Australia Hormati Hukum RI – Masalah vonis bagi Hendry Scott Bloxom, Vera Scott Bloxom, Karen Burke, Keit Rowald Mortimer dan Hubert Hufer

Ditulis Oleh: Ant/Papos
Sabtu, 17 Januari 2009

BRISBANE (PAPOS) -Menteri Luar Negeri Australia Stephen Smith, memahami masa sulit yang dihadapi kelima orang warganya yang divonis bersalah oleh PN Merauke, Kamis (15/1). Namun ia memandang kelanjutan proses hukum terhadap vonis tersebut masih terbuka dengan mengajukan banding ke pengadilan yang lebih tinggi. “Saya diberi tahu bahwa pengajuan banding atas vonis Itu terbuka. Cara terbaik bagi kita adalah menunggu pengajuan banding dan menunggu hasil keputusan pengadilan,” katanya dalam penjelasan persnya, Jumat (16/1) kemarin, seperti diterima Koran ini dari Antara di Brisbane.

Menlu Smith mengatakan, pihaknya akan terus memberikan bantuan kekonsuleran kepada kelima orang warganya yang divonis bersalah telah memasuki wilayah Merauke tanpa dokumen perjalanan yang sah 12 September 2008 itu.

Masalah vonis bagi Hendry Scott Bloxom, Vera Scott Bloxom, Karen Burke, Keit Rowald Mortimer dan Hubert Hufer itu mendapat sorotan media Australia.

Harian “The Australian” misalnya menurunkan berita berjudul “Jail for Aussies over Papua visa an ’embarrassment'” sedangkan “Sydney Morning Herald” menyoroti isu yang sama dalam berita berjudul “Australian Intruders in Papua Sent to Jail”.

Kedua surat kabar itu memberitakan vonis tiga tahun penjara kepada Hendry Scott Bloxom, dan masing-masing dua tahun penjara kepada Vera Scott Bloxom, Karen Burke, Keit Rowald Mortimer dan Hubert Hufer itu sebagai “kejutan” dan “memalukan”.

Vera Scott Bloxom seperti dikutip Sydney Morning Herald mengatakan, ia tidak percaya dengan vonis yang dijatuhkan majelis hakim PN Merauke itu.

The Australian mengutip pendapat Efraim Fangohoi, pengacara warga Australia ini, yang menyebut vonis yang dijatuhkan majelis hakim PN Merauke hari Kamis (15/1) itu sebagai “hal yang sangat memalukan bagi (sistim) hukum Indonesia.”

Menurut dia, bentuk hukuman bagi kelima warga Australia itu hanya “deportasi”.

Kelima warga Australia itu tiba di Merauke dengan pesawat kecil 12 September 2008 tanpa dilengkapi berbagai dokumen perjalanan yang benar untuk berwisata.

Mereka tidak mengantongi izin terbang, izin keamanan maupun izin imigrasi saat terbang dengan pesawat kecil jenis V-68 ke Provinsi Papua dari Pulau Horn di lepas pantai Cape York.

William Hendry Scott Bloxam berindak sebagai pilot, sedangkan Vera Scott Bloxam (co pilot), Hubert Hofer (penumpang), Karen Burke (penumpang) dan Ket Rowald Mortimer (penumpang). (ant/nas)

Australia Dukung Otsus Papua

SYDNEY (PAPOS) -Pemerintah Australia percaya otonomi lebih luas (Otsus) yang telah diberikan pemerintah RI kepada Provinsi Papua dan Papua Barat sudah benar dan tepat. Pernyataan itu disampaikan Menteri Luar Negeri Australia Stephen Smith dalam penjelasan persnya menanggapi pertanyaan media tentang apakah ia sudah menerima surat dari Organisasi Papua Barat Australia berkaitan dengan apa yang disebut penahanan 11 warga Papua Barat dalam kasus pengibaran bendera Bintang Kejora saat demo.

Dalam pernyataan persnya yang diperoleh Koran ini tadi malam dari Antara, Menlu Smith mengatakan, dia belum menerima surat tersebut, namun tidak benar pemerintah Australia dan Indonesia tidak menyinggung isu-isu Papua maupun Papua Barat.

Ia mengatakan, dia dan Menlu Hassan Wirajuda menyinggung masalah-masalah Papua dalam pertemuan pribadi maupun konferensi pers di Jakarta tahun lalu. Dalam masalah Papua, pemerintah Australia memandang penting kondisi di kedua provinsi paling timur Indonesia itu.

“Kami percaya pada pemerintah RI terkait dengan pandangannya tentang otonomi lebih luas bagi kedua provinsi ini sebagai sesuatu yang benar dan tepat,” katanya.

Masalah Papua merupakan salah isu paling sensitif dalam hubungan bilateral Australia-Indonesia. Setelah diganggu masalah Timor Timur tahun 1999, hubungan kedua negara kembali meradang pada 2006 setelah Canberra memberi visa proteksi sementara kepada 43 orang pencari suaka asal Papua Barat.

Pemerintah RI sempat menarik sementara Duta Besar RI untuk Australia dan Vanuatu, TM Hamzah Thayeb. Namun kasus yang telah menimbulkan insiden diplomatik serius dan memperdalam ketidakpercayaan sebagian publik Indonesia pada Australia itu pula yang mendorong pemerintah kedua negara duduk bersama untuk merumuskan perjanjian keamanan yang kemudian dikenal dengan Perjanjian Lombok tahun 2006.

Perjanjian yang ditandatangani di Lombok oleh menteri luar negeri kedua negara pada 13 November 2006 dan resmi berlaku sejak 7 Februari 2008 itu menegaskan komitmen Indonesia dan Australia untuk saling menghormati kedaulatan dan keutuhan wilayah masing-masing negara.

Konsisten dengan kewajiban internasional dan hukum nasional masing-masing, kedua negara sepakat untuk tidak memberi dukungan apapun atau juga berpartisipasi dalam kegiatan perorangan maupun entitas yang dapat mengancam stabilitas, kedaulatan atau keutuhan wilayah pihak lain, termasuk mereka yang berupaya memakai wilayah salah satu negara untuk mendorong atau melakukan kegiatan-kegiatan separatisme.(nas/ant)

Ditulis Oleh: Ant/Papos
Jumat, 16 Januari 2009

Ke Australia Karena Ditipu – Tiga Pencari Suaka Tiba di Jayapura

TIBA : Yunus Wainggai bersama istrinya Siti Pandera dan anak mereka Anike Wainggai saat berada di VIP room Bandara Sentani Kamis (18/12) kemarin.
TIBA : Yunus Wainggai bersama istrinya Siti Pandera dan anak mereka Anike Wainggai saat berada di VIP room Bandara Sentani Kamis (18/12) kemarin.

SENTANI – Satu per satu para pencari suaka yang bersama dengan Herman Wanggay lari ke Australia, akhir 2006 lalu, mulai sadar dan kembali ke Papua, setelah Hana Gobay dan Yubel Kareni kembali ke Merauke dan Serui September lalu, kini disusul lagi oleh Yunus Wanggay (39), dan anaknya Anike wanggai (6) serta istrinya Sitti Pandera/Wanggay (40). Seperti rencana sebelumnya, ketiganya akhirnya tiba di Bandara Sentani,setelah melakukan penerbangan dari Jakarta, menggunakan penerbangan udara Express Air, dengan nomor seri penerbangan PK-TXD boing 737 seru 200,Kamis (18/12), kemarin sore.

Menjelang kedatangan di Bandara sentani, ternyata mendapat perhatian khusus baik dari keluarga dan para wartawan, ini dibuktikan dengan banyaknya keluarga dan para wartawan baik dari media eletronik dan cetak lokal dan nasional, lengkap dengan perlengkapannya liputan, memadati ruang tersebut. Penjemput dan para pemburu berita ini bahkan mereka sejak pukul 15.00 WIT, sudah rela menunggu di ruang VIP, menantikan pesawat yang mengantar pulang keluarga pencari suaka tersebut.
Tepat pukul 17.20 WIT, pesawat yang mengantarkan keluarga Yunus Wanggay dan istri dan anak pun tiba di Bandara Sentani. Yunus menggunakan pet merah serta kaca mata hitam, sementara istri dan anaknya menggunakan pakaian berwarna biru cerah dengan motif bunga-bunga. Saat turun dari tangga pesawat, suasana sedih bercampur haru pun terlihat. Saat keluar dari pintu pesawat, ketiganya langsung disambut oleh keluarga terdekat. Mereka saling peluk-memeluk, bahkan tangisan sempat mewarnai penyembutan para pencari suaka tersebut. Yunus Wanggay dan istri serta anaknya, langsung dijemput oleh mobil milik penerbangan Ekpres Air, menuju ke ruang tunggu VIP.
Yang menarik saat itu, sang anak Anike (6) sempat mengeluarkan air mata karena kaget, pasalnya para wartawan menggunakan kamera yang ditujukan kepada dirinya dan bapaknya Yunus wanggay. Anike yang hanya bisa berbahas Inggris sempat mengeluarkan kata-kata kepada ayah dan ibunya.

Setelah berada di ruang VIP Bandara Sentani, Yunus Wanggay dan istri dan anaknya, diberikan kesempatan istirahat 15 menit, selanjutnya didampingi oleh Kepala Seksi Deportasi Direktorat perlindungan warga negara Indonesia dan Badan hukum Indonesia Direktorat Jenderal protokol konsuler Departeman Luar negeri,Kukuh Dedijayadi, serta Sekertaris Badan Perbatasan Provinsi Papua, Philps Marey mewakili pemerintah daerah, serta keluarga lainnya selanjutnya menggelar keterangan pers kepada para wartawan.

Tak mau lama-lama menunggu, Yunus Wanggay dan keluarganya pun diserang dengan berbagai pertayan wartawan, terutama mengenai alasan mencari suaka ke Autralia, serta alasan ingin kembali ke Indonesia (Jayapura), pertanyaan tersebut langsung dijawab spontan oleh Yunus Wanggay.

Menurut Yunus Wanggay alasan dirinya lari bersama dengan anaknya Anike (6) akhir tahun 2006 lalu, karena dirinya saat itu ditipu oleh saudaranya Herman Wanggay yang saat itu mengajaknya lari ke Auralia dengan iming-iming akan mendapat kehidupan yang lebih layak, sehingga saat itu dirinya menyiapkan dana sebesar Rp 24 juta, lalu menyerahkan kepada Herman Wanggay, bersama dengan anaknya Anike (6) serta 40 pencari suaka lainnya, menggunakan kapal motor melakukan pelarian lewat Mareuke ke Autralia, akhir 2006 lalu.

” Saat itu Kami ditipu oleh kakak Herman Wanggay, dirinya juga sempat janji akan mengantikan dana saya, sebesar 10 Ribu dolar Australia, dia juga berjanji akan mengembalikan kami ke Jayapura enam bulan kemudian. Sehingga kami percaya lalu mengikutinya ke Australia,bahkan kami dijanji akan mendapat kehidupan yang lebih sejahtera lagi,”jelasnya.

Ternyata saat sampai di Negeri Kanggoro tersebut, apa yang dijanjikan ternyata tidak juga terjadi, bahkan si Herman Wanggay terkesan membiarkan mereka selama di Australia. Janji akan mengembalikan ke Papua ternyata tidak juga terjadi, bahkan Kata Yunus akibat dirinya lari Australia membuat anaknya yang barus berusia enam tahun, terpaksa harus berpisah dengan istrinya, bahkan memakan waktu yang lama hampir tiga tahun lebih, kehidupan makin tidak menentu, bahkan dirinya mulai rindu kepada tempat kelahirannya di Papua.

“Memang selama di Autrlaia kami mendapat jaminan dari pemerintah Astralia, namun bagi kami kehidupan disana tidak sama seperti di Papua, sehingga kami memilih pulang saja, apalagi kami sudah sangat rindu dengan keluarga,”tukasnya.

Kepada wartawan Yunus mengatakan, dirinya kembali tidak ada unsur paksaan dari pihak manapun, semua itu atas keinginan pribadi, ingin dekat kembali dengan istrinya, sama seperti sedia kala, “Saya rindu terhadap keluarga saya, terpaksa saya menguhubungi KBRI di Mallboune Autralia, untuk membantu kepulangan saya. Akhirnya mereka membantu saya sehingga saya bisa bertemu dengan istri saya,serta keluarga di Jayapura,”papar lelaki yang berprofesi sebagai nelayan ini.

Sementara itu menurut sang istri,Siti Paderu/ Wanggay (40),perpisahan dirinya dari suami dan anaknya, itu bisa terjadi lantaran ditipu oleh Herman wanggay, untunglah berkat pertolongan dari KBRI sehingga dirinya bisa kembali bertemu dengan suami dan anaknya, bahkan dirinya mengaku akibat mencari suami dan anaknya, dirinya juga sempat lari ke PNG.

“Dia (Herman Wanggay) menipu kami sehingga kami berpisah, sesuatu yang sangat menyakitkan, namun kami berysukur dapat kembali bertemu. Saya tidak ingin kejadian ini terulang lagi, kami sudah tidak percaya lagi dengan Herman Wanggay, kami ingin tetap hidup aman di Indonesia,”jelasnya.

Ditanya mengenai teman-temannya yang lain yang masih ada mencari Suaka di Asutralia, ternyata Yunus enggan mengomentari akan hal itu, dirinya lebih memilih diam.
” Saya tidak tahu mereka, yang penting saya sudah kembali ke Papua,”katanya singkat.

Sementara itu menurut Kepala Seksi deportasi Direktorat perlindungan warga negara Indonesia dan Badan hukum Indonesia Direktorat Jenderal protokol konsuler Departeman Luar negeri,Kukuh Dedijayadi, pihaknya haya bersifat menvasilatasi kepulangan keluarga Yunus dan anaknya ke Indonesia, kebetulan yang bersangkutan memiliki niat secara pribadi untuk pulang ke Indonesia, sehingga proses pemulangan tidak begitu memakan waktu yang lama.

“Proses pemulangan tidak memakan waktu yang lama, pasalnya saudara Yunus sendiri yang ingin pulang, dia sampaikan kepada kami (KBRI), sehingga kami mengontak pemerintah Austrlia, akhirnya yang bersangkutan bisa kembali ke Indonesia,”terangnnya.

“Anggap saja apa yang terjadi kepada diri pribadi saudara Yunus wanggay dan kelurganya adalah pengalaman yang buruk, tak parlu ditiru. Kami juga berharap para pencari suaka yang lain juga agar meniru saudara Yunus, kembali ke Indonesia,dan kepada pemerintah daerah, kami harapkan untuk memberlakukan mereka dengan baik, manfaatkanlah mereka sesuai dengan kemampuan dan kelebihan yang ada pada mereka,”katanya.

Sementara itu menurut Sekertaris Badan Perbatasan Provinsi Papua, Philps Marey mewakili pemeritah provinsi Papua mengatakan, pemerintah daerah sangat menyambut baik itikad baik dari para pencari suaka untuk kembali ke Papua, dan pemeritah daerah tetap menerima mereka dengan senang hati, namun tidak ada perlakuaj secara khusus kepada para pencari suaka yang sudah memilih pulang ini.

“Tidak ada perlakuan istimewa, kami tetap akan memberlakukan mereka sama seperti saudara kami yang lain, ini demi mencegah kecemburuan social, haya saja saya mewakili pemerintah daerah beryukur dan berterima kasih atas itikad baik pak Yunus untuk kembali ke Indonesia kami berharap yang lain juga menyusul,”paparnya.
Sementara itu menurut pihak keluarga, Eliezer Wanggay mengaku senang dan bangga, pihaknya mengcapkan banyak terima kasih kepada pemerintah Indonesia, sehingga keponakannya dan keluarganya bisa kembali ke Jayapura.

Usai keterangan pers, selanjutnya dilakukan tanda tangan berita acara pemulangan dari pihak Direktorat Perlindungan warga negara Indonesia dan Badan hukum Indonesia Direktorat Jenderal protokol konsuler Departeman luar negeri kepada pihak keluarga, disaksikan oleh perwakilan pemeritah daerah Provinsi Papua, selanjutunya tiga pencari suaka tersebut diantarkan pulang kembali ke keluarganya di Hamadi.(cak/jim)

Deplu Puji Sikap Provinsi Papua

JAYAPURA (PAPOS) -Departemen Luar Negeri memuji sikap pemerintah otonomi khusus Papua, yang selalu berkonsultasi bila menjalin hubungan dengan pihak luar negeri.

“Sikap pemerintah Papua dalam menjalin hubungan dengan luar negeri perlu dihargai, karena selalu berkonsultasi dengan Deplu,” kata Kepala Sub-Direktorat Mekanisme Hak Sipil dan Politik, Diana Emilla Sari Sutikno, dalam seminar di Jayapura pada akhir pekan lalu. Seminar itu, yang dihadiri pengamat dan pejabat Papua, diprakarsai Departemen Luar Negeri untuk memaparkan hasil kaji lapangan 15 peserta Sekolah Staf dan Pimpinan Luar Negeri.

Kaji lapangan di Papua dan Vanimo, Papua Nugini, dari 30 November hingga 7 Desember 2008 tersebut dipimpin direktur sekolah tersebut, Jonny Sinaga.

Diana dalam paparannya mengungkapkan bahwa ada kalangan pemerintah propinsi berusaha menjalin hubungan langsung dengan negara asing tanpa berkonsultasi dengan pemerintah pusat.

Ia menilai langkah semacam itu menunjukkan sikap eforia dari kalangan pejabat propinsi dalam menerapkan Undang-Undang Otonomi Daerah. “Padahal, langkah tersebut benar-benar menyalahi undang-undang itu, yang salah satu pasalnya tidak membolehkan pemerintah propinsi menjalin hubungan langsung dengan negara asing,” kata dia seperti dilansir dari Antara, tadi malam.

Diana mencontohkan, ada kerajaan di Indonesia yang mengadakan perwakilan di Trengganu, Malaysia, dengan nama Konsulat Jenderal. Padahal, katanya, konsulat jenderal dalam terminologi diplomatik adalah suatu perwakilan negara, yang mengemban misi diplomasi di negara sahabat.

Langkah seperti itu pernah dilakukan kalangan pengusaha Papua dengan mengadakan Kantor Perwakilan Papua di Beijing, Cina. Tapi belakangan, setelah berkonsultasi dengan departemen luar negeri, pengusaha Papua menyadarinya dan mengganti nama dan kini kedudukannya berada di bawah koordinasi kedutaanbesar Indonesia Beijing.

Pengadaan perwakilan Papua itu sebetulnya baik, yaitu untuk menarik pemodal Cina guna menanamkan modal di Papua, tapi nama perwakilan itu kurang tepat ditilik dari terminologi diplomatik, kata Diana.

Sementara itu, Gubernur Papua Barnabas Suebu SH menyatakan juga selalu berkonsultasi dengan departemen luar negeri bila melakukan hubungan dengan lembaga antarbangsa untuk kepentingan Papua.

Dalam pertemuan dengan sejumlah wartawan dari Jakarta di kantornya pada pekan lalu, Gubernur Suebu, yang juga mantan dutabesar Indonesia untuk Meksiko, menceritakan kerap berkunjung keluar negeri untuk bertemu dengan berbagai pejabat pemerintah terkait, di samping warga Papua, yang anti-pemerintah Indonesia, di luar negeri, dengan tujuan menjelaskan kepada mereka mengenai perkembangan terkini Papua.

Di sisi lain, untuk memperkuat diplomasi Indonesia di fora internasional, terutama masalah menyangkut Papua, departemen luar negeri menempatkan diplomatnya, Berty Fernandez, di Papua.
Tugas utama Berty adalah membuat laporan kepada Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda mengenai perkembangan terkini papua, sebagai bahan diplomasi Indonesia di fora internasional. Berty dipercaya pemerintah Papua selaku Kepala Kerjasama Perbatasan Papua-Papua Nugini.(nas)

Dari Radio New Zealand Internasional: Australia – Ada Keprihatinan Dua Pencari Suaka Asal Papua diperkirakan Diculik Intelijen NKRI

Dari Radio New Zealand Internasional: Australia – Ada Keprihatinan Dua Pencari Suaka Asal Papua diperkirakan Diculik Intelijen NKRI dan aparat Australia disangka Mengetahuinya tetapi merahasiakannya karena dimintakan oleh operasi intelijen NKRI.

Pada 18 November 2008, pengacara Yunus Wainggai dan anaknya Anike yang sementara itu menunggu kedatangan sang Isteri-Ibunda, Siti Wainggai lewat Vanuatu setelah melarikan diri karena selalu diteror NKRI di Papua Barat, dinyatakan hilang di Australia, tanpa diketahui West Papua Australia Association.

Kedatangan sang Isteri-Ibu-pun tidak ada kejelasan, apalagi kedua orang yang menunggupun dinyatakan hilang, tidak diketahui mereka berada di mana.

Pemerintah Indonesia membantah bahwa mereka telah menculik dan sedang menyembunyikan kedua orang Papua yang melarikan diri ke Australia dan mencari suaka itu.

Demikian Radio New Zealand Internasional.

Indonesia Harus Menyapa Hangat PNG

JAKARTA (PAPOS) -Anggota Komisi I DPR RI, Hajriyanto Yasseir Thohari (Fraksi Partai Golkar), di Jakarta, Minggu, mengingatkan Indonesia seharusnya lebih menyapa hangat negara tetangga dekat di bagian timur, yaitu Papua New Guinea. “Apalagi Indonesia menghadapi persoalan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Pasalnya, PNG selama ini menunjukkan komitmennya yang sangat konsisten untuk mendukung keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” katanya di Jakarta, Minggu (2/11) kemarin..

Hajriyanto Thohari juga mengungkapkan, dalam Rapat Kerja (Raker) Komisi I DPR RI dengan Menteri Luar Negeri (Menlu) RI, N Hasan Wirayuda, beberapa waktu lalu, ia menyampaikan imbauan agar Menlu RI dan DPR RI memperbanyak kunjungan resmi serta silaturahmi persahabatan dengan PNG.

“Bahkan saya mengimbau Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono untuk melakukan kunjungan resmi kenegaraan ke PNG. Adalah sangat aneh jika Presiden RI dan Wakil Presiden RI telah melakukan kunjungan ke berbagai negara dunia, tetapi justru belum pernah berkunjung ke PNG,” katanya.

Sekretaris FPG di MPR RI ini menambahkan, dalam hampir semua pertemuan Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) ‘Pacific Island Forum’ (PIF) dan ‘South West Pacific Dialogue’ (SWPD), PNG selalu mengambil peran menentukan, sehingga dapat mempengaruhi negara-negara lain untuk tidak mengangkat isu Papua.

“Ini merupakan jasa PNG yang sangat besar. Pemerintah RI harus memberikan apresiasi terhadap PNG dengan meningkatkan hubungan yang lebih hangat dan akrab dengan negara yang berbatasan langsung dengan Provinsi Papua itu,” katanya lagi.

Perbanyak Kunjungan Resmi

Karena itu, lanjut Hajriyanto Thohari, salah satu tindakan positif ialah segera memperbanyak kunjungan resmi, apakah itu dari pihak Departemen Luar Negeri (Deplu), DPR RI khususnya Komisi I yang membidangi hubungan luar negeri, serta Presiden dan Wakil Presiden.

“DPR RI juga perlu melakukan langkah-langkah untuk memperkuat hubungan dengan PNG sebagai ‘second track diplomacy’ yang memperkuat ‘first track diplomacy’ yang dilakukan oleh Deplu,” katanya.

Juga, ia menyarankan Ketua DPR RI jangan hanya berorientasi melakukan kunjungan muhibah ke negara-negara Barat saja, melainkan harus melihat negara tetangga yang sangat dekat itu.

“Apalagi PNG menduduki posisi yang sangat penting dalam upaya menjaga keutuhan NKRI. Pemerintah sebaiknya meningkatkan dan mengembangkan hubungan bilateral dengan PNG, baik di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan,” ujarnya.

Program tukar-menukar pelajar dan mahasiswa, menurut dia, tampaknya sangat strategis untuk ditingkatkan, apalagi di era milenium baru sekarang, hubungan antarbangsa sebaiknya terus dibangun secara lebih harmonis.

“Dikatakan strategis, karena akan mempunyai dampak dan pengaruh yang sangat besar bagi terciptanya saling menghormati antara kedua negara di masa-masa yang akan datang,” katanya.

Dengan hubungan bilateral yang akrab dan hangat, ia yakin PNG akan semakin meningkatkan perannya untuk mendukung dan menghormati kedaulatan RI, karena merasa dihargai serta dihormati oleh Indonesia.

“Sekali lagi, Presiden RI, Wakil Presiden RI, dan Ketua DPR RI, tengoklah negara tetangga dekat yang sangat berperan itu dengan melakukan kunjungan resmi ke PNG. Insya Allah, akan sangat besar manfaatnya bagi RI,” katanya.(ant)

Ditulis Oleh: Ant/Papos
Senin, 03 November 2008

Kasus Munir: Eksepsi Ditolak, Sidang Muchdi Lanjut

JAKARTA – Babak baru pengungkapan kasuspembunuhan aktivis HAM Munir dengan terdakwa Mayjen (pur) Muchdi Purwopranjono dipastikan berlanjut. Majelis hakim PN Jakarta Selatan menolak eksepsi (nota keberatan) terdakwa dalam putusan sela yang dibacakan dalam sidang, kemarin (9/9).
Majelis yang diketuai Suharto dengan anggota Aswandi dan Ahmad Yusak beranggapan, surat dakwaan yang disusun jaksa penuntut umum (JPU) memenuhi syarat formal dan sah menurut hukum. ”Berdasarkan ketentuan pasal 156 ayat 2 KUHAP, pemeriksaan perkara atas nama terdakwa H Muchdi Pr. harus dilanjutkan,” kata Suharto dalam sidang di ruang Garuda.

Dalam pemaparan putusan sela, hakim menanggapi beberapa keberatan terdakwa. Tentang adanya penyidikan, penuntutan, dan peradilan yang berlangsung di bawah tekanan internasional, serta berita acara saksi Budi Santoso dan keberadaannya yang misterius, majelis berpendapat bahwa itu bukan materi keberatan sebagaimana yang dikehendaki dari pasal 156 ayat 1 KUHAP.

Majelis hakim juga sependapat dengan JPU bahwa PN Jakarta Selatan berwenang mengadili perkara Muchdi. Hal itu berdasarkan locus delicti yang bertempat di Kantor Badan Intelijen Negara (BIN), Kalibata, Jakarta Selatan.

Selain itu, hal tersebut masih didukung dengan pertimbangan tempat tinggal terdakwa dan 12 dari 19 saksi yang bertempat tinggal di Jakarta Selatan maupun yang lebih dekat dengan pengadilan.
Tentang keberatan terdakwa bahwa saat terjadi penculikan 13 aktivis pada 1997-1998 Muchdi belum menjabat Danjen Kopassus, majelis hakim mengatakan keberatan itu telah masuk ke pokok perkara. Demikian juga, lamanya terdakwa menjabat Danjen Kopassus apakah 52 hari atau 59 hari.
”Majelis akan mempertimbangkan keberatan-keberatan itu bersama-sama pokok perkara dan akan memutus bersama-sama dalam putusan akhir,” kata Suharto.

Atas putusan untuk tetap melanjutkan pemeriksaan perkara Muchdi, majelis menyatakan sidang akan digelar lagi Selasa (16/9) dengan agenda pemeriksaan saksi. Majelis membatasi, saksi yang diperiksa dua hingga tiga orang.

JPU merespons cepat atas putusan majelis hakim tersebut. Ketua JPU Cirus Sinaga menegaskan, pihaknya segera melayangkan surat panggilan terhadap saksi, terutama Budi Santoso, yang disebut-sebut sebagai saksi kunci. ”Hari ini (kemarin, Red) juga kami layangkan surat panggilan. Buat apa menunggu lama,” tegas Cirus.

Jaksa pada JAM Pidum Kejagung itu menjelaskan, surat panggilan terhadap Budi disampaikan melalui BIN dan Departemen Luar Negeri. Saat ini Budi yang merupakan agen madya dan pernah berdinas di Deputi V.I BIN saat ini berdinas di Pakistan. Selain Budi, saksi yang direncanakan hadir pada sidang (16/9) adalah Suciwati, istri Munir, dan Usman Hamid, koordinator Kontras.

Sementara itu, ekspresi kecewa ditunjukkan kuasa hukum Muchdi, M. Luthfie Hakim. Dia bertahan bahwa dakwaan jaksa tidak cermat. Alasannya, ketika peristiwa penculikan aktivis terjadi pada 1997-1998, Muchdi belum menjabat Danjen Kopassus.

”Tentu saja kami kecewa. Tapi, kami masih menunggu apakah nanti saat pemeriksaan perkara terbukti atau tidak. Jika tidak, apakah majelis hakim berani memutuskan terdakwa bebas dari segala hukuman,” tegasnya. (fal/agm)

Panglima TNI: Sistem Rudal Australia Bukan Ancaman

TEMPO Interaktif, Jakarta: Panglima Tentara Nasional Indonesia, Jenderal Endriartono Sutarto menyatakan, keberadaan rudal yang dimiliki negara tetangga Australia bukanlah ancaman terhadap Indonesia.

TEMPO Interaktif, Jakarta: Panglima Tentara Nasional Indonesia, Jenderal Endriartono Sutarto menyatakan, keberadaan rudal yang dimiliki negara tetangga Australia bukanlah ancaman terhadap Indonesia. “Tidak seharusnya kita melihat sebagai ancaman. Kita tidak perlu khawartir,” katanya di Jakarta, Minggu (29/8).

Menurut Endriartono, pada dasarnya setiap negara mempunyai hak untuk mempertahankan wilayahnya dari ancaman. “Mereka memerlukan rudal itu dan mempunyai kemampuan untuk memiliki, itu hak mereka,” katanya. Indonesia diharapkan untuk tidak mengikutinya dengan perlombaan senjata, melainkan dengan membina hubungan baik dengan negara-negara lain. “Menciptakan persahabatan yang sangat baik, justru akan menguntungkan semua pihak,” katanya.

Kamis lalu Australia mengumumkan rencana pengembangan peluru kendali dari udara senilai A$ 350-450 juta dolar. Rudal ini memiliki kemampuan menghancurkan sasaran hingga jarak 400 kilometer. Sejauh ini belum diketahui apa motif Australia memiliki senjata berat itu, walau sebelumnya sempat dikatakan, Indonesia merupakan ancaman terbesar.

Edy Can – Tempo News Room
Written by Administrator, Monday, 30 August 2004
http://web.archive.org/web/20040831113545/http://papuapost.com/Mambo/index.php?option=content&task=view&id=43

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny