Seruan Diskusi: Pelanggaran HAM dan Hak Menentukan Nasib Sendiri Bangsa Papua

Tuntutan Hak penentuan nasib sendiri adalah hak setiap orang dan setiap bangsa manapun. Hal ini telah dijamin oleh hukum internasional dan juga telah tertuang dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 bahwa “Kemerdekaan Itu Ialah Hak Segala Bangsa, Maka Penjajahan Di Atas Dunia Harus Dihapuskan”. Oleh karena itu, tuntutan hak penentuan nasib sendiri (The right of Self-determination) adalah mutlak diperjuangkan.

Bangsa West Papua harus menjadi penentu masa depan mereka sendiri, bukan penguasa kolonial, juga buka kapitalisme global. Bahwa tawaran paket politik kolonial melalui Otsus, Pemekaran, dan segala bentuk rupa adalah kebahagiaan semu. Sehingga tidak ada jalan lain bagi bangsa West Papua untuk melepaskan diri dari penindasan sistemik yang dilakukan oleh Indonesia kecuali menentukan nasib sendiri dengan jalan Referendum.

Sebagaimana yang sampaikan oleh Victor Conde (1999) bahwa “Hak untuk menentukan nasib sendiri merupakan suatu prinsip hukum internasional yang dapat ditemukan sebagai norma dalam berbagai perjanjian internasional, seperti Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) yang memuat tentang Hak Asasi Manusia (HAM) tertentu dan hak ini menyatakan bahwa semua negara (all states) atau bangsa (nation) mempunyai hak untuk membentuk sistem politiknya sendiri dan memiliki aturan internalnya sendiri; secara bebas untuk mengejar pembangunan ekonomi, sosial dan budaya mereka sendiri; dan untuk menggunakan sumber daya alam mereka yang dianggap cocok. Hak untuk menentukan nasib sendiri adalah hak dari suatu masyarakat kolektif tertentu seperti untuk menentukan masa depan politik dan ekonominya sendiri dari suatu bangsa, tunduk pada kewajiban-kewajiban menurut hukum internasional”.

Persoalan akan penentuan nasib sendiri bagi bangsa West Papua bukan lah hal yang baru, Namun hal ini telah dibuktikan oleh berbagai bangsa di dunia. Mereka telah memilih untuk mengatur segala persoalan bangsanya sendiri dengan jalan penentuan nasib sendiri. Kita dapat menemukan beberapa gerakan kemerdekaan, yang mengejar pemisahan seperti di sudan di wilayah Afrika, Kosovo di Eropa Timur, dan Tibet di kawasan Asia. Di Asia, perjuangan untuk penentuan nasib sendiri bagi bangsa West Papua merupakan tuntutan mutlak yang harus dituntaskan, sebab itu hak dasar yang diakui oleh Dunia Internasional.

II. Tujuan Kegiatan

Memberikan suatu perspektik yang benar tentang kasus pelanggaran HAM di Papua serta membangun kesadaran khususnya kepada Rakyat Indonesia terhadap hak penentuan nasib sendiri bagi Bangsa West Papua untuk merdeka.

III. Tema Kegiatan:

“Pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Penetuan Nasib Sendiri”

IV. Waktu dan Tempat

Hari / Tanggal : Kamis 15 Desember 2016
Waktu : 14.00-18.00 WIB
Tempat : LBH Jakarta, Jalan Diponegoro No. 74 Menteng Jakarta Pusat
Thema : “Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan Penetuan Nasib Sendiri”

Seruan Diskusi Di publikasikan kepada seluruh rakyat Indonesia (Prodemokrasi) dan rakyat Papua Barat untuk mendorong Proses Hak Demokratic (Pembebasan Nasional) sebagai bentuk kepedulian Terhadap kemanusian Di Papua Barat. kami ucapkan banyak terimakasi.

Surya Anta: Kami, orang Indonesia, memberi hormat dan permintaan maaf terhadap kawan-kawan Papua …

https://papuapost.news.blog/wp-content/uploads/2016/12/e0d29-surya2banta.jpg
Surya Anta saat berorasi di hadapan massa aksi FRI-West Papua dan AMP, di lapangan Polda Metro Jaya, Jakarta (1/12)

PembebasanBandung, 4 Desember 2016 — Pada 1 Desember 2016, Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-West Papua) dan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) hendak melakukan aksi menyuarakan Hak Menentukan Nasib Sendiri bagi Rakyat Papua di Bunderan Hotel Indonesia, Jakarta. Namun, baru tiba di perempatan Graha Mandiri, massa aksi yang berjumlah 200 lebih itu dihadang barisan polisi bersenjata lengkap, berpakaian sipil, dan jumlahnya berkali-kali lipat dari massa aksi. FRI-West Papua dan  AMP dilarang berunjuk rasa di Bunderan HI. Hanya karena mengenakan ikat kepala bintang kejora, polisi kemudian merangsek ke barisan massa aksi, mengambil atribut tersebut sembari memukul massa aksi. Dalam situasi chaos itu, sepuluh kawan kami diciduk, dipukuli, ditendang, lalu dibawa ke markas Polda Metro Jaya.

Menuntut 10 kawan kami dibebaskan, seluruh massa aksi menyerahkan diri. Di lapangan Sabhara Polda Metro Jaya, tempat massa aksi menunggu pembebasan 10 kawan yang ditangkap, akhirnya kawan kami dibebaskan. Di sana tampak kawan-kawan kami babak belur menghampiri massa aksi. Di sana pula, Surya Anta menyampaikan orasinya yang kemudian ditranskrip oleh salah satu anggota Pembebasan KK Bandung, Uga Kumito. Berikut transkrip orasi Surya Anta:

Wa.. wa.. wa.. wa.. wa.. wa.. wa..

Kami, orang-orang Indonesia, memberi hormat dan permintaan maaf terhadap kawan-kawan Papua dan Rakyat dan bangsa Papua. Kami meminta maaf karena banyak tentara kami, polisi kami, telah membunuhi orang-orang hitam rambut keriting. Kami meminta maaf, tapi bukan berarti kami akan duduk dan diam saja. Kami akan tetap bersama kalian.

Kenapa? Karena dalam konstitusi kami, sudah termaktub bahwa kemerdekaan ialah? HAK SEGALA BANGSA. Kemerdekaan adalah? HAK SEGALA BANGSA. Dan sesungguhnya, bangsa Indonesia adalah bangsa yang lahir karena melawan kolonialisme, karena melawan fasisme Jepang, karena melawan rasisme kulit putih.

Kami sekarang sedang belajar lagi apa itu demokrasi. Kami sekarang sedang belajar lagi apa itu kemanusiaan. Kami sekarang sedang belajar lagi apa itu artinya militansi dan pengorbanan.

Hari ini kita dipukul, orang-orang Indonesia yang ada di sini. Tapi bagi kami, sumbangsih kami tidak lebih dari seujung kuku. Kenapa? Penderitaan orang-orang Papua sudah begitu dalam! Setiap hari dibunuhi, setiap hari diculik, setiap hari ditabrak lari, setiap hari ada yang dibuat gantung diri, ada yang diperkosa.

Masih ingat kawan Yawan Wayeni? Ususnya terburai tapi ia masih saja berlari dan tentara langsung menembaknya. Masih ingat kawan Yustinus Mulebu? Masih ingat kawan Kelik Kwalik? Ia diserahkan ke polisi tapi setelah itu [brimob] menembaknya.

Kami dipukul, saya dipukul. Tapi bagaimanapun, dipukuli, ditendang, tapi bagaimanapun, itu belum seujung kuku pengorbanan Rakyat Papua.

Orang-orang Indonesia harus belajar lagi demokrasi. Orang-orang Indonesia harus belajar lagi semangat melawan kolonialisasi. Orang-orang Indonesia harus belajar lagi bagaimana melawan situasi dalam ketakutan. Kami sedang belajar dari kawan-kawan Papua. Terima kasih atas pelajarannya.

Hormat!

Hidup Papua! Hidup Papua! Hidup bangsa Papua! Hidup bangsa West Papua! Terima kasih. Hormat diberi.

Wa.. wa.. wa.. wa.. wa.. wa.. wa..

Polisi Bebaskan Deklarator Referendum Papua

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Juru Bicara Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI West Papua), Surya Anta Ginting, telah dibebaskan oleh polisi setelah sempat ditangkap dan ditahan pasca aksi mereka pada 1 Desember.

Kebebasannya tersebut ia konfirmasi ketika satuharapan.com menanyakan hal itu  kepadanya hari ini (2/12)

“Sudah bebas kemarin sore,” kata dia, lewat pesan singkat.

Berbeda dengan dugaan banyak orang bahwa ia dan kawan-kawannya ditangkap polisi karena dugaan makar dan ingin mengibarkan bendera Bintang Kejora, Surya Anta mengatakan mereka ditangkap polisi oleh alasan lain.

Menurut Surya Anta, mereka ditahan karena melanggar Peraturan Gubernur yang melarang aksi ke Bundaran Hotel Indonesia.

Sebelumnya, Veronica Koman, Pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, mengatakan, pada saat terjadi dorong-dorongan antara aparat dengan pelaku unjuk rasa, Surya terjatuh lalu ditarik oleh polisi untuk menjauhi kerumunan massa aksi unjuk rasa. Setelah lepas dari massa aksi, dia kemudian ditarik ke barisan polisi dan dipukuli menggunakan pentungan dua kali ke bagian kepala dan tubuh.

“Saya berusaha menunduk dan melindungi kepala saya dengan tangan. Polisi lalu memukul muka saya di mana-mana hingga luka-luka. Muka bagian hidung ditendang, perut dan badan saya juga ditendang,” kata Veronica Koman menceritakan kronologis yang disampaikan Surya Anta dalam pesan singkat, hari Kamis (1/12).

Veronica mengatakan, luka-luka yang dialami Surya antara lain ‌benjol di kepala atas, ‌benjol di kepala belakang, pelipis kanan memar, pelipis kiri memar, hidung luka robek.

Kemudian bagian rahang kanan dan kiri memar, lalu luka baret di punggung, leher, dan bagian badan depan juga diderita Surya akibat peristiwa itu.

Selain Surya Anta, Ketua Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Jefry Wenda, bersama beberapa aktivis lainnya, ditangkap polisi. Mereka di antaranya: Anka Thomas, Jefri Wanda, Frans Nawipa, Iriantibus Murib, Frans Douw, Pyan Pagawak, Minus Gibian, dan puluhan lainnya.

Sepuluh orang ditangkap, diduga rencanakan makar

Lily Wahid, Ahmad Dhani, dan Rachmawati Soekarnoputri, menyampaikan keterangan pers terkait keterlibatan mereka pada aksi 212 di Jakarta, 1 Desember 2016.—tempo.co
Lily Wahid, Ahmad Dhani, dan Rachmawati Soekarnoputri, menyampaikan keterangan pers terkait keterlibatan mereka pada aksi 212 di Jakarta, 1 Desember 2016.—tempo.co

Jakarta, Jubi – Sebanyak sepuluh orang ditangkap oleh polisi terkait dugaan upaya permufakatan jahat. “Telah ditangkap 10 orang pada rentang waktu 03.00 hingga 06.00 WIB pagi hari ini,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Polri Kombes Pol Rikwanto di Jakarta, Jumat (2/12/2016).

Rikwanto merinci kesepuluh orang tersebut berinisial AD, E, AD, KZ, FH, RA, RS, SB, JA dan RK. Ia menyebut delapan di antara mereka ditangkap atas tuduhan makar dan akan dikenai Pasal 107 juncto Pasal 110 juncto Pasal 87 KUHP dengan ancaman hukuman penjara minimal 20 tahun atau maksimal penjara seumur hidup. “Kalau JA dan RK dikenai pelanggaran Pasal 28 Undang-undang ITE,” katanya.

Menurut dia, setelah ditangkap, kesepuluh orang tersebut langsung dibawa ke Markas Komando Brimob di Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. Mantan Kabidhumas Polda Metro Jaya ini mengatakan penangkapan 10 orang tersebut atas hasil penyelidikan Polda Metro Jaya. Ia pun berujar tidak ada perlawanan dalam penangkapan mereka. “Tidak ada perlawanan,” katanya.

Kesepuluh orang itu merupakan tokoh yang beberapa di antaranya aktif mendukung aksi 2 Desember. Mereka adalah musikus Ahmad Dhani yang ditangkap di Hotel San Pacific, Eko ditangkap di rumahnya di Perum Bekasi Selatan, Aditya Warman ditangkap di rumahnya.

Selain itu Purnawirawan TNI Kivlan Zein juga ditangkap di rumahnya di Komplek Gading Griya Lestari. Putri presiden pertama Soekarno, Rachmawati Soekarnoputri juga ikut ditangkap sekitar pukul 05.00 WIB, di rumahnya. Beberapa aktivis seperti Ratna Sarumpaet, Sri Bintang Pamungkas, Jamran, juga Rizal Kobar juga dikabarkan turut ditangkap. Menurut Martinus, saat ini mereka dibawa untuk menjalani pemeriksaan di Markas Komando Brimob, Kelapa Dua, Depok.

Di tempat terpisah, pengacara Yusril Ihza Mahendra juga dikabarkan siap mengadvokasi pihak yang ditahan. (*)

Kenapa orang Indonesia dukung Penentuan Nasib Sendiri Papua?

Simbol Front Rakyat Indonesia untuk West Papua, sebuah front yang dideklarasikan Selasa (29/11/2016) di Jakarta untuk mendukung penentuan nasib sendiri West Papua - pembebasan.org
Simbol Front Rakyat Indonesia untuk West Papua, sebuah front yang dideklarasikan Selasa (29/11/2016) di Jakarta untuk mendukung penentuan nasib sendiri West Papua – pembebasan.org

Jayapura, Jubi – FRI West Papua, kelompok sipil Indonesia yang secara terbuka menyatakan dukungannya atas penentuan nasib sendiri West Papua, mengajak masyarakat Indonesia turut tunjukkan solidaritasnya pada hak bangsa Papua menentukan nasibnya sendiri.

Menurut Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI West Papua) itu, ada tujuh alasan mengapa penting bersolidaritas untuk bangsa West Papua.

Pertama, kata mereka, dunia akan lebih baik dan indah apabila setiap bangsa tidak hidup dalam penjajahan dan dapat bekerjasama secara demokratis, adil dan setara.

Bagi FRI West Papua, penjajahan masih terjadi di Papua oleh sebab integrasi Papua ke NKRI mereka anggap tidak demokratis. Mereka setuju beberapa pendapat gerakan pro kemerdekaan Papua yang menyatakan Pepera 1969 tidak sah, dan oleh karena itu West Papua bukan bagian sah NKRI, alias masih teritori yang tak berpemerintahan sendiri atau dibawah pendudukan.

Baca juga Dukung “Self Determination”, FRI West Papua dideklarasikan di Jakarta

Alasan kedua, kata Juru bicara FRI West Papua, Surya Anta, yang tampil solo di acara deklarasi front tersebut Selasa (29/11/2016) adalah penindasan sistematis yang tidak manusiawi di Papua harus mengusik nurani kemanusiaan semua masyarakat Indonesia. “Dan membiarkan penjajahan di atas tanah West Papua berlanjut adalah tindakan tidak manusiawi,” kata dia.

Mereka juga mengatakan solidaritas tersebut juga merupakan upaya untuk mendemokratisasikan rakyat dan bangsa Indonesia sendiri, memperjuangkan kesadaran kemanusiaan yang beradab terhadap rakyat dan bangsa Indonesia.

“Solidaritas diperlukan terkait perjuangan melawan Imperialisme dan Korporasi Internasional yang menyokong praktek kolonialisasi NKRI di tanah West Papua, sekaligus menghentikan praktek-prektek militerisme yang mengiringinya,” ujarnya.

FRI West Papua juga menyebutkan bahwa solidaritas terebut adalah bagian dari perlawanan terhadap rasisme terhadap siapapun termasuk rakyat West Papua, dan mereka menyatakan satu-satunya “tindakan bermoral” untuk hentikan “genosida” di West Papua adalah melalui dukungan terhadap penentuan nasib sendiri.

Dukungan

Tri Agus Susanto Siswowiharjo, Dosen Prodi Ilmu Komunikasi STPMD “APMD” Yogyakarta yang juga mantan aktivis Solidaritas untuk Penyelesaian Damai Timor Leste (Solidamor) menyatakan dukungannya pada inisiatif FRI West Papua itu.

“Bagus ada gerakan terbuka seperti itu. Sebagai inisiatif bersama antara orang Indonesia dan Papua. Selama gerakan di Jakarta non violence (anti kekerasan) maka tak ada alasan pemerintah dan publik Indonesia menolak organisasi ini,” kata Tri Agus melalui pesan singkat kepada Jubi, Selasa (29/11).

“Sa yakin orang Indonesia pasti mengetahui bunyi pembukaan UUD ’45: Bahwa kemerdekaan adalah hak setiap bangsa dan seterusnya. Dan dukungan terbuka ini bagus karena sekarang era demokrasi . Berjuang dengan jalur non kekerasan,” ujar dosen yang akrab dipanggil Tass itu.  Selain mantan aktivis, dia juga populer karena menulis buku Mati Ketawa Cara Orde Baru dan sempat ditahan di jaman Orde Baru.

Tass menekankan pentingnya kampanye publik lanjutan pasca deklarasi itu. “Tak hanya strategi vs negara, tetapi juga kampanye karena orang-orang  Indonesia perlu digelontor berita tentang Papua yang benar,” ujarnya.

Di tempat lain, Alghiffari Aqsa, Direktur LBH Jakarta juga mendukung inisiatif FRI West Papua. “LBH Jakarta bukan bagian FRI, tetapi kami mendukung kebebasan berpendapat dan berekspresi. Dan pembentukan FRI West Papua adalah bagian dari kebebasan berserikat dan berkumpul yang biasa dan sama saja dengan kelompok lainnya. Kita harus hormati hak konstitusionalnya,” kata dia.

Dari New York, AS, Coen Husein Pontoh, pendiri situs IndoProgress.com yang memberi ruang cukup banyak untuk isu-isu Papua, juga menyambut deklarasi front ini. “Sangat dibutuhkan agar rakyat Indonesia mengetahui bahwa ada persoalan besar terkait soal Papua,” kata dia.

Coen menekankan hak penentuan nasib sendiri Papua membutuhkan penghentian tindak kekerasan yang selama ini terjadi terhadap rakyat Papua. “melalui pelaksanaan hak menentukan nasib sendiri maka kita akan mengetahui dengan jelas sejauh mana klaim-klaim politik yang selama ini dilakukan baik oleh pemerintah Indonesia maupun oleh kalangan oposisi di Papua agar mendapat legitimasi dari rakyat Papua,” ujarnya.

Dia juga menambahkan hak tersebut sebetulnya bagian integral dari proses demokrasi sehingga pelaksanaan hak itu akan makin memperkuat sistem demokrasi yang kita anut saat ini.

Muhajir Abdul Azis, seorang anak muda asal Aceh menganggap inisiatif FRI West Papua juga sebagai hal yang mesti didukung. “Saya tidak tahu bagaimana menurut orang Indonesia, apalagi orang-orang di Pulau Jawa yang kebanyakan mengunyah slogan NKRI harga mati. tapi menurut saya sebagai orang Aceh inisiatif ini harus didukung, karena itu perjuangan riil,” kata dia kepada Jubi melalui pesan singkat.

Dia mengaku memahami apa yang dirasa masyarakat Papua, “Bagi yang pernah merasa bagaimana ganasnya militer Indonesia dalam berbagai kasus pembunuhan pasti paham akan apa yang diminta masyarakat Papua,” ujarnya yang merasa hal itu juga didorong oleh perasaan kebangsaan yang berbeda antara Indonesia dan Papua.

Perluasan perhatian

Sejak eskalasi isu penentuan nasib sendiri West Papua di Pasifik, masyarakat Indonesia juga sedikit banyak mengikuti dan coba mengambil sikap.

Pada bulan April 2016 lalu, setidaknya 154 orang dari berbagai spektrum sosial politik dan budaya menyatakan terbuka solidaritas mereka kepada United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dan mengutuk kekerasan yang terjadi pada aktivis-aktivis pendukung ULMWP di Papua.

Di dalam pernyataan 6 April 2016 lalu, seperti dilansir oleh situs papuaitukita.net, mereka menghendaki agar pemerintah Indonesia mendengarkan Papua; mengubah pendekatan represif dan eksploitatif pada Papua; menuntut evaluasi tindakan aparat keamanan di Papua dan menghentikan pengiriman pasukan, termasuk pembangunan komando teritorial dan markas-markas Brimob baru; serta mendukung proses politik damai yang diajukan oleh ULMWP untuk membicarakan hak penentuan nasibnya sendiri.

“Indonesia bukan milik aparat. Indonesia dibangun oleh rakyat, yang berjuang untuk kemerdekaan berkumpul, bersuara dan berekspresi demi kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial,” ujar pernyataan tersebut.

Bersamaan dengan deklarasi yang dilakukan FRI West Papua Selasa (29/11), tampak beberapa orang pemuda menggelar spanduk penolakan di luar gedung LBH Jakarta. Beberapa diantara mereka menggunakan almamater universitas tertentu.

Di dalam spanduknya, mereka menyatakan “Tolak West Papua, dari Sabang Sampai Merauke untuk Indonesia, Save NKRI”. Mereka mengatasnamakan Front Penyelamat Indonesia (FPI).

FRI West Papua tampaknya akan menjadi babak baru dalam pembukaan ruang bagi isu-isu penentuan nasib sendiri West Papua, baik pro maupun kontra, untuk dibicarakan oleh publik politik ibukota.(*)

13 Organisasi Internasional Dukung Papua Merdeka

TabloidWani.com – Kuala Lumpur — 13 organisasi internasional dan delapan kelompok dari Indonesia menyatakan dukungan terhadap perjuangan rakyat Papua Barat untuk menentukan nasib sendiri.

Seperti dilansir dari malaysiakini.com, hari Kamis (1/12), solidaritas 21 organisasi tersebut menyatakan menolak segala bentuk intervensi imperialis dalam proses perjuangan demokrasi di Papua Barat.
“Solidaritas kami dengan rakyat Papua Barat untuk menentukan nasib sendiri merupakan bagian dari perjuangan melawan imperialisme dan koorporasi internasional yang akan mendukung praktik perampasan tanah penjajahan di Papua Barat,” tulis pernyataan itu.

“Kami juga mendesak orang-orang di seluruh dunia untuk mengkonsolidasikan upaya untuk memperluas solidaritas dengan perjuangan rakyat Papua untuk menentukan nasib sendiri,” lanjut pernyataan itu.

Dalam pernyataan bersama itu, 21 organisasi itu menyampaikan lima point tuntutan kepada pemerintah Indonesia.

  1. Menghormati hak untuk menentukan nasib sendiri rakyat Papua Barat, termasuk memegang referendum untuk memutuskan masa depan Papua Barat.
  2. Berhenti melakukan represi terhadap rakyat Papua Barat yang menyuarakan permintaan atas penentuan nasib sendiri.
  3. Lindungi hak untuk kebebasan informasi, kebebasan berekspresi, kebebasan berserikat dan kebebasan berpikir bagi masyarakat Papua.
  4. Meningkatkan kehidupan rakyat Papua Barat dengan memberikan pendidikan gratis, kesehatan universal dan transportasi publik yang terjangkau.
  5. Menolak politik rasial yang dilakukan oleh militer dan polisi Indonesia terhadap rakyat Papua Barat.
    Menurut pernyataan bersama itu, sampai hari Kamis (1/12), orang-orang Papua Barat terus menghadapi intimidasi, penindasan dan kekejaman oleh pemerintah Indonesia.

“Tahun ini saja, ribuan telah ditangkap karena menyuarakan tuntutan mereka untuk menentukan nasib sendiri dan referendum kemerdekaan,” tulis pernyataan itu.

13 organisasi internasional tersebut di antaranya:

  1. The Socialist Party of Malaysia (PSM) – Malaysia
  2. Oppressed People’s Network (Shout) – Malaysia
  3. Youth Solidarity Malaysia (SAMM) – Malaysia
  4. Awami Workers Party – Pakistan
  5. Partido Lakas ng Masa (PLM) – Philippines
  6. socialist Alliance – Australia
  7. Anticapitaliste Nouveau Party (NPA) – France
  8. Pioneer – Hong Kong
  9. Globalization Monitor – Hong Kong
  10. Socialist Popular Alliance Party – Egypt
  11. Asia Monitor Resource Centre (AMRC)
  12. Committee for Asian Women (CAW) Fourth International

Kemudian delapan kelompok dari Indonesia di antaranya:

  1. Partai Pembebasan Rakyat (PPR) – Indonesia
  2. Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (PEMBEBASAN) – Indonesia
  3. Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS) – Indonesia
  4. Pusat Perjuangan Rakyat Indonesia (PPRI) – Indonesia
  5. Asosiasi Solidaritas.net – Indonesia
  6. Lingkar Studi Sosialis – Indonesia
  7. States Culture Society Indonesia (earth) – Indonesia
  8. Society JUBI, Jayapura, West Papua – Indonesia

Bapak Angkat Saya Anggota Organisasi Papua Merdeka

Sore itu, hari ke lima saya tinggal seorang diri di rumah guru, dan hari kedua penyakit malaria menyerang tubuh. Sebelumnya saya sudah memelihara plasmodium vivax penyebab penyakit malaria tertiana sejak 2008. Di Papua, plasmodium yang bersemayam dalam tubuh bertambah, kali ini plasmodium falciparum yang membawa penyakit malaria bernama malaria tropicana.

Demam menyerang, kedinginan, tubuh menggigil. Saya menyelimuti seluruh tubuh. Tak berapa lama kondisi berubah. Panas terasa di sekujur tubuh, keringat kian deras bercucuran. Perut yang mual sebabkan saya memuntahkan isi perut berkali-kali. Segala yang masuk ke tubuh melalui mulut, kembali keluar dari mulut. Untuk sekadar air putih pun begitu. Betapa tersiksanya saya saat itu. Kalian yang merasa penderitaannya sudah sampai puncak hingga pada tahap mengenaskan karena status jomblo dan tak kunjung mendapat pasangan, hingga kemudian remuk redam dihantam kenangan, sebaiknya cobalah merasakan betapa menderitanya diserang malaria. Niscaya kalian akan sadar, bahwa penderitaan kalian belum ada seupil-upilnya penderitaan karena malaria.

Obat malaria yang saya bawa dari Jakarta sama sekali tak berguna. Demam terus berlanjut, kadang dingin kemudian panas. Muntah-muntah tak kunjung usai hingga cairan kuning yang terasa asam di lidah dimuntahkan lambung menuju tenggorokan dan berceceran di lantai usai dikeluarkan mulut. Biadab.

Saat akhirnya semua itu sedikit mereda jelang hari gelap, pintu rumah diketuk. Saya berjalan tertatih, memaksa diri untuk membukakan pintu. Bagaimanapun juga, sebagai manusia yang menjunjung adab ketimuran, saya harus menghormati tamu. Membukakan pintu untuknya dan menyilakan tamu saya masuk.

Pintu saya buka, dua orang tamu yang datang mengejutkan saya. Bertubuh gempal dengan otot menyembul di lengan, dada, paha dan kaki. Wajah mereka dipenuhi jenggot yang lebat. Berkoteka dan membawa noken yang mereka bebankan di kepalanya, sementara tangan kiri mereka menjinjing anak panah dan busurnya. Sekilas saya melihat tak ada perbedaan mencolok di antara keduanya. Saya merasa mereka adalah dua orang yang kembar.

“Selamat sore, Bapak. Mari masuk.” Ujar saya sesaat setelah keterkejutan saya reda. Tanpa berkata-kata, mereka berdua segera masuk. Tanpa dipersilakan duduk, mereka berdua juga segera duduk, mencari lokasi yang nyaman bagi masing-masing di antara mereka.

“Bapak mau minum apa? Tapi ambil dan buat sendiri ya, saya sedang tidak enak badan.” Sembari menunjuk dapur saya melanjutkan, “Di situ dapurnya, Bapak.”

“Ah, tidak usah. torang sebentar saja ke sini. Mau tanya-tanya sedikit.” Ujar salah seorang di antara mereka.

Melihat penampilan mereka, saya yakin mereka bukan penduduk asli dan bukan berasal dari suku yang sama dengan suku tempat saya tinggal. Karena Suku Asmat tidak mengenakan koteka. Orang-orang Asmat juga tidak terbiasa memanjangkan jenggot mereka. Kedua orang ini baru turun gunung. Mereka berasal dari suku yang ada di pegunungan, entah Nduga, atau Dani atau yang lainnya.

“Kamu dari mana? Bikin apa kamu di sini?” Pertanyaan ini ditujukan kepada saya. Rasa takut kembali menjalar di sekujur tubuh. Bulu roma saya terasa berdiri, mungkin karena demam, tapi saya rasa lebih karena rasa takut yang kian menjadi.

Mata saya terus mengawasi anah panah dan busur yang mereka bawa. Dalam keadaan takut, lemah, dan menahan rasa sakit sekaligus kantuk, saya menjawab pertanyaan mereka. Memberikan penjelasan dengan rinci tentang asal usul saya dan alasan keberadaan saya di rumah itu. Mereka mendengarkan dengan seksama.

“Baik sudah, kami jalan dulu. Ko jangan macam-macam ya di sini. Jangan bikin macam-macam, jangan ajar anak-anak macam-macam. Dan, jangan sekali-kali kasih naik itu merah putih.” Sembari mengatakan ini, salah seorang di antara mereka mengeluarkan benda seukuran telapak tangan bergambar bendera Bintang Kejora.

“Baik, bapak. Saya hanya ajar baca, tulis, hitung saja di sini. Tidak aneh-aneh.” Saya kembali membukakan pintu karena kedua orang tamu saya hendak pulang. “Silakan besok bapak datang ke sekolah. Lihat langsung kami belajar apa saja di sekolah.” ucap saya sesaat setelah mereka berdua berada di ambang pintu.

Keesokan harinya, saat saya dan murid-murid belajar di sekolah, kedua orang itu benar-benar memenuhi undangan saya. Mereka berdua memperhatikan kegiatan kami dari dekat namun tidak mengganggu kegiatan belajar kami. Salah seorang murid mengenal mereka berdua. Ia menyapa kemudian berbincang menggunakan bahasa ibu mereka. Tak seorang pun di antara murid yang mengerti perbincangan mereka, apalagi saya. Murid yang berbincang dengan kedua orang itu memang pendatang, ia berasal dari daerah bernama Kenyam, Ibukota Kabupaten Nduga yang dihuni mayoritas suku Nduga.

Usai percakapan dengan salah seorang murid, kedua orang itu masih tinggal di sekolah. Mereka menunggu hingga kegiatan belajar selesai dan kami membubarkan diri. Sesaat setelah murid-murid bubar, mereka berdua bergegas mendatangi saya dengan senyum merekah di wajah mereka. Menyalami saya, memeluk saya, kemudian berkata, “Mulai sekarang Pak Guru jadi anak kami. Kamu orang kami angkat jadi anak sudah.” Lalu mereka pamit. Saya bingung, bertanya kepada diri sendiri, “Ada apa ini sebenarnya?”

Setelah kejadian tersebut, tiap kali mereka turun gunung, atau teman atau saudara mereka turun gunung, mereka selalu menyempatkan diri singgah di rumah tempat saya tinggal. Membawakan bermacam sayur-mayur, ubi, ketela, petatas, buah-buahan, dan bermacam bahan makanan lainnya. Kadang mereka singgah untuk waktu yang cukup lama, namun lebih sering sekadar singgah untuk mengantarkan bahan makanan kemudian bergegas pergi.

Mendapat perlakuan semacam ini, tentu saja saya senang. Bahan makanan jelas bertambah, setidaknya menambah variasi supaya tidak melulu nasi putih dengan ikan asin, atau sagu dengan ikan asin. Sumber vitamin dan mineral dari sayur-mayur juga terpenuhi.

Perihal diangkat menjadi anak oleh dua orang yang jelas-jelas pejuang kemerdekaan Papua, saya merasa ini adalah pengalaman menarik dan berharga. Diangkat sebagai anak oleh mereka yang berjuang demi hak-hak dan kebenaran yang mereka yakini, berjuang demi kebebasan dan kemerdekaan yang mereka percaya akan mengubah hidup mereka menjadi lebih baik, adalah kesempatan yang berharga lagi langka. Lebih dari itu, saya bangga. Ya, bangga.

Terlepas dari pro-kontra isu kemerdekaan Papua, jargon-jargon NKRI harga mati, atau perpecahan yang terjadi di antara mereka yang menuntut kemerdekaan Papua, sejujurnya, saya harus menghormati mereka, bapak-bapak angkat saya dan semua orang yang berjuang menyuarakan kemerdekaan Papua, keadilan yang seharusnya diterima.

Bukankah lumrah mereka menuntut hak-haknya dipenuhi, menuntut untuk bisa menentukan nasib mereka sendiri setelah puluhan tahun pelanggaran HAM mereka alami, sumber daya alam mereka dirampas bahkan untuk sekadar ampas tak bisa benar-benar mereka dapat.

Jika terus menerus seperti ini, siapapun manusianya, apapun agama yang dianutnya, dari manapun mereka berasal, sudah semestinya muak akan ketidakadilan yang terjadi di Papua, dan memaklumi tuntutan kemerdekaan yang disuarakan. Benar begitu kan, Kakak? Ah, Itu sudah!

Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-West Papua) Kota Sinjai, Sulawesi Selatan

FRI West Papua Kota Binjau Sulawesi Selatan
FRI West Papua Kota Binjau Sulawesi Selatan

(01/12/16) Malam ini tepatnya jam 19.00 WITA perempatan jendral sudirman kota sinjai puluhan mahasiswa dan pemuda melakukan aksi demonstrasi mendukung kemerdekaan bangsa papua. Gerakan ini tergabung dalam Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) Kota Sinjai. Aksi demonstrasi ini dilakukan dengan membakar lilin, orasi , baca puisi dan buka baju.
Ada empat tuntutan dalam aksi kali ini:
1. Berikan hak demokratis papua menentukan nasib sendiri,
2. Hentikan pelanggaran HAM dan tarik militer dari Tanah Papua,
3. Tolak perampasan tanah di Sukamulya,
4. Bebaskan kawan kami yang ditangkap!

“Kami melakukan aksi malam karena kami ingin memperlihatkan kepada seluruh rakyat Indonesia bahwa kita hidup dalam kehidupan bangsa gelap. Dan kenapa kita membakar lilin untuk membuktikan bahwa masih sedikit cahaya untuk kemajuan serta membuka baju. Karena realitanya sekarang demokrasi dan hak asasi manusia kita ditelanjangi oleh militer”,

ungkap Pacul korlap aksi demonstrasi.

Aksi demonstrasi ini berlangsung sekitar kurang lebih dua jam dengan ditutup dengan menyanyikan lagu darah juang serta doa bersama sebagai bukti berkabung terhadap kematian demokrasi dan hak asasi manusia di negara indonesia.

ULMWP apresiasi aksi 1 Desember FRI West Papua

Pemimpin ULMWP, Octovianus Mote (tengah) dan Benny Wenda (kanan) berbincang dengan PM Vanuatu, Charlot Salwai (kiri) dalam MSG Special Summit di Honiara, Juli 2016 - Jubi/Victor Mambor
Pemimpin ULMWP, Octovianus Mote (tengah) dan Benny Wenda (kanan) berbincang dengan PM Vanuatu, Charlot Salwai (kiri) dalam MSG Special Summit di Honiara, Juli 2016 – Jubi/Victor Mambor

Jayapura, Jubi – Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI West Papua) menggelar aksi bersama di beberapa kota di Indonesia. Di Jakarta aksi dilakukan bersama Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) se-Jawa-Bali yang rutin turun aksi setiap tanggal 1 Desember.

“Menkopolkam sudah mengatakan akan membubarkan aksi besok (Kamis). Kepolisian juga menolak pemberitahuan demonstrasi yang dikirim FRI West Papua dan AMP yang telah lebih dulu diberikan,” demikian konfirmasi Veronika Koman, pengacara publik, kepada Jubi Rabu malam (30/11/2016).

Veronika bersama tim advokasi mendampingi aksi tersebut di Jakarta dan memantau aksi-aksi dan kegiatan terbuka lainnya di beberapa kota, termasuk Papua. Selain Jakarta, aksi akan berlangsung hari ini, Kamis (1/12/2016) di Palu, Poso, Makassar, Yogyakarta, Ternate.

Sementara di Papua, menurut konfirmasi sebelumnya dari pihak ULMWP dan KNPB aktivitas peringatan 1 Desember akan berbentuk ibadah syukur di tempat terbuka maupun di sekretariat.

“Karena pernyataan Menkopolkam tersebut, dan pengalaman sebelumnya, maka kami mengajak berbagai pihak khususnya media untuk memantau perkembangan kegiatan di 1 Desember, agar mengurangi bahkan cegah kemungkinan represi,” ujar Vero.

Aksi di Jakarta akan dimulai pukul 08.00 hingga 12.00 siang waktu setempat dan akan berpusat di Istana Negara. Mereka mengusung isu penentuan nasib sendiri West Papua seperti yang sebelumnya sudah dinyatakan oleh FRI West Papua dalam deklarasinya di LBH Jakarta (30/11).

Pada peringatan 1 Desember 2015 lalu di Jakarta, Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) tidak berhasil menembus istana negara. Sebanyak 306 orang ditangkap Kepolisian Metro Jaya di Bunderan Hotel Indonesia, setelah sebelumnya melakukan beberapa penyisiran di titik-titik keberangkatan para mahasiswa. Dua mahasiswa Papua sempat dijadikan tersangka pemukulan oleh polisi, namun bebas tiga hari kemudian.

Apresiasi ULMWP

Octovianus Mote, Sekretaris Jenderal ULMWP didalam naskah pidatonya untuk peringatan 1 Desember yang diterima Jubi Rabu (30/11), menyatakan dukungan terhadap inisiatif pendirian FRI West Papua tersebut.

“Rakyat Indonesia terutama di kalangan terdidik sudah mulai akui aneka kejahatan yang dilakukan pemerintah dan militer Indonesia terhadap rakyat Papua Barat. Lebih dari pada itu dalam minggu ini kita baru menyaksikan dideklarasikannya FRI West Papua. Gerakan rakyat Indonesia ini memberikan dukungannya terhadap hak Bangsa Papua Barat untuk merdeka sebagai bangsa berdaulat,” ujar Mote.

Hal ini, lanjut Mote, adalah hasil dari kerja keras seluruh anggota ULMWP yang tak terbatas di kawasan Pasifik tetapi juga terjadi di Indonesia.

Victor Yeimo, Ketua Umum KNPB yang juga tim kerja ULMWP, mengatakan pembentukan FRI West Papua adalah sejarah baru dalam perjuangan pembebasan nasional West Papua.

“Untuk pertama kalinya rakyat Indonesia melalui berbagai organisasi gerakan dan individu mendirikan Front yang akan berjuang bagi rakyat West Papua untuk menentukan nasibnya sendiri,” ujarnya.

Dia meyakini masih banyak rakyat Indonesia lainnya yang sebetulnya mendukung inisiatif tersebut. “Kami yakin masih banyak rakyat Indonesia yang sedang mendukung hak penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua tanpa kehilangan—atau bermaksud menyangkal—keIndonesiaannya,” kata dia.

Hal senada juga diungkapkan Tim Kerja ULMWP di Lapago, Dominikus Surabut dan Sekretaris Dewan Adat Hubula di Wamena, Engelberth Sorabut. “Kami ucapkan terima kasih atas deklarasi Front Rakyat Indonesia untuk West Papua di Jakarta,” ujar Dominikus.(*)

Deklarasi Dukung Papua Tentukan Nasib Sendiri Berisi 9 Poin

Juru Bicara Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-West Papua), Surya Anta, memberikan penjelasan kepada wartawan seusai membacakan deklarasi. (Foto: Eben E. Siadari)
Juru Bicara Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-West Papua), Surya Anta, memberikan penjelasan kepada wartawan seusai membacakan deklarasi. (Foto: Eben E. Siadari)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Lewat sebuah konferensi pers yang sederhana di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Jakarta, Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-West Papua) hari ini (29/11) mendeklarasikan dukungan bagi hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat Papua, yang  mereka sebut sebagai bangsa West Papua.

Deklarasi itu dibacakan oleh Juru Bicara FRI-West Papua, Surya Anta, di depan sejumlah wartawan dan puluhan aktivis. Deklarasi ini unik, karena disuarakan oleh FRI-West Papua yang nota bene adalah aliansi sejumlah kelompok aktivis yang berlatar belakang bukan Papua. Mereka merasa solider dengan nasib rakyat Papua yang menurut mereka mengalami diskriminasi rasial di tanah Papua maupun di luar Papua selama beberapa dekade.

Juru Bicara FRI-West Papua, Surya Anta, saat membacakan deklarasi mendukung hak menentukan nasib sendiri bagi West Papua (Foto: Eben E. Siadari)
Juru Bicara FRI-West Papua, Surya Anta, saat membacakan deklarasi mendukung hak menentukan nasib sendiri bagi West Papua (Foto: Eben E. Siadari)

Deklarasi itu sendiri cukup panjang, berisi penjelasan tentang apa yang terjadi di Papua, antara lain kecurangan dan penipuan sejarah Papua, diskriminasi sosial, genosida perlahan, penangkapan, penyiksaan dan pemenjaraan rakyat Papua serta perampokan kekayaan alam.

Lalu disajikan juga penjelasan alasan perlunya hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat Papua. Ditekankan bahwa West Papua adalah sebuah bangsa, yang terbentuk berdasarkan kesamaan bahasa, teritori, kehidupan ekonomi dan perubahan psikologi yang termanifestasikan dalam sebuah kebudayaan bersama.

Deklarasi diakhiri dengan permintaan kepada rakyat Indonesia, pemerintah Indonesia dan dunia internasional, yang menyerukan agar hak menentukan nasib sendiri diberikan kepada rakyat Papua.

“Adalah kemunafikan apabila kita atau pemerintah Indonesia bisa mendukung pembebasan Palestina tapi diam dan membiarkan penjajahan yang terjadi dalam bingkai teritori Indonesia. Oleh karena itu, tak ada lagi alasan menganggap West Papua sebagai bagian Indonesia baik dalam hukum internasional maupun secara politik,” kata Surya membacakan deklarasi.

Selengkapnya sembilan permintaan dalam deklarasi tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama,  mendukung bangsa dan rakyat West Papua untuk menentukan nasib sendiri melalui mekanisme referendum. Dan kepesertaan referendum akan ditentukan oleh rakyat West Papua melalui representasi politiknya dalam United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).

Kedua, mendukung keanggotaan ULMWP di Melanesia Spearhead Group (MSG), Pasific Island Forum dan  memperjuangkan keanggotaan ULMWP di PBB.

Ketiga, sebagai syarat yang tak terpisahkan bahwa militer organik dan non-organik di West Papua harus ditarik agar referendum di West Papua dapat berjalan secara damai, adil, dan tanpa tekanan.

Keempat, kebebasan informasi, berekspresi, berorganisasi dan berpendapat bagi Bangsa West Papua harus dibuka lebar dan dijamin.

Kelima, menolak intervensi imperialis dalam proses perjuangan demokratik West Papua.

Keenam, juga menyerukan kepada dunia internasional untuk membangun konsolidasi solidaritas perjuangan hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa West Papua.

Ketujuh,  menganjurkan kepada rakyat Indonesia yang bermukim di tanah West Papua untuk mendukung perjuangan bangsa Papua dalam menentukan nasibnya sendiri.

Kedelapan, menolak politik rasial yang dilakukan oleh NKRI dan TNI/POLRI secara sistematis dan masif terhadap bangsa West Papua.

Kesembilan, pendidikan gratis, perluasan sekolah dan universitas, kesehatan gratis, transportasi murah dan massal, dsb.

Kelompok yang menamakan diri Front Penyelamat Indonesia (FPI) berunjuk rasa di depan kantor LBH menolak deklarasi (Foto: Eben E. Siadari)
Kelompok yang menamakan diri Front Penyelamat Indonesia (FPI) berunjuk rasa di depan kantor LBH menolak deklarasi (Foto: Eben E. Siadari)

Menurut Surya Anta, ada enam elemen gerakan sipil yang tergabung dalam FRI-West Papua. Mereka adalah Partai Pembebasan Rakyat, Pusat Perjuangan Rakyat Indonesia, PEMBEBASAN, Serikat Kebudayaan Masyarakat Indonesia, Lingkar Studi Sosialis, Perkumpulan Solidaritas Net. Sebagian besar anggotanya adalah aktivis-aktivis muda.

Mereka juga berencana melaksanakan aksi pada 1 Desember di Jakarta dan di beberapa kota di pulau Jawa.

Sementara itu pada saat yang sama, di depan gedung LBH Jakarta, berlangsung pula aksi unjuk rasa dari puluhan aktivis Front Penyelamat Indonesia (FPI). Mereka mengecam dan menolak deklarasi.

Editor : Eben E. Siadari

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny