RadioNZ – The director-general of the Melanesian Spearhead Group says the secretariat has a proposed date for a leaders summit to discuss West Papuan membership.
MSG members are yet to settle on a date for their summit. Photo: RNZI / Johnny Blades
Amena Yauvoli told Vanuatu media that 20 December is the proposed date for the summit in Port Vila, with the secretariat awaiting a consensus on the matter among members.
The meeting was postponed for a second time in early October, and the secretariat had since been unable to pin down a date that works for all leaders from the five full MSG members.
The five are Papua New Guinea, Fiji, Vanuatu, Solomon Islands and New Caledonia’s FLNKS Kanaks Movement.
They are due to deliberate on an application for full membership by the United Liberation Movement for West Papua which is opposed by Indonesia.
The Liberation Movement was granted observer status in the MSG in 2015, while Indonesia is an associate member.
In a sign of the sensitivity around the issue within the MSG, leaders have this year deferred a number of summits where West Papuan membership was a priority item.
Solomon Islands prime minister Manasseh Sogavare, who is the current MSG chairman, has been instrumental in advancing the West papuan membership issue. Photo: RNZI
The annual MSG leaders summit was held in Honiara in July after several late changes of venue and date.
In Honiara, leaders deferred their decision on the Liberation Movement’s application for full membership, saying adequate membership criteria had to be developed first.
Vanuatu’s prime minister Charlot Salwai subsequently explained that since last year MSG membership criteria had been developed which did not reflect the group’s founding principles.
Vanuatu, Solomon Islands and the FLNKS are understood to support the Liberation Movement for full membership, with PNG and Fiji inclining towards Jakarta’s stand on the matter.
PNG Foreign Minister Rimbink Pato (right) talking to his Indonesian counterpart Retno Marsudi. Photo: Supplied
Amid frustrations with the availability of all members, reports have surfaced that the MSG could make a decision on Papuan membership if three of the five full members were present.
Meanwhile, according to Mr Yauvoli, as well as the membership matter, MSG leaders are required to meet in order to approve the secretariat’s 2017 budget.
The secretariat has struggled with a lack of resourcing in recent years, with some full members not paying their full fee commitments.
PUBLIK Indonesia itu sangat sederhana. Saya tidak mau mengatakan tidak canggih. Sederhana saja. Opini publik Indonesia sangat mudah dibentuk. Karena orang Indonesia tidak suka yang muluk-muluk.
Sodara kenal istilah ‘buzzer’? Ini adalah sekumpulan manusia dengan beberapa ratus atau ribu ‘followers’ di twitter. Sodara bisa membayar mereka untuk men-tweet apa saja yang ingin Sodara populerkan agar bisa menjadi ‘trending topic.’ Itu bisa produk. Bisa juga opini untuk membentuk persepsi publik.
“Twitter’ adalah garis depan perang media sosial, demikian kata seorang kawan. Saya kira dia benar. Benar pula bahwa twitter memberi penghasilan untuk para buzzer.
Nah ini berkaitan dengan kesederhaan publik Indonesia. Sodara tidak perlu mengumpani dengan iklan yang canggih. Sederhana saja: orang Indonesia suka dengan yang cantik dan ganteng. Lebih baik lagi kalau sedikit ‘drama’ didalamnya.
Masih ingat Ninih penjual getuk di daerah Kuningan, Jakarta, itu? Bukankah biasa perempuan menjual getuk? Ini lain, Ninih itu cantik. Disitu dramanya.
Masih ingat serangan teroris di Thamrin itu? Hanya sebentar publik Indonesia berkobar dengan hastag #KamiTidakTakut. Beberapa jam kemudian perhatian beralih: polisinya ganteng pisan, sepatunya bermerek, celananya apalagi … dan banyak yang napsu melihat perawakannya yang bagus itu.
Di lain hari, Sodara ketemu Polwan yang cantik; ketemu Kowad anggota Kopassus yang ayu … Itu sebelum Sodara ketemu AA Gatot yang doyan nyabu dan merelakan badannya dimasuki jin sehingga bisa tidur dengan artis-artis yang sedang merosot popularitasnya. Atau, Kanjeng Dimas memperlihatkan betapa tololnya target kebijakan Tax Amnesty. Apa perlunya Tax Amnesty kalau uang bisa digandakan? Itulah drama.
Nah begitu juga dengan soal di Sidang Umum PBB. Publik Indonesia tidak mau pusing dengan persoalan Papua. Tentara dan polisi boleh menembak sebanyak-banyak orang Papua. Tidak ada yang peduli. Yang penting? Diplomat yang menyuarakan suara Indonesia … cantik! Ya, cantik. Seperti Ninih. Atau seperti Bripda Dewi Hardiyanti Husain, Polwan cantik yang hobi tidur dengan ular. Atau Sersan Eka Patmawati, serdadu Kopassus yang mahir menembak (baca: membunuh).
Diplomat muda Indonesia ini membela posisi negaranya dengan berapi-api. Ada tujuh negara Pasifik yang meminta PBB untuk menginvestigasi pelanggaran HAM besar-besaran yang dilakukan oleh Indonesia di Papua. Jawaban Indonesia yang dibacakan diplomat junior ini adalah negara-negara Pasifik itu turut campur urusan dalam negeri Indonesia, sebuah negara yang berdaulat. Indonesia juga menuduh negara-negara ini punya kepentingan politik. Pelanggaran HAM tersebut, kata diplomat Indonesia ini, “dirancang untuk mendukung kelompok-kelompok separatis yang mengganggu ketertiban umum dan melakukan serangan teroris.”
Publik internasional tahu kenyataannya. Salomon Islands, satu dari tujuh negara itu, menjawab enteng saja: Kalau tuduhan kami salah, ijinkan Special Rapporteur PBB masuk dan menyelidik pelanggaran HAM di Papua!
Indonesia tidak memberikan ijin masuk kepada Special Rapporteur PBB ke Papua. Tahun ini Indonesia juga tidak mengijinkan Fact Finding Mission yang dibentuk negara-negara yang tergabung ke dalam Pacific Islands Forum untuk masuk ke Papua.
Apa yang ditutup-tutupi Indonesia?
Publik Indonesia rupanya tidak dengan debat soal HAM. Juga tidak peduli bahwa argumen diplomatnya yang dipuja cantik ini menjadi bahan tertawaan dunia internasional.
Para politisi di Jakarta yang bikin kebijakan rupanya tahu juga itu. Karena itu, yang dibidik oleh mereka bukan masyarakat internasional. Yang disasar adalah rakyat Indonesia sendiri. Rakyat Indonesia yang harus dibangkitkan nasionalismenya. Karena isunya belepotan maka yang diangkat adalah: diplomatnya yang cantik, yang membela negaranya pantang mundur …
Sungguh publik Indonesia itu sederhana. Mereka sibuk memuja diplomat cantik yang perjuangannya seperti para pahlawan revolusi itu.
Siapa peduli Papua? … Itu tidak penting. (*)
Penulis adalah peneliti independen berkewarganegaraan Indonesia, tinggal di AS
Respon Keras datang dari Perdana Menteri Tiongkok Li Keqiang,Soal suasana politik yang sedang memanas di Indonesia yang mengusik kenyamanan warga keturunan tionghua yang ada di Indonesia.
Kabar soal aksi damai 4 November yang berakhir dengan aksi rusuh dan penuh dengan nada ancaman yang mengarah pada etnis Tiong Hua terdengar sampai kenegri China.PM Li Keqiang pun mengadakan konfrensi pers siang lalu bersama pejabat negara lainnya di Kantor Perdana Menteri China,Taipei,yang diliput stasiun televisi international.
Jelas sekali dalam konfrensi pers itu,Perdana Menteri negara tirai bambu tersebut,menyampaikan perihatinnya akan kondisi yang sedang terjadi di Indonesia.PM li juga menyayangkan etnis tiong hua kembali menjadi incaran adu domba oleh beberapa politikus Indonesia demi mengambil kekuasaan secara tidak sehat.
PM Li berharap pemerintah Indonesia bisa mengambil keputusan tegas dan bijak dengan apa yang terjadi saat ini.PM li sangat tidak menginginkan peristiwa kelam ditahun 1998 yang menjadikan etnis TIong Hua sebagai korban terulang lagi di Indonesia.Karena menurutnya kejadian itu harusnya tidak boleh terjadi lagi dinegara yang sudah memiliki banyak kemajuan dan perkembangan sedemikian rupa.
“Tentunya saya sudah mendengar kabar dari negara tetangga kita,Indonesia yang sedang mengalami gejolak politik yang bercampur dengan urusan agama dan etnis”Ujar PM Li dalam konfrensi persnya
“Kami sebagai negara sesama Asia turut perihatin melihat ini,Saya berharap yang terbaik untuk Bapak Presiden Jokowidodo dapat segera menenangkan suasana dan menyelesaikan masalah ini dengan bijak dan mencegah aksi-aksi yang dapat memecah bela negaranya”
“Namun tidak lepas saya adakan konfrensi pers ini,Saya ingin menegaskan bahwa Pemerintahan kami tidak mau dan tidak mengkhendaki,Jikalau sampai kejadian yang paling kelam terjadi pada tahun 1998 di Indonesia terulang kembali.Dijaman itu telah banyak warga keturunan kami disana diperlakukan secara kejam dan dibunuh.”
Sambungnya
“Jika memang Pemerintah gagal melindungi warga keturunan kami disana,dan terulang lagi sejarah kelam itu.Maaf jika kami pemerintah Tiongkok pun akan mencoba menaikkan banding kami ke Badan Persatuan Bangsa-Bangsa untuk mengirimkan pasukan pengamanan kami ke Indonesia,Demi memindahkan keturunan kami disana”
“Serta hubungan dari segi bisnis,perdagangan,bilateral,dan yang lainnya benar-benar akan kami putus dengan Indonesia.Mohon maaf sebelumnya tapi kami juga mempunyai hak untuk melindungi warga keturunan kami dimanapun mereka berada,Jika terjadi penindasan secara sosial dan nyawanya terancam.Tapi tetap dibalik itu semua kami tidak akan mendahului Pemerintahan RI”
Tegasnya
“Maka itu saya berharap Presiden dan para Menteri di Indonesia dapat menyelesaikan masalah yang terjadi dengan sebaik-baiknya tanpa memakan korban dari pihak manapun.Karena sesungguhnya yang sedang terjadi saya tahu betul adalah tindakan politisi Indonesia yang sedang bergejolak dengan menggunakan,mengambing hitamkan etnis tiong hua sebagai sasaran”Tutupnya
Hal tersebut merupakan penggalan isi dari konfrensi pers yang di selenggarakan oleh PM Li,Sisa perbincangan dari konfrensi pers itu hanya membahas tentang pertukaran warga negara di Asia yang memang sudah direncanakan oleh seluruh anggota Asean.
Indonesia has asked Australia to caution its Pacific Island neighbours against interfering in the West Papua issue and to urge them to withdraw support for West Papuan membership of the Melanesian Spearhead Group, warning that the issue could pose a “stumbling block” to closer bilateral ties.
Defence Minister Ryamizard Ryacudu told The Australian yesterday he made the request to Australia’s defence and foreign ministers during their annual meeting in Bali last week and “the response has been good. It is unlikely they will refuse”.
“I have told Australia … we should maintain our close relationship and not let issues like this be a stumbling block to our relationship,” he said.
At Friday’s ministerial meeting, Australia and Indonesia also agreed to consider joint patrols of areas of the contested South China Sea and pirate-infested Sulu Sea between Indonesia and The Philippines. That will likely be discussed further when Indonesian President Joko Widodo makes his first official state visit to Australia on Sunday.
General Ryamizard’s decision to publicly raise the West Papua issue appears designed to pressure Canberra into adopting a stronger public defence of Indonesia’s position.
The bid for West Papuan membership of MSG, likely to be decided by year-end, has become a rallying point for the Free West Papua movement, which argues that the territory’s UN-supervised vote to stay with Indonesia in 1968 was secured by cheating and military intimidation.
Indonesia is an MSG associate but is lobbying hard against Papuan admission since the United Liberation Movement of West Papua gained observer status last year.
The group’s chairman, Solomon Islands Prime Minister Manasseh Sogavare, champions West Papuan representation. He was one of seven Pacific leaders to speak out against human rights abuses in the Papua provinces and to support self-determination at last month’s UN General Assembly.
After the ministerial meeting on Friday, General Ryamizard said: “I have told Australia we never interfere with the internal affairs of any other country and we will strongly object if other countries do so to us.
“So please tell Solomon Island and those six nations (from the MSG) never to interfere or encourage West Papua to join them.
“Those countries better keep their mouths shut and mind their own business. It is better that (Australia) speaks to them gently. If it was left up to me, I would twist their ears.”
John Blaxland, of ANU”s Strategic and Defence Studies Centre, said Canberra would have little choice but to speak to the Solomons (which gets $162 million Australian aid this year) and “remind them of which side their bread is buttered”.
However, the Indonesian minister’s public statements were “extremely unhelpful” because they brought the issue into the open, which was wanted only by pro-independence activists. Dr Blaxland, said it was “completely toxic for Australia”.
“The restoration of the bilateral security relationship is predicated on us being supportive over West Papua and the Indonesians are acutely sensitive to Australia’s role in that.
“We can’t afford for West Papua to sour relations between Australia and Indonesia when there are so many other issues on the agenda dependant on us maintaining an even keel in that relationship,” he added.
Foreign Minister Julie Bishop yesterday confirmed West Papua was discussed at last week’s meeting but would not say whether Australia would pass on Indonesia’s message to Pacific Island nations.
Merdeka.com – Ratusan ribu ormas Islam berdemo di Istana Negara terkait kasus dugaan penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Sebelum menggelar aksi sebagian massa berkumpul di Masjid Istiqlal.
Pantauan merdeka.com, Jumat (4/11), ada bendera Aceh yang menyerupai Gerakan Aceh Merdeka yang dikibarkan oleh sekelompok pemuda yang diduga FPI Aceh. Tak hanya itu, bahkan para pemuda yang mengenakan baju putih-putih itu membentangkan spanduk yang berisi ancaman Aceh bakal pisah dari NKRI.
“Bila NKRI dipimpin oleh Pembela Ahok, Maka kami bangsa Aceh akan menuntut pisah dari NKRI,” tulis spanduk tersebut yang terdapat logo FPI Aceh.
Massa Aceh demo Ahok 2016 merdeka.com/raynaldo ghifari
Terkait itu, Kapolda Metro Jaya Irjen M Iriawan mengatakan polisi sudah mengamankan dan mengambil bendera serta spanduk tersebut. Iriawan pun telah menyampaikan temuan itu ke Pimpinan FPI Habib Rizieq.
“Saya sudah sampaikan ke Habib Rizieq kenapa itu bisa terjadi. Karena saya menuntut apa yang disampaikan oleh korlap bahwa tidak akan ada provokasi,” kata Iriawan di Monas.
[eko]
The National Parliament and the Ministry of Women, Youth, Children and Family Affairs made their intentions known during the recent National Youth Parliament in Honiara.
Speaker of Parliament, Ajilon Jasper Nasiu, told participants that 20 youth parliamentarians will be selected from the current Youth Parliament to represent Solomon Islands in the 2017 Melanesian Youth Parliament.
“And from this Youth Parliament, a separate selection panel will select 20 youth parliamentarians, 10 boys and 10 girls to represent the Solomon Islands in next year’s Melanesian Youth Parliament.”
The Speaker of Parliament appeals to all youth parliamentarians participating in the current youth parliament to perform to their best in order to represent the country in the Melanesian Youth Parliament next year.
The objective of a Youth Parliament is to teach young people about some of the core principles of democracy, its values and how it functions. It also gives young people an opportunity to raise issues of concern, and in so doing feed into mainstream policy discussions or debates.
Tokoh HAM Inggris, Peter Tatchell saat menerima Gandhi International Peace Award dari pengacara HAM Inggris yang terkemuka, Helena Kennedy QC, disaksikan oleh Omar Hayat dari Gandhi Foundation (Foto:scoop.co.nz
LONDON, SATUHARAPAN.COM – Isu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua tampaknya tak terbendung lagi untuk menjadi perhatian dunia. Semakin banyak tokoh mancanegara yang memberi perhatian pada masalah ini. Indonesia tampaknya harus semakin bekerja keras untuk mengupayakan dialog untuk meredamnya.
Sebuah amunisi baru bagi mereka yang mengangkat masalah pelanggaran HAM di kancah internasional, baru saja datang dari terpilihnya tokoh Inggris dan aktivis HAM negara itu, Peter Tatchell. Ia terpilih sebagai penerima Gandhi International Peace Award, penghargaan bagi tokoh yang berjuang memperjuangkan perdamaian secara nonkekerasan. Ia diganjar penghargaan itu atas pengabdiannya bagi kerja-kerja pembelaan HAM selama 50 tahun di Inggris dan di seluruh dunia.
Yang menarik, Tatchell mendedikasikan kemenangannya ini untuk pembebasan Papua. Ketika menerima penghargaan itu di London pada 31 Oktober, ia memanfaatkan separuh dari pidatonya berbicara tentang pelanggaran HAM di Papua. Kritik pedas terhadap Jakarta mendominasi pidatonya tentang Papua.
Tatchell menerima penghargaan tersebut dalam sebuah upacara di House of Parliement di London, Inggris. Yang menyerahkan kepadanya adalah pengacara HAM Inggris yang terkemuka, Helena Kennedy QC, yang juga merupakan anggota parlemen Inggris.
“Menerima penghargaan ini adalah kehormatan besar. apresiasi yang mendalam saya kepada Gandhi Foundation,” kata Tatchell, dikutip dari scoop.co.nz.
“Saya mendedikasikan penerimaan saya atas penghargaan ini kepada orang-orang heroik di Papua (Barat) dan perjuangan pembebasan mereka melawan penjajahan dan dan pendudukan militer. Sejak aneksasi oleh Jakarta pada tahun 1969, setidaknya 100.000, dan mungkin 400.000, orang Papua telah meninggal,” kata Tatchell, dalam pidato penerimaan penghargaan itu.
Berjuang 50 Tahun
Gandhi Foundation, lembaga yang memberikan penghargaan itu, mengatakan Peter Tatchell secara konsisten selama beberapa dekade memperjuangkan dan mempromosikan HAM dan hak LGBT. Tatchell, yang merupakan pendiri Peter Tatchell Foundation, dinilai telah membantu untuk membangkitkan pemahaman yang lebih besar dalam pikiran publik akan isu-isu penting dan menciptakan kondisi untuk memungkinkan hukum dilaksanakan dalam melindungi kelompok minoritas.
“Dia secara konsisten berada di garis depan gerakan progresif, dari anti-apartheid hingga hak-hak Palestina, perlucutan senjata nuklir, reformasi demokrasi di Timur Tengah dan kampanye melawan undang-undang anti-teror kejam di Inggris,” demikian pernyataan Gandhi Foundation.
“Dia telah mencapai ini melalui keyakinannya atas protes non-kekerasan, yang merupakan prinsip-prinsip yang dianut oleh Mahatma Gandhi,” lanjut pernyataan itu.
“Dewan Pengawas Gandhi Foundation juga memperhitungkan keberanian pribadinya dalam menghadapi prasangka dan menempatkan dirinya kadang-kadang di jalan serangan kekerasan tetapi tidak pernah membalas dengan kekerasan. Dia telah berulang kali mempertaruhkan dirinya dalam penangkapan dan penahanan untuk mengekspos ketidakadilan, dan telah dipandang sebagai panutan oleh banyak aktivis hak asasi manusia,” demikian pernyataan Gandhi Foundation.
Berjuang Sejak Usia 15 Tahun dengan Prinsip Kasih
Tatchell mengatakan penghargaan yang diterimanya dia pandang sebagai pengakuan atas setengah abad bekerja untuk HAM, dimulai pada tahun 1967 ketika ia berusia 15 tahun.
“Tapi, tentu saja, perubahan apapun yang telah membantu membawa saya, ia tidak pernah dicapai oleh saya sendiri. Saya adalah bagian dari, upaya kolektif bersama Gay Liberation Front, Anti-Apartheid Movement, Campaign for Nuclear Disarmament, OutRage! dan belasan kelompok kampanye lain yang telah saya dukung selama beberapa dekade,” kata dia.
“Terima kasih saya kepada semua orang-orang untuk kebaikan mereka, kemurahan hati dan dukungan selama beberapa dekade. Hal ini jauh lebih dihargai – dan berharga,” kata dia.
Menurut dia, perjuangan non-kekerasan Gandhi yang sukses terhadap kekuasaan kolonial Inggris di India telah menjadi inspirasi abadi sepanjang 50 tahun kampanye HAM yang dia lakukan.
“Memaksa Inggris keluar dari India – pada saat Inggris adalah negara adidaya militer terbesar dalam sejarah dan bertekad untuk melanjutkan kekuasaan kekaisaran – itu luar biasa. Tapi itu semua lebih luar biasa lagi karena metode Gandhi mencapai pemerintahan sendiri dan kebebasan tanpa mengganggu bahkan satu helai rambut di kepala tentara Inggris. Gandhi menunjukkan potensi yang besar dari kekuatan damai rakyat,” tutur dia.
Ia menggaris bawahi bahwa kasih merupakan energi yang tak tergoyahkan.
“Mengikuti jejak Gandhi, motif usaha hak asasi manusia saya adalah kasih. Saya mengasihi orang lain. Saya suka kebebasan, kesetaraan dan keadilan. Satu-satunya perjuangan pembebasan yang layak diperjuangkan adalah perjuangan yang terinspirasi oleh kasih. Kasih adalah awal, tengah dan akhir pembebasan. Tanpa kasih, tidak ada pembebasan layak disebut,” kata dia.
Prinsip-prinsip nonkekerasan, menurut Tatchell, telah ia aplikasikan dalam berbagai aksi yang ia lakukan. Berbagai aksi yang sudah ia alakukan, termasuk aksi protes memperjuangkan hak LGBT di Jerman Timur (1973), melawan upaya penangkapannya atas perintah Presiden Mugabe dari Zimbabwe (1999 and 2001), seruan agar pasukan Inggris menolak penggunaan nuklir (1985), kritik terhadap 10 uskup Anglikan atas kolusi munafik mereka terhadap homofobia gereja (1994), protes terhadap Tony Blair atas perang Irak (2003), protes terhadap pelarangan pawai gay di Moskow (2007) dan upaya memblokade limousine diktator militer Pakistan, Pervez Musharraf (2008).
Dipersembahkan untuk Papua
Dalam pidatonya kemenangan itu, Tatchell cukup panjang lebar berbicara tentang Papua, dengan kritik yang sangat pedas terhadap Jakarta.
Ia antara lain menuduh program transmigrasi ke Papua “sengaja dirancang untuk membuat orang Papua menjadi minoritas di tanah mereka sendiri.”
Menurut dia, pelanggaran HAM di Papua meluas termasuk penangkapan massal. Ia mengeritik hukum di Indonesia, yang dengan mengibarkan bendera bintang kejora saja, orang bisa dihukum 10 sampai 15 tahun.
Di bagian akhir pidatonya, ia mengatakan dirinya berbagi solidaritas dengan rakyat Papua dan hak untuk menentukan nasib sendiri.
“Indonesia harus setuju referendum yang diawasi oleh PBB bagi masyarakat asli Papua, untuk membiarkan mereka memutuskan apakah mereka ingin tetap menjadi bagian dari Indonesia atau merdeka.”
ia menyerukan agar penjualan senjata oleh Barat ke Indonesia dihentikan. Demikian juga dengan eksploitasi ekonomi asing yang luas atas sumber daya emas, tembaga, minyak, gas dan kayu. Menurut dia, eksploitasi itu berlangsung tanpa persetujuan dari rakyat Papua.
Pada kesempatan itu, ia juga memperkenalkan Maria dan Koteka Wenda yang mewakili gerakan pembebasan Papua. “Mereka adalah pengungsi, pejuang dan keluarga dari pemimpin kemerdekaan Papua, Benny Wenda. Selamat datang kepada Maria dan Koteka, “kata Tatchell.
Sebagai catatan, Benny Wenda, juru bicara United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), yang memperjuangkan hak menentukan sendiri bagi Papua, sampai saat ini tinggal di Inggris. Sejumlah tokoh Inggris telah menyatakan dukungan bagi hak penentuan nasib sendiri bagi Papua. Di antaranya, tokoh gereja Inggris, Richard Douglas Harries, atau yang lebih dikenal sebagai Lord Harries of Pentregarth, dan Ketua Partai Buruh, Jeremy Corbyn.
Tentang Gandhi Foundation
Gandhi Foundation adalah sebuah lembaga amal terdaftar di Inggris yang bertujuan untuk menyebarkan pengetahuan dan pemahaman tentang hidup dan karya Mahatma Gandhi.
Tujuan utama lembaga ini adalah menjelaskan dan menunjukkan relevansi dari aksi dan pandangan Gandhi dewasa ini.
Hal itu dilakukan dengan mempromosikan nonkekerasan ketimbang perang dan agresi; ekonomi egaliter yang menekankan kepada ketahanan sendiri, kerjasama dan kepercayaan.
Lembaga amal ini juga mempromosikan gaya hidup sederhana, menghindari pencarian tak berkesudahan terhadap kepemilikan harta dan pengalaman semu. Cara ini dipandang sebagai langkah mendasar untuk melindungi sumber daya bumi
dan ekologi.
Gandhi Foundation telah memberikan penghargaan Gandhi International Peace Award sejak tahun 1998.
During her visit to Indonesia, Foreign Minister Julie Bishop and Indonesia’s Defense Minister Ryamizard Ryacudu discussed efforts to deepen military relations at the 2+2 meeting held in Bali last Friday. It was reported by RNZI that the Indonesian Defence Minister urged Australia to pass a message to Solomon Islands that it should refrain from interfering in the internal affairs of Indonesia, including the issue of West Papua.
Joe Collins of AWPA said, “this is an outrageous statement as it is duty of all nations to raise concern about human rights abuses not only in West Papua but no matter where they are committed. The Solomon Islands and the other six Pacific leaders who raised concern about the human rights abuses in West Papua (at the 71st Session of the United Nations General Assembly in New York in September) are to be congratulated for their courageous stand on the issue of West Papua. It is a pity that Australia does not follow the Pacific leaders in also condemning the ongoing human rights abuses committed by the Indonesian Military”.
West Papuan leader Benny Wenda in a statement said that on 27th October, at least 9 West Papuan people were shot and 1 was killed as the Indonesian police opened fire in Manokwari.
According to reports, West Papuan people took to the streets to protest the murder of a West Papuan youth Vigal Pauspaus (20) who was stabbed by an Indonesian migrant. In response, the Indonesian police opened fire on the crowd and killed West Papuan Independence activist Onesimus Rumayom (56). They also reportedly attacked and shot at least 8 other people including children.
Joe Collins said, “it should also be remembered that Indonesia’s Defense Minister Ryacudu said of the soldiers who killed Chief Theys Eluay (Chairperson of the Papuan Presidium Council) in November 2001, that ’I don’t know, people say they did wrong, they broke the law. What law? Okay, we are a state based on the rule of law, so they have been punished. But for me, they are heroes because the person they killed was a rebel leader.’
Not only should Australia refuse the request of the Indonesian defence minister but should be supporting the Pacific leaders in calling on Jakarta to allow a PIF facing mission to West Papua.
ends.
bagi.me – Di bawah ini adalah tulisan Jarred Diamond, penulis yang memperoleh penghargaan Pulitzer. Dalam sebuah pidatonya Jarred pernah mengatakan bahwa negara seperti: Indonesia, Columbia dan Philipina, merupakan beberapa peradaban yang sebentar lagi akan punah.
Ketika bangsa Cina ingin hidup tenang, mereka membangun tembok Cina yang sangat besar.
Mereka berkeyakinan tidak akan ada orang yang sanggup menerobosnya karena tinggi sekali.
Akan tetapi 100 tahun pertama setelah tembok selesai dibangun, Cina terlibat tiga kali perperangan besar.
Pada setiap kali perperangan itu, pasukan musuh tidak menghancurkan tembok atau memanjatnya, tapi cukup dengan menyogok penjaga pintu gerbang.
Cina di zaman itu terlalu sibuk dengan pembangunan tembok, tapi mereka lupa membangun manusia.
Membangun manusia seharusnya dilakukan sebelum membangun apapun. Dan itulah yang dibutuhkan oleh semua bangsa.
Ada sebuah pendapat yang mengatakan bahwa apabila ingin menghancurkan peradaban sebuah bangsa, ada tiga cara untuk melakukannya, yaitu:
1. Hancurkan tatanan keluarga
2. Hancurkan pendidikan
3. Hancurkan keteladanan dari para tokoh dan rohaniawan (ulama, ustadz, habaib)
Untuk menghancurkan keluarga caranya dengan mengikis peranan ibu-ibu agar sibuk dengan dunia luar, menyerahkan urusan rumah tangga kepada pembantu.
Para ibu akan lebih bangga menjadi wanita karir ketimbang ibu rumah tangga dengan dalih hak asasi dan emansipasi.
Kedua, pendidikan bisa dihancurkan dengan cara mengabaikan peran guru. Kurangi penghargaan terhadap mereka, alihkan perhatian mereka sebagai pendidik dengan berbagai macam kewajiban administratif, dengan tujuan materi semata, hingga mereka abai terhadap fungsi utama sebagai pendidik, sehingga semua siswa meremehkannya.
Ketiga, untuk menghancurkan keteladanan para tokoh masyarakat dan ulama adalah dengan cara melibatkan mereka kedalam politik praktis yang berorientasi materi dan jabatan semata, hingga tidak ada lagi orang pintar yang patut dipercayai. Tidak ada orang yang mendengarkan perkataannya, apalagi meneladani perbuatannya.
Apabila ibu rumah tangga sudah hilang, para guru yang ikhlas lenyap dan para rohaniawan dan tokoh panutan sudah sirna, maka siapa lagi yang akan mendidik generasi dengan nilai-nilai luhur?
Itulah awal kehancuran yang sesungguhnya. Saat itulah kehancuran bangsa akan terjadi, sekalipun tubuhnya dibungkus oleh pakaian mewah, bangunan fisik yang megah, dan dibawa dengan kendaraan yang mewah.
Semuanya tak akan berarti apa apa, rapuh dan lemah tanpa jiwa yang tangguh.
Jayapura, Jubi – Visiting German ambassador Georg Witschel said he was not satisfied with the Papua government’s response to questions about investment and land.
Witschel held talks with assistant III of Papua, Rosina Upessy during the visit to Jayapura this week.
He was accompanied by a number of investors, business people and officials from the Chamber of Commerce and Industry of Germany.
“We asked several questions, but they weren’t answered well. We understood that she herself who received us while governor, governor deputy and regional secretary were not here. So many of our questions were not answered,” Witschel told reporters.
He said the visit was aimed at looking at the possibility of cooperation to invest in energy, forest protection, conservation and environmental issues.
“There is an investor from Germany that invested about more than 10 million euros in West Papua. Yet when we are looking for information to attract investors for Germany here, we did not get enough information. So it is hard to get prospective investors to come to Papua, “he said.
He then hoped when visiting the Jayapura city government and Jayapura regency government, it can get more accurate information. “It’s the first time to visit Papua. Unfortunately there was lack preparation. Though we have sent a letter one month ago. Regrettably, all questions were not answered satisfactorily, “he explained.
Meanwhile, Assistant III of Public Affairs Rosina Upessy said the land often becomes a bottleneck.
“All of the land in Papua is the property of the State and if the investor used Hak Guna Usaha (HGU) and when the contract is nearly complete, it must return to the State,” Rosina Upessy added.
German delegation also asked about licensing that often becomes a hinderence. However, the Government of Papua Province guarantee that there is one- door service to get permission.
“One-door service is one of effective ways to get permission to invest in Papua,” he said.