Bertambahnya Satu Negara, Kini Menjadi 7 Negara yang Angkat isu Papua di PBB

Bertambahnya Satu Negara, kini Menjadi 7 Negara yang Angkat isu Papua di PBB
Caleb Otto, wakil tetap dari Republik Palau untuk PBB saat penyampaian di sesi debat umum PBB, Senin 26/09/2016. Sumber: http://www.tabloid-wani.com/2016/09/bertambahnya-satu-negara-kini-menjadi-7-negara-yang-angkat-isu-papua-di-pbb.html

New York, Tabloid-WANI — Diangkatnya isu pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Indonesia di Papua tengah menjadi perhatian dunia Internasional. Beberapa hari yang lalu dalam sidang Mejelis Umun Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berlangsung di New York Amerika Serikat pada tanggal 20 s/d 26 September 2016, ada enam negara dari Pasifik yang tergabung dalam Koalisi Pasifik untuk West Papua (PCWP) yaitu: Kepulauan Solomon, Republik Vanuatu, Republik Kepulauan Marshall, Republik Nauru, Tuvalu dan Kerajaan Tonga telah mengangkat isu Pelanggaran HAM yang bertahun-tahun lamanya dilakukan oleh Indonesia di bumi Cenderawasi Papua, dan ditutupi Indonesia sejak Papua dianeksasi ke dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 50 tahun silam.

Dalam pidato dari enam negara diatas, secara garis mereka minta PBB bersama Indonesia untuk segerah selidiki kasus Pelanggaran HAM di Papua dan hak penentuan nasib sendiri untuk Papua.

Ketika enam dari koalisi (PCWP) menyoroti isu pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Papua, satu negara yang juga dari kawasan wilayah Pasifik yang teletak di 200 km sebelah utara wilayah provinsi Papua Barat yakni Republik Palau juga telah mengangkat isu Papua di sidang tahunan PBB ini.

Republik Palau mengangkat isu Papua pada sesi Debat Umum PBB tanggal (26/09) oleh Caleb Otto. Dalam penyampaian Caleb Otto yang merupakan wakil tetap Republik Palau untuk PBB mengatakan

“Kami bergabung dengan yang lain untuk mengadvokasi sebuah resolusi terhadap masalah-masalah di West Papua melalui dialog mendalam dan konstruktif” papar Caleb Otto di PBB. Berikut ini video Caleb Otto terkait Papua di sesi debat umum PBB

Berikut ini video Caleb Otto terkait Papua di sesi debat umum PBB

Sumber: http://www.tabloid-wani.com/2016/09/bertambahnya-satu-negara-kini-menjadi-7-negara-yang-angkat-isu-papua-di-pbb.html

Anggap intervensi kedaulatan, delegasi Indonesia kecam enam negara Pasifik

Jayapura, Jubi – Delegasi Indonesia dalam hak jawabnya di sesi debat Majelis Umum PBB, Sabtu (24/9/2016) menyatakan Nauru, Kepulauan Marshall, Kepulauan Solomon, Vanuatu, Tuvalu dan Tonga telah melakukan manuver yang tidak bersahabat dan melakukan intervensi kedaulatan dan integritas wilayah Indonesia.

Dilaporkan oleh website resmi PBB, Delegasi Indonesia (tidak disebutkan namanya) di dalam kesempatan itu menolak pernyataan kelima negara Pasifik tersebut terkait West Papua. Menurut delegasi tersebut ketimbang membahas implementasi Sustainable Develoment Goals (SDGs) terkait perubahan iklim yang sangat berdampak pada Pasifik, para pemimpin Pasifik malah mengintervensi kedaulatan Indonesia.

“Indonesia terkejut mendengar di mimbar yang sangat penting dimana para pemimpin bertemu di sini untuk membahas implementasi awal SDGs, transformasi dari tindakan kolektif kita dan tantangan global lainnya seperti perubahan iklim, dimana negara Pasifik yang akan paling terdampak. Para pemimpin tersebut malah memilih untuk melanggar piagam PBB dengan mengintervensi kedaulatan negara lain dan melanggar integritas teritorialnya.

Delegasi Indonesia juga menganggap keenam negara Pasifik tersebut tidak paham terhadap sejarah, situasi saat ini, dan perkembangan progresif di Indonesia, termasuk di Provinsi Papua dan Papua Barat,

“Mereka juga sudah melakukan manuver politik yang tidak bersahabat dan retoris,” ujarnya.

Wakil Indonesia juga menuduh pernyataan negara-negara tersebut mendukung gerakan separatis yang menganggu ketertiban umum di kedua Provinsi Papua.

“Pernyataan bernuansa politik mereka itu dirancang untuk mendukung kelompok-kelompok separatis di provinsi-provinsi tersebut yang begitu bersemangat menganggu ketertiban umum, dan melakukan serangan teroris bersenjata terhadap masyarakat sipil dan aparat keamanan,” ujar delegasi tersebut.

Keenam negara Pasifik tersebut dianggap sudah melanggar tujuan dan maksud piagam PBB dan melanggar prinsip hukum internasional tentang relasi persahabatan antar negara serta kedaulatan dan integritas teritori suatu negara.

“Saya ulangi, itu sudah melanggar kedaulatan dan integritas teritori suatu negara. Hal itu sangat disesalkan dan berbahaya bagi negara-negara untuk menyalahgunakan PBB, termasuk Majelis ini,” ujar wakil Indonesia itu dengan nada marah.

Sebelumnya di hari yang sama (24/9), Perdana Menteri Kerajaan Tonga, ‘Akilisi Pohiva, pada pidatonya kembali memberi tekanan pada pemerintah Indonesia terkait dugaan pelanggaran HAM di West Papua.

Dirinya mengaku prihatin terhadap situasi masyarakat asli Papua, dan menegaskan Tonga mendukung keputusan pertemuan PIF di Mikronesia yang baru lalu untuk memfasilitasi dialog terkait status dan kondisi kesejahteraan rakyat West Papua.

Terkait pelanggaran HAM di Papua, dia menyerukan agar Indonesia mau bekerja sama dengan para pemimpin Pasifik lainnya untuk sebuah dialog konstruktif dan terbuka baik secara bilateral maupun melalui mekanisme PBB.

Terkait penanganan dugaan pelanggaran HAM di Papua, delegasi Indonesia menolak ajakan keenam negara Pasifik itu, dan mengatakan sudah menjalankan mekanisme di tingkat nasional terkait penyelesaian pelanggaran HAM di kedua provinsi Papua.

“Kami tegaskan kembali ada mekanisme domestik di tingkat nasional di Indonesia, juga di tingkat provinsi di Papua dan Papua Barat. Di pihak kami, Indonesia akan terus memberi fokus yang sesuai dengan perkembangan/pembangunan di Papua dan Papua Barat dan untuk kepentingan terbaik bagi semua,” kata delegasi Indonesia. (*)

Ini Teks Jawaban Indonesia Menanggapi Pidato 6 Negara di PBB terkait Pelanggaran HAM Papua

Perwakilan pemerintah Indonesia saat menanggapi pidato enam (6) negara dari Pasifik tentang pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Indonesia dan Hak Penentuan Nasib Sendiri di Papua pada sesi debat umum Sidang ke-71 Majelis Umum PBB di New York, 20-26 September 2016.

New York, Tabloid-WANI — Negara-negara dari Pasifik yang tergabung dalam Koalisi Pasifik untuk West Papua (PCWP) telah berpidato dalam sidang Masjelis Umum PBB ke-71 yang berlangsung pada tanggal 20-26 September 2016 di New York Amerika Serikat.

Enam negara dari Pasifik tersebut diantaranya adalah sebagai berikut: (1) Solomon Islands, (2) Republik Vanuatu, (3) Republik Nauru, (4) Republik Kepulauan Marshall, (5) Kerajaan Tonga, dan (6) Tuvalu.

Dalam pidato dari enam negara tersebut telah menyoroti pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Indonesia di Papua dan Hak Penentuan Nasib Sendiri untuk Papua.

Melihat hal, pemerintah Indonesia menolak pernyataan yang dipaparkan oleh enam negara tersebut.

Berikut ini Teks Jawaban Indonesia

Indonesia akan menggunakan hak jawab kami terhadap apa yang disampaikan PM Kepulauan Solomon dan Vanuatu, yang juga diteruskan oleh Nauru, Kepulauan Marshall, Tuvalu dan Tonga terkait Papua, provinsi di Indonesia.

Indonesia terkejut mendengar di mimbar yang sangat penting ini dimana para pemimpin bertemu di sini untuk membahas implementasi awal SDGs, transformasi dari tindakan kolektif kita dan tantangan global lainnya seperti perubahan iklim, dimana negara Pasifik yang akan paling terdampak. Para pemimpin tersebut malah memilih untuk melanggar piagam PBB dengan mengintervensi kedaulatan negara lain dan melanggar integritas teritorialnya.

Kami secara kategoris menolak sindiran terus menerus dalam pernyataan mereka. Mereka betul-betul mencerminkan ketidakpahaman mereka terhadap sejarah, situasi saat ini, dan perkembangan progresif di Indonesia, termasuk di Provinsi Papua dan Papua Barat, serta manuver politik yang tidak bersahabat dan retoris.

Pernyataan bernuansa politik mereka itu dirancang untuk mendukung kelompok-kelompok separatis di provinsi-provinsi tersebut yang begitu bersemangat terlibat menganggu ketertiban umum, dan melakukan serangan teroris bersenjata terhadap masyarakat sipil dan aparat keamanan. Jelas pernyataan yang dibuat oleh negara-negara itu benar-benar melanggar tujuan dan maksud piagam PBB dan melanggar prinsip hukum internasional tentang relasi persahabatan antar negara serta kedaulatan dan integritas teritori suatu negara.

Saya ulangi, itu sudah melanggar kedaulatan dan integritas teritori suatu negara. Hal itu sangat disesalkan dan berbahaya bagi negara-negara untuk menyalahgunakan PBB, termasuk Majelis ini.

Negara-negara ini sudah menggunakan Majelis Umum PBB untuk mengajukan agenda domestik mereka, dan bagi beberapa negara untuk mengalihkan perhatian dari persoalan politik dan sosial di negara mereka.

Negara-negara itu juga menggunakan informasi yang salah dan mengada-ngada sebagai landasan pernyataan mereka.

Sikap negara-negara ini yang meremehkan piagam PBB dan membahayakan kredibilitas Majelis ini.

Tuan Presiden, komitmen Indonesia terhadap HAM tak perlu dipertanyakan lagi. Indonesia adalah anggota pendiri Dewan HAM PBB.

Indonesia sudah menjadi anggota dewan tersebut selama tiga periode, dan saat ini menjadi anggota keempat kalinya.

Indonesia adalah penggagas komisi HAM antar pemerintah ASEAN, dan komisi independen permanen OIC.

Indonesia sudah meratifikasi delapan dari sembilan instrumen utama HAM, semuanya terintegrasi dalam sistem hukum nasional kami, dibanding hanya empat oleh negara Kepulauan Solomon, dan lima oleh negara Vanuatu.

Indonesia adalah diantara sedikit negara yang memiliki Rencana Aksi Nasional HAM, dan saat ini generasi keempat dari Rencana tersebut dari 2014 sampai 2019. Indonesia memiliki Komnas HAM yang aktif dan kuat sejak tahun 1993, masyarakat sipil yang aktif dan media yang bebas.

Indonesia juga merupakan negara demokrasi yang dewasa di dalam fungsi-fungsinya.

Dengan demokrasi yang begitu dinamis bersama dengan komitmen sangat tinggi terhadap promosi dan perlindungan HAM di semua level hampir-hampir mustahil pelanggaran HAM terjadi tanpa diketahui dan diperiksa.

Tuan Presiden, kami tegaskan kembali ada mekanisme domestik di tingkat nasional di Indonesia, juga di tingkat provinsi di Papua dan Papua Barat. Di pihak kami, Indonesia akan terus memberi fokus yang sesuai dengan perkembangan/ pembangunan di Papua dan Papua Barat dan untuk kepentingan terbaik bagi semua.

Sebagai kesimpulan Tuan Presiden, kami sudah mengatakan di kawasan Asia Pasifik kami ketika seseorang menunjukkan jari telunjuknya pada yang lain, jari jempolnya secara otomatis menunjuk pada wajahnya sendiri. Terima kasih.

Sumber: http://www.tabloid-wani.com/

Pidato Presiden Nauru di PBB Angkat Isu Pelanggaran HAM yang Sedang Terjadi di Papua

Presiden Nauru, Baron Divavesi Waqa (Foto: UN Photo/Cia Pak)
Presiden Nauru, Baron Divavesi Waqa (Foto: UN Photo/Cia Pak)

New York, Tabloid-WANI — Seperti sudah diperkirakan sebelumnya, Presiden Republik Nauru, Baron Divavesi Waqa, mengangkat isu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua saat berpidato pada Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa di New Yok, (21/9).

Dalam salah satu bagian pidatonya, ia mengatakan negaranya sangat prihatin dengan situasi di Papua, terkait dengan tuduhan pelanggaran HAM di sana. “Nauru sangat prihatin dengan situasi di Papua (Barat) termasuk adanya tuduhan pelanggaran HAM,” kata dia, yang juga disiarkan oleh televisi internet PBB. Oleh karena itu, kata dia, Nauru menekankan perlunya dilaksanakan rekomendasi yang telah disampaikan oleh Pacific Islands Forum (PIF) pada pertemuan pemimpinnya di Republik Federasi Mikronesia belum lama itu. Rekomendasi itu adalah tentang perlunya dialog yang konstruktif dengan pemerintah Indonesia tentang Papua. Berikut ini Video pidato Presiden Nauru di PBB

Di bagian lain pidatonya, ia juga menyinggung soal Korea Utara. Menurut dia, Nauru juga prihatin dengan meningkatnya tensi yang diprovokasi oleh tindakan Korea Utara. “Wilayah Pasifik sudah mengalami terlalu banyak kekerasan dan penderitaan pada abad 20 dan tidak bisa membiarkan bencana perang kembali lagi. Tidak ada tempat di dunia yang berkelanjutan untuk proliferasi nuklir,” kata lanjut dia.

Presiden Nauru juga bersuara tentang Taiwan, yang menurutnya adalah teman dekat negaranya. Ia menyerukan agar 23 juta penduduk Taiwan juga menikmati hak-hak dasar yang diatur dalam Piagam PBB. “Taiwan telah memberikan kontribusi kepada Majelis Kesehatan Dunia dan International Civil Aviation Organization (ICAO).

Negara ini juga mempromosikan pembangunan berkelanjutan dan membantu untuk memimpin jalan ke ekonomi rendah karbon. Taiwan adalah pemangku kepentingan utama di dalam masyarakat internasional. Dan kita harus melakukan upaya untuk mengatur partisipasi mereka di seluruh sistem PBB, sehingga semua negara anggota dapat memperoleh manfaat dari kontribusi substansialnya,” kata dia.
Sebelumnya, dalam salah satu butir komunike bersama PIF, dimana Nauru menjadi salah satu anggotanya, isu pelanggaran HAM Papua disebut meskipun forum ini menganggap hal itu merupakan isu sensitif. “Para pemimpin (PIF) mengakui sensitivitas isu Papua dan setuju bahwa tuduhan pelanggaran HAM di Papua tetap menjadi agenda mereka. Para pemimpin juga menyepakati pentingnya dialog yang terbuka dan konstruktif dengan Indonesia terkait dengan isu ini,” demikian bunyi salah satu butir komunike.

Baca ini: Solomon dan Nauru Tekan Pemerintah Indonesia di dua Badan PBB PIF adalah forum beranggotakan 16 negara dan wilayah di Pasifik, terdiri dari Australia, Cook Islands, Federated States of Micronesia, Fiji, Kiribati, Nauru, Selandia Baru, Niue, Papau, Papua New Guinea, Republic of Marshall Islands, Samoa, Solomon Islands, Tonga, Tuvalu dan Vanuatu.

Dalam pertemuan PIF pekan lalu, anggotanya bertambah dua lagi dengan disahkannya keanggotaan French Polynesia dan New Caledonia. Selain di PIF, Nauru juga baru-baru ini ikut bergabung dengan kelompok negara-negara Pasifik yang peduli pada nasib Papua, yaitu Pacific Island Coalition for West Papua (PICWP).

Koalisi yang dipimpin oleh PM Solomon Islands ini, bertujuan untuk menggalang dukungan negara-negara Pasifik untuk menyerukan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) melakukan intervensi atas pelanggaran HAM dan penentuan nasib sendiri bagi Papua. Anggota awal PICWP terdiri dari Pemerintah Kepulauan Solomon, Pemerintah Vanuatu, kelompok Front de Liberation Nationale Kanak et Socialiste(FLNKS), Pemerintah Tuvalu, Republik Nauru, United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dan kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Pasifik, Pacific Islands Association Non Govermental Organization (PIANGO).

Sumber: http://www.tabloid-wani.com/2016/09/pidato-presiden-nauru-di-pbb-angkat-isu-pelanggaran-ham-yang-sedang-terjadi-di-papua.html

Dewan Gereja-gereja Pasific Tetap Mendukung West Papua Kembali ke Keluarga Pasifik

SUVA, SUARAPAPUA.com — Sekretaris Jenderal Pacific Conference of Churches (PCC), Rev. Francois Pihaatae menegaskan, PCC tetap pada pendirian untuk tetap mendukung West Papua kembali ke keluarga Melanesia di Pasific, dengan kondisi kenyataan pemimpin Negara-negara di Pasifik setelah akhir pertemuan Pacific Island Forum (PIF) yang kurang konsisten.

“Ini bertanda bahwa, penting untuk PCC membawa kembali West Papua ke wilayah sesunguhnya di Pacific. Ini adalah pendirian kami, statement dan afirmasi kami untuk melakukan setiap waktu bahwa West Papua adalah miliknya Pacific, tidak Indonesia. Jadi yang bersifat politik tinggalkan dari sini. Biarkan rakyat memperoleh kedaulatan (sovereignty) di rumah mereka, terutama di Pacific,” kata Rev.Francois Pihaatae kepada suarapapua.com, Kamis (22/9/2016) di Suva, Fiji.

Ia juga menyatakan, pada tahun 2015 ia menghadiri pertemuan Christian Conference of Asia di Jakarta dan pada pidatonya menyampaikan agar CCA mendukung isu kemanusiaan di West Papua, namun hasil pertemuan tersebut tidak ada pendirian yang tetap.

“Tahun 2015 saya menghadiri Christian Conference of Asia di Jakarta dan pada pidato saya menyampaikan agar CCA mendukung isu West Papua. Tetapi karena pimpinan CCA dari Indonesia, sehingga tidak berjalan baik. Jadi hasil pertemuannya hanya satu dua kata saja, bahwa kita perlu mendoakan West Papua. Itu saja dan CCA tidak ada posisi dukungan yang jelas,” katanya.

Tetapi jelasnya, pihaknya (PCC) tetap pada posisinya untuk mendukug West Papua. “Kami tetap pada posisi walaupun dengan cara bagaimana dan sejauh mana mereka membawa kami, tetapi dukungan kami kepada West Papua sebagai keluarga Pacific untuk mendapatkan kebebasan kami tetap akan maju dan tetap pada posisi kami,” pungkasnya.

Sementara, pada waktu pertemuan World Council of Churches Center Comite di bulan Juni lalu sempat mendorong isu West Papua dan akhirnya World Council of Churches (WWC) manage untuk mendukung isu West Papua dan mengirim kelompok solidaritas.

“Sebelumnya, WCC tidak bicara mengenai isu West Papua,” tukasnya.

Ketika ditanya mengenai posisi Australia dan New Zealand yang tidak bicarakan isu West Papua di pertemuan PIF ke 47 di Micronesia belum lama ini, katanya pihaknya tidak begitu tahu soal itu, tetapi kemungkinan besar ada kepentingan ekonomi di West Papua.

“Ya kurang begitu tahu tetapi jelaslah kalau Australia memiliki kepentingan ekonomi di West Papua yang di dalamnya ada Amerika, Belanda dan negara lainnya. Tetapi saya tidak tahu dengan posisi New Zealand,” jelasnya.

Ia juga mengakui, bahwa pihaknya secara individu terus melakukan lobi kepada pemimpin Negara mereka masing-masing.

“Seperti saya dari France Polynesia jadi saya bicara pada presiden kami yang telah menghadiri pertemuan PIF di Micronesia baru-baru ini untuk menerima kami sebagai anggota. Kita senang karena juga masuk sebagai anggota di forum Pacific, sehingga itu lebih baik untuk kami melakukan lobi ke pemimpin politik kami untuk mendukung issue West Papua,” tuturnya.

Pewarta: Elisa Sekenyap

How the UN Failed West Papua

The Diplomat.com – By Prianka Srinivasan, September 19, 2016

NEW YORK — A decade ago, Herman Wainggai caused a diplomatic furor between Indonesia and Australia when he boarded a homemade canoe and crossed the Arafura Sea to the northern tip of Australia. Escaping his home in the Indonesian-controlled territory of West Papua, Wainggai feared that his campaign for West Papuan independence would soon cost him his life. In March 2006, Australia recognized Wainggai as a refugee and granted him protection. Indonesia responded by temporarily recalling its Australian ambassador.

With reports of renewed intimidation by Indonesian authorities in West Papua, Wainggai will once again embark on a controversial journey to seek justice for his people. This time, his destination is New York’s UN headquarters to lobby at its 71st General Assembly. “We want to remind the UN they can’t let West Papua be colonized for so long,” said Wainggai in a telephone interview.

But Wainggai’s task will not be easy. The UN has slumbered in its decolonization efforts, with only one state, Timor-Leste, achieving independence in the past 20 years. Added to that, West Papua is currently unrecognized by the world body as a colonized “non-self-governing territory”—it lost this designation over four decades ago, when West Papua was integrated by Indonesia through controversial means.

Enjoying this article? Click here to subscribe for full access. Just $5 a month.This leaves West Papuan independence activists in a uniquely undesirable position: fighting to be recognized by a world body that has lost much of its ability and will to bring about decolonization.

Decolonization once defined the United Nation’s very existence. When the UN was first conceived in 1945, a third of the world’s population still lived under colonial rule and many of those territories were agitating for autonomy. Under the heat of global anti-imperial movements, colonial territories disintegrated to form independent states, and the UN’s membership doubled in size in just 20 years. In 1960, the UN General Assembly adopted United Nations Resolution 1514, which declared the “necessity of bringing to a speedy and unconditional end colonialism in all its forms and manifestations.” A year later, the Special Committee of Decolonization formed to carry out the UN’s mandate and help colonized nations achieve autonomy.

But this help came at a price. The UN’s decolonization mandate was often brought in and out of play by its two largest powerbrokers—the United States and the Soviet Union—so they could extend their influence in the post-colonial world. As a result, the UN’s decolonization efforts did not always make the autonomy of colonized peoples its first priority.

West Papuans became one of the first causalities of the UN’s perfidious promise of self-determination. In 1968, under the watch of UN observers and U.S. diplomats, Indonesia was handed control over West Papua when its military hand-picked a fraction of West Papua’s population, and ordered them to vote in favor of Indonesian annexation in the UN-supervised “Act of Free Choice.” A 2004 report by the International Human Rights Clinic at Yale Law School explains that “Indonesian military leaders began making public threats against Papuan leaders… vowing to shoot them on the spot if they did not vote for Indonesian control.” The United States, acting both independently and through the UN, tacitly allowed West Papua’s annexation to ensure Indonesia would not fall to communism.

In such a way, the UN’s decolonization efforts were always conditional on the whims of international politicians. As U.S. and Soviet tensions receded, so too did the UN’s ambition to guide colonized territories to independence. The U.K., U.S. and France all moved to abolish the Special Committee on Decolonization in the early 1990s, and the U.K. and U.S. formally withdrew from the committee in 1986 and 1992 respectively. Persistent campaigning from the world’s small territories was all that revived the Special Committee from its deathbed, though doing so compromised much of its function and scope.

“That really left a gap, a vacuum which still exists today,” said Dr. Carlyle Corbin, a former minister of the U.S.-controlled Virgin Islands who serves as an international expert to the UN on self-determination. Though there continues to be a need for the UN to follow its decolonization mandate, particularly in relation to its 17 recognized colonial territories, Corbin says that member states blatantly ignore this duty. Representatives from France, one of the few administrative powers that still interacts with the UN’s decolonization committee, make a point of walking out of discussions whenever the topic is French Polynesia.

UN members accept this lack of commitment since colonization is no longer seen as a modern phenomenon. “Decolonization is not on the radar,” Corbin said. “The idea is that it’s over.” Administrative powers that preside over colonial territories are able to hide behind this misconception, claiming that their dependent territories could not possibly be associated with this evil, outdated practice.

The United States, which currently administers three territories listed by the UN’s decolonization committee, argues that its territories have implied self-governance and therefore should be removed from decolonization talks. Indeed, many of the 17 recognized colonial territories have some quasi form of self-governance—Guam, American Samoa, and the U.S. Virgin Islands all have non-voting representation in the U.S. Congress, and Britain’s overseas territories maintain localized governments, with ultimate constitutional authority remaining with Britain. In some cases, such as in the Falkland Islands and Gibraltar, local populations do not want to concede their dependency relationships.

But for Corbin, this is beside the point. “Colonization by consent is not self-governance,” he said, and if the UN is to follow its own resolution on the rights of indigenous people, then it should work to eradicate any remnant of colonialism, however benign.

For West Papua, where instances of state oppression by Indonesian authorities harken back to more overt forms of colonialism, the UN has still failed to support its independence. The world body does not even recognize West Papua as a colonized territory, thus effectively depriving West Papuans of UN resources to fuel their struggle for self-determination.

The result of this omission is calamitous. There is strong evidence of gross human rights violations in Indonesian-held West Papua, yet the UN is has not yet intervened in this territory. The counterterrorism squad, Detachment 88, which was developed in 2003 by funding through the United States government, is accused of being especially violent toward indigenous West Papuans.

“They can operate independently and together, intimidating, harassing, beating up, and indeed killing people,” said Peter Arndt, executive officer of the Catholic Justice and Peace Commission of the Archdiocese of Brisbane. He made the remarks last March following a visit to West Papua. A report compiled by Arndt accuses the Indonesian government of making new, violent incursions into the region, systematically expelling Papuans from their homes in what the report calls a “slow-motion genocide.” Some 30 years ago, 96 percent of West Papua was inhabited by its indigenous population. Today, that number is closer to 40 percent.

In such a state of emergency, the solution for West Papua might be to abandon the UN’s decolonization process all together. Wainggai and other West Papuan activists have chosen to bring their plight instead to human rights organizations, like the UN’s Human Rights Council, to urge change on humanitarian grounds.

There are also regional movements to recognize West Papuan independence—the Solomon Islands and Tonga both articulated support for West Papuans at last year’s UN General Assembly, with the Solomon Islands’ Prime Minister Manasseh Sogavare calling for “the full and swift implementation of the 1960 declaration on the granting of Independence to colonized countries and peoples.”

Nevertheless, Wainggai remains hopeful that one day, as the UN’s member states convene for another General Assembly in New York, a free and autonomous West Papua will be included in discussions. “That’s my American dream,” he said.

Prianka Srinivasan is an Australian freelance journalist based in New York. She has spent a number of years working and researching in the Pacific region.

Delegasi Indonesia: LSM Pasifik Bermotif Politik dan Tak Beritikad Baik

Jayapura, Jubi – Delegasi pemerintah Republik Indonesia menolak tegas campur tangan luar terhadap urusan dalam negeri Indonesia, serta menganggap bahwa tuduhan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua dari beberapa individu dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) asing di Pasifik, didasari oleh itikad tidak baik dan motivasi politik.

Pernyataan pemerintah Indonesia, seperti disampaikan dalam keterangan pers yang dilansir Antara, Rabu (14/9/2016), menegaskan kembali posisi strategisnya di Pasifik pasca pertemuan Forum Kepulauan Pasifik (PIF) yang baru lalu.

Delegasi RI mengatakan bahwa Pasifik penting bagi Indonesia, dan sebaliknya Indonesia juga penting bagi Pasifik. Kembali pihaknya menegaskan bahwa Indonesia merupakan bagian dari Pasifik secara geografis dan kultural, dan sebanyak 11 juta dari 240 juta penduduk Indonesia memiliki latar belakang budaya Melanesia.

Menanggapi komunike PIF terkait isu pelanggaran HAM West Papua, delegasi RI tetap menolak tegas campur tangan luar terhadap urusan dalam negeri Indonesia. Pihaknya menghargai keputusan PIF yang menyatakan sensitifnya isu Papua bagi Indonesia, dan tak lagi mencantumkan usulan untuk pengiriman misi pencari fakta ke Papua pada hasil Komunike tahun ini.

Delegasi RI menganggap bahwa tuduhan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua dari beberapa individu dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) asing, didasari oleh itikad tidak baik dan motivasi politik.

Delegasi RI juga menegaskan bahwa Indonesia memiliki mekanisme nasional yang kredibel terkait pemajuan dan perlindungan HAM.

Baca juga Inilah Alasan Indonesia Menolak Tim Pencari Fakta PIF

Pemerintah RI dikatakan juga tetap berkomitmen melakukan kerja sama konstruktif dengan negara anggota PIF, dan Indonesia juga secara strategis dapat menjadi jembatan antara Pasifik dengan Asia dan Samudera Hindia.

Berbeda, peneliti Abdurrahman Wahid Centre (AWC), Dr. Budi Hernawan, yang dikonfirmasi beberapa waktu lalu, justru menyesalkan sikap pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) yang mengaku tidak mau didikte asing tetapi malah tidak memiliki tawaran kebijakan yang jelas.

“Saya pikir Kemenlu masih suka dengan cara lama melalui beli suara PNG dan Fiji. Penolakan Kemenlu atas penawaran ‘tim pencari fakta’ dan dialog oleh MSG, di satu sisi, ingin menunjukkan bahwa Indonesia tidak mau didikte, ini kan garis kebijakan pemerintah Jokowi,” kata Budi yang lama telah meneliti dan terlibat advokasi isu-isu pelanggaran HAM di Papua.

Namun dia juga menekankan bahwa sikap Kemenlu tersebut hanya akan memperkuat mobilisasi di Pasifik.

“Konsekuensi ini disadarikah tidak sama Kemenlu? Tawaran dari Kantor Staf Kepresidenan (KSP) terkait Special Envoy Papua juga ditentang mereka, jadi tidak jelas maunya apa,” ujarnya.

Pada akhirnya, lanjut Budi, yang terjadi bukanlah tawaran kebijakan baru buat Papua melainkan kegiatan-kegiatan reaktif belaka.

Seperti diketahui, sepanjang Juni 2016 berbagai kelompok masyarakat sipil, aktivis HAM, pengacara HAM, termasuk Komisi I DPR Papua, pesimis hingga menolak tim penyelesaian pelanggaran HAM yang dibentuk pemerintah Indonesia melalui Menkophukam pada Mei lalu.

Baca juga ULMWP Tolak Tim HAM Buatan Jakarta, KNPB Siap Gelar Demo Akbar

“Ini tim bentukan pemerintah. Saya tak yakin. Orang-orang yang ada dalam tim membuat kami pesimis. Apalagi ditargetkan tahun ini beberapa kasus dugaan pelanggaran HAM di Papua dapat tuntas,” kata Sekretaris Komisi I DPR Papua, Mathea Mamoyau, Juni lalu.

Tim tersebut juga ditolak oleh tim kerja ULMWP dalam negeri sesaat setelah dibentuk. “Tim ini hanya tipu muslihat Jakarta untuk menghindari pertanyaan masyarakat Internasional dalam pelaksaan Universal Periodik Review (UPR) di dewan HAM PBB dan juga mengalihkan opini dan menghindari pertanyaan negara-negara yang tergabung dalam Pasific Island Forum,” menurut Sam Awom mewakili ULMWP di dalam negeri.

Baca juga Bertentangan Dengan UU, Presiden Diminta Bubarkan Tim Terpadu HAM Papua

Bahkan, tim bentukan Kementerian Kordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) ini dianggap melawan hukum.

“Saya menilai bahwa pembentukan Tim Terpadu yang dilakukan oleh Menko Polhukam RI tersebut bertentangan dengan Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Keputusan itu jelas mengabaikan tugas dan kewenangan Komnas HAM yang sudah diatur menurut Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,” ujar Yan Christian Warinussy, pengacara HAM Papua, di Forum Papua Lawyers Club (PLC) Juni lalu.(*)

Tuntut Merdeka, 800.000 Warga Catalonia Penuhi Jalanan Kota Barcelona

Barcelona – Ratusan ribu warga Catalonia turun ke jalanan kota Barcelona dan sekitarnya menyerukan merdeka dari Spanyol. Seruan ini merupakan perpanjangan dari upaya beberapa tahun terakhir yang menginginkan Catalonia memisahkan diri dari Spanyol.

Kepolisian setempat, seperti dilansir AFP, Senin (12/9/2016), memperkirakan ada sekitar 800 ribu warga yang ikut serta dalam aksi protes ini. Namun pemerintah Spanyol yang menentang keras kemerdekaan Catalonia, menyebut hanya 370 ribu warga yang ikut aksi ini.

Mengenakan kaos bertuliskan ‘Siap’, slogan pro-kemerdekaan Catalonia, warga melambaikan bendera bermotif garis-garis merah dan kuning serta biru yang merupakan bendera pro-kemerdekaan Catalonia. Wilayah di Spanyol bagian timur laut itu terkenal akan wisata pantai dan juga ibukotanya, Barcelona.

Aksi ini digelar pada Minggu (11/9), tepat saat peringatan hari nasional kawasan tersebut, atau yang biasa disebut sebagai ‘Diada’ yang menandai penaklukan Barcelona oleh Raja Spanyol Philip V pada tahun 1714 silam. Ada sekitar 7,5 juta jiwa yang tinggal di wilayah Catalonia.

Warga menggelar aksi ini di Barcelona dan empat kota lainnya di Catalonia, demi menekan pemimpin pro-kemerdekaan Catalonia untuk bersatu dan menyatukan perbedaan demi memuluskan rencana memerdekakan diri dari Spanyol.

“Inilah momen tepat untuk bersatu demi ‘Iya’ untuk Republik Catalan. Kami tidak sabar,” tegas Ketua Dewan Nasional Catalan, Jordi Sanchez, dalam aksi protes di dekat gedung parlemen setempat. Dewan Nasional Catalan merupakan organisasi pro-kemerdekaan yang menggelar aksi ini.

Kelompok separatis atau pro-kemerdekaan telah berupaya selama bertahun-tahun demi mendapat persetujuan pemerintah pusat Spanyol untuk menggelar referendum kemerdekaan, seperti yang pernah digelar di Skotlandia tahun 2014 lalu, yang akhirnya berujung ‘tidak’ akan memisahkan diri dari Inggris.

Gerakan memerdekakan diri muncul di Catalonia setelah pembatasan otonomi untuk wilayah ini sejak akhir tahun 1970-an setelah kepemimpinan otoriter Perdana Menteri Francisco Franco. Kondisi perekonomian Spanyol yang menurun semakin memperparah situasi di Catalonia. Banyak warga yang marah karena harus membayar pajak kepada pemerintah pusat di Madrid, demi mensubsidi wilayah yang lebih miskin.

Sejak tahun 2012, unjuk rasa besar-besaran semacam ini digelar di wilayah Catalonia setiap tahunnya, tepat saat hari nasional mereka pada 11 September. Seruan memerdekakan diri semakin menguat setelah politikus-politikus dari partai pro-kemerdekaan menguasai parlemen daerah Catalonia untuk pertama kalinya, sejak tahun lalu. Mereka berencana mencapai kemerdekaan Catalonia pada pertengahan tahun 2017 mendatang.

MAsyarakat Catalonia Tuntut Merdeka dari Spanyol
MAsyarakat Catalonia Tuntut Merdeka dari Spanyol

Tuvalu, Nauru join growing group for West Papua

Tuvalu's PM Enele Sopoaga has added his country to the Pacific Coalition on West Papua Photo: RNZI / Jamie Tahana
Tuvalu’s PM Enele Sopoaga has added his country to the Pacific Coalition on West Papua Photo: RNZI / Jamie Tahana

Two more countries have joined the Pacific Coalition on West Papua, voicing their concerns over human rights abuses in the Indonesian province and asking that the United Nations intervene.

The group was set up by the Solomon Islands Prime Minister Manasseh Sogavare, in response to the Melanesian Spearhead Group’s inclusion of Indonesia as an observer and not granting West Papua membership of the group.

A number of Pacific heads of government have raised their concerns over West Papua at the United Nations, with the Tongan PM, ‘Akilisi Pohiva last year asking the UN to intervene.

At a meeting in Honolulu last week, the Prime Minister of Tuvalu, Enele Sopoaga, and Nauru’s ambassador to the Pacific nations, Marlene Moses joined the group.

Others who have already joined are Solomon Islands, Vanuatu, New Caledonia’s FLNKS, and the United Liberation Movement of West Papua and the Pacific Islands Alliance of Non-Governmental Organisations, or PANGO.

In August, the MSG leaders deferred a decision on West Papua’s membership bid after Fiji and PNG continued to oppose its application.

Pacific Coalition On West Papua Gains Momentum

PMPress – The Pacific Coalition on West Papua (PCWP) is gaining momentum with the addition of two new members and the confirmation of the membership of two other parties who indicated their profound support for the initiative since its introduction in Honiara, Solomon Islands in July this year.

The PCWP was initiated by Prime Minister Hon Manasseh Sogavare of Solomon Islands who is also the Chair of the Melanesian Spearhead Group with the aim of securing the support of the wider Pacific region for preposition of taking up the issue of West Papua with the United Nations for intervention. The initial membership comprises Solomon Islands Government, Vanuatu Government, Front de Liberation Nationale Kanak et Socialiste (FLNKS) and the United Liberation Movement of West Papua and the Pacific Islands Alliance of Non-Governmental Organisations (PIANGO).

The two new members are the governments of Tuvalu and the Republic of Nauru who were respectively represented at the first meeting of the in the capital of the American Aloha State, Honolulu, yesterday Friday 2nd September, by Prime Minister Hon Enele Sopoaga and Her Excellency Marlene Moses. The latter serves as Nauru’s Ambassador to the United Nations.

The other two parties who indicated support for the initiative when it was introduced in Honiara at the margin of the 4th Pacific Islands Development Summit are the Kingdom of Tonga and the Republic of Marshall Islands. The expressed support of the governments of these two countries was confirmed today with the attendance of Prime Minister Hon Akilisi Pohiva and the Republic of Marshall Islands Minister for Public Works, Hon David Paul.

Members and friends of the Pacific Coalition on West Papua at the East-West Centre in Honolulu.
Members and friends of the Pacific Coalition on West Papua with the Secretary-General of the Pacific Islands Forum, Dame Meg Taylor at the East-West Centre in Honolulu.

All the initial PCWP members were represented at the meeting except for the Republic of Vanuatu Government. The Secretary-General of the Pacific Islands Forum, Dame Meg Taylor was also present at the meeting.

In his opening remarks today, Prime Minister Sogavare said the nations of the Pacific have a duty as closest neigbours to West Papua to address the issues of concern to West Papuan.

He said the right to self-determination being denied to the people of West Papua since the last 50 years is a fundamental principle of the United Nations Charter, just like the rights to life and dignity that they are also denied as a result of their self-determination pursuit.

He added that the intention of the PCWP is perfectly in line with the principles of human rights and democracy, the very basis of the UN Charter, which all UN Member states should adhere to and protect.

IMG_0153
Members and friends of the Pacific Coalition on West Papua during their meeting.

Prime Minister Sogavare said it would not be an easy task to unwind the wrongs that have been perpetrated by the complications and cover-up on the issue of West Papua over the years and this is where the need for collaborative and strategic approaches to this issue comes in.

“Only by working together and strategically dealing with the issue of West Papua can we accomplish the objective of our mission,” he said.

PIF Secretary-General Dame Taylor in her contribution to the discussions presented the forum’s position on the issue. She said the 46th PIF Summit in Port Moresby in 2015 resolved to send a fact-finding mission to West Papua, however the Indonesian Government sees the term ‘fact-finding’ as offensive and therefore that resolution impending implementation.

Dame Taylor said she has meet with the PIF’s Chair, Prime Minister O’Neill of Papua New Guinea and also the Indonesian President on the way forward on the resolution and the PIF’s Chair will meet with the President.

The Secretary-General of the ULMWP, Mr Octovanius Mote said the ULMWP represents the freedom movement of West Papua, which continues to pursue the rights of West Papuans to their land, self-determination and all other human rights enshrined in the United Nations Charter.

Prime Minister Sapoaga of Tuvalu said his country fully appreciates and sympathises with the aspirations and wishes of the people of West Papua to be on their own and fully realises their rights to exist as a country and determine their own continuation as a people.

IMG_0154
The Pacific Coalition of West Papua members and friends discussing the way forward for the struggles for self-determination by the people of West Papua.

Minister Paul of the Republic of Marshall Islands said his country sees the issue of West Papua from a humanitarian perspective and humanitarian issues are at the forefront of the Marshall Islands Government.

The FLNKS representative, Mr Rodrigue Tiavouane said the FLNKS fully supports the PCWP initiative and the strategy by which it will be implemented.

He said the FLNKS went through the same process with its self-determination bid- starting with the Melanesian Spearhead Group then on to the Pacific Islands Forum and finally the UN Committee 24 (Special Committee on Decolonisation).

Prime Minister Pohiva of Tonga said it is a moral obligation to address the human rights abuses in West Papua and deteriorating conditions and call for self-determination and independence.

He said at the 70th United Nations General Assembly last year he spoke of how the objectives of good governance and accountability are all impossible without full support for human rights of people in areas of conflict throughout the world including the Pacific Islands.

IMG_0159
The Solomon Islands Government Special Envoy on West Papua, Mr Rex Horoi, left end, at the Pacific Coalition on West Papua meeting.

Ambassador Moses of Tuvalu said it is important that the issue of West Papua be taken to UN C24 and to be successful it is important for the Pacific to have strong leadership in pursuing it in a strategic manner.

She said what works some people does not always work for others.

PIANGO Tonga Member, Mr Drew Havea said he was encouraged by the leadership on the issue of West Papua displayed by Prime Minister Sogavare.

He said PIANGO acknowledges the pain of the people of West Papua as the pain of the Pacific and would like to urge Pacific leaders to come to an agreement to stop the violence in West Papua and find a peaceful and dignified pathway to self-determination.

The meeting concluded with the expression of commitment by all PCWP members to their mission objective.

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny