Forum Akademisi untuk Papua Damai Dideklarasikan

Jakarta (ANTARA News) – Forum Akademisi untuk Papua Damai dideklarasikan di Jakarta, Kamis, berinisiatif untuk membangun jalan dialog yang juga penting untuk dipertimbangkan adanya kompleksitas persoalan yang menjadi akar konflik Papua.

“Segala rekomendasi ini akan menjadi rekomendasi politik untuk menjadi kebijakan pemerintah, merentang antara yang semuanya inklusif sampai tingkat perundingan,” kata Otto Syamsudin, akademisi dari Universitas Syiah Kuala kepada ANTARANews.

Menurut dia, forum akedemisi ini merupakan cara bagaimana akademisi bertanggung jawab ikut berperan mengeksekusi tanggung jawab moralnya.

Di Aceh, Ambon, Poso akademisi tidak ikut berperan mengeksekusi tanggung jawab moralnya dan melahirkan dan hanya melakukan kajian konfliknya tapi melahirkan kebijakan itu yang belum, untuk itulah forum ini ada.

Sementara itu Mestika Zed, akademisi dari Universitas Negeri Padang mengatakan, perannya forum pada level akademik, pemikiran pada level akademik yang akan kita isi, dimana ada sebuah keterlibatan anak bangsa secara moral dan akademik dan harus ada jawaban baru untuk sebuah solusi kedepan.

Dan jika dicermati lebih dalam dan jauh, akar persoalan konflik Papua sesungguhnya begitu kompleks mencakup berbagai sektor kehidupan yang ada di Papua. Mulai menyangkut persoalan sejarah, politik, ekonomi, sosial, budaya, lingkungan, kesejahteraan dan lain-lain.

“Karena itu adalah keliru dan tidak tepat bilamana konflik Papua hanya dibaca secara sederhana semata persoalan separatisme,” katanya.

Upaya penyelesaian konflik yang komprehensif itu dapat diawali dan dicapai melalui dialog damai, karena cara pendekatan militeristik hanya menambah dan memperumit masalah.

Jalan dialog damai bukanlah suatu tujuan, melainkan sebagai proses awal untuk bisa menyepakati berbagai akar masalah dan bagaimana cara menyelesaikannya.

Sebagai wadah akademisi yang dibentuk untuk tujuan mendorong terwujudnya perdamaian Papua yang didasarkan pada penghormatan HAM dan peningkatan kesejahteraan sosial maka Forum Akademisi Papua damai menyatakan 1. Keprihatinan forum terhadap berlarutnya konflik Papua; 2. Mendesak para pihak untuk tidak menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan persoalan di Papua; 3. Forum berkeyakinan bahwa konflik di Papua dapat diselesaikan melalui dialog damai.(*)
(yud)

Editor: Ruslan Burhani

COPYRIGHT © 2011
http://antaranews.com/berita/271353/forum-akademisi-untuk-papua-damai-dideklarasikan

Paskalis Kossay: Jangan Cederai Otsus Papua

JAKARTA (Suara Karya): Kaukus Papua di Parlemen Indonesia mengingatkan semua pihak agar tidak mencederai Otonomi Khusus (Otsus) Papua. Karena, hal tersebut berpotensi memancing maraknya aksi yang merusak persatuan dan kesatuan NKRI.

“Selama ini kami selalu mengingatkan itu. Tetapi sekarang mengingatkan lagi dengan tegas, agar kebijakan Pemerintah Pusat kepada Papua jangan berubah-ubah. Jangan cederai Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua,” kata Koordinator Nasional Kaukus Papua di Parlemen Indonesia Paskalis Kossay di Jakarta, Rabu (3/8).

Paskalis Kossay yang juga anggota Komisi I DPR (bidang pertahanan, luar negeri, intelijen, komunikasi dan informatika) menilai, sikap pemerintah terkini terkesan mendukung pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP) jadi dua, benar-benar telah melukai mayoritas orang Papua.

“Ini semakin mencederai UU Otsus, bahwa MRP hanya ada satu. Tetapi, karena kepentingan politik praktis untuk kekuasaan, pemerintah sepertinya mau saja `dikibulin` untuk membentuk MRP baru di Provinsi Papua Barat, lepas dari Provinsi Papua,” katanya.

Cara-cara yang tidak fokus dan selalu berubah kebijakan seperti ini, apalagi mencederai otsus, menurut Paskalis Kossay, hanya akan memancing timbulnya konflik baru, lalu ada pihak ketiga memanfaatkannya dengan mengusung aksi bernuansa separatis.

Ia mengatakan itu, menanggapi kabar terbaru adanya seminar tentang Papua yang digelar di Inggris oleh sebuah organisasi bernama `International Lawyers for West Papua` (ILWP). Seminar tentang Papua ini berlangsung di Universitas Oxford, Inggris.

Dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di London, diperoleh informasi, isi seminar itu ditengarai hanya untuk media provokasi di Papua dengan tujuan mengusung agenda pemisahan kedua provinsi di Papua (Papua dan Papua Barat), ketimbang diskusi ilmiah terbuka. Apalagi yang diundang sebagai pembicara pun didominasi oleh pihak penentang integrasi Papua ke NKRI.

Bola Liar

Paskalis Kossay yang juga mantan Ketua DPD KNPI Provinsi Irian Jaya dan menjadi anggota Fraksi Partai Golkar di DPR ini, mendesak pemerintah membatalkan segala bentuk kebijakan mendua selama ini.

“Sekali lagi, dan ini untuk ke sekian kali, agar kebijakan pemerintah kepada Papua jangan berubah-ubah. Sebab, kalau tidak hati-hati, maka masalah Papua bisa menjadi `bola liar` dan dimanfaatkan pihak ketiga untuk mengobrak-abrik keutuhan NKRI,” katanya.

Saat ini, menurut dia, perkiraannya ini sudah mulai terbukti, padahal semuanya sesungguhnya dipicu oleh ketidaktegasan pemerintah dalam konsistensi menerapkan kebijakan yang mengacu kepada UU Otsus tadi.

“Ternyata kan sekarang mulai terbukti. Ada aksi mendesak referendum dan menolak Pepera di Jayapura. Ada aksi bunuh-bunuhan di beberapa tempat. Ada aksi seminar di London, dan seterusnya diperkirakan akan jadi marak lagi,” ujarnya.

Karena itu, ia berharap, pemerintah memperbaiki sikap. “Saya harap pemerintah tetap fokus saja membangun Papua dengan berlandaskan otsus ke depan. Jangan mencederai lagi otsus itu,” ucap Paskalis Kossay. (Joko S/Ant/Tri Handayani)

Kamis, 4 Agustus 2011
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=284287

Pepera Tak Bisa Diganggu Gugat

Ramses Ohee
Ramses Ohee

JAYAPURA – Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang belakangan semakin menghangat dibicarakan dengan pelaksanaan kajian oleh International Lawyer for West Papua (ILWP) di London, Inggris, memaksa salah satu pelaku sejarah Pepera, Ramses Ohe kembali mengeluarkan statemennya terkait sejarah Papua.

Saat menggelar jumpa pers di kediamannya, Waena, Minggu (31/7), yang dengan tegas bahwa Pepera Tahun 1969 tidak bisa diganggu gugat lagi. “Kita sudah merdeka sejak Tahun 1945, sekarang yang kita butuhkan adalah bersatu padu himpun seluruh kekuatan kita untuk bangun Negara Kesatuan Republik Indonesia ini,” ungkapnya saat menggelar jumpa pers di kediamannya, Waena, Minggu (31/7).

Apa yang telah diletakkan sebagai dasar atau pondasi oleh orang tua terdahulu, ditegaskan agar jangan dibongkar. “Mari kita bicara tentang apa yang orang tua belum capai, baik pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan apapun yang diperlukan oleh kita semua. Itu yang kita lihat. Sehingga keinginan yang tidak baik itu, bongkar pasang rumah itu kita buang dari kita semua,” lanjujtnya. Ramses yang menegaskan kembali bahwa ia sebagai pelaku sejarah pelaksanaan Pepera, yang membacakan sikap politik saat itu di hadapan Ortisan, bahwa Pepera tersebut sudah sah dan harga mati. “Dalam tempo tiga bulan, ketukan PBB jatuh, dan Belanda pergi dari Papua. Jadi tidak bisa bicara apa yang telah kita buat, sudah harga mati. Kalau mau bicara itu lagi, PBB mana yang mau akui lagi,” tandasnya.

Di tempat terpisah, Selpius Bobii selaku Ketua Umum Eknas Front Pepera PB (Eksekutif Nasional Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat) menyatakan bahwa, agenda yang digelar oleh ILWP adalah forum ilmiah (seminar).

“Ada pihak-pihak yang menganggap itu pra referendum, bahkan ada yang menganggap itu final. Pemahaman itu perlu diluruskan,” ungkapnya saat menggelar jumpa pers di Asrama Tunas Harapan, Padang Bulan.

Dikatakan, kalaupun nanti forum yang digelar oleh ILWP mengasilkan sebuah rekomendasi berupa peninjauan kembali Pepera 1969, maka tidak bisa dilaksanakan begitu saja. “Itu harus dibawa ke Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB), dan yang membawa harus sebuah Negara anggota PBB. Karena ILWP tidak punya kewenangan ketuk palu yang sifatnya mengikat,” lanjutnya.

Dewan Keamanan PBB, kata Selpius Bobii juga belum bisa mengetuk palu yang sifatnya final. “Karena apa yang menjadi kesimpulannya harus direkomendasikan ke PBB untuk dimasukkan dalam agenda pembahasan di PBB. Dan untuk masuk dalam agenda itu membutuhkan proses yang rumit,” lanjutnya lagi.

Dikatakan juga, bahwa dalam pembahasan di PBB, juga tidak bisa langsung diambil keputusan dengan mudah. “Di situ akan diadakan perundingan-perundingan, setelah perundingan tidak tercapai kata sepakat batu di voting,” ungkapnya.

Sehingga ia berharap agar tidak ada reaksi yang berlebihan oleh masyarakat Papua, yang memicu ketegangan. Demikian juga tentang isu-isu yang berkembang belakangan ini, seperti adanya demo tandingan pada 2 Agustus nanti, serta berbagai issu lainnya, dinilainya sebagai pembunuhan psikologis masyarakat Papua.

Sehingga ia berharap agar tidak ada penekanan yang berlebihan dari pihak aparat TNI dan Polri dalam menyikapi agenda 2 Agustus oleh ILWP di London. “Rakyat Bangsa Papua yang hendak melakukan demonstrasi atau kegiatan damai lainnya dalam menyambut kegiatan ILWP di London, harus dilakukan dengan bermartabat dan damai, hindari penyusupan-penyusupan yang memprovokasi massa aksi damai,” harapnya.

Sedangkan Mako Tabuni selaku Ketua I Komite Nasional Papua Barat (KNPB), memastikan bahwa pada 2 Agustus besok, pihaknya akan menggelar aksi demo damai sebagaimana demo-demo sebelumnya. Yakni mengambil titik kumpul massa di Perumnas III, Expo, Lingkaran Abe, dan sejumlah tempat lainnya.

Bahkan pihak KNPB juga membatasi peliputan oleh wartawan, yakni dengan membagi Kartu Identitas (ID Card) kepada wartawan. “Kami tidak bertangungjawab apabila terjadi apa-apa pada wartawan saat meliput tanpa kartu identitas dari kami,” ungkapnya, yang Minggu (31/7) kemarin membagi-bagikan ID Card kepada wartawan.(aj/cr-32/don/l03)

Senin, 01 Agustus 2011 00:17
http://bintangpapua.com/headline/13182-pepera-tak-bisa-diganggu-gugat

KTT ILWP Jangan Dipolitisir !

JAYAPURA—Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) k-1 International Lawyer for West Papua (ILWP) di Oxford, London, Inggris pada tanggal 2 Agustus 2011 mendatang , ditanggapi dingin Ketua Umum Badan Otorita Adat Sentani Franzalbert Joku.

Ketika dimintai tanggapannya via ponsel semalam menegaskan, ILWP tak mempunyai hak untuk mengatasnamakan rakyat Papua.

Pasalnya, KTT ILWP sengaja dipolitisir dan dibesar besarkan itu sebenarnya didesain untuk membesarkan perjuangan Benny Wenda di Inggris. Karena tanpa komoditas politik seperti Benny Wenda, maka Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) itu sulit menghidupkan dirinya secara finansial dan akan mati.

“Jadi pengaruh KTT ILWP yang digembor-gemborkan masyarakat dan media massa di Papua sebenarnya sebatas itu,” tukasnya.

Sementara Anggota Komisi A DPR Papua yang membidangi masalah politik Ignasius W Mimin Amd IP yang dihubungi terpisah terkait KTT ILWP menegaskan, pemerintah seharusnya mengambil langkah penyelesian dan tak perlu menggap remeh permasalahan ini. Pasalnya, kegiatan ini juga antara lain dipicu kegagalan UU Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua sebagaimana 11 rekomendasi saat digelar Musyawarah Besar Majelis Rakyat Papua (MRP) beberapa waktu lalu.

Apabila pemerintah Indonesia menghargai UU Otonomi Khuus yang mereka buat tak mungkin terjadi kesimpang siuran seperti ini. Semua roh dari UU Otonomi Khusus sudah tak ada lagi. Apalagi kini terjadu dualisme MRP Provinsi Papua dan Papua Barat.

“Seluruh negara negara penyandang dana Otonomi Khusus mereka marah,” ungkapnya.

Sebagaimana diwartakan koran ini, Duta Besar Indonesia untuk Kerajaaan Inggris Yuri Thamrin menegaskan, KTT ILWP sebagai salah satu upaya pencitraan kepada masyarakat internasional seakan akan ada dukangan dari pemerintah Inggris serta untuk menyudutkan Indonesia di dunia internasional.

Padahal, ujarnya, Perdana Menteri Inggris David Cameron dalam pernyataan pada 19 Juli 2011 lalu bahwa Inggris sangat mendukung keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasalnya, Inggris adalah negara yang menganut sistim demokrasi sehingga kegiatan seperti itu bisa terlaksana. Tapi gaungnya tidaklah besar.

“Untuk itu masyararakat di Papua tak perlu terprovokasi dengan rencana kegiatan tersebut,” katanya.

Sementara itu, untuk mendukung pelaksanaan konferensi Oxford pada 2 Agustus mendatang di Inggris. Komite Nasional Papua Barat (KNPB) wilayah Biak Numfor, akan menggelar aksi damai dan orasi terkait aspirasi orang Papua yang menghendaki kemerdekaan penuh rakyat Papua Barat. Kegiatan tersebut akan diawali dengan menggelar sidang parlemen daerah pada 1 Agustus, sedangkan puncaknya pada 2 Agustus digelar aksi damai dan orasi yang diawali dengan ibadah syukur di Aidoram atau kantor dewan adat KBS Sorido. Waktu kegiatan akan berlangsung sejak pagi hingga selesai.

Sekjen KNPB setempat Edy Hanasbey saat melakukan jumpa pers Jumat (29/7) dengan sejumlah wartawan mengatakan, bentuk kegiatan yang dilaksanakan adalah aksi damai dan tetap akan dilaksanakan. Dalam kegiatan tersebut, orasi yang diangkat tentang referendum sebagai isu terbaik yang akan disampaikan. “Intinya kami akan menyampaikan referendum yang menjadi keinginan rakyat Papua untuk merdeka, sekali lagi kami inginkan kemerdekaan bukan dialog Papua-Jakarta itu,” ujarnya.

Dalam kegiatan yang telah direncakan KNPB dengan dukungan Parlemen Rakyat Daerah (PRD) dan TPN/OPM di wilayah Biak, pihaknya juga telah menghimbau pada saat menggelar aksi tidak diperkenankan untuk menggunakan atribut bintang kejora, apalagi menaikan bendera bintang kejora. “Kami sudah himbau agar yang ada hanya ibadah syukur, aksi damai dan orasi, tidak harus menaikan bendera bintang kejora dan tidak melakukan hal-hal yang anarkis. Kegiatan juga akan melibatkan semua masyarakat dari kampung-kampung, sedangkan sumber dana berasal dari swadaya masyarakat Papua,” katanya.

Lebih lanjut kata Hanasbey, referendum adalah tawaran terakhir bagi rakyat Papua sebab secara hukum rakyat Papua tidak mengakui adanya Pepera yang cacad hukum itu. Sikap KNPB sendiri sangat optimis bahwa konferensi Oxford tidak akan gagal, dan akan mendapatkan hasil yang diharapkan rakyat Papua. “Kami pilih merdeka, bukan dialog Papua-Jakarta, tidak ada pilihan lain dan KNPB berjuang untuk merdeka,” tegasnya.

Ketua Parlemen Rakyat Daerah (PRD) Biak, Harry Ronsumbre mengatakan, kegiatan syukuran untuk memberikan dukungan kepada konferensi Oxford merupakan kesepakatan rakyat Papua. Dan serentak akan dilakukan diseluruh tanah Papua. “Intinya ini merupakan perjuangan lewat dukungan rakyat, dan jelas menolak keabsahan Pepera yang sedang dibahas dalam tingkat internasional. Dan referendum atau penentuan nasib sendiri wajib dihormati, dan merupakan kehendak rakyat Papua,” ujarnya.

Sementara anggota TPN/OPM berpangkat Letnan Jenderal, Mikha Awom mengatakan, yang pertama yaitu mengucap syukur melalui doa syukuran bersama atas keberhasilan ditingkat internasional. Sedikitnya pihak TPN/OPM di wilayah ini mengharapkan agar apa yang dibicarakan ditingkat konferensi internasional itulah yang pihaknya ikuti. “Kami TPN/OPM hanya bisa mengucap syukur lewat aksi tanggal 2 Agustus nanti. Kami juga telah ditekan dunia internasional untuk tidak menaikan bintang fajar,” ujarnya.

Disinggung tentang dukungan terhadap Dewan Adat Byak (DAB) sendiri, kata Mikha Awom selama ini pihaknya melihat sejak awal ada perjuangan murni, tetapi lama kelamaan pihaknya merasa hanya dijadikan sebagai obyek politik. “Kami tidak mau jadi obyek politik saja, intinya sekarang secara tegas kami berjuang bersama KNPB dan PRD agar proses Pepera 1969 yang secara hukum telah cacad itu harus dikembalikan,” tegasnya.(mdc/pin/don/l03)

Jumat, 29 Juli 2011 16:35
http://bintangpapua.com/headline/13111-ktt-ilwp-jangan-dipolitisir-

KTT ILWP Hanya Pencitraan

JAYAPURA – Adanya rencana kegiatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-1 International Lawyer for West Papua (ILWP) tanggal 2 Agustus di London, Inggris, sudah diketahui oleh pihak Kedutaan Besar (Kedubes) Indonesia di Inggris. KTT tersebut dikatakan sebagai sebuah seminar bertajuk Free West Papua Champion yang diselenggarakan ILWP.

Tentang apa dan bagaimana pelaksanaan KTT tersebut menurut pandangan dan pendapat dari Duta Besar Indonesia untuk Inggris, Yuri Thamrin, bahwa pelaksanaan KTT tersebut adalah hal biasa, sehingga masyarakat di Papua tidak perlu terprovokasi dengan rencana kegiatan tersebut.

“Di sini (Inggris) adalah negara yang menganut system demokrasi, sehingga kegiatan seperti itu bisa terlaksana. Dan itu bisa, yang saya kira gaungnya tidaklah besar,” ungkapnya dalam wawancara exlusif dengan Bintang Papua pukul 23.45 semalam dari London, Inggris. Sebelum wawancara dilakukan dengan Kedubes, Yuri Thamrin, Bintang Papua sebelumnya dihubungi oleh Herry Sudradjat selaku Kepala Fungsi Pensosbud KBRI London. “Pak Dubes, Yuri bersedia diwawancarai terkait konferensi West Papua dioxford, kami ingin melakukan pengaturan untuk itu mohon kiranya kesediaan bapak untuk waktu wawancara tersebut, perbedaan waktu Ingris- Jayapura 8 jam, Jayapura lebih dulu,” jelasnya dalam SMS kepada Pimpinan redaksi harian Bintang Papua. Setelah waktu kami atur akhirnya wawancara jarak jauh Jayapura-Inggris pun dilakukan sekitar pukul 23.45’ WIT.

Menurut Yuri Thamrin, KTT atau seminar tersebut, sebagai upaya menyudutkan Indonesia di dunia internasional. “Jadi dari KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) ingin menyampaikan bahwa itu sebagai upaya pencitraan ke dunia internasional , sehingga seolah-olah ada dukungan dari Inggris. Dan saya tegaskan, sampai saat ini Pemerintah Inggris sebagaimana diungkapkan Perdana Menteri Inggris, David Cameron dan juga salah satu menteri di Inggris bernama Lord M Brown dalam pernyataannya pada 19 Juli 2011 lalu, bahwa Inggris sangat mendukung keutuhan NKRI saat ini,” tandasnya lagi.

NKRI yang dimaksud, menurutnya adalah seluruh wilayah bekas Jajahan Belanda. “Mengenai self determination (penentuan pendapat rakyat), musti dilihat sebagai sebuah penentuan nasib sendiri, yang buat Negara Indonesia telah dilakukan pada Tahun 45, dan itu berlaku hanya satu kali,” lanjutnya.

Diterangkan, bahwa penentuan nasib sendiri dalam arti untuk membentuk sebuah Negara, sesuai hukum internasional tidak boleh dilakukan dalam sebuah Negara yang sudah jadi, sebagaimana di Indonesia saat ini. “Saya tegaskan sekali lagi, bahwa masyarakat di Papua jangan mudah terprofokasi dengan penyelenggaraan acara itu. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah diakui oleh dunia internasional, adalah wilayah bekas jajahan Belanda,” tandasnya lagi.

Dilanjutkan, Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 itu sudah final dan diakui secara hukum internasional. “Kalau itu tidak diakui, ada wilayah yang penentuan pendapat rakyatnya tidak menggunakan perwakilan dari rakyat, yaitu wilayah Sabah dan Serawak yang kini jadi satu Negara Malaysia. Itu hanya melalui beberapa orang saja untuk menentukan, sehingga menjadi sebuah Negara merdeka,” kisahnya.

Sehingga ditegaskan sekali lagi, bahwa proses penentuan pendapat rakyat di Papua pada 1969, lebih baik, lebih legal dan lebih bermartabat. “Sehingga saya himbau agar masyarakat tidak perlu resah atau menanggapi secara berlebihan,” harapnya.

Tentang seminar oleh ILWP sendiri, menurut Yuri, hanya diikuti oleh orang-orang yang punya ideology tertentu yang sama. “Pembicaranya juga itu-itu saja. Dalam pertemuan itu orang yang berpandangan lain tidak boleh masuk,” jelasnya tanpa menjelaskan pandangan yang bagaimana.(aj/don/l03)

Kamis, 28 Juli 2011 17:37
http://bintangpapua.com/headline/13062-ktt-ilwp-hanya-pencitraan

JDP Dorong Dialog Jakarta—Papua – Neles Tebay: Wakil TPN/OPM Belum Ada

JAYAPURA- Koordinator Jaringan Damai Papua  (JDP) Pastor Neles Tebay, Pr mengungkapkan, 32 orang yang masuk dalam keanggotaan Jaringan Damai Papua masih terus mendorong terwujudnya suatu dialog damai antara Pemerintah Indonesia dengan rakyat Papua, untuk menyelesaikan masalah Papua, dan bekerja secara sukarela bagi penyelesaian masalah Papua.  Diakui meski upaya  dialog   akan menyita waktu yang banyak, namun pihaknya optimis Desember 2011 upaya Dialog  dapat dicapai.  Menurut Neles Tebay,   untuk menuju suatu dialog yang bermartabat, bukan  sekedar berdialog  melainkan   ada wadah dimana semua pihak berkumpul membahas dan mengindentifikasi masalah mendasar yang memicu konflik di Papua dengan demikian ada solusi terbaik yang mau dicapai, bukan sekedar mendikte agenda  Dialog.   Demikian Solusi akan diketahui bila kedua pihak yaitu Pemerintah Indonesia dan Rakyat Papua yang terwakili dalam jaringan Damai  yang dibentuk ini mau berkumpul,. JDP sendiri tidak mau umbar janji apapun kepada semua pihak, tetapi  mereka yang masuk dalam JDP tetap berusaha untuk menciptakan suatu peluang  dan Ruang Dialog dimana semua pihak menerima.
Jaringan Damai Papua kata Neles Tebay tetap Optimis dengan apa yang digagasnya, bahwa “Dialog” akan berhasil,  sebab berbagai upaya konsultasi yang dilakukan  Tim Kerja JDP sudah disosialisasikan kesemua Kabupaten seperti Wamena, Timika, Biak, Manokwari, Merauke, Sorong, Bintuni, Yahukimo dan Pegunungan Bintang.

Konsultasi Publik disejumlah Kabupaten di Papua penting, ungkap  Neles,  sebab dengan Dialoglah yang  akan menghentikan kekerasan dan mencegah kekerasan berlanjut di Papua.  Salah satu caranya adalah komunikasi dan konsultasi dilakukan   bagi orang Papua yang ada di Papua, di luar Negeri, PNG maupun  orang Papua yang ada di Hutan- TPN/OPM. Bagaimanapun juga mau tidak mau pihak TPN. OPM harus dilibatkan dalam  Dialog. Untuk mewujudkan itu, Tim JDP terus bergumul agar tiga kelompok orang Papua dapat terlibat dalam proses Dialog Jakarta – Papua ini, terang  Pastor Neles.

Neles mengakui belum  mendapatkan wakil TPN/OPM untuk dilibatkan dalam konsultasi Publik, untuk orang Papua di Papua, tetap dipilih jalur Konsultasi Publik yang dimulai sejak Januari 2010, menyusul 12 Kabupaten lainnya.

Neles mengatakan, proses Konsultasi Publik yang juga dilakukan di PNG disambut positif,  bahkan 45 orang  yang datang dari  beberapa Kota di PNG secara resmi memberikan dukungan dn antusiasnya, Tim JDP Optimis Dialog akan terjadi, sebab dengan Konsultasi Publik yang tengah dilakukan ada perubahan- perubahan besar yang mengarah Dialoh akan terjadi.

Antusias yang sama terhadap upaya Dialog  Jakarta Papua telah diberikan secara resmi oleh Ketua Komisi I DPR RI yang dengan terang menytakan setuju dilakukan Dialog bagi penyelesaian masalah Papua., bahkan gema Dialog Papua sudah tersebar dan tak dianggap tabu untuk dibicarakan.

Meski Tim JDP mendengar ada upaya Komunikasi Kontruktif yang digagas Presiden bagi penyelesaian masalah Papua. “Namun komunikasi Kontruktif macam apa yang diinginkan Presiden, JDP belum mengetahuinya, apakah komunikasi konstruktif sama dengan Dialog Jakarta Papua, hanya Presiden yang tahu,” kata Neles.

Konsultasi Publik tidak hanya untuk orang Papua asli saja, melainkan orang pendatang  yang disebut dengan kelompok strategis yang sudah lama tinggal di Papua bahkan lahir dan besar di Papua juga dimintai pendapatnya  terkait Dialog Jakarta Papua, dan kelompok  ini  menerima dengan berbagai ragam pendapat dan jadi pergumulan JDP untuk mencari bentuk yang pas, yang jelas ada perkembangan baik driseluruh Proses Konsultasi Publik menuju Dialog. ( Ven/don)

Jumat, 25 Maret 2011 16:17

, , ,

OPM Jangan Dilupakan

Thaha: Terkait Pembentukan JDP  untuk Percepat Dialog Jakarta—Papua

Sekretaris Presidium Dewan Papua (PDP) Thaha AlhamidJAYAPURA—Sekjend Presidium Dewan Papua (PDP) Thaha Alhamid,  menanggapi  positif agenda utama Jaringan Damai Papua (JDP) untuk menyelesaikan masalah Papua melalui Dialog Jakarta—Papua,  maka perlu melibatkan semua tokoh dan pejuang Papua merdeka,  baik yang ada di  Tanah Papua maupun  di luar negeri. “Jangan sampai tak melibatkan  tokoh- tokoh  dan pejuang TPN/OPM  yang kini masih berjuang di hutan- hutan di Tanah Papua dan di luar negeri,” demikian Thaha Alhamid ketika dikonfirmasi di Jayapura, Minggu (27/3) terkait  curahan hati yang disampaikan  Koordinator JDP Pastor Neles Tebay bahwa wakil TPN/OPM belum  dilibatkan di JDP sebagaimana dilansir Bintang Papua pada Sabtu (26/3).  Menurutnya,  belum dilibatkannya wakil TPN/OPM kedalam JDP  merupakan salah satu soal  berat sekaligus tantangan bagi pihak JDP karena wakil TPN/OPM masih terus berjuang di belantara hutan Papua.  Pasalnya,  kepemimpinan TPN/OPM ada juga di luar negeri  tapi ada juga ada yang di hutan. “Ini adalah proses komunikasi. Saya mengerti bahwa itu berat   tapi tak berarti bahwa mereka  tak bakal terwakili di JDP,” katanya sekaligus menambahkan dirinya yakin  JDP sanggup menata  proses proses yang baik menuju pelibatan suara dari TPN/OPM karena di Kongres Rakyat Papua 2001 suara dari TPN/OPM juga bisa tersalurkan.”

Dia mengatakan,  TPN/OPM memiliki kelompok kelompok yang cukup banyak tapi  bukan merupakan suatu alasan suara TPN/OPM tak didengar atau tak tertampung sembari mengingatkan  resolusi PBB juga menjelaskan bahwa ketertinggalan suatu komunitas  yang disebabkan letak geografis maupun sosial  budaya bukan  alasan TPN/OPM  kehilangan hak politik.  “Bahwa  TPN/OPM belum terwakili ya tapi dari proses komunikasi saya percaya terutama tatkala ada even terjadi Papua Internal Dialog TPN/OPM akan terwakili,” ungkapnya.

Dia mengutarakan, semua  pihak mesti memahami bahwa dialog atau perjuangan damai merupakan platform dan kesepakatan rakyat Papua sejak Kongres Rakyat Papua II yang menetapkan  bahwa perjuangan Papua   harus dilakukan secara damai (peacefull) kemudian perjuangan damai itu senantiasa mengedepankan dialog. Pasalnya, pihaknya sadar  bahwa ujung dari perang itu dialog sehingga semua tokoh tokoh pejuang Papua tak semata mata mesti menguras tenaga serta melakukan  tindakan yang keliru.

“Yang kita kedepankan itu bukan perang  tapi dialog atau perjuangan damai,” tuturnya.
Karena itu, tambahnya, pihaknya menyambut positif ada jaringan, ada komunikasi, ada civil society serta ada inisiatif baik dari LIPI, tapi juga dari JDP untuk mengembangkan pendekatan pendekatan dalam perspektif dialog itu. Pasalnya, pihak memahami perjuangan tersebut tak gampang. Pertama, mesti ada semacam konstruksi dialog internal Papua. Artinya, semua orang Papua yang ada di hutan, yang ada di luar negeri serta yang ada dimanapun berhak ikut dilibatkan dan didengar suaranya tentang dialog. Kedua, semua orang Papua yang ada di Tanah Air ini tak perlu dilihat dari  latar belakangnya tapi semua orang Papua harus duduk bersama  dan menyampaikan  pandangannya tentang apa yang ingin  didialogkan. Tapi dialog sebagai sebuah media perjuangan harus diterima. Ketiga, JDP telah melakukan langka komunikatif dengan pelbagai lapisan baik didalan maupun di luar negeri untuk mempersiapkan proses dialog itu sendiri sekaligus melakukan pendekatan bersama pemerintah pusat di Jakarta.

Dia mengatakan, apabila ingin  menuju terjadinya suatu proses dialog maka dibutuhkan penjembatanan penjembatanan hubungan didalam perspektif politik walaupun acapkali menuai pro kontra serta penolakan dari masyarakat, tapi hal ini perlu dibahas, diicarakan serta dikuatkan terus menerus. “Saya yakin JDP bukan perpanjangan tangan dan bukan subordinat dari pemerintah pusat, tapi mereka adalah tokoh tokoh civil sociaty yang mencoba mencari jalan tengah. Dialog diseluruh muka  bumi ini menjadi sesuatu yang hendaknya dihargai semua pihak,” imbuhnya.  (mdc/don)

Minggu, 27 Maret 2011 16:42

, ,

Isu Merdeka Hanya Melelahkan

Nicholas MesetJAYAPURA—Penolakan UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otsus Papua yang kemudian memunculkan wacana referendum, dinilai sebagai eforia yang berlebihan. Pasalnya Mahkamah Internasional telah mengakui Pepera 1969 sah.

“Referendum dan mau merdeka, itu hal yang panjang dan melelahkan, lebih baik kita maksimalkan Otsus yang ada ini,” tegas eks Tokoh Organisasi Papua Merdeka (OPM) Nicholas Meset belum lama ini di Jayapura menyikapi penolakan UU Otsus Papua.

Meset mengatakan, isu untuk memerdekan Papua sudah tidak lagi menarik perhatian dunia internasional, hal ini terlihat dari keharmonisan Indonesia dengan negara tetangga, hubungan hubungan bilateral maupun mulitirateral yang semakin terbina.“Dunia tidak butah, banyak hal-hal yang menjadi persoalan dunia saat yang perlu dibicarakan dan diselesaikan yaitu HIV Aids, kekurangan pangan, air laut naik, terorisme dan banyak lagi persoalan,” ungkapnya.

Namun disisi lain, penolakan dari UU Otsus Papua itu, kata Meset, bertolak dari 8 tahun pemberlakuan UU Otsus Papua, tidak ada keseriusan Pemerintah Indonesia untuk membangun Papua. “Jakarta juga harus jujur dan serius kepada rakyat Papua, jangan setengah hati, biar rakyat ini percaya bahwa Indonesia mau bangun Papua,” singgungnya.

Menyinggung soal pengembalian Otsus Papua Meset mengatakan, pengembalian tersebut mestinya dipertimbangkan dengan matang, pasalnya pasca pengembalian Otsus Papua, Pemerintahan di Papua akan mengalami kemuduran. Yang artinya anggaran mulai terkuras, program pemberdayaan rakyat mulai berkurang dan banyak persoalan lain.

“Jadi otus sebenarnya tidak gagal yang menggagalkan Otsus adalah pemerintah daerah,” sebutnya.(hen)

Klaim TPN/OPM ‘yang Sah’, Gelar Jumpa Pers

Kamis, 08 Juli 2010 06:5, BintangPapua.com

Jayapura- Menyandang status OPM bukan lagi status yang menakutkan bagi seseorang. Belakangan ini justru sejumlah kelompok mulai bermunculan  mengklaim diri sebagai TPN/OPM yang sah.  Ironisnya lagi,  yang mengaku TPN/OPM tidak hanya berada di hutan-hutan belantara, namun  juga sudah ada di kota.

Ya, perjuangan sparatisme yang dilakukan oleh kelompok yang menamakan diri TPN/OPM, kini berada di Kota. Hal itu diungkapkan Aleks Mebri yang mengaku sebagai Panglima Tertinggi TPN/OPM dalam kesempatan jumpan pers di Prima Garden, Rabu kemarin. “Sekarang ini TPN/OPM ada di Kota, kalau di hutan itu pengacau,” ungkapnya.

Dikatkan bahwa perjuangannya di kota atas kemerdekaan Papua tidak akan menjadikan negara dengan sistem parlemen, melainkan menggunakan sistem kerajaan yang dipimpin oleh seorang perdana menteri.

“Perdana mentrinya adalah Mama Persila Yakadewa yang baru kembali dari Roma dan wakilnya Luther Wrait,”  ungkapnya kepada wartawan.

Sedangkan Aleks Mebri sendiri ada panglima tertinggi. “Saya panglima tertingginya, dia (Jefri Warisu) ketua. Nantinya ada 36 Mentri dan 10 gubernur. Susunan kabinet ini sudah sampai ke PBB,” ungkapnya lagi.

Berbagai persiapan seperti mata uangnya dan lain-lainnyapun sudah ditetapkan. “Mata ungnya kita tetapkan Kisang, Bahasa Nasional Hai Tanahku Papua, Hari Nasional 1 Juli, Bendera Sang Pari,” lanjutnya.

Disinggung tentang kabinet yang dibentuk oleh kelompok TPN/OPM yang menunjuk Anton Tabuni sebagai presidennya, Alex Mebri menyatakan bahwa kabinet tersebut tidak berlaku. “Yang berlaku punya kami yang sudah sampai ke PBB,” ungkapnya. (cr-10)

Dokumen Pepera Terkuak

Bersama Dokumen  Lain Akan Diserahkan kepada Presiden SBY

pepera JAYAPURA—-Memanasnya aspirasi desakan referendum akhir-akhir ini, rupanya membuat hati keluarga para  pencetus Pepera meradang, untuk itu  mereka akhirnya secara terang-terangan mempublikasikan  dokumen sejarah Pepera itu kepada publik. Ya, dokumen sejarah Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat),  terkuak. Ternyata dokumen berharga itu, masih tersimpan rapi di rumah keluarga keturunan Stefanus Saberi, mantan Ketua Gerakan Merah Putih Provinsi Irian Jaya sesuai  SK No 35/TK/Thn 1968.   Dalam SK Gerakan Merah Putih Provinsi Irian Jaya tersebut tercatat sebagai pelindung adalah Pangdam XVII Cenderawasih Brigjen Sarwi Eddie Wibowo dan Muspida Provinsi Irian Jaya saat itu.

Pepera adalah referendum yang diadakan pada tahun 1969 untuk menentukan status daerah bagian barat Pulau Papua antara milik Belanda atau Indonesia. “Gejolak politik  yang akhir- akhir ini terjadi di Papua antara lain  tuntutan agar pemerintah Indonesia memberikan referendum bagi rakyat Papua untuk membentuk negara otonomi  terlepas dari induk semangnya  Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)  membuat keluarga keturunan Stefanus Samberi  mempublikasikan kepada rakyat Indonesia khususnya rakyat Papua,” ujar Yakobus D Affar, cucu tertua almarhum mendiang Stefanus Samberi  ketika menggelar jumpa pers di Restauran Bintang Laut, Kelurahan Entrop, Distrik Jayapura Selatan, Rabu (23/6) pagi.  Pasalnya, menurut  Affar, selama  sejumlah pihak selalu mengklaim bahwa  merekalah  pencetus Pepera, padahal dalam dokumen tersebut  dikatakan bahwa   Stefanus Samberi adalah  seorang pencetus masuknya Irian Jaya  ke pangkuan ibu pertiwi NKRI. “Dokumen otentik menyangkut sejarah Pepera kini masih tersimpan utuh di tangan saya. Semua kunci perjuangan Irian Jaya masuk ke NKRI ada ditangan saya,” tukas  Affar. Karena itu, lanjutnya, pihaknya minta agar pemerintah Indonesia segera meluruskan  sejarah Pepera yang tertuang dalam dokumen yang ditinggalkan Stefanus Samberi serta  minta pemerintah Indonesia melindungi  keluarga keturunan Stefanus Samberi di atas Tanah Papua.

“Melihat gejolak politik di Provinsi Papua antara lain rakyat Papua minta referendum, maka posisi kami terancam.  Saya minta pemerintah Indonesia harus segera meluruskan sejarah Pepera agar semua orang dapat memahami tokoh No 1 yang memasukan Irian Jaya ke NKRI adalah Stefanus Samberi,” tukasnya meneteskan air mata. “Saya  menyampaikan hal ini karena didukung bukti otentik  dari dokumen asli  peninggalan tete saya Stevanus Samberi. Saya hanya ingin menyampaikan  bahwa Mantan Ketua Gerakan Merah Putih  Provinsi Irian Jaya  saat Pepera hanya tete saya Stefanus Samberi bukan banyak orang sebagaimana yang diklain sejumlah pihak selama ini,” tukasnya seraya menunjukan dokumen asli peninggalan Stefanus Samberi.

Menurut Affar, pihaknya membuka dokumen sejarah Pepera kepada publik lantaran Nikolaus Youwe, Ketua Organisasi Papua Merdeka (OPM) telah  kembali ke Tanah Air setelah selama puluhan tahun tinggal di Negeri Belanda. Keberangkatan Nikolaus Youwe ke Negeri Belanda saat itu juga adalah berkat saran dari Stevanus Samberi.  Ketika Nikolaus Youwe tiba di Jayapura, maka ketika itu pula Yakobus Affar   berinisiatif meminta waktu untuk bertatap muka bersama Nikolaus Youwe hanya untuk  sekedar  menunjukkan foto dirinya dan Nikolaus Youwe tempo dulu sekaligus  memohon kepada Nikolaus Youwe  memfasilitasi agar keluarga almarhum mendiang Stefanus Samberi dapat bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Namun demikian, ujar Affar, permohonan untuk bertemu Nikolaus Youwe hingga kini tak pernah ditanggapi yang bersangkutan. Bahkan ia juga meminta bantuan Ondoafi  Gasper Sibi untuk mempertemukannya dengan Nikolaus Youwe. Tapi belum terealisasi hingga kini.  Maksud pertemuan dengan Presiden SBY, tambah  Affar, agar pihaknya dapat menunjukkan sebuah dokumen tentang sejarah Pepera.  Betapapun, sejarah Pepera mesti  diluruskan oleh pemerintah serta  rakyat Indonesia  khususnya  rakyat di Provinsi Papua. “Hal yang benar harus diungkapkan karena kebenarannya adalah diatas segalanya,” tukasnya.

“Karena sulit bertemu Nikolasu Youwe, makanya saya gelar jumpa pers agar dapat dipublikasikan kepada pemerintah dan rakyat Papua. Biar pemerintah Indonesia dapat membandingkan perjuangan tete Stevanus Youwe dengan Nikolaus Youwe” Sekedar diketahui, Stefanus  Samberi lahir di Serui 6 Juli 1935. Pada 9 Agustus 1976 di Jayapura ia diangkat menjadi Ketua Gerakan Merah Putih Provinsi Irian Jaya Almarhum Stefanus Samberi  meninggal  tahun 1983 ketika transit di Bandara  Hasanuddin Makasar  dalam penerbangan dari Jakarta menuju Jayapura. Kini jasad  Stevanus Samberi  dibaringkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Trikora, Waena. (mdc)

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny