MRP Papua Barat Nodai Harkat Orang Papua

JAYAPURA – Polemik tentang pembentukan Majelis Rakyat Papua di Papua Barat terus bergulir. Mantan Plt. Kepala Badan Kesbangpol dan Linmas Provinsi Papua, Didi Agus Prihatno selaku pihak yang terlibat langsung dalam pelaksanaan pemilihan anggota MRP mengaku begitu sedih setelah melihat hasil perjuangannya ternyata banyak disalah tafsirkan.

Meski saat ini dirinya sudah menjabat sebagai Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Papua, tapi apa yang dilakukan oleh anggota MRP di Papua Barat dinilainya sangat menodai harkat dan martabat orang asli Papua.

“Mereka sudah terlanjur mengikuti pemilihan bahkan sudah dilantik dan diangkat sumpah janji di depan Menteri Dalam Negeri, dan sudah ikut menandatangani tata tertib serta ikut pemilihan pimpinan definitif, namun hanya demi kepentingan sesaat, dan dengan waktu yang relatif singkat para anggota MRP di Papua Barat langsung membelok dari sumpah janjinya dan membentuk MRP tandingan di Papua Barat,” katanya.

“Saya melihat harkat dan martabat orang Papua mudah sekali dipengaruhi. Jika begini mana mungkin bisa membela nilai-nilai luhur orang Papua,” sambungnya.

Didi menjelaskan, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 54 Tahun 2004 yang selama ini oleh anggota MRP Papua Barat diklaim sebagai dasar pembentukan, sebenarnya merupakan aturan yang mengatur tentang pembentulan lembaga yang diperintahkan oleh otsus yakni Majelis Rakyat Papua (MRP), dan sesuai dengan Undang-Undang Otsus, yang berkaitan dengan tata cara pemilihan anggota MRP maka akan diatur melalui Perdasi. Jika berkaitan dengan jumlah anggota MRP akan diatur melalui peraturan daerah khusus (Perdasus).

“Nah, pemilihan MRP kali ini mengatur tentang tata cara dan jumlah anggota dari 42 menjadi 75, sehingga lahirlah Perdasus No.4/2010 tentang tata cara pemilihan anggota MRP, yang akhirnya menyukseskan pemilihan anggota MRP jilid II ini,” katanya.

Sekarang timbul persoalan lagi, sebab saat ini MRP ada Provinsi Papua dan Papua Barat, sementara MRP harus ada di dua pemerintahan, maka DPRP Papua Barat kemudian menggelar paripurna khusus, sehingga lahirnya Perdasus No. 5/tahun 2011 tentang berlakunya Perdasus No.4/2010 tentang pemilihan MRP di Papua Barat.
“Sehingga jika melihat dari Perdasus no.4/2010 tentang tata cara pemilihan MRP, maka sudah jelas MRP hanya satu,” jelasnya.

Karena itu, sesuai dengan PP No. 54/2004 dan Otsus, sudah jelas mengamanatkan bahwa pembentukan MRP sesuai dengan Perdasus, dan Perdasus yang diakui di Papua dan Papua Barat, hanya Perdasus no.4/2010 tentang pemilihan MRP, dan sudah jelas mengamanatkan bahwa MRP hanya satu di Papua.

“Jika main sulap-sulap begitu sama saja mengobok-ngobok tantanan peraturan di negara ini, sebab bentuk MRP dengan regulasi mana? Ini kan kepentingan sesaat,” ungkapnya.

Untuk itu Didi menyarankan, agar anggota MRP yang sah, terutama yang baru dilantik di Papua untuk segera melakukan gugatan secara hukum ke pusat soal pembentukan MRP di Papua Barat.

“Pimpinan definitif yang terpilih itu kan dipilih sesuai dengan tata tertib, bahkan yang ikut pemilihan adalah 33 anggota dari Papua Barat. Jadi mereka yang sah. Seharusnya mereka yang melakukan gugatan ke pusat,” tegasnya.

Dijelaskannya, sejak awal pelantikan oleh Menteri Dalam Negeri, di Sasana Krida Kantor Gubernur Papua, tidak ada juga disinggung oleh Mendagri soal adanya pimpinan MRP di Papua Barat,bahkan dalam berbagai kesepakatan antara Gubernur Papua Barat dan Papua, di kementrian dalam negeri di Jakarta, serta kedua DPR disepakati MRP hanya satu.

“Saya jadi saksi, tidak ada yang namanya dua MRP. Jika ada dua lembaga MRP, maka pasti ada dua SK. Namun ternyata Mendagri saat pelantikan hanya membacakan satu SK. Jadi pembentukan MRP di Papua Barat hanya demi kepentingan sesaat,” pungkasnya.

Sementara itu, Wakil Ketua II DPRP, Komarudin Watubun, menandaskan, pemikiran anggota MRP Papua Barat untuk membentuk MRP Provinsi Papua Barat, didasarkan atas pemikiran mengenai amanat PP 54 Tahun 2004 yang di dalamnya terdapat pasal yang menyatakan tentang provinsi baru bisa membentuk MRP sendiri.

Namun karena adanya berbagai pernyataan yang pada akhirnya hanya membingungkan masyarakat, dan hanya membangun polemik yang berpanjangan, sehingga alangkah baiknya harus diuji materil dari PP 54 itu.

Yang mana untuk memastikan dengan benar bahwa pembentukan MRP Barat itu apakah ada landasan hukum ataukah tidak, guna semua pihak tidak bermain opini bahwa menurut si ‘A’ atau si ‘B’ itu tidak bisa atau itu bisa, dan lain sebagainya.

Dengan demikian, Komarudin menegaskan, bagi pihak-pihak yang berpolemik selama ini, sebaiknya melihat aturan hukum yang ada, dan selanjutnya menguji materi dari aturan hukum itu ke lembaga-lembaga hukum yang sudah tersedia, apakah ke Mahkamah Konstitusi (MK) ataukah ke Mahkamah Agung (MA).

Sementaraitu, Ketua MRP Provinsi Papua Barat Vitalis Yumte, S.Pd meminta Gubernur Papua dan Ketua DPR Papua agar tidak mengurusi masyarakat yang ada di Provinsi Papua Barat. Sebab, Provinsi Papua Barat memiliki
pemerintahan sendiri termasuk sudah memiliki MRP Provinsi Papua Barat.

Pernyataan tersebut disampaikan Vitalis Yumte saat menggelar jumpa pers, Selasa (21/6) menanggapi pernyataan Gubernur Papua dan DPR Papua yang dilansir beberapa media.

Dikatakan, secara hukum MRP Provinsi Papua Barat sah. Sebab pembentukkannya sesuai Undang-undang nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua vide UU nomor 35

Tahun 2008 dengan PP Nomor 54 Tahun 2004 tentang MRP. Dimana di setiap provinsi pemekaran dibentuk MRP yang berkedudukan di ibukota provinsi.

Menurutnya, pembentukan MRP Provinsi Papua Barat adalah bentuk kegagalan Pemprov Papua dalam mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua. “Gubernur Papua dan DPR Papua saya lihat tidak serius melaksanakan amanat dalam Undang-Undang Otsus. Buktinya banyak agenda Otsus yang tidak dilaksanakan. Antara lain menyiapkan Perdasi dan Perdasus,” tuturnya.

Makanya, lanjut Vitalis, MRP Provinsi Papua Barat harus ada sendiri supaya serius mengurusi masyarakat yang ada di Papua Barat. Dirinya juga menghimbau orang asli Papua di Papua Barat agar tidak terprovokasi oleh kepentingan politik yang memaksakan MRP Provinsi Papua Barat melanggar konstitusi.

Ditambahkan, MRP Provinsi Papua Barat tidak mau melanggar konstitusi.Khususnya menyangkut orang asli Papua yang disebutkan UU Otsus nomor 21 Tahun 2001 Bab I Pasal 1 Huruf (t). MRP Provinsi Papua Periode lalu
pernah melanggar konstitusi mengenai definisi orang asli Papua. Buktinya saat itu ada calon gubernur yang digugurkan untuk mengikuti Pilgub. Orang asli Papua dalam UU Otsus sangat jelas, termasuk orang yang diterima dan akui oleh masyarakat adat.(cak/nls/fud/sr)

MRP di Papua Barat = Otsus Gagal

Gubernur Papua Barat Abraham O. Ataruri yang juga akan maju dalam pemilukada Gubernur Papua Barat saat menghadiri acara penyerahan berkas pertimbangan dan persetujuan MRP terhadap para bakal calon di KPU Papua Barat, Rabu (15/6)
Gubernur Papua Barat Abraham O. Ataruri yang juga akan maju dalam pemilukada Gubernur Papua Barat saat menghadiri acara penyerahan berkas pertimbangan dan persetujuan MRP terhadap para bakal calon di KPU Papua Barat, Rabu (15/6)

JAYAPURA – Tanggapan keras terus mengalir terhadap Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Barat, yang baru saja dilantik oleh Gubernur Papua Barat Abraham O. Ataruri, Rabu (15/6) lalu. Kali ini datangnya dari Koordinator Program The Institute for Civil Strengthening (ICS) Papua, Yusak Reba saat dihubungi oleh Cenderawasih Pos, kemarin.
Menurutnya, sikap elit-elit politik di Papua Barat yang sengaja membentuk MRP di Papua Barat melambangkan sikap yang akan memberikan stigma kepada orang Papua, bahwa undang-undang otonomi khusus di Papua telah gagal.

“Saya menilai ini permainan dari elit politik di Papua Barat, yang sengaja membentuk MRP, tanpa dasar hukum yang kuat, akan meluruskan opini masyarakat Papua, bahwa otsus gagal. Jangan heran masyarakat Papua selalu menolak otsus di Papua,” tegasnya.

Bahkan, Yusak meminta kepada pemerintah pusat dalam hal ini Presiden dan Menteri Dalam Negeri jangan sekali-kali memberikan peluang kepada elit-elit politik yang sengaja mengacaukan pelaksanaan undang-undang otsus di Papua, bahkan pusat harus segera menegur kepada gubernur yang bersangkutan.

“Jika pusat memberikan kesempatan kepada elit-elit politik untuk mengacaukan pelaksanaan otsus di Papua, maka pusat juga ikut dalam perpecahan orang Papua,” terangnya.

Bahkan kata Yusak, sesuai dengan Undang-Undang Otsus No.21/2001, MRP adalah lembaga negara, bukan bawahan dari gubernur, sehingga gubernur tidak pantas melantik pimpinan MRP, seperti yang dilakukan oleh Gubernur Papua Barat, dengan melantik MRP di Papua Barat, bisa terkesan dua kali pelantikan dalam periode yang sama.
“Ini terkesan dua kali pelantikan, ini bisa dikatakan melanggar hukum,” ucapnya.

Yusak menjelaskan, pembentukan MRP di Papua Barat oleh elit-elit politik di Provinsi termuda tersebut membuktikan bahwa elit-elit politik di Provinsi tersebut belum memahami regulasi soal undang-undang otsus secara baik, terutama Undang-undang no.21/2001, serta perubahan UU.no.35/2008, tentang perubahan undang-undang 21.2001, untuk Provinsi Papua Barat, Kata Yusak,jika dibaca dengan baik, tidak ada salah satu pasal yang mengatakan MRP harus ada di Papua Barat.

“Tidak ada landasan hukum yang kuat untuk membentuk MRP di Papua Barat, jadi MRP di Papua Barat ilegal. Pusat harus segera ambil sikap,” terangnya.

Sementara itu, MRP Papua Barat hanya membutuhkan waktu satu hari untuk memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon menyangkut syarat keaslian calon sebagai orang asli Papua. Berkas yang diserahkan KPU Papua Rabu (15/6) sekitar pukul 16.00 WIT langsung diserahkan kembali, Jumat (17/6) pukul 09.00 WIT. Dari 33 anggota MRP Papua Barat, sebanyak 24 anggota MRP Papua Barat hadir menyaksikan penyerahan berkas tersebut.

Berkas diserahkan langsung Ketua MRP Papua Barat Vitalis Yumte dan diterima Plt Ketua KPU Papua Barat Philep Wamafma yang juga Devisi Hukum. Ketua MRP Papua Barat didampingi Wakil Ketua I Anike T.H Sabami dan Wakil Ketua II Zainal Abidin Bay. Penyerahan berkas pasangan calon tersebut dihadiri Gubernur Papua Barat Abraham O Atururi dan Wagub Drs Rahimin Katjong, M.Ed dan Muspida Kabupaten Manokwari.
Saat dikonfirmasi usai penyerahan berkas, Vitalis enggan menyampaikan hasil verifikasi yang dilakukannya. Yang jelas pihaknya sudah melakukan tugasnya sesuai yang diamanatkan dalam undang-undang Otsus nomor 21 Tahun 2001 maupun PP 54 Tahun 2004 yakni memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap calon khususnya menyangkut orang Papua asli. Vitalis mengaku akan segera melanjutkan proses pembahasan tugas MRP Papua Barat lainnya.
Setelah menerima berkas dari MRP Papua Barat, KPU Papua Barat, Jumat (17/6) sekitar pukul 14.00 WIT langsung menggelar pleno untuk menetapkan pasangan calon yang sudah mendapatkan pertimbangan dan persetujuan terkait keaslian calon sebagai orang Papua.

Plt Ketua KPU Papua Barat Philep Wamafma yang juga komisioner Devisi Hukum dalam jumpa pers, Jumat (17/6) di Kantor KPU Papua Barat di Jalan SKMA II Basecamp Arfai Distrik Manokwari Selatan langsung membacakan surat keputusan KPU Papua Barat nomor 26 Tahun 2011 tentang penetapan pasangan calon yang memenuhi syarat dan lolos dalam pencalonan untuk mengikuti pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Papua Barat Tahun 2011.
Dalam surat keputusan KPU Papua Barat nomor 26 Tahun 2011 tersebut telah menetapkan empat pasangan sebagai Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Papua Barat Tahun 2011. “Pasangan calon yang sudah kita tetapkan sebagai calon gubernur dan wakil gubernur sudah mendapat pertimbangan dan persetujuan dari MRP Papua Barat,”tuturnya.

Keempat pasangan tersebut antara lain pertama Abraham O Atururi sebagai Calon Gubernur dan Drs Rahimin Katjong, M.Ed sebagai calon wakil gubernur. Kedua, Drs Dominggus Mandacan sebagai calon gubernur dan Origenes Nauw, S.Pd sebagai calon wakil gubernur. Ketiga, George Celcius Auaparay, SH, MM, MH sebagai calon Gubernur dan Hasan Ombaer, SE sebagai calon wakil gubernur. Keempat, DR Wahidin Puarada, M.Si sebagai calon Gubernur dan Ir Herman Donatus Felix Orisoe sebagai calon wakil gubernur.

Dikatakan, pasangan-pasangan calon gubernur yang sudah ditetapkan akan mengikuti proses tahapan selanjutnya sesuai dengan keputusan KPU Provinsi Papua Barat Nomor 25 Tahun 2011. Sesuai dengan jadwal, KPU Papua Barat akan melakukan pencabutan nomor urut, Senin (20/6) di Kantor KPU Papua Barat.(cak/fud/sr)

Pelantikan MRP Papua Barat Menuai Kontroversi

JAYAPURA – Pelantikan unsur pimpinan Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Barat oleh Gubernur Papua Barat, Abraham O Ataruri yang mengatasnamakan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) pada Selasa (14/6) lalu menuai kontroversi.

Gubernur Papua, DR (HC) Barnabas Suebu,S.H dengan tegas tetap menolak pelantikan itu, namun di sisi lain, Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Papua, Lenis Kogoya justru tidak mempersoalkan hal itu.

“Sebenarnya saya sudah membuat pernyataan soal MRP Papua Barat. Jika ada MRP di Papua Barat, maka itu akan megundang persoalan baru, dan bagi saya sebenarnya MRP di Papua Barat itu tidak boleh ada,” katanya kepada wartawan di Gedung Negara, Jayapura, Kamis (16/6) kemarin.

Suebu menegaskan, MRP Papua Barat itu sebenarnya berlawanan dengan undang-undang, sebab tidak ada satu pasal pun dalam Undang-Undang Otonomi Khusus yang mengatur soal itu. “Tapi ternyata tanpa koordinasi lagi, MRP di Papua Barat sudah dilantik. Dua MRP ini sangat bertentangan dengan otsus, bahkan akan menjadi persoalan nasional dan internasional,” tegasnya.

Sementara Pdt. Ev.Thimotous Idie selaku tokoh agama saat bertandang ke Redaksi Cenderawasih Pos tadi malam menyatakan, jika sampai pemerintah pusat mengakui keberadaan MRP di Papua Barat, maka akan berpeluang menjadi persoalan baru di Papua, bahkan memperkuat pengakuan dunia internasional bahwa otonomi khusus tidak mampu menyelesaikan persoalan di Papua.

“Kita juga sudah menolak keberadaan MRP jilid II saat musyawarah besar di MRP 9 Juni 2010 lalu, kenapa sampai Pemerintah Pusat memaksakan membentuk lagi, ini adalah politik semata yang dimainkan oleh pemerintah,” katanya.

Bahkan dirinya juga dengan terang-terangan menilai pembentukan MRP Papua Barat adalah politik yang dimainkan oleh Gubernur Papua Barat Abraham O. Atururi untuk meloloskan dirinya dalam pemilukada Gubernur Provinsi Papua Barat.

“Stop sudah pemerintah pusat main di Papua, jangan membuat konflik antara orang Papua sendiri,” tukasnya.
Sementara itu, Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Papua, Lenis Kogoya justru mendukung pembentukan MRP di Papua Barat itu.

“Sesuai dengan Undang-Undang No. 21/2001 tentang otonomi khusus, amandemen UU No.35/2008, serta PP No. 54/2004, sudah jelas memberikan peluang kepada Provinsi Papua Barat untuk membentuk Majelis Rakyat Papua di Papua Barat.

“Sudah jelas tertulis, bahwa MRP dibentuk di ibu kota provinsi. Jadi ada peluang untuk pembentukan MRP di Papua Barat, apalagi gubernur, masyarakat, dan agama di Papua Barat sangat mendukung,” terangnya.

Lenis mengatakan, sebelum terbentuk MRP di Papua Barat, dirinya selaku Ketua LMA Papua sudah lebih dulu berbicara soal persoalan MRP ke Pemerintah Daerah, DPRP serta MRP sendiri, namun tidak digubris. “Kini MRP di Papua Barat sudah dilantik, baru berbagai pihak mulai kaget lalu mengeluarkan statemen macam-macam. Karena MRP sudah lantik, maka jalan saja, sebab undang-undang sudah ada, tinggal kita dukung saja,” ujarnya.

Dirinya juga meminta kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk segera melakukan audit penggunaan dana pemilihan anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) terutama di panitia pemilihan dan komisi pemilihan.

“Saya juga minta oknum pejabat di Papua jangan mengaitkan persoalan MRP Papua Barat dengan referendum, seperti yang pernah dikeluarkan di sejumlah media lokal. Saya minta agar aparat hukum memeriksa mereka yang mengatakan referendum. Jangan memprovokasi masyarakat dengan opini yang tidak benar,” pungkasnya. (cak/fud)

Provinsi Papua Tengah Dipersiapkan

TIMIKA [PAPOS] – Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan mengutus Deputi I Bidang Politik Dalam Negeri Mayjen Karseno bersama tim ke Timika, untuk mempersiapkan pembentukan Provinsi Papua Tengah.

Rabu [12/5] pagi lalu, Karseno yang didampingi asistennya Amirullah dan Nurhadi bersama Tim Pemekaran Provinsi Papua Tengah meninjau lahan seluas 106 hektar yang dihibahkan Pemkab Mimika untuk lokasi pembangunan perkantoran Pemprov Papua Tengah di Kampung Limau Asri-SP5 Timika.

Karseno mengatakan, kunjungan ke Timika dalam rangka membuat kajian dan analisis kebijakan pemekaran Provinsi Papua Tengah menuju sebuah daerah otonom baru.

” Kedatangan kami untuk mendapatkan fakta-fakta dan aspirasi masyarakat Timika dan sekitarnya sehingga nanti tidak ada kesan `katanya` atau direkayasa,” jelas Karseno saat beraudiens dengan Pemkab Mimika, anggota DPRD dan para tokoh masyarakat Mimika serta sejumlah kabupaten tetangga di Pendopo Rumah Jabatan Bupati Mimika, Selasa malam.

Ia mengatakan, fakta dan hasil kajian yang diperoleh di Timika akan menjadi bahan evaluasi Kantor Kemenko Polhukam untuk menyimpulkan apakah Papua Tengah layak atau tidak menjadi provinsi baru terlepas dari Provinsi Papua.

Menurut Karseno, sejak beberapa tahun lalu Pemerintah Pusat membuat moratorium pemekaran provinsi lantaran banyaknya masalah.

Meski begitu, katanya, tidak tertutup kemungkinan pemekaran provinsi baru dengan melalui evaluasi ketat dan dilengkapi desain besarnya.

Karseno menegaskan, tujuan utama pemekaran suatu wilayah untuk menyejahterakan rakyat dan meningkatkan pelayanan kepada rakyat.

“Namun yang terjadi selama ini jauh dari harapan itu karena dimanfaatkan untuk bagi-bagi kekuasaan dan lainnya. Ini yang harus dihindari. Pemekaran Papua Tengah dalam rangka untuk menyejahterakan rakyat Papua terutama di wilayah Papua Tengah,” ungkapnya.

Ketua Tim Pemekaran Provinsi Papua Tengah Andreas Anggaibak mengatakan, pada 23 Agustus 2003 sudah dilakukan deklarasi pembentukan Provinsi Papua Tengah (saat itu disebut Provinsi Irian Jaya Tengah).

Namun karena ada pro-kontra pemekaran, agenda itu tidak ditindaklanjuti. Selanjutnya pada 13 Mei 2008 papan nama Kantor Gubernur dan DPRD Provinsi Papua Tengah dipasang kembali.

“Pemekaran ini sangat penting. Selama ini kami diperalat oleh orang lain. Tidak ada lagi masyarakat yang tolak pemekaran Papua Tengah, kami sudah berdamai,” katanya.

Anggaibak meminta tim Kemenko Polhukam membawa aspirasi rakyat Papua Tengah ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta dan berharap pada 17 Agustus 2010 sudah dilantik Caretaker Gubernur Provinsi Papua Tengah.

“Kekayaan alam kami (tambang emas dan tembaga yang dikelola PT Freeport Indonesia) bisa memberi makan 22 negara, masa` Timika tidak bisa menjadi ibu kota Provinsi Papua Tengah,” kata Anggaibak. [ant/agi]

Ditulis oleh Ant/Agi/Papos
Jumat, 14 Mei 2010 00:00

Separatis Papua: Tuntutan Atau Intervensi Asing

Anggota Komisi I DPR RI berharap pemerintah memacu pembangunan di provinsi Papua dan Papua Barat, karena hanya dengan cara itu, nilai-nilai persatuan dan kesatuan kebangsaan akan kuat tertanam di masyarakat. DEMIKIAN pendapat Yooris Raweyai (Fraksi Partai Golkar) dan Ali Mochtar Ngablin (Bintang Pelopor Demokrasi/BPD) dalam diskusi “Separatisme Papua; Tuntutan atau Intervensi Asing” di Gedung DPR/MPR Jakarta, Kamis (27/11) kemarin.

Pendapat senada juga disampaikan mantan Menteri Luar Negeri (menlu) Organisasi Papua Merdeka (OPM) Nicolas Messet. Nicolas yang pernah melakukan kampanye OPM di beberapa negara di Eropa dan Amerika, kembali menjadi WNI pada 27 Nopember 2007.

Dalam diskusi ini, Nicolas mengemukakan, OPM tidak cocok lagi digunakan untuk menyebut Organisasi Papua Merdeka tetapi “Orang Papua Membangun”.

Menurut dia, kampanye OPM di luar negeri sudah melemah dan orang-orangnya tidak solid. Yang ada adalah penipuan-penipuan. “Saya berjuang 39 tahun. Tak ada yang mau kasih uang. Penipu semua,” katanya.

Ali Mochtar Ngabalin juga mengemukakan, ketidakadilan dan diskriminasi masih dirasakan masyarakat Papua. Persoalan utama masyarakat Papua adalah persamaan hak.

“Bagaimana keseriusan pemerintah pusat mengurus Papua?,” katanya yang menambahkan, gerakan separatis sebenarnya mengecil dan hal itu disebabkan karena ketidakadilan dan diskriminasi dalam pembangunan.

Ngabalin dalam Sidang Parlemen Parlemen (APA) ke-2 di Teheran (Iran), dua tahun lalu, menantang anggota parlemen negara lain yang mempertanyakan persoalan Papua.

“Bagaimana orang luar lebih tahu Papua dari saya yang orang Indonesia, orang dari Papua. Pasti kamu bohong,” katanya kepada anggota parlemen negara lain.

Persoalannya, kata Ngabalin, apakah orang Indonesia memang mengakui bahwa Papua benar-benar bagian dari Indonesia kalau masih memberlakukan diskriminasi dan ketidakadilan.

JUSTIFIKASI

Yorris menjelaskan, OPM tidak pernah menentukan struktur kepemimpinan. OPM hanya justifikasi yang digunakan aparat terhadap sekelompok orang yang melakukan pelanggaran hukum.

Munculnya aksi-aksi sporadis terutama menjelang tanggal yang diklaim sebagai ulang tahun OPM (setiap awal Desember) merupakan pelampiasan atas ketidakadilan pembangunan wilayah Papua oleh pemerintah pusat.

Menurut Yorris, ketidakadilan dan diskriminasi bagi kedua propinsi di Papua masih terjadi hingga saat ini. Salah satunya, melalui UU tentang Perpajakan yang tidak mencerminkan keadilan.

Waktu Belanda masih menguasai Papua hanya mengambil minyak di Sorong dan batubara di Bintuni. Tetapi setelah masuk NKRI, wilayah Papua di kavling-kavling untuk mengeksploitasi sumber daya alam sehingga ekosistem rusak.

Dia mengemukakan, Papua bergabung ke NKRI tahun 1962 dan secara resmi menjadi propinsi ke 27 tahun 1969. Tetapi sumber daya alam Papua sudah dikavling mulai tahun 1967.

Ketidakadilan yang dirasakan masyarakat papua terkait perpajakan dan royalti terjadi pada sumbangan pajak PT Freeport kepada pemerintah Indonesia sebesar Rp17 triliun/tahun.

“Kita minta 30 persen dikembalikan ke masyarakat Papua untuk membangun wilayah. Tetapi Papua hanya memperoleh Rp300 miliar/tahun untuk 25 kabupaten/kota,” kata Yorris.

Kenyataan ini, kata Yorris menggambarkan ketidakadilan. “Jadi jangan menuduh separatisme. Perjuangan kami ingin bebas dari kemiskinan dan kebodohan,” katanya.

Perhatian pemerintah pusat kepada masyarakat juga dinilai rendah. Akibat tingkat kesehatan rendah, usia hidup orang Papua rata-rata 47 tahun dan banyak penyakit AIDS.

Menurut Yorris, penyelesaian persoalan bukan pada ekonomi, tetapi pada kemauan politik pemerintah pusat. “Amanat UU No.21/2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua tidak dijalankan pemerintah secara konsisten,” katanya.

UU Otsus mengamanatkan pula bahwa pemerintah harus menerbitkan setidaknya dua Keppres dan 9 peraturan pemerintah (PP) serta 11 Perda propinsi dan Perda khusus untuk pelaksanaan Otsus. “Tetapi pemerintah tidak konsisten,” katanya.(**)

Ditulis Oleh: Ant/Papos
Jumat, 28 November 2008

156 OPM Menyerah – Serahkan 3 Pucuk Senjata, Diterima Langsung Menkokesra di Oksibil

OKSIBIL- Sadar akan kemajuan pembangunan yang terjadi di daerahnya dengan ditunjang fasilitas-fasilitas berteknologi, serta adanya upaya persuasif aparat keamanan, akhirnya menggerakkan hati 156 TPN/OPM yang berada di belantara Kabupaten Pegunungan Bintang, turun gunung alias menyerahkan diri.
Mereka terdiri dari kelompok Agustinus Kaproka 50 orang dan kelompok Paulus Kalakdana 106 orang, sehingga totalnya 156 orang.

TPN/OPM yang turun gunung tersebut dipimpin langsung Benidiptus dari kelompok Iwu/ Yumakot Endiri Bitdana. Disaksikan dan diterima langsung oleh Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra), Aburizal Bakrie, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Mardiyanto dan Menteri Pekerjaan Umum, Djoko Kirmanto, serta sejumlah pejabat lainnya di halaman Kantor Bupati Pegunungan Bintang yang baru, Kampung Okyop, Distrik Dabolding, Kamis (7/8), kemarin.

Selain menyerahkan diri, mereka juga menyerahkan 3 pucuk senjata organik jenis dabloop dan 10 amunisinya.

Ratusan TPN/OPM tersebut menyerahkan diri bertepatan peresmian Kantor Bupati dan kantor DPRD Kabupaten Pegungan Bintang, Kamis (7/8), kemarin. Ditandai pembacaan berita acara oleh salah satu perwakilan TPN/OPM Benidiptus Jamkin, yang selanjutnya prosesi perdamaian dengan Menkokesra. Selanjutnya berita acara itu ditandatangani perwakilan OPM Benidiptus Jamkin, Mendagri Mardiyanto, Wagub Alex Hesegem, dan Danrem 172/PWY Kolonel CZI I. Made Sukadana.

Seusai penandatanganan dilanjutkan penyerahan bendera merah putih kepada TPN/OPM oleh Mendagri dan diakhiri foto bersama.

Sementara Dandim 1702/ Jayawijaya Letkol Inf Grandy di tempat terpisah mengatakan, kesadaran para TPN/OPM tersebut menyerahkan diri tidak terlepas dari segala upaya pendekatan persuasif yang diberikan aparat, sehingga niat baik tersebut harus mendapat dukungan penuh dari pihak Pemerintah untuk memberikan fasilitas perumahan, agar mereka juga dapat dilibatkan dalam pembangunan.

“Niat tersebut merupakan niat baik yang perlu diseriusi Pemerintah,dalam melibatkan mereka (TPN/ OPM red) dalam pembangunan,” ujarnya.

Dirinya juga akan berupaya untuk memberikan uaya-upaya persuasif agar masyarakat lainnya lagi yang masih di hutan karena berbeda pendapat dengan konsep bingkai NKRI agar segera kembali ke tengah masyarakat dan beraktivitas seperti biasa.

Sedangkan bunyi isi berita acara itu antara lain, menyatakan menerima penyerahan diri masyarakat yang berbeda pendapat dengan negara ke satuan RI kembali ke pangkuan ibu pertiwi NKRI, atas nama anggota dan Benniditus Jamkin dengan sejumlah catatan. Antara lain, 1 Setia kepada NKRI berdasarkan pancasila dan UUD 1945, 2 Tidak bergabung kembali dengan kelompok masyarakat yang berbeda pendapat dengan NKRI dan membantu menciptakan keamanan dan ketertiban di wilayah Kab Pegunungan bintang dan 3 Mendukung program pembangunan di wilayah Kabupaten Pegunungan Bintang.

Menkokesra saat menggelar jumpa pers di Bandara Sentani seusai kunjungannya ke Pegunungan Bintang, Kamis (7/8) kemarin mengatakan, setelah meresmikan Kantor Bupati Pegunungan Bintang, dirinya menerima 156 orang yang tadinya berseberangan dengan NKRI untuk kembali ke pangkuan NKRI.

“Mereka itu dari kelompoknya Agustinus Kaproka 50 orang, dan dari kelompok Paulus Kalakdana 106 orang. Dalam kesempatan itu, mereka juga menyerahkan 3 pucuk senjatanya,” kata Aburizal Bakrie.

Dikatakan, kepada mereka dan masyarakat di sekitar daerah itu, diberikan 400 unit rumah, berikut listrik mikro hidro dan fasilitas lainnya dengan dana Rp 98 miliar dari APBN. “Jadi pembangunan ini tidak hanya bagi orang-orang yang kembali ke NKRI, tapi juga bagi rakyat di sekitar tempat itu,” tuturnya.

Dengan adanya ini, pihaknya berharap bahwa kelompok lainnya juga segera kembali ke NKRI, seperti kelompok Tadius Yogi di Enarotali, kelompok Kelik Kwalik di Timika dan kelompok Guliat Tabuni di Puncak Jaya. “Kita berharap mereka bias turun gunung dan mulai membangun Papua dengan damai,” harap Menko Kesra.

Pada kesempatan itu, Ical panggilan akrab Menko Kesra juga menjelaskan, pada 6 Maret 2008 lalu, pihaknya telah meresmikan suatu pemukiman terpadu di Distrik Konero Kabupaten Tolikara yang pendanaannya berasal dari dana pasca bencana/konflik tahun 2006.

Setelah itu, di Wamena, Menko Kesra menerima 36 orang mantan kelompok masyarakat yang berseberangan dengan pemerintah yang kembali ke pangkuan NKRI.

Pada kesempatan itu, pihaknya berjanji membantu keinginan masyarakat tersebut untuk mendapatkan pemukiman yang layak. Setelah melakukan perencanaan dan berkoordinasi dengan Pemprov Papua, akhirnya terbit persetujuan pemerintah pusat senilai kurang lebih Rp 40 miliar untuk pembangunan di tiga tempat, yaitu Balingga, Melagaineri dan Kuyage yang berupa 100 unit perumahan tipe 36, Puskesmas Pembantu (Pustu), balai desa, pembangkit listrik mikro hidro, demplot pertanian, rehabilitasi sekolah, sarana air bersih dan jalan desa.

“100 unit rumah itu untuk 20 orang tokoh masyarakat, 15 orang kepala suku, 15 tokoh agama, dan 50 orang mantan kelompok yang berseberangan dengan NKRI,” terangnya.

Sebagai tanda dimulainya pembangunan tersebut, Menko Kesra Kamis (7/8) pagi kemarin melaksanakan peletakan batu pertama di Distrik Balingga Kabupaten Lani Jaya dan direncanakan pembangunan ini akan selesai Desember 2008.

“Dengan adanya pembangunan ini diharapkan kondisi masyarakat akan semakin membaik, sehingga dengan sendirinya masyarakat yang masih berseberangan mau turun dan mau bergabung untuk membangun daerahnya. Pemda diharapkan juga membina mereka. Karena itu, saya ditugaskan oleh presiden untuk mendukung pembangunan di derah itu, karena pendekatan yang dilakukan presiden sekarang bukan lagi pendekatan keamanan, tetapi pendekatan peningkatan kesejahteraan rakyat. Kelompok yang belum bergabung, diharapkan mengikuti saudara-saudaranya yang sudah kembali ke pangkuan NKRI,” pungkasnya..(jim/fud/ade)

Cukup Meriah, 500 Ekor Babi Dikorbankan Untuk Disantap Bersama

Sebagai bentuk rasa syukur masyarakat terhadap terbentuknya Kabupaten Lany Jaya sebagai kabupaten definitiv dan Ir. Pribadi Sukartono, MM sebagai penjabat bupatinya pada 21 Juni 2008 lalu, maka masyarakat melakukan upacara pengucapan syukur atas karunia Tuhan yang besar itu di Tiom Ibukota Kabupaten Lany Jaya.

LAPORAN: DJOKO S, WAMENA

PESAWAT milik AMA jenis Pilatus Porter yang membawa Penjabat Bupati Lany Jaya, Ir. Pribadi Sukartono, MM mendarat dengan mulus di landasan pacu bandar udara Tiom pukul 11.45 WIT. Begitu menuruni tanggas pesawat bupati Sukartono disambut para pejabat teras, tim sukses dan komponen masyarakat yang ada disana.

Melalui prosesi adat Bupati Sukartono yang didampingi istri mendapat kalungan bunga. Sesaat kemudian bupati bersama rombongan menuju tempat acara yang dipusatkan dilapangan Ampera. Disana sekitar 15 ribu massa dari 10 distrik sudah menunggu.

Usai beristirahat sejenak, secara spontanitas masyarakat yang sedang mendendangkan tarian dan lagu daerah kemudian mendekati podium menggendong bupati Sukartono, tim sukses pemekaran, Nius Kogoya dan Keliopas Kogoya diarak keliling lapangan.

Prosesi selanjutnya bupati Sukartono menerima kapak batu dan skop dari salah seorang utusan yang telah ditunjuk. Prosesi itu mengandung makna bahwa untuk memajukan Lany Jaya hanya bisa dilakukan dengan kerja keras tanpa kenal lelah. 500 ekor babi dikorbankan untuk disantap bersama dalam pesta adat yang sangat meriah itu.

“Ini menjadi suatu kebahagiaan dan kebanggan tersendiri bagi aparatur pemerintah dan warga masyarakat Lany Jaya karena telah ditetapkan sebagai kabupaten definitif dan penjabat bupatinya oleh Mendagri beberapa waktu yang lalu,” tegas Sukartono yang mendapat aplaus dari massa yang hadir.

Sebagai penjabat bupati yang ditunjuk, saya akan melakukan terobosan-terobosan yang mampu membawa perubahan kearah yang lebih maju dengan tekad dan pengabdian yang terbaik. Pekerjaan itu tidak mudah, karena membutuhkan pengorbanan waktu, tenaga dan pikiran serta semangat yang tinggi untuk membangun,” ujarnya.

Menurutnya untuk mencapai suatu keberhasilan tidak semudah membalik telapak tangan, namun dibutuhkan dukungan dan peran aktif dari semua komponen masyarakat yang berjiwa membangun. “Saya optimis, dengan dukungan komponen masyarakat yang ada, bisa membawa perubahan bagi masyarakat Lany Jaya menuju kehidupan yang lebih baik dan sejahtera, tanpa dukungan itu saya tidak bisa berbuat apa-apa,” tukas Sukartono.

Bahkan menurut mantan Sekda Tolikara ini, hal yang tidak kalah pentingnya lanjut dia, pemanfaatan sumber daya alam (SDA) dibidang pertanian menjadi prioritas utama yang bakal dilakukan. “Potensi pertanian punya prospek yang cerah dan cukup menjanjikan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat,” ujarnya.

Hal itu harus didukung oleh kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang professional dan handal. Kehidupan masyarakat yang maju didukung dengan SDM yang berkualitas dapat dipastikan akan membawa kemajuan disemua bidang tanpa terkecuali dan saya yakin pasti berhasil,” ujarnya.

Nampaknya ucapan bupati Sukartono itu bukan isap jempol belaka. Usai mengikuti acara syukuran keesokan harinya, ia sudah ngantor di distrik Tiom dan tidak membukja kantor perwakilan di Wamena. “Segala sesuatu yang berkaitan dengan masalah kantor hanya bias diselesaikan di Tiom bukan di Wamena,” tegas Sukartono.

“Sebagai penjabat bupati saya juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada tim sukses yang telah memperjuangkan terbentuknya kabupaten Lany Jaya sejak tahun 1998 yang lalu. Acara syukuran itu dihadiri sejumlah pejabat dari 5 kabupaten di wilayah pegunungan tengah, pejabat tingkat I provinsi Papua dan dari Jakarta . Acara berjalan dengan aman, tertib dan lancar tanpa menemui suatu kendala yang berarti.(*)

Politik Devide et Impera Terbukti dalam Politik Pemekaran NKRI di Papua Barat dari Sudut-Pandang Sosio-Budaya

Pengalaman adalah Guru Terbaik, Pengalaman Indonesia diadu domba Belanda Telah Menjadi Guru untuk Mengadu-Domba bangsa Papua

Banyak orang Papua pada umumnya, dan khususnya dalam minggu ini untuk orang-orang Papua di pegunungan tengah kelihatan sekali bergembira lantaran telah disahkan Lima Kabupaten Baru di sana. Dalam politik NKRI disebut sebagai “pemekaran”. Dalam kamus TRPB/OPM adalah politik devide et impera. Keduanya bisa dibuktikan oleh orang Papua sendiri: Apakah ‘pemekaran’ yang terjadi ataukah pecah-belah dan adu domba. Continue reading “Politik Devide et Impera Terbukti dalam Politik Pemekaran NKRI di Papua Barat dari Sudut-Pandang Sosio-Budaya”

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny