Long march AMP dari Asrama Papua menuju tik nol. Foto: MS
Yogyakarta — Puluhan pemuda, masyarakat dan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) turun jalan melakukan aksi damai sebagai bentuk penolakan terhadap 33 Daerah Otonomi Baru (DOB), 3 provinsi dan 30 lainnya kabupaten/kota di tanah Papua.
Aksi damai dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) diawali dari Asrama Mahasiswa Papua, jalan Kusuma Negara. Massa yang diperkirakan ratusan orang melakukan long march ke titik nol (di depan kantor pos) Yogyakarta Senin (4/11/2013) siang.
Mengenakan pakaian berwarna hitam sebagai duka dan merah sebagai bentuk darah yang terus berlumuran di papua akibat pemekaran yang membludak. Sepanjang perjalanan, massa aksi dari wilayah Jawa tengah yang meliputi Yogyakarta, Solo dan Semarang diiringi dengan beberapa yel-yel diantaranya, Papua Merdeka, Tolak Pemekaran dan tarik Militer dari Papua.
Massa aksi juga membentangkah 2 buah spanduk yang bertuliskan
“Negara Bertanggung Jawab atas Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Papua” serta spanduk lainnya bertuliskan “Referendum Now for West Papua”
selain kedua spanduk, dalam aksi ini massa aksi dari AMP juga membawa belasan poster berukuran A2.
“Pemekaran memisahkan orang Papua, Pemekaran juga memisahkan mama-mama Papua, Pemekaran memisahkan mahasiswa Papua, ini jelas. Mereka secara terang-terangan memisahkan kita. Orang Papua semakin habis, pendatang semakin hari semakin meningkat di Papua,”
kata Alfridus Dumupa dalam orasinya.
“Hari ini terjadi pembantaian, terjadi pergeseran budaya, kami tidak pernah diam, untuk bicara yang benar atas hak-hak kami. Pemekaran hanya semata-mata untuk mendatangkan transmigrasi dan TNI/Polri guna mendiskriminasi orang Papua, Negara harus buka mata,”
ungkap Hery orator lainnya.
Sementara itu juru bicara aksi Mapen David kepada majalahselangkah.com mengatakan Pemekaran di Papua hanya kepentingan semata. Orang Papua tidak meminta pemekaran, namun, Negara memaksakan pemekaran itu di Papua.
“Maraknya pemekaran di Papua, secara tidak langsung kami ini menuju pada titik kepunahan. Itu hanya kepentingan NKRI sendiri terhadap tanah Papua, karena tidak ada evaluasi dalam pelaksanaan daerah otonomi baru di Papua, sehingga kami melihat ini merupakan sarat kepentingan dari pusat terhadap Papua,”
ungkapnya di sela-sela aksi.
“Kami melihat dengan jumlah penduduk di Papua itu sendiri saat ini sangat minim dibandingkn penduduk pendatang dari luar Papua, sekarang dimekarkan 33 pemekaran baru lagi, apakah itu layak?”
tanyanya.
Mapel juga menambahkan, dalam UU sudah mengatakan layak dimekarkan apabila dalam satu wilayah jumlah penduduknya minimal 60.000 jiwa. Namum di Papua tidak mencapai.
“Ini sama halnya dengan melanggar undang-undang yang dibuatnya sendiri dan dalam hal ini kami melihat bahwa ada kepentingan yang dimainkan dalam pengesahan pemekaran itu. Hadirnya kabupaten akan menambah jumlah pasukan di Papua dan akan terjadi Daerah operasi Militer (DOM) serta masyarakat asli akan terus terpinggirkan.”
Menurutnya, Pemekaran tidak membawa kesejahteraan bagi Papua tetapi itu akan menjadi pintu konflik bagi rakyat Papua menuju pemusnahan etnis melanesia.
“Sekarang saja penduduk asli menjadi minoritas di Papua, apalagi membuka daerah otonomi baru akan menambah penduduk dari luar Papua dan penduduk asli tetap akan menjadi minoritas di atas tanahnya sendiri bahkan semakin termarginalkan,”
kata David mengkritik.
Bukan hanya itu, massa aksi juga mendesak pemerintah rezim SBY-Boediono menarik militer dari Papua dan memberikan kebebasan yang seluas-luasnya untuk Papua. (MS/Mateus Ch. Auwe)
Yogyakarta – Guna menyikapi berbagai kasus Pelanggaran HAM dan kekerasan yang dilakukan oleh aparat Militer Indonesia ( TNI – Polri ) terhadap rakyat Papua yang terus menerus terjadi hingga saat ini, maka Mahasiswa Papua yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] berencana melakukan aksi serentak pada hari, Senin (21/10/2013 ) di beberapa kota di wilayah Jawa.
Aksi ini merupakan bentuk penyikapan yang dilakukan oleh Mahasiswa Papua yang berada di daerah Jawa atas tindakan kekerasan dan Pelanggaran HAM yang dilakukan Oleh aparat Militer Indonesia yang sedang bertugas di Papua. Dalam seruan aksi yang dikeluarakan AMP pada blog : ampjogja.blogspot.com, menyebutkan bahwa
” Dalam tahun 2013 ini, sudah terjadi beberapa kasus kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan militer (TNI/Polri) terhadap rakyat Papua. Dikabupaten Deiyai pada 1 Juni 2013 terjadi pembunuhan terhadap Yemi Pakage (16 tahun) oleh oknum Brimob, kemudian penganiayaan, penyiksaan terhadap Pontianus Madai (31 tahun) oleh Brimob pada 26 Juli 2013 yang dilakukan oleh 3 Oknum berpakaian Brimob dan 2 orang yang berpakaian preman. Lagi pada 23 September 2013 penembakan oleh aparat polisi dan brimob terhadap kerumunan warga dipasar wagete yang mengakibatkan siswa SMA atas nama Alpius Mote (18 tahun) tertembak dan meninggal dunia, dan Fransiscus Dogopia (27 tahun) anggota Satpol PP, mengalami luka tembak di punggung belakang, Aleks Mote (29 tahun) petani, mengalami luka tembak di kaki “.
Dengan melihat situasi ini maka, Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] mengajak seluruh elemen Rakyat Papua yang ada di wilayah Jawa untuk dapat terlibat dalam aksi penyikapan ini. [rk]
Warga Papua Pelompat Konsulat, Rofinus Yanggam (kiri), Yuvensius Goo (tengah) dan Markus Jerewon (kanan). Foto: The Guardian/Marni Cordell
Bali — Juru Bicara Internasional Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Rinto Kogoya, malam ini, Selasa, (08/10/13) dari Bali kepada majalahselangkah.com melalui telepon selulernya melaporkan, tiga aktivis Papua yangmemanjat pagar Konsulat Australia di Bali, Minggu, (06/10/13) itu dalam kondisi tidak aman.
“Kawan-kawan di sini dalam kondisi tidak aman. Di sini sudah diberlakukan operasi identitas. Semua asrama mahasiswa juga di-sweeping oleh keamanan adat di Bali, dibackup aparat. Belum ada keamanan yang pasti, sehingga kami tidak bisa konfirmasi keberadaan mereka secara pasti,” kata Rinto.
Tiga aktivis Papua, Markus Jerewon (29), Yuvensius Goo (22) dan Rofinus Yanggam (30), memanjat pagar Konsulat Australia Bali setinggi dua meter pukul 03:20 waktu setempat. Mereka meninggalkan Konsulat Australia setelah pihak konsulat meminta mereka meninggalkan Konsulat sebelum pukul 07:00 waktu setempat.
“Tempat berlindung semakin sempit setelah mereka keluar. Bali kecil dan mudah diketahui. Kami sangat khawatir dengan keamanan mereka,” kata Rinto Kogoya.
Sementara, Markus Jerewon (29) ketika dihubungi media ini, hanya menjawab singkat. “Maaf, saya tidak bisa menjawab telepon, keadaan kurang baik,” katanya.
Dalam sebuah surat terbuka kepada rakyat Australia, yang diserahkan kepada staf konsulat pada hari Minggu pagi itu, tiga aktivis itu menulis, “Kami menulis untuk memberitahu Anda bahwa kami memasuki konsulat Australia di Bali untuk mencari perlindungan dan untuk memberikan pesan kepada para pemimpin APEC di Bali, Menteri Luar Negeri AS John Kerry, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe dan Perdana Menteri Australia Tony Abbott.”
“Kami ingin Menteri Luar Negeri AS John Kerry, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe dan Perdana Menteri Australia Tony Abbott membela hak-hak orang Papua. Dan, berbicara dengan pemerintah Indonesia untuk memperlakukan orang Papua dengan lebih baik. Pelanggaran HAM secara rutin kami alami,” tulis mereka seperti dikutip majalahselangkah.comdari The Guardian.
Diberitakan, kekhatiran tentang keamanan mereka disampaikan berbagai pihak di dalam dan luar negeri. Kekhatiran keamanan tiga aktivis dari berbagai pihak di Australia bisa dibaca di sini, klik.
Hingga malam ini, majalahselangkah.com belum berhasil mengonfirmasi pihak kepolisian di Bali terkait keamanan tiga aktivis ini. (GE/MS)
Seorang perempuan Papua sedang orasi dari Bundaran UGM, di depan aksi massa. Foto: Bastian.
Yogyakarta — Ratusan massa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) kota Yogyakarta, menggelar aksi damai dan mimbar bebas hari ini, Senin (15/07/2013), di Bundaran Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Aksi damai ini dilakukan guna memprotes PEPERA 1969 yang dinilai cacat hukum dan penuh rekayasa.
Pantauan majalahselangkah.com, massa awalnya berkumpul di depan Bundaran Universitas Gadjah Mada. Jam 10.00 WIB, demo dimulai dengan doa. Satu per satu dari mereka membawakan politik, menyanyikan yel-yel, dan menampilkan drama teater yang intinya memprotes kelaksanaan PEPERA 1969 silam.
Surya, koordinator pelaksanaan aksi damai ini, kepada www.majalahselangkah.com mengatakan, aksi AMP ini tidak hanya di Yogyakarta.
“Aksi demonstrasi ini dilakukan oleh AMP serentak dibeberapa kota di daerah Jawa guna memprotes pelaksanaan PEPERA pada tanggal 14 Juli 02 Agustus 1969, karena proses pelaksanaan PEPERA di Papua itu cacat hukum dan tidak sesuai dengan ketentuan Internasional dan perjanjian New York Agreement 15 Agustus 1962,”
kata Surya.
“Kami akan tetap dan terus berjuang untuk menyuarakan aspirasi rakyat West Papua yang telah dipaksa oleh Indonesia untuk bergabung bersama Indonesia dan kami tidak akan pernah berhenti berjuang selama Indonesia masih terus menjajah bangsa Papua,”
lanjutnya.
Ada 3 tuntutan yang diusung pada demonstrasi dari AMP. Pertama, AMP menuntut untuk diberikankebebasan dan hak menentukan nasib sendiri sebagai solusi demokratis bagi rakyat Papua.
Kedua, AMP menyerukan penutupan dan penghentian aktivitas eksploitasi semua perusahaan MultyNational Coorporation (MNC) milik negara-negara Imperialis; Freeport, BP, LNG Tangguh, Medco, Corindo juga MIFEE, dan lain-lain dari seluruh tanah Papua.
Ketiga, AMP dengan tegas menolak, dan menyerukan agar Indonesia nenarik Militer Indonesia (TNI-Polri) organik dan non organik dari seluruh tanah Papua untuk menghentikan segala bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan oleh negara Indonesia terhadap rakyat Papua.(Abraham Goo/Yakobus Dogomo/MS)
Massa Aksi Membentangkan Spanduk Tuntutan dan Poster Bendera Bintang Kejora Saat Aksi Di Yogyakarta (Doc:Umagi)
YOGYAKARTA– Ratusan Masa, tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua (Amp) Komite Kota Yogyakarta, Menggelar Akasi Mimbar bebas membawah Poster Bintang kejora, poster Tuntutan aksi, Empat Spanduk Besar. Protes keras terhadap PEPERA 1969 tidak demokratis dan Cacat Hukum dilakukan Indonesia pada Tahun 1969. Pusat Aksi depan Bundaran Universitas Gajahmada Yogyakarta (UGM-Y), pada senin (15/07/2013), aksi mimbar bebas dikawal Ketat oleh Kepolisian dan Intel Kapolres Sleman, dan Kapolsek setempat.
Perwakilan Gerakan Perempuan Papua Barat (GPPB), mengatakan kami di perkosa dan kami ditindas serta di tembak oleh militer (Tni-Polri) Indonesia, jadi kami mau bebas ingin merdeka sendiri, Tegas dalam Orasi Politiknya.
“Dalam aksi ini, Suria Y, selaku Kordinator aksi membacakan Peryataan sikap dengan Tegas Pepera 1969 tidak Demokratis!!! Hak Menentukan Nasib Sendiri Solusi Demokratis Bagi Rakyat Papua” Ungkapnya.
Kemudian, tuntutan aksi 1. Berikan Kebebasan dan Hak Menentukan Nasib Sendiri Sebagai Solusi Demokratis Bagi Rakyat Papua. 2. Menuntup dan menghentikan aktifitas eksploitasi semua perusahaan MNC milik negara-negara Imperialis ; Freeport, BP, LNG Tangguh, Medco, Corindo dan lain-lain dari seluruh Tanah Papua.3. Menarik Militer Indonesia (TNI-Polri) Organik dan Non Organik dari seluruh Tanah Papua untuk menghentikan segala bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan oleh negara Indonesia terhadap rakyat Papua.
Lalu, depan Jalan Bundaran UGM sempat macet selama 3 jam, karena masa aksi mengambil jalan untuk melakukan Prakmen Contoh proses Jalannya Pepera 1969 di Papua. ada yang menjadi Masyarakat Papua, ada juga menjadi Militer Indonesia serta Utusan PBB.
“Dalam menjelaskan tentang mulainya Pepera Sejak 14 Juli – 2 Agustus 1969 dan sebelumnya. Dari 809.337 orang Papua yang memiliki hak, hanya diwakili 1025 orang yang sebelumnya sudah dikarantina dan cuma 175 orang yang memberikan pendapat. Musyawarah untuk Mufakat melegitimasi Indonesia untuk melaksanakan PEPERA yang tidak demokratis, penuh teror, intimidasi dan manipulasi serta adanya pelanggaran HAM berat.
Selanjutnya hasil Pepera itu dinilai idak demokratis, maka masa aksi bakar bersama-sama, lanjut dengan Waita, Bese, lagu-lagu Papua. lanjut dengan Orasi Politik. aksi kali ini banyak terlihat polisi dikeliligi masa aksi dan di setiap mata jalan diarea kampus UGM di penuhi polis dan Bus, Mobil Motor Polisi, Sebanyak 300-orang, tetapi aksi berjalan aman dan lancar. (M/Andy)
“PEPERA 1969 Tidak Demokratis!!! Hak Menentukan Nasib Solusi Demokratis Bagi Rakyat Papua Barat”
Logo Aliansi Mahasiswa Papua [AMP]Perebutan wilayah Papua antara Belanda dan Indonesia pada dekade 1960an membawa kedua negara ini dalam perundingan yang kemudian dikenal dengan “New York Agreement/Perjanjian New York”. Perjanjian ini terdiri dari 29 Pasal yang mengatur 3 macam hal. Diantaranya Pasal 14-21 mengatur tentang “Penentuan Nasib Sendiri (Self Determination) yang didasarkan pada praktek Internasional yaitu satu orang satu suara (One Man One Vote)”. Dan pasal 12 dan 13 yang mengatur transfer Administrasi dari PBB kepada Indonesia, yang kemudian dilakukan pada 1 Mei 1963 dan oleh Indonesia dikatakan ‘Hari Integrasi’ atau kembalinya Papua Barat kedalam pangkuan NKRI.
Kemudian pada 30 September 1962 dikeluarkan “Roma Agreement/Perjanjian Roma” yang intinya Indonesia mendorong pembangunan dan mempersiapkan pelaksanaan Act of Free Choice (Tindakan Pilih Bebas) di Papua pada tahun 1969. Namun dalam prakteknya, Indonesia memobilisasi Militer secara besar-besaran ke Papua untuk meredam gerakan Pro-Merdeka rakyat Papua. Operasi Khusus (OPSUS) yang diketua Ali Murtopo dilakuakan untuk memenangkan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) diikuti operasi militer lainnya yaitu Operasi Sadar, Operasi Bhratayudha, Operasi Wibawa dan Operasi Pamungkas. Akibat dari operasi-operasi ini terjadi pelanggaran HAM yang luar biasa besar, yakni penangkapan, penahanan, pembunuhan, manipulasi hak politik rakyat Papua, pelecehan seksual dan pelecehan kebudayaan dalam kurun waktu 6 tahun.
Lebih ironis lagi, tanggal 7 April 1967 Kontrak Karya Pertama Freeport McMoran, perusahaan tambang milik Negara Imperialis Amerika dengan pemerintahan rezim fasis Soeharto dilakukan. Yang mana klaim atas wilayah Papua sudah dilakukan oleh Indonesia jauh 2 tahun sebelum PEPERA dilakukan. Sehingga sudah dapat dipastikan, bagaimanapun caranya dan apapun alasannya Papua harus masuk dalam kekuasaan Indonesia.
Tepat 14 Juli – 2 Agustus 1969, PEPERA dilakukan. Dari 809.337 orang Papua yang memiliki hak, hanya diwakili 1025 orang yang sebelumnya sudah dikarantina dan cuma 175 orang yang memberikan pendapat. Musyawarah untuk Mufakat melegitimasi Indonesia untuk melaksanakan PEPERA yang tidak demokratis, penuh teror, intimidasi dan manipulasi serta adanya pelanggaran HAM berat.
Praktek yang kemudian diterapkan Indonesia hingga saat ini untuk meredam aspirasi prokemerdekaan Papua. Militer menjadi tameng yang reaksioner dan kesenjangan sosial/kesejahteraan menjadi alasan untuk menutupi aspirasi kemerdekaan rakyat Papua dari pandangan luas rakyat Indonesia dan masyarakat Internasional.
Didasari kenyataan sejarah akan hak politik rakyat Papua yang dibungkam dan keinginan yang mulia rakyat Papua untuk bebas dan merdeka diatas Tanah Airnya, maka dalam peringatan 44 tahun PEPERA yang tidak demokratis, Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] menuntut rezim fasis SBY-Boediono dan PBB untuk segera ;
1. Berikan Kebebasan dan Hak Menentukan Nasib Sendiri Sebagai Solusi Demokratis Bagi Rakyat Papua.
2. Menuntup dan menghentikan aktifitas eksploitasi semua perusahaan Multy National Coorporation (MNC) milik negara-negara Imperialis ; Freeport, BP, LNG Tangguh, Medco, Corindo dan lain-lain dari seluruh Tanah Papua.
3. Menarik Militer Indonesia (TNI-Polri) Organik dan Non Organik dari seluruh Tanah Papua untuk menghentikan segala bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan oleh negara Indonesia terhadap rakyat Papua.
Demikian pernyataan sikap ini dibuat, kami akan terus menyuarakan perlawanan atas segala bentuk penjajahan, penindasan dan penghisapan terhadap rakyat dan Tanah Air Papua hingga rakyat Papua memperoleh kemenangan sejati.
Biak – Buchtar Tabuni Ketua Parlemen Nasional West Papua (PNWP) berada di Kota pulau Biak untuk bersama KNPB Biak melakukan sosialisasi atau menyampaikan hasil keputusan MSG tentang West Papua dari kampung ke kampung.
Minggu ini ( tanggal 10-14 July 2013) Buchtar Tabuni dan KNPB Biak akan berada di pulau Numfor untuk melakukan pertemuan dengan rakyat pulau Numfor secara terbuka.
Buchtar Tabuni saat di Airport Biak untuk berangkat ke Numfor mengatakan agenda yang saya dan KNPB Biak akan sampaikan kepada rakyat pulau Numfor adalah seputar keputusan MSG tentang West Papua dan mengajak rakyat untuk menyambut kedatangan misi MSG ke West Papua dengan budaya Papua yang mana merupakan kebudayaan Melanesia. Dan juga akan menyampaikan kepada rakyat untuk menyambut rencana pembukaan Kantor Papua Merdeka di Belanda pada Agustus mendatang serta kunjungan-kunjungan tuan Benny Wenda ketua diplomasi international West Papua ke sejumlah negara baru-baru ini.
Yulianus Mandowen Koordinator KNPB pulau Numfor via hand phone pagi ini mengatakan rakyat pulau Numfor sangat respon untuk kedatangan Buchtar Tabuni ke Numfor. Kami sudah distribusikan undangan kepada rakyat dari kampung ke kampung untuk hadir pada acara ini. Saat ini kami sedang mobilisasi rakyat ke Airport Numfor untuk menyambut kedatangan Buchtar Tabuni dengan tari-tarian, (Ser)
Selpius Bobi, salah tahanan politik Papua (Foto: Ist)
Papua Barat semakin terkenal di Manca Negara bahkan tercatat dalam dokumen Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) karena adanya “Konspirasi Kepentingan” dari berbagai pihak. Konspirasi Kepentingan, baik skala Internasional, nasional dan lokal makin tumbuh subur di tanah Papua. Berbagai Konspirasi Kepentingan dari skala terbesar sampai terkecil dapat terjadi karena ada daya tarik khusus yang dimiliki di tanah Papua Barat.
Daya tarik itu terbagi ke dalam tiga kategori, yaitu. Pertama, tanah air Papua Barat yang alamnya subur dan indah. Tanah Papua memiliki panaroma alam yang indah menawan. Memiliki dataran lembah dan bukit membentang hijau, deretan gunung menjulang tinggi nan hijau, pantai pasir dihiasi nyiur pantai melambai lambai dihempas angin, lautan biru membentang dan ombak memecah di bibir pantai. Tanah Papua juga memiliki banyak marga satwa khusus, diantaranya burung Cenderawasih (bird paradise) serta burung mabruk (bird victoria).
Orang Papua terpesona dengan keindahan alam Papua. Banyak lagu diciptakan untuk melukiskan keindahan alam Papua. Seperti syair lagu berikut ini: “Tanah Papua bagai Surga yang jatuh ke bumi”. Keindahan alam Papua Barat yang asri itu menjadi daya tarik tersendiri bagi berbagai orang dari luar Papua datang dan pergi serta menetap di tanah Papua.
Kedua, menyimpan sumber daya alam yang tiada bandingnya dengan pulau pulau dan benua-benua lain di dunia. Tanah Papua terkenal karena kekayaan alamnya, diantaranya adalah kandungan emas dan tembaga, serta minyak bumi. Bergunung-gunung emas dan tembaga tersimpan dalam ibu bumi Papua. Dan masih banyak sumber daya alam lainnya diam membisu dalam tanah air Papua Barat.
Sumber Daya Alam Papua Barat itu menjadi daya tarik bagi berbagai pihak dari luar Tanah Papua berdatangan dengan tujuan mengambil kekayaan alam dengan cara legal dan illegal.
Ketiga, dihuni oleh sekitar 273 suku yang memiliki kebudayaan yang khas dan unik. Suku suku bangsa Papua Barat tersebar dalam tujuh wilayah adat. Pembagian tujuh wilayah adat itu dibagi atas pertimbangan kesamaan karakteristik suku-suku pribumi Papua Barat. Pembagian itu dilakukan pada jaman kekuasaan pemerintahan Belanda, dengan tujuan jangka panjang yaitu pemetaan wilayah adminitrasi pemerintahan dan rencana pengembangan pembangunan, yang berorientasi sesuai dengan karakteristik suku suku di tujuh wilayah adat.
Tujuh wilayah adat memiliki kebudayaan yang amat khas dan unik. Di antara suku-suku, ada tradisi yang hampir serupa tetapi tak sama. Kekhasan budaya suku suku di Tanah Papua yang unik itu memberi ketertarikan bagi para pengunjung, baik lokal, nasional dan internasional.
Dari tiga kategori ketertarikan di Tanah Papua, daya tarik yang paling utama dan terutama adalah daya tarik kategori kedua yaitu “ketertarikan pada kekayaan alam Papua”. Tanah Papua dilirik oleh berbagai negara, khususnya Belanda, Amerika, Inggris, dan Jepang serta Indonesia.
Bangsa Papua Barat menjadi korban konspirasi kepentingan dari pangkuan ke pangkuan. Dari Pangkuan Belanda ke Pangkuan United Nation Temporary Executive Autority (UNTEA), dan dari Pangkuan UNTEA ke Pangkuan NKRI. Sejarah mencatat bahwa Papua Barat menjadi Zona Konspirasi berbagai Kepentingan.
Untuk menguasai tanah air dan merampas kekayaan alam Papua yang terkandung di dalamnya, timbul berbagai persaingan konspirasi kepentingan ekonomi dan politik semata. Perebutan Tanah Papua oleh pihak pihak asing dan Indonesia dengan rakyat bangsa Papua telah memakan korban materi, waktu, tenaga dan bahkan korban manusia yang tidak sedikit.
Tanah Papua terkenal di manca negara bukan saja karena PT Freeport di Timika menjadi dapur tambang tembaga dan emas urutan ketiga di dunia, tetapi juga Papua Barat terkenal di dunia karena menjadi Dapur Konflik. Sejak kedaulatan bangsa Papua dianeksasi ke dalam NKRI (1 Mei 1963) sampai detik ini Papua Barat terus membara dengan berbagai konflik.
Konflik yang berkepanjangan ini terjadi akibat dari berbagai konspirasi kepetingan itu. Untuk mencapai kepentingan ekonomi dan politik, Negara Indonesia dan Amerika Serikat bersekongkol untuk merebut Tanah Papua Barat dari pangkuan Belanda ke pangkuan NKRI. Kepentingan Amerika Serikat berfokus pada penguasaan ekonomi dan keamanan kawasan. Sedangkan kepentingan Indonesia adalah berfokus pada kekuasaan politik (perluasan wilayah), artinya ketertarikan pada tanah air Papua Barat dan sumber daya alamnya (kepentingan ekonomi).
Kepentingan Amerika Serikat terpenuhi ketika tanda tangan MoU tentang Operasi Tambang Freeport di Timika antara RI dan AS pada tahun 1967. Dengan adanya tanda tangan perjanjian ini, maka langkah ini memuluskan klaim atas Papua Barat oleh RI melalui refrendum yang tidak bebas dan tidak sesuai dengan hukum Internasional (cacat secara moral dan hukum) yang digelar pada tahun 1969.
Tanda tangan MoU antara AS dan RI untuk pembukaan tambang Freeport di Timika – Papua Barat sudah terbukti bahwa motivasi awal Amerika Serikat membantu Negara Indonesia menganeksasi bangsa Papua ke dalam NKRI adalah kepentingan ekonomi.
Ada pula kepentingan lain yaitu mengamankan kepentingan Amerika Serikat di kawasan Asia dan Pasifik dari pengaruh Negara Komunis (Rusia). Intervensi Amerika Serikat atas sengketa antara Indonesia dan Belanda terjadi karena adanya upaya RI untuk memanfaatkan perang dingin antara Rusia dan Amerika Serikat. RI memulai kerja sama dengan Rusia, khususnya dalam bidang pertahanan keamanan dengan membeli peralatan perang dari Rusia untuk menghadapi Belanda merebut tanah Papua Barat.
Strategi politik RI memang berhasil. Amerika Serikat tidak mau membiarkan musuhnya (Rusia) menguasai kawasan Asia dan Pasifik. Amerika Serikat mengintervensi sengketa Papua Barat antara RI dan Belanda. Intervensi AS dilakukan dengan tujuan RI memutuskan hubungan kerja sama dengan Rusia karena AS ambil alih secara politik untuk menyelesaikan sengketa atas Papua Barat. Dengan jalan itu, AS mempertahankan kawasan Asia dan Pasifik terbebas dari pengaruh komunis (Rusia) dan dengan itu dapat menyelamatkan kepentingan ekonomi serta keamanan AS.
Strategi Politik yang digunakan AS adalah bersekongkol dengan RI. Kemudian AS menekan Ratu Belanda melalui misi utusan presiden J. F. Kennedy dan menunjuk mantan Duta Besar AS untuk PBB (Bunker) untuk mempersiapkan sebuah proposal sebagai Road Map (peta jalan) bagi penyelesaian sengketa antara Belanda dan RI soal Papua Barat. Dalam waktu yang bersamaan, Amerika Serikat juga mempengaruhi PBB untuk mengintervensi sengketa itu.
Belanda sebelumnya mengharapkan dukungan dari Australia, Inggris dan khusus Amerika Serikat untuk mempertahankan Papua di bawah kekuasaan Belanda, ternyata Amerika Serikat melakukan manufer politik yang tidak pernah dibayangkan oleh Belanda. Inggris dan Australia pun tidak ada reaksi.
Akhir dari babak sengketa antara RI dan Belanda itu, menggelar pertemuan yang dimediasi oleh PBB atas skenario Amerika Serikat. Dalam pertemuan itu, AS meloloskan proposal yang disiapkan oleh Bunker dan diterima sebagai Road Map bagi penyelesaian sengketa atas Papua Barat. Proposal itu ditingkatkan menjadi suatu perjanjian antara RI dan Belanda. Dan ditanda tangani oleh kedua belah pihak (Belanda – RI) yang disaksikan oleh PBB, tanpa melibatkan wakil rakyat bangsa Papua. Kemudian peristiwa itu dikenal dengan sebutan New York Agreement 15 Agustus 1962. Dengan adanya perjanjian itu, maka Belanda tidak memiliki kekuasaan untuk mempertahankan Papua Barat dan dengan demikian tidak akan dapat menjawab janji Belanda untuk Papua berdaulat penuh.
Belanda menyerahkan kekuasaan adminitrasi pemerintahan kepada badan PBB (UNTEA) dan pada 01 Mei 1963, UNTEA menyerahkan kekuasaan adminitrasi pemerintahan Papua ke RI untuk mempersiapkan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) bagi orang Papua untuk menentukan masa depan hidup dan bangsanya. Namun, Penentuan Pendapat Rakyat Papua dengan sistem satu orang satu suara (one man one voice) diubah oleh RI dengan sistem perwakilan. Untuk itu dibentuklah sebuah badan yang diberi nama Dewan Musyawarah PEPERA.
Hanya 1026 orang Papua yang dipilih RI untuk menentukan nasib bangsa Papua mewakili 800.000 lebih orang Papua. Sebelumnya, para wakil orang Papua dibawa ke Jawa. Di sana mereka tinggal di hotel hotel berbintang dan RI mempersiapkan Wanita Seks Komersial (WSK). Para wakil orang Papua itu terbuai dengan kenikmatan sesaat dan pada saat pulang, mereka diberi sejumlah uang dan peralatan, seperti radio.
Setelah kembali, mereka ditampung di kamp khusus untuk mendoktrin dan memaksa mereka untuk menyatakan Papua bergabung ke dalam NKRI. Pada puncaknya, di bawah pemaksaan teror dan intimidasi, para wakil orang Papua yang berjumlah 1026 diberi kesempatan untuk menyatakan pilihannya.
Dari 1026 orang Papua, satu orang tidak sempat hadir karena sakit, sementara satu orang di Fak Fak menyatakan menolak NKRI dan memilih Papua merdeka penuh. Pemerintah Indonesia kecolongan dengan kejadian itu, maka para pemilih selanjutnya diintimidasi dan didoktrin secara keras dan dengan pengawasan ketat oleh militer, 1024 orang Papua sisanya memilih menyatakan Papua menjadi bagian dari teritorial Indonesia.
Kemenangan NKRI dalam PEPERA itu bukan kemenangan atas penegakan supremasi hukum, demokrasi, keadilan, kebenaran, kejujuran, hak asasi manusia dan kedamaian; tetapi kemenangan atas kekerasan (cacat moral) dan sewenang-wenang/rekayasa (cacat hukum/illegal).
Kegagalan Indonesia dalam melaksanakan Perjanjian New York, dilaporkan oleh wakil khusus PBB, Ortisan dalam sidang umum PBB. Walaupun sekitar 15 Negara anggota PBB menolak dan keluar dari ruang sidang, namun hasil PEPERA itu, PBB mencatat bahwa perjanjian New York 15 Agustus 1962 telah selesai dilaksanakan.
Dalam proses aneksasi Papua ke dalam NKRI, terbukti bahwa Amerika Serikat memainkan peranan yang luar biasa. Tanpa adanya bantuan AS, RI pasti mengalami hambatan melawan Belanda yang memiki peralatan perang modern. Namun, kepentingan ekonomi dan keamanan di kawasan Asia – Pasifik diutamakan dan menjadi paling penting bagi Amerika Serikat. Dua kepentingan inilah yang ditegakkan dan diwujudkan, sedangkan nilai nilai luhur, seperti menegakkan supremasi hukum Internasional, demokrasi, Hak Asasi Manusia, keadilan, kebenaran, kejujuran dan kedamaian diabaikan dan dikalahkan untuk mencapai kepentingan AS dan RI.
Itulah yang disebut Konspirasi Kepentingan Internasional atas aneksasi Bangsa Papua ke dalam NKRI secara sepihak melalui invasi politik dan militer. Untuk mengamankan kedua kepentingan Amerika Serikat itu, maka hak asasi politik Bangsa Papua (kemerdekaan Papua Barat) dikorbankan dan secara sepihak bangsa Papua digadaikan kepada Negara Indonesia.
Setelah bangsa Papua Barat dipaksakan bergabung dengan NKRI, konspirasi kepentingan Internasional semakin kokoh di Tanah Papua. Konspirasi itu diwujudkan dalam kerja sama bilateral dan multi-lateral. Kerja sama dalam bidang pertambangan dan perdagangan menjadi benteng pertahanan Papua Barat dalam bingkai NKRI.
Misalnya, PT Freeport di Timika – Papua Barat adalah perusaan tambang emas dan tembaga terbesar urutan ke tiga di dunia. Pemilik PT Freeport adalah J. B Mofet, pengusaha terbesar di Amerika Serikat. Puluhan negara-negara telah menanam saham di perusahaan raksasa ini. PT Freeport di Timika memberi penghasilan terbesar bagi gedung putih di Amerika Serikat dan sisanya terbagi-bagi di negara-negara pemilik saham di PT Freeport Timika. Perusahaan tambang lainnya adalah tambang minyak di Bintuni dan di Sorong (LNG Tangguh). Dua tambang terbesar ini dikelolah oleh Inggris atas kerja sama RI. Ada pula negara-negara lain menanam saham di dua perusaan tambang minyak ini. Selain tambang tambang ini, masih banyak perusahaan berskala sedang dan kecil berinventasi di Papua Barat.
Papua Barat menjadi dapur dunia. Kerja sama Inventasi dibidang tambang, perdagangan serta energi menjadi posisi tawar Indonesia untuk mempertahankan Papua Barat dalam bingkai NKRI.
Kampanye dan lobi-lobi agar Papua Barat berdaulat penuh, terhalang karena negara-negara di dunia lebih memilih mementingkan kerja sama bilateral dan multi-lateral dalam berbagai bidang dengan Negara Indonesia. Khususnya untuk di Tanah Papua menjadi wilayah yang sangat menjanjikan bagi investasi tambang Internasional. Maka dampaknya bangsa Papua terus menjadi korban konspirasi kepentingan internasional.
Selain itu, Bangsa Papua Barat menjadi korban konspirasi Nasional Indonesia. Tujuan menganeksasi bangsa Papua Barat ke dalam NKRI, hanya karena tertarik pada tanah air dan kekayaan alam Papua. Demi mengambil Emas, Mas (orang Papua) dimarginalisasi, didiskriminasi, diminoritasi, dibunuh secara langsung maupun tidak langsung dan akibatnya sedang menuju kepunahan etnis.
Penerapan Undang-undang (UU) nomor 12 tahun 1969 tentang Otonomi Luas dan Real , yang selanjutnya diubah dalam UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, dan kini sedang diubah ke dalam UU Otsus Plus atau UU Pemerintahan Papua adalah konspirasi kepentingan Nasional yang berdimensi multi nasional karena paket-paket politik Jakarta ini didukung oleh negara-negara di dunia. Bahkan ada pula negara di dunia yang menjadi donatur untuk mendukung paket paket politik Jakarta untuk diterapkan di tanah Papua Barat, walaupun bangsa Papua menolak semua paket politik ini.
Bangsa Papua Barat juga menjadi korban Konspirasi Kepentingan Lokal. Kategori konspirasi ini dibagi ke dalam dua yaitu dibuat oleh masyarakat migrant dan orang Papua tertentu. Masyarakat pendatang dari luar Papua yang bermukim di tanah Papua memainkan peran untuk bekerja sama dengan RI dan negara lain melalui berbagai bidang kehidupan. Selain itu, pusat-pusat kota dan perekonomian di Tanah Papua telah di kuasai oleh masyarakat migrant. Masyarakat setempat berjualan di pinggir jalan dan di dekat pinggir tokoh, serta di pinggir pasar yang dibangun Pemerintah.
Ada pula orang Asli Papua tertentu menjadi agent konspirasi kepentingan lokal yang berdimensi konspirasi kepentingan nasional dan internasional, hanya untuk memenuhi kenikmatan sesaat. Orang asli Papua tertentu yang menjadi agent konspirasi ini bermain di berbagai bidang kehidupan, antara lain ada yang menjadi perintis jalan untuk membuka investasi tambang, ada yang bertindak sebagai agent mata mata (BIN), mereka menyusup masuk dalam organisasi perlawanan (musuh dalam selimut), ada yang menyusup masuk dalam LSM dan PNS, ada yang masuk dalam tubuh Gereja, ada yang menyusup masuk dalam akademisi, ada pula yang mendirikan organisasi untuk mempertahankan Papua dalam bingkai NKRI (seperti Barisan Merah Putih).
Masih banyak peran konspirasi kepentingan berskala internasional, nasional dan lokal diterapkan secara rapi dan sistematis, yang bertujuan untuk mempertahankan penjajahan NKRI dan para sekutunya, guna memperpanjang penindasan terhadap rakyat bangsa Papua Barat.
Konspirasi kepentingan internasional, nasional dan lokal itu melahirkan berbagai konflik yang berkepanjangan yang tidak ada ujung pangkalnya. Aktor pertama yang melahirkan konflik berkepanjangan adalah Negara Indonesia, Belanda, Amerika Serikat dan PBB, yang secara sepihak tanpa melibatkan orang asli Papua menganeksasi bangsa Papua ke dalam NKRI.
Akibat dari aneksasi kemerdekaan bangsa Papua ke dalam NKRI itu, telah melahirkan dua masalah turunan yakni pelanggaran HAM dan ketidak-adilan dalam berbagai dimensi bidang pembangunan, akibat turunannya adalah menciptakan marginalisasi, diskriminasi, minoritasi dan pemusnahan etnis Papua.
Untuk menyelamatkan bangsa Papua dari darurat kemanusiaan terselubung yang sangat mengerikan, maka kami meminta para aktor (RI, AS, Belanda dan PBB) harus bertanggung jawab. Keempat aktor ini terlibat penuh dalam aneksasi Papua ke dalam NKRI, maka keempat aktor ini harus bertanggung jawab untuk mengakhiri penjajahan dari NKRI dan para sekutunya di Tanah Papua Barat.
Untuk itu, segera menggelar perundingan tanpa syarat antara bangsa Indonesia dan Bangsa Papua, yang dimediasi oleh PBB, Belanda, Amerika Serikat dan atau negara lain yang netral untuk membahas tuntas semua masalah Papua dan menemukan solusi alternatif yang bermartabat.
Selpius Bobii adalah Ketua Umum Front PEPERA PB, juga sebagai Tawanan Politik Papua Merdeka di Penjara Abepura, Jayapura, Papua Barat.
Jayapura — “Rakyat Papua harus bersatu, rapatkan dan terus merapatkan barisan perlawanan,” begitu kata Usman Yogobi, ketua umum Solidaritas Hukum HAM dan Demokrasi Rakyat Papua (SHDRP) saat menggelar jumpa pers di Prima Garden, Senin, (08/07/2013) di Abepura, Jayapura.
Kepada www.majalahselangkah.com ketua SHDRP ini menjelaskan beberapa poin terkait persoalan di Papua yang menjadi perhatian SHDRP.
Pertama, ia meminta rakyat Papua agar mendukung dalam doa, karena pada 10 – 11 Juli, kata Yusman, akan ada pemeriksaan terhadap NKRI oleh PBB atas pelanggaran HAM Papua dari Swiss.
Kedua, Yusman juga menghimbau untuk memberi dukungan doa dari segenap rakyat Papua agar Papua diterima menjadi anggota MSG, yang dalam prosesnya, utusan MSG akan melawat Indonesia dan West Papua.
Ia juga menginformasikan kepada rakyat Papua, bahwa dalam rencana, ada kapal yang akan masuk ke Papua dalam waktu dekat ini, atas undangan Negara Federal Republik Papua Barat. Mengenai hal ini, Yusman minta dukungan doa dari rakyat Papua.
Dalam kesempatan ini, Yusman, mewakili bangsa Papua mengatakan menolak dengan sikap tegas terhadap keberadaan Otonami Khusus Plus. Menurutnya, Otsus, Otsus Plus, semua lahir karena keinginan orang Papua untuk merdeka atas dasar sejarah. Maka, kata dia, itu semua bukan solusi.
Satu-satunya solusi, kata Yusman, adalah pelurusan sejarah bangsa Papua terkait kebebasan berpendapat pada penentuan nasib sendiri bangsa Papua yang dimanipulasi RI.
Berkaitan dengan Otsus Plus, ia mengatakan, walau pemimpin rakyat Papua di pemerintahan penjajah Indonesia menerima, itu hanya demi implementasi yang bersifat politis, yang berusaha memadamkan keinginan murni dan asli bangsa Papua untuk menentukan nasib bangsa Papua sendiri di atas tanah airnya.
Mengaku atas nama rakyat Papua, ia juga sesalkan tindakan gubernur Papua, Lukas Enembe, yang membakar 4.000 porposal. Menurutnya, itu bentuk pemerintah menyegel pintu perhatian terhadap rakyat asli Papua yang biasa tidak tersentuh pembangunan di segala bidang, karena dalam prakteknya pembangunan dimonopoli orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Terakhir, ia meminta Militer RI (TNI Polri) harus belajar terkait HAM dahulu. Setelahnya, baru ia sarankan mereka datang ke Papua, agar mampu memahami dan menghargai kebebasan berpendapat orang Papua.
Ia mengatakan, orang Papua bukan bangsa kelas dua yang kebebasan berpendapatnya selalu dapat dihadapkan pada sistem represif militer Indonesia , penahanan, pembunuhan, dan penjara seenaknya, tanpa ada hukum yang mampu menjerat pelaku. (MS)
Logo Aliansi Mahasiswa Papua [ AMP ]Yogyakarta — Sambut 14 Juli, hari pertama PEPERA 1969 digelar, Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Komite Kota Yogyakarta menggelar diskusi publik seputar PEPERA di Yogyakarta, sore ini tadi, Kamis (4/7/2013).
Alfrid Dumupa yang memimpin diskusi ini mengatakan, AMP akan membuat diskusi dengan tema yang sama, seputar peristiwa PEPERA 1969 di beberapa tempat. Dan sore ini, kata dia, AMP memulainya dari asrama Dogiyai.
Sementara Rinto Kogoya, Ketua AMP Pusat, yang turut hadir pada diskusi ini mengatakan, diskusi serupa dibuat untuk membuka cakrawala berpikir bersama mengenai cara pandang yang sementara ini dibelokkan melalui doktrin lewat pendidikan dan sejarah yang diwariskan Indonesia kepada orang Papua.
Kata Kogoya, diskusi ini dibuat untuk mengatakan kepada semua sejarah sebelum, saat-saat dan sesudah PEPERA 1969 berlangsung.
Rinto juga menginformasikan, AMP akan mengunjungi asrama-asrama mahasiswa di Yogyakarta, dimulai dari hari ini, untuk diskusi serupa, sambil berharap, semua mahasiswa menyadari masalah status politik bangsa Papua adalah masalah bersama seluruh bangsa Papua.
AMP berencana menggelar seminar-seminar seputar PEPERA status politik tanah Papua di kampus-kampus, bersama mahasiswa, dan semua civitas akademika.
Sekedar untuk diketahui, AMP telah mulai membuat diskusi dengan tema yang sama di seantero tanah Jawa, melalui komite-komite kota AMP. (BT/MS)