Gen. WPRA Mathias Wenda Expresses Deep Condolences and All Eni Faleomavaega Families and Friends to Continue Fight

After being reported by the Secretariat-General of the death of one our West Papua independence advocate Eni Faleomavaega, Gen. WPRA Mathias Wenda sang very long Lamentation Song as Lani tribal elder normally do, from morning to late afternoon, and declared days of mourning for the late Eni Faleomavaega.

Gen. Wenda extends his deep condolences and says,

On behalf of West Papuan peoples, on behalf of those who have died for the cause, those who are still fighting and those who will be born and fight for their rights on New Guinea Island, I express my deep condolences.

May his examples of tireless work for the sake of human beings and humanities across the globe, particularly for West Papuan peoples and for his homeland will become lessons for all of us to continue fight, until West Papua is free and until all colonised peoples are free.

All family members and friends in American Samoa, we are pray that God will give you all strength and we invite you all to praise God Almighty for what the Late Faleomavaega had contributed to His Creation in this planet Earth during his life.

We also pray that his spirit will be lways with us in our struggle in West Papua.

Eni Faleomavaega is a West Papua Hero, we will always remember him in commemorating our history of struggle for independence, and his has printed his name on West Papua history. They history will be told always until the end of the world history.

 

Issued in: Central Defence Headquarters of West Papua Revolutionary Army

On Date: 26 February 2017

 

With Prayers,

 

 

Mathias Wenda, Gen. WPRA

NBP: A.001076

West Papuan refugees on track for PNG citizenship

RadioNZ – More than 1000 West Papuan refugees from Indonesia living in Papua New Guinea’s Western Province will be granted citizenship.

Rainbow settlement in Port moresby, Papua New Guinea, where West Papuan refugees have squatted for years.
Rainbow settlement in Port moresby, Papua New Guinea, where West Papuan refugees have squatted for years. Photo: RNZI / Johnny Blades

The Post Courier reported that the immigration minister, Rimbink Pato, was due to make an official announcement soon.

The refugees were due to be granted their certificates two weeks ago, but this was delayed after the chair of Citizenship Advisory Committee, Bob Dadae, was appointed Governor General.

There are estimated to be about 10,000 West Papuan refugees living in PNG, and the newspaper reports that the government was also working to grant citizenship to others in Port Moresby and other areas.

MOU between Israel and PNG will enable Visa Free Travel

EMTV – According to a press statement by the Papua New Guinea Israel Jewish Council, ‘Israeli Nationals will not require visas to enter PNG ports for 60 days and PNG Nationals will not require visas to enter Israeli ports up to 90 days.’

The Visa Exemption for Holders of Diplomatic, Service/Official and National/Ordinary Passports, is an agreement that was signed between Foreign Affairs Minister Rimbink Pato and his Israeli counterpart.

Prime Minister Peter O’Neill stated that “…there will be no more visas required for Papua New Guineans and no visa required for Israelis coming to PNG, so you can arrive here without a visa and you can automatically come and visit the holy sites — so that’s very good news for Papua New Guineans.”

The agreement between the State of Israel and the Independent State of Papua New Guinea is seen as a boost to bilateral relations.

“It is important that our diplomatic relationship to be lifted to the next level — we want to open up a new embassy here. We are hoping that Israel will also open up a small embassy in Port Moresby for the Pacific region.” He added.

Israeli President, Benjamin Netanyahu, reaffirmed PNG that Israel was willing to give it a prime spot at Jerusalem, and not Tel Aviv where all other diplomatic missions are located.

Related Articles:

Ketua MPR Janji Fasilitasi Eurico Guterres untuk Bertemu Jokowi

KUPANG, KOMPAS.com – Ketua MPR Zulkifli Hasan berjanji akan memfasilitasi pertemuan antara Ketua Umum Uni Timor Aswain (Untas) Eurico Guterres dengan Presiden Joko Widodo.

Penegasan itu disampaikan Zulkifli saat menyampaikan sambutannya dalam kegiatan Pelantikan pengurus pusat Untas di Hotel Ima Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), SElasa (31/1/2017) petang.

Menurut Zulkifli, pertemuan itu dimaksudkan agar Eurico bisa menyampaikan sejumlah persoalan yang menyangkut warga eks Timor Timur yang hingga kini belum diselesaikan hingga tuntas.

Untas merupakan organisasi yang beranggotakan ribuan warga eks Timor Timur (Timtim) yang berada di Indonesia khususnya NTT.

“Persoalan Untas ini harus diselesaikan. Nanti pertengahan Februari 2017 ini, saya akan jumpa dengan Presiden Jokowi dan saya akan sampaikan keinginan Eurico untuk berjumpa dengan Presiden Jokowi,” kata Zulkifli.

Dia menilai, jika persoalan yang menyangkut warga eks Timtim tidak tuntas, tentu akan menjadi beban sejarah. “Ini tentu tidak bagus buat negara ini. Saya dan teman-teman anggota DPR akan berjuang agar pemerintah bisa menyelesaikan dan negeri ini harus bisa menyelesaikan persoalan persoalan sampai tuntas,”ucapnya.

Sejumlah masalah yang saat ini masih dihadapi oleh warga eks Timtim yakni terkait dengan upaya memberikan perlindungan, status kewarganegaraan dan hak-hak masyarakat yang tetap setia kepada NKRI, termasuk penyelesaian aset-aset negara dan hak perdata perseorangan, seperti yang termuat dalam Tap MPR Nomor V.

MSG chair postpones PNG leg of Melanesia tour

The chairperson of the Melanesian Spearhead Group, Solomon Islands Prime Minister Manasseh Sogavare has postponed the PNG leg of his Melanesia tour.

Manasseh Sogavare
Manasseh Sogavare Photo: RNZI

 

The tour, his second as chairperson, is to discuss the restructuring of the MSG Secretariat in Vanuatu and the revision of MSG Membership Guidelines with other MSG leaders.

Earlier this week Mr Sogavare met with his Vanuatu counterpart, Charlot Salwai in Port Vila and also with FLNKS spokesperson Victor Tutugoro.

Today he is to meet with the Fiji’s Prime Minister Frank Bainimarama in Suva.

The Fiji Prime Minister Frank Bainimarama at Government House in Auckland
Fiji’s Prime Minister, Frank Bainimarama. Photo: RNZ/ALEX PERROTTET

Following that meeting Mr Sogavare was supposed to fly to Port Moresby to meet with PNG’s prime minister Peter O’Neill.

But this leg of the tour has now been postponed until February.

Mr Sogavare, who flys back to Solomon Islands on Sunday, said he would not be releasing a statement on the outcome of the tour until he completes the PNG leg in February.

The MSG secretariat in Port Vila has been plaqued by issues with funding and its overhaul was recommended by an independent review commissioned because of persistent funding problems and the review of membership guidelines has arisen over the issue of West Papuan membership to the Melanesian Spearhead group.

Solomon Islands and Vanuatu favour West Papuan Membership while Fiji and Papua New Guinea support Indonesia’s view that it should represent West Papuan interests in the group.

Source: http://www.radionz.co.nz/

350 Orang Daftar Jadi Anggota Partai Papua Merdeka Australia

Ilustrasi: Bendera Bintang Kejora (Foto: The Guardian)
Ilustrasi: Bendera Bintang Kejora (Foto: The Guardian)

MELBOURNE, SATUHARAPAN.COM – Peristiwa penerobosan Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Melbourne oleh pendukung Papua Merdeka pada hari Jumat (6/1) lalu telah memicu kecaman dari pemerintah Indonesia. Kementerian Luar Negeri telah mendesak Australia untuk mengusut kejadian ini dan menangkap pelakunya.

Peristiwa tersebut membawa pertanyaan seberapa besar sesungguhnya dukungan terhadap aspirasi dan gerakan untuk penentuan nasib sendiri bagi Papua di Negeri Kanguru itu. Selain itu muncul pertanyaan bagaimana dukungan tersebut diberikan dan apakah hanya berasal dari warga diaspora Papua yang bermukim di sana atau juga menyebar kepada masyarakat warga Australia sendiri.

Salah satu yang patut diamati adalah sebuah organisasi yang menamakan diri The Free West Papua Party of Australia (FWPP) atau Partai Papua Merdeka Australia. Partai ini sudah berdiri sejak September tahun 2015 dengan ketua pertama partai ini adalah Paul Madden.

Namun, terhitung mulai akhir Desember 2016, terjadi pergantian kepemimpinan. Paul Madden mengundurkan diri oleh karena alasan pribadi, digantikan oleh Anthony Craig, salah seorang anggota pertama partai tersebut.

Menurut situs resmi partai ini, saat ini anggota terdaftar FWPP baru 350 orang. Diperlukan sedikitnya 550 anggota untuk bisa  terdaftar secara resmi sebagai partai. Biaya pendaftaran untuk menjadi anggota AUS $ 1.

Sebelum ini Anthony Craig dikenal sebagai juru bicara luar negeri FWPP. Ia sering mengunjungi Papua dan menyuarakan apa yang ia anggap sebagai aspirasi rakyat Papua.

Anthony Craig (Foto: FWPP)

Pekan lalu, Craig mengirim surat kepada sejumlah orang, termasuk Perdana Menteri Australia, Menteri Pertahanan dan Kedutaan Besar negara-negara asing. Isinya mengatakan bahwa latihan militer bersama Australia dan Indonesia adalah kejahatan perang, menurut hukum Australia dan internasional, didasarkan pada apa yang terjadi di Papua dan Timor Leste.

Craig mengklaim hanya FWPP yang menyuarakan hal ini di Australia. Partai-partai lainnya, bahkan Partai Hijau sekali pun, menurut dia, tidak membicarakan hal ini. “Itu sebabnya partai ini berdiri,” kata dia.

Di situs resmi FWPP, dikatakan tujuan utama FWPP adalah membangkitkan dukungan Australia terhadap pembebasan dan kemerdekaan Papua. Mereka membuka keanggotaan terhadap siapa saja yang setuju pada manifesto partai. Ditekankan pula bahwa partai ini bukan partai agama.

Markus Haluk, salah seorang anggota Tim Kerja United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), kelompok yang memperjuangkan hak menentukan nasib sendiri Papua, mengatakan peristiwa yang belum lama ini terjadi di KJRI Melbourne adalah cerminan dukungan rakyat Australia dan dunia inernasional terhadap aspirasi menentukan nasib sendiri Papua.

“Apa yang terjadi di KJRI Australia adalah tindakan spontanitas warga Australia yang prihatin dengan situasi HAM di Papua,” kata dia, hari ini (10/1) lewat pesan seluler.

“Pemerintah tidak perlu reaktif dan menyalahkan pemerintah Australia,” tambah dia.

Hal sebaliknya dikatakan oleh Juru Bicara Kedutaan Besar Indonesia di Australia, Sade Bimantara. Ia mengatakan kelompok-kelompok pendukung aspirasi Papua merdeka di Australia saat ini tengah frustrasi karena tidak mendapat dukungan. Kelompok ini pula yang melakukan penerobosan ke KJRI di Melbourne.

“Kelompok ini sedang frustasi, karena mereka tidak mendapat dukungan baik dari pemerintah dan pihak oposisi Australia, dukungan publik pun sedikit hanya di dunia maya,” kata Sade kepada Australia Plus.

Ia menambahkan, menyampaikan aspirasi atau bentuk kekecewaan terhadap sebuah pemerintahan bukan menjadi hal yang dilarang, terutama di Australia yang memberikan kebebasan berekspresi bagi warganya. Tetapi KBRI mengaku terus berupaya untuk menjelaskan masalah Papua Barat, seperti program sosialiasi dan informasi baik di tingkat pemerintah, parlemen, LSM, diskusi soal Papua dan Indonesia timur, budaya dan festival, yang tahun lalu di Canberra, menurut Sade telah dihadiri 4.000 hingga 5.000 orang.

Sementara itu informasi keberadaan kantor FWPP tidak terungkap di situs resminya. Yang dicantumkan hanya berupa alamat email dan nomor telepon yang dapat dihubungi.

Editor : Eben E. Siadari

FPI dan TNI Latihan ala Militer di Banten

FPI dan TNI Latihan ala Militer di Banten - JPNN.COM
Foto bersumber dari Instagram dpp_fpi

jpnn.com – Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Front Pembela Islam Banten menggelar Pelatihan Pendahuluan Bela Negara (PPBN) di Kabupaten Lebak, Banten, Kamis (5/1) kemarin.

Latihan tersebut dipimpin langsung oleh anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai mentor. Beberapa foto latihan tersebut langsung diunggah akun resmi DPP FPI di Intagram, dpp_fpi.

“TNI dan FPI menggelar PPBN (Pelatihan Pendahuluan Bela Negara) serta tanam 10.000 pohon di Kabupaten Lebak Banten,” tulis akun dpp_fpi sebagai caption untuk foto latihan PPBN yang diunggah, Sabtu (7/1).

Dalam foto-foto itu, terlihat beberapa anggota laskar sedang berlatih halang rintang ala militer. Mulai dari latihan panjat jaring laba-laba hingga melewati danau dengan seutas tali.

Momen latihan tersebut mendapat dukungan positif dari netizen yang bersimpati dengan ormas pimpinan KH. Ahmad Shabri Lubis ini.

“Maasya Allah,” tulis akun zahrtlk

“good job fpi maju terus bela negara,” sahut akun amry2096 yang mendukung latihan FPI.

Indonesia suspends military cooperation with Australia

Indonesia has suspended all military cooperation with Australia, reportedly over offensive materials displayed at an Australian military base where its troops were training.

The offensive “laminated material” shown at a base was insulting towards Indonesia’s five founding principles – Pancasila – Indonesian newspaper Kompas has reported. The Kompas report says a cable dated 29 December, sent by Indonesian military commander General Gatot Nurmantyo, instructed that all military cooperation, including training with the Australian defence force, be suspended.

The Indonesian military spokesman, Major General Wuryanto has confirmed the split, but would not specifically confirm the reason, saying cooperation between the Australian and Indonesian militaries had been suspended for “technical reasons”, effective immediately. “All forms of cooperation have been suspended,” he said.

But Wuryanto suggested the suspension would not be long term, saying cooperation could resume once the “technical matters” were resolved.

“There are technical matters that need to be discussed,” Wuryanto said, including the offensive training material seen at an Australian military base. It was “highly likely” cooperation would resume once those issues were resolved, he said.

Guardian Australian understands an instructor from Indonesia’s special forces group Kopassus felt insulted by material on display at a training base.

It’s believed the Kopassus officer was initially offended by propaganda material about West Papua, a province of Indonesia in which a long-running campaign for independence, and allegations of systemic human rights abuses by the military, are of extreme sensitivity. Senior former military leaders were also insulted as murderers and criminals.

Subsequently, the officer also reportedly saw a laminated piece of paper that ridiculed Indonesia’s founding ideology “pancasila” – which translates as “five principles” – as “panca-gila”. Gila, in Bahasa Indonesia, means crazy.

Kopassus has trained for several years with Australia’s Special Air Service troops at the SAS base at Campbell barracks, Perth. No time limit has been put on the suspension, and it is unclear whether future planned joint training exercises between the two countries will be affected.

Australia’s defence minister, Marise Payne, said the Australian military hoped to restore full cooperation with the Indonesian armed forces as soon as possible.

She confirmed that late last year an Indonesian officer had raised concerns “about some teaching materials and remarks at an army language training facility in Australia”.

“The Australian Chief of the Defence Force, Air Chief Marshal Mark Binskin, wrote to his Indonesian counterpart, General Gatot Nurmantyo, giving an undertaking that this matter would be addressed seriously and we would inquire into issues raised.

“The Australian Army has looked into the serious concerns that were raised and the investigation into the incident is being finalised.”

Payne said while some elements of joint training had been suspended, other areas of military cooperation had continued.

“Australia is committed to building a strong defence relationship with Indonesia, including through cooperation in training. We will work with Indonesia to restore full cooperation as soon as possible.”

Indonesia and Australia’s military relationship has improved in recent years, after an at-times troubled history.

The Lombok treaty commits both countries to cooperation in the fields of defence, combating transnational crime, counter-terrorism and intelligence-sharing. Australia has sold military hardware to Indonesia and defence and foreign ministers meet regularly.

But relations were shaken in 2013 – and military co-operation suspended – when it was revealed the Australian Signals Directorate attempted to monitor the phone calls of then president Susilo Bambang Yudhoyono, his wife and senior officials.

News agencies contributed to this report (The Guardian)

Australia Minta Maaf

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengatakan Menhan Australia Marise Payne meminta maaf kepada Indonesia terkait adanya kasus pelecehan Pancasila yang dilakukan salah satu anggota “Australian Defence Force” (ADF).

“Menhan Australia sudah mengirimkan surat kepada saya pagi ini yang mengungkapkan permohonan maaf karena terjadinya insiden itu,” ujar Ryamizard di Kantor Kementerian Pertahanan, Jakarta, Kamis.

Selain mengirimkan surat permohonan maaf, menurut dia, Marise Payne juga telah menelepon dirinya secara langsung pada Kamis siang, dan kembali mengungkapkan penyesalannya atas kasus pelecehan Pancasila yang melibatkan anggota Angkatan Pertahanan Australia tersebut.

“Menhan Australia juga menyampaikan akan mengusut kasus ini sampai tuntas dan tegas dalam menindaklanjuti kejadian ini,” jelasnya.

Ryamizard mengatakan pihaknya telah menerima permintaan maaf itu dan menghormati sikap Australia tersebut.

“Nanti suratnya akan saya laporkan (ke Presiden),” katanya kemudian.

Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo telah menangguhkan sementara kerja sama militer dengan Australian Defence Force (ADF) sejak pertengahan Desember 2016.

Kapuspen TNI, Mayjen TNI Wuryanto, menuturkan kerja sama ditangguhkan karena ada beberapa masalah teknis yang perlu dibahas terkait hal tersebut. Namun, dia tidak merinci pembahasan teknis yang dimaksud.

Menurut dia, dengan adanya penangguhan ini latihan militer bersama dan pertukaran perwira antara Indonesia dengan Australia saat ini dihentikan.(Ant)

Potret Luka Perempuan Timor Leste dalam ‘Memoria’

Jakarta, CNN Indonesia — Timor Leste resmi memisahkan diri dari Indonesia 14 tahun silam. Meski sudah meraih kemerdekaannya, masih terdapat luka kenangan yang membekas bagi sebagian masyarakatnya.

Luka itu dialami para wanita yang selama masa penjajahan di negaranya harus melayani nafsu seksual para tentara. Atas dasar kisah itu, sutradara Kamila Andini pun tergerak untuk mengangkat kisah itu dalam film yang digarapnya, bertajuk Memoria.

“Dalam film ini saya ingin bicara tentang luka. Tentang bagaimana luka itu didapat, bagaimana ia bertahan, bagaimana ia berusaha keluar dari diri seseorang dan menjadi kenangan, memori,” kata Kamila menjelaskan, di Galeri Indonesia Kaya, pada Jumat (16/12).

Bagi banyak perempuan di luar sana, ia menambahkan, luka dan kenangan merupakan sumber kekuatan atas kehidupan itu sendiri.

Mengambil latar belakang tempat di sebuah kota kecil di Timor Leste bernama Ermera, Memoria menceritakan tentang seorang ibu yang mencoba melupakan ingatannya menjadi korban selama perang di Timor Leste. Ada pula seorang anak yang mencoba melindungi diri melalui pernikahan. Mereka berdua sedang mencoba menemukan arti kebebasan yang sesungguhnya.

Maria adalah salah satu perempuan korban kekerasan seksual di Timor Leste pada tahun-tahun gelap masa perang itu. Meskipun Timor Leste sekarang sudah merdeka, Maria merasa ia tetap menjadi seorang yang terjajah. Ia melihat kemungkinan ini bisa terjadi kepada anaknya, Flora, yang menghadapi masa-masa persiapan pernikahan, hanya karena mahar.

 

Tentang Perempuan dan Menjadi Merdeka

Di samping keinginan Kamila yang ingin bicara soal luka, film itu pun dibuat dengan melihat adanya kebutuhan mengampanyekan isu kekerasan terhadap perempuan di Timor Leste.

Hal tersebut disampaikan oleh Theresia lswarini, Project Manager dari Survivor Project Timor Leste. “Harapannya perhatian penuh diberikan kepada para penyintas, khususnya penyintas kekerasan seksual masa perang karena mereka masih hidup dalam kemiskinan.”

Menurut Kamila sendiri, Timor Leste memang telah merdeka. Seperti Maria, dirinya, juga semua masyarakat, hidup di negara merdeka.

“Tapi kemerdekaan perempuan masih terus dipertanyakan. Ini tidak lagi kemerdekaan menjadi persoalan politik, ini persoalan kemanusiaan,” ujarnya.

Diungkapkan Kamila, Memoria dibuat oleh delapan orang kru di lapangan. Total kru film hanya 11 orang, termasuk yang tidak turun ke lapangan. Selain dari Jakarta, Memoria turut mendapat bantuan kerjasama dari teman-teman organisasi lokal di Timor Leste.

“Semua pemain dalam film ini adalah bakat-bakat atau aktor non-profesional, yang ditemukan dengan sistem casting di Dili dan semua pemain ibu dalam film ini adalah penyintas,” kata Kamila.

Di awal film yang berdurasi kurang lebih 45 menit itu, penonton diajak menyusuri ruang yang menjadi kenangan buruk bagi hidup Maria. Maria bercerita bagaimana ia dipaksa melayani tentara di Hotel Flamboyan tanpa mengenal waktu.

Bayang-bayang kelam akan masa lalu itu terkadang membuatnya sakit dan tak kuat menahan tangis, juga rasa takut. Meski demikian, Maria beruntung masih bertemu kawan seperjuangannya yang pernah mengalami hal serupa.

Dia dikuatkan oleh temannya, Alsina. Tak ayal tingkah Alsina pun menjadi satu karakter menarik yang menampilkan sisi ketangguhan wanita dalam menjalani rumitnya hidup.

Di satu sisi, kala Maria tak lagi bersama teman-temannya, dia harus menghadapi konflik batin. Maria yang memiliki putri bernama Flora. Ketakutan akan hal yang pernah dialaminya mungkin terjadi pada putrinya.

Belum lagi ia harus berhadapan dengan stigma buruk dalam rumah tangganya, lagi-lagi karena beban kejadian masa lalu.

Tak hanya mengajak untuk ikut merasakan luka yang masih membekas dalam diri Maria, penonton juga dihadapkan dengan realita masa kini. Soal kehidupan masyarakat, tekanan, dan rasa kemanusiaan.

Sang produser Gita Fara menyampaikan, tim produksi melakukan riset dengan mewawancarai banyak penyintas dari masa perang kemerdekaan Timor Leste dari Indonesia.

“Beberapa ‘kisah’ mereka kami masukkan dalam opening film. Dari wawancara ini kami memilih beberapa di antara mereka untuk bermain dalam film ini,” ujar Gita.

Selain beradaptasi dengan lingkungan sosial budaya Timor Leste, Kamila mengungkapkan, saat menggarap film tersebut ia tengah mengandung dan janinnya berusia tujuh bulan. Tak ayal Kamila pun mengatakan bahwa bagi dirinya sendiri film tersebut begitu emosional.

“Selama riset, selama menulis, harus mendengar banyak kisah tentang kehidupan para penyintas saat saya sendiri sedang mengandung sangatlah tidak mudah,” ujarnya.

Dia menambahkan, “Tapi saya berpikir apabila mereka sepanjang hidupnya sanggup melewati banyak hal, perang, menjadi ibu, dan masih mengalami kekerasan. Maka tidak ada alasan bagi saya untuk tidak menceritakan kisah mereka dalam kondisi apa pun,” katanya.

kemerdekaan perempuan masih terus dipertanyakan. Ini tidak lagi kemerdekaan menjadi persoalan politik, ini persoalan kemanusiaan.Kamila Andini

 

Memoria Kibarkan Sayap Ke Luar Negeri

Film Memoria pertama kali diputar secara perdana pada gelaran acara Busan International Film Festival 2016. Film itu juga berkompetisi dengan film-film pendek lain dalam Wide Angle Asian Shorts Film Competition.

Di Indonesia sendiri, film yang digarap mulai Februari lalu itu masuk menjadi salah satu nominasi Film Pendek Terbaik dalam Festival Film Indonesia 2016. Lalu pada awal Desember ini, Memoria telah memenangi dua penghargaan dalam Jogja-netpac Asian Film Festival, yaitu Blencong Awards untuk film pendek terbaik dan Student Choice Awards dari para mahasiswa film.

Menurut salah satu juri asal Singapura di Jogja Asian Film Festival, Kan Lume penghargaan untuk Memoria diberikan karena dianggap mampu menabrak batas-batas sinema.

“Bahkan menjadi suara yang kuat atas keberpihakan terhadap orang-orang yang selama ini menjadi korban. Film ini menawarkan sudut pandang spesifik yang mengakomodasi sejumlah isu yang kompleks dalam masyarakat secara utuh,” katanya yang juga seorang sutradara.

Dia menambahkan, “Film ini menjadi jembatan menyentuh pengetahuan mengenai keadilan.”

Garapan Terbaru, Film Hingga Buku

Saat ini, Kamila yang juga istri sutradara Ifa Isfansyah itu sedang menyelesaikan film panjangnya bertajuk Seen and Unseen. Ditemui usai acara, Kamila mengatakan bahwa film itu bercerita tentang hubungan dua anak kembar yang mengambil latar belakang budaya Bali.

Berdasarkan pengakuannya, film itu telah mendapat dukungan dari dunia internasional, di antaranya Hubert Bals Fund dari International Film Festival Rotterdam (Belanda), Asia Pacific Screen Awards’s Children Film Fund (Australia), Wouter Barendrechts Awards dari Hongkong Asia Film Financing Forum.

Kamila juga menyebut telah mempresentasikan proyek itu ini di beberapa pasar internasional, di antaranya Venice Gap Financing Market dari Venice International Film Festival (Italia) pada September lalu.

Selain proyek di bidang film, Kamila pun baru merilis buku catatan produksi dari film pertamanya The Mirror Never Lies, sebuah film yang berlatarbelakang budaya suku laut-Suku Bajo, Wakatobi.

Buku itu diberinya judul Laut Bercermin Sebuah Catatan dan Tafsir Film.

“Buku ini bukan cuma catatan produksi, tapi juga berisi rangkaian tafsir film yang ditulis oleh akademisi, praktisi dan kritikus film, juga catatan dari media, baik dari dalam dan luar negeri,” katanya.

Buku tersebut telah dirilis di Jogja Netpac Asian Film Festival pada 30 November lalu. (rsa)

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny