Ada Isu Makar, Jokowi Perintahkan TNI-Polri Siaga Penuh

postmetro.co Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan prajurit TNI dan personel kepolisian bersiaga untuk mengantisipasi dugaan adanya rencana makar.
“Itu tugasnya Polri dan TNI untuk waspada yang membahayakan NKRI, membahayakan demokrasi kita,” kata Jokowi usai bertemu Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri di beranda belakang Istana Merdeka Jakarta, Senin (21/11/2016).
Jokowi kembali mengingatkan bahwa sudah menjadi tugas Polri dan TNI untuk mewaspadai adanya upaya makar itu.
“Tapi semuanya harus merujuk ketentuan hukum yang ada,” kata dia.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian sebelumnya mengaku sempat mendapat informasi mengenai adanya unjuk rasa yang bertujuan untuk makar dan menduduki gedung DPR pada tanggal 25 November 2016.
Unjuk rasa ini diperkirakan masih terkait dengan kasus dugaan penisaan agama Gubernur nonaktif DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. [tsc]

Amien Rais : Saya Akan Memimpin Semua Rakyat Pisah Dari Indonesia , Bila Ahok Tidak Ditankap

Kabarhoki.com, Jakarta – Mantan Ketua PP Muhammadiyah Amien Rais meminta kepada Presiden Joko Widodo lebih mengedepankan kepentingan bangsa yang lebih besar terkait kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Calon Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama ( Ahok) itu.

“Untuk itu segeralah menahan Ahok, sebab kasusnya sudah bukan lagi persoalan umat Islam dan berpotensi memecah-belah bangsa,” kata Amien Rais usai memberi ceramah pada Resepsi Milad ke-107 Muhammadiyah Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Surabaya, di Graha ITS, Minggu (20/11). Demikian dikutip dari Antara.

Dia mengatakan hal itu perlu dilakukan sebelum terlambat. “Nasi belum jadi bubur, tangkap segera. Kalau yang lain ditangkap, kenapa ini kok bebas. Ada apa?,” tegas Amien yang juga tokoh reformasi.

Amien menyampaikan hal itu agar Presiden Jokowi memerhatikan kepentingan bangsa yang lebih besar. Dia sendiri secara pribadi mengaku mengenal Jokowi sebagai teman baik.

“Tapi saya ingatkan agar cepat mengambil kebijakan. Tolong dipercepat selesai itu,” katanya.

Menurut Amien, jika sampai Presiden Jokowi terlambat, maka sama saja dengan membunuh sejarah Indonesia. Bangsa ini, kata Amien, sedang gonjang-ganjing. “Jangan sampai saya yang akan memimpin semua Rakyat Indonesia pisah dari Indonesia,bila Ahok tidak di segera di tangkap” ujarnya.

Amien menyarankan sebaiknya Jokowi tidak hanya mendengar masukan dari yang asal bapak senang. “Dengarkan juga tokoh-tokoh dari kalangan ulama, intelektual, orang kampus, wartawan, dan lain-lain. Insyaallah mereka akan memberi pandangan yang imbang,” katanya.

 

Sumber : Merdeka.com

Jangan Biarkan Bali Merdeka!

IndonesianReview.com — Siapa tak kenal Bali? Selain terkenal dengan keindahan alamnya, pulau yang terletak di sebelah timur Jawa ini juga terkenal dengan kesenian dan budayanya yang unik. Tak mengherankan bila Bali jadi pusat destinasi wisata terbaik dunia.

Bali adalah juga primadona pariwisata Indonesia yang sudah terkenal di seluruh dunia. Ia bahkan menjadi daerah yang wajib dikunjungi setiap wisatawan. Namun siapa sangka di balik semua keindahan Pulau Dewata itu tersimpan banyak polemik bak bara dalam sekam? Bahkan jika kondisi tersebut tak segera ditangani secara serius, tak mustahil wacana Bali Merdeka menjadi nyata!

Bukan rahasia lagi, jika di Bali banyak sekali terlihat perbedaan sisi pola dan sistem pemerintahan yang terkesan menjurus pada pembangkangan terhadap aturan dan perundang-undangan Negara. Bahkan ada plesetan yang secara vulgar menyebutkan bahwa UU Negara seperti dikalahkan oleh UU Adat di Bali.

Anda pun bisa melihat kondisi itu di saat mulai memasuki pulau Bali. Ketika menyeberang masuk dan melangkahkan kaki di pelabuhan Gilimanuk yang jadi pintu gerbang masuk dari pulau Jawa ke daratan Bali, setiap penyeberang akan terkena razia. Semua pendatang wajib memperlihatkan kartu identitas resmi (KTP) yang masih berlaku.

Selain itu, setiap pendatang yang akan berkegiatan dan menetap di Bali, harus memiliki semacam kartu khusus yang diberi label KIPEM (Kartu Ijin Penduduk Musiman). Peraturan ini mengesankan Bali sepertinya ingin eksklusif dan tak mau berbaur dan memiliki identitas bersama dengan orang luar. Mereka seperti tak peduli negara ini telah memiliki identitas resmi yang semestinya berlaku di mana pun di seantero negeri ini.

Selain itu, masyarakat Bali juga memiliki pemerintahan ganda di setiap desa. Sering dalam satu desa memiliki perangkat yang berbeda dan pemimpin yang juga berbeda. Ada namanya desa Adat dan juga desa Dinas, namun masih dalam satu lokasi di desa yang sama. Pola pemerintahan desa ini sempat menimbulkan pro-kontra.

Bahkan ketika pemerintah mulai menetapkan UU Nomor 6/2014 tentang Desa, muncul beragam pertentangan dari sejumlah tokoh dan organisasi massa di Bali. Menurut sebagian masyarakat di sana, UU Desa tersebut tidak berpihak terhadap aspirasi dan kekhususan Bali.

Pulau Dewata memang memiliki kekuatan adat dan religi sebagai penopang utama dalam sisi berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Bahkan Pemerintah Provinsi Bali sendiri telah memiliki peraturan daerah (perda) terkait pengelolaan desa, yaitu Perda Nomor 31/2001 tentang Desa Pakraman. Namun belakangan, perda ini juga sempat menuai pro-kontra, karena dianggap hanya sebuah perubahan nama belaka dari desa Adat menjadi desa Pakraman.

Menurut Mark Hobart, status desa Adat dan desa Dinas bukanlah sebuah pilihan bagi pemerintahan di Bali. Mengapa? Di Bali, masih menurut antropolog Inggris yang pernah melakukan penelitian terkait pola pemerintahan ini sejak 1975 itu, selama ini kedua perangkat dan sistem tersebut telah berjalan dengan baik dan sinergis, serta memiliki peran dan fungsi yang juga berbeda. Desa Adat mengelola fungsi adat, serta desa Dinas akan mengatur dan menjalan pemerintahan desa secara kedinasan.

Pendapat itu juga dikutip oleh I Gde Parimartha, guru besar Ilmu Sejarah pada Universitas Udayana, dalam orasi ilmiahnya yang bertajuk “Memahami Desa Adat, Desa Pakraman, dan Desa Dinas” pada pengukuhannya sebagai guru besar bidang sejarah pada tahun 2003.

Namun, tatkala pemerintah pusat mulai menerapkan peraturan dan undang-undang yang dianggap tidak mewakili aspirasi Bali, maka muncul semacam perlawanan baik secara tertutup maupun terbuka. “Bahkan kini muncul desas-desus adanya pihak-pihak tertentu yang mencoba memanfaatkan kondisi tersebut untuk tujuan disintegrasi alias pergerakan menuju Bali Merdeka,” kata Parimartha.

Kondisi ini tentu bukan masalah sepele. Banyak kalangan menilai, jika pertentangan dan kebuntuan aspirasi antara Bali dan Jakarta tidak diselesaikan secara serius, maka bukan mustahil akan banyak pihak yang memelintir persoalan ini menjadi melebar dan menjurus pada perpecahan.

Nasionalisme masyarakat Bali sebenarnya sangat kuat. Masyarakat Bali terkenal sudah membela bangsa ini dengan melahirkan banyak pejuang dan pahlawan. Namun tatkala harga diri serta kehormatan mereka terancam, maka bukan mustahil mereka akan melakukan perlawanan. Situasi ini tentu harus disikapi dengan baik dari para pemimpin dan pengambil kebijakan di negeri ini. Jangan sampai “bara dalam sekam” ini membakar keutuhan NKRI.

Waspadai Perpecahan

Belum lama ini, pulau Bali yang terkenal tenang dan nyaman, mendadak terusik dengan beragam aksi yang menjurus rasis dan bersifat over-primordialis. Sejumlah demonstrasi dengan spanduk berbunyi menentang berdirinya bank syariah mulai disuarakan oleh komunitas tertentu. Sempat juga beredar larangan memakai jilbab oleh pegawai maupun siswi di sekolah yang meramaikan pemberitaan di sejumlah media massa.

Pergerakan yang cenderung provokatif ini sempat membuat repot aparat keamanan dan institusi pemerintahan di Bali. Masyarakat Bali yang lebih separuhnya menggantungkan ekonominya dari industri pariwisata itu mulai dihinggapi rasa was-was dengan aksi  itu. Dikhawatirkan aksi itu akan melahirkan rasa tak nyaman di kalangan para wisatawan yang berkunjung ke daerah tersebut.

Ironisnya, aksi itu terkesan didukung oleh sejumlah tokoh, politisi, dan juga pegiat akademisi dari universitas tertentu di Bali. Sempat muncul pertanyaan, kenapa persoalan rasis ini mulai menyeruak naik ke permukaan? Padahal selama ini masyarakat Bali dikenal sangat cinta damai, harmonis, serta memiliki solidaritas yang sangat tinggi.

Beberapa pihak menduga, mencuatnya polemik berbasis rasis dan over-primordialis ini memiliki motif politik selain motif ekonomi. Bukan rahasia umum lagi bahwa sejumlah lokasi wisata strategis di Bali mulai dikuasai pendatang, sehingga orang asli Bali terpinggirkan. Kondisi ini dianggap menjadi pemicu munculnya antipati dari pelaku bisnis di sana.

Selain itu, motif politik juga dianggap memiliki peran terhadap sejumlah aksi tersebut. Banyak kalangan menilai para politisi mencoba memanfaatkan primordialisme masyarakat Bali sebagai “jualan” mereka untuk mendapatkan legitimasi suara dari mayoritas masyarakat Bali.

Terlepas dari kepentingan tersebut, semua pihak diharapkan dapat melihat persoalan yang muncul di Bali saat ini secara serius dan lebih konfrehensif. Jangan sampai keindahan Bali porak-poranda oleh perpecahan yang kini seakan dibiarkan tumbuh subur.

Pemerintah pusat juga diminta untuk lebih arif menyikapi aspirasi masyarakat Bali. Membuat keputusan dan kebijakan yang lebih berpihak bagi kepentingan Bali secara khusus adalah salah satu kearifan yang dinanti. Dengan begitu masyarakat Bali bisa mengikatkan diri dengan kokoh dalam bingkai NKRI.

Selain itu, para pelaku kepentingan yang mencoba melakukan upaya perpecahan di Pulau Dewata itu, harus segera dideteksi untuk kemudian merumuskan tindakan preventif, agar jangan sampai harmonisasi yang selama ini menjadi ikon masyarakat Bali dimanfaatkan menjadi konflik yang menjurus perpecahan.

Sejatinya Presiden Jokowi telah mendapatkan mandat yang besar dari masyarakat Bali. Terbukti perolehan suara pasangan Jokowi-JK dalam Pilpres 2014 jauh  melebihi pasangan Prabowo-Hatta. Masyarakat Bali tentu berharap banyak kepada Presiden Jokowi mau memprioritaskan aspirasi mereka dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada masyarakat Pulau Seribu Pura itu.

 

Great Dayak State – Negara Dayak Besar

Source: https://folksofdayak.wordpress.com/

Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa dahulu sebelum bergabung dengan RI Indonesia, Kalimantan pernah memiliki beberapa negara yang kala itu tujuannya ingin mendirikan Negara Kalimantan. Hal ini dimulai ketika Jepang tunduk pada sekutu tahun 1945 maka Netherlands-Indies Civil Administration disingkat NICA mengambil alih Kalimantan dari tangan Jepang, NICA mendesak kaum Federal Kalimantan untuk segera mendirikan Negara Kalimantan menyusul Negara Indonesia Timur yang telah berdiri. Saat itu berdasarkan perjanjian Linggarjati antara pemerintah Indonesia dan Belanda tahun 1949 Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia hanya meliputi Jawa, Sumatera dan Madura. Maka yang masuk dalam  Republik Indonesia Serikat hanyalah:

  1. Negara Republik Indonesia (RI) di Jakarta
  2. Negara Indonesia Timur di Singaraja
  3. Negara Pasundan (termasuk Distrik Federal Jakarta) Bandung
  4. Negara Jawa Timur di Surabaya
  5. Negara Madura
  6. Negara Sumatera Timur
  7. Negara Sumatera Selatan

Sedangkan Kalimantan saat itu merupakan neo-zelf-bestuur atau neo-self-governance atau daerah outonom sendiri. Beberapa negara bagian yang ada di Kalimantan adalah Negara Kalimantan Barat, Negara Kalimantan Timur, Kalimantan Tenggara, Negara Banjar dan satu-satunya Negara Bagian yang dicitak-citakan sebagai Dayak Homeland adalah Negara Dayak Besar. Pergerakan pembentukan negara Kalimantan  dimulai dengan dibentuklah Dewan Kalimantan Barat tanggal 28 Okt 1946, yang menjadi Daerah Istimewa Kalimantan Barat pada tanggal 27 Mei 1947; dengan Kepala Daerah, SultanHamid II dari Kesultanan Pontianak dengan pangkat Mayor Jenderal. Wilayahnya terdiri atas 13 kerajaan sebagai swapraja. Dewan Dayak Besar dibentuk tanggal 7 Desember1946, dan selanjutnya tanggal 8 Januari 1947 dibentuk Dewan Pagatan, Dewan Pulau Laut dan Dewan Cantung Sampanahan yang bergabung menjadi Federasi Kalimantan Tenggara. Kemudian tanggal 18 Februari 1947 dibentuk Dewan Pasir dan Federasi Kalimantan Timur, yang akhirnya pada tanggal 26 Agustus 1947 bergabung menjadi Dewan Kalimantan Timur. Selanjutnya Daerah Kalimantan Timur menjadi Daerah Istimewa Kalimantan Timur dengan Kepala Daerah, Aji Sultan Parikesit dari Kesultanan Kutai dengan pangkat Kolonel. Daerah Banjar yang sudah terjepit daerah federal akhirnya dibentuk Dewan Banjar tanggal 14 Januari1948.

Perjuangan pembentukan Negara Dayak Besar tidak lepas dari pergerakan perjuangan Pakat Dayak. Pada waktu pergerakan Kemerdekaan Indonesia, Pakat Dayak mengambil arah anti nasionalis untuk melawan nasionalisme Banjar. Orang banjar yang telah berperang melawan Belanda selama 40 tahun adalah pendukung kuat terhadap Revolusi Indonesia yang mereka anggap sebagai “Second Holy War” sebab mereka bercita-cita mendirikan Indonesia sebagai Islamic State. Sebab itu Pakat Dayak “mendukung” Belanda melawan Republik Indonesia untuk menghindari pendirian negara agama (Islamic State). Maka kemudian Belanda kemudian melakukan pembagian – yang didukung oleh masyarakat Dayak dengan perjanjian Linggarjati 1946, yaitu Indonesia dan Belanda setuju untuk mendirikan suatu daerah semi outonom yang terpisah dari Kalimantan Selatan yang didominasi Banjar. Kemudian pemimpin Dayak sendiri bisa memipin Negara Dayak yang baru dibentuk. Dan pada pertemuan linggarjati II tahun 1949 Negara Dayak Besar mendapatkan Statusnya sebagai COSNTITUENT STATE.

Pada tahun 1947 – 1950 Negara Dayak Besar sempat memiliki Bendera yaitu berupa garis horizontal dengan tiga warna yaitu merah, kuning dan biru

James B. Minahan (Encyclopedia of the Stateless Nations – Ethnic and National Groups Around the World – volume II) presents:
“The Dayak national flag, the flag of the national movement in Indonesia, is a horizontal tricolor of red, yellow and blue.”

There is no other evidence (known to me) corroborating this claim. Could this flag be based on on the earlier, eventual, flag of Dayak Besar state of 1946-50?
Chrystian Kretowicz, 13 April 2009

Bendara Negara Dayak Besar

Bendara Negara Dayak Besar

Namun semangat mendirikan Negara Kalimantan kemudian pudar akibat kaum Banjar & Melayu (pendukung republik yang paling luas) merasa terancam sebab NEGARA KALIMANTAN dipandang sebagai upaya DAYAK MERDEKA. Sehingga hal ini menjadi materi propaganda Republik; selain melalui gerilya militer adalah juga infiltrasi ideologi. Singkat kata, kampanye para aristokrat dan golongan elit Kalimantan semakin terpecah, sehingga upaya mempersatukan ide ke NEGARA KALIMANTAN mengalami kemacetan, akhirnya semua mendukung RIS (Republik Indonesia Serikat), tetapi RIS sendiri kemudian dibubarkan pada tahun 1950. Pada tahun 1947anakhir, ada utusan DAYAK BESAR,  dibawah pimpinan ketua-muda Cyrilus Atak datang ke Jakarta dan membuat pernyataan resmi mendukung Republik Indonesia. Akhirnya konsepsi Dayak Besar sebagai negara, apalagi Negara Kalimantan itu tidak pernah teralisir.

Namun bukan berarti tidak pernah ada pergolakan ketika status Otonomi Khusus Kalimantan ditolak oleh Republik Indonesia pada masa itu sempat terjadi pemberontakan dan kerusuhan sporadis. Lambat laun ketika masa Orde Baru pengaruh Dayak di Kalimantan di kerdilkan dengan sekian lama tidak diberikannya kesempatan orang Dayak untuk memimpin daerahnya sendiri kemudian pihak berwenang Indonesia sudah lama menolak untuk mengakui agama asli orang Dayak “Kaharingan” dan diklasifikasikan sebagai ateis, yang pada tahun 1965 membawa penganiayaan berat untuk mereka karena mereka diduga menjadi simpatisan komunis. Untuk memuluskan penguasaan atas Kalimantan maka pada Orde Baru Pemerintah mendatangkan sejumlah besar penduduk dari Jawa dan imigran Madura di Kalimantan yang dikemudian hari akan menjadi bibit konfllik dinegara ini dan kebijakan penebangan hutan yang tidak terkendali menyebabkan deforestasi di tanah Dayak dan memicu sentimen ethno-nasionalisme di antara orang-orang Dayak.

Ide atau semangat mendirikan Negara Kalimantan bukanlah padam. Baru-baru ini mulai muncul hembusan untuk mendirikan Negara Dayak silahkan baca:Borneo Merdeka Berembus – terutama sejak tidak pernah dilibatkannya Orang Dayak dalam peta perpolitikan Nasional dan pembangunan Daerah yang tidak berimbang dengan kekayaan alam yang telah dikuras. Sehingga seolah-olah Negara hanya tertarik dengan Sumber Daya Alamnya sedangkan SDM – Sumber Daya Manusianya tidak dibangun – bahkan sempat oleh beberapa oknum pemerintahan dianggap pendatang di tanah leluhurnya. Baca: MENJAWAB TUDUHAN SUKU DAYAK ADALAH PENDATANG DI KALIMANTAN. Maka jika Pemerintah kedepan ini tetap masih menganaktirikan Kalimantan dan penduduk aslinya maka bukan tidak mungkin gerakan ini akan bangkit kembali. Quo Vadis Dayak??

 

Tabe

Jakarta 5/Nov/2014

Sumatera Harus Merdeka

http://www.kompasiana.com/

Sumatera, jika kalian tidak begitu tercengang dengan nama ini, silahkan Googling “Sejarah Pulau Sumatera”.

Dunia dan berbagai peradaban menjelaskan tentang kebesaran dan kemegahan “Pulau Emas” ini.Bahkan para penjelajah dunia zaman dahulu menulis banyak kisah tentang kaya dan hebatnya pulau ini berserta masyarakatnya. Jangan cerita perjuangan.

Rakyat negeri Sumatera juga berjuang mati-matian untuk mempertahankan tanahnya dari para penjajah Portugis, Inggris, Belanda, dan Jepang. Para pemudanya juga bersuara dalam Kongres Pemuda tentang bersatunya Nusantara dalam nama Indonesia. Menyanyikan lagu Indonesia Raya yang sama. Bahkan begitu Pulau Jawa memerdekakan dan mengumandangkan nama Indonesia, Sumatera juga ikut melakukan hal yang sama. Negeri Sumatera juga banyak melahirkan orang-orang besar bagi negeri ini.

Para pemikir, negarawan, budayawan, pendidik, rohaniawan, lahir dari rahim ibu-ibu hebat pulau ini. Sumbangsih mereka begitu besarnya bagi Negara ini. Sebut saja Jendral A. H. Nasution, Adam Malik, Teungku Hasan Muhammad di Tiro, Mohammad Hatta, Buya Hamka, Tengku Amir Hamzah, Djohan Hanafiah, T.D. Pardede, serta banyak lagi orang-orang besar negeri ini. Tidak hanya sumbangsih manusianya saja yang diberikan Sumatera untuk Negara ini. Kekayaan alamnya tidak kalah banyak dan besar yang diambil untuk kemakmuran bangsa. Minyak bumi, gas alam, emas, kelapa sawit, karet, jagung, kakao, kopi, dan banyak sumber daya alam dari darat dan laut Sumatera yang dikelola untuk kemakmuran bangsa.

Tercatat bahwa tahun 2011, Sumatera menyumbangkan 23.5% bagi PDB Nasional Indonesia atau hampir satu per empat dari keseluruhan wilayah di Indonesia. Tetapi sayang, namanya hanya menjadi kelas kedua bagi Negara Indonesia yang menjadi naungannya secara legal. Pembangunan infrastrukturnya berjalan sangat lambat dibanding pembangunan di Pulau Jawa. Pembangunan kualitas manusianya melalui pendidikan pun masih berkejaran dengan Pulau Jawa bahkan luar negeri karena kualitasnya tidak berimbang. Apalagi berharap kepada media-media konvensionalnya yang tidak lagi bisa diharap sebagai pendidik sosial masyarakat karena lagi-lagi terlalu banyak tunggangannya. Seperti kuda hitam yang menjelma menjadi keledai tua. Inilah mengapa akhirnya masyarakat Sumatera harus merdeka.

Bukan merdeka sebagai sebuah Negara baru. Namun merdeka secara mental dan pemikiran. Hal ini menjadi penting sebelum menuntut kemerdekaan kita secara ekonomi. Masyarakatnya dan yang terpenting para generasi mudanya, harus menjadi generasi cerdas yang bekerja dengan tulus dan ikhlas membangun kembali daerahnya.

Tidak mengapa jika mereka harus belajar dari luar daerahnya, tetapi setidaknya mereka tidak lupa kembali untuk membawa semangat pembangunan dan perubahan yang sama dengan para generasi muda di luar Sumatera. Setidaknya pembenahan pemikiran dan mental para generasi muda saat ini, akan menjadi modal besar menjadikan Sumatera sebagai nama yang utama. Sebagai peradaban yang membesarkan Indonesia dan memakmurkan Dunia.

Agar kelak Dunia lah yang akan belajar lagi kepada kita, seperti jayanya Sumatera di masa lalu. Memang benar bahwa kejayaan masa lalu cuma sejarah yang tidak akan di wariskan namun harus direbut dan diperjuangkan kembali serta dijaga. Untuk Sumatera, itu akan dilakukan oleh generasi mudanya yang ber-Tuhan dan berbudaya

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/aulyarusyadi/sumatera-harus-merdeka_550e7c14a33311a52dba82de

Sumatera Akan Pisah dari NKRI Jikwa Tidak Bisa Bubarkan FPI

Thursday, November 17, 2016, http://berita1sl4m.blogspot.com

Saya sebagai orang sumatera sejujurnya tidak suka satu negara sama orang-orang Jawa,alasannya sederhana saja,gara-gara orang jawa kebudayaan melayu dipulau sumatera lenyap perlahan-lahan,nyampur baur sama kebudayaan Jawa….

Kemudian orang jawa dengan seenak perutnya aja ngangkut hasil bumi dari Sumatera untuk pembangunan di Jawa,Lihat saja Jawa yg tak punya apa-apa lebih maju dibanding Sumatera yg hasil minyak buminya 51% hasil nasional…Jawa?!….TKI dan TKW baru mereka punya.

Untuk saudara sesama Melayu di Malaysia…kalian terserah mau panggil Indonesia apa aja(INDON or everything),tapi jangan kalian sakiti perasaan warga sesama melayu di Sumatera dan Kalimantan.

salam hangat warga melayu di Indonesia

Salam hangat kembali dari melayu nusantara.. takde yang perlu kita takutkan biarpun jawa banyak di indonesia, ingat !! takkan melayu hilang di bumi.. patah tumbuh hilang berganti esa hilang dua terbilang !! aku dukung kamu 100% kita bersama.. oke ??

prince_sean…

Saya juga sama dong dengan kalian. Saya org melayu dari Sumatra. Bapak saya orang palembang, ibu saya orang lampung. Kami jujur ga begitu suka dengan orang2 jawa. Di seluruh provinsi sumatra seperti Riau, Jambi, Palembang, Lampung, Bengkulu, banyak sekali orang jawa yang bermukim dan menjajah ekonomi kami. Mereka seenaknya saja datang ke pulau sumatra mengambil jatah pekerjaan buat orang sumatra. Sudah di kasih pekerjaan menjadi petani, masih saja bersikap yg macem-macem.

Jikalau Sumatra pisah dari indonesia dan menjadi satu negara, mungkin saja kita bisa jadi lebih kaya bahkan melebihi malaysia atau singapura.

Buat orang melayu di malaysia, kami sebenarnya tidak membenci kalian. Kami (orang indonesia di sumatra)punya darah sesama melayu.

Salam hangat orang melayu di sumatra,indonesia.

ok Brader,,, akhirnya aku dapat kawan juga,, aku sesama melayu nusantara kita harus bersatu, memang jawa ni tidak bagus orangnya.. ngomong2 sumatera di mananya bang ?? aku di kepri !!

Panglima TNI: Pertahankan NKRI, Prajurit Siap Berjihad

Medan – Prajurit TNI juga siap untuk berjihad dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Hal tersebut disampaikan Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo,seusai mengikuti istigasah bersama ulama dan masyarakat Sumatera Utara (Sumut) di Lanud Soewondo Medan, Sabtu (19/11).

Pada kesempatan itu, Gatot mengatakan pihaknya menghargai setiap proses demokrasi, termasuk unjuk rasa yang dilakukan elemen masyarakat. Namun, TNI memiliki kewajiban untuk berperan jika ada upaya yang berniat untuk merusak dan menghancurkan NKRI.

“Prajurit saya juga siap berjihad mempertahankan NKRI berdasarkan Pancasila, bersama masyarakat, kita bersama-sama mempertahanan Pancasila,” katanya.

Saat ditanya tentang persiapan terkait rencana demo pada 2 Desember, Gatot menyatakan pihaknya lebih banyak berdoa untuk kebesaran dan keutuhan bangsa. “Kesiapan kita berdoa, siapa pun yang ingin menghancurkan negara ini, tidak bisa kalau kita berdoa,” katanya.

Menurutnya, pihak-pihak yang memiliki niat untuk menghancurkan NKRI adalah orang yang tidak beragama, sehingga mereka akan berhadapan dengan TNI, Polri, dan seluruh elemen masyarakat.

Dari pengalaman sejarah selama ini, tidak ada satu pun pengkhianat bangsa yang bisa hidup di Indonesia. Gatot menyebutkan DI/TII, Kahar Muzakar, dan gerakan komunis, tidak bisa menghancurkan NKRI.

“Tidak ada yang bisa, mau menantang, silakan. (Semua musnah) karena kita selalu berdoa pada Allah SWT,” kata Gatot.

Indonesian president Joko Widodo cancels Australia visit amid protests in Jakarta

Postponement follows widespread unrest in Jakarta over claims its Christian governor had insulted the Qur’an

Indonesia
Indonesian Muslim protesters march during a demonstration in Jakarta, Indonesia, on Friday. Indonesian president Joko Widodo has postponed his visit to Australia . Photograph: Xinhua / Barcroft Images

President Widodo – known as Jokowi – was set to arrive on Sunday for a three-day visit to meet his Australian counterpart, prime minister Malcolm Turnbull, as well as other ministers and business leaders. He was also scheduled to address the Australian parliament on Monday.

However, protests in the streets of Jakarta, which began peacefully on Friday in response to accusations the governor, a Christian, had insulted the Qur’an, turned violent.

Turnbull said he had received a call from Jokowi on Saturday afternoon to express regret that his trip would have to be rescheduled “as a result of the security situation in Jakarta which requires his personal attention”.

“I said we were sorry we would not be able to welcome him to Australia tomorrow but entirely understood the need for him to remain in Indonesia at this time,” said Turnbull.

“While disappointing, we agreed the postponement will not affect the need for continued and enhanced cooperation across a range of shared interests and challenges, including the threat of terrorism to our region.”

In September, the Jakarta governor, Basuki Tjahja Purnama, was accused by Muslim groups of insulting the religion after he said political opponents had used a verse of the Qur’an to deceive voters and tell them they should not choose non-Muslims as leaders. Critics interpreted his comments as a criticism of the Qur’an, and he apologised.

Purnama, the first ethnic Chinese to lead the Indonesian capital, is up for re-election in February.

Jakarta protest
Islamic demonstrators march in central Jakarta after a day of protest on Friday. Photograph: Ed Wray/Getty Images
Pinterest

Jokowi called for calm as the protests – which swelled to an estimated 150,000 people following Friday prayers – escalated later in the night, and hit out at unnamed politicians for stoking the situation.

“We deplore the incident after the Isha prayers, when should have already disbanded but became violent. And, we see this was steered by political actors who were exploiting the situation,” he said.

Widodo, a Muslim, has vowed not to interfere in any legal proceedings against Purnama, according to media reports. But he said at his news conference that any legal process involving Purnama would be executed “swiftly, firmly and transparently”.

One protester has died, reportedly of an asthma attack, and 12 were injured in early skirmishes but reports later emerged of dozens of protesters and security personnel being treated for injuries. Police fired teargas and a watercannon at the crowds gathered around the presidential palace. More than 18,000 personnel and military were deployed ahead of the rallies, the national police chief, General Tito, said.

Turnbull said the visit would be rescheduled as soon as “mutually convenient dates” were found.

Negotiations on the Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement would continue, he said.

RI Bersedia Berdialog dengan ULMWP

Mayjen TNI Yoedhi Swastono, deputi I/Koordinasi Bidang Politik Dalam Negeri Kemenkopolhukam, pada seminar peluncuran ringkasan eksekutif hasil penelitian LIPI, Papua Road Map jilid II, Proses Perdamaian, Politik Kaum Muda dan Diaspora Papua: Updating Papua Road Map, di Gedung LIPI, Jakarta, hari ini (14/10).

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pemerintah Indonesia membuka kesempatan melakukan dialog dengan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), kelompok yang selama ini dicap sebagai separatis  yang ingin memisahkan Papua dari Indonesia. Namun, dialog itu harus dilakukan dalam kerangka dialog nasional yang inklusif sebagai sesama anak bangsa Indonesia dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Hal ini dikemukakan oleh Mayjen TNI Yoedhi Swastono, deputi I/Koordinasi Bidang Politik Dalam Negeri Kemenkopolhukam, pada seminar peluncuran ringkasan eksekutif buku Papua Road Map jilid II, Proses Perdamaian, Politik Kaum Muda dan Diaspora Papua: Updating Papua Road Map, di Gedung LIPI, Jakarta, Jumat (14/10).

“ULMWP tetap dilibatkan. Seluruh komponen bisa terlibat. Yang penting apa substansi dialognya,” kata Yoedhi, menjawab pertanyaan bagaimana posisi ULMWP dalam dialog nasional yang digagas oleh LIPI.

Dalam seminar tersebut mengerucut kesepakatan bahwa dialog sebagai pendekatan damai harus diambil sebagai strategi dalam menyelesaikan konflik di Papua. Apalagi telah ada perubahan positif di pemerintahan. Jika selama ini Jakarta dianggap sangat sensitif terhadap istilah dialog, kini pendekatan itu sudah semakin dapat diterima.

Pada saat yang sama, LIPI melihat bahwa peta aktor konflik Papua telah berkembang. Gerakan perlawanan rakyat Papua semakin terkonsolidasi dengan efektif di bawah ULMWP. Tidak hanya menguat secara internal, LIPI melihat ULMWP juga mendapatkan dukungan secara internasional.

“Tumbuhnya nasionalisme baru kepada Melanesia, dan juga ideologi humanisme cukup memberikan amunisi bagi konsolidasi gerakan Papua. Disinilah awalnya terbentuk ULMWP, yang diterima dalam pertemuan Melanesian Spearhead Group (MSG) pada Juli 2015,” kata Adriana Elisabeth, Kepala Pusat  Penelitian Politik LIPI yang juga salah satu penulis buku Papua Road Map jilid II.

“Gerakan perlawanan Papua memiliki struktur politik, basis massa, badan-badan perjuangan/pergerakan di seluruh Papua dan di luar negeri,” kata dia.

Lebih jauh, jika dulu fraksi-fraksi di Organisasi Papua Merdeka (OPM)  terpecah, kini telah mengalami transformasi dalam ULMWP. Jika dulu Jakarta menganggap sulit melakukan dialog dengan Papua karena faksi-faksi yang ada tidak bersatu, kini ULMWP dapat menjadi jembatan pemersatu faksi-faksi tersebut.

“Mereka memiliki satu wadah koordinasi dengan alamat yang jelas, kegiatan yang jelas, sehingga ada koordinasi dan komunikasi antarmereka. Sampai sejauh ini saya melihat belum ada pertentangan di antara mereka,” kata Pater Neles Tebay, koordinator Jaringan Damai Papua (JDP).

Sebagai solusi terhadap konflik Papua yang sudah berlangsung lima dekade, LIPI mengajukan gagasan dialog nasional, sebagai media atau cara untuk menghadirkan para pihak secara inklusif agar dapat saling memahami dan membahas berbagai isu secara komprehensif, dalam konteks penyelesaian Papua.

Namun timbul pertanyaan bagaimana kedudukan ULMWP dalam dialog tersebut, apabila selama ini mereka disebut sebagai gerakan separatis.

LIPI mengajukan 14 unsur yang harus dilibatkan dalam dialog internal Papua, dalam kerangka dialog nasional tersebut. Ke dalam 14 unsur itu sudah termasuk diaspora Papua, yang dalam hal ini salah satunya adalah ULMWP.

Selengkapnya 14 unsur yang dilibatkan dalam dialog internal tersebut adalah sebagai berikut:.

Pertama, masyarakat adat Papua,
kedua, paguyuban migran,
ketiga, kelompok agama, terutama Kristen Protestan, Katolik dan Islam,
keempat, pemerintah daerah, MRP, MRPB dan DPRP/DPRPB,
kelima, LSM/aktivis,
keenam, media,
ketujuh, kelompok kaum muda,
kedelapan, akademisi/peneliti
kesembilan, kelompok perempuan,
kesepuluh, kelompok profesional (buruh, guru dll)
kesebelas, partai politik,
keduabelas, pengusaha dan investor,
ketigabelas, TPN/OPM
keempat belas, diaspora Papua, yang salah satunya adalah ULMWP.

Yoedhi mengatakan dirinya setuju dengan 14 rumusan masalah yang akan menjadi agenda dialog yang dirumuskan oleh LIPI. Salah satu agenda tersebut adalah: konflik vertikal mencakup stigma separatis, pelarangan penggunaan simbol-simbol daerah, kekerasan yang dilakukan oleh TNI/Polri dan kelompok bersenjata, serta pertentangan nasionalisme Indonesia versus etno-nasionalisme.

Kendati demikian, Yoedhi menegaskan bahwa pemerintah tidak setuju dengan internasionalisasi masalah Papua, termasuk dengan mengangkat masalah ini ke Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).

Menurut dia, masalah Papua berbeda dengan Timor Timur. “Proses dekolonisasi Papua sudah selesai. Dekolonisasi Papua sudah final,” kata dia.

Dia mengutip pernyataan salah seorang tokoh Papua yang mengatakan bahwa jika Papua ingin memisahkan diri dari Indonesia, jangan menanyakannya kepada PBB melainkan menanyakannya kepada Indonesia. Artinya, proses dekolonisasi secara internasional sudah selesai,” kata Yoedhi.

Yoedhi menegaskan bahwa pemerintahan presiden Jokowi bersungguh-sungguh ingin menyelesaikan masalah Papua. Termasuk dalam menangani dugaan pelanggaran HAM berat. “Kita sangat terbuka, tetapi bukan dalam kerangka fact finding,” tutur dia.

Pater Neles Tebay, mengatakan, saat ini sangat terbuka harapan bagi adanya dialog dengan pemerintah.

“Dialog nasional untuk Papua, dalam kepemimpinan Jokowi masih ada harapan,  bahwa presiden ini memiliki perhatian yang besar terhadap Papua. Kalau punya hati untuk Papua, maka dialog itu ada kemungkinan dapat terwujud,” kata dia.

Penulis: Eben E. Siadari 13:16 WIB | Sabtu, 15 Oktober 2016

Diplomasi kecantikan ala Indonesia

Oleh Made Supriatna

PUBLIK Indonesia itu sangat sederhana. Saya tidak mau mengatakan tidak canggih. Sederhana saja. Opini publik Indonesia sangat mudah dibentuk. Karena orang Indonesia tidak suka yang muluk-muluk.

Sodara kenal istilah ‘buzzer’? Ini adalah sekumpulan manusia dengan beberapa ratus atau ribu ‘followers’ di twitter. Sodara bisa membayar mereka untuk men-tweet apa saja yang ingin Sodara populerkan agar bisa menjadi ‘trending topic.’ Itu bisa produk. Bisa juga opini untuk membentuk persepsi publik.

“Twitter’ adalah garis depan perang media sosial, demikian kata seorang kawan. Saya kira dia benar. Benar pula bahwa twitter memberi penghasilan untuk para buzzer.

Nah ini berkaitan dengan kesederhaan publik Indonesia. Sodara tidak perlu mengumpani dengan iklan yang canggih. Sederhana saja: orang Indonesia suka dengan yang cantik dan ganteng. Lebih baik lagi kalau sedikit ‘drama’ didalamnya.

Masih ingat Ninih penjual getuk di daerah Kuningan, Jakarta, itu? Bukankah biasa perempuan menjual getuk? Ini lain, Ninih itu cantik. Disitu dramanya.

Masih ingat serangan teroris di Thamrin itu? Hanya sebentar publik Indonesia berkobar dengan hastag #KamiTidakTakut. Beberapa jam kemudian perhatian beralih: polisinya ganteng pisan, sepatunya bermerek, celananya apalagi … dan banyak yang napsu melihat perawakannya yang bagus itu.

Di lain hari, Sodara ketemu Polwan yang cantik; ketemu Kowad anggota Kopassus yang ayu … Itu sebelum Sodara ketemu AA Gatot yang doyan nyabu dan merelakan badannya dimasuki jin sehingga bisa tidur dengan artis-artis yang sedang merosot popularitasnya. Atau, Kanjeng Dimas memperlihatkan betapa tololnya target kebijakan Tax Amnesty. Apa perlunya Tax Amnesty kalau uang bisa digandakan? Itulah drama.

Nah begitu juga dengan soal di Sidang Umum PBB. Publik Indonesia tidak mau pusing dengan persoalan Papua. Tentara dan polisi boleh menembak sebanyak-banyak orang Papua. Tidak ada yang peduli. Yang penting? Diplomat yang menyuarakan suara Indonesia … cantik! Ya, cantik. Seperti Ninih. Atau seperti Bripda Dewi Hardiyanti Husain, Polwan cantik yang hobi tidur dengan ular. Atau Sersan Eka Patmawati, serdadu Kopassus yang mahir menembak (baca: membunuh).

Diplomat muda Indonesia ini membela posisi negaranya dengan berapi-api. Ada tujuh negara Pasifik yang meminta PBB untuk menginvestigasi pelanggaran HAM besar-besaran yang dilakukan oleh Indonesia di Papua. Jawaban Indonesia yang dibacakan diplomat junior ini adalah negara-negara Pasifik itu turut campur urusan dalam negeri Indonesia, sebuah negara yang berdaulat. Indonesia juga menuduh negara-negara ini punya kepentingan politik. Pelanggaran HAM tersebut, kata diplomat Indonesia ini, “dirancang untuk mendukung kelompok-kelompok separatis yang mengganggu ketertiban umum dan melakukan serangan teroris.”

Publik internasional tahu kenyataannya. Salomon Islands, satu dari tujuh negara itu, menjawab enteng saja: Kalau tuduhan kami salah, ijinkan Special Rapporteur PBB masuk dan menyelidik pelanggaran HAM di Papua!

Indonesia tidak memberikan ijin masuk kepada Special Rapporteur PBB ke Papua. Tahun ini Indonesia juga tidak mengijinkan Fact Finding Mission yang dibentuk negara-negara yang tergabung ke dalam Pacific Islands Forum untuk masuk ke Papua.

Apa yang ditutup-tutupi Indonesia?

Publik Indonesia rupanya tidak dengan debat soal HAM. Juga tidak peduli bahwa argumen diplomatnya yang dipuja cantik ini menjadi bahan tertawaan dunia internasional.

Para politisi di Jakarta yang bikin kebijakan rupanya tahu juga itu. Karena itu, yang dibidik oleh mereka bukan masyarakat internasional. Yang disasar adalah rakyat Indonesia sendiri. Rakyat Indonesia yang harus dibangkitkan nasionalismenya. Karena isunya belepotan maka yang diangkat adalah: diplomatnya yang cantik, yang membela negaranya pantang mundur …

Sungguh publik Indonesia itu sederhana. Mereka sibuk memuja diplomat cantik yang perjuangannya seperti para pahlawan revolusi itu.

Siapa peduli Papua? … Itu tidak penting. (*)

Penulis adalah peneliti independen berkewarganegaraan Indonesia, tinggal di AS

Up ↑

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny

Melanesia Web Hosting

Melanesia Specific Domains and Web Hosting

Sem Karoba Tawy

Patient Spectator of the TRTUH in Action

Melanesia Business News

Just another MELANESIA.news site

Sahabat Alam Papua (SAPA)

Sahabat Alam Melanesia (SALAM)

Melanesian Spirit's Club

Where All Spirit Beings Talk for Real!

Breath of Bliss Melanesia

with Wewo Kotokay, BoB Facilitator

Fast, Pray, and Praise

to Free Melanesia and Melanesian Peoples from Satanic Bondages