Nafuki believes ULMWP membership in MSG will be made in September

Pastor Allen Nafuki
Pastor Allen Nafuki

The Chairman of the Vanuatu Committee for Free West Papua, Pastor Allen Nafuki, has said he strongly believes that the Melanesian Spearhead Group (MSG) meeting to be held in Port Vila in September, will grant West Papua full membership into the Melanesian Spearhead Group.

“It was right here in Port Vila, that Vanuatu played an important role in hosting of the reconciliation ceremonies between all West Papua Leaders, and the formation, and the signing of the agreement of the United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) between all the West Papua Leaders,” Pastor Nafuki told the Daily Post.

He went on to state that: “As a Pastor in a Christian church and occupying the Chair of the Free West Papua Association in Vanuatu, I also strongly believe that it is God’s plan that the West Papua admission as a full member to the MSG will take place here in Vanuatu.

“In this regard I am calling on every Christian Leaders in all Christian denominations and all Christians across Vanuatu to rise in Pray in one accord for this dream for West Papua brothers and sisters to be fully realized in September 2016 here in Port Vila, Vanuatu,” he appealed.

“After the news was received from Honiara that West Papua full admission into the MSG did not happen, I gave a lot of thought about why the MSG Leaders had once again did not grant full admission to the Melanesian brothers and sisters in West Papua full MSG membership.

“What came across my mind is that we humans make plans but God’s will according to His plan and time is what we have to seek and accept.

“So, as of today as I am talking to the Daily Post, I wish to state that my Committee is reviewing plans and preparing an even stronger application which will be submitted in good time ahead of the MSG Leaders’ Summit here in Port Vila in September, 2016,” said Pastor Nafuki.

“Let me reiterate my call on all Christian Leaders and all Christians across Vanuatu to place West Papua Melanesian brothers and sisters for a full membership into the MSG, in the hands of the Almighty God to grant this request in the MSG Leaders’ Summit in September 2016,” Nafuki reiterated.

ligo@dailypost.vu

ULMWP, Meniti ‘Jalan Keselamatan’ di Pasifik

Aksi solidaritas Papua di Honiara pada Mei 2016. Foto: Istimewa/ULMWP
Aksi solidaritas Papua di Honiara pada Mei 2016. Foto: Istimewa/ULMWP

Saat kekuatan ekonomi dan kemanusiaan menjadi pertaruhan di antara pemimpin negara-negara Melanesian Spearhead Group.

Bulan September 2016, status keanggotaan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) akan kembali ditentukan dalam sidang organisasi negara-negara Melanesia, Melanesian Spearhead Group (MSG). Keputusan ada di antara para pemimpin negara-negara MSG. Inilah saatnya melihat keberpihakan organisasi MSG terhadap Papua Barat kembali diuji. Dua hal yang menjadi pertarungan, antara kekuatan ekonomi dan kemanusiaan. Manakah yang lebih kuat suaranya di antara pemimpin negara-negara MSG itu?

Pertarungan West Papua atau Papua Barat – merujuk dua provinsi Papua dan Papua Barat di dalam negara-negara Melanesia sudah berlangsung beberapa tahun belakangan ini. Pada tahun ini, West Papua menjadi isu krusial di antara agenda sidang MSG. Sidang terakhir pada 14-15 Juli 2016 di Honiara, Salomon Island, yang belum juga memutuskan kelanjutan status ULMWP, organisasi yang merepresentasikan perjuangan rakyat Papua.

September 2016 ini, status ULMWP di MSG akan kembali menjadi agenda penting dalam pertemuan negara-negara MSG, yang sedianya dilaksanakan di Port Vila, Vanuatu. Perjuangan ULMWP, yang dimotori oleh kelompok perjuangan generasi muda Papua ini telah menempuh jalur diplomasi politik di kawasan Pasifik.

Jalan Perjuangan

Perlu dipahami perjuangan para pemimpin Papua di MSG dilatarbelakangi oleh situasi ‘penjajahan’ yang masih ada di Papua. Sejumlah indikasi yang menempatkan bangsa Papua masih di bawah penjajahan antara lain eksploitasi kekayaan alam, tindakan sewenang-wenang aparat negara, penyiksaan dan pembunuhan, serta pelanggaran hak asasi manusia yang berlangsung beberapa dekade.

Praktik ‘penjajahan’ yang berlangsung hingga saat ini tak terlepas dari perjalanan perjuangan bangsa Papua sejak 1960an. Perjuangan Papua menentang negara telah dilakukan Awom bersaudara di Manokwari dan menjalar hingga Jayapura dan sejumlah wilayah di papua pada 1960an. Peristiwa perlawanan demi perlawanan itu kemudian dihadapi dengan operasi perang oleh tentara Indonesia, salah satunya bernama Operasi Koteka, dengan target menumpas perlawanan di Pegunungan Papua pada 1977-1978. Operasi ini melahirkan gelombag besar pengungsian, sekitar 10 ribu orang Papaua mengungsi ke Papua New Guinea (PNG).

Sejarah perlawanan dan gerakan perjuangan kemerdekaan Papua dan gerakan bersenjata militer Indonesia ini, bagi bangsa Papua menjadi catatan sejarah yang sulit terhapuskan. Cerita pembunuhan, tempat penyiksaaan, dan segala penderitaan menjadi saksi sejarah dan cerita yang hidup sepanjang masa.

Demikian, sejarah lama saat tongkat perjuangan dipimpin oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang memiliki basis hampir di semua wilayah di Tanah Papua dan di Victoria, PNG. Suatu perjuangan yang lebih mengedepankan kontak fisik senjata OPM yang berhadapan dengan militer Indonesia.

Perjuangan bersenjata, yang kemudian memakan banyak korban, memberikan refleksi politik bagi pejuang Papua. Maka, munculah perjuangan angkatan muda – intelektual yang berkoordinasi dengan pejuang OPM (orang-orang tua) mendeklarasikan sebuah wadah politik perjuangan Papua yang disebut Presidium Dewan Papua (PDP). Peristiwa monumental ini sebagai salah satu resolusi Kongres Rakyat Papua II (KRP II) pada 2000 di GOR Cenderawasih, Jayapura.

Sejak organisasi perjuangan sipil PDP dideklarasikan, muncullah organisasi-organisasi perjuangan politik Papua. Pada 2005, sesudah lima tahun PDP terbentuk, sebuah organisasi politik West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL) berdiri. Tiga tahun berikutnya, tahun 2008, lahir Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Lalu pada Oktober 2011 Kongres Rakyat Papua III muncullah Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB).

WPNCL didirikan untuk menghimpun kembali para pemimpin organisasi sayap politik pasca KRP II. Sedangkan KNPB dibentuk untuk menjadi media penyalur aspirasi masyarakat Papua di luar negeri. KNPB pun menjadi cikal bakal berdirinya Parlemen Nasional West Papua (PNWP) yang memiliki basis KNPB di seluruh tanah Papua.

Beberapa organisasi politik tersebut di antaranya mendaftarkan West Papua untuk menjadi anggota Melanesian Spearhead Group pada 2013 di Kanaky, New Caledonia. Dalam MSG Leader Summit dua tahunan itu, aplikasi keanggotaan West Papua disarankan agar menjadi satu karena beberapa organ itu membawa nama West Papua.

Kemudian pada 2014 ketiga organ politik NFRPB, PNWP, dan WPNCL menyatukan diri dalam satu pergerakan dan perjuangan di bawah payung besar United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) di Saralana, Port Vila, Vanuatu.

Lalu ULMWP mengajukan aplikasi keanggotaan West Papua pada pertemuan dua tahunan MSG Leader Summit pada Juni 2015 di Honiara, Solomon Islands. Dan aplikasi ULMWP pun diterima sebagai anggota pengamat atau observer member. Para pimpinan MSG menjanjikan ULMWP akan diterima sebagai anggota penuh pada Juli 2016, namun dinamika politik tampaknya mengulur janji itu tergenapi.

MSG, ‘Jalan Keselamatan’?

Melanesia Spearhead Group (MSG), selain asosiasi negara-negara Melanesia, ia juga merepresentasikan organisasi yang diakui PBB untuk kawasan Sub-Regional Melanesia yang terletak di Pasifik Selatan. Wadah yang didirikan para pendiri negara-negara Melanesia ini bertujuan menjaga dan menjalin hubungan sosial, politik, ekonomi, budaya dan aspek lain sesama kawasan, termasuk West Papua.

Keanggotaan penuh MSG saat ini terdiri dari empat negara, Solomon Island, Vanuatu, PNG, Fiji dan satu organisasi politik dari New Caledonia, FLNKS. Persoalan keanggotaan West Papua di dalam wadah MSG menjadi polemik di antara sesama anggota. Faktor pemicuh tentu dari luar anggota MSG dan itu adalah Indonesia.

Melihat dinamika yang terjadi, tampaknya (Pemerintah) Indonesia memainkan percaturan politiknya di kawasan Melanesia dengan sangat indah, berhasil memecah belah keharmonisan sesama negara Melanesia. Banyak cara yang dilakukannya, diantaranya bantuan sosial kemanusiaan dalam bencana alam di Vanuatu dan Fiji.

Berkali-kali pemerintah Indonesia mengunjungi negara-negara anggota MSG, mulai dari Presiden Indonesia Jokowi, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, dan Menkopolhukam Luhut Panjaitan mengirimkan perwakilan negara anggota MSG (tidak semua) ke Jakarta lalu ke Papua untuk menunjukkan pembangunan fisik serta pendekatan lainnya dengan Perdana Menteri PNG dan Fiji.

PNG dan Fiji adalah dua negara yang menjadi sahabat dekat dan pendukung utama Indonesia di MSG, termasuk mengusulkan Indonesia (Melindo – Melanesia Indonesia) untuk menjadi anggota asosiasi di MSG.

Kekuatan diplomasi ekonomi sejauh ini mampu meredam langkah para pemimpin MSG dalam menentukan status keanggotaan penuh ULMWP. Karena itu, para pemimpin MSG patut didukung agar tetap konsisten dalam mendukung perjuangan bangsa Melanesia di Papua.

Jika MSG merupakan ‘jalan keselamatan’ bagi bangsa Papua, godaan kepentingan ekonomi tak akan menutupi keberpihakannya pada saudara-saudara Melanesia di Papua. Status anggota penuh bagi ULMWP merupakan bagian dari upaya MSG untuk menyelamatkan bangsa Papua di masa depan.

John H Wetipo adalah periset pada Honai Center.

Aksi Solidaritas Terhadap Mahasiswa Papua

Laporan Wartawan Tribun Timur, Fahrizal Syam

TRIBUNNEWS.COM, MAKASSAR – Puluhan massa dari Aliansi Peduli Kemanusiaan (APK) Makassar menggelar aksi solidaritas di bawah jalan layang Fly Over, Jl Urip Sumiharjo, Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (27/7/2016).

APK Makassar melakukan aksi menyikapi maraknya tindakan represif berbasis diskriminasi dan rasisme yang menimpa mahasiswa Papua di Yogyakarta beberapa waktu lalu.

Dalam tuntutannya, para demonstran meminta kepada pemerintah untuk menuntaskan pelanggaran HAM terhadap mahasiswa Papua di Yogyakarta.

Mereka juga menuntut pemerintah mengadili ormas sipil reaksioner anti demokrasi, dan memberi perlindungan serta rasa aman terhadap warga papua dan kelompok minoritas lainnya.

Beberapa organisasi mahasiswa dan pemuda yang tergabung dalam aksi ini yaitu HMPB, PMII Rayon Hukum UMI, FMK kota Makassar, LMND Unuversitas Bosowa, dan beberapa pemuda Papua.

Mereka juga membentangkan spanduk putih lima meter bertuliskan “Stop Politik Rasisme Wujudkan Demokrasi Sejati”.

Beberapa petugas kepolisian dari Polsek Panakukkang yang mengenakan baju dinas lengkap dan beberapa intelejen kepolisian juga turun tangan kawal aksi tersebut. (*)
Penulis: Fahrizal Syam
Editor: Mohamad Yoenus
Sumber: Tribun Timur

Pimpinan Gereja : 54 Tahun Setelah New York Agreement, Umat Semakin Tak Berdaya

Jayapura, Jubi – Perjanjian New York Agreement antar Belanda dan Indonesia, 15 Agustus 1962 atau 54 tahun lalu diduga menjadi landasan politik yang menyebabkan konflik berkepanjangan di Tanah Papua, hingga kini.

Hal itu dikatakan Forum Oikumenis Pimpinan Gereja Papua dalam keterangan persnya di Kantor Sinode Kingmi di Tanah Papua yang dihadiri Pdt. Socratez Sofyan Yoman (Ketua Umum Badan Pelayanan Pusat Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua), Pdt. Benny Giay (Ketua Sinode Kingmi di Tanah Papua) dan Pdt. Dorman Wandikbo (Presiden GIDI).

“Perjanjian New York atau yang dikenal dengan sebutan New York Agreement ditandatangani Pemerintah Kerajaan Belanda dan Indonesia tanpa melibatkan rakyat Papua, mengatur tentang penyelesaian status politik Papua Barat/Irian Barat,” kata Pdt. Socratez, Senin (15/8/2016)

Menurutnya, melihat situasi umat di Papua kini, gereja-gereja di Papua seperti sedang menjalani masa-masa gelap dan ketidakberdayaan seperti yang terjadi pada 1960an, dimasa berlangsungnya konfrontasi dan aksi-aksi terror di seluruh Tanah Papua dalam rangka memenangkan PEPERA.

“Dalam setahun ini kami mengamati terjadi berbagai peristiwa dan tindakan pihak penguasa yang memposisikan umat kami semakin tak berdaya dan memicu terjadinya krisis kemanusiaan,” ucapnya.

Beberapa poin yang dicatat Forum Oikumenis Pimpinan Gereja Papua diantaranya, kasus meninggalnya kurang lebih 60 anak dan orang dewasa di Distrik Mbua, Kabupaten Nduga, kurun waktu Oktober 2015-Maret 2016 akibat wabah misterius.

“Februari 2016, ketika wabah berlangsung, Presiden Jokowi sempat berkunjung ke Kenyam, Nduga. Sayangnya Presiden tak sedikitpun berbicara meninggalnya umat kami di sana. Beliau hanya sibuk membicarakan pembangunan jalan raya yang dikerjakan TNI,” katanya.

Di tempat yang sama, Pdt. Benny Giay mengatakan, poin lain antara lain, dalam masa kepemimpinannya, Jokowi hanya hebat pada pencitraan dan wacana mengurus Papua. Kunjungan demi kunjungan yang dilakukan Jokowi ke Papua dinilai tak membawa perubahan. Hanya pencitraan. Berbagai pernyataan Jokowi diantaranya membebaskan wartawan asing mengunjungi Papua hanyalah wacana. Tak ada bukti hingga kini. Upaya pencitraan ini kata Pdt. Benny, terlihat dalam ketidakjelasan pembangunan pasar mama-mama Papua di tengah Kota Jayapura. Padahal Presiden sudah meletakkan batu pertama, April lalu.

“Pasar yang dibangun di Sentani, Kabupaten Jayapura oleh tim Jokowi yang awalnya disebut diperuntukkan kepada mama-mama Papua, kini dibiarkan kosong tanpa peruntukan jelas,” kata Pdt. Benny Giay.

Katanya, sikap Polda Papua mengeluarkan maklumat menyampaikan pendapat di muka umum pada 1 Juli lalu ditengarai ikut memelihara konflik. Dalam maklumat itu Kapolda menyebut KNPB, NRFPB, IPWP, PRD, TPN, OPM dan ULMWP sebagai organisasi separatis yang terlarang.

Tindakan Kapolda ini lanjut dia, mengangkangi hak berdemokrasi rakyat Papua untuk bebas berekspresi. Selain itu pembunuhan misterius peluhan pemuda Papua di berbagai kota sejak April 2016, dengan muda pihak kepolisian menyimpulkan akibat kecelakaan lalulintas.

“Ini terlihat dalam kasus meninggalnya sekretaris Solpap, Robert Jitmau yang hingga kini kasusnya belum diselesaikan aparat penegak hukum. Itu juga menunjukkan adanya upaya sistematis pihak tertentu dalam menciptakan ketakutan rakyat banyak,” ucapnya.

Selain itu Forum Oikumenis Pimpinan Gereja Papua juga menilai, negara ikut memelihara rasisme terhadap orang Papua. Ini terlihat dari pernyataan Luhut Panjaitan semasa menjabat Menkopolhukam, mengusir orang Papua yang tergabung dalam ULMWP untuk pergi ke Pasifik. Pernyataan rasis lainnya dari Farhat Abbas, artis yang juga pengacara. Yang terbaru panggilan “monyet” kepada mahasiswa Papua di Jogjakarta oleh oknum ormas setempat.

“Disayangkan, tak ada tindakan berarti dari negara dan aparatnya memproses sesuai hukum. Selain itu negara melakukan upaya sistematis dengan memusnahkan panganan lokal dan memaksa orang Papua bergantung pada beras. Raskin menerobos hingga ke pelosok Papua. Belakang ini ramai diberitakan kebijakan ratusan hektar lahan padi diberbagai wilayah di Tanah Papua yang dikerjakan TNI,” imbuhnya.

Sementara Presiden GIDI, Pdt. Dorman Wandikbo mengatakan, melihat berbagai dinamika itu, pihaknya menyatakan sikap antar lain, pihaknya meminta semua pihak yang menandatangani New York Agreement yang menjadi akar masalah Papua dan pihak yang menerima hasil PEPERA yang dinilai tak adil, bertanggungjawab atas keselamatan hidup orang asli Papua.

Forum Oikumenis Pimpinan Gereja Papua menyatakan menolak rekayasa peringatan hari Kemerdekaan RI, 17 Agustus secara besar-besaran di seluruh Tanah Papua di tengah penderitaan rakyat. Ini dinilai upaya negara menutupi borok-borok yang diciptakan.

Forum Oikumenis Pimpinan Gereja Papua berterimakasih kepada ULMWP dan organisasi serta elemen rakyat Papua yang bernaung dibawahnya dan telah menempuh jalan panjang perjuangan dimasa lalu yang kini tetap memilih berjuangan dengan jalan damai.

“Kami juga berterimakasih kepada semua pihak yang bersolider dengan penderitaan umat kami. Baik perorangan, kelompok, organisasi, media massa, tokoh masyarakat dan pimpinan-pimpinan banga di Tanah Papua, di Indonesia maupun diberbagai negara yang telah mengambil jalan penderitaan bersama rakyat Papua. Dukungan kalian adalah roh yang menguatkan kami. Kami menghimbau kepada seluruh orang Papua tetap tegar, bertekun dalam doa, merawat kehidupan pribadi, keluarga, maupun budaya dan indentitas demi anak cucu dimasa depan,” kata Pdt. Dorman. (Arjuna Pademme)

HRW Desak Jaksa Agung Australia Bicarakan Isu Papua dengan Wiranto

Penulis: Eben E. Siadari 21:02 WIB | Kamis, 11 Agustus 2016

Jaksa Agung Australia George Brandis kunjungi Papua. (Foto-foto: Dok. Kedubes Australia)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Peneliti Human Rights Watch (HRW), Andreas Harsono, mendesak Jaksa Agung Australia, George Brandis, membicarakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua dengan Menko Polhukam, Wiranto, dalam kunjungan mereka ke Papua hari ini (11/8).

Andreas juga mengharapkan Menko Polhukam, Wiranto, bertanya kepada Jaksa Agung Australia, bagaimana negara itu dapat membantu Indonesia menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di wilayah paling timur Indonesia tersebut.

“Saya kira mereka pasti membicarakan isu HAM. Australia pasti membicarakan hal itu. Jaksa Agung itu adalah pengacara negara. Dia tidak bisa datang ujug-ujug tanpa mendapat izin dari perdana menterinya. Jadi saya yakin dia akan membicarakan hal itu,” kata Andreas kepada satuharapan.com, hari ini (11/8).

Menurut pernyataan pers Kedutaan Besar Australia di Jakarta, Jaksa Agung Australia hari ini mengunjungi Papua bersama dengan Menko Kemaritiman, Luhut B. Pandjaitan dan Menko Polhukam, Wiranto. Menurut Brandis, kunjungan ini adalah lanjutan dari kehadirannya di Bali menghadiri Pertemuan Internasional Penanggulangan Terorisme.

Andreas Harsono menilai kunjungan ini merupakan sebuah langkah maju karena selama 50 tahun Indonesia membatasi kunjungan pejabat asing ke Papua.

“Ini langkah maju. Saya memuji Wiranto untuk keberanian itu. Namun, sebaiknya mereka membicarakan pelanggaran HAM di Papua, mumpung di situ ada Luhut dan ada Wiranto. Saya kira mereka pasti membicarakannya. Apakah hal itu disampaikan kepada pers, saya tidak tahu,” tutur Andreas.

Andreas mengingatkan ada 13 pelanggaran HAM di Papua yang sudah diidentifikasi oleh tim bentukan Luhut Panjaitan semasa ia menjabat Menko Polhukam. Tim ini, kata Andreas, masih akan bekerja sampai bukan Oktober ini.

Kasus-kasus pelanggaran HAM itu meliputi pembantaian Biak pada bulan Juli 1998, ketika pasukan keamanan menembaki peserta upacara pengibaran bendera damai di Papua.

“Saat itu Panglima TNI-nya Wiranto,” kata Andreas.

Selain itu kasus pelanggaran HAM lainnya adalah yang terjadi di Wasior pada tahun 2001 dan di Wamena pada tahun 2003 yang menewaskan puluhan orang dan menyebabkan ribuan orang mengungsi.

Pelanggaran HAM berikutnya adalah pembubaran paksa Kongres Rakyat Papua pada Oktober 2011 yang menewaskan tiga orang dan ratusan luka-luka.

Tim bentukan Luhut juga telah mencatat kasus pelanggaran HAM individu, seperti hilangnya Aristoteles Masoka, sopir pemimpin Papua, Theys Eluay, yang tewas dibunuh pada November 2001. Meskipun tubuh Eluay ditemukan di dalam mobilnya, dan tujuh anggota Kopassus dihukum pada tahun 2003 atas pembunuhan itu, Masoka sampai saat ini belum pernah ditemukan.

Menurut Andreas, pelanggaran HAM lainnya selama ini juga banyak diangkat oleh aktivis HAM untuk dituntaskan. Termasuk pembunuhan massal yang terjadi antara tahun 1960-an dan 1970-an, di antaranya operasi militer di 1977-1978 terhadap Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang diduga melibatkan pemboman melalui udara dan penembakan massal

Para aktivis HAM Papua juga telah menyerukan penyelidikan atas pembunuhan antropolog dan musisi, Arnold Ap, pada bulan April 1984 dan pelanggaran HAM terkait dengan pelaksanaan referendum pada bulan Juli 1969 yang disponsori oleh PBB.

Andreas Harsono berpendapat kunjungan Jaksa Agung Australia dapat memberikan terobosan bagi penyelesaian pelanggaran HAM di Papua.

“Persoalanya bukan hanya soal Papua. Persoalannya Wiranto itu ingin pergi ke Australia. Di sisi lain, ada dugaan ia dicekal ke Australia dan AS, karena dia ada di dalam daftar dakwaan PBB karena diduga melakukan kejahatan kemanusiaan pada 1999 di Timtim,” kata dia.

“Jadi saya kira Australia ingin memanfaatkan kelemahan Wiranto ini untk kepentingan mereka juga. Nah, pendapat saya, daripada mereka membciarakan itu, kenapa pelanggaran HAM Papua tidak dibicarakan sekalian. Saya kira ada baiknya, mumpung mereka di situ, ada Wiranto, ada Jaksa Agung Australia, dibicarakan sekalian, bagaimana Australia dapat membantu keadilan dan kebenaran bagi 13 kasus tersebut,” kata Andreas.

Editor : Eben E. Siadari

NTT, NTB, Maluku dan Timor Leste: Apakah Melanesia atau Polynesia?

Dengan kleim NKRI di MSG bahwa NKRI mewakili lebih dari 11 juta penduduk Melanesia di Indonesia dan dengan demikian menyelenggarakan festival Melanesia di NTT baru-baru ini mendapatkan tanggapan tajam dari Vanuatu dan Masyarakat Kanak. Alasan mereka jelas dan tegas, “jangan campur-adukkan entitas identitas Melanesia dengan entitas identitas Polynesia”. Kata mereka, Timor Leste sampai kepulauan Maluku hingga ke Saparua dan Sanger Talaud ialah masyarakat Polynesia, bukan di wilayah Melanesia.

Mereka bersikukuh bahwa Melanesia dimulai dari Sorong sampai Fiji. Bahkan ada yang berpendapat, Raja Ampat, Waigeo dan Missol bisa masuk ke dalam kategori masyarakat Micronesia atau Polynesia daripada Melanesia.

Kasus kleim Indonesia atas kepemilikan Melanesia terbantahkan setelah Vanuatu menggugat Indonesia dengan mengatakan bahwa Festival Budaya Melanesia yang diadakan di Nusa Tenggara Timur dengan kleim sekalian pulau-pulau di luar New Guinea sebagai kawasan Melanesia menjadi mentah kembali. NKRI harus diam-diam gulung tikar dengan konsepsi berpikir yang keliru tentang tanah dan bangsa yang dijajahnya.

Dalam sebuah artikel berjudul: “Good Bye Indonesia”, Andre Barahamin menyatakan

Most damningly, Indonesia failed to address the cultural differences between Melanesians and Polynesians. For instance, in October of last year, it organized a Melanesian Cultural Festival aiming to promote cultural pluralism and demonstrate how integral Melanesians are to the country. But the event was held in Kupang, East Nusa Tenggara, a Polynesian — not Melanesian — region.

Artikel ini berlanjut lagi, menunjukkan betapa NKRI tidak mengenal siapa penjajah, dan siapa yang dijajahnya karena telah mengundang perwakilan dari Timor Leste dengan kleim bahwa masyarakat Timor Leste juga orang Melanesia:

The confusion didn’t stop there. Indonesia invited East Timor — a Polynesian country — to participate in the cultural festival.

Karena gagal memainkan kartu ini, maka pelan-pelan, walaupun dengan penuh malu dan geram, Presiden Joko Widodo segera menggantikan Menteri yang mengkoordinir urusan Hukum, Politik dan Keamanan, yang kesehariannya justru menjalankan fungsi dan tugas Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Binsar Luhut Panjaitan.

Dalam KTT MSG baru-baru ini, isu budaya seolah-olah sudah ompong, Indonesia terpaksa unjuk gigi dengan paket-paket ekonomi. Indonesia dalam hal ini muncul seolah-olah dia lebih maju dan lebih berduit daripada negara-negara Melanesia.

Sejak NKRI menginjakkan kaki dan menduduki Tanah Papua, manusia Papua selalu dianggap kuno, masih ketinggalan zaman, miskin, bahkan diteriaki “monyet”.

Dan harga manusia Papua sudah lama digadaikan dengan kepentingan ekonomi. Orang Papua dibunuh kapan saja sudah menjadi kewajiban NKRI dalam rangka mengamankan kepentingan ekonomi barat.

Kini NKRI dengan patokan pemikiran yang sama, yaitu Melanesia sama-sama kolot, sama-sama miskin, dan sama-sama “monyet”, bergerilya meyakinkan pemimpin Fiji dan PNG untuk merubah syarat-syarat menjadi anggota MSG. Apa yang sudah lama menjadi kebiasaan orang Melanesia dianggapnya bisa “dibeil” dengan iming-iming bantuan NKRI. Budaya consensus orang Melanesia dianggapnya murahan. Pantas saja, NKRI memandang Melanesia sebagai “monyet” yang bisa dirayu dengan “buah-buah” politik. Katanya, saat saya lempar “buah ini”, pasti emas yang di tangannya dilupakan terjatuh dan malahan kulit pusang yang kulempar yang nanti direbutnya.

NKRI lupa, bahwa di pulau di mana ada Presiden NKRI sendiri, Jawa, dan di mana ada Raja Jawa sendiri, dihuni oleh banyak sekali, jumlahnya lebih banyak dari pada total orang Polynesia, Micronesia dan Melanesia secara keseluruhan di dunia, mereka hidup sebagai pengemis, perampok, pemulung, pelacur dan memperdagangkan tenaga dengan sangat murahnya, sebagai tukang sapu-sapu lantai dan cuci pakaian di negeri tetangga, sebagai pembantu Rumah Tangga belaka di banyak Negara di dunia.

NKRI hadir dengan paradigma berpikir yang salah, karena menganggap Melanesia dan “monyet” sama saja, dan menganggap Tanah Papua terletak di Indonesia sehingga kalau manusia Papua mau merdeka harus mengungsi ke “Melanesia sana” untuk mendirikan Negara West Papua. Sudah salah konsep berpikir, sidah tidak tahu mana Melanesia dan mana Polynesia, salah lagi dalam peta geografisnya, tidak tahu kalau wilayah West Papua itu bukan wilayah Indonesia, tetapi milik bangsa Papua ras Melanesia,.

Semakin hari justru semakin nampak betapa bobroknya moralitas manusia Indonesia dan betapa kacaunya konsepsi berpikir yang menjadi pijakan kebijakan negara Indonesia. Membedakan Polynesia dan Melanesia sudah tidak bisa, membedakan manusia dan monyet juga tidak sanggup. Apakah dengan demikian kita bisa yakin manusia Indonesia mengenal dirinya sendiri? Apakah orang Indonesia tahu apa artinya “Indonesia”?

Orang Papua Menguasai Politik, Tidak Ekonomi

Politik memang memiliki hubungan erat dengan ekonomi, tetapi ketika berbicara mengenai kemajuan dan kekuasaan, maka 80% adalah ekonomi. Contoh yang paling Nampak adalah warga keturunan Tionghoa di Indonesia, walaupun mereka tidak mendapat kesempatan untuk berpolitik di Indonesia sampai awal tahun 2000an, tetapi nasib mereka lebih baik dibandingkan masyarakat pribumi pada umumnya, nasib baik mereka disebabkan oleh ekonomi mereka yang baik juga.

Jika Anda mengetahui JP Morgan, Rothschild Family, dan Rockefeller family, pasti Anda mengerti maksud Saya. Nama-nama yang saya sebutkan diatas adalah banker-bankir, raja-raja minyak dan penguasa perputaran uang di dunia, namun nama mereka jarang terdengar, tetapi bila disimak, pengaruh mereka justru lebih besar, bahkan banyak politikus adalah boneka dari mereka. Untuk lebih jelas mengenai keluarga-keluarga tesebut, Anda dapat googling sendiri.

Oke, kembali ke Papua, orang Papua, ya. Hampir 80% pemimpin daerah dari tingkatan camat sampai gubernur di tanah Papua dipegang oleh orang Papua, hal yang wajar. Tetapi ketika berbicara ekonomi, hmmmmm, sebaliknya. Mulai dari kios-kios, toko-toko, pasar dan aspek ekonomi lainnya dipegang oleh orang non-Papua yang datang merantau di tanah Papua.

“Finance is a gun. Politics is knowing when to pull the trigger.” – Mario Puzo (Godfather)

“Finansial adalah senjata.Politik adalah mengetahui kapan harus menarik pelatuk. Jadi yang lebih vital adalah senjata, kemampuan politik dibutuhkan saat melawan lawan yang hebat.

Sayangnya orang Papua sangat lemah dalam hal finansial, korupsi merajalela karena para politikus dan birokrat tidak memiliki kemampuan finansial mandiri.

Politikus bisa menjadi boneka dari pihak pemegang modal, hal inilah yang terjadi di Papua. Banyak pemegang modal bermain, sementara para boneka menampakkan diri dengan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan pihak pemodal.

Jika Papua ingin menjadi lebih baik, maka aspek ekonomi harus dikuasai oleh orang Papua sendiri, hal ini memang tidak disadari oleh masyarakat pada umumnya, juga tidak disadari oleh politikus dan birokrat Papua pada umumnya.

Apa solusinya?

Solusi yang terbaik menurut analisa kami adalah pemerintah harus membuat program pengajaran dan memberi investasi kepada orang-orang asli Papua. Dengan modal pengajaran dan beberapa buku yang disertai dengan modal, pasti Papua menjadi lebih baik, setidaknya dalam 10 tahun kedepan 50% sector ekonomi Papua dapat dikuasai sendiri oleh orang Papua.

Untuk generasi muda Papua juga jangan hanya berpikir tantang politik, tetapi harus memiliki kiat untuk terjun di dunia Ekonomi bisnis.

Label: OPINI , PAPUA , PILIHAN

Pencuri Tidak Pernah Masuk dan Keluar Secara Sopan, Apalagi Mengaku Bersalah

Pencuri datang untuk mengambil, bukan untuk memberi, penjajah datang karena kekayaan alam, bukan karena manusia di mana kekayaan alam itu ada, perampok selalu menghitung berapa untungnya kalau harga-dirinya dan resikonya diambil, penjarah tidak pernah menghitung resiko dan bahaya. Kalau NKRI adalah kolonial, perampok, pencuri, pembunuh orang Papua, “Mengapa Mahasiswa Papua mengharapkan NKRI untuk mengaku bersalah?”

Kalau masih ada mahasiswa Papua, kalau ada pejabat Papua, kalau ada anggota Dewan di Tanah Papua yang mengharapkan NKRI mengaku telah bersalah membunuh orang Papua, menjual kekayaan alam kepada British Petroleum, plc. dan Freeport McMoran, Copper & Gold, Inc., maka kita harus bretanya,

“Apakah Freeport Indonesia, NKRI, LNG Tangguh yang bersalah, ataukah orang Papua yang berharap pencuri dan perampok supaya menjaga sopan-santun yang salah?”

Kelakuakn orang Papua penuh dengan keheranan, sama dengan tanah leluhurnya yang penuh dengan misteri. Masih ada orang Papua seperti Gubernur Provinsi Papua dan Ketua DPRD Papua mengharapkan NKRI berbuat banyak untuk Papua dan bahwa perjuangan kemerdekaan West Papua adalah sia-sia karena sudah lama pernah mereka dengar tetapi sampai hari ini tidak ada hasil Papua Merdeka.

Pada hari ini Mahasiswa Papua di Yogyakarta mengharapkan Sultan HB X, gubernrr Papua, Kepala Suku JAwa memita maaf atas apa yang telah dikatakannya. Mathius Murib, Martinus Yaung, Phil Erari mencari jalan untuk menyelesaikan kasus-kasus HAM di Tanah Papua, sejak NKRI masuk tahun 1961 sampai tahun 2015 ini.

Permasalahan fatal ialah mengharapkan pembunuh mengaku telah membunuh, mengharapkan pencuri mencuri dengan sopan, dan berdoa kepada Tuhan supaya perampok merampok dengan sopan dan kalau ketahuan tertangkap basah supaya mengakui dan bertobat dan berhenti merampok.

Pencuri, ya pekerjaannya mencuri. Disebut perampok karena pekerjaannya merampok. Pembunuh yang dikatakan begitu karena tukang membunuh. Itu-lah NKRI buat orang Papua selama ini.

Akan tetapi, kalau pada hari ini, kalau orang Papua yang selama ini menjadi korban sampai-sampai berharap NKRI berubah menjadi malaikat, berbelas kasihan, memberikan hak-hak orang Papua kepada pejabat dan provinsi di Tanah Papua, dan seterusnya, dan sebagainya, maka sebenarnya orang Papua atau orang lain yang berpandangan seperti ini telah salah fatal, dan salah total.

Kita tidak perlu menekan pencuri agar sopan. Kita menjadi bodoh kalau mengharapkan perampok mengaku bersalah. Kita menjadi lucu kalau berharap dan berdoa kepada Tuhan agar pembunuh orang Papua akhirnya mengaku bersalah dan dihumu. Matius Murib, Marinus Yaung dan Phil Erari dengan teman-teman adalah orang-orang Papua yang perlu dilahirkan kembali sebagia orang Papua, sehingga ke-Papua-n mereka benar-benar menjadi murni dan jernih, tanp ego pribadi, tanpa sesuap nasi untuk perut yang akhirnya akan busuk, tetapi mengedepankan hargadiri dan martabat sebagai umat ciptaan Tuhan di atas tanah leluhur, yang diduduki, dicuri, dirampok, diperkosa, dianiaya, dibunuh oleh NKRI dan orang Indonesia-nya.

Timor Leste Menempati Peringkat ke-87 Negara Terkaya di Dunia

Jakarta, Aktual.com — Majalah Global Finance baru-baru ini menerbitkan sebuah analisis negara terkaya dan termiskin di Dunia. Hasil ini dipakai sebagai metode yang paling umum untuk menentukan kekayaan negara dan membandingkan dalam standar hidup secara keseluruhan antar bangsa. Perbandingan ini menggunakan PDB per kapita atas dasar disparitas daya beli dalam satuan mata uang dolar saat ini.

PDB (PPP) per kapita digunakan untuk membandingkan perbedaan umum dalam standar kehidupan karena PPP memperhitungkan biaya hidup dan tingkat inflasi negara.

Seperti dilansir dari laman pemerintah Timor Leste, Selasa (28/7) disebutkan bahwa Majalah Global Finance sering digunakan untuk menggambarkan ketersediaan cadangan keuangan yang akan dijadikan database Dana Moneter Internasional (IMF) World Economic Outlook untuk April 2013 berdasarkan GDP per kapita.

Menurut Indeks, Timor-Leste menempati urutan ke-87 dari 184 negara dalam dengan per-kapita PDB (PPP) dari USD10.783. Selain Singapura (3), Brunei (5), Malaysia (ke-55) dan Thailand (ke-85), Timor-Leste menjadi Negara Terkaya Dunia di wilayah Asia Tenggara

Indeks menunjukkan bahwa pada tahun 2013, Negara kaya sangat terkonsentrasi di beberapa negara Teluk, Eropa dan Amerika Utara, sedangkan kemiskinan tetap tersebar luas di seluruh dunia, khususnya di Asia Selatan dan Afrika. Qatar adalah negara terkaya di Dunia pada 2013, dengan per-kapita PDB (PPP) dari lebih dari USD105 ribu, sedangkan Republik Demokratik Kongo adalah negara tersmiskin dengan PPP kurang dari USD400.
(Ismed)

Vanuatu Deputy PM: MSG Members Have Their Own Agendas On West Papua

Natuman claims ‘MSG is being bought by others’

Compiled by Jane Joshua

Joe Natuman, Deputy PM Vanuatu
Joe Natuman, Deputy PM Vanuatu

PORT VILA, Vanuatu (Vanuatu Daily Post, July 20, 2016) – Deputy Prime Minister and Minister of Trades, Joe Natuman, believes other people are trying to use the Melanesian Spearhead Group (MSG) to drive their own agendas, saying it is similar to Jesus who was betrayed and sold for 30 pieces of silver.

The United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) was not admitted as full member of the Melanesian Spearhead Group during the Special MSG summit in Honiara, Solomon Islands on July 14, 2016.

[PIR editor’s note: On July 20, 2016 Vanuatu Daily Post reported that ‘The Chairman of the Vanuatu Committee for Free West Papua, Pastor Allen Nafuki, has said he strongly believes that the Melanesian Spearhead Group (MSG) meeting to be held in Port Vila in September, will grant West Papua full membership into the Melanesian Spearhead Group.’]

“Our Prime Minister was the only one talking in support of full membership for West Papua in the MSG, the Solomon Islands Prime Minister couldn’t say very much because he is the chairman,” the veteran politician told Buzz FM 96’s Coffee and Controversy host Mark O’Brien yesterday morning.

“Prime minister Charlot Salwai was the only one defending Melanesians and the history of Melanesian people in the recent MSG meeting in Honiara.

“The MSG, I must repeat, the MSG, which I was a pioneer in setting up was established for the protection of the identity of the Melanesian people, the promotion of their culture and defend their rights. Right to self determination, right to land and right to their resources.

“Now it appears other people are trying to use the MSG to drive their own agendas and I am sorry but I will insist that MSG is being bought by others.

“It is just like Jesus Christ who was bought for 30 pieces of silver. This is what is happening in MSG. I am very upset about this and we need to correct this issue.

“Because if our friends in Fiji and Papua New Guinea have a different agenda, we need to sit down and talk very seriously about what is happening within the organization.

“And I am sorry but I will insist that MSG is being bought by others.”

Asked what transpired at the Honiara Summit, DPM Natuman said according to the Prime minister’s briefing on his return, there were some misunderstanding on what happened in the Officials’ Meeting and the Foreign Ministers meeting.

“What happened was that they presented to the Summit Leaders something which apparently was not discussed at the officers level so this was the problem,” he explained.

“The issue of Membership was supposed to be presented to the Leaders.

“Instead they present the leaders with a list of criteria for membership.

“This criteria was whether or not organisations or liberation movements should be considered for full membership.

“Finally, our Prime minister was the only one talking in support of West Papua membership, the Solomon Islands Prime Minister couldn’t say very much because he is the chairman.”

On the issue of New Caledonia, DPM Natuman said, “People are now saying we should not be interfering with Indonesia’s sovereignty. But what about New Caledonia? France has held onto New Caledonia.

“In the 1990s, we insisted that New Caledonia was a colonial possession of France, therefore we have the right to intervene .

“And we intervened, firstly we asked the people of New Caledonia to form an umbrella grouping, or political parties to support their cause. So they established the FLNKS at Vanuatu’s request.

“Through that means we promote their issues to the Forum and eventually they were listed in the UN’s listing of colonial territories.

“We have to assist them to get Independence, same as West Papua.

“West Papua was forcibly annexed by Indonesia and brutally overthrown. They were in the process of getting their independence in the early 1960s.

“West Papua is very rich in resources, gold, copper and forests thus a lot of western capitalists were interested in that.

“Now they say we cannot interfere, no, we must interfere. Melanesians are being killed by Asians, we have to interfere.”

The Deputy Prime Minister was part of the panel in yesterday’s 96Buzz FM’s Coffee and Controversy show at the Lava Lounge, which also features Glen Craig from Pacific Advisory and Job Dalesa who is on the West Papua Reunification Committee.

When asked on his opinion on whether MSG in itself has ‘lost its way’ as implied by the DPM, Dalsesa replied,” I certainly think so, West Papua has a lot of enemies. A lot of people are fighting over this area because of its resources, and by fighting you can do a lot of things including buying another country and I think this is what they are doing.

“The divide and rule tactic is a common tactic that has been used for a long time.”

Yesterday’s show revolved around Foreign Policy, MSG and the South China Sea dispute.

Don’t miss out on the next Coffee & Controversy Show, 9am next Tuesday.

Vanuatu Daily Post
Copyright © 2016 Trading Post Limited. All Rights Reserved

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny