melarang penyiksaan dan semua bentuk lain dari perlakuan sewenang-wenang, penyiksaan terus berlanjut.

Ketentuan belum dibuat dalam hukum pidana militer dan sipil untuk mengkriminalisasi penyiksaan sehingga pasukan keamanan Indonesia masih melakukan praktek ini dengan impunitas. Militer secara teratur melakukan operasi sweeping anti-separatis untuk flush Gerakan Papua (OPM) pendukung dugaan. Ini sering melibatkan pembakaran desa-desa, membunuh ternak, penangkapan sewenang-wenang, pembunuhan di luar hukum dan penyiksaan. Orang-orang yang paling menderita dari aksi militer ini adalah warga sipil yang tidak bersalah.

Kami ingin menarik perhatian Anda untuk operasi militer yang berlangsung pada awal Desember 2011 di wilayah Paniai Papua Barat. Sebuah operasi sweeping besar-besaran yang dilakukan oleh unit militer, termasuk Amerika Serikat dan Australia yang didanai Densus 88, dan Polisi Brigade Mobil (Brimob), melaju ratusan (mungkin ribuan) penduduk desa dari rumah mereka karena mereka melarikan diri dari gelombang brutal udara dan serangan darat. Setidaknya 15 ditembak mati dan sekitar lima ratus penduduk desa Dagouto di Kabupaten Paniai meninggalkan rumah dalam ketakutan untuk mencari perlindungan di Enarotali berikut penyebaran seratus lima puluh petugas Brimob ke daerah mereka.

Mengingat bahwa Indonesia meratifikasi Konvensi PBB Menentang Penyiksaan empat belas tahun yang lalu, Pasal 4 yang mensyaratkan bahwa “setiap Negara Pihak harus memastikan bahwa semua tindakan penyiksaan merupakan tindak pidana menurut hukum pidananya,”

Fransiskan International, mendesak Pemerintah Indonesia untuk:

  • Perilaku yang cepat dan efektif penyelidikan ke dalam semua kasus pelanggaran hak asasi manusia terhadap warga Papua, di tuduhan khususnya penyiksaan dan eksekusi di luar hukum yang dilakukan oleh anggota militer; mengidentifikasi dan mengadili para pelakunya; dan memberikan solusi yang memadai untuk para korban.
  • Menjinakkan Konvensi Menentang Penyiksaan ke dalam hukum nasional segera sehingga untuk mengkriminalisasi penyiksaan sesuai dengan standar internasional dan kewajiban Indonesia sebagai negara pihak Konvensi.
  • Mengubah Hukum Militer No.31, 1997, untuk memastikan bahwa personil militer yang melakukan kejahatan, termasuk penyiksaan, terhadap warga sipil yang diadili di pengadilan sipil.
  • Melaksanakan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 2010-2014 secara penuh, dengan prioritas khusus ditempatkan pada meratifikasi Protokol Opsional untuk Konvensi Menentang Penyiksaan, dan membangun infrastruktur administrasi yang diperlukan untuk pelaksanaan komprehensif khususnya berkaitan dengan penunjukan setidaknya satu mekanisme pencegahan nasional.

Coba klik, nonton video disini, https://www.youtube.com/watch?v=Fzeh5eTqFhQ

LSM Internasional Desak PBB Selesaikan Pelanggaran HAM Papua

JENEWA – Aktivis advokasi untuk Franciscans International, Budi Tjahjono, meminta Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendesak pemerintah Indonesia untuk segera menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Indonesia, khususnya di Papua.

“Oleh karena itu, kami ingin Dewan (HAM PBB) untuk merekomendasikan kepada Pemerintah Indonesia melakukan penyelidikan imparsial atas kasus penangkapan sewenang-wenang di Papua Barat, serta di beberapa tempat lainnya di Indonesia,”

kata Budi pada Sidang ke-32 Dewan HAM PBB di Jenewa, pada hari Rabu (22/6) waktu setempat.

Budi juga meminta Dewan HAM PBB supaya Indonesia menjamin hak untuk kebebasan berekspresi, kebebasan berserikat dan berkumpul untuk semua orang Papua.

Ia juga menyerukan agar Papua terbuka untuk diakses oleh masyarakat internasional.

“Kami ingin menarik perhatian Dewan terhadap situasi hak asasi manusia di Papua Barat. Sebagai salah satu daerah yang paling terpencil di dunia, Papua tetap menjadi salah satu daerah konflik terakhir di Indonesia. Aktivis lokal terus melaporkan kasus penangkapan sewenang-wenang oleh aparat keamanan Indonesia terhadap orang asli Papua yang berpartisipasi dalam pertemuan damai untuk mengekspresikan pendapat politik mereka,”

kata Budi.

Menurut Budi, dalam beberapa kasus penangkapan yang diikuti dengan penyiksaan, mencerminkan impunitas luas yang dilakukan oleh pasukan keamanan Indonesia dan kurangnya mekanisme efektif untuk mengadili para pelaku.

Budi mengungkapkan penangkapan massal terjadi pada bulan April, Mei dan Juni 2016. Antara Mei dan Juni saja, lebih dari 3.000 orang diduga ditangkap selama protes massa damai di seluruh kota besar Papua (Jayapura, Merauke, Fakfak, Sorong dan Wamena) dan beberapa kota lain di Indonesia, seperti Makassar (Sulawesi Selatan), Manado (Sulawesi Utara), Yogyakarta, Malang (Propinsi Jawa Timur) dan Semarang (Jawa Tengah).

“Kebanyakan dari mereka dibebaskan dan beberapa disiksa selama penahanan. Demonstrasi diadakan untuk mendukung Gerakan Persatuan Pembebasan Papua Barat (ULMWP) untuk diakui sebagai anggota penuh Melanesian Spearhead Group (MSG), dan untuk memperingati masuknya Papua Barat ke Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963,”

kata Budi dalam sidang itu.

“Terbaru tuduhan penangkapan massal 1.400 orang Papua Barat di 15 Juni pekan lalu,” dia menambahkan.

Budi mengatakan, pihaknya menyadari bahwa Pemerintah Indonesia telah mengambil beberapa langkah untuk mengatasi situasi di Papua Barat. Namun, pihaknya menilai bahwa pelanggaran HAM di Papua Barat masih terus terjadi setiap hari dan tindakan kekerasan tetap belum dapat dihilangkan.

“Kasus penangkapan sewenang-wenang, seperti yang disebutkan sebelumnya, pembatasan kebebasan berekspresi dan berkumpul merupakan bukti yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, akses internasional masih sangat terbatas,”

kata Budi.

“Hal ini jelas tercermin pada undangan kepada Pelapor Khusus (Special Rapporteur) tentang Kebebasan Berekspresi untuk melakukan kunjungan negara ke Indonesia yang telah ditunda dalam beberapa tahun terakhir,”

dia menegaskan.

Dalam kesempatan itu, Budi juga meminta Dewan untuk menentukan tanggal kunjungan Pelapor Khusus PBB tentang Kebebasan Berekspresi dan memungkinkan pemegang mandat lain untuk mengunjungi Papua Barat.
Menurut Budi, pernyataannya tersebut juga didukung oleh VIVAT Internasional, Minority Rights Groups International, Hak Asasi Manusia untuk Jenewa, Koalisi Internasional untuk Papua Barat, Dewan Gereja Dunia, Papua Barat Nezwerk, dan Tapol.

Sumber: Satuharapan.com

Kepulauan Solomon Angkat Lagi Pelanggaran HAM Papua di PBB

Penulis: Eben E. Siadari 00:51 WIB | Kamis, 23 Juni 2016

JENEWA, SATUHARAPAN.COM – Diplomat Negara Kepulauan Solomon di PBB, Barret Salato, mengangkat kembali isu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua pada Sidang Dewan HAM PBB di Jenewa pada Rabu, 22 Juni.

“Kami mengungkapkan keprihatinan yang mendalam kami atas situasi HAM yang tergerus dari orang Melanesia Papua asli, yang merupakan penduduk asli Papua,” kata dia, dalam pidatonya yang dapat disaksikan lewat televisi internet PBB.

Ia mengatakan, Kepulauan Solomon sebagai ketua Melanesian Spearhead Group (MSG) dan yang ditunjuk sebagai ketua Pacific Islands Development Forum (PIDF), menyatakan solidaritas terhadap sesama rakyat Melanesia di Papua.

“Kami akan mendorong Pemerintah Indonesia untuk mencari solusi damai dan berkelanjutan atas konflik yang sedang berlangsung di Papua melalui keterlibatan konstruktif dengan perwakilan Papua dan menghormati hak mereka sebagai manusia,” lanjut dia.

Ia mengatakan Solomon menyambut perhatian besar yang diberikan Presiden Joko Widodo dalam membangun Papua. Namun pada saat yang sama, ia menambahkan, pelanggaran HAM terhadap Papua belum terselesaikan.

“Pemerintah Kepulauan Solomon menerima laporan rutin tentang kasus penangkapan sewenang-wenang, eksekusi, penyiksaan, perlakuan buruk, pembatasan kebebasan berekspresi, berkumpul dan berserikat, yang dilakukan terutama oleh polisi Indonesia,” kata dia.

Di bagian lain pidatonya ia menyebut penangkapan lebih dari 2.000 penduduk Papua saat berunjuk rasa damai di Papua ketika menyatakan dukungan terhadap ULMWP menjadi anggota penuh MSG, dan menyatakan keprihatinan atas kejadian itu.

Ia juga mengungkapkan upaya MSG pada pertemuan tingkat Menlu di Fiji pekan lalu yang telah mendudukkan delegasi ULMWP dan Indonesia dalam satu meja. Hasil itu, kata dia, diharapkan dapat membangun ruang untuk keterlibatan konstruktif dengan semua pihak dalam menangani keprihatinan anggota MSG terkait perkembangan terakhir di Papua.

Dikatakannya pula, Solomon juga menyambut inisiatif MSG untuk bekerjasama dengan pemerintah RI untuk mengunjungi Papua di kemudian hari. Kunjungan itu diharapkan memungkinkan memberikan pandangan yang objektif dan independen oleh anggota MSG.

Pada bagian lain pidatonya, ia menyatakan mendukung deklarasi yang dibuat oleh International Parliamentarians for West Papua (IPWP) di London pada 3 Mei lalu yang menyerukan perlunya referendum yang diawasi PBB di Papua.

Solomon juga mendesak agar Indonesia membuka pintu bagi masuknya jurnalis asing ke Papua. Sejalan dengan itu, Solomon juga meminta agar Indonesia bekerja sama dengan Dewan HAM PBB untuk memungkinkan kunjungan pelapor khusus PBB ke Papua, demikian juga dengan pencari fakta dari Pacific Islands Forum (PIF) tentang pelanggaran HAM di Papua.

Pernyataan Kepulauan Solomon ini disampaikan pada Rapat Pleno ke-24 Sesi Regular ke-32 Dewan HAM PBB. Maret lalu, hal ini sudah pula pernah diangkat oleh Kepulauan Solomon di forum yang sama oleh diplomat yang sama.

Editor : Eben E. Siadari

Kemlu: Pelapor Khusus PBB, Maina Kiai, Tak Mengerti Papua

Penulis: Bob H. Simbolon 15:55 WIB | Kamis, 23 Juni 2016

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Arrmanatha Nasir, mengatakan Pelapor Khusus (special rapporteur) PBB bidang kebebasan berkumpul secara damai dan berserikat, Maina Kiai, tidak mengerti sepenuhnya perkembangan masyarakat di Papua.

“Statement yang disampaikan beliau (Maina Red) tidak benar fakta karena demokrasi di Papua berjalan, seperti pelaksanaan pemilu lokal dilakukan secara terbuka dan hasilya putra daerah terpilih,” kata dia kepada satuharapan.com di Kantor Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Jakarta pada hari Kamis (23/6).

Dia pun membantah pernyataan dari pelapor khusus PBB yang menyatakan adanya kemunduran pembangunan di Papua karena pemerintah Joko Widodo masih memberikan perhatian khusus kepada masyarakat Papua seperti pada aspek pendidikan, aspek pembangunan.

“Pembangunan besar-besaran masih terus dilakukan di Papua,” tambah dia.

Dia pun mengatakan bahwa pernyataan dari special rapporteur PBB yang membandingkan Papua sama seperti Tibet dengan keadaan tidak bebas berekspresi tidak benar adanya.

“Persoalaan aksi unjuk rasa atau kebebasan berekspresi telah diatur oleh Undang-undang. Kebebasan berekspresi di Papua sama seperti di Jakarta, sama-sama diatur oleh Undang-undang,” kata dia.

Sebelumnya Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk kebebasan berkumpul secara damai dan berserikat, Maina Kiai, mengangkat tindakan represif pemerintah Indonesia di Papua sebagai salah satu contoh ancaman bagi hak kebebasan berkumpul secara damai dan berserikat.

Ia menyamakan represi Indonesia di Papua dengan yang perlakuan pemerintah Tiongkok terhadap Tibet dan Uighur serta yang dilakukan pemerintah India dan Mauritania terhadap masyarakat dengan kasta yang lebih rendah di negara mereka.

Maina Kiai yang merupakan special rapporteur PBB untuk hak kebebasan berkumpul secara damai dan berserikat,  mengangkat isu tersebut ketika mendapat kesempatan bicara menyampaikan laporannya pada sidang Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB sesi ke-32, di Jenewa pada hari Jumat (17/6). Pidatonya sepanjang 15 menit itu dapat juga dilihat dalam siaran televisi internet PBB, webtv.un.org.

Editor : Eben E. Siadari

DPRP Tolak Tim Penanganan HAM Papua

JAYAPURA– Bintangapua.com– DPRP menyatakan sikap menolak Tim Terpadu Penanganan Dugaan Pelanggaran HAM Papua yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Menkopolhukam RI Nomor 40/2016, beranggotakan penyidik Komnas HAM, Kejaksaan Agung dan Tim Pembela HAM.

Sikap penolakan ini disampaikan Ketua DPRP Yunus Wonda, SH, MH ketika dikonfirmasi usai menghadiri sosialisasi RUU Penilaian oleh Komite IV DPD RI di Sasana Karya, Kantor Gubernur Papua, Jayapura, belum lama ini.

Tim Terpadu Penanganan Dugaan Pelanggaran HAM Papua ini diharapkan pada akhir 2016 dapat memberikan kesimpulan dalam sejumlah kasus pelanggaran HAM di Papua kepada Presiden Jokowi. termasuk tiga kasus utama yang ditangani oleh tim ini yakni Kasus Wasior 2001, Wamena 2003 dan Paniai 2014.

“Tim ini bukan tim independen, mengapa tak melibatkan Komnas HAM. Bayangkan saja, misalnya saya membunuh, lalu saya sendiri yang membuat kajian itu, kan ini tak logis,” tutur Yunus.

Walaupun ada data yang dibuat oleh tim bentukan pemerintah, lanjut Yunus, pihaknya yakin tak ada negara manapun yang akan mempercayai data tersebut.

“Biarpun mengalokasikan dana berapapun, tetap tak menyelesaikan masalah di Papua. Sebab akar masalahnya tak dibongkar. Karenanya, kami harap ada penyelesaian masalah Papua melalui dialog,” terang Yunus.

Yunus menjelaskan, hingga kini masih ada 16 kasus pelanggaran HAM di Papua yang dibahas didalam Tim tersebut.

“Kami tak percaya kasus pelanggaran HAM di Papua bisa terungkap,” ujar Yunus. (mdc/don)

Legislator Minta Indonesia Buka Diri Investigasi Kasus HAM di Papua

Penulis Suara Papua – Juni 20, 2016

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Sikap pemerintah dalam hal ini Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Republik Indonesia menolak keterlibatan pihak lain dalam proses investigasi kasus-kasus pelanggaran HAM di Tanah Papua, menunjukkan upaya menyembunyikan “sesuatu” agar tidak diketahui dunia internasional.

Anggota DPR Papua, Laurenzus Kadepa mengatakan, hal itu akan memperkuat dugaan berbagai pihak terhadap kondisi HAM di Tanah Papua selama ini.

“Jika memang benar di Papua tidak ada masalah, seperti pernyataan Luhut Pandjaitan selama ini, itu justru menguntungkan Indonesia. Tetapi kalau tidak, akan melahirkan pertanyaan-pertanyaan baru terhadap kondisi daerah ini. Jadi, lebih baik ijinkan saja pihak lain investigasi kasus HAM, supaya lebih netral, juga tak ada hal-hal yang tersembunyi,”

tuturnya di Jayapura, Minggu (20/6/2016).

Menurut Kadepa, sebenarnya akan menguntungkan pihak Indonesia sendiri jika tim lain diijinkan investigasi kasus HAM dan tidak menemukan bukti-bukti pelanggaran HAM yang serius dan lain-lain. “Tetapi, kalau dibatasi terus, ya jelas akan memperkuat dugaan-dugaan pelanggaran HAM,” ujarnya.

Kadepa menyampaikan hal ini menanggapi pernyataan Menko Polhukam bahwa Indonesia tidak mau ada yang investigasi kasus HAM di Papua.

“Kenapa Luhut Pandjaitan tidak mau tim independen lain investigasi kasus HAM di Papua? Jika memang benar di Papua tidak ada masalah, seperti pernyataan Luhut selama ini, sebenarnya justru menguntungkan Indonesia,”

imbuh Kadepa.

Sebelumnya, seperti diberitakan media ini, Luhut menyatakan, Indonesia tak mau tim independen lain melakukan investigasi kasus HAM di Tanah Papua. Kata Luhut, penolakan terhadap tim investigasi bentukannya tidak oleh semua orang Papua.

Luhut mengklaim, yang menolak hanya satu dua orang saja. “Yang menolak tidak semua orang kan. Kalau tidak salah hanya Natalius Pigai, sementara Ketua Komnas HAM dan beberapa anggota Komnas HAM lainnya ada dalam tim. Tapi semua orang juga bisa sama-sama, tetapi dangan data, jangan dengan rumor,” ujar Luhut di Wamena, Jumat (17/6/2016).

Pemerintah menurutnya, tidak mau ada orang lain membuat tim independen menginvestigasi Indonesia. Ia juga mengklaim, Indonesia siap lakukan sendiri dengan mengundang Dubes PNG, Fiji, Solomon Island dan New Zealand.

Untuk proses penyelesain kasus-kasus HAM di Papua, Luhut yakin bisa tuntas pada akhir tahun 2016. “Semua kasus selesaikan tahun ini (2016), jika tidak selesai kami selesaikan tahun depan,” ujarnya.

Pewarta: Mary

Anggota KNPB Sentani ‘Diculik’ Lima Orang Berpakaian Preman

Jayapura, Jubi – Seorang anggota KNPB wilayah Sentani, Anton Hubusa (23th) mengaku diculik dan diikat oleh lima lelaki berpakaian preman dan dibawa dengan Estrada, Rabu (15/6/2016), dari titik aksi Hawai, Sentani, Kabupaten Jayapura.

Lima laki-laki berpakaian preman yang menggunakan mobil Estrada hitam tersebut menghampiri Anton yang sedang mengambil foto untuk dokumentasi aksi.

Menurut Anton kepada Jubi, salah seorang dari mereka menghadangnya sambil mengatakan: “kau bikin apa? Perintah Kapolda itu KNPB tidak boleh demo.”

Lalu Anton menjelaskan bahwa demo damai yang dilakukannya adalah hak azasi untuk perjuangan bangsa Papua.

Tanpa mengindahkan pernyataan Anton, lima orang tersebut langsung memborgol dan memasukkannya ke dalam Estrada. Anton protes dan meronta di dalam Estrada yang tertutup rapat. Ketika itu mobil masih diparkir dalam keadaan gelap karena tertutup kaca.

Anton mengatakan, dirinya terus meronta dan melawan sekitar 30 menit sambil berteriak agar dibiarkan bergabung dengan kawan-kawannya. Karena terus meronta, dia lalu dilempar ke bak belakang mobil, sambil mobil bergerak.

Di bak belakang mobil, kakinya diikat keatas dalam keadaan tangan masih diborgol. Mereka mengatakan akan membawanya ke Polsek Doyo. Namun mobil yang berjalan berputar-putar membuat Anton panik dan terus berteriak karena tidak tahu dia akan dibawa kemana.

Karena terus berteriak, mulut Anton lalu dilakban dan kepalanya sempat dipukul.

Anton mengetahui bahwa dirinya dibawa ke arah Genyem, dan seseorang dengan motor Supra x mengikuti dari belakang. Sambil meronta terus menerus, Anton berhasil melompat dari mobil yang melambat, dan jatuh ke tengah jalan.

Dia masih terus berteriak minta tolong untuk diserahkan pada polisi, “saya bukan binatang, saya berjuang untuk Papua,” ujarnya. Keenam orang tersebut mengelilinginya ditengah jalan dan terus mengancam keras.

“Untung ada seorang mahasiswa asal Wamena dia lewat di jalan itu, dia datangi kami dan bilang pada mereka untuk berhenti, dan tidak boleh lakukan itu, karena melanggar hukum”, Anton menjelaskan.

Baru setelah mahasiswa itu pergi untuk melaporkan kejadian, kelima orang tersebut membawa Anton ke Polres Doyo. Itupun setelah dibawa berputar lagi beberapa kali.

Saat ini Anton menderita luka-luka lecet di tangan, kaki dan kepala, serta kepala pusing. Dia dan teman-temannya di KNPB menolak dirujuk ke RS Youwari oleh Polisi, dan memilih ditangani secara mandiri oleh organisasi.(*)

Bangsa Papua Sedang Melawan Slow Motion Genocide

YOGYAKARTA, SUARAPAPUA.Com — Melalui Radio New Zealand (RNZ), dilansir RNZ (15/5/2016), Pdt. Socratez Sofyan Yoman menegaskan, bangsa Papua hari ini sedang mengalami ‘slow motion genocide’, genosida yang terjadi perlahan-lahan.

Menurut Yoman, bangsa Papua tidak tinggal diam. Bangsa Papua sudah, sedang, dan akan terus berusaha berupaya dan berjuang untuk tetap eksis dan hidup di atas tanah airnya.

Pendeta Zocratez yang adalah pimpinan Persekutuan Gereja-gereja Baptis di Tanah Papua ini dikabarkan bertemu dengan beberapa anggota perlemen dan dengan petinggi-petinggi agama di kawasan Melanesia dan Pasifik.

Dalam kesempatan wawancara dengan RNZ, Yoman juga mengaku kecewa terhadap sikap Ramos Horta, pejuang kemerdekaan Timor Leste yang datang ke Papua beberapa waktu lalu. Menurut Yoman, Horta, komentarnya usai mengunjungi Papua tidak menunjukkan kapasitasnya sebagai seorang pejuang yang pernah memimpin sebuah bangsa menuju kemerdekaan.

Yoman tidak sendiri bicara soal genosida di Papua Barat. Sebelumnya, Komisi Keadilan dan Perdamaian Gereja Katolik Keuskupan Agung Brisbane, Australia, pada 1 Mei 2016, telah mengeluarkan sebuah laporan berjudul We Will Lose Everything.

Dokumen ini berisi catatan pelanggaran atas hak asasi manusia Papua di atas tanah airnya. Kesimpulan dari dokumen ini, adalah adanya genosida yang berjalan lambat, sedang terjadi di Papua, dan bangsa Papua terancam punah.

“Sistim hukum dan politik Indonesia tidak mau dan tidak mampu menangani pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia di Papua Barat,” kata laporan tersebut seperti dikutip suarapapua.com, Rabu (18/5/2016).

“Mereka (bangsa Papua) selalu hidup dalam ketakukan akan kekerasan dan merasa putus asa dengan jumlah mereka yang berkurang sangat cepat serta terus terpinggirkannya mereka secara ekonomi dan sosial,”

lanjut laporan ini.

Sebelumnya, Jim Elmslie, seorang akademisi dari Universitas Sidney, Australia, pernah melakukan penelitian di Papua dan mengeluarkan sebuah laporan dugaan pelanggaran HAM berat di Papua, berupa kepunahan bangsa Papua secara berlahan-lahan. Kesimpulan penelitiannya ini didukung oleh data statistik tentang komposisi kuantitas penduduk asli Papua dan non Papua.

Analisis statistik Elmslie dengan kuat memperlihatkan kesenjangan dari komposisi dari perkiraan total penduduk Papua tahun 2020: pendatang di Papua berjumlah 5.174.782 (71,1%) dan orang asli Papua di Papua hanya 2.112. 681 (28,99%). Elmslie menyebutnya, sebuah bencana demografis terparah, yang mengindikasikan adanya ‘slow motion genocide’.

Pemerintah Indonesia dalam berbagai kesempatan menegaskan bahwa pemerintahannya telah melakukan pendekatan kesejahteraan dalam menangani Papua. Misalnya, menanggapi soal laporan berjudul We Will Lose Everything, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan RI, Luhut Binsar Panjaitan, menanggapi dingin.

“Bila ada bukti awal, akan kita proses secara terbuka,” katanya singkat, dilansir rappler.com edisi 3 Mei 2016.

Sementara itu, Presiden Joko Widodo terus menolak Tim Pencari Fakta dari Pasific Islands Forum (PIF) untuk datang ke Papua memantau langsung pelanggaran HAM. Bahkan ketua Melanesian Spearhead Group (MSG), Manasseh Sogavare. Indonesia beralasan, soal Papua adalah persoalan internalnya.

Untuk diketahui, genosida adalah sebuah pembantaian besar-besaran secara sistematis terhadap satu suku bangsa atau kelompok dengan maksud memusnahkan (membuat punah) bangsa tersebut. Kata ini pertama kali digunakan oleh seorang ahli hukum Polandia, Raphael Lemkin, pada tahun 1944. Kata ini diambil dari bahasa Yunani, genos (‘ras’, ‘bangsa’ atau ‘rakyat’) dan bahasa Latin caedere (‘pembunuhan’).

Genosida merupakan satu dari empat pelanggaran HAM berat yang berada dalam yurisdiksi International Criminal Court. Pelanggaran HAM berat lainnya ialah kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan Agresi.

Genosida adalah istilah yang menggambarkan perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara membunuh anggota kelompok mengakibatkan penderitaan fisikatau mental yang berat terhadap anggota kelompok, menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang menciptakan kemusnahan secara fisik sebagian atau seluruhnya, melakukan tindakan mencegah kelahiran dalam kelompok; memindahkan secara paksa anak-anak dalam kelompok ke kelompok lain

Ada pula istilah genosida budaya yang berarti pembunuhan peradaban dengan melarang penggunaan bahasa dari suatu kelompok atau suku, mengubah atau menghancurkan sejarahnya atau menghancurkan simbol-simbol peradabannya.

Pewarta: Bastian Tebai

Editor: Arnold Belau

KNPB: Dalam Lima Hari Polisi telah Menangkap 125 Orang Papua

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com—- Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Pusat melaporkan, dalam lima hari terakhir, sejak tanggal 10 Juni lalu hingga hari ini, Rabu (15/6/2016) kepolisian kolonial republik Indonesia telah menangkap 1.236 orang.

“Kalau hari ini ada sekitar 1.135 orang yag ditangkap. Yaitu 100 orang ditangkap di Wamena. 1.004 orang ditangkap di Sentani dan 31 mahasiswa ditangkap oleh aparat dari Polres Malang, Jawa Timur. Lalu, tanggal 10 Juni lalu aparat dari Polresta Jayapura tangkap 31 orang di Jayapura Kota. Dan tanggal 13 Juni lalu 65 orang ditangkap di Sentani. Di tanggal yang sama, pada 13 lalu, 4 orang ditangkap di Nabire. Jadi semua yang ditangkap dalam lima hari terakhir ada 1.235 orang,”

ungkap Bazoka Logo, juru bicara Nasional KNPB Pusat kepada suarapapua.com dari Jayapura, Rabu (15/6/2016).

Dijelaskan, 31 orang ditangkap di Jayapura saat bagika selebaran. 65 orang di Sentani juga ditangkap saat bagikan selebaran di Sentani. 4 orang yang di Nabire, ditangkap saat antar surat pemberitahuan ke Polisi. 31 mahasiswa di Malang ditangkap saat aksi hari ini. 100 orang di Wamena dan 1004 orang di Sentani ditangkap saat mau aksi.

“Tetapi semua setelah ditangkap, sudah dibebaskan. Dan mereka dibebaskan setelah diinterogasi dan diminitai keterangan di Polisi. Namun yang di Nabire, mereka ditahan selama satu hari di penjara Polres Nabire baru dibebaskan,”

terang Logo.

Dikatakan, di Sentani, satu orang sempat ditahan, diinterogasi dan dipukul sehingga sempat hilang kesadaran. Namun saat ini dia sudah sembuh.

“Setiap kali aparat tangkap, selalu ada penganiayaan terhadap aktivis KNPB seperti yang terjadi di Sentani. Dalam perjalanan menuju ke Polres, banyak yang dipukul di tengah jalan. Ini kebiadaban negara kolonial yang sedang ditunjukkan pada orang Papua,”

katanya.

Logo menegaskan, sikap yang Polisi kolonial tunjukkan hari ini sesungguhnya mendukung dan mempercepat perjuangan bagi Papua Barat, dan juga kemudian merusak citra demokrasi Indonesia sendiri.

“Rakyat Papua semakin jelas dan semakin sulit untuk percaya Indonesia sebagai negara demokrasi, jika Pengamanan aparat kepada rakyat yg ada di Papua dalam menyampaikan pendapat dibuka umum. Polisi seharusnya kedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Bukan kedepankan kekerasan dan represif,”

katanya.

Aksi demo rakyat Papua menolak tim penyelesaian kasus pelanggaran HAM buatan Jakarta yang dipimpin oleh Luhut Panjaitan, Menko Polhukam berlangsung di beberapa kota yang ada di Papua dan Papua Barat. Antara lain, Nabire, Merauke, Fak-Fak, Paniai, Timika, Manokwari, Sorong, Biak, Sentani, Jayapura.

Pewarta: Arnold Belau

Ketua DPRD: 2000 Orang Papua Tidak Diperlakukan Seperti Manusia

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Papua, Yunus Wenda, mengatakan, aparat keamanan di Papua memperlakukan secara tidak manusiawi 2000 warga Papua saat melakukan aksi unjuk rasa di Provinsi Papua pada awal bulan Mei Tahun 2016.

“Masyarakat Papua disiksa, dipukul secara tidak manusiawi di lapangan terbuka yang dilakukan oleh aparat keamanan dan ini dilihat masyarakat Internasional,” kata dia kepada satuharapan.com di Gedung Parlemen, Senayan di Jakarta pada hari Jumat (27/5).

Dia mengatakan selama ini penanganan aksi unjuk rasa yang dilakukan aparat keamanan baik TNI atau Polisi tidak manusiawi. Kondisi Papua saat ini jangan dilihat seperti pada tahun 1940 atau 1980.

“Hari ini masyarakat Internasional memperhatikan masyarakat Papua apalagi dalam waktu mendatang pertemuan pemimpin Melanesian Spearhead Group (MSG) akan kembali digulirkan,” kata dia.

Dia menyarankan agar aparat yang dikirim ke Papua belajar adat istiadat masyarakat Papua sehingga aparat mengetahui apa yang harus dilakukan.

“Saya tidak tahu apakah pemerintah mengikuti ini atau tidak. Pemerintah jangan menganggap ini biasa-biasa saja. Salah satu solusi saat ini sebenarnya adalah Revisi Undang-Undang No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua,” tambah dia

Editor : Eben E. Siadari

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny