Sekjen PBB Terima Laporan Genosida di Papua

ISTANBUL, SATUHARAPAN.COM – Laporan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua yang menggambarkannya sebagai ‘genosida gerak lambat’ telah sampai ke tangan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) kemarin (25/5).

Laporan itu diberikan oleh Direktur Eksekutif  Pacific Islands Association for Non-Governmental Organisations (PIANGO),  Emele Duiturage, pada hari kedua Konferensi Kemanusiaan Dunia (World Humanitarian Summit/WHS) di Istanbul, Turki. Laporan itu diterimakan kepada asisten Sekjen PBB.

Menurut PACNEWS, Duituturaga menyerahkan laporan tersebut kepada Ban Ki-moon pada siang hari. Duituturaga mengatakan dirinya senang sempat melakukan percakapan singkat dengan Ban pada akhir KTT.

Penyerahan ini dilakukan setelah Duituturaga menyampaikan paparannya pada pleno WHS hari pertama, dimana ia menyerukan intervensi PBB terhadap pelanggaran HAM di Papua.

“PIANGO adalah pendukung kuat pendekatan berbasis HAM dan kami berkomitmen untuk menegakkan norma-norma yang melindungi umat manusia, khususnya dalam kaitannya dengan berbicara tentang pelanggaran hukum kemanusiaan dan hak asasi manusia internasional,”

kata dia.

“Di Pasifik, kami menghadapi konflik yang disebabkan tantangan kemanusiaan. Kami memuji penutupan kamp pengungsi di Papua Nugini, kami prihatin atas konflik di pusat penahanan Nauru dan kami meminta intervensi PBB untuk pelanggaran HAM di Papua,” kata dia.

Laporan ini pelanggaran HAM ini merupakan temuan Komisi Keadilan dan Perdamaian Gereja Katolik Keuskupan Brisbane, Australia, yang dilansir secara resmi  pada hari Minggu (1/5) di Brisbane. Dalam laporan yang diberi judul We Will Lose Everything, A Report of Human Right Fact Findings to West Papua  itu, mencuat rekomendasi yang cukup progresif, termasuk mendesak adanya campur tangan PBB terhadap pelanggaran HAM di Papua dan bagi upaya penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua.

Dalam laporan setebal 24 halaman itu,  salah satu rekomendasi mereka adalah “Mendesak pemerintah-pemerintah di Pasifik, termasuk Australia, untuk mengupayakan intervensi Dewan Hak Asasi Manusia PBB dan Sidang Umum PBB untuk melakukan investigasi independen terhadap pelanggaran HAM di Papua.”

Laporan yang merupakan hasil pencarian fakta yang dilakukan oleh Executive Officer Komisi, Peter Arndt dan Suster dari St Joseph Sydney, Susan Connelly, juga merekomendasikan agar “negara-negara di Pasifik, termasuk Australia, menekan pemerintah Indonesia secara langsung dan mengupayakan intervensi PBB untuk menyelenggarakan dialog antara Indonesia dengan para pemimpin rakyat Papua, United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), untuk mengidentifikasi jalur yang kredibel bagi penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua.”

Laporan ini dibuat setelah delegasi Komisi mengunjungi Merauke, Jayapura, Timika dan Sorong. Mereka berbicara dan mengorek keterangan dari penduduk Papua, termasuk saksi sejarah kecurangan pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969. Sebagian dari laporan ini telah beredar awal Maret lalu yang dilaporkan oleh catholicleader.com.au.

Misi pencarian fakta ini  mewawancarai lebih dari 250 tokoh masyarakat di Jayapura, Merauke, Timika dan Sorong. Bukan hanya soal HAM, laporan itu juga  mendokumentasikan berbagai diskriminasi ekonomi, sosial dan agama di Papua, termasuk bagaimana penguasaan tanah telah lebih menguntungkan perusahaan multinasional sedangkan warga Papua dikecualikan dari kepemilikan dan pekerjaan.

Laporan tersebut mengungkap secara rinci bagaimana tim pencari fakta mengunjungi sejumlah tempat dan orang di Papua, hingga tiba pada rekomendasi tersebut. Pelanggaran HAM di masa lalu yang terus berlanjut hingga kini diutarakan dalam bentuk narasi maupun angka.

Sebagai contoh, disebutkan bahwa pada tahun 1977 terjadi pengeboman dan kelaparan selama tiga bulan di dataran tinggi Papua, yang diperkirakan menewaskan 25.000 orang. Pengeboman juga terjadi pada tahun 1997 yang merusak ladang dan ternak, yang menyebabkan kelaparan dan kematian ribuan penduduk desa.

Pada 1998 dilaporkan terjadi pembunuhan terhadap pria dan wanita yang sedang berdoa untuk kemerdekaan. Selain itu, dicatat pula pembunuhan terhadap tokoh Papua seperti Arnold Ap (1984), Dr. Thomas Wainggai (1996) dan Theys Eluay (2001) dan Kelly Kwalik (2009).

Lebih lanjut, disebutkan bahwa dalam dekade belakangan ini terjadi pelecehan dan intimidasi terhadap sejumlah lembaga-lembaga kemanusiaan internasional, termasuk Komite Internasional Palang Merah, lembaga Cordaid dari Belanda dan Peace Brigades International. “Organisasi-organisasi ini diusir dari Papua karena mereka membela HAM di wilayah mereka bekerja,” kata laporan itu.

“Delegasi Komisi yang berkunjung ke Papua pada bulan Februari 2016 menemukan tidak ada perbaikan dalam situasi HAM. Laporan pelanggaran HAM oleh anggota pasukan keamanan Indonesia tidak berkurang dan status ekonomi dan sosial rakyat Papua tidak meningkat. Sistem politik dan hukum Indonesia tidak mau dan tidak mampu mengatasi pelanggaran HAM di Papua,” demikian bunyi laporan tersebut.

“Banyak yang berbicara tentang adanya genosida dalam gerak lambat,” kata laporan itu.

Selain menyampaikan keprihatianan tentang Papua dalam forum ini Duiturage juga menegaskan bahwa sebagai organisasi masyarakat sipil terkemuka, PIANGO mewakili LSM di 21 negara dan wilayah Kepulauan Pasifik, berkomitmen terhadap Agenda Kemanusiaan.

“Di Pasifik di mana 80 persen dari populasi berbasis di pedesaan, respon yang pertama dan  terakhir selalu respon lokal, karena itu kita perlu memperkuat kepemimpinan lokal, memperkuat ketahanan masyarakat dan memprioritaskan ulang lokalisasi bantuan.”

“PIANGO berkomitmen untuk memfasilitasi koordinasi yang efektif dari organisasi masyarakat sipil lokal dan nasional dengan peran pelengkap LSM internasional.”

KTT dihadiri oleh 9.000 peserta dari 173 negara, termasuk 55 kepala negara, ratusan perwakilan sektor swasta dan ribuan orang dari masyarakat sipil dan organisasi non-pemerintah. Konferensi berakhir pada hari Rabu (25/5).

Editor : Eben E. Siadari

Pemisahan Papua dari Indonesia tidak akan Memberikan Keuntungan bagi Warga Papua?

Ada artikel yang sangat menarik ditulis oleh Silmi Kafhah, silmi09021992@gmail.com dalam https://www.islampos.com/ Judul artikelnya ialah “Waspadai Upaya Asing Memisahkan Papua dari Indonesia” tanggal 11 Maret 2016.  Artikel ini sebenarnya tidak punya alasan-alasan yang rasional dan empirik. Isinya penuh dengan kecurigaan dan kebencian terhadap kapitalisme dan dunia barat. Maklum saja karena penganut Negara Islam Indonesia lewat situs-situs mereka di satu sisi selalu memojokkan yang non-Muslim, padahal di sisi lain sebenarnya apa yang mereka katakan punya dampak sangat fatal bari NKRI, yaitu penerapan syariah Islam.

Artikel ini membahas keterlibatan, tangan-tangan asing dalam meniup api kemerdekaan, memberi ruang dan bahkan mendanai perjuangan kemerdekaan West Papua dan menyatakan solusi terbaik ialah dengan meninggalakn proses demokratisasi yang sudah terlewati di Indonesia dan kembali kepada Syariah Islam.

Pada satu sisi menyalahkan perusahaan asing dan LSM asing karena mereka dipandang membantu perjuangan Papua Merdeka. Terlihat jelas, penulis menunjukkan betapa dirinya sangat nasionalis Indonesia. Di sisi lain, sangat bertentangan dan malahan bertentangan dengan konstitusi yang dia sebut dibelanya, yaitu NKRI. Dia mengusulkan Negara yang disebutnya Indonesia itu kembali kepada Syariat Islam. Arti sebenarnya dari tulisan ini seratus persen mengandung tulisan separatis, tulisan mendukung makar, yaitu membubarkan negara bernama Indonesia yang berdasarkan Pancasila dengan negara Islam Indonesia, yaitu negara Indonesia berdasarkan Syaariah Islam.

Lebih lucu lagi, tulisan ini mengatakan kemerdekaan West Papua tidak menguntungkan bagi orang Papua sendiri. Berikut dalam kalimatnya sendiri:

Penting untuk disadari oleh semua pihak Papua, pemisahan Papua di Indonesia tidak akan memberikan keuntungan bagi warga Papua. Meminta bantuan dari negara imperialis untuk memisahkan diri merupakan bentuk bunuh diri politik. Pemisahan Papua dari Indonesia hanya akan membuat Papua lemah. Sebenarnya warga Papua sedang diperdaya demi segelintir elit politik agar mereka mendapat keuntungan.

Satu kalimat ini saja kalau kita bedah mengandung banyak kesalahan fatal secara konsep berpikirnya. Perama, uangkapan “semua pihak Papua” maksudnya apa atau siapa? Kedua, kalimat “pemisahan Papua di Indonesia“, apa artinya pemisahaan Papua di Indonesia? Tidak benar dan tidak logis. Ketiga, “tidak akan memberikan keuntungan bagi warga Papua.” Keuntungan apa yang dikehendaki oleh penulis artikel ini? Apakah keuntungan ekonomi? Apakah tujuan kemerdekaan Papua untuk keuntungan ekonomi?

Memang tujuan kemerdekaan Indonesia ialah “mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila”. Itu tujuan kemerdekaan Indonesia. Apakah tujuan kemerdekaan West Papua sama?

Rupanya penulis ini melihat tujuan kemerdekaan West Papua sama dengan tujuan kemerdekaan Indonesia. Masa dua negara yang berbeda harus punya tujuan kemerdekaan yang sama? Mengapa kalau tujuannya sama, ya Papua tinggal saja di Indonesia?

Penulis perlu ketahui, bahwa tujuan kemerdekaan West Papua BUKANLAH kepentingan ekonomi, bukan adil dan makmur. Sama sekali tidak! Kami tidak mencari keuntugnan ekonomi dari kemerdekaan West Papua.

SecGen. Tentara Revolusi West Papua, Lt. Gen. TRWP Amunggut Tabi pernah katakan kepada PMNews dalam sebuah Upacara Bendera di Markas Pusat Pertahanan TRWP bahwa

tujuan kemerdekaan West Papua, pertama dan terutama ialah “mengusir penjajah keluar dari Tanah Papua”, dan setelah itu “membiarkan Papua memimpin dirinya sendiri dalam kehidupan peri-kehidupan yang penuh sukacita, tenteram dan harmoni dengan berbagai unsur kehidupan.” Kami tidak berjuang untuk jadi kaya, kami tidak mencari adil-makmur seperti Indonesia. Yang kami cari ialah Indonesia angkat kaki dari Tanah leluhur bangsa Papua, ras Melanseia.

Alasannya jelas, mana perusahaan asing yang pernah bantu Papua Merdeka sampai hari ini seperti dikleim dalam artikel tulisan http://www.islampos.com ini? Mana LSM luarnegeri yang membantu Papua Merdeka?

Gen. Tabi katakan,

Perjuangan Papua Merdeka bukan mencari kekayaan untuk kemakmuran. West Papua yang merdeka dan berdaulat tidak ambil pusing dengan emas dan perak dibawa keluar oleh Amerika Serikat atau Indonesia. Papua Merdeka akan pertama-tama akan menghentikan total teror, intimidasi, marginalisasi dan pemusnahan bangsa Papua ras Melanesia. Papua Merdeka artinya menghentikan total pemusnahan manusia Papua. Itu dulu, jangan bicara kaya-miskin. Itu urusan setelah merdeka. Jangan bicara sebelum merdeka sama seperti Negara penjajah Indonesia sudah punya cita-cita adil makmur sebelum merdeka tetapi tidak pernah akan terwujud sampai kiamat tidak akan pernah.

Setelah PMNews membacakan isi artilkel IslamPos.com ini, Amunggut Tabi kembali bertutur,

Masing-masing bangsa hadir ke muka Bumi dengan hak asasi yang tidak dapat dikurangi, apalagi dilanggar oleh bangsa lain. Orang Indonesia lebih bagus bicara tentang wanita sundal di pusat lokalisasi dan pengemis di jalan-jalan seluruh Indonsia karena miskin melarat, daripada menyinggung West Papua, yang jelas-jelas bangsa lain, dan jelas-jelas memperjuangkan negara lain.

Saat ditanya, “Pemisahan Papua dari Indonesia tidak akan Memberikan Keuntungan bagi Warga Papua?” Gen. TRWP Tabi kembali menjawab:

Maaf saja, yang mencari kekayaan itu NKRI. Kalau penulis artikel ini mau agar rakyatnya menjadi adil dan makmur, kami akan berikan kepada NKRI semua tambang emas, tembaga, gas, apa saja yang ada di Tanah Papua, dengan syarat satu-satunya:, NKRI harus angkat kaki dari seluruh wilayah kedaulatan Negara West Papua. Maaf, West Papua tidak punya cita-cita kemerdekaan adil dan mamkur, kami punya cita-cita NKRI keluar dari Tanah Papua dan mewujudkan Tanah Papua yang penuh sukacita dan hidup selaras dengan semua makhluk berdasarkan filsafat dan budaya Melanesia yang kami warisi dari nenek-moyang kami.

Pater John: Jayawijaya Darurat Kemanusiaan

MAY 16, 2016/ISLAMI ADISUBRATA

Wamena, Jubi – Pastor penerima Yap Thiam Yien Award 2009, Pater John Djonga menilai kondisi yang terjadi di Kabupaten Jayawijaya, Papua belakangan ini sebagai situasi darurat kemanusiaan.

Hal itu dikatakannya menanggapi demo yang dilakukan para bidan dan tenaga medis lainnya di Wamena, Jumat (13/5/2016).

Aksi itu dilakukan untuk mendesak Pemerintah dan Polres Jayawijaya agar segera menjamin keamanan bagi tenaga medis saat bekerja sebab mereka rentan menjadi korban pelecehan seksual dan pemerkosaan.

Pater John pun meminta agar kejadian tersebut segera disikapi Pemkab dan Polres Jayawijaya.

“Apa yang mereka (baca: para bidan) lakukan, saya salut dan mendukung,” katanya kepada Jubi di Wamena, Jayawijaya, Senin (16/5/2016).

Ia menyebutkan setidaknya 37 kasus pelecehan seksual dan kekerasan terhadap tenaga medis yang bekerja di kampung-kampung. Polisi, masyarakat adat dan gereja bahkan memilih diam terhadap persoalan ini.

“Saat ini situasi di Jayawijaya sudah darurat kemanusiaan. Para pekerja yang memperhatikan soal-soal kemanusiaan, seperti perawat, bidan atau guru dan lainnya merasa terancam hidupnya,” katanya.

Menurut dia ancaman pemerkosaan hingga pembunuhan terhadap para medis menandakan pihak berwajib tidak mampu melindungi masyarakatnya.

“Kalau bidan tidak ada, suasana atau angka kematian ibu dan anak pasti lebih tinggi lagi. Itu pun kepunahan orang Papua terancam. Jadi, saya harapkan masyarakat adat, orang tua supaya melindungi semua petugas-petugas kesehatan, tenaga pendidik dan para penggiat kemanusiaan lainnya,” katanya.

Ia mengatakan jika mau membatasi kematian ibu dan anak, maka harus melindung petugas yang bertugas. Begitu pula dengan pendidikan; guru-guru harus dilindungi.

“Tidak ada lagi kelakuan-kelakuan yang pura-pura mabuk atau juga melakukan tindakan-tindakan ancaman kekerasan atau bahkan sampai membunuh,” katanya.

Wakapolres Jayawijaya, Kompol Fransiskus Elosak mengatakan pihaknya sudah memanggil para kepala distrik terkait kejadian percobaan pemerkosaan yang dialami seorang bidan di Distrik Libarek, Pisugi dan Witawaya. Para kepala distrik itu lalu ditugaskan untuk membantu kepolisian dalam mengungkap kasus tersebut dengan melaporkan pelakunya kepada polisi.

“Kalau mereka memang tidak menghadapkan pelaku ke polisi, maka harus memberikan informasi kepada kita. Kami pun sudah siap untuk menangkap pelaku,” kata Kompol Fransiskus.

Ia mengatakan jumlah personil polisi di Polres Jayawijaya terbatas meski ada program Polri ‘satu polisi satu desa’ sehingga jaminan keamanan belum dipenuhi. Oleh karena itu, ia mengharapkan agar penempatan tenaga medis perlu ditinjau kembali dan dikoordinasikan dengan kepala distrik, kepala kampung dan tokoh masyarakat agar mendapatkan perlindungan dan jaminan keamanan dari masyarakat lokal. (*)

Gereja Katolik Minta PBB Investigasi Pelanggaran HAM Papua

Penulis: Eben E. Siadari 13:21 WIB | Selasa, 03 Mei 2016

Rekomendasi penyelidikan terhadap pelanggaran HAM di Papua datang dari Komisi Keadilan dan Perdamaian Gereja Katolik Keuskupan Brisbane, Australia.

Foto anak-anak Suku Dani di Papua, yang menjadi salah satu gambar ilustrasi dalam laporan Komisi Keadilan dan Perdamaian Gereja Katolik Brisbane (Foto: Komisi Keadilan dan Perdamaian Gereja Katolik Brisbane)

BRISBANE, SATUHARAPAN.COM – Setelah sebagian hasil temuan mereka ke Papua sempat jadi berita ramai di media massa bulan lalu, Komisi Keadilan dan Perdamaian Gereja Katolik Keuskupan Brisbane, Australia, akhirnya melansir secara lengkap hasil temuan tersebut pada hari Minggu (1/5) di Brisbane dan hari ini di Jakarta. Dalam laporan yang diberi judul We Will Lose Everything, A Report of Human Right Fact Findings to West Papua itu, laporan ini menerbitkan rekomendasi yang cukup progresif, termasuk mendesak adanya campur tangan PBB terhadap pelanggaran HAM di Papua dan bagi upaya penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua.

Dalam laporan setebal 24 halaman itu, salah satu rekomendasi mereka adalah “Mendesak pemerintah-pemerintah di Pasifik, termasuk Australia, untuk mengupayakan intervensi Dewan Hak Asasi Manusia PBB dan Sidang Umum PBB untuk melakukan investigasi independen terhadap pelanggaran HAM di Papua.”

Selanjutnya, laporan yang merupakan hasil pencarian fakta yang dilakukan oleh Executive Officer Komisi, Peter Arndt dan Suster dari St Joseph Sydney, Susan Connelly, juga merekomendasikan agar “negara-negra di Pasifik, termasuk Australia, menekan pemerintah Indonesia secara langsung dan mengupayakan intervensi PBB untuk menyelenggarakan dialog antara Indonesia dengan para pemimpin rakyat Papua, United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), untuk mengidentifikasi jalur yang kredibel bagi penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua.”

Laporan ini dibuat setelah delegasi Komisi mengunjungi Merauke, Jayapura, Timika dan Sorong. Mereka berbicara dan mengorek keterangan dari penduduk Papua, termasuk saksi sejarah kecurangan pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969. Sebagian dari laporan ini telah beredar awal Maret lalu yang dilaporkan oleh catholicleader.com.au.

Misi pencarian fakta ini mewawancarai lebih dari 250 tokoh masyarakat di Jayapura, Merauke, Timika dan Sorong. Bukan hanya soal HAM, laporan itu juga mendokumentasikan berbagai diskriminasi ekonomi, sosial dan agama di Papua, termasuk bagaimana penguasaan tanah telah lebih menguntungkan perusahaan multinasional sedangkan warga Papua dikecualikan dari kepemilikan dan pekerjaan.

Laporan tersebut mengungkap secara rinci bagaimana tim pencari fakta mengunjungi sejumlah tempat dan orang di Papua, hingga tiba pada rekomendasi tersebut. Pelanggaran HAM di masa lalu yang terus berlanjut hingga kini diutarakan dalam bentuk narasi maupun angka.

Sebagai contoh, disebutkan bahwa pada tahun 1977 terjadi pengeboman dan kelaparan selama tiga bulan di dataran tinggi Papua, yang diperkirakan menewaskan 25.000 orang. Pengeboman juga terjadi pada tahun 1997 yang merusak ladang dan ternak, yang menyebabkan kelaparan dan kematian ribuan penduduk desa.

Pada 1998 dilaporkan terjadi pembunuhan terhadap pria dan wanita yang sedang berdoa untuk kemerdekaan. Selain itu, dicatat pula pembunuhan terhadap tokoh Papua seperti Arnold Ap (1984), Dr. Thomas Wainggai (1996) dan Theys Eluay (2001) dan Kelly Kwalik (2009).

Lebih lanjut, disebutkan bahwa dalam dekade belakangan ini terjadi pelecehan dan intimidasi terhadap sejumlah lembaga-lembaga kemanusiaan internasional, termasuk Komite Internasional Palang Merah, lembaga Cordaid dari Belanda dan Peace Brigades International. “Organisasi-organisasi ini diusir dari Papua karena mereka membela HAM di wilayah mereka bekerja,” kata laporan itu.

“Delegasi Komisi yang berkunjung ke Papua pada bulan Februari 2016 menemukan tidak ada perbaikan dalam situasi HAM. Laporan pelanggaran HAM oleh anggota pasukan keamanan Indonesia tidak berkurang dan status ekonomi dan sosial rakyat Papua tidak meningkat. Sistem politik dan hukum Indonesia tidak mau dan tidak mampu mengatasi pelanggaran HAM di Papua,” demikian bunyi laporan tersebut.

“Banyak yang berbicara tentang adanya genosida dalam gerak lambat,” kata laporan itu.

Diakui, laporan ini bermula dari kedatangan delegasi ULMWP ke Australia dan melakukan presentasi tentang yang terjadi di Papua. Seminggu setelah pertemuan, Komisi Keadilan dan Perdamaian Gereja Katolik Keuskupan Brisbane mengirimkan tim ke Papua.

Sebetulnya, demikian laporan ini memberi alasan, pada tahun 2015 pemimpin negara-negara Pasifik Selatan yang tergabung Pacific Islands Forum (PIF) Leader Summit di Port Moresby telah merekomendasikan pencarian fakta ke Papua. Tetapi pemerintah Indonesia tidak mengizinkan. Padahal, salah satu tujuan Komisi mengirimkan delegasi ke Papua adalah untuk membangun hubungan dengan gereja di Papua untuk berkolaborasi di masa mendatang di sekitar isu HAM dan lingkungan.

Karena RI tidak bersedia menerima misi PIF, maka dapat dikatakan Komisi ini menjadi salah satu misi pencari fakta tidak resmi dari Pasifik yang mengunjungi Papua.

Lebih jauh laporan itu mengatakan gereja dan organisasi masyarakat sipil di Pasifik harus melanjutkan membangun jejaring solidaritas dengan mitra mereka di Papua untuk mendukung advokasi dan aksi terhadap pelanggaran HAM serta mengupayakan penentuan nasib sendiri bagi rakyat dan pemimpin Papua, ULMWP.

Di Indonesia, laporan tersebut diluncurkan secara resmi di Jakarta pada Selasa, 3 Mei, oleh VIVAT International Indonesia, sebuah lembaga advokasi international.

Selengkapnya laporan ini, dapat dilihat di link ini: We Will Lose Everything.

Editor : Eben E. Siadari

AHRC: Australia dan AS Bantu TNI Bantai Rakyat Papua

Kamis, 24 Oktober 2013 | 16:28 WIB

HONGKONG, KOMPAS.com — Sebuah lembaga pengamat HAM yang bermarkas di Hongkong, Asian Human Rights Commision (AHRC), menyatakan, militer Indonesia menggunakan helikopter-helikopter bantuan Australia dan pesawat tempur dari Amerika Serikat (AS) untuk membantai warga Papua pada dekade1970-an.

Dalam laporan AHRC disebutkan, sejumlah petinggi militer Indonesia bertanggung jawab atas pembunuhan, pemerkosaan, dan penyiksaan lebih dari 4.000 orang penduduk Papua pada akhir 1970-an.

Termasuk dalam daftar mereka yang bertanggung jawab dan harus diadili pengadilan HAM adalah mantan Presiden Soeharto.

Laporan ini berjudul “The Neglected Genocide-Human Rights abuses against Papuans in the Central Highlands, 1977-1978” (Pembantaian yang Terabaikan-Pelanggaran HAM terhadap warga Papua di Daerah Pedalaman Tengah, 1977-1978).

Laporan tersebut mencatat kekerasan yang terjadi saat Indonesia meluncurkan beberapa operasi militer di sekitar daerah Wamena dalam rangka menyikapi usaha mencapai kemerdekaan Papua setelah pemilihan umum tahun 1977.

ARHC mengadakan kunjungan lapangan, mewawancara sejumlah saksi, dan memeriksa catatan sejarah. Badan ini telah mengumpulkan 4.416 nama yang dilaporkan dibunuh militer Indonesia dan menyatakan bahwa jumlah korban tewas akibat penyiksaan, penyakit, dan kelaparan berbuntut kekerasan tersebut bisa jadi lebih dari 10.000 orang.

Laporan ini menyatakan warga Papua di daerah pedalaman tengah menjadi korban pengeboman dan penembakan dari udara, yang terkadang dilakukan militer menggunakan pesawat yang dipasok Australia dan Amerika Serikat.

Dalam salah satu gambaran kejadian, penduduk desa di daerah Bolakme diberi tahu akan mendapat bantuan dari Australia yang dijatuhkan dari atas, tetapi justru kemudian dibom menggunakan pesawat dari Amerika.

Laporan ini juga mengandung gambaran-gambaran kejadian seperti pembakaran dan perebusan hidup-hidup para pendukung gerakan kemerdekaan. Sejumlah laporan menyebut warga Papua dipaksa melakukan kegiatan seks depan umum, dan terjadi pemotongan payudara serta anak-anak tewas dipenggal.

Basil Fernando, Direktur Kebijakan dan Program AHCR, mengatakan pada ABC bahwa tindakan-tindakan semacam itu bisa digolongkan ke dalam tindakan genosida.

Sebanyak 10 orang komandan dan petugas senior militer Indonesia disebut sebagai yang bertanggung jawab karena memerintahkan atau tidak mencegah kekerasan yang dilakukan berbagai batalyon.

Menurut Fernando, sejumlah nama yang disebutkan dalam laporan tersebut, beberapa di antaranya masih memegang jabatan dalam militer Indonesia. Laporan ini menyerukan dibentuknya pengadilan HAM ad hoc, komisi kebenaran, dan agar masyarakat internasional meminta Indonesia bertanggung jawab atas pelanggaran HAM di Papua.
Editor : Ervan Hardoko
Sumber : ABC Australia

1.400 Prajurit Pamtas RI-PNG Dipulangkan

Selasa, 06 Oktober 2015 , 05:57:00, CePos

Sejumlah anggota Satgas sedang berbaris memberikan yel –yel sebelum berangkat meninggalkan Jayapura di Pelabuhan Lantamal X Porasko Jayapura

JAYAPURA-Sebanyak 1.400 personel Prajurit Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan (Satgas Pamtas) dari 3 Batalyon yang bertugas menjaga keamanan di Perbatasan RI – PNG, Senin (5/10) kemarin dilepaskan oleh Pangdam XVIII Cenderawasih Mayjen TNI Hinsa Siburian, untuk kembali ke kampung halamannya. Satgas Pamtas ini dipulangkan dengan menggunakan KRI Teluk Hiding 538 yang akan berlayar dari Pelabuhan Lantamal X Jayapura menuju Padang Sumatra Barat.

Pangdam XVII Cenderawasih Mayjen TNI Hinsa Siburian mengatakan para Satgas ini sudah melakukan tugas pengamanan di perbatasan RI – PNG selama 9 bulan, mereka akan kembali ke homebase masing masing. ada yang ke Jawa Barat, Semarang dan Padang Sumatera Barat. Mereka ini sudah digantikan dengan Satgas Brigif -6 Kostrad Yonif 411/R, Yonif 431 Kostrad dan Yonif 406/ CK, yang bertugas menjaga wilayah perbatasan darat antara negara RI-PNG,

“Jadi di sektor utara dibawah Kolaops Korem172/PWY dipimpin oleh Danrem 172/ PWY Kolonel Inf Sugiono, kemudian mereka ini dalam pelaksanaan tugasnya secara umum sangat baik dan berhasil,”ungkapnya usai pelepasan Satgas di Pelabuhan Lantamal X Porasko Jayapura, Senin (5/10)

Menurutnya, keberhasilan Satgas yang akan pulang ini bisa dilihat dari kriteria -kriteria yang yang ada. Pihaknya juga menyampaikan hormat dan terima kasih kepada mereka yang telah berhasil menjalankan tugas dengan baik untuk menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah Indonesia dan melindungi masyarakat, khususnya di wilayah perbatasan RI-PNG.

“Ini tiga Yonif, tapi tidak full, mereka 1 Yonif hanya 400 orang kalau organik itu sampai 700-an, ini hanya separuhnya namanya Satgas Yonif, yakni Yonif 323/Raider Banjar Jawa Barat, Batalyon 400/Raider di semarang dan Batalyon 133/ Yudha Sakti yang ada di Padang,”jelasnya

Kata Pangdam, Yonif 133/Yuda Sakti adalah Yonif yang paling jauh yakni di Padang, mereka akan menempuh perjalanan hampir 3 minggu mereka sampai di padang. Pihaknya berdoa mereka bisa sampai dengan selamat di tujuan hingga bertemu dengan keluarga mereka dalam keadaan sehat dan selamat hingga sampai tujuannya.
“Kami berharap untuk yang akan mengganti satgas pamtas ini bisa memberikan yang terbaik, apa yang ditinggalkan sudah baik tetapi kita coba untuk tetap memberikan yang terbaik kepada masyarakat yang ada di Perbatasan,”katanya.(jo/tri)

Kapolda Papua: Polisi Hanya Membela Diri

Jayapura, Jubi – Kepolisian Daerah (Polda) Papua menyatakan, penembakan yang diduga dilakukan oknum anggota polisi di Mimika dan menyebabkan seorang siswa SMK meninggal dunia, serta satu lainnya kritis, di Kampung Pisang, Gorong- Gorong Distrik Mimika Baru, Kabupaten Timika, pada Senin (28/9) malam, sesuai protap.

Kapolda Papua, Inspektur Jenderal (Pol) Paulus Waterpauw mengatakan, anggota polisi hanya membela diri, dan melakukan prosedur. Katanya, ia menyesalkan kejadian itu. Seharusnya hal tersebut tidak terjadi, tapi kenyataannya sudah terjadi sehingga harus ditangani secara serius karena dampaknya akan meluas.

“Tiga anggota Polsek ketika itu datang ke lokasi, dimana ada korban pencurian yang sebelumnya melapor ke polisi dan rumahnya dirusak oleh orang yang diduga rekan pelaku. Anggota diserang. Mobil patroli dirusak. Tiga anggota itu boleh dikata terancam, sehingga mereka melakukan tembakan peringatan. Tapi sesaat kemudian diketahui ada korban jiwa, ada korban kena tembak di paha,” kata Kapolda Waterpauw di Polda Papua, Selasa (29/9/2015) malam.

Menurutnya, anggota polisi tak bertindak responsif. Namun menangani secara hati-hati. Polisi tegas agar masalah tak melebar. Sesuai prosedur, memberikan peringatan.

“Jika sudah mengganggu keselamtan jiwa harus dilakukan. Kalau melakukan upaya sebagaimana dianggap keras, pasti lebih banyak korban. Harus melakukan pencegahan dengan melakukan tembakan peringatan. Kalau mengakibatkan meninggal, saya pikir situasional. Kondisi malam hari, dan gelap,” ucapnya.

Katanya, ketika itu, anggota polisi tersudut. Kapolda yakin, tindakan oknum polisi tersebut sudah sesuai protap. Namun untuk memastikan, Polda Papua menurunkan tim yang di komandoi Wakapolda, Brigjen (Pol) Albert Rudolf Rodja mengumpukan berbagai informasi dan melakukan penyelidikan, apakah upaya yang dilakukan anggota di Polsek sesuai proresdur atau tidak.

“Saya menyampaikan rasa prihatin dan duka yang dalam kepada pihak keluarga yang ditinggalkan. Sebagai umat percaya bahwa jalan Tuhan kita tidak pernah tahu. Saya tidak berkata-kata banyak. Saya hanya minta maaf dengan kejadian ini. Tapi Sesungguhnya sudah melakukan upaya mencegah,” katanya.

Tiga anggota polisi yang berada di lokasi kejadian yakni Bripka H, Bripka N, dan Briptu IP dan senjata yang mereka gunakan lanjut Kapolda, telah diamankan untuk menjalani pemeriksaan oleh Propam.

Selain melakukan penyelidikan, kata Waterpauw, pihaknya memprioritaskan negosiasi dengan keluarga korban untuk segera memakamkan jenazah. Namun sebelum pemakaman, jenazah harus diotopsi terlebih dulu.

Sebelumnya, Senin (28/9/2015) sekira pukul 19:45 WIT, seorang siswa SMK Kalleb Baggau (18 tahun) meninggal dunia akibat luka tembak di bagian dada. Seorang lainnya yang juga siswa SMK, Fernando Saborefek (17) tertembak di bagian perut. (Arjuna Pademme)

Masalah Papua ada di Pertemuan Internasional Karena ada Pihak NGO Asing

Kompasiana, 4 September 2015 08:35:53 Diperbarui: 14 September 2015 09:08:52

Wakil Menteri Luar Negeri RI A. M Fachir, menghadiri KTT ke-46 forum negara Pasifik atau Pasific Islands Forum (PIF) di Port Moresby, Papua Nugini. Forum ini berlangsung pada tanggal 7-11 September 2015. Pertemuan sendiri membahas isu-isu perikanan, perubahan iklim, kanker serviks, teknologi informasi dan pelanggaran HAM di Papua Barat, dan menyepakati komunike bersama sebagai hasil dari KTT tersebut. Namun dalam pertemuan tersebut Indonesia menyayangkan isu Papua yang dibahas di dalam forum tersebut, menurutnya isu tersebut kini sudah tidak ada lagi di Papua, dan Papua sekarang lebih makmur dan sejahtera, beda dari keadaan Papua yang dulu, isu tersebut hanya di buat-buat oleh pihak Non Goverment Organization (NGO) asing yang tidak bertanggung jawab yang sengaja mengangkat isu tersebut ke pertemuan Internasional.

Masuknya isu pelanggaran HAM di Papua Barat dalam agenda PIF, Indonesia menyayangkan hal ini, mengingat isu tersebut masuk atas desakan berbagai NGO dan bukan merupakan usulan Pemerintah Negara-negara PIF. Indonesia menyampaikan bahwa usulan tersebut tidak sejalan dengan tujuan utama pembentukan PIF, yaitu untuk mendorong kerja sama ekonomi dan pembangunan di kawasan.

Dari hasil pembahasan isu Papua, para Kepala Negara PIF kembali menyatakan dukungannya kepada kedaulatan dan integritas NKRI, termasuk terhadap semua Provinsi Papua. Selain itu, juga diusulkan agar ketua PIF melakukan konsultasi dengan Pemerintah Indonesia termasuk dengan mengirimkan misi pencari fakta PIF ke Papua Barat terkait adanya tuduhan pelanggaran HAM.
Menanggapi pembahasan isu tersebut Indonesia menyampaikan penolakan terhadap “tuduhan pelanggaran HAM di Papua yang tidak berdasar dan merefleksikan pemahaman yang salah terhadap fakta sesungguhnya di Lapangan.

Penolakan terhadap intervensi asing tersebut termasuk usulan adanya misi tim pencari fakta PIF ke Provinsi Papua Barat terkait pelanggaran HAM. Penolakan tersebut didasari karena sebagai negara demokratis, Indonesia sangat menjunjung tinggi supremasi hukum dan penghormatan terhadap HAM. Indonesia memiliki mekanisme HAM Nasional yang berfungsi dengan baik yang belum tentu dimiliki oleh sebagian Negara PIF.

Tidak hanya itu , selain adanya mekanisme HAM Nasional yang baik, Indonesia juga menekankan bahwa pembangunan perekonomian, pendidikan, kesejahteraan di Papua selama ini jauh lebih maju dari sebagian negara kepulauan di Pasifik. Oleh karena sebab itu Indonesia menyayangkan bahwa dalam pembahasan tidak disoroti kemajuan yang telah dicapai di Papua dan jumlah dana pembangunan yang dialokasikan ke Papua untuk pembangunan sosial dan ekonomi.

Pemerintahan Indonesia mempersilahkan jika adanya rencana tim pencari fakta dari PIF yang akan dikirim ke Provinsi Papua Barat, Indonesia tidak akan pernah takut dengan adanya Tim Pencari Fakta PIF, jika mereka datang pasti mereka akan mengetahui sendiri bagaimana keadaan Papua yang sesungguhnya. Perlu diketahui bahwa Indonesia pernah mengundang para pemimpin Melanesian Spearhead Group (MSG) untuk mengunjungi Papua Barat pada misi pencari fakta. Misi pencarian fakta terjadi pada Januari 2014 dengan tujuan adalah melihat kondisi Papua.

Pemerintahan Indonesia sebagai salah satu mitra wicara bersama Amerika Serikat (AS), Tiongkok, Kuba, Filipina, Italia, Spanyol, India, Inggris, Jepang, Kanada, Korea Selatan (Korsel), Malaysia, Perancis, Thailand, Turki, dan Uni Eropa. Terkhususnya Indonesia, berharap kepada para delegasi PIF agar tidak termakan oleh isu-isu yang tidak bertanggung jawab dari NGO asing yang ingin memperkeruh keadaan demi tujuan tersendiri.(ak)

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/alfredkarafir/masalah-papua-ada-di-pertemuan-internasional-karena-ada-pihak-ngo-asing_55f62479779773f429c8c9ba

FI dan 14 LSM Berkolaborasi untuk Melaporkan Kasus Pelanggaran HAM di Papua ke PBB

JAYAPURA Dengan didukung oleh 14 LSM lokal, nasional dan Internasional Fransiskan Internasional mengajukan banding mendesak kepada PBB mengenai penembakan sewenang-wenang oleh Aparat Kepolisian Republik Indonesia beberapa hari lalu terhadap dua pelajar SMA Kaleb Bagau (18 tahun) tewas di tempat dan Efrando Sobarek (17 tahun) dilarikan ke rumah sakit dan masih dirawat secara intensif. Fransciscans International salah satu LSM yang memilki Status Konsultatif di PBB . Organisasi yang beroperasi di bawah sponsor dari Konferensi Keluarga Fransiskan (CFF) ini bekerjasama dengan 14 LSM lokal di Papua, nasional dan internasional untuk melaporkan pemusnahan yang terjadi di Papua Barat ke PBB.

Dirilis di situs resmi Fransciscans Internasional, terhitung sejak 2006 hingga September 2015 sudah 9 orang pelajar yang di bunuh oleh Polisi maupun Militer Indonesia. Populasi Orang Papua asli 45% dibandingkan dengan penduduk pendatang, sehingga praktek-praktek secara terang-terangan maupun secara sembunyi dilakukan oleh Polisi dan Militer Indonesia untuk memusnahkan orang Papua dari atas tanahnya sendiri. Karena pelaku penembakan tidak pernah diminta pertanggungjawaban.

Untuk diketahui bahwa, Fransciscans Internasional adalah sebuah LSM yang memilki status Kosultatif di PBB yang berkolaborasi dengan 14 LSM di tanah Papua, nasional dan internasional untuk melaporkan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi di Papua Barat kepada PBB. (ns) 

Lihat banding yang di serahkan ke PBB klik Disini

Kapolda: Tangkap Pelakunya, Hidup Atau Mati

JAYAPURA – Kepolisian Daerah Papua menyiapkan sebanyak 70 personil Brimob untuk melakukan pengejaran terhadap kelompok sipil bersenjata (KSB), Yambi pimpinan Tengahmati Telenggen yang diduga keras sebagai pelaku penembakan terhadap 6 warga sipil di kampung Usir, Distrik Mulia, Puncak Jaya, Selasa (26/5/2015) malam.

Kepala Kepolisian Daerah Papua, Inspektur Jenderal Polisi mengatakan, penembakan terhadap enam warga sipil di Mulia, Kabupaten Puncak Jaya itu diperkirakan sebanyak 18 orang. Namun, usai melakukan penembakan langsung melarikan diri ke hutan sekitar distrik Mulia, namun karena medan yang begitu sulit membuat aparat kepolisian dan TNI sulit melakukan pengejaran.

“Kami perbantukan sebanyak 70 Anggota Brimob untuk melakukan pengejaran terhadap kelompok KSB tersebut dibantu TNI,” kata Kapolda Papua kepada wartawan usai melakukan rapat internal dengan Pangdam XVII/Cenderawasih, Mayjen TNI Fransen G Siahaa, pada Rabu (27/5/2015) di Mapolda Papua.

Menurutnya, penembakan terhadap warga sipil oleh kelompok sipil bersenjata pimpinan Tengahmati Telenggen merupakan pelanggaran hukum, sehingga mereka harus bertanggungjawab atas perbuatannya.

“Kejadian ini pelanggaran hukum dan kelompok Tengahmati harus bertanggung jawab. Kita akan kejar dan anggota brimob yang ada diatas sudah diperintahkan Kapolres menangkap hidup atau mati,” tegasnya.

Kata dia, kelompok KSB pimpinan Tengahmati dengan jumlah 18 orang tersebut merupakan kelompok kecil dengan menggunakan senjata sekitar 10 pucuk.

“Kita kejar terus, namun tetap waspada sebab mereka pegang senjata. Bagi saya permasalahan ini terakhir dan kita tidak akan menyerah, mereka harus cari dan ditindak tegas,”

tegas Kapolda .

Dalam pengejaran anggota KSB tersebut, anggota TNI siap membantuk kepolisian dan diminta kepada masyarakat Puncak Jaya untuk tetap membantu pihak kepolisian. Namun tetap waspada karena kelompok ini sudah tidak melihat dari aspek masyarakat atau TNI/Polri “Jika kelompok ini berada di tengah masyarakat segera laporkan kepada aparat keamanan karena aksinya selalu sama ratakan,” mintanya.

Jenderal Bintang dua ini, mengkhwatirkan, jika kelompok ini berkeliaran di Puncak Jaya tidak memandang buluh masyarakat dari mana, Apakah TNI, Polri maupun warga sipil biasa atau orang asli di Puncak Jaya. “Kami minta segera memberikan informasi jika berbaur di tengah-tengah masyarakat,” harapnya.

Dia juga memerintahkan kepada anggotanya untuk dilakukan penangkapan dan diproses hukum sesuai aturan yang berlaku. “

Mereka merupakan DPO kita, dan kita akan cari. Kemudian kami mengimbau kepada mereka agar menyerahkan diri. Percuma mereka melawan dan melawan karena kita dengan TNI selalu berkomitmen bahwa NKRI adalah harga mati,”

katanya.

Ditandaskannya, jika mereka ingin memisahkan diri maka kita akan tetap melawan mereka, sehingga diminta untuk menyerahkan diri. Namun apabila tidak, maka akan dilakukan operasi penegakan hukum. “Kami juga lebih mengedepankan operasi intelejen setiap hari,” pungkasnya. (loy/don/l03)

Source: BinPaa, Kamis, 28 Mei 2015 08:02

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny