Seruan KNPB Peringati 1 Mei 2013

Massa Rakyat Papua pada aksi KNPB tahun 2012 lalu. Foto: Dok MS
Massa Rakyat Papua pada aksi KNPB tahun 2012 lalu. Foto: Dok MS

Jayapura — Badan Pengurus Pusat, Komite Nasional Papua Barat (KNPB) menyeruhkan kepada rakyat Papua untuk memperingati  50 tahun bangsa Papua  intergerasi  ke dalam Indonesia  pada 1 Mei 2013  mendatang.

“Rakyat Papua, baik di luar maupun yang ada di atas tanah Papua agar segera mobilisasi massa rakyat Papua untuk mengenang dan memperingati 50 tahun pendudukan kolonial Indonesia di Papua dalam bentuk Aksi Damai, Ibadah dan atau Mimbar Bebas di Gereja atau di Lapangan Terbuka, pada tanggal 1 Mei 2013,”

tulis KNPB pada website resminya, Selasa, (23/04/14).

Seruan yang diketahui ketua umum KNPB,  Victor F. Yeimo  itu  meminta rakyat untuk  memperingati 1 Mei 2013 dengan dua tema utama.  Pertama,

“50th Indonesian Illegal Occupation in West Papua”

dan kedua, Indonesia Annexed West Papua Illegally; We Need the Right of Self-Determination.

Di tulis di sana, 1 Mei 1963, Indonesia secara ilegal menduduki wilayah Papua. Pada 1 Mei 2013 nanti, tepat sudah 50 tahun atau setengah abad lamanya Indonesia menganeksasi Papua kedalam NKRI. Pada tanggal itu, Indonesia akan berpesta pora merayakan kejayaannya membunuh, memperkosa, merampas, mencuri, dan menguasai tanah dan manusia Papua. Sedangkan rakyat Papua akan memperingatinya sebagai hari kedukaan nasional. Hari dimana Rakyat Papua mengenangnya sebagai hari awal penderitaan bangsa Papua.

“Selama 50 tahun, bangsa Papua meratapi hidup penuh penderitaan dalam kekuasaan penjajah Indonesia. Di atas negeri emas, anak negeri mati terkurap busung lapar. Migran luar (pendatang) seakan-akan menjadi penghuni, penguasa dan pemilik tanah Papua, sedang kami yang hitam keriting terpinggir, terpojok, terkucil, tertindas, terperangkap dalam rantai penguasa dan pendatang di atas tanah pusaka milik bangsa Papua,”

tulis KNPB pusat dalam seruan itu.

Lebih lanjut ditulis,

“Cukup sudah! Kami bukan bangsa budak, kami bangsa bermartabat. Kami tidak butuh Indonesia di Papua. Orang Papua tidak pernah mengundang apalagi menghendaki Indonesia untuk menginjakan kakinya diatas tanah Papua pada 1 Mei 1961. Kami tidak pernah berintegrasi dalam Indonesia, tetapi Indonesia menganeksasi bangsa Papua dengan paksa dibawah todongan senjata. Karena itu, pendudukan Indonesia diatas tanah Papua adalah ilegal sesuai hukum internasional dan berstatus PENJAJAH diatas tanah Papua.”

(GE/MS)

Rabu, 24 April 2013 00:56,MS

Bunuh Pejuang Papua, Tak Akan Selesaikan Masalah

Anggota DPR RI Asal Papua, Diaz Gwijangge. (Jubi/Arjuna)
Anggota DPR RI Asal Papua, Diaz Gwijangge. (Jubi/Arjuna)

Jayapura – Anggota DPR RI asal Papua, Diaz Gwijangge menegaskan dirinya tak setuju jika pimpinan tertinggi OPM, Goliat Tabuni dinyatakan DPO. Membunuh para tokoh pejuang Papua tak akan menyelesaikan masalah.

“Saya tak setuju jika Goliat Tabuni dikatakan DOP agar dia bisa dibunuh, karena itu tidak akan menyelesaikan masalah. Beberapa tokoh pejuang Papua Merdeka seperti They Eluay, Keli Kwalik hingga Mako Tabuni dibunuh, tapi masalah tidak selesai. Meski para pejuang ini meninggal, isu Papua merdeka tetap ada,”

kata Diaz Gwijangge, Senin (8/4).

Menurutnya, tidak ada yang memaksa orang Papua berteriak merdeka. Itu adalah ideologi politik orang Papua sendiri, sehingga penyelesaiannya juga harus dengan cara politik. Lewat dialog atau apapun namanya yang penting kedua pihak duduk bersama.

“Kita tidak usa baku tipu. Kita sudah melihat apa yang terjadi di Timor Leste. Jika Aparat melalukan hal-hal tersebut, maka bisa dikata ada genoside di Papua. Jadi saya pikir Kapolda harus jeli melihat masalah ini. Jangan langsung menuding dan menjadikan sesorang DPO. Ada prosedur yang harus dilakukan. Negara harus menjamin hak hidup setiap orang. Yang bisa mengambil nyawa manusia hanya Tuhan, bukan manusia,”

ujarnya.

Dikatakan, menyelesaikan masalah Papua harus tuntas. Tidak hanya sepotong-sepotong. Apalagi sudah ada etika yang baik dari orang asli Papua untuk selesaikan masalah Papua. Jaringan Damai Papua (JDP) sudah mendorong dialog, itu harus segera direspon baik oleh pemerintah RI dan melibatkan mereka yang dikatakan OPM untuk dialog.

“Aceh dan Papua statusnya sama. Tidak ada bedanya. Bahkan GAM Aceh bisa dikatakan peralatan dan struktur mereka tertata baik. Lalu kenapa Aceh bisa diselesaikan lewat perjanjian Helsinkin. Lalu Papua tidak bisa? Berarti ada diskriminasi,”

kata dia lagi.

Selain itu dikatakan, ada dua kebijakan pemerintah yang keliru di Papua. Orang Papua diberikan Otsus tapi ternyata dalam penerapannya pusat tidak konsisten. Pusat juga memberikan pemekaran seenaknya untuk Papua dan ini kerap menimbulkan konflik antara sesama orang asli Papua.

“Jadi harusnya pemerintah dan orang asli Papua duduk bersama untuk dialog. Bahkan jika perlu ada pihak ketiga seperti GAM lalu. Kenapa Papua tidak bisa begitu, sementara Aceh bisa? Pemerintah seolah tidak serius menyeselesaikan masalah Papua sehingga terus terjadi kekerasan,”

ujar Diaz Gwijangge. (Jubi/Arjuna)

 April 8, 2013, 17 : 30, TJ

 

Dua Pihak Dijadikan Indikasi Pelaku Penembakan Di Papua

Ilustrasi Penembakan (google.com)
Ilustrasi Penembakan (google.com)

Jayapura –  Sejumlah kasus penembakan di Papua yang menelan banyak korban bisa terindikasi pada dua pihak sebagai pelakunya, yaitu diduga pertama kalau bukan TNI/Polri berarti ddugan selanjutnya dari kelompok TPN/OPM.

“Pelaku penembakan mempunyai motif dan tujuan berbeda. Selama ini TPN selalu menyatakan sikap bertanggungjawab jika penembakan dan jelas sasaran mereka siapa. Tapi kalau ada penembakan dan tidak ada pihak yang bertanggung jawab, itu merupakan skenario,”

kata Rinto Kogoya, Ketua Aliansi Mahasiswa Papua kepada tabloidjubi.com di Jayapura,  Jumat (5/4).

Tapi, lanjut dia, ketika itu merupakan skenario berarti bermuatan kepentingan.

“Yang punya kepentingan dari skenario adalah dugaan  TNI/POLRI dengan tujuan mendapatkan dana operasional karena keterbatasan dana yang dianggarkan pemerintah,”

ujar Rinto.

Menurutnya, tidak hanya supaya mendapat kucuran dana dari suatu skenario penembakan, tapi ada target yang diincar dari skenario yaitu menjadi sasaran individu atau kelompok organisasi.

Sejauh ini opini publik menyangkut sejumlah kasus penembakan di Papua ibarat bola liar, sasaran tuduhan kepada TPN/OPM, kalau bukan TNI atau Polri. Tapi kenyataannya tidak melakukan investigasi independen secara mendalam untuk mengungkap pelaku penembakan. Puluhan nyawa jadi korban akibat peristiwa penembakan misterius belakangan ini.

“Sekarang butuh keberanian media untuk memberitakan pelaku kasus penembakan sesuai fakta. Media dapat mendukung opini publik,”

katanya.(Carol/Jubi)

April 5, 2013, 20 : 24, TJ

Polisi Benarkan Laporan Penggeledahan

Jayapura, 4/4 (Jubi) – Polresta Jayapura membenarkan informasi warga mengenai pasukan gabungan yang melakukan penggeledahan di rumah warga di Perumnas I Expo Waena, Abepura, Jayapura, Papua, Rabu (3/4).

“Pagi saudara, coba kamu hubungi Kabid Humas Polda Papua, karena kemarin dari Polda yang mencari Danny Wenda terkait

Downtown Jayapura district, Papua
Downtown Jayapura district, Papua (Photo credit: Wikipedia)

di Jayapura, karena dia DPO dalam peristiwa penembakan yang terjadi di wilayah Kota Jayapura,” kata Kaporesta Kota Jayapura, AKBP Alfred Papare, saat dikonfirmasi tabloidjubi.com, Kamis (4/4).

Ketika dikonformasi ke Kabid Humas Polda Papua, Komisaris Besar Polisi I Gede Sumerta Jaya menjanjikan akan memberikan informasi setelah ditanya ke Kapolresta Jayapura. “Saya tanya dulu ke Kapolresta baru kasih informasi,” kata Kabid Humas Polda Papua, Kombes Polisi I Gede Sumerta Jaya saat dikonfirmasi.

Setelah dikonfirmasi ke Polresta Jayapura, I Gede kembali menginformasikan kejadian tersebut. I Gede mengatakan, pada Rabu (3/4) kemarin, polisi berencana melakukan penangkapan DPO atas nama Danny Wenda karena diduga terlibat dalam kasus rentetan penembakan di wilayah Kota Jayapura pada Juli 2012 lalu.

“Kita berencana melakukan penangkapan karena yang bersangkutan adalah pelaku dalam kelompok yang menembak mati almarhum Mako Tabuni, Ketua I Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dan kasus penembakan di Kota Jayapura pada Juli 2012,” ujarnya.

I Gede mengatakan, pihak Polda Papua tidak melakukan penangkapan aktivis KNPB. “Jadi kita bukan mau melakukan penangkapan terhadapa aktivis KNPB,” ungkapnya menjawab informasi warga terkait polisi mencari Danny Wenda anggota KNPB.

Dia menambahkan, informasi dari warga tentang keberdaan Danny Wenda sangat penting. Kalau warga yang mengetahui lalu tidak memberikan informasi kemudian ketahuan, warga yang bersangkutan kena pidana. “Jika ada masyarakat yang berusaha menyembunyikan keberadaan Danny, maka dapat dipidana,” tegasnya. (Jubi/Mawel)

Sumber: TabloidJubi, 4 April 2013,

Enhanced by Zemanta

Cari Danny Wenda, Polisi Geledah Rumah Warga

Jayapura, 3/4 (Jubi) – Rabu (3/4) sekitar pukul 15.00 WIT, pasukan gabungan polisi berpakaian preman, bersenjata lengkap menggunakan tiga mobil dan sejumlah motor ke Expo Perumnas I Waena, Abepura, Jayapura, Papua. Pasukan tersebut diduga dari Polresta Jayapura.

Jayapura at night
Jayapura at night (Photo credit: Wikipedia)

Ketika tiba di Expo, mereka menggeledah sejumlah rumah di kawasan itu dengan alasan mencari Danny Wenda. “Tadi sore, sekitar jam tiga, pasukan gabungan polisi mendatangi rumah kami. Waktu mereka datang, Saya, mama (ibu) adik yang baru SD kelas lima dan saudari saya. Kami ada empat orang yang ada dalam rumah,” kata IM, warga Expo kepada tabloidjubi di Expo Waena, Abepura, Rabu (3/4) malam.

Saat polisi datang, menurut IM, dirinya bersama saudari perempuanya sedang istirahat siang. Sementara, ibunya bersama adik perempuannya sedang duduk di depan rumah. “Sejumlah polisi bersenjata lengkap, berpakaian preman masuk ke halaman rumah,” kata IM lagi.

Sampai di depan, lanjut dia, polisi mengajukan sejumlah pertanyaan sambil menunjukkan dokumen Danny Wenda kepada ibu IM. “Kami dari Polres Jayapura. Apakah mama tahu Danny Wenda, sambil menunjukkan surat, mungkin surat perintah penangkapan dan foto Danny Wenda?,” ujar IM menirukan pertanyaan polisi.

Menurut IM, ibunya menjawab tidak ada. Meski menjawab demikian, polisi tak percaya. Mereka (polisi) terus menginterogasinya. “Kami dengar Danny ada di rumah ini, itu yang kami datang,” tutur IM sembari meniru perkataan polisi. Penjelasan jelas, tetapi polisi masih tetap tidak peracaya kalau Danny Wenda tidak ada dalam di rumah.

Dia menuturkan, sebagian polisi mulai berteriak cari di kamar. Ada yang mulai intip dua jendela di rumahnya. “Ada satu orang polisi intip lewat jendela sambil todong dengan senjata. Saya kaget dan berteriak, mengapa kamu tidak sopan begitu. Kalau perlu lewat pintu saja,” ungkap IM.

Korps berseragam cokelat ini masih tetap tidak percaya. Mereka terus menginterogasi hingga masuk meeriksa kamar mandi. “Masuk dan periksa di kamar mandi,” katanya sembari merikuan teriakan polisi.

Polisi juga sempat mengajukan pertanyaan tentang keberadaan Ayahnya. “Mereka tanya bapa di mana? Kami jawab kerja di Lanny Jaya. Namun, polisi mengatakan di Pirime ka? Jawab polisi,” katannya lagi.

Kedatangan polisi ini meninggalkan trauma mendalam bagi IM bersama ibu, satu orang saudari dan adik perempuannya yang berusia 9 tahun. “Mereka datang tiba-tiba, kami kaget, panik dan trauma sekarang. Mengapa mereka tidak sopan begitu?,” kesalnya.

Setelah interogasi di rumah IM, menurutnya, polisi beralih lagi ke rumah lain. “Mereka masuk sambil menendang pintu,”tuturnya. Polisi mengajukan pertanyaan yang sama kepada warga di beberapa rumah di kompleks itu. Hingga berita ini terbit, belum ada komentar dari pihak Polresta Jayapura soal penggeledahan tersebut. (Jubi/Mawel)

Sumber: TabloidJubi.com

, 3 April 2014

Enhanced by Zemanta

Hugo Chaves dan West Papua

Hugo Chaves
Hugo Chaves

Hugo Chaves, Pemimpin  kharismatik yang penuh kontroversial itu telah tiada sejak  5 Maret 2013 lalu. Rintihan pilu masih terdengar, bukan saja rakyat Venezuela, Amerika Latin dan Timur Tengah, namun juga di berbagai belahan dunia, terutama rakyat tertindas di dunia yang terinsipirasi dari sosok Chaves yang berani melakukanperubahan yang revolusioner di Venezuela dan merubah wajah kapitalisme global di Timur Tengah dan Amerika Latin.

Di West Papua, wilayah yang selama hampir setengah abad masih digerogoti gurita imperialisme Amerika Serikat (AS), sosok Hugo Chaves dan kiprahnya tidak begitu ramai untuk menjadi perhatian, terutama dalam perspektif perjuangan pembebasan nasional West Papua. Bukan karena tidak penting, namun pemahaman akan pergulatan kepentingan ekonomi politik global masih ditutupi oleh kabut tebal yang bernama neokolonialisme Indonesia.

Asia Pasifik, terutama Indonesia dan West Papua dalam sejarahnya pernah menjadi wilayah yang diperebutkan oleh kekuatan Blok Barat dan Timur. Kini, watak ‘lonte’ yang diterapkan Indonesia dalam politik luar negeri, serta militer Indonesia yang menjadi germo bagi ‘perempuan jalang’ yang bernama pemerintah Indonesia dan kebijakannya dalam kanca luar negeri, seakan-akan membuat ‘anak haram’ yang bernama Pemerintah Provinsi dan Kabuputen di wilayah West Papua kehilangan identitas, harga diri, apalagi untuk berpikir dan memaknai gebrakan Hugo Chaves dalam melakukan perubahan yang nyata diatas tanah West Papua.

Semua orang yang menginginkan perubahan diatas tanah West Papua harus sepakat bahwa Negara Republik Indonesia di West Papua adalah neokolonialisme. Perusahaan Multinasional, mulai dari PT. Freeport Indonesia dan perusahaan asing lainnya diatas tanah Papua adalah kapitalisme global. Bahwa dua kekuatan itu sedang menjadi akar penindasan dan eksploitasi diatas tanah West Papua. Hanya dengan pemahaman itu, kita akan mampu memahami esensi Hugo Chaves dan sosialisme abad 21 di Venezuela. Pemahaman mengenai faktor Hugo Chaves dan tindakan revolusionernya bagi rakyat Venezuela dapat memberi makna bahwa perjuangan rakyat tertindas harus memiliki format dan arah tentang apa yang diperjuangkan.

Dan bukan dalam NKRI. Bagi saya, Indonesia telah menjadi negara tanpa makna alias negara tak bermakna atau tak berguna. NKRI telah gagal dan digagalkan ulah bangunan nation state yang tak memiliki kuat ideologi (kabur), apalagi pemimpinnya yang tidak bisa seperti Soekarno. Oleh karena itu, tidak ada gunanya membahas perubahan dalam bangunan NKRI. Bahwa rakyat tertindas di Indonesia, dan lebih khusus untuk rakyat West Papua, Sosialisme Demokratik dalam praktek perubahan di Venezuela dibawah komando comandante, Hugo Chaves, sang anti American Fighter itu meyakinkan kita bahwa paham itu tidak sekedar “sampah’ abad 19, yang hanya ilmiah dari seorang Karl Marx dan Friedrich Engels.

Infiltrasi AS dalam misi ekonomi politik AS dan sekutunya yang begitu kuat di Indonesia hingga ke West Papua, menjadi peringatan bahwa ketegasan perlawanan harus diarahkan secara sadar dalam praktek sosialisme demokratik. Bagi saya, semangat Papua Merdeka harus memiliki makna pembebasan yang jelas menuju sosialisme demokratik, sebuah ide yang tidak sekedar paham filosofi luar, tetapi secara nyata dapat diartikulasikan diatas tanah West Papua.

Perjuangan bangsa Papua untuk merdeka bukan hanya sebuah keinginan kosong, tetapi merupakan kebutuhan dalam rangka membebaskan bangsa Papua dari kekuatan global yang menindas dan mengeksploitasi West Papua. Karena itu, manuver dari gerakan-gerakan perjuangan yang tidak memiliki persepektif pembebasan hendaknya ditinggalkan, karena tidak melambangkan watak pembebasan nasional. Justru, kondisi ambur adul dalam perjuangan akan menyuburkan watak kapitalisme yang sudah berakar dalam masa kolonoliasme Indonesia.

Hugo Chaves mempertahankan kedaulatan negara Venezuela dan mampu mempengaruhi negara-negara Amerika Latin dan Timur Tengah bukan semata-mata  karena kekuatan militer, namun karena sikap revolusionernya dalam mengubah wajah kapitalisme di Venezuela yang kaya akan minyak itu menjadi sosialisme yang berhasil. Papua Merdeka, secara politik diperjuangkan oleh rakyat West Papua, tetapi lebih penting dari itu rakyat Papua Barat harus terus berjuang bagi kedaulatan bangsa Papua, sebuah kedaulatan tanpa kolonialisme Indonesia, tanpa kapitalisme global, dengan membentuk pemeritahan Sosialisme demokratik sebagai senjata perlawanan merebut pembebasan nasional.

*Penulis adalah Ketua Umum KNPB

March 29, 2013,KNPBnews

Saksi Penyedik Polres dari Jaksa tidak hadir, BAP dibacakan dan Enam Aktifis KNPB di periksa satu persatu

Pemeriksaan satu persatu
Pemeriksaan satu persatu

Timika – Setiap kali pemanggilan saksi oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dihadirkan hanya kepolisian Resort Mimika yang terlibat dalam penangkapan, penahanan dan penyedikan yang dihadirkan dari sejak persidangan pemanggilan saksi. Kali ini seorang Penyedik Polres Mimika yang rencana Jaksa menghadirkan tapi belum hadir alasannya belum mengetahui. Tetapi keterangannya yang tertulis dalam selembar kertas dibacakan. Terhadap hal itu, keenan terdakwa menyangkal sebagian keterangan yang tertulis dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Para terdakwa berdalil sebagian keterangan yang terdapat dalam BAP tidak benar, Dimana sejumlah barang yang dijadikan sebagai alat bukti ditolak oleh keenam terdakwa karena barang-barang itu muncul dipersidangan.

Keenam terdakwa diperiksa satu persatu. Dalam pemeriksaan secara menyeluruh diperiksa seputar panah-panah wayar dan aksi-aksi KNPB di Wilayah Timika dan secara garis besar kami menjelaskan dalam pemeriksaan adalah sebagai berikut:

  1. Pemeriksaan pertama dilakukan terhadap Yakonias Womsiwor, Yakonias Womsiwor mengaku panah-panah tradisional adalah miliknya, sekitar 32 buah panah, kertapel, parang, gergaji, martelu, gigir adalah miliknya, dia buat untuk panah berburu ikan dan kus-kus. Dan Yokonias Womsiwor juga mengaku tidak disuruh oleh siapa-siapa dan tidak di bantu oleh siapa-siapa hanya buat sendiri. Sebelumnya di tuduh Steven Itlai dan Romario Yatipai yang menyuruh buat, dan Paulus Marsyom, Yanto Awerkion dan Alfret Marsyom membantu buat panah kepada Yakonis Womsiwor tetapi Yakonias bantah hal itu didalam persidangan Pengadilan Negeri Timika.
  2. Pemeriksaan kedua dilakukan terhadap Paulus Marsyom, dan Paulus Marsyom mengaku didalam persidangan bahwa dia tidak membantu Yokonias Womsiwor untuk buat panah-panah wayar dan pisau badik kecil satu yang dia mengaku bahwa dia punya dan pisau itu juga dia dapat di jalan. dan dia juga mengaku demo-demo KNPB Wilayah Timika juga dia tidak ikut karena dia biasa mengojek sampai sejauh malam.
  3. Pemeriksaan ketiga dilakukan terhadap Alfret Marsyom dan Alfret Marsyom mengaku dalam persidangan bahwa kapak, pisau, CPU, parang dan gurinda adalah milik dia dan biasa ada di rumah. dia juga mengaku tidak membantu dalam pembuatan panah-panah milik Yakonias Womsiwor. dan demo-demo yang dilakukan KNPB Wilayah Timika dia juga tidak ikut karena dia kesibukan dengan kerja.
  4. Pemeriksaan keempat dilakukan terhadap Steven Itlai dan Steven Itlai mengaku dalam persidangan bahwa saya tidak menyuruh Yakonias Womsiwor untuk buat panah-panah tradisional untuk kepentingan KNPB Wilayah Timika, dan dia juga mengaku dia biasa pimpin demo 3 (tiga) kali yaitu Demo Damai tentang Penolakan Otonomi Khusus, Demo Damai tengtang Penolakan UP4B dan Demo Damai tentang Peluncuran IPWP di Inggris dan dia juga mengaku semua demo ini tidak ada anarkis dan dia juga meminta Surat Ijin kepada kepolisian Mimika.
  5. Pemeriksaan kelima dilakukan terhadap Romario Yatipai, dan Romario Yatipai mengaku dalam persidangan bahwa saya tidak pesan panah- panah tradisional itu dan tidak menyuruh membuat panah kepada Yakonias Womsiwor dan saya pimpin Demo Damai Penolakan Otonomi Khusus itu tidak pernah melakukan anarkis.
  6. Pemeriksaan keenam dilakukan terhadap Yanto Awerkion, dan Yanto Awerkion mengaku dalam persidangan bahwa saya tidak membantu Yakonias Womsiwor untuk panah-panah tradisional dan dia juga mengaku dopis itu dia tidak tahu dan bukan dia punya.

Keterangan singkat yang diberikan dalam pemeriksaan persidangan di Kantor Pengadilan Negeri Timika mohon pantauan dari segala pihak dengan kasus ini. Sidang akan berlanjut dengan agenda Saksi dari terdakwa pada tanggal 28 Maret 2013. (wtp)

March 22, 2013, KNPB

Buchtar : Aktivis KNPB Harus di Bebaskan

Buchtar Tabuni
Buchtar Tabuni

JAYAPURA – Ketua Parlemen Nasional West Papua (PNWP), Buchtar Tabuni meminta kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia,  dalam hal ini Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah agar sejumlah aktivis Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang sedang ditahan  dibebaskan, termasuk yang ada dalam daftar pencarian orang (DPO) untuk dihentikan.

“Saya minta kepada pemerintah lewat aparat hukum Indonesia dalam hal ini Polri dan Kejaksaan setempat agar para aktivis KNPB dibebaskan. Dan, saya siap jadi jaminan terkait pembebasan mereka,”

kata Ketua PNWP, Buchtar Tabuni saat menggelar jumpa pers, di Café Prima Garden Abepura, kemarin siang Rabu (20/3).
Buchtar sapaan akrabnya menjelaskan, pernyataan ini juga pernah disampaikan pada 19 Januari lalu kepada seluruh media.

“Jadi, saat ini saya hanya ingin menegaskan saja bahwa PNWP menginginkan agar pemerintah bisa menanggapi terkait permintaan PNWP untuk membebaskan para aktivis KNPB,”

katanya.

Ditegaskan, PNWP sebagai lembaga representatif dalam bidang politik rakyat Bangsa Papua ikut bertanggung jawab dan menjamin keamanan di seluruh Tanah Papua dengan catatan pemerintah bisa membuka ruang demokrasi yang seluas – luasnya di atas Tanah Papua Barat ini. Kemudian untuk seluruh anggota KNPB yang masuk DPO oleh Pemerintah Indonesia agar bisa dihapuskannya.

“Pemerintah harus buka ruang demokrasi seluas – luasnya untuk kami berekspresi. Selain itu, pemerintah juga harus membebaskan sejumlah aktivis KNPB termasuk yang akan menjadi target DPO oleh aparat kepolisian agar tidak dilakukan lagi penangkapan terhadap anggota KNPB lainnya,”

katanya.

Lanjut Buchtar yang merupakan eks Ketua KNPB, pemerintah tidak pernah sekalipun memaksakan organisasi masyarakat pribumi Papua untuk mendaftar di instansi terkait. Dan, ingat PNWP siap menjamin keamanan masyarakat non Papua dan asli Papua yang ada diatas Tanah Papua ini.

Dia menegaskan, hingga saat ini ada sejumlah aktivis KNPB yang tengah ditahan dan sedang menjalani  persidangan diantaranya di Timika sebanyak 6 orang, di Wamena sebanyak 9 orang, di Biak sebanyak 2 orang dan di Jayapura sebanyak 6 orang.

“Nah, jika para aktivis KNPB tersebut tidak terbukti bersalah dimuka pengadilan, maka itu kami mohon agar mereka dibebaskan,”

tegasnya.

Namun hal itu tidak dilakukan, Buhtar kembali menegaskan, pihaknya akan melakukan langkah – langkah berikutnya yang bertujuan memperjuangkan hak – hak orang asli Papua (OAP) yang merasa ditindas dan diintimidasi oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

“Bila mereka tidak terbukti bersalah dan dipaksa untuk menjalani suatu hukuman yang tidak pernah diperbuat oleh aktivis KNPB tersebut, maka PNWP akan berupaya secara terus – menerus untuk memperjuangkan hak – hak kami sebagai orang asli Papua (OAP) yang memiliki hak – hak dasar yang sama dimuka bumi ini,”

kecamnya. (mir/don/l03)

Kamis, 21 Maret 2013 23:37,BP

Untuk Melanjutkan Perjuangan, AMP Kota Solo Lakukan Reorganisasi

AMP Saat Melakukan Aksi di Yogyakarta ( Doc. AMP )
AMP Saat Melakukan Aksi di Yogyakarta ( Doc. AMP )

Yogyakarta – Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Solo melakukan re-organisai untuk memperkuat perjuangan yang selama ini dilakukan oleh organisasi ini, Jumat, (16/3/13) di Solo Jawa Tengah.

Pantauan majalahselangkah.com, reorganisasi dihadiri Ketua AMP Pusat, Rinto Kogoya. Mereka berhasil menetapkan pencerahan dan pembentukan struktur AMP.

“AMP adalah progresif, militan dan patriotik. Jadi, bagi aktivis yang tergabung dalam organisasi ini harus benar-benar menunjukkan kerja nyata yang menuju pada rakyat Papua bisa menentukan nasib sendiri,”

kata Rinto Kogoya.

Rinto menjelaskan, AMP didirikan pada tanggal 30 Mei 1998 di Jl. Guntur Kawi, Manggarai, Jakarta Selatan. APM lahir di tengah situasi represi negara di Tanah Papua Barat dan situasi politik Indonesia yang mulai goyah akibat tekanan-tekanan politik dari gerakan pro-demokrasi Indonesia terhadap rezim Soeharto dan mulai menguatnya tuntutan Reformasi Politik bagi sebuah perubahan yang berkeadilan serta terbukanya ruang demokrasi.

Sejak berdiri, AMP telah dua kali menyelenggarakan Kongres Nasional. Kongres I diselenggarakan di Kaliurang, Yogyakarta, pada November 2005. Dan Lima tahun kemudian tepatnya, Januari 2010, diselenggarakan Kongres II di Port Numbay, Papua.

AMP adalah organisasi massa mahasiswa yang terbuka tanpa memandang latar belakang pandangan, suku, agama, dan ras, serta mendukung perjuangan untuk  Rakyat asli Papua bisa menentukan nasib sendiri. (Sonny Dogopia/MS)

Minggu, 17 Maret 2013 00:38, MS

POLITIK STIGMATISASI PADA PERJUANGAN RAKYAT PRIBUMI PAPUA BARAT

Oleh: Selpius A. Bobii *

Selpius Bobii (Dok. Jubi)
Selpius Bobii (Dok. Jubi)

“Kami heran bahwa Kapolda Papua baru menjabat langsung tuduh KNPB adalah teroris, nah ini bagian dari pengacau keamanan, ini sangat keterlaluan, komentar Socratez S. Yoman, Ketua Umum Persekutuan Gereja- Gereja Baptis Papua. (Sumber: Bintang Papua, Jumat, 25 Januari 2013, hal. 3).

Tanggapan tokoh Gereja Papua, Socratez S. Yoman, S.Th. M.A menyikapi tudingan teroris oleh Kapolda Papua kepada aktifis Papua (Komite Nasional Papua Barat) adalah merupakan suara gereja menolak tegas tudingan teroris oleh Negara Indonesia melalui Kapolda Papua. Tanggapan tokoh Gereja itu juga menyatakan kepada Negara Indonesia dan negara-negara di dunia serta Perserikatan Bangsa-Bangsa bahwa orang Papua bukan teroris, orang Papua bukan Makar, orang Papua bukan separatis, orang Papua bukan pengacau keamanan, orang Papua tidak merong-rong keutuhan NKRI.

Dalam artikel ini, saya menyoroti beberapa pertanyaan fundamental yaitu: 1). Mengapa Negara Indonesia menstigmatisasi perjuangan bangsa Papua dengan tudingan: separatis, makar, pengacau keamanan, teroris, dll?;
2). Mengapa orang Papua bukan teroris, orang Papua bukan Makar, orang Papua bukan separatis, orang Papua bukan pengacau keamanan, orang Papua tidak merong-rong keutuhan NKRI?
3). Bagaimana tanggapan masyarakat Internasional atas tudingan Pengacau Keamanan, Makar / Separatis, teroris, dll kepada orang asli Papua?
4). Apa dampak stigmatisasi Pengacau keamanan, makar / separatis, teroris oleh RI terhadap perjuangan rakyat bangsa Papua?
5). Bagaimana siasat menghadapi stigmatisasi terhadap orang Papua yang digencarkan oleh Negara Indonesia melalui sistemnya?

Kelima pertanyaan mendasar ini, saya uraikan satu persatu dalam artikel ini.

I. PEMBUNGKAMAN PERJUANGAN BANGSA PAPUA MELALUI STIGMATISASI.

Strategi dan taktik politik stigmatisasi yang digencarkan oleh Negara Indonesia melalui sistemnya terhadap aktifis Papua Merdeka adalah merupakan suatu langkah menutupi segala bentuk kejahatan kemanusiaan terhadap orang Papua dan sebagai langkah pembenaran untuk menumpas orang asli Papua yang berjuang untuk kedaulatan Papua Barat.

Ada tiga bentuk kejahatan kemanusiaan, yakni: Aneksasi kemerdekaan kedaulatan suatu bangsa; Kejahatan Perang, dan Pemusnahan etnis. Negara Indonesia telah dan sedang melakukan tiga kategori kejahatan kemanusiaan ini. Setelah Negara Indonesia berhasil menganeksasi kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua melalui invasi politik dan militer yang dimulai dengan Maklumat Tri Komando Rakyat (TRIKORA) oleh Presiden RI (Soekarno), 19 Desember 1961, Negara Indonesia masih terus menerus menerapkan operasi militer, baik secara terbuka dan terselubung (perang terbuka dan tertutup), yang berdampak pada pemusnahan etnis Papua secara pelan tapi pasti (slow motion genocide).

Salah satu stigmatisasi yang muncul pada akhir-akhir ini adalah tudingan teroris kepada para aktifis Papua Merdeka, khususnya kepada aktifis Komite Nasional Papua Barat (KNPB).

Berikut ini tingkatan stigmatisasi dari Negara Indonesia kepada orang asli Papua yang berjuang untuk berdaulat penuh, yaitu: pertama-tama RI menyebut Organisasi Papua Merdeka (OPM), Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) / Gerakan Pengacau Lingkungan (GPL), Separatis atau Makar, Orang Tak Kenal (OTK), Sipil bersenjata, dan Teroris.

Sebutan Organisasi Papua Merdeka (OPM) dilabelkan oleh Negara Indonesia kepada orang Papua yang mengambil sikap untuk berjuang kemerdekaan Papua Barat. Menurut tuan Forkorus Yaboisembut S.Pd orang asli Papua menerima sebutan OPM setelah mempertimbangkannya dan ternyata sebutan OPM itu tepat dan benar. Kini OPM telah menjadi sebuah organisasi perlawanan yang menyatu dalam wadah TPN PB (Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat) yang struktur dan manajemen telah ada, walaupun belum ada komando terpusat.

Sebutan Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) / GPL adalah sebutan kedua yang dimunculkan Negara Indonesia. Dengan adanya sebutan ini membenarkan tindakan penumpasan (operasi militer)terhadap orang asli Papua yang berjuang untuk berdaulat penuh. Juga melalui berbagai forum resmi dan non resmi Republik Indonesia (RI) meyakinkan kepada masyarakat Internasional bahwa di Papua ada Gerakan Pengacau Keamanan. Dengan demikian meredam dukungan masyarakat Internasional soal status politik bangsa Papua.

Stigmatisasi berikutnya adalah Makar atau Separatis kepada aktifis Papua Merdeka oleh Negara Indonesia. Stigmatisasi itu dilegalisasi dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yakni pasal 106 – 110 KUHP. Produk Hukum yang ditinggalkan oleh Kerajaan Belanda ini, dalam penerapannya telah memakan korban nyawa rakyat sipil dan materi dalam jumlah sangat banyak.

Pasal-pasal makar dalam KUHP ini sebagai upaya pembenaran dan melegalkan operasi-operasi militer secara terbuka dan tertutup untuk menumpas gerakan pembebasan nasional Papua Barat, penangkapan dan pemenjaraan sewenang-wenang oleh RI. Pengorbanan moril dan materil yang dialami oleh rakyat bangsa Papua tidak dapat dibayangkan dan tak dapat dilukiskan dalam tulisan ini. Dan lebih mengerikan adalah pengorbanan nyawa rakyat bangsa Papua dalam jumlah banyak akibat operasi militer terbuka dan tertutup, serta operasi sipil. Singkatnya, stigmatisasi makar atau separatis yang dilegalkan dalam KUHP adalah sebagai tameng untuk melindungi diri dari berbagai kecaman dari masyarakat Internasional atas tindakan kejahatan kemanusiaan kepada orang asli Papua hanya demi menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Orang Tak Kenal (OTK) adalah istilah yang dimunculkan aparat polisi dan militer Indonesia untuk menunjuk pelaku penembakan yang tidak diketahui identitasnya. Menurut Agus Sananay Kraar (Tahanan Politik Papua di penjara Abepura) bahwa istilah OTK ini melahirkan multi tafsir, apakah dilakukan oleh pihak Papua atau pihak Indonesia; dan dapat mengarah pada kambing hitam kepada orang Papua, saling tuduh menuduh pun terjadi. Selain itu, ada istilah lain yang digunakan adalah kelompok sipil bersenjata dan juga manusia bertopeng.

Stigmatisasi kepada aktifis Papua Merdeka yang paling terakhir adalah tudingan Teroris. Tudingan ini bukan tiba waktu tiba akal, tetapi ini sebuah skenario besar Negara Indonesia yang sudah lama dirancang untuk menterorisasi perjuangan bangsa Papua dalam upaya membunuh nasionalisme Papua Merdeka, dengan demikian memperpanjang penindasan dan gerakan aktifis Papua Merdeka menjadi musuh dunia. Upaya terorisasi perjuangan bangsa Papua oleh Negara Indonesia melalui sistemnya adalah langkah Indonesia untuk meningkatkan status operasi-operasi militer, baik secara terbuka dan tertutup karena upaya-upaya lain yang selama ini diterapkan oleh RI di Papua Barat tidak membuahkan hasil yang signifikan.

Berbagai rekayasa dilakukan Negara Indonesia untuk membuat mosi tidak percaya kepada masyarakat Internasional. Dengan jalan ini membunuh dukungan masyarakat Internasional terhadap perjuangan bangsa Papua. Berikut ini saya mengutip pernyataan Ed McWilliams: Tuduhan tindakan-tindakan kriminal oleh beberapa anggota KNPB tidak dibenarkan dengan kuat dan biasanya RI berupaya untuk menjelekkan nama organisasinya. KNPB dan banyak organisasi lain di Papua maupun setiap pribadi memang sedang mendorong untuk hak orang Papua diakui, khususnya hak menentukan nasib sendiri yang sudah sangat lama tidak diakui. Tetapi semua usaha ini secara umum dilakukan tanpa kekerasaan, demikian komentarnya. Artikel tuan Ed McWilliams lengkapnya silahkan Anda kunjungi: http://www.westpapuamedia.com artikelnya dinaikan pada tanggal 2 Februari 2013.

II. ORANG PAPUA BUKAN MAKAR, BUKAN TERORIS, DLL.

Akar masalah Papua Barat bukan masalah makan minum artinya bukan masalah kejahteraan, bukan masalah pendidikan, bukan juga masalah kesehatan, tetapi akar masalah Papua adalah hak kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua yang telah dianeksasi ke dalam NKRI secara sepihak melalui invasi politik dan militer atas dukungan penuh Amerika Serikat. Rakyat bangsa Papua berjuang hanya untuk memulihkan kembali kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua yang dianeksasi ke dalam NKRI dengan sewenang-wenang.

Fakta membuktikan bahwa justru negara Indonesia dapat dikategorikan ke dalam pengacau keamanan (pengacau lingkungan), makar/separatis, mendirikan negara dalam negara, merong-rong kedaulatan Papua Barat dan sarang teroris. Berikut ini penjelasan ku untuk membuktikan pernyataan di atas:

1). Siapa yang sebenarnya pengacau keamanan? Justru yang mengacaukan keamanan di Tanah Papua adalah negara Indonesia yang telah menganeksasi kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua ke dalam NKRI melalui Maklumat Tri Komando Rakyat (TRIKORA) oleh Presiden RI, Soekarno, pada tanggal 19 Desember 1961, yang selanjutnya diwujudkan melalui invasi militer dan politik, yang berpuncak pada Penentuan Pendapat Rakyat Papua pada tahun 1969 yang kita sebut Cacat Hukum dan Moral. Dalam proses aneksasi itu didukung penuh oleh Amerika Serikat hanya untuk mencapai kepentingan ekonomi dan politik semata. Justru negara Indonesia melalui mesin-mesinnya mengacaukan keamanan di Tanah Papua untuk mempertahankan Tanah Papua dalam bingkai NKRI yang telah dianeksasi dengan cara-cara kotor dan tidak beradab.

2). Siapa pembuat makar sesungguhnya? Justru Negara Indonesia yang melakukan makar atas kemerdekaan kedaulatan bangsa dan Negara Papua. Sejak tahun 1962 Negara Indonesia meningkatkan Invasi politik dan militer untuk mewujudkan Maklumat Tiga Komando Rakyat (TRIKORA) oleh Presiden RI. Aneksasi kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua ke dalam NKRI adalah tindakan makar yang dilakukan oleh Negara Indonesia. Karena itu tudingan makar dari RI kepada orang Papua yang berjuang untuk pembebasan bangsa Papua tidak dapat dibenarkan.

3). Siapa sebenarnya yang mendirikan negara dalam negara? Yang mendirikan negara dalam negara adalah justru Negara Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dalam maklumat Tri Komando Rakyat oleh Prisiden RI, Soekarno dalam point pertama menyatakan: Bubarkan negara boneka Papua buatan kolonial Belanda. Dalam point ini mengandung tiga hal penting, yakni: a). Negara Indonesia telah mengakui adanya negara Papua Barat; b). Tapi Negara Papua Barat itu dihina sebagai negara boneka; c). Negara Papua Barat itu harus dibubarkan. Camkanlah bahwa pengakuan presiden Indonesia adanya negara Papua dalam maklumat TRIKORA itu sah dan mengikat. Dan di sisi lain maklumat TRIKORA itu adalah bukti outentik adanya aneksasi Negara dan Bangsa Papua ke dalam NKRI.

4). Siapa sebenarnya yang merong-rong kedaulatan? Tudingan merongrong kedaulatan NKRI oleh Negara Indonesia sangat tidak tepat ditujukan kepada rakyat bangsa Papua yang sudah dan sedang serta akan berjuang untuk memulihkan hak-hak dasarnya, terutama hak fundamental yakni hak kesulungan rakyat bangsa Papua (kemerdekaan kedaulatan) yang telah dianeksasi ke dalam NKRI dengan sewenang-wenang. Jusrtu negara Indonesia telah berhasil merong-rong kedaulatan Papua Barat dan berhasil aneksasi bangsa Papua Barat ke dalam NKRI. Camkanlah bahwa orang asli Papua berjuang bukan untuk menganeksasi atau mencaplok tanah Jawa, Tanah Sulawesi, Tanah Madura, dan lain lain, tetapi bangsa Papua berjuang untuk tanah leluhurnya berdaulat penuh (merdeka) sama seperti bangsa-bangsa merdeka lain di dunia. Jadi orang asli Papua tidak sama sekali merong-rong kedaulatan Tanah-Tanah lain di Indonesia. Orang asli Papua berjuang untuk hak-hak dasarnya diakui dan dikembalikan, seperti hak kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua, yang dijamin oleh konstitusi NKRI pada pembukaan Undang-undang Dasar 1945 pragraf pertama dan hukum Internasional.

5). Siapa penganut teroris sesungguhnya? Istilah teroris tidak ada dalam perjalanan hidup bangsa Papua. Nenek moyong bangsa Papua tidak pernah mempraktekkan dan mengajarkan kepada anak cucuhnya untuk meneror disertai dengan pembunuhan warga sipil dengan sewenang-wenang. Walaupun ada perang suku di Papua, tetapi kedua belah pihak tunduk dan taat pada tata cara perang suku yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Bukan perang dengan sewenang-wenang seperti yang dilakukan oleh militer dan polisi Indonesia di mana dalam operasi militer memperkosa, mencuri, membakar rumah-rumah warga sipil, mengusir warga sipil dari perkampungan, membunuh anak-anak dan istri dari pihak lawan dengan brutal; serta mengadu domba suku-suku setempat untuk saling membunuh dan hal itu digunakan oleh Negara Indonesia sebagai bahan kampanye bahwa itu adalah perang suku.

Dalam perjuangan bangsa Papua pun, para aktifis Papua Merdeka tidak pernah menerapkan tindakan teror kepada warga sipil. Yang ada adalah gerakan perjuangan pembebasan nasional Papua dengan menempuh cara-cara damai dan tentang hal ini ditetapkan dalam Kongres Bangsa Papua pada tahun 2000. Aktifis Papua merdeka tidak pernah menggunakan bom untuk menarik simpati internasional atau menakuti warga sipil.

Aksi perlawanan oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB) dirimba raya Papua yang seringkali kontak senjata dengan Polisi dan militer Indonesia adalah hal yang biasa dalam perjuangan pembebasan nasional di mana pun di dunia yang pernah berjuang untuk merdeka. Dengan adanya kontak senjata itu, TPN PB menunjukkan eksistensi nasionalisme pembebasan bangsa Papua dan menolak pendudukan pemerintahan Indonesia di Tanah Papua. Sama seperti bangsa Indonesia memerdekakan dirinya dari penjajahan Belanda dengan perlawanan senjata dari Tentara Indonesia, TPN PB sebagai sayap militer melaksanakan fungsinya. Sasaran TPN PB adalah kepada Polisi dan TNI, bukan kepada warga sipil. Wacana selama ini bahwa TPN PB menembak warga sipil adalah tidak benar dan itu hanyalah rekayasa aparat Indonesia untuk membangun mosi tidak percaya kepada masyarakat Internasional. Kalaupun ada, itu dilakukan oleh oknum (pribadi) mungkin karena alasan atau kepentingan tertentu atas permainan pihak tertentu, bukan perintah pimpinan TPN PB. Karena itu sangat tidak masuk akal dan tidak dapat dipertanggung jawabkan jika dari pihak Negara Indonesia dapat beranggapan bahwa TPN PB atau aktifis Papua Merdeka itu identik dengan teroris.

Camkanlah bahwa hukum anti terorisme itu baru saja dilahirkan bersamaan dengan ancaman-ancaman terhadap fasilitas umum dan menakuti warga sipil, seperti pemboman terhadap gedung raksasa di Amerika Serikat yang disebut kantor pusat perekonomian dunia (WTC). Pasca pemboman gedung pencakar langit itu, Amerika Serikat menyerukan perang terhadap terorisme. Disaat yang sama pula Indonesia mendevinisikan terorisme sesuai kehendaknya hanya sebagai tameng untuk kepentingan menjaga teritorial NKRI dan ancaman keamanan serta ketertibaan umum.

Berikut ini saya mengutip devinisi teroris menurut satuan Densus 88 yang dimuat dalam pidato ibu Sidney Jones; ada dua macam kategori terorisme, yaitu pertama, orang Islam radikal; kedua, orang separatis / nasionalis etno (www.crisisgroup.org/en/publication-type/speeches/2013/jones-papuan-separatists.aspx).

Devinisi teroris kategori kedua ini sangat aneh dan memalukan. Dengan adanya devinisi kategori ke dua ini dapat melegitimasi Densus 88 dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) sedang berusaha untuk menumpas aktifis Papua merdeka yang sudah berjuang lama sebelum devinisi teroris itu dilahirkan. Ironis memang, tapi nyata bahwa langkah ini ditempuh RI setelah metode-metode lain yang diterapkan selama ini gagal menumpas gerakan pembebasan bangsa Papua. Tetapi apakah upaya RI untuk menerapkan hukum anti terorisme di Papua akan berhasil?
Sesungguhnya Negara Indonesia mengintropeksi diri sebelum menerapkan hukum anti terorisme di Papua. Jika itu diterapkan di Papua, maka tindakan itu hanyalah menuai kritik dan memalukan nama Indonesia dikancah masyarakat Internasional. Mengapa saya katakan demikian? Masyarakat internasional telah tahu dan paham bahwa perjuangan bangsa Papua itu bukan mengacaukan keamanan, bukan makar/ separatis, bukan teroris yang menakuti warga sipil, tetapi perjuangan bangsa Papua adalah untuk memulihkan kembali kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua yang dianeksasi secara sepihak ke dalam NKRI pada tahun 1960 – an.

Masyarakat Internasional sudah tahu bahwa sarang teroris itu hanya ada di wilayah-wilayah Indonesia tertentu dibagian barat dan tengah yang berpenganut Islam Radikal yakni jihad.

III. TANGGAPAN MASYARAKAT INTERNASIONAL ATAS STIGMATISASI.

Taktik politik stigmatisasi Negara Indonesia kepada aktifis Papua merdeka melahirkan berbagai kontro versi dikalangan masyarakat Internasional. Secara umum ada tiga sikap muncul menyikapi stigmatisasi itu, yakni: ada orang yang pro stigmatisasi artinya mendukung stigmatisasi RI, dan ada juga orang yang kontra stigmatisasi artinya menolak stigmatisasi RI. Dan ada orang yang mengambil sikap netral (tidak juga pro, tidak juga kontra). Selain itu ada pula masyarakat internasional yang sangat tidak tahu (buta) dengan penindasan yang terjadi di Tanah Papua oleh Negara Indonesia.

Mengambil sikap pro dan kontra serta sikap netral untuk menyikapi suatu hal dalam dinamika kehidupan umat manusia di dunia adalah wajar dan biasa. Masing-masing sikap dan tindakan: pro, kontra, dan netral yang ditampilkan itu tentu memiliki latar-belakang pemahaman atas masalah dan gerakan perjuangan bangsa Papua yang berbeda-beda.

Ada orang yang mendukung stigmatisasi kepada aktifis Papua merdeka karena memang watak dan karakternya anti penegakkan kebenaran, keadilan, kejujuran, kedamaian, kebebasan, demokrasi, dan Hak Asasi Manusia. Ada pula orang mendukung stigmatisasi RI kepada aktifis Papua merdeka, walaupun ia tidak memahami baik latar belakang berbagai masalah di Tanah Papua, tetapi karena dipengaruhi oleh Negara Indonesia melalui berbagai kampanye dan lobi dalam forum-forum resmi dan non resmi di negara-negara dan dalam forum PBB.

Mereka yang berhasil dipengaruhi oleh RI, tentu memainkan peran ganda, di lain sisi mereka mempengaruhi masyarakat dan negara asalnya untuk tidak mendukung perjuangan penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua dan lain sisi mereka mempengaruhi masyarakat Internasional di negara-negara di dunia melalui jaringan kerja atau media cetak atau elektonik untuk tidak mendukung perjuangan bangsa Papua untuk berdaulat penuh. Ada pula pendukung stigmatisasi tertentu memberikan dukungan penuh kepada Negara Indonesia untuk menumpas gerakan pembebasan Nasional Papua Barat.

Bagi masyarakat Intenasional tertentu yang mendukung stigmatisasi kepada aktifis Papua merdeka oleh Negara Indonesia yang dilegalkan melalui produk hukum Indonesia, mereka itu secara sadar atau tidak sadar, secara langsung maupun tidak langsung telah mendukung penuh upaya sistematis dan terencana yang dipraktekkan oleh Indonesia untuk memarginalisasi, mendiskriminasi, membuat ketidak-adilan, membuat orang Papua menjadi minoritas di Tanah Papua, dan etnis Papua menjadi punah secara perlahan tetapi pasti (slow motion genocide).

Sedangkan bagi masyarakat Internasional yang kontra stigmatisasi (menolak stigmatisasi) kepada para aktifis Papua merdeka adalah mereka yang memahami baik tentang akar permasalahan dan penderitaan yang dialami oleh rakyat pribumi bangsa Papua serta memahami baik tentang nilai-nilai universal dan Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia oleh PBB serta menegakkannya. Mereka bukan hanya menolak stigmatisasi tanpa tindakan, tetapi diantara mereka, ada pula yang mengorbankan tenaga, waktu, moril dan materilnya untuk mendukung perjuangan rakyat bangsa Papua. Mereka ini masuk dalam kategori sayap keempat, yakni sayap simpatisan. Mereka memperkuat tiga sayap perjuangan Papua, yakni sayap sipil, militer dan diplomat.

Para simpatisan melakukan berbagai bentuk aktifitas untuk menaikan publikasi internasional dan mendesak pemerintahan asalnya serta PBB, juga Pemerintah Indonesia untuk mengambil langkah-langkah kongkrit guna menyelesaikan masalah-masalah di Papua Barat. Keterpanggilan mereka dalam mendukung perjuangan bangsa Papua adalah murni keterpanggilan kemanusiaan. Tidak ada kepentingan lain, kecuali kepentingan untuk menyelamatkan rakyat bangsa Papua dari diskriminasi, marginalisasi, ketidak-adilan, minoritas dan kepunahan etnis Papua secara perlahan tetapi pasti. Mereka bekerja tanpa pamrih, bekerja tanpa upah. Satu hal yang tidak dapat diambil dari mereka yang menaruh hati bagi penderitaan rakyat pribumi Papua adalah melalui sikap dan tindakan solidaritas itu, mereka menaburkan benih-benih kebaikan dalam kebun kehidupannya masing-masing.

Sementara itu ada pula masyarakat Internasional yang memilih sikap netral. Sikap itu diambil karena ada beberapa pertimbangan, antara lain: 1) Mungkin mereka tidak mau ambil resiko karena setiap sikap pro atau kontra yang diambil tentu ada pengorbanan (pengorbanan berupa materil maupun moril); 2) Mungkin tidak mau ambil pusing karena tidak simpati dengan penindasan yang terjadi di Tanah Papua; 3) mungkin juga tidak mau hubungan kerja sama antara mereka dan RI tidak terganggu, artinya lebih mengutamakan kepentingan ekonomi dan politik mereka, ketimbang mendukung gerakan Papua yang tidak memberi manfaat secara langsung dalam kehidupan mereka; 4) mungkin juga karena ada alasan lain.

Masyarakat Internasional yang tergolong dalam kategori keempat yang tidak tahu tentang masalah darurat kemanusiaan terselubung di Tanah Papua itu tentu terjadi karena mereka tidak mengikuti dinamika kehidupan masyarakat global melalui media cetak maupun elektonik. Dan ini tentu dilatar belakangi oleh beberapa faktor, antara lain: 1) mungkin karena segala waktu difokuskan pada pekerjaan dan rutinitas harian mereka; 2) Mungkin tidak tersedianya sarana komunikasi, media cetak dan elektronik; 3) mungkin karena ada alasan lain, seperti lanjut usia, cacat fisik, dan lain sebagainya.

Berikut ini saya menampilkan beragam tanggapan masyarakat internasional terhadap stigmatisasi kepada aktifis Papua merdeka oleh Negara Indonesia.

Stigmatisasi: makar, separatis, teroris, dan sebagainya yang telah dilegalisasi dalam suatu produk hukum Indonesia telah menuai kontro versi. Masyarakat Internasional yang kontra stigmatisasi, baik secara individu atau lembaga, seperti Amnesti Internasional, ETAN, HRW, Group-group pendukung di dunia, dan Dewan HAM PBB telah berkali-kali mengecam Pemerintah Indonesia untuk menghentikan stigmatisasi makar, separatis, teroris dll, menghentikan kekerasan dan meminta pemerintah Indonesia menyelesaikan masalah-masalah Papua dengan demokratis dan bermartabat.

Salah satu kampanye yang menguat di masyarakat Internasional adalah terkait penerapan hukum makar di Indonesia. Mereka medesak Negara Indonesia segera mencabut hukum tertentu seperti hukum makar yang melegalkan tindakan sewenang-wenang oleh aparat keamanan dan militer Indonesia terhadap rakyat sipil karena sikap dan tindakan RI itu: 1) Mengabaikan nilai-nilai universal yang dijunjung tinggi oleh umat manusia di dunia, seperti: demokrasi, kebenaran, keadilan, kejujuran, kedamaian, Hak Asasi Manusia dan kebebasan; 2) Melanggar prinsip-prinsip Dasar Deklrasi Umum Hak Asasi Manusia oleh PBB dan kovenan-kovenan Internasional lainnya, seperti Deklrasi Hak-Hak Dasar Masyarakat Pribumi, Kovenan Internasional tentang hak-hak sipil dan politik; dan Kovenan Internasional tentang hak-hak sosial budaya, ekonomi dan politik.

Salah satu kasus tuduhan makar yang dijerat kepada tuan Filep J. S. Karma di mana beliau dipenjara selama 15 tahun menjadi kasus yang sangat diseriusi oleh masyarakat solidaritas Internasional. Para simpatisan melalui beberapa pengacara hukum Internasional membawa kasus tuan Filep ke arbitrasi Internasional di PBB. Sesuai keterangan dari tuan Filep bahwa gugatan ke arbitrasi internasional itu dimenangkan oleh Filep pada tahun 2011 dengan keputusan: Penahanan Filep J. S. Karma oleh Negara Indonesia adalah penahanan sewenang-wenang (penahanan illegal) maka Pemerintah Indonesia harus segera bebaskan tanpa syarat. Namun, sampai saat ini keputusan itu tidak dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia. Tuan Filep masih di dalam penjara Abepura.

Selain itu salah satu Pidato yang menuai kontro versi adalah: Separatisme Papua vs Teroris Jihad: Dilema-Dilema Kebijakan Indonesia. Pidato ini disampaikan oleh Ibu Sidney Jones dalam program Kebijakan Internasional di Universitas Stanford Amerika Serikat pada tanggal 05/12/2012 dan diperbaiki pada 22/01/2013 serta dipublikasikan lewat internet: http://www.crisisgroup.org/en/publication-type/speeches/2013/jones-papuan-separatists.aspx

Dalam pidato ibu Jones itu membandingkan dua gerakan di Indonesia: pertama gerakan Papua, yang beliau sebut: Separatis Papua; dan kedua, gerakan jihad teroris. Jones mengatakan: kedua gerakan yakni Jihad teroris dan gerakan orang Papua yang sedang berjuang untuk merdeka membuat tindakan jahat yang mirip, walaupun mereka selalu dituduh dengan pandapat berbeda. Dalam pidato itu ia berusaha menggali informasi dari berbagai sumber untuk berusaha menyamakan aktifitas Pejuang Papua ke dalam ranah teroris.

Berikut ini kutipan pidato dari ibu Jones: Setahu saya, hingga sekarang belum ada upaya sistemnya untuk mempromosikan kelepasan dari ikatan kekerasaan di Papua, walaupun mungkin KAPOLDA akan baru memulai suatu program seperti itu nanti.

Pernyataan ibu Jones di atas, secara terselubung beliau mendukung upaya tudingan teroris yang diungkapkan oleh Kapolda baru, Tito Karniavan kepada aktifis KNPB. Sebaiknya Ibu Jones tidak secara langsung menuduh gerakan Papua semirip teroris.

Ibu Jones tidak tahu siapa sesungguhnya yang menciptakan kekerasan di Tanah Papua. Berikut ini tanggapan Ed McWilliams: Khususnya di Papua Barat di mana rivalitas polisi militer tentang akses pada sumber alam dan pemerasan sangat terkenal. Sebaiknya Jones tahu pula bahwa militer, polisi dan aparat-aparat inteligen Indonesia sudah lama sekali berperan sebagai pelaku yang menimbulkan dan merekayasa tindakan kekerasaan untuk mencapai tujuan-tujuan terselubung, demikian komentarnya.

Pernyataan ibu Jones seolah-olah pihak TNI dan POLRI tidak melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap orang asli Papua, padahal justru TNI dan POLRI menjadi dalang dan pemicu kekerasan yang berkepanjangan di Tanah Papua hanya demi mencapai kepentingan politik dan ekonomi semata. Untuk mencapai kepentingan-kepentingan itu, berbagai skenario secara teratur, rapih dan sistematis dimainkan oleh kaki tangan RI di Tanah Papua, seperti yang terjadi dalam demonstrasi damai pada tanggal 16 Maret 2006 di Abepura yang berakhir bentrok dengan aparat polisi.

Kasus ini murni didalangi dan dimainkan oleh aparat polisi dan intelijen Indonesia bekerja sama dengan pihak tertentu yang menjadi mitra kerja mereka. Di pihak polisi kasus ini mengakibatkan tiga brimob dan satu militer TNI angkatan udara tewas serta beberapa polisi mengalami luka berat dan ringan. Dan di pihak warga sipil, beberapa orang mengalami luka tembak, selanjutnya polisi/brimob menggelar penyisiran brutal di Abepura dan sekitarnya. Akibat penyisiran membabi buta oleh polisi itu mengalami: pengrusakan fasilitas dibeberapa asrama mahasiswa, teror intimidasi terhadap warga sipil, penangkapan sewenang-wenang, disertai penyiksaan brutal akibatnya banyak orang mengalami luka berat dan ringan.

Tragedi kelabu 16 Maret 2006 itu adalah skenario tingkat tinggi yang dikemas secara teratur dan rapih oleh pihak aparat dan intelijen Indonesia hanya untuk mencapai empat kepentingan, yakni: 1) Untuk meredam demonstrasi damai yang meluas dan menggema di negara-negara dunia dengan tuntutan sentral: tutup PT Freeport Indonesia di Timika- Papua, dan AS, RI dan Papua mengadakan dialog atau perundingan; 2) Bagi pihak-pihak yang terlibat secara langsung dan tidak langsung untuk meredam demonstrasi itu mendapatkan imbalan atau balas jasa, antara lain berupa uang; 3) Untuk menaikan pangkat dan jabatan bagi aparat Indonesia yang terlibat dalam meredam demonstrasi damai yang meluas dan menggema itu; 4) Untuk membangun mosi tidak percaya dan mendegragasikan perjuangan pembebasan bangsa Papua.

Pasca tragedi itu, untuk mengelabui publik Internasional, aparat polisi dengan sewenang-wenang menangkap seratus lebih orang Papua yang mayoritasnya adalah mahasiswa. Dan hanya 24 orang saja dipenjara di Abepura dengan hukuman berat paling tinggi 15 tahun. Mereka itu sebenarnya bukan pelaku pembunuhan brimob dan militer dalam tragedi 16 Maret 2006 itu. Tetapi demi melindungi dan menyembunyikan permainan aparat Indonesia, 24 orang itu divonis bersalah dan dipenjara.

Jones sebagai senior aktifis HAM sudah tahu bahwa selama ini Negara Indonesia tidak memberikan akses bagi wartawan asing dan pekerja kemanusiaan asing masuk ke Papua Barat untuk melihat dan mendengar langsung penderitaan dan harapan hidup orang asli Papua. Ibu Jones mestinya bertanya: Kenapa tidak memberikan akses bagi wartawan asing dan pekerja kemanusiaan asing masuk ke Papua Barat, seperti tidak memberi ijin bagi pelapor khusus PBB yang membidangi kebebasan berekspresi untuk datang ke Papua Barat dan Ambon pada bulan Januari 2013? Jawabannya: Negara Indonesia takut terbongkar segala bentuk penindasan terhadap orang asli Papua dan orang Ambon-Maluku.

Nampaknya ibu Jones belum memahami baik tentang latar belakang sejarah bangsa Papua yakni distorsi sejarah yang menjadi akar permasalahan di Papua Barat. Ibu Jones juga belum melihat secara langsung bagaimana orang Papua hidup dalam tekanan, intimidasi dan teror dari TNI dan POLRI, ia pun belum melihat secara langsung bagaimana orang asli Papua semakin dimarginalisasi, semakin didiskriminasi, menjadi minoritas, mengalami ketidak-adilan, dibantai oleh TNI dan POLRI melalui operasi militer terbuka maupun tertutup; akibat dari penindasan RI dan para sekutunya itu, orang asli Papua saat ini sedang menuju kepunahan etnis secara perlahan, tetapi pasti. Karena ibu Jones belum melihat langsung dan belum mengalami betapa pahitnya penindasan RI kepada orang asli Papua, maka itu dalam pidatonya ia berusaha memojokkan perjuangan bangsa Papua untuk penentuan nasib sendiri dan berusaha menyamakan gerakan pembebasan bangsa Papua dengan gerakan jihad teroris di Indonesia.

Dalam pidatonya, ibu Jones tidak mengangkat segala bentuk pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Negara Indonesia kepada rakyat pribumi Papua sejak tahun 1962 sampai saat ini. Dari isi pidatonya, kami tahu bahwa ibu Jones berusaha menyembunyikan segala bentuk penindasan RI dan berusaha membangun mosi tidak percaya terhadap perjuangan rakyat bangsa Papua. Ibu Jones sebagai senior dalam bidang HAM semestinya dengan jujur mengungkapkan fakta-fakta penindasan dari Negara Indonesia dan para sekutunya yang dialami oleh orang asli Papua. Dengan demikian saya menilai bahwa dalam pidato itu ibu Jones memposisikan diri bukan sebagai aktifis HAM, bukan juga sebagai ilmuwan, tetapi memposisikan diri sebagai mitra kerja dari Negara Indonesia dan secara tidak langsung ibu Jones mendukung segala bentuk penindasan RI kepada rakyat pribumi Papua Barat.

Pidato yang dibuat Jones ini tergolong seruan atau memotifasi kepada Negara Indonesia untuk meningkatkan penumpasan aktifis Papua merdeka, yaitu dari penerapan hukum makar /separatis ditingkatkan ke penerapan hukum anti terorisme, dan dengan demikian membunuh penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua. Pidato itu ditanggapi juga oleh Ed McWilliams, berikut ini kutipan tanggapannya: Seruan Jones untuk Indonesia mendefinisikan seperatisme sebagai terorisme akan mengeraskan usaha menargetkan suara para aktifis/kelompok yang menyampaikan dengan damai tidak disetujui dan sekaligus meningkatkan intimidasi terhadap orang Papua secara umum, demikian komentarnya.

Dalam pidato itu ada sisi lain yang penting dihargai. Saya selaku tahanan politik Papua yang saat ini berada dalam Penjara Abepura, saya memberikan apresiasi kepada ibu Jones karena melalui pidato itu memberikan peringatan dini kepada para aktifis Papua Merdeka untuk menghindari skenario besar secara terselubung yang didorong oleh RI untuk menumpas gerakan pembebasan Papua Barat dengan meningkatkan dari status separatis ke status teroris. Selain itu, di sisi lain pidato ibu Jones juga memberikan masukan bagi Indonesia untuk tidak menggunakan hukum anti terorisme. Berikut ini komentar ibu Jones: Salah satu solusinya adalah untuk tidak menerapkan hukum anti-terorisme di Papua, dan juga untuk berhenti menggunakan hukum itu terhadap para jihad yang membuat kejahatan yang pada pokoknya tidak merupakan tindakan dengan sengaja yang bertujuan menciptakan ketakutan, yaitu berbagai tindakan yang bisa dihukum dengan menerapkan hukum lain termasuk kode hukum kriminal untuk kejahatanseperti pembunuhan, perampokan dan sergapan, demikian pernyataannya.

IV. DAMPAK STIGMATISASI YANG DILEGALKAN DALAM HUKUM RI.

Berbagai stigmatisasi oleh RI kepada aktifis Papua merdeka yang dilegalkan dalam produk hukum Indonesia telah melemahkan perjuangan bangsa Papua, namun pada saat yang sama pula mengobarkan semangat perjuangan Pembebasan Papua Barat dan meningkatkan dukungan solidaritas masyarakat Internasional.

Stigmatisasi yang dilegalisasi melalui produk hukum seperti hukum makar itu di lain sisi dapat membunuh psikologis orang asli Papua untuk berjuang, berusaha membungkam suara kebebasan, berupaya mendegradasikan gerakan perlawanan dan menumpas aktifis Papua merdeka, banyak orang Papua dibunuh, banyak orang Papua menderita, banyak materi korban, banyak orang Papua mengungsi ke negara-negara lain, penangkapan sewenang-wenang, pemenjaraan, membangun mosi tidak percaya kepada masyarakat internasional agar menurunkan dukungan mereka atas Papua, tetapi pada sisi lain menumbuhkan nasionalisme kebangsaan Papua, membangkitkan keberanian untuk memperjuangkan pembebasan Papua dan meningkatkan simpati masyarakat internasional. Negara Indonesia berpikir bahwa dengan melakukan tindakan sewenang-wenang, orang asli Papua akan berhenti berjuang, namun anggapan ini tidak berhasil dan Negara Indonesia telah gagal total meng-indonesia-kan orang asli Papua.

Dalam sejarah perjuangan bangsa-bangsa di dunia yang sudah berdaulat penuh (merdeka), yang namanya ideologi pembebasan nasional itu tidak pernah musnah. Ideologi itu mengalir dalam darah nadi dari generasi ke generasi. Sepanjang generasi penerus ideologi itu masih ada, maka selama itu pula ideologi pembebasan nasional itu tetap mengalir dalam darah nadi setiap generasi penerus. Karena itu istilah para penguasa Negara mana pun untuk menumpas ideologi sampai ke akar-akarnya tidak pernah berhasil. Ideologi itu akan musnah, apabila tidak ada generasi yang dapat meneruskan ideologi para pendahulunya.

Demikian pula perjuangan bangsa Papua untuk berdaulat penuh (merdeka). Sepanjang masih ada penerus ideologi pembebasan nasional Papua, maka selama itu pula ideologi Papua merdeka terus mengalir dalam darah nadi orang asli Papua. Ideologi Pembebasan Nasional itu musnah, apabila etnis Papua musnah dari muka bumi ini. Negara Indonesia melalui sistemnya dapat membunuh orang Papua satu persatu melalui berbagai operasi terbuka dan tertutup, tetapi RI tidak akan pernah membunuh ideologi Pembebasan Nasional Papua Barat. Negara Indonesia melalui TNI dan POLRI menangkap dan memenjara orang asli Papua satu persatu, tetapi RI tidak akan pernah memenjara semangat nasionalisme. Negara Indonesia dapat memaksa menerapkan Paket Politik Undang-undang Otonomi Khusus di Tanah Papua sebagai tawaran untuk tetap berada dalam NKRI, tetapi Otonomi Khusus itu tidak akan pernah menawarkan hati dan tidak melemahkan orang asli Papua untuk berjuang kebebasan total. Berbagai operasi militer ditempuh untuk meredam perjuangan bangsa Papua, tetapi moncong senjata polisi dan militer Indonesia tidak pernah meredam suara kebebasan bangsa Papua.

Dari sejak tahun 1962 sampai tahun 1998 rakyat bangsa Papua berada dibawah kekuasaan tangan besi (rejim Soekarno di jaman orde lama dan rejim Soeharto di jaman orde baru) dilarang untuk melakukan aktifitas Papua Merdeka apa pun; mengucapkan kata Papua saja ditumpas dengan tangan besi. Tetapi di era itu pun nasionalisme kebebasan nasional Papua tumbuh subur, apalagi mulai era reformasi sejak tahun 1998 bersamaan dengan penggulingan resim tangan besi (alm Soeharto), nasionalisme kebebasan Papua yang disumbat, krans itu terbuka dan kini nasionalisme kebebasan itu telah mengalir ke berbagai penjuru dunia. Nasionalisme kebebasan Bangsa Papua itu tumbuh subur di atas air mata darah, nasionalisme itu terbangun kokoh di atas tulang belulang para pejuang pendahulu Bangsa Papua, dan jalan setapak menuju kebebasan nasional Papua Barat yang dirintis para pejuang pendahulu itu, kini makin meluas dan semakin hari semakin permanen.

V. KIAT-KIAT MENGHADAPI STIGMATISASI.

Tidak ada cara lain untuk menghadapi stigmatisasi RI yang dilegalkan dalam produk hukum jikalau orang asli Papua tidak menempuh dengan jalan perlawanan apa pun resiko. Apa pun jenis stigma yang dilabelkan pada orang Papua, apa pun hukum yang mengekang kebebasan berekspresi, apa pun tindakan sewenang-wenang yang membatasi kebebasan berpendapat orang asli Papua, apa pun produk hukum yang melarang kebebasan berorganisasi dan berkumpul, apa pun hukum yang melegalkan untuk menumpas perjuangan penentuan nasib sendiri bangsa Papua, saya katakan tidak ada jalan lain, kecuali orang asli Papua tempuh melalui jalan perlawanan. Ingat: jangan sampai orang asli Papua lupa bahwa dalam kongres bangsa Papua kedua pada tahun 2000 rakyat pribumi Papua telah memutuskan bahwa mengawal perjuangan kebebasan bangsa Papua dengan JALAN DAMAI (non violent).

Camkanlah bahwa tidak ada kata menyerah dan tidak ada kata tunduk kepada rejim penjajah mana pun dalam kamus revolusi pembebasan nasional. Slogan yang terukir dalam kamus revolusi pembebasan bangsa adalah: maju pantang mundur, maju tak gentar untuk menghalau rejim penjajah guna menegakkan keadilan, kebenaran, kejujuran, demokrasi, Hak Asasi Manusia dan menciptakan damai sejahtera di bumi seperti di Surga.

Ada banyak cara perlawanan yang kita dapat tempuh sesuai dengan jalan yang kita pilih melalui jalan damai, selain itu kita juga menghargai jalan yang ditempuh oleh sayap militer (TPN PB). Karena pilihan utama jalan politik kita melalui jalan damai, maka itu kita harus memanfaatkan dan memaksimalkan kekuatan-kekuatan yang ada pada kita.

Kekuatan utama kitaadalah berada pada kedaulatan rakyat bangsa Papua. Kekuatan itu kita belum bangkitkan secara menyeluruh di bawah satu komando untuk satu tujuan, di bawah satu wadah politik yang menjadi kendaraan politik bersama, dan dibawah satu konsep ideologi perjuangan serta agenda-agenda strategis dan program kerja bersama. Melalui kendaraan politik bersama dibawah satu kepemimpinan politik sentral dapat mengkoordinasikan ketiga sayap yang ada, yakni sayap sipil, sayap militer, sayap diplomat; dan juga mengembangkan jaringan solidaritas atau kata lain mitra kerja dengan para simpatisan solidaritas masyarakat internasional sebagai sayap keempat.

Melalui organisasi yang tertata rapi dan jaringan solidaritas yang ada, kita meningkatkan kerja-kerja politik untuk memutuskan mata rantai penindasan RI dan para sekutunya melalui dua solusi final, yakni pilihan pertama dan terutama adalah pengakuan kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua secara de jure; dan pilihan kedua adalah refrendum ulang.

Posisi tawar tertinggi bangsa Papua berada pada hasil Kongres Bangsa Papua ketiga. Kenapa saya katakan demikian? Saya hanya melihat dari sisi kekuatan demokrasi, kekuatan politik dan kekuatan hukum yang lahir dalam Kongres Bangsa Papua ketiga. Rakyat bangsa Papua yang datang mensukseskan kongres itu adalah kekuatan demokrasi. Kongres itu adalah sarana untuk berkumpul, berdiskusi, menyampaikan pendapat dan menyepakati serta memutuskan apa yang dikehendaki bersama; itulah kekuatan demokrasi. Dan apa saja yang dilahirkan dalam Kongres Bangsa Papua ketiga sebagai forum demokrasi tertinggi bangsa Papua itulah kekuatan politik dan kekuatan hukum. Maka itu mari kita kompromi politik internal bangsa Papua untuk bersatu dalam satu konsep ideologi perjuangan, agenda strategis-program kerja bersama, bersatu dalam satu organisasi sentral yang menjadi kendaraan politik bersama, dan bersatu dalam kepemimpinan sentral yang diterima dan diakui bersama agar kita menjadi kuat menuju mekanisme internasional. Ketika kita bersatu, maka kita akan kuat untuk menuju kemenangan akhir.

Sesungguhnya Negara Indonesia secara politik sudah kalah, karena dalam Kongres Bangsa Papua ketiga kita sudah tutup dengan JOKER yaitu Deklarasi pemulihan kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua dan berdirinya Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB) pada tanggal 19 Oktober 2011 di Lapangan Zakeus Padang Bulan – Abepura – Jayapura – Papua Barat. Kekuatan demokrasi, politik dan hukum telah terpenuhi dalam hasil Kongres Bangsa Papua ketiga, maka itu sekarang mari kita kompromi politik internal bangsa Papua dan mengawal itu untuk mendapatkan pengakuan secara de jure dan peralihan kekuasan adminitrasi pemerintahan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ke Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB). Ini hanyalah bersifat tawaran saja, saya tidak memaksa siapa pun; dan pada prinsipnya saya menghormati posisi Anda masing-masing dan menghargai semua upaya yang ditempuh oleh semua komponen bangsa Papua untuk memutuskan mata rantai penindasan RI dan para sekutunya. Jika kita tidak kompromi politik internal bangsa Papua, maka silahkan kita mencari jalan lain yang terbaik, yang dikehendaki oleh semua komponen bangsa Papua.

Camkanlah bahwa banyak orang asli Papua menderita, banyak orang Papua dibantai, dimarginalisasi, orang Papua menjadi minoritas, didiskriminasi, banyak orang Papua mengungsi ke negara lain, banyak orang Papua ditangkap dan dipenjara, jadi jangan kita bertahan pada posisi masing-masing yang mengakibatkan menunda kemerdekaan kedaulatan penuh bagi bangsa Papua di negeri Papua Barat dan akhirnya memperpanjang penindasan oleh RI dan para sekutunya kepada orang asli Papua Barat.

Terkait dengan tudingan teroris, kita tidak perlu takut, tetapi kita waspada dan menghindari tindakan-tindakan tertentu yang melegitimasi RI untuk meningkatkan operasi dari status separatis menjadi status teroris. Untuk itu kita tingkatkan kampanye dan lobi melalui jaringan yang ada untuk meyakinkan kepada masyarakat Internasional bahwa tudingan teroris kepada aktifis Papua merdeka itu adalah upaya NKRI untuk meredam perjuangan luhur bangsa Papua. Perlu kita tahu bahwa cara-cara lain untuk menghadapi perjuangan bangsa Papua sudah gagal total seperti penerapan hukum makar, maka kini Negara Indonesia sedang berancang-ancang meningkatkan penerapan hukum anti terorisme di Tanah Papua.

Selama ini RI menggunakan slogan: Perang Melawan Separatis Papua, dan ternyata itu sudah gagal total, maka RI hendak mau ganti dengan slogan: Perang Melawan Teroris Papua. Tetapi kasihan, upaya RI bagaikan menyaring angin, pasti akan gagal total sampai Negara Indonesia akan angkat kaki dari tanah Papua dengan kepala tertunduk malu, sama seperti Negara Indonesia mengangkat kaki dari Tanah Timor Timur pasca kemenangan refrendum bagi rakyat Timor Timur, di mana pada saat itu polisi dan militer Indonesia dipukul mundur oleh pasukan PBB yang dipimpin pasukan/tentara elit dari Australia pada tahun 1999. Sebaliknya, jika Negara Indonesia dengan lapang dada mengakui kemerdekaan kedaulatan bangsa dan Negara Papua dengan bermartabat dan selanjutnya mengatur kerja sama di antara dua bangsa dan dua negara yang setara, maka negara Indonesia akan mengangkat kaki dari tanah Papua dengan kepala terangkat dan akan mendapat penghargaan yang setinggi-tingginya dari masyarakat Internasional; dan saya yakin rencana pemberian Nobel Perdamaian dunia pasca perjanjian damai RI dengan Aceh di Helsingky kepada presiden RI (SBY) yang telah tertunda akan terwujud. Dengan demikian, nama Indonesia menjadi harum dan terhormat di dunia Internasional.

PESAN PENUTUP.

Akhir dari tulisan ini, saya menyampaikan berapa pesan kepada beberapa pihak, antara lain:
1). Kepada Negara Indonesia, saya mengucapkan selamat berjuang mempertahankan Tanah Papua dalam bingkai NKRI dengan cara-cara kotor dan tidak beradab, tetapi saya ingin katakan bahwa segala upaya Negara Indonesia bagaikan menyaring angin ( tidak akan pernah berhasil); karena perjuangan bangsa Papua adalah perjuangan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, perjuangan untuk menegakkan jati diri setiap pribadi dan jati diri bangsa Papua sama seperti bangsa-bangsa merdeka lain di dunia, maka itu saya yakin bahwa perjuangan kebenaran dan keadilan bangsa Papua itu akan keluar sebagai pemenang akhir.

2). Kepada siapa pun para simpatisan masyarakat Internasional yang memberi perhatian bagi penderitaan rakyat pribumi Papua, Anda semua adalah bagian dari hidup kami, dan bagian dari sejarah perjuangan Papua Barat. Segala pengorbanan Anda terukir abadi dalam jejak langkah perjalanan bangsa Papua dari generasi ke generasi. Anda semua adalah sahabat dan saudara-saudari kami. Pengorbanan Anda semua adalah bentuk dukungan solidaritas secara nyata untuk menciptakan damai sejahtera di bumi seperti di Surga, khususnya di Tanah Papua. Anda adalah pencinta kebenaran dan keadilan untuk semua; Anda adalah pencinta kedamaian dan kebebasan untuk semua. Tidak ada kata terindah yang kami dapat mengukirkan pengorbanan para simpatisan solidaritas masyarakat Internasional di mana saja Anda berada, tidak ada barang terindah dan termahal yang dapat membalas kebaikan Anda kepada rakyat pribumi Papua. Hanyalah rasa terima kasih dari lubuk hati yang paling dalam yang kami ucapkan kepada setiap para simpatisan solidaritas masyarakat Internasional yang menaruh hati dan yang mendukung kami secara langsung dan tidak langsung bagi pembebasan bangsa Papua dari kemelut penindasan RI dan para sekutunya. Dengan rasa hormat yang amat mendalam dan dari lubuk hati yang paling dalam, kami pesan kepada Anda semua teruslah menaburkan benih-benih kebaikan dalam kebun kehidupan Anda dengan jalan mendukung kami dengan sumbangan moril dan materil menuju penyelesaian status politik dan hukum bagi bangsa Papua di negeri Papua Barat melalui: jalur perundingan; jalur hukum atau jalur dekolonisasi/politik untuk mencapai dua solusi final yaitu pilihan pertama dan terutama adalah pengakuan secara de jure dan atau pilihan kedua: refrendum ulang.

3). Saya mohon Anda dapat menyebarkan artikel ini kepada sesama aktifis Papua Merdeka dan para simpatisan solidaritas masyarakat Internasional di manca negara melalui email, face book, dan media sosial lainnya agar dapat memahami isinya dan ditindak-lanjuti agar tidak terjebak dalam skenario besar yang dikemas rapi dan sistematis yang sedang dibangun oleh NKRI melalui mesin-mesin pertahanannya dan dengan atas kerja sama para sekutunya diberbagai manca negara untuk mengiring perjuangan bangsa Papua ke ranah teroris, yang akhirnya dapat berdampak buruk pada perjuangan luhur bangsa Papua menjadi musuh dunia dan masuk dalam kotak alias tidak mendapat simpati masyarakat internasional. Kita intropeksi diri dan kita mengawal perjuangan bangsa Papua dengan arif, bijaksana, cerdas, bermartabat dan bertanggung jawab untuk mencapai ke tujuan utama perjuangan kita, yakni kebebasan total.

Sekian dan terima kasih.

Persatuan Tanpa Batas Perjuangan Sampai Menang.

* Ketua Umum Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat, juga sebagai tahanan politik di Penjara Abepura – Jayapura – Papua Barat

| March 10, 2013 | 18:48, TJ

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny