AMP : 19 Desember 1961, Awal Penjajahan Indonesia atas Negara Papua Barat

11Yogyakarta — Papua Barat juga tidak pernah dikuasasi kerajaan Majapahit, sehingga, TRIKORA merupakan tahap awal invasi militer Indonesia di Papua.

Dalam rangka memperingati momen hari TRIKORA (Tri Komando Rakyat), Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] melakukan aksi bisu (19/12). Aksi bisu ini dimulai pukul 10.20 WIB dari Asrama Mahasiswa Papua “Kamasan 1” dan berjalan kaki menuju titik nol kilometer, depan Kantor Pos, Yogyakarta, tempat Soekarno membacakan Trikora.

Hujan lebat mengiringi aksi bisu ini, sejak mereka keluar asrama Papua. Para demonstran terlihat mengikat kain putih bertuliskan

“Freedom West Papua”

lengkap dengan bendera Bintang Kejora kecil. Sementara mulut mereka diikat kain hitam. Para demonstran menolak bersuara. Tidak ada yel-yel atau lagu yang biasa dinyanyikan saat melakukan aksi.

Melalui siaran pers yang diterima tabloidjubi.com, panitia aksi ini menuntut dan mendesak PBB dan Indonesia harus mengakui kedaulatan Negara Papua Barat. PBB juga diminta untuk mengugat pendudukan Indonesia di Tanah Papua. Tak lupa pula, aksi ini menuntut pemerintah Indonesia untuk menarik Militer (TNI-Polri) dari seluruh Tanah Papua serta menghentikan aksi brutal berupa penangkapan dan pembunuhan kepada aktifis dan seluruh Rakyat Papua. Terakhir, aksi mahasiswa Papua ini meminta Inggris, Amerika dan Australia agar segera hentikan kerjasama Militer dengan Indonesia dalam bentuk apapun.

19 Desember 1961 dianggap merupakan awal penjajahan Indonesia atas Negara Papua Barat yang baru dideklarasikan pada 1 Desember 1961. Klaim Soekarno bahwa Papua Barat merupakan wilayah Indonesia sangat tidak berdasar, karena faktanya Papua Barat merupakan wilayah jajahan Nederland Nieuw Guinea bukan Nederland Hindia Belanda, Papua Barat juga tidak pernah dikuasasi kerajaan Majapahit. Sehingga, TRIKORA dianggap sebagai tahap awal invasi Militer Indonesia di Papua. (Jubi/Benny Mawel)

December 20th, 2012 | 07:16:09, TJ

Video Aksi : Disini

Mahasiswa Papua Mengecam Trikora dan Menuntut Pengakuan Kedaulatan

krb
Massa Terus Berjalan Meskipun Diguyur Hujan

Yogyakarta – Puluhan mahasiswa Papua yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua ( AMP ), melakukan aksi demo pada hari kamis ( 19/2012 ), aksi ini dilakukan bertepatan dengan hari dikumandangkannya Tiga Komando Rakyat ( TRIKORA )  oleh Ir. Soekarno ( Presiden Pertama RI ) di Alun – alun utara Kota Yogyakarta 51 Tahun yang lalu.

Dari informasi di lokasi aksi menyebutkan bahwa, Aksi demo yang dilakukan oleh mahasiswa Papua ini dimulai dari Asrama Mahasiswa Papua ” Kamasan I ” dan berakhir di titik nol kilo meter kota Yogya. Dalam perjalanan menuju titik akhir, massa aksi diguyur hujan lebat, namun hal itu tidak menyurutkan niat para mahasiswa ini untuk terus menyuarakan aspirasi Papua Merdeka.

Selain itu, dalam aksi kali ini Aliansi Mahasiswa Papua juga menuntut

“Indonesia, Amerika Serikat, dan PBB Segera Mengakui Kedaulatan West Papua”,

dan menyatakan sikap bahwa

” 19 Desember 1961 Merupakan Awal Penjajahan Indonesia Atas West Papua “.

Selain itu, ada beberapa tuntutan lain yang disampaikan, diantaranya : Negara Papua Barat Bukan Bentukan Belanda, Stop Klaim Papua Bagian Dari Indonesia, Stop Pengiriman Militer Ke Papua dan Tarik Seluruh Militer dari Papua dan beberapa tuntutan lain.

Aksi yang berlangsung ditengah guyuran hujan lebat ini, dilakukan dengan mengikatkan kain hitam di mulut setiap massa aksi dan kain putih bergambar Bendera Bintang Kejora, diikatkan massa aksi dibagian kepala mereka. Penutupan mulut dengan kain hitam sendiri dilakukan untuk menggambarkan pembungkaman suara Rakyat West Papua, oleh kekejaman militer Indonesia yang berada di Papua. [ kr ]

Massa Pendemo Bertelanjang Dada di DPRP

Gabungan Mahasiswa dan Pemuda memperingati Hari HAM Internasional ketika menggelar aksi unjukrasa di Kantor DPRP, Jayapura, Senin.
Gabungan Mahasiswa dan Pemuda memperingati Hari HAM Internasional ketika menggelar aksi unjukrasa di Kantor DPRP, Jayapura, Senin.
JAYAPURA—Peringatan hari HAM se-dunia tanggal 10 Desember kemarin diperingati di Jayapura dalam bentuk demo dengan bertelanjang dada di halaman DPR Papua.

Dalam demo itu terungkap, bahwa semua bentuk pelanggaran HAM, pelanggaran Hak Ekosusbud dan lain-lain yang yang dilakukan militer terhadap warga sipil di Tanah Papua bersumber pada ketidakjelasan status politik Papua terutama New York Agreement dan pelaksanaan Pepera yang tak sesuai mekanisme internasional yakni satu orang satu suara (one man one vote).

“Status politik harus diluruskan bila pemerintah RI ingin mensejahterakan rakya Papua,” tukas Ones Suhuniab yang mengaku Anggota Komite Nasional Papua Barat (KNPB) ketika ditanya Bintang Papua ketika gabungan mahasiswa dan elemen masyarakat menggelar aksi unjukrasa memperingati Hari HAM Internasional di Kantor DPRP, Jayapura, Senin (10/12) siang.

Aksi unjukrasa memperingati Hari HAM Internasional kali ini cukup unik karena massa pendemo bertelanjang dada, membawa bendera hitam lambang kedukaan cita. Ketika tiba di Kantor DPRP, Jayapura massa pendemo membentang sejumlah spanduk dan duduk bersila di tanah sembari menggelar orasi yang intinya mempertanyakan aparat penegak hukum selama ini tak mampu mengungkap sejumlah kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua sejak tahun 1960-an hingga 2012. Massa pendemo berikutnya yang diikuti puluhan mahasiswa memakai jaket almamater masing-masing Perguruan Tinggi di Jayapura terpaksa dibubarkan aparat keamanan. Kabag Ops Polres Jayapura Kota AKP Kiki Kurnia M, AMK bersama anggotanya melipat kembali spanduk yang mereka usung, lantaran aksi terakhir tersebut tak memiliki izin. Apalagi pada spanduk yang mereka usung tampak tulisan bendera Bintang Kejora, lambang perjuangan Bangsa Papua Barat serta burung Mamruk sebagai lambang negara Papua Barat.

Setelah menyampaikan orasi dari seluruh perwakilan, Pimpinan dan Anggota DPRP masing-masing Wakil Ketua DPRP Yunus Wonda, SH, Anggota Boy Markus Dawir, Stefanus Kaisiepo, Thomas Sondegau dan Pdt. Charles Simare-mare berkenan turun menemui massa pendemo.

Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fisip Uncen Musye Weror membacakan aspirasi masyarakat terkait Hari HAM Internasional menuntut pemerintah RI menghormati dan menghargai HAM di Papua. Pertama, Hentikan Genocide (Pemusnaan Etnis Papua). Kedua, Segera tuntaskan seluruh kasus pelanggaran HAM di Papua antara lain Wasior Berdarah, Wamena Berdarah, Abepura Berdarah dan lain-lain. Ketiga, Komnas HAM PBB segera melakukan intervensi HAM di Papua. Keempat, berikan keselamatan bagi orang asli Papua dalam Hukum dan HAM. Kelima, internasional segera mengadili Indonesia di Mahkamah Internasional dengan pelanggaran HAM di Papua.

Menanggapi aspirasi mahasiswa, Yunus Wonda mengemukakan, pihaknya mendukung aspirasi yang disampaikan mahasiswa, sehingga ia berjanji segera menyampaikan aspirasi tersebut ke pemerintah pusat.

Sementara itu, Gubernur Jenderal The West Papua National Authority (WPNA) Markus Yenu dalam orasinya menyampaikan, pihaknya mengharapkan agar DPRP memberi respons kehadiran pemuda dan mahasiswa terkait Hari HAM Internasional serta beberapa peristiwa yang terjadi di Papua di Pegunungan hingga ke pesisir termasuk peristiwa yang terjadi di Manokwari yakni pelanggaran HAM yang dilakukan aparat TNI/Polri yang menewaskan seorang penghuni Lapas Manokwari.

“Kami minta DPRP segera membuat Pansus kasus pelanggaran HAM di Papua, karena semua kasus pelanggaran HAM yang nyata-nyata dilakukan TNI/Polri terhadap rakyat sipil Papua tak pernah terungkap,” tegas dia. (mdc/jir/don/L03)

Selasa, 11 Desember 2012 08:31, Binpa

Demo di Perumnas III, Mahasiswa dan Polisi Tarik Ulur

JAYAPURA [PAPOS] –Badan Eksekutif Mahasiswa [BEM] FISIP bersama Forum Anti Pelanggaran HAM di Papua dan beberapa aktivis lainnya sempat tarik ulur dengan aparat Kepolisian ketika melakukan aksi unjuk rasa di Putaran Taksi Perumnas III Waena, Distrik Heram dalam rangka memperiganti Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Se Dunia, dengan Koordinator Umum, Yason Ngelia dan Koordinator Lapangan, Septi Meidodga, Senin (10/12) kemarin.

Aksi unjuk rasa iikuti sekitar 70 orang lebih itu, membawa sejumlah spanduk yang intinya meminta kepada Pemerintah untuk menutaskan seluruh kasus pelanggaran HAM Papua, Biak berdarah, Wasior berdarah, Wamena berdarah, Abepura berdarah, stop penangkapan, pembunuhan aktivis HAM Papua dan Komnas PBB segera melakukan Intervensi HAM Papua demi penyelamatan orang Asli Papua serta Internasional segera mengadili Indonesia di Mahakamah Internasional dengan kasus pelanggaran HAM yang dilakukan di tanah Papua.

Dari aksi itu dilakukan pentahanan oleh aparat Kepolisian dari Polres Jayapura Kota, yang dipimpin Wakapolres Jayapura Kota, Kompol Jefri R Siregar, SiK dan Kabag Ops Polres Jayapura Kota, AKP Kiki Kurnia, Amk. Mahasiswa diminta untuk tidak melakukan aksi demo, karena tidak memegang Surat Ijin Tanda Terima Pemberitahuan [STP] aksi demo dari Polda Papua.

Para pendemo-pun tetap bersikap tegas untuk tetap melakukan aksi demo damai untuk menyampaikan aspirasi mereka ke DPRP selaku perwakilan rakyat Papua.

Karena di tanah Papua banyak terjadi pelanggaran HAM, sehingga selaku mahasiswa sudah saatnya berbicara untuk menyampaikan aspirasi. “Demo ini bukan demo politik, akan tetapi ini merupakan Mahasiswa yang meminta kepada Pemerintah Indonesia untuk menuntaskan atas pelanggaran HAM yang terjadi di tanah Papua,” ungkap Yason dalam orasinya.

Soal ijin pemberitahuan, Yason menegaskan bahwa pihaknya telah menyurat kepada Polda Papua untuk melakukan aksi demo ke DPRP dalam mempertingati Hari se-dunia yang jatuh pada tanggal 10 Desember 2012 hari ini.

“Kami tau persis tentang demo dan surat ijin sudah diberikan oleh Polda dan surat itu lengkap sesuai apa yang menjadi bahan untuk menyampaikan aspirasi kepada Pemerintah, kalau ada kesalahan bisa dikoreksi bukan untuk ditahan-ditahan saat menyampaikan aspirasi didepan umum. Polisi bertujuan, hanya memberikan keamanan bukan untuk menakut-nakuti,” tukasnya.

Yason menuturkan, tanggal 10 Desember merupakan hari terpenting bagi rakyat Papua, dimana pelanggaran HAM yang dilakukan oleh bangsa Indonesia sejak Papua dipaksakan masuk ke dalam Indonesia tahun 1962.

“Sampai sekarang, tahun 2012 ini pun pelanggaran itu masih terjadi di mana-mana seluruh tanah Papua. Tindakan brutal yang dilakukan Aparat TNI-Polri untuk menghilangkan nyawa orang Papua dengan berbagai cara ini harus dihentikan, sehingga melalui hari sedunia inikami ingin memberitahukan kepada semua orang bahwa pelanggaran HAM di tanah Papua masih terus terjadi,” tukasnya.

Para pendemo-pun tidak diijinkan untuk melakukan perjalanannya menuju ke DPRP karena mereka tidak memiliki surat ijin demo, sehingga Kapolres Jayapura Kota, AKBP, Alfred Papare, Sik menemui Koordinator Lapangan untuk menyampaikan atas ijin tersebut.

Dan selanjutnya para pendemo mengeluarkan surat ijin demo yang diberikan oleh Polda Papua, sehingga berdasarkan ijin tersebut diijinkan langsung untuk menyampaikan aspirasi mereka ke DPRP dengan menggunakan mobil truk.

Sementara itu, dari aksi demo yang mereka lakukan, proses perkuliahan mahasiswa baik di Kampus bawah maupun di kampus atas lumpuh total karena para pendemo memalang pintu gerbang Kampus dan mereka meminta mahasiswa maupun para Dosen untuk tidak melakukan perkuliahan di Kampus, karena hari ini merupakan hari pelanggaran HAM yang patut dirayakan dan diminta kepada Pemerintah untuk menyelesaikan terlebih dahulu atas pelanggaran HAM yang terjadi di tanah Papua. [loy]

Terakhir diperbarui pada Selasa, 11 Desember 2012 00:30

Selasa, 11 Desember 2012 00:28, Ditulis oleh Loy/Papos

Enhanced by Zemanta

Mahasiswa Uncen Telanjang Badan di Depan DPR Papua

Jayapura — Sedikitnya seratusan mahasiswa asal Universitas Cenderawasih (Uncen), Jayapura, Papua, berorasi tanpa mengenakan baju di badan, alias telanjang badan di depan Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) di Kota Jayapura, Papua, Senin (10/12).

Dalam aksi itu, mereka menutut negara bertanggungjawab dan mengungkap seluruh kasus pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) masa lalu dan sekarang di Papua. Ini sebagai bentuk peringatan Hari HAM se-Dunia yang jatuh pada 10 Desember.

Massa demo meminta negara mengungkap seluruh kasus HAM dalam peringatan hari HAM, 10 Desember 2012. Sebelum bertolak ke Jayapura, sekitar pukul 09.00 WIT, pendemo berkumpul di kampus Uncen baru di Perumnas III Waena dan di kampus lama Uncen di Padang Bulan, Abepura. Mahasiswa yang berkumpul di kampus lama Uncen di Abepura, memalang pintu masuk utama kampus.

Orasi-orasi terkait kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua disampaikan secara bergantian oleh para orator. Yulian Payage, salah satu orator dalam orasi mengatakan, TNI/Polri harus menyampaikan seluruh kasus pelanggaran HAM yang terjadi selama ini. “Moment 10 Desember ini tepat untuk penyampaian seluruh kasus HAM. Aparat harus menyampaikan berbagai bentuk pelanggaran HAM yang terjadi kepada instansi terkait,” kata Yulian, Senin (10/12).

Sekitar pukul 12.00 WIT, pengunjuk rasa bertolak dari Abepura ke Jayapura dengan menggunakan truck. Aparat kepolisian dari polsek Abepura dan polresta Jayapura mengawal ketat massa demo hingga tiba di kantor Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Papua di Jayapura. Setiba di Jayapura, koordinator demo, Yason Ngelia meminta seluruh pendemo melepas baju yang dipakai. Mereka kompak bertelanjang badan. Teriakan penyelesaian kasus HAM Papua masa lalu dan sekarang terus dikumandangkan.

Kaleb Woisiri, salah satu pendemo saat di wawancarai wartawan mengaku, demonstrasi itu dimotori oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (BEM-FISIP) Universitas Cenderawasih Jayapura.

“Kami datang ke sini demo terkait dengan hari HAM sedunia,”

ujarnya. Kata dia, ada beberapa agenda yang dibawakan dalam demonstrasi. Pelanggaran HAM yang dilakukan secara segaja atau tidak sengaja yang dilakukan oleh militerisme secara brutal ditanah Papua.

Bertolak dari itu, mahasiswa mengklaim militer terlibat dalam kejahatan yang terjadi di Papua. Dia mencontohkan, penangkapan aktivis, penjarahan aktivis, penembakan aktivis secara liar yang tidak sesuai hukum yang berlaku.

“Ini pelanggaran HAM yang terjadi diranah hukum,”

tuturnya. Berangkat dari itu, mahasiswa menilai, negara menjajah rakyat dan mengadu domba warga sipil agar tetap bermusuhan dan konflik terus terjadi.

Negara diminta bertanggungjawab atas seluruh pelanggaran HAM yang terjadi diwilayah tertimur ini. Negara juga diminta melakukan pendekatan-pendekatan persuasif kepada masyarakat Papua. Sebaliknya, bukan menggunakan pendekatan militer. Dalam demo itu, pelanggaran HAM juga terjadi pada kebijakan-kebijakan pemerintah. Banyak kebijakan yang mengorbankan rakyat. Diantaranya, korupsi di Papua.

Tindakan korupsi di Papua terjadi secara berjemah, korporasi dan tersistem karena melibatkan semua pihak. Ketua BEM Fisip Uncen, Misye Weror mengatakan mahasiswa akan terus menyuarakan aspirasi masyarakat.

“Kalaupun dibungkam, mahasiswa)akan turun dan turun,”

tuturnya. Koordinator Demo, Yason Ngelia mengatakan mereka berunjuk rasa untuk memperingati hari HAM sekaligus menuntut pemerintah bertanggung jawab atas seluruh kasus kekerasan, pelanggaran HAM, penembakan dan pemerkosaan yang terjadi sejak dulu sampai sekrang.

Pantauan tabloidjubi.com, pendemo membawa puluhan spanduk berisi tulisan tentang protes dan penolakan terhadap kekerasan yang masih terus terjadi di Papua. Tulisan lain dalam spanduk juga meminta negara bertanggung jawab dan segera menyelesaikan kasus HAM yang masih terus terjadi sejak dulu hingga saat ini. Dalam demonstrasi itu, mahasiswa meminta pemerintah menyelesaikan kasus HAM sebelum 2012 yakni, Abepura berdarah, Wasior berdarah, Biak berdarah.

Massa demo juga mendesak negara mengungkap pelaku dibalik sejumlah penembakan yang terjadi sepanjang tahun ini di Jayapura dan Abepura. Mereka juga meminta polisi mengungkap pelaku penembakan yang terjadi terhadap Timotius Ap di Manokwari, Papua Barat, 4 Desember 2012. Masih dalam demonstrasi itu, mahasiswa memainkan satu fragmen singkat tentang kekerasan yang dialami warga sipil oleh aparat kepolisian dan TNI. (Jubi/Musa)

Monday, December 10th, 2012 | 18:12:41, TJ

 

Ketua Umumnya masih belum ditemukan, besok KNPB akan datangi Polda

Jayapura, (2/12)—Keberadaan Victor Yeimo dan dua rekannya, Usman Yogobi dan Alius Asso masih belum jelas hingga hari ini, Minggu (2/12)

Sampai Minggu malam, anggota Komite Nasional Papua Barat (KNPB) masih mencari tahu dimana keberadaan ketua umum mereka, Victor Yeimo. Yeimo, telah dibebaskan oleh polisi setelah diperiksa di Polsek Abepura, terkait aksi demo 1 Desember yang yang dilakukan oleh KNPB. Namun sejak Yeimo dibebaskan Sabtu sore, ia belum melakukan kontak dengan aktivis KNPB lainnya.

“Tadi setelah diamankan di Polsek Abe kemudian diambil keterangan, menurut Kapolres akan dilepas karena belum dapat dilakukan penyidikan lebih lanjut.”

kata Kabid Humas Polda Papua, AKBP I Gede Sumerta Jaya kepada tabloidjubi.com, Sabtu (1/12), saat di konfirmasi mengenai status Yeimo dan kedua rekannya.

Pembebasan Yeimo ini sudah dikonfirmasi juga oleh Kapolresta Jayapura, AKBP Alfred Papare, kepada tabloidjubi.com, Sabtu (1/12) malam.

Meski sudah dibebaskan oleh Polisi, keberadaan Yeimo dan dua rekannya belum diketahui sampai saat ini.

Wim Medlama, Juru Bicara KNPB, kepada tabloidjubi.com mengatakan sampai malam ini mereka telah mencari ketua umum mereka itu namun belum ketemu.

“Sejak kemarin, kami cari dimana keberadaan ketua umum kami dengan kedua temanya tapi belum dapat. Semua tempat yang kami tahu pun kami lacak tapi tidak ada juga. Sampai detik ini hpnya juga tidak aktif. Kami bingung posisi dia dimana?”

kata Wim Wedlama saat dihubungi tabloidjubi.com, Minggu (2/12) malam.

Wim juga mengatakan jika mereka (KNPB) telah sepakat untuk menanyakan hal ini ke Polda Papua, besok (Senin) pagi.

“Tadi kami sepakat besok akan pergi ke Polda minta keteragan. KNPB akan pergi bersama WPNA, AMP dan AMPTI,”

kata Wim.

Informasi lain yang didapatkan dari sumber tabloidjubi.com menyebutkan setelah Yeimo dibebaskan bersama beberapa aktivis yang ditahan, Yeimo berpisah dengan rekan-rekannya itu di depan Kantor Pos Abepura. Setelah itu, menurut sumber tabloidjubi.com itu, mereka sudah tidak tahu keberadaan Yeimo lagi. Saat dikontak melalui HPnya, HP Yeimo sudah tidak aktif lagi. (Jubi/Benny Mawel)

Sunday, December 2nd, 2012 | 22:27:50, www.tabloidjubi.com

Indonesia, Amerika Serikat dan PBB dituntut mengakui kedaulatan Papua Barat

Yogyakarta, (1/12) — Indonesia, Amerika Serikat dan PBB dituntut untuk segera mengakui kedaulatan West Papua pada 1 Desember 1961”
Sekitar 500an mahasiswa dan masyarakat Papua di Yogyakarta menggelar aksi demonstrasi memperingati HUT Papua Barat yang jatuh pada tanggal 1 Desember.  Aksi demo mulai pada pukul 10.00  WIB. Massa berkumpul dan memulai aksi dari asrama Mahasiswa Papua di jalan Kamasan 1 Yogyakarta. Massa aksi kemudian melakukan longmarch dari asrama Papua menuju titik nol kilometer di perempatan kantor Pos Besar Yogyakarta.
Dalam aksi demo ini, mahasiswa Papua menilai berbagai operasi militer telah dilancarkan oleh pemerintah kolonial Indonesia untuk membungkam perlawanan Rakyat Papua yang menolak kehadiran Indonesia. Militer menjadi satu-satunya tameng untuk berhadapan dengan Rakyat Papua. Dari masa kepemimpinan Soekarno hingga SBY-Boediono, militer tetap menjadi alat yang paling reaksioner dalam menghadapi gejolak perlawanan Rakyat Papua. Ratusan ribu nyawa Rakyat Papua telah hilang oleh kebiadaban Militer Indonesia.
“Hingga saat ini, dapat kita saksikan bagaimana gerakan-gerakan perlawanan Rakyat Papua dibungkam dengan berbagai skenario dan tekanan, intimidasi serta teror untuk mengekang aktifitas perlawanan Rakyat. Hal ini dilakukan oleh Indonesia untuk tetap mengamanan Papua menjadi bagian tidak terpisahkan dari Indonesia.”
bunyi pernyataan sikap mahasiswa Papua yang disebarkan dalam aksi demo tersebut.
Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dalam aksi tersebut menuntut Indonesia, Amerika Serikat dan PBB segera mengakui kedaulatan Papua Barat pada 1 Desember 1961. Mahasiswa Papua ini juga menegaskan bahwa 1 Desember 1961 Bukan HUT OPM, tetapi Hari Kedaulatan Papua Barat.
Tampak dalam aksi demo tersebut, massa aksi menggunakan sebuah pick up yang lengkap dengan soundnya. Kemudian ada massa juga yang memakai atribut budaya, tak lupa poster dan ikat kepala bergambar bintang kejora. Meski aksi ini sendiri berjalan dengan aman dan tertib, tampak penjagaan ketat dari aparat keamanan disekitar lokasi aksi. (Jubi/Benny Mawel)
 Saturday, December 1st, 2012 | 23:21:18, www.tabloidjubi.com

Dikaji, Insiden Penembakan Demo KNPB

Manokwari – Insiden penembakan yang terjadi saat Polisi membubarkan demonstrasi KNPB menuntut referendum Selasa (23/10) ternyata mendapat perhatian dari banyak kalangan.

Forum Anti Kekerasan (FAK) Papua Barat salah satunya. FAK akan melakukan penelitian dan kajian lebih jauh terkait insiden yang mengakibatkan korban luka dari aktivis KNPB dan juga dari aparat keamanan.

“Langkah ini diambil untuk menyiapkan data yang konkrit untuk memastikan luka seperti apa yang dialami para korban, penyebabnya apa, jenisnya luka bagaimana, ini yang perlu jelas diketahui, “ kata ketua Forum Anti Kekerasan Papua Barat, Frans JP. Kareth saat memberi keterangan pers di Manokwari, Rabu (24/10).

FAK akan menggandeng lembaga bantuan hukum di Papua Barat beserta para praktisi hukum untuk melakukan kajian dari sisi hukum atas insiden kekerasan yang bermula dari bentrok antara massa pendemo dengan aparat Kepolisian Manokwari.

“Forum ini akan berdiri ditengah-tengah, tidak memihak kepada Polri ataupun kepada aktivis KNPB. Kita bermaksud menunjukkan fakta yang sebenarnya,”tutur Frans.

Dalam insiden tersebut, Polres Manokwari mengklaim tindakan membubarkan aksi KNPB pada Selasa lalu sudah sesuai prosedur. Namun, dalam perspektif FAK, hal tersebut perlu dikaji lebih dalam untuk memastikan ada tidaknya pelanggaran hukum.

“ Hasil dari penelitian yang kita lakukan tidak akan dibawa ke ranah hukum, ini hanya untuk membuka fakta yang sebenarnya kepada publik. Tetapi kalau ada korban yang mau membawa ke jalur hukum, itu hak dia, “ timpal Frans.

WPNA : Tidak Tepat Aksi Damai Dibubarkan dengan Cara Kekerasan

Sementara itu Elemen pro kemerdekaan Papua, West Papua National Authority (WPNA) juga menyesalkan tindakan represif yang diambil aparat Kepolisian Manokwari saat mengamankan demonstrasi menuntut referendum yang digelar Komite National Papua Barat (KNPB) di depan kampus Unipa Manokwari, Selasa (23/10).

“Cara (kekerasan) itu berlebihan dan bisa melanggar HAM, kita harapkan Polisi bertindak profesional. Ke depan, tindakan seperti itu tidak perlu ada lagi, “ tutur Gubernur Jendral WPNA wilayah Doberai, Markus Yenu dalam pernyataan persnya di Manokwari, kemarin.

Markus mengatakan Polisi sebagai aparat negara yang bertugas mengayomi rakyat seharusnya mengedepankan cara-cara persuasif dalam menangani aksi unjukrasa. Apalagi jika penyampaian aspirasi itu dilakukan dengan damai.

“Jangan lagi Polisi menggunakan kekerasan untuk membubarkan aksi damai, kalau tidak masyarakat akan semakin membenci Polisi, “ timpal dia.

Senada dengan Yenu, juru bicara WPNA Manokwari Elimelek Kaiway menilai tindakan Polisi membubarkan aksi KNPB telah melanggar UU nomor 9/1998 tentang penyampaian pendapat di muka umum.

Dia juga mensinyalir bentrok antara massa KNPB dengan aparat keamanan Selasa lalu sengaja dimunculkan untuk merusak citra gerakan pro kemerdekaan Papua di mata publik.

“ Kita melihat ada settingan untuk memaksa pendemo melakukan tindakan anarkis, “ kata Eli.

Sebagai respon atas peristiwa itu, WPNA akan segere berkonsolidasi dengan KNPB untuk menindaklanjuti tindakan kekerasan telah mengakibatkan sejumlah aktivis KNPB dan aparat Kepolisian menderita luka-luka.

“Kami akan berkonsolidasi dengan semua elemen pergerakan di Manokwari untuk mendatangi pihak Kepolisian mempertanyakan cara-cara yang dipakai saat membubarkan aksi KNPB, “ tambah Markus Yenu.

Kapolres Manokwari AKPB Agustinus Suprianto, SIK menyatakan tindakan yang diambil anak buahnya saat membubarkan demo KNPB sudah sesuai prosedur. Polisi terpaksa bertindak tegas karena massa pendemo berlaku anarkis dengan melempari aparat keamanan. (sera/don/lo1)

Kamis, 25 Oktober 2012 08:01, BP.com

Merasa Tak Nyaman, Mahasiswa Palang Kampus

Rabu, 17 Oktober 2012 07:10

JAYAPURA – Kemarin, (Selasa, 16/10) Mahasiswa yang tinggal Asrama Rusunawa, dan Asrama Uncen Jayapura melakukan pemalangan Kampus Uncen Waena dan Kampus Uncen Jayapura. Pemalangan tersebut dilakukan pukul 06.30 Wit hingga sore hari. Akibat pemalangan tersebut aktifitas perkuliahan macet total.

Melihat hal itu, Rektor Uncen, Drs. Festus Simbiak, M.Pd, Danren/ 172 Jayapura, Kolonel Joppye Onesimus Wayangkau, Kapolres Jayapura, dan Wakapolda Papua, Brigjen Pol. Paulus Waterpauw, turun langsung ke lapangan berdialog dengan para pendemo, yang akhirnya pendemo bubar.
Koordinator Demo dan Ketua Asrama Mahasiswa Uncen Waena, Tenius Kombo mengatakan, buntut aksi demo dan pemalangan dimaksud tidak lain akibat sikap aparat keamanan yang datang di Asrama Uncen Waena melakukan intimidasi terhadap para penghuni asrama.

Intimidasi itu dilakukan Selasa, (16/10) pukul 04.30 Wit dini hari aparat keamanan datang ke Asrama dengan mobil Avansa warna hitam berpakaian preman dengan bersenjata lengkap mencari seseorang yang diduga melakukan pelanggaran hukum, namun ketika ditanya penghuni asrama aparat tersebut tidak memberikan namanya, bahkan ada penghuni asrama ditodongkan senjata.

Tak hanya itu ada juga aparat keamanan yang memaksa mencungkil pintu kamar asrama dan mengambil Hand Phone serta memukul dua orang penghuni asrama pada punggung belakangnya hingga kini berbaring sakit di asrama. “Atas masalah itu kami lakukan pemalangan agar masalah ini ditindaklanjuti sebab kami penghuni asrama tidak merasa nyaman sekali atas tindakan aparat. Kami mahasiswa masih trauma. Jika ada masalah sebaiknya dibicarakan sama-sama, jangan intimidasi seperti itu,” ujarnya kepada wartawan disela-sela kegiatan demonya itu di Gapura Kampus Uncen Waena, Selasa, (16/10).
Terhadap hal itu, dirinya meminta kepada Rektor Uncen Jayapura agar masalah ini dituntaskan supaya penghuni asrama mendapatkan kenyamanan, karena penghuni asrama perlu kuliah dengan tenang karena pihaknya datang untuk kuliah demi masa depan mereka dan masa depan tanah Papua, bukan untuk hidup dan kuliah dengan tidak tenang.

“Kalau cari seseorang, mari kita komunikasikan dengan baik. Kami tidak bermusuhan dengan aparat, tapi aparat yang suka cari masalah dengan kami. Kami minta aparat keamanan masuk ke asrama dan kampus. Kami saat tanya mereka hanya menyampaikan ada yang dicari namun tidak memberitahukan orang yang dicari terebut. Ini kan aneh,” imbuhnya.

Ditempat yang sama, Rektor Uncen Jayapura, Festus Simbiak, menandaskan, pasca tertembaknya Mako Tabuni membuat suasana mencekam dan rasa takut dari mahasiswa, dan memang pada saat itu Kapolda Papua menjamin untuk memberikan perlindungan, namun dalam perjalanannya para penghuni asrama melaporkan kondisi yang terjadi mulai dari aparat keamanan yang selalu mobilisasi ke asrama hingga kejadian dipagi ini (kemarin,red).
Kondisi demikian jelas membuat para mahasiswa menjadi takut dan merasa terintimidasi, akibatnya pada malam hari para penghuni asrama takut beraktifitas dimalam hari. Ini jelas sangat membatasi para mahasiswa didalam perkuliahaannya dan mencari hal lainnya yang berhubungan dengan perkuliahaannya.

“Jadi kami harapkan ada jaminan dari aparat keamanan agar keamanan kondusif dan para mahasiswa tidak merasa diintimidasi,” imbuhnya. Sementara itu, Wakapolda Papua, Brigjen Pol. Paulus Waterpauw, mengakui, bahwa memang pada pukul 04.30 Wit anggotanya masuk ke asrama, namun kepentingannya mencari seseorang yang diduga melakukan pelanggaran hukum.

Tapi adanya laporan dari para mahasiswa tersebut tentunya menjadi koreksi besar bagi Polda Papua. Dan dirinya meminta kepada para penghuni asrama yang diambil Hand Phonenyan dan yang dipukul supaya segera melaporkannya kepada dirinya untuk diproses, sebab siapapun tidak kebal terhadap hukum.

Ditambahkan, kejadian kedatangan anggotanya ke asrama mahasiswa tersebut memang terjadinya miss komunikasi, namun kedepannya komunikasi harus dibangun dengan baik supaya pada masa-masa mendatang ada perbaikan-perbaikan yang baik didalam semua struktur kehidupan.
“Kalau ada masalah silakan kritisi, karena semuanya ini demi kebaikan penerus pembangunan bangsa ini,” pungkasnya.(nls/don/l03)

Tolak Militer Masuk Kampus, Mahasiswa Uncen Palang Kampus

Pembantu Rektor III Bidang Kemahasiswaan, Drs Paulus Holmers,M.Si saat berdialog dengan mahasiswanya yang aksi demo.
Pembantu Rektor III Bidang Kemahasiswaan, Drs Paulus Holmers,M.Si saat berdialog dengan mahasiswanya yang aksi demo.

JAYAPURA – Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Forum Mahasiswa Anti Militerisme, menggelar aksi palang kampus Uncen Senin (1/10). Aksi ini sebagai bentuk protes mahasiswa yang menduga Universitas Cenderawasih (Uncen) mengijinkan keberadaan aparat TNI dan Polri di sekitar area Kampus Uncen Perumnas III Waena, Senin (1/10)

Aksi yang dilakukan di Gapura Uncen Perumnas III tersebut, selain menutup palang pintu gerbang, mahasiswa juga membuat tenda terpal untuk memutar film dokumenter kekerasan militer di Papua pada layar berukuran 1,5 X 2 meter.

Koodinator Lapangan, Yason Ngelia mengatakan bahwa film yang diputarnya adalah film yang sudah beredar di masyarakat, termasuk melalui internet. “Aksi kami ini sebagi protes kepada lembaga Universitas, dan kami akan lakukan mungkin sampai sore, sekitar jam 4,” ungkapnya kepada Bintang Papua di sela-sela aksinya.

Hal itu, dilakukan karena ia bersama rekan-rekannya merasa resah atas kehadiran aparat TNI dan Polri di sekitar kampus Uncen,

“Setelah dua bulan ini mulai Polri masuk, tiba-tiba TNI mulai melakukan pendekatan kepada mahasiswa, mulai dengan kegiatan bhakti sosial, pengobatan gratis. Mereka sebelumnya minta di Rusunawa, tapi mahasiswa tolak,” ungkapnya.
Pembantu Rektor III Bidang Kemahasiswaan, Drs Paulus Holmers,M.Si yang langsung turun menemui mahasiswanya, langsung berdialog dan meminta penjelasan kepada koordinator aksi demo, Yason Ngelia.

Setelah mendapat penjelasan maksud aksi demonya, ia sempat menyatakan dengan keras di hadapan para pendemo bahwa pengamanan di sekitar tidak bisa ditangani Menwa. Sementara, mahasiswa yang tergabung dalam BEM Uncen juga tidak bisa berbuat apa-apa.

“Selama ini sering terjadi penjambretan berkeliran di sekitar kampus, dan kalian (mahasiswa) hanya pangku tangan,” tandas Paul Holmers kepada para pendemo. Saat ditemui Wartawan, dikatakan bahwa pihaknya sebelumnya tidak tahu menahu. Mengenai pengobatan massal yang dicurigai mahasiswa sebagai upaya TNI melakukan pendekatan, ditegaskan bahwa siapa saja tidak boleh melakukan penolakan, karena sangat dibutuhkan masyarakat yang berdomisili di sekitar Kampus Uncen.
Sedangkan tentang pembangunan pos TNI dan Polri, menurutnya tidak di area Kampus. “Siapapun tidak boleh melarang itu,” tandasnya.

Karena, menurutnya bahwa pendirian pos tersebut adalah permintaan warga di Kelurahan Yabansai. Dan terbukti bahwa aksi palak dan jambret yang sebelumnya sering terjadi di Perumnas III dan sekitarnya, kini mulai berkurang.
Dan terkait aspirasi mahasiswanya, Holmers menyatakan akan diselesaikan secara intern kampus. “Ini persoalan rumah tangga kita, kita selesaikan sendiri, secara internal,” jelasnya

Ia pun menyetakan penyesalannya atas aksi mahasiswa yang dinilainya tidak pantas. “Pemalangan ini sangat mengganggu aktifitas akademik. Saya sangat menyesal pola pikir para mahasiswa ini yang melakukan dengan cara itu. Sebagai orang pintar seharusnya tidak melakukan hal semacam itu. Dan orang-orangnya itu-itu saja. Saya sudah tahu itu,” tandasnya.
Untuk melakukan pengamanan, tampak Kapolres AKBP Alfred Papare bersama jajarannya datang ke TKP. Namun tidak tampak pasukan Dalmas yang biasanya sering diturunkan mengamankan aksi demo.

Akibat aksi demo tersebut, aktivitas perkuliahan di Uncen tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. (aj/don/l03)

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny