Jayapura, 11/1 (Jubi) – Sekretariat Melanesia Spearhead Group (MSG) menyatakan keberatannya untuk terlibat dalam undangan Pemerintah Indonesia untuk mengunjungi Indonesia dan Papua, karena menganggap kunjungan ke Indonesia, termasuk ke Papua sudah melenceng dari resolusi para pemimpin negara-negara MSG di Noumea, Kaledonia Baru, bulan Juni tahun lalu.
Sumber Jubi di sekretariat MSG, mengatakan kunjungan negara-negara yang tergabung dalam MSG ke Indonesia bersifat Multilateral, bukan kunjungan MSG seperti keputusan dalam resolusi pemimpin MSG di Noumea, tahun lalu.
“Kunjungan ke Indonesia untuk mempromosikan kerjasama ekonomi dan pembangunan. Ini lebih bersifat kunjungan multilateral, bukan kunjungan dari sebuah entitas bernama Melanesia Spearhead Group. Tema kunjungan ternyata diluar resolusi yang diambil oleh pemimpin MSG di Noumea, tahun lalu.”
kata sumber ini, Sabtu (11/01).
Karena maksud dan tujuan yang berbeda dari resolusi MSG ini, lanjut sumber ini, Sekretariat MSG telah menyatakan keberatan mereka. Sekretariat MSG juga tidak menghadiri pertemuan teknis tentang kunjungan ini, yang dihadiri oleh para Mentri Luar negeri dari Papua New Guinea, Kepulauan Solomon dan Fiji. Sedangkan Mentri Luar Negeri Vanuatu juga tidak menghadiri pertemuan ini. Vanuatu hanya mengirimkan Hon Joe Natuman (Vanuatu special envoy for decolonisation) untuk hadir.
Berbeda dengan informasi sebelumnya yang diterima dari Mentri Luar Negeri vanuatu, Joe Natuman mengatakan bahwa para Mentri Luar Negeri dari Papua New Guinea, Kepulauan Solomon dan Fiji ini juga akan mengunjungi provinsi Papua. Delegasi ketiga negara ini dijadwalkan bertemu dengan Gubernur Papua dan DPRP pada tanggal 13 Januari di Jayapura. Namun Natuman menambahkan, bahwa kunjungan ke Papua ini hanya untuk bertemu dengan pemerintah provinsi dan DPRP saja, tidak dengan elemen masyarakat sipil seperti pihak Gereja, Masyarakat Adat atau Tahanan Politik.
“Vanuatu masih menunggu kabar terakhir mengenai agenda di Papua dari ketua MSG, Victor Tutugoro. Jika pertemuan hanya dilakukan dengan orang-orang pemerintah saja, besar kemungkinan Vanuatu akan menolak untuk terlibat.”
kata Natuman, saat dihubungi Jubi (11/1).
Kepala Misi Papua Barat di Vanuatu, Andy Ayamiseba, membenarkan kunjungan para Mentri Luar negeri dari tiga negara Melanesia ini. Menurut Andy Ayamiseba, ia telah bertemu dengan Pemerintah vanuatu dan Sekretariat MSG, Jumat (10/1) di Port Villa, vanuatu.
“sekretariat MSG menolak kunjungan ini karena tidak sesuai dengan jiwa resolusi dari MSG leaders meeting. Mereka tidak mengikuti MSG technical staff. Tiga Menlu yang lain datang dengan team departemen luar negeri mereka, terkecuali Menlu Vanuatu. Vanuatu menolak hadir dengan alasan yang sama.”
English: Coat of arms of Republic of West Papua Bahasa Indonesia: Lambang Republik Papua Barat Русский: Герб Республики Западное Папуа (Photo credit: Wikipedia)
Kapolda Papua Irjen (Pol) Drs. M Tito Karnavian M.A., Ph.D., saat bersalaman dengan sejumlah Pejabat teras usai melakukan pertemuan di ruang Raputama, Jumat (10/1) kemarin. JAYAPURA – Sebelum kedatangan 5 menteri luar negeri (Menlu) Melanesian Spearhead Group (MSG) ke Papua dalam waktu dekat, Kapolda Papua. Irjen (Pol) Drs. M Tito Karnavian M.A., Ph.D., menggelar tatap muka dengan Kasdam XVII/Cenderawasih, Brigjen TNI Hinca Siburian mewakili Pangdam XVII/Cenderawasih, Mayjen TNI Crhistian Zebua di ruang raputama, Mapolda Papua, Jumat (10/1) petang.
Dalam pertemuan tertutup yang dipimpin langsung Kapolda dengan dihadiri sejumlah pejabat teras di Mapolda Papua dan Kodam XVII/Cenderawasih berlangsung kurang lebih empat jam tersebut. Selain membahas kedatang MSG, juga membahas tentang peristiwa di daerah Kabupaten Puncak Jaya dan di daerah Timika.
Juru bicara Polda Papua, Kombes (Pol) Pudjo Sulistyo S.IK., menjelaskan, bahwa dalam pertemuan salah satu utama yang dibahas terkait rencana kedatangan lima Menlu MSG ke Indonesia, terutama di Papua yang rencana, kedatangan mereka belum bisa dipastikan.
Kedatang MSG ke Papua, kata Kabid Humas, berdasarkan hasil komunikasi yang sudah dilakukan pada bulan Juni lalu oleh MSG, termasuk Indonesia, sehingga dari rencana tersebut akan datang ke Indonesia dan juga akan datang ke Papua, yang rencananya akan berkunjung di Jayapura, Manokwari dan Sorong.
“Tujuan utama MSG datang ke Papua untuk mengecek pengamanan dan serta perkembangan di Papua maupun di Papua Barat, hanya saja masih menunggu petunjuk lebih lanjut dari Jakarta tentang jadwal kedatangan mereka ke Papua,” ujarnya.
Apakah kedatangan mereka membahas isu di Papua yang selama ini berteriak untuk merdeka, Kabid Humas mengemukakan bahwa kedatangan mereka tidak lain melihat pembangunan yang ada di tanah Papua.
“Memang itu isu yang terungkap selama ini, namun kedatangan mereka hanya untuk melihat perkembangan pembangunan, yang mana seluruh stakeholder, baik masyarakat Papua asli maupun pendatang yang lama di Papua diberikan kesempatan yang sama untuk diberikan pembangunan, terutama dalam bidang bidang pendidikan, kebudayaan, agama, ekonomi komunikasi dan lain sebagainya,”
ujarnya.
Juga Disikapi Kelompok Organisasi Papua Merdeka
Rencana kedatangan delegasi Foreign Ministers Mission (FMM) Melanesian Spearhead Group (MSG) ke Papua Barat juga turut disikapi rakyat Papua Barat dan kelompok organisasi Papua Merdeka (OPM).
Juru Bicara TPN OPM, Jonah Wenda, mengatakan, beberapa hari terakhir, pihaknya mendapat informasi dari sumber-sumber yang dapat dipercaya bahwa delegasi Foreign Ministers Mission (FMM) Melanesian Spearhead Group (MSG) atau Misi Para Menteri Luar Negeri Negara-Negara Melanesia, telah diundang oleh Pemerintah Indonesia untuk mengunjungi Papua dan Indonesia (Jakarta).
Undangan ini merupakan hasil kesepakatan yang telah dituangkan kedalam Komunike Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) MSG di Noumea pada 21 Juni 2013 lalu. Dimana pada point 20 dan 21 Komunike KTT MSG disebutkan bahwa delegasi FMM yang dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Fiji akan mengunjungi Jakarta dan kemudian ke Papua dalam Tahun 2013 berdasarkan undangan dari pemerintah Indonesia.
“Kunjungan delegasi FMM-MSG dimandatkan untuk menyoroti isu pelanggaran HAM di Papua. Namun, hingga kini, belum ada pernyataan resmi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia terkait dengan rencana kunjungan delegasi FMM-MSG. Kami sendiri mendapat informasi bahwa pada 12 Januari 2014, delegasi FMM-MSG akan tiba di Jakarta. Sementara sumber lain menyebutkan bahwa Pemerintah Indonesia tidak mengijinkan delegasi FMM-MSG untuk mengunjungi Papua. Jika delegasi FMM-MSG tidak mengunjungi Papua, maka upaya untuk menyoroti persoalan HAM di Papua tidak akan berjalan secara maksimal,” ungkapnya dalam keterangan persnya kepada wartawan di Aula P3W Padang Bulan Sosial, Jumat, (10/1).
Dijelaskannya, sebelum Komunike KTT MSG ditandatangani, Pemerintah Vanuatu danpimpinan Front Pembebasan Nasional Sosialis Kanak (FLNKS) sangat khawatir dengan sikap Pemerintah Indonesia yang akan menutupi semua kasus pelanggaran HAM yang mereka lakukan terhadap rakyat Papua Barat. Kekhawatiran tersebut Nampaknya akan segera terbukti, yang mana pemerintah Indonesia masih bersikap tertutup dan membatasi kunjungan delegasi FMM-MSG ke Papua Barat.
Pada dasar itu, mengacu pada situasi yang berkembang seperti dipaparkan diatas, maka pihaknya mengeluarkan pernyataan, berupa, (1) mendesak kepada Pemerintah Indonesia untuk segera memberikan klarifikasi secara terbuka kepada rakyat Papua Barat, terkait rencana kunjungan delegasi FMM-MSG ke Jakarta maupun Papua. (2). Menyarankan delegasi FMM-MSG yang berkunjung ke Papua agar bertemu dengan Perwakilan Rakyat Papua Barat yang memperjuangkan kemerdekaan dan kedaulatan Bangsa Papua Barat. (3) Menyarankan delegasi FMM-MSG yang berkunjung ke Papua untuk bertemu dan mendengar langsung kesaksian dari para korban pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia.
“Dalam kesempatan yang baik ini, kami juga ingin menghimbau kepada seluruh rakyat Papua Barat agar mempersiapkan mobilisasi umum dalam rangka menyambut delegasi FMM-MSG. Tata cara penyambutan harus dilakukan sesuai dengan tradisi sopan-santun adat dan budaya Melanesia,”
bebernya.
Lanjutnya, jika Pemerintah Indonesia Gentelmen, harus terbuka untuk delegasi datang ke Papua lihat kondisi yang ada, bahwa ini Pemerintah Indonesia sudah 50 tahun membangun Papua dan ini hasil pembangunannya. Tetapi bila tertutup, berarti itu ada sesuatu yang disembunyikan.
Ditempat yang sama, Ketua Panitia Penjemputan Delegasi FMM MSG, Pdt. Benny Jantewo, menandaskan, soal ketidakjelasan kedatangan delegasi FMM MSG, itu pihaknya mempertanyakan kepada Pemerintah Indonesia, bagaimana konsekuen dengan niat baik Pemerintah Indonesia, karena kesepakatan KTT Nomea itu delegasi MSG datang ke Papua atas permintaan Pemerintah Provinsi Papua.
“Mau tanya Jakarta konsekuen ataukah tidak atas permintaan mereka di KTT Nomea. Kami berterima kasih Pemerintah Indonesia yang mana waktu pertemuan di Nomea ada pertemuan untuk hadir, ini sesuatu yang bagus, karena mau keterbukaan, cuma kami kecewa, karena waktu 6 bulan lalu Juni 2013-23 Desember 2013, ini sudah lewat baru muncul pernyataan bahwa mau ke Papua, ini jelas tidak ada konsekuensi atas permintaan sendiri dalam forum resmi negara-negara di MSG,”
paparnya.
Meski demikian, namun, jika pada 12 Januari 2014 delegasi FMM MSG ini benar-benar hadir, maka harus ada koordinasi dengan Pemerintah Provinsi Papua dan pihaknya selaku masyarakat adat yang sudah siapkan diri untuk penyambutan kedatangan delegasi Menteri Luar Negeri MSG itu. Akan tetapi bila belum ada kepastian, maka pada Senin, (13/1) pihak akan bertemu Gubernur, DPRP, MRP, Kapolda Papua dan Pangdam, untuk mencari tahu kepastian kedatangan para delegasi, karena apapun Gubernur perpanjangan tangan pemerintah pusat, dan tujuan kedatangan MSG ke Papua sehubungan dengan pelanggaran HAM.
“Kami masyarakat adat sebagai korban HAM tidak bisa kerja sendiri, juga Pemerintah Indonesia bekerja sendiri-sendiri, tapi kita semua bekerja sama-sama untuk melihat masalah ini secara bersama-sama pula. Kesepakatan Nomea kan itu atas undangan Pemerintah Indonesia, maka penyambutan perlu kita siapkan, supaya kehadiran mereka delegasi menjadi ragu. Kerjasama itu perlu supaya situasi dilapangan tidak terjadi kendala, ini perlu yang kita bicara agar rakyat tidak menjadi soal,”
katanya lagi.
Ditandaskannya, pada situasi akhir-akhir ini, persoalan seperti ini sudah diatur sedemikian rupa oleh pihak lain sehingga menghalangi para korban HAM untuk hadir memberikan kesaksian dalam pertemuan kedatangan FMM-MSG tersebut.
Menurutnya, harusnya korban pelanggaran HAM perlu didengar kesaksian para korban HAM tidak hanya untuk delegasi MSG, tapi juga harus didengar Pemerintah Indonesia juga, Polda dan Kodam juga harus dengar, karena yang melakukan pelanggaran HAM adalah pihak Polisi/TNI. Dengan kata lain semua harus terbuka saja, siapa yang benar dan siapa yang salah dalam kasus pelanggaran HAM itu, apalagi persoalan HAM ini sudah memicu sampai di dunia internasional.
“Kita harus terbuka dan main kucing-kucingan dan sembunyi-sembunyi , ini kan perjuangan kami. Kapolda pernah menyatakan larangan senjata boleh, tapi perjuangan damai boleh dilaksanakan jadi ini bagian kami, jadi kenapa kita tidak sama-sama luruskan masalah, siapa benar dan siapa yang salah,”
tukasnya.
Untuk penyambutan sendiri, pihaknya akan menyambut para delegasi dengan adat budaya Malanesia. Tarian adat dan suling bambu, tambur di Bandara Sentani, dan itu sebuah penghormatan terhadap saudara-saudara sesama Malanesia di Pasifik Selatan yang tidak dibayangkan akan datang ke Papua.
Tentunya kedatangan para delegasi tersebut untuk melihat pembangunan di era Otsus dan sebelumnya, apakah selama ini Pemerintah Indonesia betul-betul membangun Papua ataukah tidak. Dan jika protokoler Pemerintah Provinsi Papua setuju, maka para delegasi diarahkan untuk survei dari Kemiri sampai Pasir 2, Distrik Jayapura Utara untuk melihat pembangunan, apakah ada pemberdayaan ekonomi orang asli Papua, apakah ada Mall orang asli Papua, apa ada bengkelnya, rumah makannya, atau masih jualan pinang di pinggir jalan.
Kemudian, perlu bertemu dengan dengan Komnas HAM Papua untuk melihat dan mendengar langsung pelanggaran HAM yang terjadi di Papua. Dan dalam era Otsus ini akan ada yang mengamanatkan bahwa perlindungan terhadap orang asli Papua. Dalam rangka perlindungan itu diarahkan paling tidak MSG bertemu dengan KPA Provinsi Papua dengan rumah sakit bahwa berapa orang asli Papua yang menjadi korban HIV/AIDS, ini supaya jelas bahwa kedepannya Papua ini jelas ataukah tidak, ini terbuka saja, karena rakyat Papua ingin tidur diatas tanah ini, bukan untuk hancur.(loy/Nls/don/l03)
Jayapura, 5/10 (Jubi) – Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Papua Inspektur Jenderal Polisi Tito Karnavian menilai, pernyataan perdana menteri negara Vanuatu, Moana Karkas Kalosil tidak valid.
Soal investigasi masalah HAM di Papua, menurut Tito, sedianya harus memahami mekanisme di PBB. Semua negara boleh saja menyampaikan pendapat, tetapi tidak harus disetujui. Indonesia memiliki Right of Reply (hak untuk menjawab). Hak itu disampaikan oleh perwakilan tetap RI yang ada di PBB.
“Saya melihat terbalik sekarang ini. Selama setahun saya menjabat, setahu saya, yang menimpa TNI/Polri malah lebih banyak. Saya kira pernyataan Vanuatu tidak valid,” kata Jendral Tito kepada wartawan usai apel HUT TNI ke-68 di lapangan Makodam XVII/Cendrawasih, Sabtu (5/10) siang.
September lalu, 28/9, di Sidang Tahunan PBB, Perdana Menteri Vanuatu Moana Kalosil menyatakan, Papua Barat telah secara konsisten membantah semacam pengakuan oleh badan dunia. Ia meminta, PBB untuk menunjuk seorang Wakil Khusus untuk menyelidiki dugaan pelanggaran hak asasi manusia dan status politik Papua di Indonesia.
“Kita sekarang berunding tentang masalah Suriah, tetapi ketika datang ke masalah hak-hak rakyat Papua Barat, suara kami dimatikan bahkan dalam podium ini ” kata Perdana Menteri Moana Karkas Kalosil kepada Debat Umum Majelis Umum tahunan PBB, mengacu pada perang saudara yang telah menewaskan sekitar 120.000 Suriah , sopir beberapa 6,6 juta dari rumah mereka dan melihat penggunaan senjata kimia.
“Bagaimana kita kemudian mengabaikan ratusan ribu orang Papua Barat yang telah secara brutal dipukuli dan dibunuh ? Orang-orang Papua Barat mencari untuk PBB sebagai mercusuar harapan. Mari kita, pemimpin rekan saya, dengan keyakinan moral yang sama menghasilkan dukungan kami terhadap penderitaan orang Papua Barat. Sudah saatnya bagi PBB untuk bergerak melampaui pinggiran dan alamat dan memperbaiki beberapa kesalahan sejarah,” lanjut Moana.
Disebutkan, polisi Indonesia dilaporkan menembak dan menewaskan dua demonstran pada malam peringatan ke-50 bekas Nugini Belanda, menempati setengah bagian barat New Guinea Island, menjadi bagian dari Indonesia . Setidaknya 20 pengunjuk rasa ditangkap , banyak karena mengibarkan bendera pro-kemerdekaan .
Menurut Tito, suara Vanuatu tidak banyak didengar. Berbeda jauh dengan Indonesia, negara besar, bahkan perdana menteri Indonesia pernah menjadi ketua dewan kemanan PBB. Di dalam PBB, posisi Indonesia, lanjut dia, sangat kuat karena didukung negara-negara ASEAN, OKI dan Non Blok. Sdangkan Australia, Belanda dan Inggris sangat mendukung Papua dalam Negara Kesatuan Republik Indoensia (NKRI).
“Masalahnya, informasi yang disampaikan oleh Vanuatu belum tentu valid. Pelanggaran HAM yang mana yang dimaksud? Semua dikuasi orang Papua, Gubernur, DPRP, Bupati dikuasai orang Papua. Bahkan pejabat kepolisian, Wakapolda itu orang Papua, Komandan Brimob orang Papua. Jadi, pelanggaran HAM yang mana yang dimaksud?” jelas Jendral Tito.
Tito membandingkan situasi di Filipina Selatan, seperti kata salah perwakilan Cina. Bahwa Papua dinilai aman dibandingkan situasi di negara-negara lain. Di dalam negeri, Tito membandingkan situasi Jayapura dengan Jakarta. Dia menilai Jayapura jauh lebih aman daripada Jakarta. Karena itu, Tito mengimbau agar tidak perlu menanggapi pernyataan perdana menteri Vanuatu. (Jubi/Timo Marten)
Penulis : Timoteus Marten on October 5, 2013, TabloidJubi.com
PM Kevin Rudd dan Presiden SBY di Istana Bogor. Jakarta – Meski di Australia ada banyak simpatisan Organisasi Papua Merdeka (OPM), PM Kevin Rudd menegaskan dukungan penuh terhadap keutuhan NKRI. Dia juga menyatakan keinginan bekerjasama dengan pemerintah Indonesia untuk memastikan stabilitas keamanan dan pembangunan di Papua.
Demikian disampaikan PM Kevin Rudd usai bertemu dengan Presiden SBY. Pertemuan yang merupakan sesi konsultasi tahunan rutin dua kepala pemerintahan tersebut, kali ini berlangsung di Istana Bogor, Jumat (5/7/2013).
“Isu yang masih dihadapi di Papua adalah keamanan, masih ada tantangan di sana. Australia ingin bekerjasama dengan Indonesia untuk menjamin stabilitas kedamaian di Papua,”
ujar PM Rudd.
Rudd menegaskan lagi sikap politik pemerintah Australia adalah mendukung keutuhan NKRI dan Papua menjadi bagiannya. Di bawah kepemimpinan Presiden SBY, dia menilai sudah banyak perubahan menuju perbaikan yang terjadi di Papua.
Sebelumnya oleh Presiden SBY disinggung masih terjadi gangguan keamanan yang dilakukan kelompok separatisme di Papua. Operasi penegakan hukum terhadap pelaku oleh TNI dan Polri, justru dikampanyekan sebagai pelanggaran HAM oleh para aktivis atau simpatisan OPM di luar negeri termasuk Australia.
“Padahal di tahun-tahun terakhir, justru yang lebih banyak menjadi korban adalah prajurit TNI dan Polri,”
paparnya.
“Intinya kami melakukan segalanya dengan sebaik-baiknya, seadil-adilnya dan sedamai mungkin dalam membangun Papua serta meningkatkan kesejahteraan warganya. Saya meminta pengertian Australia sebagai kawan dekat dan partner kuat Indonesia,”
sambung SBY.
Stunt Rider atau Motor Freestyle, Beratraksi diatas motor yang sedang Berjalan.Bagaimana serunya?. Simak Liputan selengkapnya di Reportase Malam pukul 02.37 WIB, hanya di Trans TV
(mpr/lh) Jumat, 05/07/2013 15:45 WIB, Mega Putra Ratya – detikNews
JAYAPURA – Pernyataan Gubernur Papua, Lukas Enembe,SIP,MH, bahwa Papua belum terdaftar sebagai
Papua Merdeka (Photo credit: Roel Wijnants)
anggota Forum Malanesian Spearhead Group (MSG) pada pertemuan negara-negara serumpun Melanesia di kawasan Pasifik di Summit Nomea New Caledonia pada 18-21 Juni 2013, ditepis ‘Menteri Sekretariat Negara Republik Papua Barat (NRPB)’ versi ‘Presiden’ Yance Hembring, yakni, Agustinus Waipon.
Ia mengatakan, pada tanggal 19 Juni 2013 lalu Papua sudah sah terdaftar sebagai anggota MSG. Hal itu disampaikan para utusan NRPB yang diutus ke pertemuan forum tersebut. Hal lainnya dikatakan, untuk saat ini NRPB sedang menunggu hasil pertemuan PBB pada September 2013 mendatang, yang mana dipastikan Papua Barat statusnya akan dibahas dalam pertemuan PBB dimaksud.
Sementara itu, terkait pernyataan Pengamat Hukum Internasional, Sosial Politik Universitas Cenderawasih, Marinus Yaung, menyatakan bahwa sebaiknya setiap 1 Juli pada tahun berjalan tidak perlu lagi mengibarkan bendera Bintang Kejora dan lebih banyak mengadakan konsolidasi organisasi Papua Merdeka, ia mengatakan sependapat dengan pernyataan tersebut.
Hanya saja, ia mengharapkan agar Marinus Yaung jangan berbicara mengenai Papua Merdeka, sebab ia adalah orang-orang utusan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, apalagi pernyataanya Marinus Yaung selama ini bertolak belakang dengan perjuangan Papua Merdeka.
Mengenai peringatan 1 Juli itu, pihaknya akan menghimbau kepada rakyat NRPB untuk mengkhususkan tanggal tersebut sejenak untuk berdoa kepada Tuhan atas segala nikmat dan rahmatnya Tuhan.Dan juga meminta Tuhan untuk mengabulkan kemerdekaan seutuhnya bagi rakyat NRPB.
Disinggung soal masalah keamanan, pihaknya menyerahkan secara penuh kepada aparat keamanan, jika menjelang maupun pada tanggal 1 Juli ada kekacauan dan korban jiwa, NRPB mempersilakan aparat keamanan untuk menindak tegas mereka yang membuat keresahan di masyarakat atau membuat rakyat menjadi korban.
“Perjuangan kemerdekaan Bangsa Papua Barat itu penuh dengan kedamaian. Sekali lagi Kami tidak ada program untuk pengibaran BK. Jika pada 1 Juli, ada tindakan brutal yang dilakukan oknum di luar NRPB yang mengorbankan rakyat Papua,”
tukasnya saat menghubungi Bintang Papua via ponselnya, Jumat, (28/6).
Menurutnya, rencana aksi pada 1 Juli adalah sebuah tindakan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak mengerti mengenai politik merdeka Bangsa Papua Barat, sehingga dengan segala cara mau membuat tindakan anarkis yang merugikan diri sendiri dan rakyat Papua.
Atas dasar itulah ia menghimbau kepada rakyat Papua agar jangan terlibat dalam aksi 1 Juli tersebut, karena itu jelas bukan perjuangan murni kemerdekaan Bangsa Papua Barat.
“Mari kita rapatkan barisan untuk menerima kemerdekaan yang sudah diperjuangkan oleh Presiden NRPB, Yance Hembring, yang juga sudah mendaftarkan di PBB. (nls/don/l03)
Jakarta (ANTARA News) – Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengatakan Indonesia dan Timor Leste telah menyepakati garis batas kedua negara (demarkasi) di Dilumil Memo.
Menurut Marty, kesepakatan tersebut dicapai dalam pertemuan bilateral antara kedua negara di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat, saat kunjungan kenegaraan Presiden Timor Leste Taur Matan Ruak.
Kesepakatan ini semakin mendekatkan penyelesaian garis batas kedua negara. Selama ini, masih ada tiga garis batas yang belum diselesaikan kedua negara. Selain Dilumil Memo, juga Bijael Sunan dan Noel Besi.
“Dan hari ini satu dari tiga titik tersebut sudah disepakati, yang tadi kita sepakati adalah di Dilumil Memo, masih ada dua titik lagi yang harus disepakati,”
katanya.
Ia mengatakan bahwa pihaknya terus bekerja keras agar dua garis batas lainnya (Bijael Sunan dan Noel Besi) dapat diselesaikan.
“Jadi, kita harus bekerja keras untuk menuntaskan dua lagi segmen ini, kemudian mulai berangsur membahas masalah perbatasan laut,” katanya.
Ia mengaku bahwa dirinya tidak bisa mentepakan target waktu yang dibutuhkan untuk penyelesaian tersebut.
“Karena ini kan harus dengan penuh kehati-hatian kita bekerja, akan sangat baik kalau diselesaikan dalam waktu yang tidak terlalu lama,”
katanya.
Sementara itu, dalam kesempatan itu, kedua negara juga menandatangani pernyatan bersama pembukaan pos pintu masuk di Haekesak/Turiskain-Tunubibi, Builalo-Memo, dan Haumeniana- Passabe.
(M041/D007)
Jakarta (ANTRA News) – Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan Indonesia dan Timor Leste sepakat untuk meningkatkan kerja sama antarkedua negara.
Hal ini dikatakan Presiden Yudhoyono dalam konferensi pers di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat, seusai pertemuan bilateral dengan delegasi Timor Leste yang dipimpin oleh Presiden Taur Matan Ruak.
Pertemuan bilateral tersebut merupakan salah satu rangkaian dari kunjungan kenegaraan Presiden Taur Matan Ruak ke Indonesia.
Menurut Presiden, kedua belah pihak sepakat untuk terus meningkatkan kerja sama di bidang ekonomi, utamanya di bidang perdagangan, investasi sektor perikanan dan kelautan serta perhubungan.
“Hubungan perdagangan berkembang baik, tahun 2008-2012 rata-rata tumbuh 28 persen dan mencapai 260 juta dolar AS tahun lalu. Kami berharap tahun 2016 bisa ditingkatkan menjadi 300 juta dolar AS,” katanya.
Selain itu, investasi Indonesia di Timor Leste juga terus berkembang, dan ke depan akan ditingkatkan. “Kami juga berharap konektivitas transportasi udara bisa banyak peluang dari bidang ekonomi dan yang lain,” katanya.
Di samping ekonomi, menurut Presiden kedua belah pihak juga sepakat meningkatkan kerja sama di bidang teknis dan pembangunan kapasitas, kerja sama di perbatasan, kerja sama bidang kepemudaan dan olahraga serta hubungan antarmasyarakat.
“Kami juga garisbawahi kerja sama pertahanan dan keamanan,”
kata Presiden.
Presiden Timor leste Tuan Matan Ruak dengan menggunakan bahasa Tetun (bahasa nasional Timor Leste) dalam konferensi pers tersebut menegaskan sikapnya untuk terus mendorong penguatan kerja sama kedua belah pihak.
“Sebagai Presiden Timor Leste saya sekali lagi menyampaikan janji untuk semaksimal mungkin memperkuat hubungan Timor Leste dan Indonesia agar rakyat kedua negara semakin kuat dalam mengejar di masa mendatang,”
katanya.
Sementara itu, dalam kesempatan tersebut kedua negara juga menandatangani sejumlah kesepakatan, di antaranya kerja sama terkait pelonggaran visa untuk paspor diplomatik antara Indonesia – Timor Leste, dan masalah perbatasan antarkedua negara. (M041/T007)
AntaraNews.com, Editor: Ruslan Burhani, Jumat, 21 Juni 2013 19:40 WIB
JAKARTA [PAPOS] – Pemerintah Indonesia dan Papua Nugini menandatangani 11 kesepakatan seusai pertemuan bilateral di Istana Merdeka, Jakarta, Senin.
Penandatanganan kesepakatan tersebut dilakukan para menteri dari masing-masing negara dan disaksikan langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri papua Nugini Peter Charles Paire O’Neill.
Ke 11 kesepakatan tersebut di antaranya tentang pengelolaan perbatasan, kerja sama di bidang pelatihan diplomatik, perjanjian ekstradisi antar kedua belah negara, kerja sama bidang perhubungan.
Kerja sama bidang energi, kerjasama bidang pendidikan dan pendidikan tinggi, kerja sama di bidang kepemudaan, kerja sama di bidang turisme dan kerja sama bidang olahraga.
Presiden dalam sambutannya, seusai menyaksikan penandatanganan tersebut mengatakan, pertemuan kedua belah pihak pada Senin merupakan salah satu batu loncatan pengembangan peningkatan kerja sama dan menuju hubungan yang lebih tinggi, kemitraan komprehensif.
“Yang ingin saya sampaikan adalah, kami sepakat untuk meningkatkan tingkat bilateral kami menjadi tingkat komperhensif, atau komperhensif partnership, dengan ini kedua negara memiliki peluang untuk mengembangkan kerja sama lebih luas,”
kata Presiden.
Sementara itu, Perdana Menteri O’Neill sepakat untuk terus meningkatkan kerja sama yang lebih luas. PNG dan Indonesia merupakan tetangga dekat dan memiliki letak yang strategis. Ia mengharapkan agar kerja sama dapat diperluas antar kedua negara.
Sementara itu, dalam kesempatan tersebut, Presiden Yudhoyono juga mengucapkan terima kasiah atsa dukungan yang terus menerus terhadap kedaulatan wilayah Indonesia.
“Kami terima kasih kepada PNG dua hal, yang pertama adalah konsistensi dukungan PNG terhadap kedaulatan dan keutuhan wilayah Indonesia. Kemudian yang Kedua adalah juga kontribusi PNG sehingga Indonesia bisa ikut menjalin kerja sama yang luas di Asia Pasifik,” kata Presiden. [ant/ida]
JAYAPURA [PAPOS] – Pemerintah Negara New Zealand melalui Duta Besar David Taylor mendukung integritas territorial Indonesia bagi Papua dengan mengedepankan pendekatan ekonomi yang dianggap cukup baik dalam menyelesaikan bentuk permasalahan yang terjadi di Tanah Papua.
Hal ini terbukti dari ditindaklanjutinya kerjasama Program Polisi Masyarakat [Polmas] antara Negara Indonesia dalam hal ini Kepolisian Polda Papua dengan Kepolisian New Zealand sejak tahun 2009-2010, di mana David Taylor didampingi Sekretaris III, David Theacher mengadakan pertemuan dengan Kapolda Papua, Irjen (Pol) Drs. Tito Karnavian dan Wakapolda Papua, Brigjen (Pol) Drs. Paulus Waterpauw beserta pejabat utama Polda Papua, sekitar pukul 08.00 – 10.00 Wit di ruang kerja Kapolda Papua, Senin (15/4).
“Pertemuan itu lebih kepada pembahasan Program Polmas antara Negara New Zealand dengan Negara Indonesia dalam hal ini Polisi Polda Papua sejak tahun 2009 – 2010 yang telah disepakati. Ke depan bersama akan dilakukan semacam pelatihan training of traner, di mana cara mendekatkan Polri dengan masyarakat dan juga untuk memperbaiki tingkat pelaporan yang baik dari masyarakat kepada Polri,” ucap David Taylor Dubes New Zealand di damping Sekretaris III, David Theacher usai melakukan pertemuan dengan Kapolda Papua.
Menurut David, Program Polmas ini baru berjalan pada tahun ini selama 3 tahun kesepakatan. Nantinya akan ada 2 polisi dari Negara New Zealand yang akan ditempatkan di Provinsi Papua dibantu dengan instruktur-instruktur dari New Zealand yang datang secara bergantian di Papua dengan nilai bantuan sekitar Rp 20 Milliar lebih.
David mengutarakan, tujuannya semata-mata untuk lebih mendekatkan Polisi dengan masyarakat melalui Program Polmas tersebut. “Kami yakin Program Polmas ini akan berjalan di Papua sebab sebelumnya, Kapolda Papua Tito Karnavian pernah menyelesaikan Pendidikan di New Zealand dan merupakan teman lama kami. Atas itulah kepemimpinannya sebagai Kapolda Papua, Program Polmas ini bisa berjalan di Provinsi Papua,” ungkapnya.
Di samping itu, dengan progam ini juga diharapkan bisa membantu memperbaiki kualitas pembangunan yang berada di Indonesia terlebih lagi di Provinsi Papua ini yang tentunya akan dikoordinasikan dengan Pemerintah Pusat.
Pada tahun 2013 ini bantuan yang akan diberikan Pemerintah New Zealand berupa program beasiswa bagi Indonesia, terutama untuk pelajar yang berada dari Papua. Sedikitnya 10 mahasiswa telah mengecap pendidikan di New Zealand. “Kami akan mempersiapkan program bahasa Inggris di Surabaya yang baru akan dimulai dan di tutup 20 April mendatang,” kata David.
Beasiswa yang akan diberikan Pemerintah New Zealand tahun 2013 ini ia belum tahu berapa jumlahnya, namun sekarang ini masih dibuka pendaftaran hingga 20 April mendatang. “Sekarang ini telah ada 4 pelajar dari Papua yang mengikuti pelatihan Bahasa Inggris di Surabaya, yang mana tahun sebelumnya, telah terdaftar 600 pelajar dari Indonesia termasuk pelajar dari Papua dan jumlah itu akan bertambah semakin banyak lagi,” tambahnya.
Disinggung adanya dukungan Negara New Zealand terhadap pergerakan Kemerdekaan Papua, David Taylor mengutarakan hal itu dianggap lumrah. Bukan hanya Negara New Zealand melainkan negara –negara di luar negeri juga ada yang ikut yang mendukung. Memang tak dipungkiri bahwa ada 1 atau 2 orang warga Negara New Zealand memberi dukungan terhadap pergerakan kemerdekaan Papua tetapi kebijakan resmi Pemerintah New Zealand adalah mendukung territorial Indonesia bagi Papua, ungkapnya.
Hal yang sama juga disampaikan, Kapolda Papua, Irjen (Pol) Drs. Tito Karnavian. Negara New Zealand sangat mendukung penegakan hukum yang dilakukan pihak kepolisian dalam menghadapi masalah-masalah yang terjadi di Papua. Diimbangi dengan cara pendekatan kesejahteraan kemasyarakatan yang dilakukan pihak Polda Papua saat ini.
Jadi upaya-upaya dalam pengungkapan kasus, langkah pertama yang mesti dilakukan adalah pendekatan melalui Binmas namun bila belum juga membuahkan hasil maka langkah terakhir adalah upaya paksa yang nantinya akan tertuang dalam komuniti polisi. Cara seperti itu dianggap telah berhasil di Negara New Zealand sehingga akan diterapkan juga di Provinsi Papua yang akan diikuti seluruh polisi yang ada di Polres-Polres di Papua.
Pelatihan utama akan dilakukan di Sekolah Polisi Negara[SPN] di Jayapura. Sedangkan untuk file project komuniti akan dimulai dari perkotaan Jayapura dan daerah pegunungan di Provinsi Papua. Dari itulah nanti akan dievaluasi keuntungan dan kelemahannya apa. Bila dilanjutkan, apakah pada daerah lain yang lebih luas lagi.
“Itulah 2 Program inti yang disampaikan Dubes New Zealand kepada Polda Papua selama 3 tahun yang menurut rencana akan rampung pada bulan Juli namun mulai bekerja pada Bulan September dan Oktober mendatang ,” tukasnya. [tom]
Source: Selasa, 16 April 2013 01:56, Ditulis oleh Tom/Papos
Jakarta Pemerintah telah menyerahkan draf baru RUU Kemanan Nasional (Kamnas) kepada Pansus DPR Selasa (22/10) kemarin. Meski sudah ada beberapa perbaikan, draf baru itu menurut Kontras masih berbahaya.
“Saya sudah baca draf baru (RUU Kamnas), tidak ada yang signifikan saya kira masih belum mengubah karakter dasar, misalnya untuk mengerahkan TNI masih mungkin tanpa persetujuan politik dewan. Dewan keamanan nasional tidak melibatakan unsur masyarakat,” kata aktivis Kontras, Usman Hamid di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu
(23/10/2012).
Menurutnya, pelibatan masyarakat dalam Dewan Keamanan Nasional sebagaimana pasal 22 RUU Kamnas dianggap seperti perlawanan rakyat pada tahun 1999.
“Bukan pelibatan civil society, tapi pelibatan masyarakat sesuai kompetensinya dalam unsur forum koordinasi keamanan nasional di tingkat daerah, dan melalui komponen cadangan dan komponen pendukung. Itu seperti wanra (perlawanan rakyat) atau kamra (keamanan rakyat) tahun 1999 dengan Undang-undang PKB (Penanggulangan Keadaan Bahaya) dan UU kemanan dan keselamatan negara yang ditolak oleh mahasiswa,” terang Usman.
Ia juga mengkritisi tentang definisi ancaman dalam RUU Kamnas, dalam Bab IV tentang ancaman keamanan nasional. Menurutnya dalam draf baru sekalipun, definisi ancaman ini tidak jelas dan multitafsir.
“Yang sekarang ancamannya abstrak, ancamanan seperti apa, stabilitas nasional? Pembangunan nasional? Kepentingan nasional? Seperti apa? Kalau nggak jelas dia bisa mengundang interpretasi yang beragam. Petani protes lahannya diambil investor asing dianggap melawan pembangunan? buruh yang demo menolak outsourcing mau dianggap sebagai ancaman pembangunan nasional? Itu kan bahaya,” kritiknya.
Ia menilai jika RUU Kamnas disahkan, maka akan berpotensi mengembalikan sistem politik keamanan nasional seperti model orde baru.
“Jelas membuka peluang bagi sistem politik keamanan yang mirip seperti orde baru. Menhan bilang ini bukan kokantib, bisa saja benar tapi ini seperti dewan kontrol sosial politik di masa orde baru yang bisa mengambil tindakan politik kepada siapa saja yang mengancam stabilitas nasional, kepentingan atau pembangunan nasional,” kata Usman.
Para aktifitis demokrasi yang sekarang hilang atau diculik lanjutnya, adalah aktivis demokrasi yang dianggap mengancam stabilitas nasional, ketika mereka mengorganisir petani untuk proses pengambil alihan lahan dianggap mengancam pembangunan nasional, ketika protes dianggap menganggu keamanan nasional.
Ia menilai, jika pemerintah beranggapan bahwa RUU Kamnas ini untuk mengharmonisasikan UU lain terkait pertahanan dan keamanan, maka perlu sinkron dan jangan tumpang tindih dengan UU yang ada.
“Kalau mau diharmonisasikan harus sesuai dengan UU pertahanan negara, UU TNI, dan lainnya. Kalau mau mengerahkan TNI harus mendapat persetujuan politik DPR, kalau tidak bukan mengharmoniskan dia malah menabrak uu pertahanan negara, UU TNI, kalau dia mau mengharmoniskan antara polisi, TNI dan intelejen, polisi kan penegak hukum bisa menangkap, menahan, dan sebagainya, kalau kewenangan menangkap,
menahan, dan menggeledah kepada TNI malah tidak sinkron, memberi wewenang yang sama kepada lembaga yang berbeda,” terangnya
“Jadi saya RUU sekarang meski sudah diperbaiki masih bermasalah dan sebaiknya dikembalikan lagi oleh DPR,” ucapnya.