West Papua flag mural in Darwin remains intact despite criticism from Indonesian Consul

Independence activist Piter Elaby
Photo: West Papua independence activist Piter Elaby touches up a mural in Darwin’s CBD on Australia Day, 2016. (ABC News: Felicity James)

The Indonesian Consul to Darwin, Andre Siregar, has denied he pressured the owner of a wall to paint over a mural which features the West Papuan flag, but said he had reported its existence to Jakarta.

“It is something that we respect, we have to respect, but please note that it, itself is offensive to us,” Mr Siregar said.

Mr Siregar said as the Indonesian Government’s representative in Darwin he had conveyed Indonesia’s position on West Papua.

“Of course that is a flag of a separatist group — they want West Papua to be their own country,” Mr Siregar said.

“They ignore the 2.5 million Papuans who have gone to the election and voted, and the 3.9 million Papuans that live there.

“So as the government representative in Darwin I have conveyed this situation to the NT Government, [and] we don’t want them to be ill-informed.”

Mr Siregar told the ABC he was the last to find about the “external pressure” and urgency to remove the mural.

“I guess I found out last, that someone feels pressured, and someone wants their walls clean, someone had to choose someone to blame,” Mr Siregar said.

Mr Siregar said the building’s owner — Carlo Randazzo, the honorary Vice-Consul to Italy — had contacted him about the issue last week.

“He just said ‘we’re going to clean it up’, I said ‘it’s your wall, it’s your wall’ — and he just gave me some updates regarding where it’s been with those people who have painted on it,” Mr Siregar said.

“I’ve also casually spoken to Peter Styles about this, and he as the Minister for Multicultural Affairs, would take note of that. But again I have not really followed up on this discussion.”

Issue flared after ‘external pressure’

The issue of the large depiction of the West Papuan flag in the city’s centre flared after the artists who painted it in June 2015, were told to paint over it by an employee of Randazzo Properties.

The email to the artists cited “external pressures” as the reason for the sudden, urgent removal of the mural.

The mural itself also depicts the Aboriginal flag, and was painted as a symbol of solidarity between the two groups.

Mr Siregar said the Indonesian Consulate respected freedom of expression in Australia, and he had explained to visiting Indonesian officials the West Papuan flag mural did not necessarily reflect the position of Australians.

“Now after eight months there are many Territorians who also came to me and asked me ‘what’s with that flag?’,” Mr Siregar claimed.

Mr Siregar also said Indonesia was working at improving its human rights record.

“If there’s some concerns about human rights, as a developing country we’re all striving to make sure there’s no more human rights violations, even if there were violations, we are committed to rectifying those mistakes.”

Pemerintah Diminta Desak Australia Tangkap Pelaku Pengibar Bendera OPM

JAKARTA – Sindonews – Pemerintah Indonesia diminta untuk mendesak pemerintah Australia untuk menemukan dan menangkap pelaku pengibaran bendera Bintang Kejora di Konsulat Jenderal Indonesa di Melbourne. Permintaan itu disampaikan oleh anggota Komisi I DPR saat melakukan rapat kerja dengan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan sejumlah Menteri lainnya.

Ditemui pasca pertemuan tersebut, Retno mengatakan permintaan ini muncul karena pihak Komisi I merasa bingung dengan pemerintah Australia yang masih belum bisa menemukan pelaku penerobos dan pengibaran bendera bintang kejora di KJRI. Padahal, wajah dan nama pelaku sudah diketahui.

“Pertanyaannya kenapa sampai saat ini belum bisa ditangkap. Waktunya sudah 20 hari. Oleh karena itu Komisi I meminta pemerinah mendesak kembali pemerintah Australia segera selesaikan kasus tersebut dan bawa ke ranah hukum,” kata Retno, Jakarta, (26/1/2017).

Retno kemudian mengatakan Australia adalah salah satu rekan penting sekaligus negara tetangga Indonesia. Oleh karena itu, ia harap prinsip saling menghormati bisa dipraktikan oleh Australia.

“Dalam hubungan bilateral, kita bicara mengenai hubungan bulat secara menyeluruh. Kita tahu Australia mitra penting Indonesia. Saya kira sebagai tetangga dekat saling membutuhkan,” ucap Retno.

“Jadi kita tetangga dekat dengan intensitas hubungan yang sangat tinggi. Sejak dahulu hingga nanti akan muncul permasalahan di dalam hubungan dengan Australia. Maka isu mengenai kehormatan untuk tidak mencampuri dan menghormati teritorial dan integritas kesetaraan dan sebagainya itu jelas harus sudah dilakukan kedua negara. Selain itu kedua negara sudah punya dasar yang kuat (Lombok Treaty) yang seharusnya dijadikan pijakan bagi kedua negara dalam menjalin hubungan ke depan,” tukasnya.

BACA SUMBER

“Bintang Kejora” Berkibar di KJRI Melbourne, Pemerintah Protes Australia

JAKARTA, KOMPAS.com – Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri mengecam keras tindakan pengibaran bendera Papua Merdeka, Bintang Kejora, di Kantor Konsulat Jenderal RI (KJRI) di Melbourne, Australia, Jumat (6/1/2017), sekitar pukul 12.52 waktu setempat.

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Arrmanatha Nasir mengatakan, Pemerintah Australia memiliki tanggung jawab untuk melindungi perwakilan diplomatik dan konsuler yang ada di Australia.

Hal itu sesuai dengan Konvensi Wina thn 1961 dan 1963 mengenai hubungan diplomatik dan konsuler.

“Pemerintah mengingatkan bahwa menjadi tanggung jawab Pemerintah Australia melindungi perwakilan diplomatik. Untuk itu Pemerintah RI meminta kepada.Pemerintah Australia untuk memastikan dan meningkatkan perlindungan terhadap semua properti diplomatik dan konsuler Indonesia,” ujar Arrmanatha saat dihubungi, Jumat (6/1/2017).

Arrmanatha mengatakan, peristiwa pengibaran tersebut terjadi pada sekitar pukul 12.52 siang, saat sebagian besar staff KJRI sedang melakukan ibadah Sholat Jumat.

Pelaku menerobos halaman gedung apartemen tetangga KJRI sebelum memanjat pagar tembok KJRI yang tingginya lebih dari 2.5 meter.

Atas peristiwa itu, Indonesia telah menyampaikan protes ke Pemerintah Australia dan meminta agar pelaku segera ditangkap.

“Pemerintah RI telah menyampaikan protes ke Pemerintah Australia dan meminta agar pelaku segera ditangkap dan dihukum secara tegas sesuai hukum yang berlaku,” kata dia.

Penulis : Kristian Erdianto
Editor : Inggried Dwi Wedhaswary

Demonstran Referendum Papua: Kami Dipukuli Aparat

Demonstran Referendum Papua: Kami Dipukuli Aparat
Koordinator FRI Surya Anta mengatakan pemukulan diduga dilakukan oleh aparat keamanan dalam aksi demonstrasi pada hari ini. (REUTERS/Beawiharta)

Jakarta, CNN Indonesia — Front Rakyat Indonesia (FRI) mengecam keras aksi pemukulan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap pedemo warga Papua dalam aksi damai soal referendum Papua Barat pada hari ini.

Koordinator FRI Surya Anta mengatakan pemukulan diduga dilakukan oleh aparat keamanan dan dirinya pun menerima pukulan di bagian kepala dan leher bagian belakang. Padahal, sambungnya, aksi tersebut dilakukan dengan damai tanpa ada keinginan untuk membuat kerusuhan.

“Aksi ini damai dan kami juga menyampaikan ke kawan-kawan jangan terjadi pemukulan. Bahkan ketika sepuluh orang kami dipukuli, kami juga berteriak kami tidak melawan,” kata Surya di Polda Metro Jaya, Kamis (1/12).

Aksi yang dilakukan sekitar pukul 08.00 itu dimulai dari lokasi LBH Jakarta, kawasan Pangeran Diponegoro,  menuju Bundaran Hotel Indonesia dan Istana Negara. Namun, pihak kepolisian mengadang massa saat tiba di Jalan Imam Bonjol sebelum sampai ke Bundaran HI.

Surya mengatakan keinginan demonstran menuju Bundaran HI menjadi alasan dibubarkannya aksi itu. Padahal, menurutnya, Bundaran HI merupakan fasilitas publik yang dapat digunakan untuk menyampaikan aspirasi dari masyarakat.

Melaporkan Pemukulan

Hal yang sama juga disampaikan oleh pengacara publik LBH Jakarta Veronica Koman. Menurutnya, peraturan gubernur yang melarang aksi di Bundaran HI tidak sesuai dengan Undang-Undang.

“Di situ (Pergub) tidak ditulis larangan, jadi hanya tempat yang disediakan, tapi kan bukan berarti tidak boleh. Itu hanya pergub, tidak ada apa-apanya dibanding perangkat UU,” ucapnya.

Dengan terjadinya aksi pemukulan itu, Veronica berencana akan melaporkan oknum yang telah melakukannya. Sepuluh demonstran yang dipukul itu akan divisum sebagai alat bukti.

Kuasa Hukum yang akan diperbantukan berasal dari LBH Jakarta, LBH Pers dan LBH Keadilan Bogor Raya.

Atribut Bintang Kejora

Selain melakukan aksi di tempat yang dilarang, Kasubdit Jatanras Ditreskrimum Polda Metro Jaya AKBP Hendy F Kurniawan mengatakan, demonstan diamankan karena membawa bendera Bintang Kejora. Lambang itu merupakan lambang dari Organisasi Papua Merdeka (OPM).

“Diamankan karena membawa atribut berlambang Bintang Kejora. Kami sita karena bukan lambang negara,” ucapnya.

Meski demikian, Hendy mengatakan, demonstran yang ditahan akan segera dipulangkan.  Mereka, sambungnya, dibawa ke Polda untuk memberikan keterangan.

Hendy mengatakan, meskipun ditahan untuk beberapa saat namun pihak kepolisian dengan demonstran dapat bekerjasama dengan baik.

“Pengamanan supaya tidak ricuh, kami juga di sini memberikan makan dan minum. Jadi diperlakukan dengan baik,” tuturnya.
​ (asa)

Seluruh Pendemo Referendum Papua Ditangkap

Kamis, 01/12/2016 13:08, Reporter: Raja Eben Lumbanrau, CNN Indonesia
Seluruh Pendemo Referendum Papua Ditangkap
Seluruh peserta demo dari Aliansi Mahasiswa Papua dan Front Rakyat Indonesia Untuk West Papua ditangkap dan diproses di Polda Metro Jaya. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

Jakarta, CNN Indonesia — Seluruh peserta demo yang berasal dari Aliansi Mahasiswa Papua dan Front Rakyat Indonesia Untuk West Papua ditangkap oleh polisi.

Tim kuasa hukum Aliansi Mahasiswa Papua dan Free West Papua, Veronika Koman mengatakan, pedemo sekarang berada di Polda Metro Jaya.

“Semua massa peserta demo, sekitar 150 orang ditangkap. Diangkut ke Metro,” kata aktivis Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta itu saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (1/12).

Veronika menambahkan saat ini pedemo sedang menjalani pemeriksaan, berupa pendataan, mungkin dibuat berita acara pemeriksaan (BAP).

Penangkapan itu, menurut Veronika, merupakan bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi.

“Kami sedang mendampingi, kami akan berusaha semaksimal mungkin dilepas semua,” katanya.

Sejak pagi tadi, massa FRI berkumpul di Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dan melanjutkan aksi longmarch ke Bunderan HI. Ketika massa tiba di lampu merah Imam Bonjol yang berjarak sekitar 50 meter dari Bunderan HI terjadi gesekan.

FRI merupakan organisasi yang terdiri dari sejumlah kelompok masyarakat Partai Pembebasan Rakyat, Pusat Perjuangan Rakyat Indonesia, PEMBEBASAN, Serikat Kebudayaan Masyarakat Indonesia, Lingkar Studi Sosialis, dan Perkumpulan Solidaritas Net.

Rencananya, selain mendukung referendum Papua, massa FRI mendukung keanggotaan United Liberation Movement fof West Papua (ULMWP) di Melanesia Spearhead Group, Pacific Island Forum dan memperjuangkan keanggotaan ULMWP di Perserikatan Bangsa-bangsa.

FRI juga mendesak militer ditarik dari Papua agar referendum berjalan damai, adil dan tanpa tekanan. Hal ini juga supaya masyarakat Papua mendapatkan kebebasan informasi, ekspresi dan berorganisasi.

Tanggal 1 Desember selama ini dikenal sebagai Hari Ulang Tahun Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan dianggap istimewa bagi sebagian kelompok di Papua karena dinilai sebagai hari kemerdekaan. Setiap tahunnya pada tanggal ini petugas keamanan selalu memperketat pengawasan di Papua lantaran kerap ada pengibaran bendera bintang

Demo pakai atribut OPM, mahasiswa Papua disemprot water cannon

Demo pakai atribut OPM, mahasiswa Papua disemprot water cannon
Aksi demo mahasiswa Papua. ©2016 merdeka.com/arie basuki

Merdeka.com – Sejumlah massa mengatasnamakan Aliansi Mahasiswa Papua bersama Front Rakyat Indonesia Untuk West Papua menggelar aksi unjuk rasa di Jakarta. Mereka menuntut pemerintah Indonesia untuk menggelar referendum di seluruh wilayah Papua.

Pantauan merdeka.com, Kamis (1/12), aksi tersebut dimulai sekitar pukul 09.30 WIB. Mereka menuntut untuk diberikan kebebasan dan penentuan hak nasib sendiri sebagai solusi demokratis rakyat Papua, serta meminta agar TNI/Polri ditarik dari Papua.

Aksi ini sedianya digelar di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta dan dilanjutkan dengan berjalan kaki menuju Istana Negara. Namun, polisi menahan para pendemo di Jalan Imam Bonjol dan hanya boleh menyuarakan aspirasinya di sana.

Massa yang terdiri dari ratusan orang itu juga membawa atribut Organisasi Papua Merdeka (OPM), berupa ikat kepala bergambar Bintang Kejora. Hal itu memantik perhatian polisi, sehingga beberapa orang yang mengenakan atribut OPM langsung dibekuk.

Kejadian itu sempat menimbulkan kericuhan, namun tak ada aksi baku pukul antara demonstran dan polisi. Meski begitu, polisi tetap menyemprotkan water cannon ke arah massa.

Saat ini, situasi sudah kembali kondusif. Massa tetap berorasi di tengah pengawalan ketat kepolisian. Beberapa pendemo yang sempat ditangkap sudah dilepaskan kembali, tapi tanpa mengenakan atribut OPM.

Reporter : Arie Basuki | Kamis, 1 Desember 2016 11:22

Amunggut Tabi: Tinggalan Egoisme Individualis dan Mari Sepenuhnya Dukung ULMWP

Amunggut Tabi dari Markas Pusat Pertahanan Tentara Revolusi West Papua menyatakan memang “perjuangan dan pengorbanan ialah dua sisi mata uang yang satu“. Setiap perjuangan pasti ada pengorbanannya, tetapi kita harus mengajukan tiga pertanyaan penting:

  1. Pengorbanan apa yang pantas pada waktu kapan?
  2. Berapa banyak dan berapa lama pengorbanan harus kita berikan? dan
  3. Apakah pengorbanan itu dipersembahkan secara berencana ataukah sporadis?

Amunggut Tabi kembali mengajak semua pejuang dan aktivis, organisasi dan tokoh Papua Merdeka untuk belajar dari Persipura Jayapura dan Persiwa Wamena, dari kesebelasan di dunia seperti Barcelona dan Mancester City.

Yang harus diperhatikan ialah “irama” dan “momentum”, karena keduanya tidak selalu sama setiap saat. Itulah sebabnya semua pihak harus sadar, bahwa irama saat ini ialah “Irama Melanesia-hood”, dan momentum saat ini ialah “momentum MSG dan ULMWP”. Oleh karena itu, semua pihak, termasuk TRWP, PNWP, KNPB, AMP, DeMMAK, FNRPB, OPMRC, TPN-PB, TPN/OPM, siapapun, di manapun, semua harus memainkan peran masing-masing sesuai dengan “irama” dam “momentum” ini.

Dari sini kita tahu “pengorbanan apa yang pantas” untuk waktu ini, bukan? Kita harus berjuang, bukan dengan aksi-aksi militeristik dan premanisme politik, kita harus bermain secara elegan dan presentable kepada pentas diplomasi regional dan global. Kita harus memainkan politik ini menjadi sebuah “fashionable issue” di kawasan dan secara global.

Untuk membuatnya menjadi “fashionable” dan elegan, maka semua pihak harus “menahan diri” dan “memberikan kepercayaan sepeunuhnya kepada ULMWP untuk memainkan perannya. NRFPB, PNWP, KNPB, TPN-PB, TRWP jangan bawa diri ke sana kemari mengatasnamakan kelompok kecil lagi. Kita harus persembahkan “waktu ini, 2015-2017” untuk ULMWP agar embrio ini terbentuk menjadi telur, dan tahun-tahun berikutnya telur dimaksud menetas dan menjadi anak.

Mempersembahkan untuk perjuangan bukan hanya harga dan nyawa, dan tenaga kita, ia berarti juga “menghilangkan jejak pribadi dan organisasi kita atas nama kebersamaan untuk tujuan bersama kita”. Persembahan yang mulia, kalau demi kepentingan bersama kita berani dengan sengaja menghilangkan nama-nama, identitas dan slogan-slogan kelompok kecil.

Terlihat banyak aktivis KNPB, PNWP, TPN-PB, WPNCL dan sebagainya keluyuran melakukan wisata politik ke sana-kemari, mendukung ULMWP tetapi sebenarnya mereka membawa agenda pribadi mengobati egoisme masing-masing adalah sebuah wisata yang konyol, karena itu tidak menyehatkan buat embrio politik kita bersama: ULMWP.

Justru cara ini membunuh embrio kita, yang kita lahirkan. Kita menjadi kanibal politik, membunuh anak politik yang kita lahirkan sendiri. Itu sejarah hidup dari perjuangan Papua Merdeka, bukan? Itu wajah tokoh Papua Merdeka selama ini, bukan? Pendiri OPM menyerahkan diri, bukan? Tokoh OPM menjadi pelayan NKRI, bukan? Mendirikan OPM, lalu bubar dan mendirikan cabang-cabang OPM, bukan? Kanibalisme Politik dalam sejarah perjuangan West Papua sangat menyedihkan. Oleh karena itu surat ini kami dari TRWP sampaikan sebelum embrio ULWMP ini terlanjur dimakan mati oleh organ-organ dan tokoh-tokoh perjuangan Papua Merdeka sendiri.

Kita berulang kali melakukan Politik Bunuh Diri (commit suicidal politics) karena kita tidak tahu mengelola egoisme individualisme kita. Kita tidak sanggup mengelola keberagaman organisasi perjuangan dan suku-bangsa kita. Kita belum mampu melihat perbedaan ini sebagai modal dasar. Kita mengatasnamakan perjuangan, kita mengatasnamakan organisasi, tetapi sebenarnya yang kita lakukan ialah memupuk dan mengobati “egoisme individualis” oknum aktivis dan tokoh Papua Merdeka.

Makanya, kalau berani mengalahkan dan percaya bisa mengalahkan NKRI, maka pertama-tama “harus berani, dan pastikan sudah mengalahkan egoisme individualistik pribadi dan kelompok”. Kalau tidak, jangan coba-coba bermain di air keruh, jangan coba-coba berwisata politik seolah-olah atas nama West Papua. Karena kami dari Rima Raya New Guinea telah menjadi guru-guru perjuangan, dari pengalaman hidup pribadi dan dari pengalaman hidup organisasi perjuangan yang penuh dengan resiko pertumpahan darah dan nyawa orang Papua sendiri.

Kami berikan catatan ini karena kami sudah melihat fenomna yang menghawatirkan. Kami saksi hidup! Kami sendiri telah menjalani dan telah sanggup melewati babak gelap dan kelam dalam perjuagnan ini.

Dengan mengelola egoisme individualis yang mengatasnamakan, maka kita bisa memperpendek atau juga memperpanjang rentang waktu perjuangan Papua Merdeka. Mengapa Timor Leste yang mulai berjuang 10 tahun setelah perjuangan kemerdekaan West Papua dimulai saja sudah puluhan tahun duluan merdeka? Bukankah itu karena kita belum sanggup mengalahkan egoisme dan individualisme diri sendiri?

Untuk mengetahui berapa lama dan berapa sumberdaya, kita haruslah punya “Anggaran Belanja Perjuangan Papua Merdeka”.

Di dalam negeri kita sudah menang, di dunia maya kita sudah menang, di kawasan Melanesia kita juga sudah menang. Di Pasifik Selatan juga kita pemenang. Yang belum kita kalahkan ialah “individualisme” perseorangan dan individualisme kelompok kecil.

Seharusnya, setelah ULMWP berdiri, secara teori, begitu ULMWP diterima ke dalam keluarga besar MSG, kita semua harus serta-merta menanggalkan atribut, nama dan embel-embel organisasi kita. Kita harus menyatukan barisan, mengatur nada dan irama, mengoptimalkan momentum ini demi kemerdekaan West Papua.

Sekarang saatnya ULMWP muncul sebagai sebuah organisasi perjuangan, sebagai sebuah Lembaga Resmi menuju sebuah Pemerintahan West Papua. ULMWP harus berani membuka diri, menerima semua pihak orang Papua, baik pro-NKRI maupun pro-Papua Merdeka. ULMWP ialah wadah orang-orang West Papua, karena itu dalam kepengurusannya harus melihatkan semua orang Papua, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, baik di kota dan kampung maupun di hutan-rimba.

Kita harus belajar dari teladan yang telah diberikan oleh teman-teman seperjuangan kita yang kita selama ini sebuat sebagai “Kelompok-14”.  Demi kepentingan bersama, mereka secara stuktural dan sistematis telah meninggalkan atribut Bintang Empatbelas dan mendukung Bintang Satu dalam rangka agenda bersama mengusir penjajah. Tokoh Papua Merdeka dan organisasi Papua Merdeka lain harus belajar dari mereka.

Perjalanan yang pahit, sungguh pahit antara kelompok gerilyawan Pemka dibawah komado Jacob Hendrick Pray dengan Komando Markas Victoria (Marvic) di bawah komado Seth Jafeth Roemkorem telah berakhir setelah para perwira TRWP yang telah menjelma dari barisan Pemka bersama tokoh politik mereka, Dr. OPM John Otto Ondawame bersatu dan membangun WPPRO bersama barisan OPM Marvic Senior OPM Andy Ayamiseba dan Senior OPM Rex Rumakiek di Port Vila, Republik Vanuatu tahun 2004 dan 2005.

Terbentuklah WPNCL, sebagai wujud dan bukti persatuan antara OPM Pemka dan OPM Victoria.

Dengan persatuan kubu gerilyawan, maka telah tiba saatnya untuk bersatu membangun harmonisasi dengan kelompok Bintang-14. Dan ULMWP ialah hasil dari harmonisasi, dan “pengorbanan nyata” dari semua pihak, terutama pengorbanan identias dan organisasi masing-masing untuk kebersamaan. Orang Papua sudah sanggup mengorbankan nyawa, harga, waktu dan identitas organisasi masing-masing demi kepentingan bersama: Papua Merdeka.

Kami dari Tentara Revolusi West Papua, sejak tahun 2000 telah memberikan mandat penuh agar bergulir sebuah proses politik dengan memberikan Surat Mandat kepada PDP dan AMP (Aliansi Mahasiswa Papua), perjuangan lewat Free West Papua Campaign. Lebih-lebih tahun 2006, dengan pemisahan organisasi politik dan militer, maka Tentara Revolusi West Papua memfokuskan diri semata-mata untuk perjuangan dengan mengangkat senjata, menjauhkan diri dari segala bentuk dan kegiatan sipil dan politik, membatasi diri kepada memberikan dukungan moril dan doa.

Sekarang kita sudah punya ULMWP. Sekarang saatnya untuk kita masing-masing

  • mengorbankan egoisme individualis pribadi masing-masing tokoh
  • mengambil langkah-langkah strategis dan taktis dalam rangka menyelamatkan ULMWP sebagai embrio Pemerintahan Negara West Papua.

Untuk itu, kami dari rimbaraya New Guinea, atas nama tulang-belulang, leluhur, anak-cucuk Pencipta Langit dan Bumi, menyerukan kepada semua pihak untuk

menyatukan barisan dan mendukung semua kebijakan ULMWP, mendukung dengan sepenuhnya dalam doa, dana, waktu dan tenaga.

Dikeluarkan di: Secretariat-General TRWP, MPP

Pada Tanggal: 18 Juli 2016

An. Panglima Tertinggi Komando Revolusi,

 

 

Amunggut Tabi, Lt. Gen. TRWP
BRN: A.DF 018676

 

 

Dokumen NFRPB yang Ditemukan Didalami

Tampak aparat kepolisian melakukan sweeping di pertigaan Genyem-Sentani-Doyo Jumat (19/10) . Dalam razia tersebut lima orang berhasil diamankan yang pada akhirnya dilepas kembali karena terbukti mereka hanya ikut-ikutan saja dalam peringatan KRP III.
Tampak aparat kepolisian melakukan sweeping di pertigaan Genyem-Sentani-Doyo Jumat (19/10) . Dalam razia tersebut lima orang berhasil diamankan yang pada akhirnya dilepas kembali karena terbukti mereka hanya ikut-ikutan saja dalam peringatan KRP III.
SENTANI – Lima orang yang diamankan saat polisi melakukan sweeping dan razia Jumat (19/10) di wilayah Kabupaten Jayapura, lantaran ditemukan membawa sejumlah dokumen rahasia terkait Negara Republik Federal Papua Barat (NFRPB), akhirnya dilepas. Pasalnya, setelah dilakukan pemeriksaan secara intensif oleh jajaran Polres Jayapura, lima orang yang diamankan tersebut diketahui hanya ikut-ikutan saja pada aksi peringatan setahun KOngres Rakyat Papua (KRP) III.

Kelima orang tersebut, diantaranya berinisial CD, YY, MK, HY dan YK, mereke sebelumnya diamankan di Polsek Sentani Kota. Hal itu dibenarkan Kapolres Jayapura AKBP Anthonius Wantri Julianto.

Ia mengatakan, ternyata kelima orang yang diamankan tersebut hanya ikut-ikutan saja pada aksi peringatan KRP III yang rencananya digelar di Lapangan Theys Eluay Sentani.

“Kelima orang tersebut hanya kami ambil keterangan karena hasil pemeriksaan mereka terbukti haya ikut-ikutan, akhirnya kami lepas,” ujarnya kepada wartawan Sabtu (20/10) ketika ditemui di Travellers Hotel Sentani.

Meski orangnya dilepas, namun dokumen-dokumen terkait dengan Negara Federal Republik Papua Barat yang ditemukan pada kelima orang tersebut, hingga saat ini masih didalami oleh pihak kepolisian guna kepentingan penyelidikan. “Untuk dokumen sedang didalami untuk dianalisa,” imbuhnya.

Sementara itu, dari data yang berhasil dikumpulkan Bintang Papua, beberapa barang yang sempat diamankan ketika razia berlangsung diantaranya, selebaran berupa copyan himbauan perayaan 1 tahun KRP III, dokumen lies sumbangan dan himbauan rakyat bangsa Papua, copyan seruan Nasional Republik Federal Papua Barat sekretariat Negara Jayapura-West Papua, kwintansi penerimaan sumbangan dari masyarakat setempat, kwintansi pengeluaran untuk kegiatan perayaan KRP III, tiga buah flashdisk, kamera digital, satu lembar baju pakaian PDL Petapa, celana PDL dan sepatu PDL.
Sebagimana diketahui, sebelumnya, Jumat (19/10) di sejumlah titik yang berada di Kabupaten Jayapura dilakukan sweeping oleh jajaran Polres Jayapura yang diback up BKO Brimobda Papua. Sweeping ini dilaksanakan, terkait rencana digelarnya ibadah syukur atas peringatan KRP III di Lapangan Theys Eluay, Sentani. Dimana atas rencana kegiatan ini, Polres Jayapura menurunkan personelnya sebanyak 1 kompi dengan dibantu dengan 3 pleton personel dari Brimobda Papua. (dee/don/l03)

Senin, 22 Oktober 2012 07:23, BP.com

KRP III, 2011 Dibubarkan Aparat Neo-Kolonial Indonesia

Menanggapi peristiwa penembakan, pengejaran dan penangkapan yang terjadi seusai Penyelenggaraan apa yang kong-kalingkong DAP-WPNA sebut “Kongres Rakyat Papua III, 2011, maka Leut. Gen. A. Tabi, Sec-Gen. Tentara Revolusi West Papua, sayap militer dari Organisasi Papua Merdeka (OPM) menyatakan ” Presiden dan PM Versi WPNA (Kelompok Bintang-14) Tidak Bertanggungjawab atas Tindakannya.” Katanya lagi, “Kenapa setelah mereka diangkat langsung berakibat pengorbanan sebagai lanjutan pengorbanan sebelumnya. Kita mau hentikan korban berjatuhan lebih jauh, bukan menambahkan. Karena itu setiap tindakan mereka yang menyebut dirinya pemimpin harus diukur, diantisipasi dan dipersiapkan. Memang semua perjuangan dalam hidup manusia harus ada pengorbanan, termasuk korban nyawa, tetapi jangan kita ditembak di rumput-rumput dan di hutan rimba dan dibiarkan seperti bukan manusia yang tidak punya martabat seperti itu. Kalau bertanggungjawab dan siap mati, ya melarikan diri, jangan biarkan rakyat lari kocar-kacir, jangan bubar tanpa hormat, jangan begitu mudahnya dicerai-beraikan begitu hanya dengan tembakan peringatan. Pemimpin harus mampu melindungi mereka, dan menyatakan diri bertanggungjaweb dihadapan hukum penjajah, bukan ditangkap dan ditahan tetapi menyerahkan diri. Itu yang harus dilakukan penyelenggara kegiatan-kegiatan Papua Merdeka di dalam negeri selanjutnya..”

Berikut petikan wawancara dengan PMNews:

Papua Merdeka News (PMNews): Selamat pagi. KRP III, 2011 dibubarkan paksa oleh aparat neo-kolonial Indonesia. Presiden yang diangkat KRP dimaksud Forkorus Yaboisembut dan Perdana Menterinya Edison Waromi ditangkap bersama 300 orang lainnya. Sementara itu Lambert Pekikir dari salah seorang pemimpin gerilyawan di Perbatasan West Papua – PNG menuntut keduanya bertanggungjawab dan menolak hasil KRP III, 2011. Apa tanggapan TRWP?

A. Tabi (TRWP): Selamat pagi. Sabar dulu, ini ada beberapa hal yang ditanyakan, jadi saya jawab satu-per-satu, supaya saya tidak salah paham maksud pertanyaannya.

Pertama, mengenai pembubaran Kongres. Itu hal yang wajar, karena tanah air kita sedang diduduki oleh kekuasaan asing, yaitu neokolonial Indonesia sehingga memang mereka punya tugas mengamankan daerah jajahan mereka. Itu bukan hanya terjadi di tanah air kita. Lihat saja di Pulau Jawa juga banyak gerakan yang dianggap bertujuan atau mengarah kepada pemisahan diri dari NKRI, maka pasti mereka ditangani, dan kalau ada rapat atau kongres, pasti mereka dibubarkan. Itu konsekuensi logis, jadi kita tidak perlu merasa heran atau memarahi aparat NKRI. Memang itu tugas mereka. Memang untuk itulah mereka mulanya datang ke tanah air.

Kedua, mengenai apa yang KRP III sebut Presiden dan Perdana Menteri, yaitu satunya Ketua Dewan Adat Papua dan lainnya Ketua atau mereka sebut Presiden West Papua National Authority. Kedua lembaga ini sendiri punya cerita masing-masing. Seperti dinyatakan Panglima saya sebelumnya DAP semestinya mengurus adat. Artinya DAP harus paham “Apa artinya hak-hak dasar?”

Hak-hak dasar itu pertama dan terutama ialah hak untuk hidup. Disusul hak untuk hidup bebas (free from…), artinya bebas dari penindasan, bebas dari pengekangan, bebas dari intimidasi dan teror, bebas dari penyiksanaan, dan bebas dari penjajahan. Kebebasan ini juga dimaknai sebagai “free to…” artinya bebas untuk, jadi bebas untuk berkumpul, bebas untuk berpendapat, bebas untuk menyampaikan pendapat dan sebagainya, tetapi pada saat kebebasan ini bertabrakan dengan “hukum NKRI”, maka ada pemaksaan untuk membatasi kebebasan itu.

Anda perlu perhatikan, yang menjadi masalah di sini “hukum” yang mengatur: yaitu memajukan kebebasan, yang melindungi dan yang membatasi kebebasan itu. Memang siapa saja berhak untuk menyatakan diri sebagai presiden dan perdana menteri apa saja, tetapi saat ia bertabrakan dengan presiden dan perdana menteri lain yang sudah ada, maka jelas ada tindakan yang diambil oleh mereka yang sudah menjadi presiden dan perdana menteri di situ mendahului mereka.

Hukum-hukum itu tidak pernah diatur oleh Dewan Adat Papua. Bagaimana mungkin DAP berpatokan kepada UU Otsus No. 21/2001 yang adalah produk hukum penjajah? Bagaimana mungkin hukum penjajah dijadikan dasar untuk membentuk negara baru? DAP sebagai Dewan dari Adat Papua seharusnya menghasilkan produk-produk HUKUM ADAT PAPUA, yang kemudian dapat dijaikan sebagai patokan bagi berbagai pihak dan komponen bangsa Papua sebagai dasar dan pijakan dari berbagai kegiatan yang dilakukan, termasuk sebagai dasar penyelenggaraan KRP III ini.

Dewan Adat Papua bertugas mengawasi pelaksanaan dari Hukum Adat Papua yang dihasilkannya dan seterusnya. Yang terjadi sekarang justru Dewan Adat Papua itu berubah sekejap menjadi Dewan Eksekutiv bangsa Papua, yaitu Presiden. Apakah ini sebuah kepandaian dan kelihaian orang Papua atau sebalinya?

Sampai di sini sudah jelas?

PMNews: Kami sedang ikuti dan paham.

TRWP: OK, saya lanjutkan.

Terkait dengan hukum, perlu dicermati bahwa kalau benar ini KRP III, maka KRP I, 1961 dan KRP II, 2000 haruslah menjadi pijakan agar sejarahnya berlanjut. Jangan kita memotong-motong sejarah perjuangan sebuah bangsa menjadi sesuatu yang sulit dipahami alur ceritanya karena ia terpotong-potong, dengan tema cerita yang beraneka ragam, dengan pemain yang bergonta-ganti, dengan nama yang berlainan pula. Bangsa ini sedang memainkan drama yang sangat kacau dan tidak sesuai aturan main. Sebuah drama yang tidak pantas ditonton.

Yang terjadi hari ini justru merupakan kelanjutan dari sejarah Bintang-14, yaitu tiba-tiba tokoh Papua Dr. Thom W. Wainggai tiba_tiba saja muncul dalam pentas politik Tanah Papua dan tiba-tiba saja memproklamirkan Melanesia Raya Merdeka tanggal 14 Desember 1988, waktu itu saya sendiri masih di bangku sekolah. Saya juga pernah dipanggil ke salah satu gereja dekat Kampus Uncen Abepura dan kami berdoa semalam-suntuk untuk peristiwa dimaksud. Kami yang lain pulang karena gagasan-gagasan yang dikeluarkan waktu itu kebanyakan masih di alam mimpi, dan juga karena sejarahnya tidak bersambung dengan sejarah bangsa dan Tanah Papua yang sudah lama kami tahu sampai saat ini. Kami lihat dengan jelas apa yang terjadi waktu itu sangat mendadak, tidak berdasar, tidak berakar, tidak terencana baik, orang-orangnya tidak dipasang dan diatur dengan baik, dan akhirnya hanya merupakan sebuah impian yang muluk-muluk dan mencelakakan. Kelihatannya cerita yang berulang saat ini, walaupun orangnya berbeda, dengan menggunakan nama organisasi yang berbeda, dengan mengibarkan bendera yang berbeda, dari perilaku dan mimpi-mimpinya nampak jelas, ini sebuah kelanjutan cerita tahun 1988.

Cermati saja, yang menyelenggarakan KRP I dan II itu berbendera bintang Berapa? Hubungkan saja dengan KRP III mengibarkan Bendera apa? Ya benar bendera yang sama, tetapi perlu diingat, yang dikibarkan di mata rakyat itu bendera yang dikenal bangsa Papua, yang dikibarkan di Luar Negeri dan di dalam hati itu dengan jumlah bintang yang berbeda sama sekali. Kalau Dr. Thom W. Wainggai sebagai tokoh mereka sudah tahu Bintang Kejora begitu lama, kenapa dia harus bikin bendera baru, beri nama negara baru, mengangkat dirinya sebagai tokoh utama? Bukankah sejarahnya berulang?

PMNews: Permisi, sebelum berlanjut, kami potong di situ dulu supaya jelas.

TRWP: Silahkan

PMNews: Pemimpin gerilyawan di wilayah Perbatasan Lambert Pekikir menolak KRP III ini dengan alasan yang berbeda dari alasan yang Anda sampaikan?

TRWP: Alasannya sama saja, persis sama. Cuma kata-kata yang dipakai dan cara menyampaikannya yang berbeda. Perlu dilihat bahwa beliau seorang gerilyawan tetapi nampak sekali sangat tahu bahasa politik. Memang kebanyakan gerilyawan di Tanah Papua ialah diplomat, mereka tahu berdiplomasi ketika berhadapan dengan pihak luar (entah itu wartawan atau masyarakat umumnya, apalagi dengan aparat NKRI). Kalau tidak begitu, banyak gerilyawan yang ditangkap dan tidak ada  hari ini.

Saya kira ini hal ketiga yang perlu saya sampaikan tadi. Yaitu bahwa Semua gerilyawan di hutan Pulau New Guinea itu semuanya bicara satu hal dan hal yang sama. Dunia luar memang melihat seperti kami terpecah-pecah, tetapi mereka tidak tahu kami terpecah-pecah dalam hal apa, karena apa, dan untuk apa, dan mereka tidak tahu apa manfaat dari padanya. Yang mereka tahu hanya apa kerugian dari perbedaan-perbedaan yang ada. Jadi, prinsipnya General Yogi, Lambert Pekikir, Col. Nggoliar Tabuni, General Titus Murib semuanya mengatakan hal yang sama persis, cuman cara penyampaian dan penggunaan kata-katanya berbeda. Untuk membantu mengkoordinir, sekali lagi mengkoordinir dan mengakomodir bukan untuk mengatur perbedaan itulah maka General TRWP Mathias Wenda sebagai Panglima paling Senior dari sisi usia dan dari sisi pengalaman gerilya saat ini telah membentuk Tentara Revolusi West Papua dengan sistem administrasi dan menejemen yang modern dan profesional.

Semua perubahan ini dilakukan berdasarkan Hukum Revolusi (Undang-Undang Revolusi West Papua) yang telah disusun secara lengkap dan dilakukan dengan Surat-Surat Keputusan yang resmi, tidak seperti generasi pendahulu yang hampir tidak pernah meninggalkan bekas atau catatan yang dapat dijadikan dasar hukum untuk tindak-lanjutnya.

PMNews: Apakah TRWP juga memayungi gerilyawan dari Bintang-14?

TRWP: Tidak! Bintang-14 punya sayap militer bernama TPN PB dengan Ketua Dewan Militer General Jouweni dan Jubir Dewan Militernya Jonah Wenda. TPN PB itu sayap militernya sedangkan sayap politiknya ialah WPNA. Nah kini WPNA dan DAP yang menyelenggarakan Kongres.

PMNews: Kalau begitu, di mana TPN PB dan apa tindakan mereka sebagai tindak-lanjut kegiatan ini?

TRWP: Semua susunan dan tatanan organisasi TPN PB belum jelas, sama tidak jelasnya dengan organisasi politiknya WPNA. Mereka menggunakan nama WPNA tetapi mengibarkan Bintang Kejora. Sama dengan itu TPN PB itu bentukan Bintang-14, tetapi mengkleim dirinya murni TPN. Jadi, semuanya menjadi serba kacau.

PMNews: Kami perlu paham, apa bedanya TPN/OPM dengan TPN PB? dan Apa hubungannya dengan TRWP dan OPM?

TRWP: Kita perlu sosialisasi sejarah perjuangan ini dengan baik. Banyak informasi pernah tersedia di http://www.westpapua.net tetapi sekarang sudah tidak ada, tidak tahu kenapa. Tapi secara singkat begini:

[stickyleft]Perlu diingat makna dan arti dari setiap istilah dan kata-kata yang dipakai dalam memberikan nama-nama kepada setiap organisasi yang mengkelim memperjuangkan hak bangsa Papua. Jangan terfokus kepada isu-isu yang mereka bawa saja. Itu bisa mencelakakan diri sendiri.[/stickyleft]1. TPN PB itu bentukan kelompok bintang-14 yang mengkleim dirinya sebagai TPN murni, tetapi dia menambah kata PB, sama dengan nama negara yang mereka umumkan yaitu Republik Demokratik Papua Barat.

2. TPN/OPM itu sebuah nama pemberian NKRI, dengan maksud dan tujuan akhir mematikan perjuangan Papua Merdeka. dengan menjadikan TPN dan OPM menjadi satu, maka lama-kelamaan apa yang dibuat OPM menjadi perbuatan TPN, apa yang dibuat TPN menjadi dosa OPM. Jadi, kita dikacaukan oleh wacana penjajah, seolah-olah dua organisasi induk sayap militer dan sayap politik itu satu dan sama saja. SEBENARNYA BUKAN BEGITU! Keduanya bukan satu dan bukan sama. Keduanya berbeda dan terpisah. Lihat saja catatan sejarah, tidak pernah ada orang Papua muncul pertama kali menggunakan nama TPN/OPM, yang ada OPM dengan TPN bukan TPN dan OPM. Pemberian posisi OPM yang mendahului atau TPN yang mendahului itu saja sudah menentukan pembedaan dan perbedaan arti dan maknanya. Yangterjadi selama ini berakibat pembodohan dalam pendidikan poiltik Papua Merdeka.

[stickyleft]PMNews kan sudah lama memuat dua aliran politik bangsa Papua, yaitu politik buru-pungut dan politik tanam-pungut. Keduanya milik bangsa Papua, tetapi keduanya harus dimanfaatkan kapan dan di era mana itu harus diperhatikan. Kedua penganut politik harus belajar satu sama lain.[/stickyleft]3. Oleh karena banyak kekacauan dan pembodohan inilah maka Gen Wenda melakukan reorganisasi organisasi perjuangan Papua Merdeka dengan membedah sayap militer dengan tetap mempertahankan dan mempersiapkan OPM sebagai organisasi induk perjuangan Papua Merdeka. Apa yang dipersiapkan dalam OPM? Yang dipersiapkan itu manusianya dan menejemen organisasinya. Supaya OPM menjadi organisasi induk kegiatan politik di dalam dan di luar negeri, bukan PDP, bukan DAP, bukan WPNA, bukan Republik Demokratik West Papua. Itu maksudnya.

Jadi, General Wenda ialah Panglima Tertinggi Komando Revolusi, bukan Panglima Tertinggi TPN/OPM. Lihat nama dan kata-kata dalam nama itu, keduanya berbeda. Menurut Wenda, pemimpin OPM sedang dipersiapkan, jadi akan muncul, dan saat itu, bukan pemimpin TPN/OPM lagi, tetapi pemimpin TRWP dan pemimpin OPM. Cuma akan ada variasi dalam organiasi TRWP.

Nah, sekarang mengenai pelaksana dan penanggungjawab Kongres ini. Presiden dan PM Versi WPNA (Kelompok Bintang-14) Tidak Bertanggungjawab atas Tindakannya. Kenapa setelah mereka diangkat langsung berakibat pengorbanan sebagai lanjutan pengorbanan sebelumnya. Kita mau hentikan korban berjatuhan lebih jauh, bukan menambahkan. Karena itu setiap tindakan mereka yang menyebut dirinya pemimpin harus diukur, diantisipasi dan dipersiapkan. Memang semua perjuangan dalam hidup manusia harus ada pengorbanan, termasuk korban nyawa, tetapi jangan kita ditembak di rumput-rumput dan di hutan rimba dan dibiarkan seperti bukan manusia yang tidak punya martabat seperti itu. Kalau bertanggungjawab dan siap mati, ya melarikan diri, jangan biarkan rakyat lari kocar-kacir, jangan bubar tanpa hormat, jangan begitu mudahnya dicerai-beraikan begitu hanya dengan tembakan peringatan. Pemimpin harus mampu melindungi mereka, dan menyatakan diri bertanggungjaweb dihadapan hukum penjajah, bukan ditangkap dan ditahan tetapi menyerahkan diri. Itu yang harus dilakukan penyelenggara kegiatan-kegiatan Papua Merdeka di dalam negeri selanjutnya.

PMNews: Kami kembali kepada penyelenggaraan kongres. Apa tanggapan akhir dan saran kepada bangsa Papua?

TRWP: Kami menyarankan agar semua pihak tidak dibodohi dan tdiak membodohi diri sendiri. Kita bukan orang-orang Papua zaman Jouwe, Messet dan Joku lagi, ini era baru, era generasi muda memimpin dan mengarahkan perjuangan ini. Kita jangan dikaburkan dengan gelak dan gelagat oportunis. Kita lupakan cara orang lain bikin panggung, lalu kita melompat naik dan manggung tanpa malu. Kita tinggalkan politik ala NKRI, yang tidak tahu malu dan yang tidak pernah meminta maaf. Kita harus berpedoman kepada sejarah, sejarah perjuangan bangsa Papua, sejarah tokoh perjuangan Papua Merdeka, sejarah Organiasi Perjuangan Papua Merdeka, sejarah tipu muslihat dan gelagat penjajah. Kita sudah terlalu lama dibodohi orang lain dan membodohi diri sendiri. Kapan bangsa ini mau menjadi pandai? Pandai membaca sejarah, pandai mengenal tokohnya, pandai mengelola kekuatan dan kelemahannya, pandai mengenal batas-batas kewenangan dan organisasinya, pandai memanfaatkan moment dan peluang?

Bintang Kejora Lambang Kultural atau Simbol Kedaulatan

BIAK [PAPOS] – Ada yang menafsirkan Bendera Bintang Kejora adalah sebagai lambang kultural masyarakat adat Papua, tetapi ada pula yang memposisikannya sebagai symbol dari sebuah kedaulatan. Hal inilah yang sering menjadi pertanyaan di kalangan masyarakat adat Papua yang seharusnya sesegera mungkin harus dijawab oleh Pemerintah provinsi Papua melalui sebuah Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Papua.

Hal itu disampaikan ketua DPRD Kabupaten Biak numfor, Nehemia Wospakrik,SE.Bsc usai menerima aspirasi masyarakat yang menamakan diri Solidaritas Hak Asazi Manusia Papua yang menyampaikan aspirasinya melalui demo damai yang berlangsung di Kantor DPRD Biak Numfor (11/3) kemarin.

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny