Raider TNI Serbu Gerakan Borneo Merdeka di Singkawang

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, SINGKAWANG – Sekelompok pasukan menamakan diri, Gerakan Borneo Merdeka (GBM) yang berhasil menguasai wilayah Gunung Passi, Singkawang diserang pasukan merah putih, Yonif 641/Raider.

Pasukan Yonif 641/Raider dengan kekuatan 15 tim yang menyerang sempat melakukan pengejaran terhadap kelompok GBM. Musuh yang terdesak dengan sisa pasukannya bergerak menuju daerah Bougenvil dan menguasai beberapa titik vital seperti kantor pemerintahan, instalasi air minum dan sekolah.

Oleh karena itu, TNI melaksanakan penyerbuan dengan operasi “Raid” penghancuran gedung dengan bahan peledak oleh Satgas Yonif 641/Raider. Musuh yang semakin terdesak lari menuju daerah Pantai Samudera Indah.

Pengejaran dan penyerbuan terus dilakukan dengan strategi infiltrasi laut menggunakan kapal pendaratan dan renang taktis militer untuk merebut kembali pantai, dan menumpas habis setiap pemberontak yang ingin pecahkan NKRI.

Demikian tahap demi tahap latihan pemeliharaan kemampuan prajurit Yonif 641/Raider yang digelar 12 hingga 25 Mei 2014. Sebelum latihan tempur di lapangan, prajurit mendapat materi latihan teknis selama satu pekan. Adapun materi yang diperoleh, merupakan pendalaman materi dan dasar-dasar aplikasi ilmu pasukan raider.

Borneo Ingin Merdeka!

Sumber: Kompasiana

“Di negara yang penuh dengan ketidakadilan, maka akan selalu saja timbul niat untuk melepaskan diri. Merdeka mungkin.”

Tulisan saya kali ini memang perlu dibaca dengan cermat dan hati-hati.

Ini bukan tulisan makar tapi curhat. Wacana Borneo Merdeka sebelumnya sudah ada sebelum Indonesia disahkan sebagai sebuah negara. Hal itu tidak dapat dipungkiri. Silakan baca sejarah.

Kemudian timbul pertanyaan, kenapa Borneo harus merdeka? Lihat Papua, terkecuali Aceh yang ingin menegakkan syariah, keinginan merdeka murni karena merasa dianaktirikan oleh Jakarta. Wacana Borneo Merdeka juga muncul karena merasa kurangnya keadilan di NKRI. Pantaskah Borneo Merdeka? Lihat bagaimana korupsi merajalela di negeri ini. Hukum yang tumpul. Itu bisa saja menyakiti hati masyarakat yang sehari-hari hidup di bawah garis kemiskinan.

Ketidakbecusan Jakarta menjaga Borneo bisa kita lihat dari lepasnya pulau Simpadan-Ligitan. Buruknya Infrastruktur di Borneo, sementara kekayaan alamnya diserap habis-habisan untuk Jawa. Masih ingat berita warga perbatasan yang ingin pindah saja ke Malaysia sebab merasa tidak diperhatikan.

Kecemburuan sosial tidak begitu saja muncul. Kemarin ada Kompasianer memposting artikel yang isinya membanggakan orang Jawa. Itu hak memang tapi ada hal yang ingin saya sentuh. Dia mengatakan Jawa unggul karena warganya banyak yang tajir, punya banyak mobil, gedung bertingkat di mana-mana. Lupa dia kalau semuanya itu hasil serapan nyawa Borneo dan pulau lain. “Kami bosan bila Borneo seperti ini. Alam kaya tapi rakyat hidup dibawah garis kemiskinan.

Sudahlah miskin malah dimiskinkan lagi. Lengkap sudah. Rakyat yang sehari-hari hidup dari berladang dan berburu lalu tiba-tiba tanahnya dijual kepada perusahaan Sawit dan HPH. Sudah, kalau begitu Borneo Merdeka saja!” Begitu kata seorang sahabat suatu hari. Akun TM2000 juga pernah ngetweet perihal Negara Melayu Raya. Saya tertawa ketika membacanya. Mungkin suatu hari nanti, saat NKRI semakin tak becus, semakin tak adil, semakin tirani, Borneo Merdeka bisa terealisasi. Salam satu jiwa.

Menimbang Pilihan Separatis, Lima Tahun Lagi Kalimantan Merdeka

Oleh : Guntur Pribadi | 16-Aug-2007, 02:06:50 WIB

KabarIndonesia – GERAKAN separatis di negeri ini bak bom waktu yang sewaktu-waktu dapat meledak. Sinyal gerakan makar yang belakangan ini membahana sebenarnya bukanlah baru. Gejolak aktivitas pemisahan wilayah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah ada sejak kemerdekaan diproklamirkan. Bahkan gerakannya kian meningkat sejak tahun 1950-an.

Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Republik Maluku Selatan (RMS), gerakan Papua Merdeka, adalah sebagian aktivitas separatis yang hingga kini masih menjadi momok bagi NKRI. Dan itu hanya sebagian kegiatan ‘perlawanan’ daerah yang tampak terekspose. Belum lagi isu beberapa daerah yang lain di negeri ini yang juga tampak berkeinginan mengibarkan ‘bendera merdeka’.

Keinginan memisahkan diri beberapa wilayah di negeri ini tampaknya tidak lagi bergerak di bawah tanah. Seperti yang terjadi, belum lama ini, pengibaran bendera Bintang Kejora dihadapan Presiden Bambang Yudhoyono di Ambon dalam tarian adat Maluku menunjukan bahwa gerakan pemisahan diri telah berani ‘unjuk gigi’.

Gerakan separatis yang terjadi beberapa wilayah di negeri ini memang tidak dapat dihindari begitu saja. Indonesia dengan realitas masyarakatnya yang plural serta heterogenitas suku bangsa, adat istiadat, bahasa, keyakinan, dan keanekaan identitas lainnya, adalah sesuatu yang memang berbeda. Apalagi memperhatikan tingkat kesenjangan sosial-ekonomi antara pusat dan daerah masih sangat jauh dari keadilan. Maka tidaklah mengherankan upaya separatis atau memisahkan wilayah dari NKRI oleh sebagian kelompok atau golongan menjadi pilihan.

Kalimantan Merdeka
Beberapa sinyal adanya bentuk perlawanan daerah terhadap pemerintah pusat juga terjadi (meski malu-malu) di Kalimantan Timur (Kaltim). Tidak saja karena soal upaya pencabutan Dana Alokasi Umum (DAU) oleh pemerintah pusat yang menjadi pemicunya. Tetapi juga menyangkut masih tertinggalnya pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Kaltim dipelbagai sektor.

Kendati perlawanan yang didengungkan hanya sebatas teriakan wacana otonomi khusus (otsus). Bukan tidak menutup kemungkinan, tuntutan dapat lebih meluas mengarah pada gerakan Kaltim merdeka.

Adalah menarik jika diamati analisa Hendopriyono, dalam diskusi polemik: Mengungkap Eksistensi Separatisme di Menara Kebon Sirih, Jl Kebon Sirih, Jakarta, belum lama ini, yang meyakini, bahwa gerakan seperatisme di Indonesia akan kian bertambah luas. Dikatakannya, gerakan separatisme di negeri ini sudah mulai terlihat di Papua, Maluku, Kalimantan, dan Aceh sejak pertengahan tahun 1980-an. Bahkan mantan Kepala Badan Intelijen Negera (BIN), itu, secara tegas pula menandaskan, Kalimantan sendiri dalam kurun lima tahun mendatang akan memisahkan diri dari NKRI.

Analisa Hendropriyono yang tampak mengejutkan itu memang bukan tidak mungkin terjadi. Apalagi Kalimantan yang terkenal melimpah SDA-nya, namun kontras dengan realitas pembangunan dan kesejahteraan masyarakatnya yang masih banyak tertinggal disegala sektor, sangat memungkinkan terjadinya pengibaran ‘bendera merdeka’ dan perlawanan Kalimantan terhadap pusat.

Mungkin kita masih ingat ketika awal reformasi, Kaltim pun pernah mendengungkan wacana negara federasi. Sebuah sistem negara bagian yang banyak dianut negara-negara tetangga Indonesia, seperti Malaysia. Sistem itu juga diterapkan di negara bagian Amerika Serikat dan hasilnya cukup bagus. Namun wacana negara federasi itu kemudian tenggelam seiring berjalannya kebijakan otonomi daerah oleh pusat.

Koreksi untuk Pemerintah Pusat
Melihat geliat separatis seperti yang terjadi di Papua, Ambon ataupun di beberapa daerah lainnya di Indonesia bagian Timur tidaklah cukup dengan pendekatan persuasif ataupun konsensus nasionalisme. Pemerintah pusat harus lebih terbuka dan bijak melihat aspek kesejahteraan di daerah-daerah yang kaya dengan Sumber Daya Alamnya (SDA). Pincangnya program pembangunan nasional, khususnya di wilayah bagian timur Indonesia, termasuk di Kaltim, itulah yang seharusnya segera dibenahi pemerintah. Hal ini pula yang mendorong guncangan integrasi nasional di negeri ini.

Samuel Philips Huntington pernah meramalkan, Indonesia bisa menjadi negara pecah seperti yang pernah dialami Uni Soviet dan Yugoslavia. Dikatakannya, dua negera itu telah terberai karena kegagalan mengelola integrasi nasionalnya.

Pandangan Huntington tersebut mungkin tidak terlalu berlebihan. Pemerintah memang sudah seharusnya menata konsep integrasi nasional. Tidaklah cukup jika integrasi nasional dimaknai sebagai kesatuan wilayah atau komunitas secara nasional yang terikat dengan prinsip-prinsip persatuan bangsa dan negara. Tapi yang juga harus diperhatikan oleh pemerintah pusat adalah pemerataan secara adil kekayaan negara, termasuk menyangkut kebijakan politik, ekonomi, sosial, pendidikan, dan pertahanan keamanan negera. Kita bisa melihat, betapa Papua, Kalimantan, Aceh, serta beberapa daerah timur lainnya yang melimpah SDA-nya masih tertinggal pembangunan dan kesejahteraan masyarakatnya.

Kebijakan pemerintah pusat yang dinilai kurang maksimal dalam menampung aspirasi daerah memang kerap menimbulkan kerawanan terhadap integrasi nasional. Bukan rahasia lagi, jika aksi protes daerah seperti, pengibaran bendera Bintang Kejora di Papua, tuntutan otsus di Kaltim, serta beberapa daerah lainnya yang memiliki selera tuntutan yang sama, dikarenakan keputusan politik pusat yang masih berbau sentralisme.

Di sinilah pemerintah pusat seharusnya bisa lebih berbenah dan mengoreksi kebijakannya. Sebab gejolak separatisme yang terjadi di negeri ini sebenarnya bukanlah pilihan atau gerakan untuk ‘melawan’ pusat dan anti NKRI. Tetapi munculnya aksi suara hendak merdeka itu dikarenakan ketimpangan kebijakan pusat serta distribusi ‘kue’ pembangunan yang tidak adil terhadap daerah-daerah kaya, termasuk Kaltim.

Penulis: Peminat Wacana Otonomi Khusus di Kaltim, tinggal di Kutai Kartanegara. Email: gu2n_kutai@yahoo.com

Blog: http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com
Email: redaksi@kabarindonesia.com
Big News Today..!!! Let’s see here
http://www.kabarindonesia.com

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny