TRWP Menolak Tegas Ajakan Dialogue Dipromosikan Oleh Agen Papindo JDP bersama Intelektual BIN di LIPI

Gen. Mathias Wenda selaku Panglima Tertinggi Komando Revolusi lewat Sekretaris-Jenderal Lt. Gen. TRWP Amunggut Tabi menolak dengan tegas dan mentah-mentah tawaran dialogue yang dimotori oleh agen-agen BIN dalam payung-payung sbb:

  1. Jaringan Damai Papua (JDP) Neles Tebay dkk, yang tidak lain adalah perpanjangan tangan dari jaringan Papindo untuk NKRI Harga Mati!,
  2. Cabang Intelektual Indonsia beranggotakan pihak intelektual BIN yang menamakan dirinya LIPI; dan
  3. LSM bentukan NKRI lainnya.

yang mempromosikan dialogue nasional dalam kerangka dan bingkai NKRI, yang ditawarkan oleh NKRI lewat agen-agen mereka di Tanah Papua, yaitu terutama Jaringan Damai Papua dan di Jakarta lewat LIPI.

Lt. Gen. Tabi mengingatkan dengan tegas, bahwa siapapun yang terlibat di dalam dialogue dengan kerangka nasional, framework NKRI, termasuk ULMWP, maka mereka secara otomatis dapat dipastikan sebagai bagian dari NKRI yang berupaya melemahkan dan mematikan perjuangan bangsa Papua untuk melepaskan diri dari NKRI.

Itu sama persis, dan secara otomatis adalah penghianatan terhadap pengorbanan bangsa Papua selama enam dekade terakhir, sebuah perbuatan memalukan bagi para pahlawan dan anak-cucu bangsa Papua.

Lt. Gen. Tabi selanjutnya menyatakan

Kami sudah tahu siapa-siapa di dalam ULMWP yang mewakili bahasa-bahasa JDP-LIPI, yang adalah secara langsung merupakan bibir dan mata, kaki-tangan BIN yang beroperasi dengan topeng kemanusiaan, topeng keagamaan, dan topeng perjuangan HAM di tanah Papua.

Kami tahu ada anggota BIN yang sadar mereka anggota BIN, ada juga yang tidak tahu kalau sebenarnya mereka sudah beroprasi sebagai anggota BIN. Ada orang di dalam ULMWP adalah para anggota BIN. Oleh karena itu TRWP tidak semudah itu dimanipulasi. Ada juga para panglima dan organisasi yang menamakan diri OPM, TPN dan sebagainya, yang orang-orangnya adalah bermain sesuai skenario BIN.

Oleh karena itu, dengan ini, Gen. Wenda lewat Sek-Jend menganjurkan kepada segenap organisasi perjuangan Papua Merdeka agar

Pertama, Fokus dengan program bangsa Papua, jalankan program bangsa Papua, buang jauh-jauh apapun program yang datang dari Jakarta.

Kedua, agar buang jauh-jauh semua usulan, mimpi dan harapan dialogue dengan NKRI, karena waktu tuntutan itu sudah lewat, sekarang waktunya untuk mendesak MSG dan bekerja di dalam kerangka ke-Melanesia-an, bukan dalam kerangka ke-Melayo-Indo-an lagi.

Selanjutnya Tabi menyerukan kepada segenap organisasi perjuangan Papua Merdeka

  1. ULMWP
  2. PNWP
  3. KNPB
  4. WPNA
  5. WPNCL
  6. NRFPB
  7. DeMMAK
  8. PDP
  9. DAP
  10. WPIA
  11. OPM
  12. TPN/OPM
  13. TPN PB
  14. TRWP
  15. AMP

untuk bersatu-padu menolak program intelektual BIN yang ditampilkan dengan wajah dua, (1) JDP dan (2) LIPI

RI Bersedia Berdialog dengan ULMWP

Mayjen TNI Yoedhi Swastono, deputi I/Koordinasi Bidang Politik Dalam Negeri Kemenkopolhukam, pada seminar peluncuran ringkasan eksekutif hasil penelitian LIPI, Papua Road Map jilid II, Proses Perdamaian, Politik Kaum Muda dan Diaspora Papua: Updating Papua Road Map, di Gedung LIPI, Jakarta, hari ini (14/10).

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pemerintah Indonesia membuka kesempatan melakukan dialog dengan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), kelompok yang selama ini dicap sebagai separatis  yang ingin memisahkan Papua dari Indonesia. Namun, dialog itu harus dilakukan dalam kerangka dialog nasional yang inklusif sebagai sesama anak bangsa Indonesia dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Hal ini dikemukakan oleh Mayjen TNI Yoedhi Swastono, deputi I/Koordinasi Bidang Politik Dalam Negeri Kemenkopolhukam, pada seminar peluncuran ringkasan eksekutif buku Papua Road Map jilid II, Proses Perdamaian, Politik Kaum Muda dan Diaspora Papua: Updating Papua Road Map, di Gedung LIPI, Jakarta, Jumat (14/10).

“ULMWP tetap dilibatkan. Seluruh komponen bisa terlibat. Yang penting apa substansi dialognya,” kata Yoedhi, menjawab pertanyaan bagaimana posisi ULMWP dalam dialog nasional yang digagas oleh LIPI.

Dalam seminar tersebut mengerucut kesepakatan bahwa dialog sebagai pendekatan damai harus diambil sebagai strategi dalam menyelesaikan konflik di Papua. Apalagi telah ada perubahan positif di pemerintahan. Jika selama ini Jakarta dianggap sangat sensitif terhadap istilah dialog, kini pendekatan itu sudah semakin dapat diterima.

Pada saat yang sama, LIPI melihat bahwa peta aktor konflik Papua telah berkembang. Gerakan perlawanan rakyat Papua semakin terkonsolidasi dengan efektif di bawah ULMWP. Tidak hanya menguat secara internal, LIPI melihat ULMWP juga mendapatkan dukungan secara internasional.

“Tumbuhnya nasionalisme baru kepada Melanesia, dan juga ideologi humanisme cukup memberikan amunisi bagi konsolidasi gerakan Papua. Disinilah awalnya terbentuk ULMWP, yang diterima dalam pertemuan Melanesian Spearhead Group (MSG) pada Juli 2015,” kata Adriana Elisabeth, Kepala Pusat  Penelitian Politik LIPI yang juga salah satu penulis buku Papua Road Map jilid II.

“Gerakan perlawanan Papua memiliki struktur politik, basis massa, badan-badan perjuangan/pergerakan di seluruh Papua dan di luar negeri,” kata dia.

Lebih jauh, jika dulu fraksi-fraksi di Organisasi Papua Merdeka (OPM)  terpecah, kini telah mengalami transformasi dalam ULMWP. Jika dulu Jakarta menganggap sulit melakukan dialog dengan Papua karena faksi-faksi yang ada tidak bersatu, kini ULMWP dapat menjadi jembatan pemersatu faksi-faksi tersebut.

“Mereka memiliki satu wadah koordinasi dengan alamat yang jelas, kegiatan yang jelas, sehingga ada koordinasi dan komunikasi antarmereka. Sampai sejauh ini saya melihat belum ada pertentangan di antara mereka,” kata Pater Neles Tebay, koordinator Jaringan Damai Papua (JDP).

Sebagai solusi terhadap konflik Papua yang sudah berlangsung lima dekade, LIPI mengajukan gagasan dialog nasional, sebagai media atau cara untuk menghadirkan para pihak secara inklusif agar dapat saling memahami dan membahas berbagai isu secara komprehensif, dalam konteks penyelesaian Papua.

Namun timbul pertanyaan bagaimana kedudukan ULMWP dalam dialog tersebut, apabila selama ini mereka disebut sebagai gerakan separatis.

LIPI mengajukan 14 unsur yang harus dilibatkan dalam dialog internal Papua, dalam kerangka dialog nasional tersebut. Ke dalam 14 unsur itu sudah termasuk diaspora Papua, yang dalam hal ini salah satunya adalah ULMWP.

Selengkapnya 14 unsur yang dilibatkan dalam dialog internal tersebut adalah sebagai berikut:.

Pertama, masyarakat adat Papua,
kedua, paguyuban migran,
ketiga, kelompok agama, terutama Kristen Protestan, Katolik dan Islam,
keempat, pemerintah daerah, MRP, MRPB dan DPRP/DPRPB,
kelima, LSM/aktivis,
keenam, media,
ketujuh, kelompok kaum muda,
kedelapan, akademisi/peneliti
kesembilan, kelompok perempuan,
kesepuluh, kelompok profesional (buruh, guru dll)
kesebelas, partai politik,
keduabelas, pengusaha dan investor,
ketigabelas, TPN/OPM
keempat belas, diaspora Papua, yang salah satunya adalah ULMWP.

Yoedhi mengatakan dirinya setuju dengan 14 rumusan masalah yang akan menjadi agenda dialog yang dirumuskan oleh LIPI. Salah satu agenda tersebut adalah: konflik vertikal mencakup stigma separatis, pelarangan penggunaan simbol-simbol daerah, kekerasan yang dilakukan oleh TNI/Polri dan kelompok bersenjata, serta pertentangan nasionalisme Indonesia versus etno-nasionalisme.

Kendati demikian, Yoedhi menegaskan bahwa pemerintah tidak setuju dengan internasionalisasi masalah Papua, termasuk dengan mengangkat masalah ini ke Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).

Menurut dia, masalah Papua berbeda dengan Timor Timur. “Proses dekolonisasi Papua sudah selesai. Dekolonisasi Papua sudah final,” kata dia.

Dia mengutip pernyataan salah seorang tokoh Papua yang mengatakan bahwa jika Papua ingin memisahkan diri dari Indonesia, jangan menanyakannya kepada PBB melainkan menanyakannya kepada Indonesia. Artinya, proses dekolonisasi secara internasional sudah selesai,” kata Yoedhi.

Yoedhi menegaskan bahwa pemerintahan presiden Jokowi bersungguh-sungguh ingin menyelesaikan masalah Papua. Termasuk dalam menangani dugaan pelanggaran HAM berat. “Kita sangat terbuka, tetapi bukan dalam kerangka fact finding,” tutur dia.

Pater Neles Tebay, mengatakan, saat ini sangat terbuka harapan bagi adanya dialog dengan pemerintah.

“Dialog nasional untuk Papua, dalam kepemimpinan Jokowi masih ada harapan,  bahwa presiden ini memiliki perhatian yang besar terhadap Papua. Kalau punya hati untuk Papua, maka dialog itu ada kemungkinan dapat terwujud,” kata dia.

Penulis: Eben E. Siadari 13:16 WIB | Sabtu, 15 Oktober 2016

Dari MPP TRWP, Amunggut Tabi Serukan Dukung Filep Karma tur keliling Jawa

Filep Jacob Semuel Karma, TAPOL/NAPOL Papua Merdeka, kini berada di pulau Jawa, berkeliling memobilisasi dukungan dari masyarakat Indonesia untuk penentuan nasib sendiri bangsa Papua. Membaca pemberitaan yang disampaikan TabloidJubi.com maka kami dengan bangga mendukung langkah-langkah yang dilakukan Filep Karma saat ini.

Sekretariat-Jenderal TRWP menyerukan agar mahasiswa Papua yang berada di perantauan, terutama di Pulau Jawa dan Bali, dan Sulawesi agar mendukung dengan berbagai cara, lewat doa, tenaga, dana dan airmata, atas apa yang dilakukan salah satu tokoh Papua Merdeka hari ini.

Sepeningganan Theys Eluay, Willy Mandowen, Thom Beanal (peinsiun), Nicolaas Jowe (peinsiun), Nick Messet (peinsiun), Fransalbert Joku (peinsiun), Alex Derey (peinsiun), Jams Nyaro (alm.), Jacob Prai (peinsiun), Otto Ondawame (alm)., Andy Ayamiseba (peinsiun), dan banyak tokoh lainnya, maka kita punya tokoh Papua Merdeka yang sudah tampil ke depan, mengorbankan semua-muanya, berjuang murni untuk Papua Merdeka, antara lain

  • Benny Wenda,
  • Filep Karma
  • Buktar Tabuni
  • Oktovianus Mottee
  • Jacob Rumbiak
  • Markus Haluk
  • Forkorus Yaboisembut
  • Edison Waromi

dan banyak lagi yang tidak dapat kami sebutkan, yang sudah nyata tidak dapat diragukan lagi, lewat organisasi seperti

  • ULMWP
  • PNWP
  • KNPB
  • WPNA
  • NRFPB
  • DAP
  • PDP
  • DeMMAK
  • IPWP
  • FWPC
  • WPNCL
  • WPPRO
  • ILWP

dan banyak lainnya yang tujuan pendiriannya ialah memperjuangkan kemerdekaan West Papua harus bergabung bersama, dan mendayung dalam satu irama.

Mari kita bersatu dalam kata dan langkah.

Untuk saat ini, kami mengundang mari kita dukung kegiatan Filep Jacob Semuel Karma di pulau Jawa saat ini. Mari kita bangun kebersamaan, samakan irama dan nada, karena kita sudah punya lagu perjuangan yang sama.

Dialog sejarah Papua, Filep Karma tur keliling Jawa

Jayapura, Jubi – Filep Karma, salah seorang tokoh gerakan Papua Merdeka, melakukan ‘tur keliling’ Pulau Jawa bertemu beberapa kelompok muda dan berdialog terkait sejarah kebangsaan dan perjuangan kemerdekaan West Papua.

“Saya keliling dalam rangka menyosialisasi pelurusan sejarah perjuangan West Papua kepada generasi muda Orang Asli Papua (OAP) maupun juga teman-teman rakyat Indonesia yang peduli kepada perjuangan West Papua,” kata Karma kepada Jubi Kamis, (17/11/2016).

Karma yang mantan tahanan politik di Biak dan Jayapura selama sekitar 12 tahun itu melakukan dialog dan sosialisasi khususnya kepada generasi muda Papua dan non Papua yang menurutnya masih gamang tempat berpijak dan belum paham sejarah West Papua.

“(khususnya kepada mereka) yang masih gamang tentang tempat berpijaknya karena selama ini mendengar sejarah West Papua secara sepihak dari versi TNI-Polri-Pemerintah saja,” kata dia.

Filep Karma saat mengunjungi LBH Semarang 28/10/2016 - ISTTur tersebut dilakukan sejak akhir September lalu di Bandung hingga 16 November 2016 di Bali. Selain Bandung, Karma juga mengunjungi Depok, Jakarta, Semarang, Solo, Surabaya, Sidoarjo hingga Bali.

Selain bertemu sebagian anak-anak muda Papua yang sekolah di kota-kota tersebut, Karma juga mengunjungi Lembaga Bantuan Hukum Semarang dan Bali, Kontas Jakarta dan Setara Institut untuk melakukan diskusi serupa.

Menurut Karma, topik-topik yang banyakd ditanyakan para peserta diskusi sepanjang turnya itu berkisar di soal pengalaman di penjara dan suka duka menjadi pejuang Papua Merdeka.

“”Banyak hal yang mereka tanyakan, seperti bagaimana rasanya masuk bui, bagaimana mau berjuang jika sudah berkeluarga, apa pengaruh Maklumat Kapolda Papua itu. Kalau Maklumat itu kan pengumuman saja, dan saya kira ‘’gak ngaruh’”kata dia dengan santai.

Bernardo Boma, seorang aktivis Aliansi Mahasiswa Papua di Semarang, yang ikut hadir dalam rangkaian kegiatan Filep Karma di Semarang 27-29 Oktober, mengaku kegiatan tersebut sangat membantu pihak-pihak memahami perjuangan rakyat Papua.

“Kehadiran Bapak Bangsa Papua membantu orang-orang di Indonesia untuk mendukung perjuangan rakyat Papua, termasuk solidaritas, menghilangkan stigma dari orang Indonesia terhadap perjuangan Papua,” ujar Boma kepada Jubi lewat sambungan telpon, Kamis (17/11).

Selama di Semarang, lanjutnya, selain memberi kuliah umum kepada mahasiwa/i Papua di ‘honai’, Filep Karma juga bertemu dan menggelar diskusi dengan Lembaga Bantuan Hukum Semarang, “bahkan Bapak juga hadir dan turut memberikan pesan belasungkawa atas kematian, Atma, salah seorang pengacara muda LBH Semarang,” kata dia.

Saat cara di Semarang, menurut Boma banyak teman-teman mahasiswa meminta motivasi semangat untuk berjuang, serta menciptakan persatuan antar orang Papua untuk penentuan nasib sendiri.

“Bapak berpesan, jangan pernah takut berjuang Papua Merdeka, walau harus keluar masuk penjara. Bapak juga ingatkan kami agar belajar sistem kebijakan Indonesia sebagai bekal dan siasat untuk perjuangan rakyat Papua sendiri menjemput kemerdekaannya,” kata Boma yang berasal dari Dogiyai itu.

Filep Karma, pasca keluar dari penjara tahun lalu, tampak setia hadir disetiap aksi-aksi penentuan nasib sendiri Papua dan keanggotaan ULMWP di MSG di Jayapura.

Mantal tapol yang sering mengatakan ‘keluar dari penjara kecil masuk ke penjara besar’ ini di Semarang berpesan siapapun yang berjuang untuk Papua Merdeka adalah orang Papua yang sejati, “walapun dia non Papua,” kata Boma.

Filep Karma mengakhiri turnya di Bali dan segera akan kembali ke Papua. “Hari terakhir bersama teman-teman Papua di Bali, saya menikmati ‘Denpasar Moon” karena posisi bulan lagi sangat dekat dengan bumi, setelah ini pulang ke Jayapura,” ujarnya menutup pembicaraan.(*)

Dr. Willy Esau Mandowen Telang Berpulang: TRWP Turut Berduka Cita

Dr. Willy Esau Mandowen
Dr. Willy Esau Mandowen

Willy Esau Mandowen ialah Pendiri FORERI, yang kemudian memajukan format perjuangan bangsa Papua menghadapi kekejaman NKRI di era Suharto sebagai presiden kolonial. FORERI kemudian memfasilitasi Dialog Nasional bangsa Papua dengan NKRI di Jakarta, yang hasilnya ialah Presiden Kolonial RI waktu itu B.J. Habibie memerintahkan di hadapan Panglima dan kabinetnya agar bangsa Papua pulang ke Tanah Papua dan “merenungkan” tuntutan Papua Merdeka.

Willy Esau Mandowen kita catat sebagai jantung dari perjuangan Damai yang mengedepankan dialog politik daripada aksi, demonstrasi dan kekerasan.

Pada tanggal 30 Oktober 2016, tepat pukul 09.10 West Papua Time di Rumah Sakit Dian Harapan Waena, dengan tenang telah berpulang ke Pangkuan Allah Pencipta Langit dan Bumi Papua, pencipta Alm. Willy Esau Mandowen.

Dari Markas Pusat Pertahanan Tentara Revolusi West Papua, dengan ini dengan menundukkan kepala dan meninggikan hati, menyatakan

TURUT BERDUKA-CITA SEDALAM-DALAMNYA

atas kepulangan ke Pangkuan Allah Bapa.

DR. WILLY ESAU MANDOWEN

 

dosen FKIP Universitas Cenderawasih, pelaku sejarah perjuangan damai bangsa Papua, formatur Foreiri dan Moderator Presidium Dewan Papua.

Kami sebagai sesama pejuang, berdoa kepada Tuhan Allah, melalui Putra-Nya Yesus Kristus, agar memberikan hikmat dan kepandaian Alm. kepada generasi muda Papua, sehingga dapat kita lanjutkan perjuangan ini, sampai penjajah NKRI keluar dari Tanah dan Bangsa Papua.

Dikeluarkan di: Markas Pusat Pertahan

Pada tanggal: 30 Kotober 2016

Sekretariat-Jenderal

 

Amunggut Tabi
Lt. Gen. TRWP BRN: A.DF.018676 

Berdoa Jutaan Kali, NKRI Tidak Akan Pernah Menebus Dosa-Dosanya atas Bangsa Papua

Menanggapi berbagai pemberitaan di media-media kolonial Indonesia dan berbagai jaringan aktifis Papua Merdeka, yang menuntut Presiden Kolonial NKRI Joko Widodo menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM Papua dan membandingkan peliputan media Indonesia terhadap pembunuhan terhada Wayang Mirna Solihin yang dilakukan oleh Jessica Kulama Wongso, jugra kritikan dan harapan-harapan dari organisasi LSM Indonesia Indonesia seperti Setara, Kontras, LBH dan lembaga milik kolonial Inodnesia seperti Komnas HAM, maka dari Kantor Sekretariat-Jenderal Tentara Revolusi West Papua, Lt. Gen. Amunggut Tabi mengatakan,

Orang Papua harus belajar kembali, doa orang Papua tidak dijawab Tuhan karena dua alasan: pertama karena salah berdoa, dan kedua karena jawaban ditunda, belum waktunya. Dan dalam hubungan NKRI – West Papua, jawaban salah berdoa lebih tepat. Biar berdoa jutaan kali, NKRI tidak akan pernah menebus dosa-dosanya atas bangsa Papua.

Mendengar pernyataan itu, PMNews kembali menggali lagi, supaya bila mungkin disebutkan sumber-sumber berita atau para pribadi yang mengharapkan kebaikan atau perbaikan datang dari NKRI, tetapi Gen. Tabi menolak, dan mengatakan, “Kalian semua kan bisa memonitor sendiri media semua terbuka sekarang, tidak sama seperti era orde baru kolonial Indonesia.”

Kemudian PMNews menyebutkan beberapa ungkapan atau ucapan oleh para tokoh Papua, dan lalu Gen. Tabi menggapinya sebagai berikut.

Ada orang Papua katakan bahwa biar pun 1000 kali presiden kolonial NKRI Joko Widodo mengunjuni Papua, tidak akan merubah nasib orang Papua? Apa tanggapannya?

Sangat benar! Itu pasti Orang Asli Papua yang bicara.

Ada orang Papua juga yang bilang, tidak ada orang Papua yang minta Papua Merdeka?

Oh, itu maksudnya yang dibilang oleh Lukas Enembe, gubernur kolonial NKRI, bukan? Ya, dia juga takut dong. Semua orang Papua, biar anggota TNI/ Polri, biar anggota BIN, biar menteri atau gubernur, siapapun, di dalam MKRI, pasti, ya, pasti di dalam nurani terdalam punya pertanyaan ini, “Kapan saya dibunuh NKRI?” itu ada, jadi semua yang dikatakan pejabat kolonial NKRI, oleh orang Papua, itu semua dalam rangka jaga-jaga diri dan nyawa.

Itu bukan karena disogok atau dibayar Indonesia. Itu karena rasa takut. Ya, masuk akal. Siapa orang Papua yang rela dibunuh karena alasan kita dilahirkan sebagai orang Papua, karena kita yang dilahirkan sebagia orang Papua menjabat sebagai pejabat kolonial sudah lama dijadikan dasar untuk berbagai macam hal-hal mematikan di tanah ini. Kita sudah belajar banyak, tidak perlu diragukan dan dipertanyakan.

Ada lagi orang Papua yang bilang, kok berita tentang peracunan dan pembunuhan yang dilakukan Jessica Kulama Wongso terhadap Wayang Myrna Solihin kok disiarkan siang-malam, sebanyak lebih dari 20 kali diliput, tetapi kok media kolonial Indonesia tidak sekalipun meliput berbagai pelanggaran HAM oleh NKRI di Tanah Papua?

Oh, itu yang dibilang Phillip Karma. Kami mengundang Phillip Karma untuk berdoa seribu kali, satu juta kali, supaya NKRi bertobat. Pasti tidak dijawab. Karena apa? Karena itu salah berdoa. Kenapa salah berdoa? Masa mengharapkan media kolonial menyiarkan korban dari bangsa jajahan di wilayah jajahan. Salah besar kalau Pak Karma msih punya harapan KRI akhirnya akan selesaikan masalah Papua. Itu kesalahan fatal. Seharusnya semua pejuang Papua Merdeka menaruh harapan kepada saudara-saudara sebangsa di Papua New Guinea, satu ras di Melanesia, daripada mengharapkan matahari terbit dari barat dan terbenam di timur.

Ada juga orang Papua yang menuntut Joko Widodo, presiden kolonial NKRI untuk tidak melulu kunjungi Papua tetapi selesaikan kasus-kasus HAM di Tanah Papua.

Itu harapan dari ELSAM, Lembaga HAM di Manokwari, Ketua-Ketua Sinode Kingmi, GIDI dan Baptis, GKI, dan lembaga-lembaga HAM di Tanah Papua. Harapan kosong! Salah berharap! Sama dengan salah berdoa tadi. Pertama orang Papua harus jawab dulu alasan NKRI menginvasi secara militer per 19 Desember 1961 dan menduduki tanah Papua sejak 1963 lewat UNTEA dan disahkan 1969 oleh PBB.

Alasannya bukan karena mereka mau bangun Papua. Mereka tergiur oleh kekayaan alam, Tanah Papua, bukan bangsa Papua.

Jokowi sebagai presiden Kolonial NKRi datang ke Papua tidak ada hubungan dengan orang Papua, apalagi HAM Papua. Hubungannya adalah kekayaan alam Papua. Dia sedang pulang-pergi memberikan arahan langsung dari muka ke muka kepada agen-agen ring satu di Tanah Papua membicarakan bagaimana mempercepat proses pengerukan hasil Bumi Tanah Papua, sehingga beberapa tahun ke depan saat mereka keluar dari Tanah Papua maka kekayaan yang tertinggal sudah ampas-ampas saja, semua yang mereka mau ambil sebagian besar sudah terjarah.

Sekarang kami mau tanya hal yang penting, terkait perjuangan Papua Merdeka. Kebanyakan lembaga Orang Asli Papua menuntut referendum, atau dialgoue kepada Jakarta, bagaimana ini?

Prinsipnya masih sama. Sama saja. Seharusnya tidak usah tanya, karena sudah jelas tadi.

Tujuan NKRI menginvasi secara militer, dan menduduki secara militer, ialah menguras dan menjarah kekayaan alam Papua. Titik di situ. Jadi tidak ada tujuan lain. Apa hubungan tujuan mereka ada di Tanah Papua dengan tuntutan orang Papua? Tidak ada, malahan merugikan kolonial, bukan?

Jaringan Damai Papua (JDP) bersama Dr. Neles Tebay yang minta dialogue dan tuntutan Pak Karma, tokoh Papua yang mina referendum, kedua-duanya tidak akan dipenuhi NKRI, karena bertabrakan langsung dengan tujuan kehadiran dan keberadaan NKRI sebagai penguasa kolonial di atas Tanah Papua.

Sekali lagi, harapan itu yang salah. Kita harapkan, kita berdoa agar NKRI berdialog, supaya NKRI memberikan kesempatan referendum kepada bangsa Papua itu yang salah.

Sekarang pemikiran kami semakin tersudut: tuntut penuntasan kasus-kasus HAM sulit; tuntut referendum susah, tuntut dialogue juga salah. Semua pemikiran-pemikiran cemerlang dari tokoh Papua sudah tersudut. Apa kira-kira arahan dari MPP TRWP?

Paradigma kita harus kita rombak. Cara kita berpikir dalam hungungan West Papua – NKRI harus kita rombak habis. Pertama, kita harus yakin dan petakan bahwa West Papua ialah wilayah jajahan NKRI, dan Indonesia ialah penjajah, bukan pemerintah, tetapi penguasa.

Siapa saja menyebut NKRI dengan istilah pemerintah Indonesia, berarti dari awal paradigma berpikir dalam hubungan NKRI – West Papua sudah salah.

Kalau sudah salah, pasti tuntutan juga salah.

Yang kedua, berdasarkan terms of reference atas dasar paradigma berpikir kita tadi, maka kita harus menuntut hal-hal apa saja yang bisa dikerjaka oleh NKRI. Sekali lagi, kita minta apa yang bisa dilakukan NKRI. Kalau meminta hal-hal yang di luar kemampuan NKRI, maka pasti mereka tidak akan menanggapinya.

Yang ketiga, kalau kita menuntut, kita juga dari hatinurani yang terdalam, harus punya jawaban bahwa tuntutan kita akan diberikan. Kalau masih ada ‘keraguan’ dalam hatinurani, maka kita harus sesuaikan diri dan tuntutan kita dengan kata-kata hatinurani.Kalau kita dari awal salah menuntut, jangan kecewa kalau tidak dijawab atau tidak terpenuhi.

Dari tiga saran ini semakin membuat kita menjadi sulit melihat jalan keluar?

Tidak usah terlalu rumit. Kita orang Melanesia, kita bukan hadir ke Bumi sebagai orang Melanesia tunggal. Kita harus percaya diri, bangga kepada diri sendiri, percaya kepada diri sendiri, dan sandarkan kepada kemampuan sendiri. Itu modal pemberian Tuhan, sejak penciptaan, bukan buatan NKRI, bukan frame Amerika Serikat bukan atas persetujuan Australia. Realitas kodrat kita orang Melanesia.

Nah, dunia kita di situ. Identitas kita di situ. Realitas kodrat kita itu. Jadi, kita bangun segala-sesuatu dari situ. Untuk mengkleim sebuah identitas, kita harus punya dasar pemikiran, paradigma yang benar, lalu dari situ kita mengejar apa yang kita anggap salah. Dasar pemikiran harus benar dan tepat. Kita harus punya pemikiran yang murni didaasrkan atas jatidiri kita sebagai orang Melanesia. Jangan membangun sebuah perjuangan, jangan merancang hal-hal berdasarkan kebencian kepada Indonesia, kedongkolan kepada NKRI, tetapi atas dasar realitas mutlak, ciptaan Tuhan semesta alam.

Apa masih bingung?

Mulai ada titik terang. Jadi, titik awalnya ialah “berdiri sebagia orang Melansia”, dan kemduian “bekerja dengan orang-orang Melanesia”. Tetapi kita bicara soal hubungan Melanesia dengan Indonesia?

Itu yang kami maksudkan.

Kapan? Berapa kali? Siapa pejuang Papua Merdeka atau tokoh Papua yang meminta dan menuntut Perdana Menteri PNG, Perdana Menteri Vanuatu, Perdana Menteri Solomon Islands, untuk datang membantu West Papua?

Kalau sudah pernah ada, siapa dan kapan itu pernah ada?

Kalau sudah salah alamat, jangan berharap surat Permohonn Anda akan dibalas, ya, namanya salah alamaat kok.

 

Perspektif Awal untuk Perjuangan Pembebasan Nasional Papua

Kamis, 22 September 2016, Jesus Anam dan Ted Sprague

Aksi Papua 19 Sept 2016Tidak mudah untuk memberikan penilaian teoritik terhadap perjuangan pembebasan nasional Papua dengan situasi obyektifnya yang sangat spesifik dan kompleks. Tapi sudah menjadi tugas kaum revolusioner untuk memberikan penilaian teoritik yang tepat terhadap bentuk-bentuk baru perjuangan yang lahir dari kehidupan, sebagai panduan untuk aksi revolusioner.

Perjuangan pembebasan nasional Papua memiliki kondisi obyektif yang cukup rumit. Karakter sosial masyarakatnya terpecah-pecah dengan perbedaan-perbedaan yang cukup tajam. Masyarakat tani gunung masih kental dengan karakter primordialisme kesukuannya. Hierarkinya masih kuat. Dan beberapa kelompok variannya masih melangsungkan corak produksi yang tradisional-tribal. Masyarakat pantai, karena sering bersinggungan dengan orang-orang dari luar Papua, memiliki karakter yang lebih maju dan cair, akan tetapi rantai kesukuannya masih tetap mengikatnya kuat-kuat. Masyarakat pendatang sebenarnya jauh lebih kosmopolit, tapi hampir seluruhnya tidak (atau belum) terlibat di dalam perjuangan ini, meskipun organisasi kepemimpinan perjuangan sudah membangun perspektif politik yang lintas ras dan agama. Namun kami tidak menempatkan kerumitan-kerumitan itu sebagai problem politik primer. Kami tidak menganalisanya dengan pendekatan sosiologis. Analisis kami bertumpu pada materialisme historis-dialektis. Di atas semua itu, hal yang cukup menyulitkan untuk membuat penilaian yang tepat, adalah belum adanya kelas pekerja dengan kuantitas dan kualitas yang memadai, sebuah elemen yang, dalam teori Marxis, paling menentukan di dalam perjuangan kelas revolusioner.

Basis kekuatan yang paling progresif untuk merebut kekuasaan, entah itu dalam rangka perjuangan untuk menggulingkan rezim kapitalis di suatu negeri ataupun perjuangan suatu bangsa untuk merdeka dari penjajahnya, adalah kelas buruh. Untuk konteks Papua, elemen progresif ini kuantitasnya masih kecil, bahkan belum bisa diidentifikasi secara jelas. Tetapi kesulitan ini tetap dapat diatasi bila kita melihat masalah kebangsaan Papua sebagai bagian tak terpisahkan dari perjuangan revolusioner kelas buruh di seluruh Indonesia – dan bahkan dunia – dalam menumbangkan kapitalisme. Dengan mendasarkan pada pemikiran Marx, Engels, Lenin dan Trotsky persoalan ini akan segera mendapatkan titik terangnya.

Perspektif mengenai masalah kebangsaan telah didiskusikan secara serius oleh Marx dan Engels dalam tulisan-tulisannya, kemudian dibawa dengan penuh semangat di Internasional Kedua—sebelum Perang Dunia Pertama. Selanjutnya menemukan formulasinya yang lebih jelas pada Lenin dan Trotsky dalam tulisan-tulisannya mengenai hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri. Untuk penjabaran yang lebih penuh pembaca bisa mengakses tulisan dari Alan Woods yang berjudul “Marxisme dan Masalah Kebangsaan” di situs Militan Indonesia.

Ada beberapa poin utama yang bisa ditarik dari perspektif Marxis mengenai masalah kebangsaan dan perjuangan pembebasan nasional. Pertama, kapitalisme yang telah memasuki krisis dan masa uzurnya niscaya mendorong pecahnya konflik-konflik nasional, tidak hanya antar negeri tetapi tetapi juga dalam negeri dengan munculnya gerakan-gerakan separatis. Pada akhirnya yang menjadi korban dari konflik-konflik nasional ini adalah rakyat pekerja.

Kedua, negara bangsa adalah salah satu hambatan terbesar bagi kemajuan umat manusia, yang di satu sisi memecah belah manusia lewat nasionalisme sempit dan berbagai variannya, dan di sisi lain menjadi rem bagi penggunaan penuh seluruh potensi ekonomi dunia. Globalisasi adalah pengakuan dari kaum kapitalis akan limit negara bangsa, tetapi di bawah sistem kapitalisme globalisasi menjadi sarana untuk semakin menindas rakyat pekerja. Oleh karenanya perjuangan kelas buruh – di dalamnya sebagai bagian tak terpisahkan, perjuangan pembebasan nasional – harus bersifat internasionalis, dengan program pembentukan Federasi Sosialis Dunia yang mengikat semua umat manusia dalam ikatan persaudaraan yang sejati.

Ketiga, perjuangan untuk hak menentukan nasib sendiri adalah perjuangan demokratik, dan seperti semua perjuangan demokratik lainnya ia subordinat pada kepentingan kelas buruh dan perjuangan sosialis secara keseluruhan. Dalam kata lain, hak penentuan nasib sendiri bukanlah hak yang absolut, dimana kaum buruh harus mendukungnya setiap saat dan dimanapun. Semua harus dikaji dengan pertanyaan: apakah ini akan mendekatkan buruh ke pencapaian sosialisme? Mengapa demikian? Karena dalam banyak kesempatan kita telah melihat dalam sejarah bagaimana kaum kapitalis menggunakan hak penentuan nasib sendiri untuk tujuan reaksioner. Contoh paling jelas adalah bagaimana Perang Dunia I dan II – yang pada dasarnya adalah perang imperialis untuk kepentingan modal – dibenarkan dengan dalih hak penentuan nasib sendiri, dengan dalih membela tanah air, menjaga kedaulatan, dan sebagainya. Maka dari itu, kaum Marxis bukanlah dogmatis, tetapi mempertimbangkan semua pertanyaan dari sudut kepentingan kelas.

Lemahnya kelas revolusioner secara kuantitas dan kualitas, yakni proletariat, di Papua membawa kami pada penilaian teoritis yang spesifik, dengan tetap mengkoneksikannya dengan internasionalisme proletariat, sehingga ini tidak menjadi hambatan absolut untuk perjuangan pembebasan nasional Papua. Jika hanya bertumpu pada basis kekuatan yang ada, maka akan sangat sulit untuk sampai pada tujuan itu. Mengkoneksikan perjuangan pembebasan nasional Papua dengan internasionalisme proletariat – dan khususnya perjuangan kelas buruh Indonesia – menjadi sebuah kata kunci.

Perlu ditambahkan perjuangan ini bukan perjuangan oleh “rakyat” Papua untuk “rakyat” Papua. Kata “rakyat” mengandung makna yang abstrak. Kata “rakyat” belum menunjuk pada suatu kelas, tetapi bisa mencakup semua kelas. Oleh karenanya perjuangan Papua Merdeka harus menarik garis kelas yang jelas, yakni bertumpu pada kelas proletar yang merangkul rakyat pekerja tertindas lainnya. Kelas borjuasi Papua tidak bisa diandalkan sama sekali sebagai pemimpin atau bahkan sekutu dalam perjuangan pembebasan nasional Papua. Kepentingan kelas mereka mengikat mereka pada imperialisme Indonesia.

Masalah Organisasional

Setelah berbicara mengenai perspektif politik, kita disajikan dengan pertanyaan organisasional yang sama pentingnya: Apa yang harus dilakukan, dan dari mana memulai? Persoalan mendasar yang terjadi di dalam perjuangan Papua Merdeka adalah belum terbangunnya pemahaman yang jelas mengenai proses dan arah perjuangan. Padatnya aksi-aksi telah melalaikan teori. Aksi-aksi, mulai dari demonstrasi, pemogokan hingga pemberontakan massa, adalah faktor yang menentukan untuk meraih kemenangan. Namun jika aksi-aksi itu tanpa teori, yang terumus dalam program dan metode, maka segala bentuk aksi tersebut akan menguap sia-sia. Seperti uap dalam kotak piston yang bolong-bolong. Uap itu akan berhamburan sia-sia, tidak menggerakkan apa-apa. Tanpa teori revolusioner tak mungkin ada gerakan revolusioner.

Pendidikan politik yang reguler dan disiplin adalah langkah paling pertama untuk membangun organisasi revolusioner yang mampu memimpin perjuangan pembebasan nasional di Papua. Pendidikan ini bukan sembarang pendidikan. Pendidikan ini adalah pendidikan Marxis, yang akan memberikan petunjuk lengkap mengenai perjuangan kelas. Kerja ini dimulai dari lingkaran kader, dalam bentuk sel-sel, yang selanjutnya diluaskan ke massa.

Tahapan kedua, mengkonsolidasikan keuangan revolusioner. Masalah keuangan adalah masalah politik dalam gerakan revolusioner, bukan masalah pembukuan semata. Perspektif politik memandu program organisasi, dan program organisasi akan memandu seberapa besar keuangan yang dibutuhkan. Mencetak Koran (termasuk membayar website), menerbitkan buku, menggaji full-timer, menyewa sekretariat, membeli mesin cetak dan segala kebutuhan organisasi merupakan kebutuhan riil yang tak terelakkan. Ini akan menjadi ukuran seberapa jauh organisasi telah melangkah dan meluaskan pengaruh gagasannya ke massa.

Dari mana keuangan revolusioner didapat? Jangan membayangkan keuangan revolusioner didapat dari para pendana asing, atau para pendana di luar keanggotaan organisasi, sebagaimana yang selama ini banyak dilakukan oleh kaum Kiri. Kemandirian finans akan memberikan kemandirian politik. Keuangan revolusioner didapat dari iuran anggota, dan bukan dari NGO, LSM atau lembaga-lembaga pendana.

Langkah penting yang ketiga adalah memproduksi koran revolusioner. Koran revolusioner, tulis Lenin, tidak hanya sekadar sebagai alat agitasi dan propaganda, tetapi sebagai organisator kolektif, sebagai perancah bangunan dalam proses konstruksi, yang memudahkan komunikasi di antara para konstruktor. Lebih jauh, koran revolusioner bukanlah lembaran-lembaran yang sesak dengan berita-berita tidak penting. Koran revolusioner adalah lembaran-lembaran kertas yang bertuliskan panduan untuk perjuangan.

Keberadaan koran sangatlah penting bagi kaum revolusioner yang ingin mewujudkan revolusi. Ketika kita berbicara tentang kaum revolusioner besar dalam sejarah, mereka tak pernah jauh dari lembaran-lembaran ini: Marx dengan Neue Rheinische Zeitung, Lenin dengan Iskra dan Pravda, Gramsci dengan Ordine Nuovo, James Connolly dengan The Workers Republic, Trotsky dengan Nasha Slovo, dan Rosa Luxemburg dengan Rote Fahne. Karena pentingnya peran koran dalam mewujudkan suatu tujuan, kaum borjuis pun melakukan hal yang sama—misalnya Surya Paloh dengan Media Indonesia, kelompok gereja dengan Kompas, kaum liberal dengan Koran Tempo, Hary Tanoesoedibjo dengan Koran Sindo, dll. Bahkan dalam cerita Revolusi Besar di Perancis, Jean-Paul Marat bukanlah siapa-siapa tanpa koran L’Ami du Peuple. Ini bukan suatu kebetulan. Koran merupakan pusat terdokumentasikannya gagasan-gagasan yang akan dialirkan ke massa agar mereka mendukung tujuan-tujuan tersebut.

Kenapa koran, dalam perspektif ini, ditempatkan di urutan ketiga? Koran tidak akan terbentuk sebelum ada pemahaman yang jelas, sebelum ada pendidikan yang reguler dan disiplin. Koran juga tidak akan terproduksi sebelum ada keuangan revolusioner di dalam organisasi perjuangan kelas. Tapi ketiga langkah penting ini posisinya dialektis. Ketiganya saling mendukung.

Penutup

Sebagai penutup, ada hal yang perlu ditekankan, untuk menghindari kesalahpahaman dan harapan yang berlebihan. Meskipun tak henti-hentinya kita melakukan kerja-kerja sistematis dan terencana, namun bukan berarti pembebasan nasional secara otomatis segera dicapai. Pandangan demikian adalah pandangan yang doktriner. Pembebasan nasional bisa saja terjadi jauh dari hari ini, atau, bisa juga, tanpa menutup kemungkinan, terjadi lebih cepat dari yang diharapkan, terjadi karena adanya ledakan-ledakan perlawanan spontan atau komplikasi-komplikasi politik yang tak terduga sebelumnya. Tugas dari gerakan revolusioner berbasis perjuangan kelas adalah merumuskan secara sistematis dan ilmiah panduan untuk perjuangannya sendiri. Tidak menaruh spekulasi-spekulasi dan berharap pada hal yang tak terduga. Perjuangan kelas bukan seperti permainan judi. Perjuangan kelas harus berpijak pada keyakinan, kerja keras, dan kemampuannya sendiri.

Demikian usaha awal kami, Militan Indonesia, untuk menganalisa problem teoritik dan organisasional dari perjuangan pembebasan nasional Papua, yang kami harap akan terus kami kembangkan sebagai panduan untuk aksi revolusioner. Sering kali kami menutup artikel yang kami tulis dengan seruan “Buruh Sedunia Bersatulah”, dan kali ini dalam menyikapi masalah kebangsaan Papua slogan ini mengambil makna tersendiri yang unik dan penting. “Buruh Sedunia Bersatulah” tidak bisa lagi hanya menjadi slogan di bibir tetapi harus menjadi panduan awal bagi semua kaum revolusioner di Papua khususnya dan di Indonesia umumnya bila kita serius ingin mencapai kemerdekaan 100% bagi rakyat pekerja.

LIPI Luncurkan Papua Road Map Jilid 2

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM -Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) hari ini (14/10) meluncurkan Papua Road Map (PRM) jilid II, yang merupakan revisi dari PRM yang sudah pernah diluncurkan pada tahun 2008. Peluncuran itu dilangsungkan di Auditorium Gedung Widya Graha,LIPI, Jakarta, melalui sebuah seminar berjudul Proses Perdamaian, Politik Kaum Muda dan Diaspora Papua: Updating Papua Road Map.

Deputi Ketua LIPI bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusian (IPSK-LIPI), Tri Nuke Pudjiastuti, dalam pidato pembukaan mengatakan PRM menawarkan empat agenda penyelesaian persoalan Papua yang saling terkait.

Pertama, rekognisi yang berorientasi pada pemberdayaan Orang Asli Papua sebagai kompensasi atas marjinalisasi dan diskriminasi yang mereka alami.

Kedua, pembangunan berparadigma baru dengan orientasi pada pemenuhan hak dasar rakyat Papua di bidang pendidikan, kesehatan, dan pelayanan publik.

Ketiga, dialog yang dilandasi rasa saling percaya sebagai bagian dari upaya berdamai dengan sejarah masa lalu dan untuk menyamakan persepsi melihat masa depan.

Keempat, rekonsiliasi yang berorientasi pada pengungkapan kebenaran atas kekerasan dan pelanggaran HAM yang dialami masyarakat Papua dan kesediaan otoritas negara untuk mengakuinya sebagai kekeliruan masa lalu.

Tri Nuke mengatakan Tim Kajian Papua LIPI telah melaksanakan berbagai kegiatan dan diseminasi untuk mendorong direkomendasikannya hasil kajian PRM, khususnya mengenai dialog sebagai bagian dari penyelesaian damai bagi Papua.

“Sayangnya rekomendasi hasil penelitian tujuh tahun yang lalu itu tidak diindahkan. Maka kompleksitas persoalan di Papua semakin tinggi,” kata dia.

Kini, kata dia, dalam rangka membantu merumuskan kembali makna dialog sebagai sebuah ‘strategi baru’, LIPI memutakhirkan data dan analisis lewat PRM ‘jilid’ dua ini.
Pemutakhiran data, menurut dia, difokuskan pada dua aspek. Pertama, pemetaan aktor dalam konflik Papua, yang dihubungkan dengan perkembangan gerakan politik kaum muda dan diaspora Papua di luar negeri.

Kedua, dialog sebagai pendekatan damai bagi Papua.

“Kedua hal ini dirasa paling signifikan mengalami perubahan dan merupakan elemen baru yang belum sempat dibahas pada buku PRM sebelumnya,” kata dia.

Hadir sebagai pembicara pada acara peluncuran PRM jilid II ini adalah Irjen Pol. Drs. Paulus Waterpauw, Kapolda Papua mewakili Kapolri, Mayjen TNI Yoedhi Swastono, deputi I/Koordinasi Bidang Politik DAlam Negeri Kemenpolhukam, Pater Neles Tebay, Koordinator Jaringan Damai Papua, Yan Christian Warinussy, direktur eksekutif LP3BH Manokwari, Adriana Elisabeth, kepala Pusat Penelitian Politik LIPI yang juga ketua tim penulis buku PRM jilid II. Seminar dipandu oleh moderator Latifah Hanum Siregar dari Aliansi Demokrasi untuk Papua.

PRM jilid II sampai saat ini masih dalam bentuk ringkasan karena masih memerlukan penyuntingan lebih mendalam. PRM jilid II diberi judul, Proses Perdamaian, Politik Kaum Muda, dan Diaspora Papua: Updating Papua Road Map. Tim penulis terdiri dari Adriana Elisabeth, Aisah Putri Budiatri, Amorisa Wiratri, Cahyo Pamungkas dan Wilson.

Ada pun PRM jilid I, yang diluncurkan pada 2008, diberi judul Negotiationg the Past, Improving the Present and Securing the Future. Ketua tim penulis buku PRM jilid I adalah Muridan S. Widjojo, yang sudah berpulang, bersama Adriana Elisabeth, Amirudin Al-Rahab, Cahyo Pamungkas dan Rosita Dewi.

Editor : Eben E. Siadari

Dialog Jakarta-Papua Kalah Cepat oleh Ujung Tombak Melanesia

Jayapura, Jubi – Dialog Jakarta-Papua, yang menjadi agenda Jaringan Damai Papua (JDP) sejak buku Papua Road Map (2009) diluncurkan, hadir dalam bentuk lain lewat siaran televisi langsung Papua Lawyers Club (PLC), Rabu malam (10/8/2016) di salah satu stasiun televisi di Jayapura.

“Topik ini terasa provokatif,” ujar Adriana Elizabeth, yang hadir mewakili peneliti LIPI dan sempat terlibat di dalam proses penyusunan buku Road Map Papua. Topik dialog pada malam itu mengambil tema ‘Mengakhiri Pertarungan Pemerintah Indonesia VS ULMWP’.

“Pertarungan itu mensyaratkan perbedaan melihat akar masalah, dan itu memang masih relevan. Karena upaya penyelesaiannya dari pihak pemerintah, belum maksimal,” ujar Adriana di sesi ketiga dialog yang dimoderatori oleh Anton Raharusun, SH tersebut.

Penyelesaian masalah di dalam negeri

Adriana percaya bahwa pemerintah, melalui Luhut Pandjaitan yang sempat ditemuinya, sedang berupaya menyelesaikan Papua lebih demokratis. “Saya rasa pemerintah cukup responsif mendengar masukan-masukan dari JDP dan LIPI, agar ada pendekatan holistik.” Tetapi dia tampak menyayangkan, bahwa apa yang didengarkan oleh pemerintah berbeda di tataran praktik lapangan.

Hal itu, lanjutnya, menyebabkan akar masalah Papua tidak tertangani. “Makanya kami sejak awal mengajak dialog, agar masalah ini tidak keluar,” ujar dia.

Masalah yang dimaksud Adriana, sebetulnya sudah jelas dalam perumusan Peta Jalan Papua sejak tujuh tahun lalu, semasa almarhum Muridan Widjojo, intelektual LIPI yang sangat membekas di hati orang Papua, masih hidup. Peta Jalan Papua itu dirumuskan setelah melalui banyak forum konsultasi dengan berbagai pemangku kepentingan di Papua Barat, termasuk kelompok-kelompok pro kemerdekaan.

Tetapi tampaknya, hal tersebut luput singgah di pikiran Asisten Deputi Bidang Otonomi Khusus Menkopolhukam, Brigjen Herwin Suparjo, satu-satunya narasumber yang hadir dengan kemeja putih bersih pada kesempatan itu.

Dia menilai, isu-isu HAM terkait Papua tidak perlu dipolitisir. Menurut dia, dengan mengundang beberapa Duta Besar negara Pasifik berkunjung ke Papua, pemerintah hendak menunjukkan Papua secara langsung. “Kita perlihatkan fakta saja ke Duta-duta besar Melanesia itu, biarkan MSG yang menilai,” ujarnya.

Ketika disinggung terkait kasus-kasus pelanggaran HAM yang sampai sekarang belum tampak ada titik terang penyelesaian, Herwin mengatakan bahwa pihaknya sedang meneliti kasus-kasus mana yang kriminal dan mana yang politis.

Terhadap MSG, lanjut Herwin, “pemerintah tidak sedang meyakinkan, tetapi membiarkan para wakil MSG melihat sendiri isu-isu tersebut.”

Pdt. Sofyan Yoman menyesalkan pemerintah Indonesia yang masih saja tidak mengakui berbagai persoalan pelanggaran HAM di Papua yang terus terjadi. “Ini bukan isu lagi, Pak. Tidak bisa dibilang isu,” ujarnya lantang.

“Coba kita lihat dulu wajah Indonesia di Papua ini. Orang Papua punya toko kah tidak? Hotel? Restoran? Inilah sebagian wajah pembangunan di Papua. Indonesia sudah gagal secara ekonomi,” kata Sofyan, yang belum lama ini juga melawat Australia untuk bertemu wakil-wakil gereja untuk mendiskusi laporan situasi HAM dan keadaan lingkungan di Papua.

“Proses integrasi Papua ke Indonesia itu tidak adil, militer yang mengintegrasikannya. Kita kembali saja ke Peta Jalan yang dibuat LIPI, kenapa sampai sekarang pemerintah tidak pakai landasan itu?” lanjut Sofyan.

Pendeta Sofyan menganggap pembentukan ULMWP saat ini adalah tindakan cerdas rakyat Papua yang berjuang untuk penentuan nasib sendiri. “Jangan pikir negara-negara Pasifik itu kecil. Mereka negara berdaulat. Mereka anggota PBB dan punya hak suara di sana,” ujarnya.

Di depan tokoh-tokoh gereja, lanjut Sofyan, pemerintah melalui Menkopolhukam pernah berjanji untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM Paniai secepatnya, tetapi hingga sekarang tidak terjadi. Bagi Sofyan, Indonesia hanya tidak mau mengakui persoalan pelanggaran HAM di Papua sebagai realitas.

Adriana Elizabeth mengakui bahwa pemerintah sudah terlambat, tetapi ia masih meyakini dialog penyelesaian HAM adalah arena yang paling mungkin untuk mempertemukan berbagai pihak. Dia memahami, proses integrasi utuh Papua ke Indonesia tidak terjadi di semua aspek sosial, politik ekonomi dan kebudayaan.

Dan sayangnya, menurut dia, “Strategi pemerintah masih saja bersifat ad-hoc (sementara) tidak ada strategi jangka panjang, sementara tuntutan terhadap self determination sudah pasti tidak akan mungkin dipenuhi Indonesia.”

Persaudaraan Melanesia di Pasifik

Herwin Suparjo mengatakan bahwa kehadiran Indonesia mewakili sekitar 11 juta ‘warga Melanesia’ di 5 propinsi Indonesia (Papua, Papua Barat, NTT, Maluku dan Maluku Utara) atau yang dikonsepkan sebagai Melindo (Melanesia Sperhead Group) oleh pemerintah Indonesia.

Namun, berbeda menurut Victor Yeimo, ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB), yang juga hadir mewakili tim kerja dalam negeri ULMWP di pertemuan KTT MSG Juli lalu di Honiara. Menurut dia, Indonesia baru menoleh ke Pasifik sejak 2010, sementara rakyat Papua Barat telah menjalin hubungan persaudaraannya selama lima puluh tahun.

Menurut Victor, proses pencarian identitas Papua selema puluhan tahun, mendapatkan pertolongan pertamanya dari saudara-saudari Melanesia. “Melanesia tidak lengkap tanpa Papua Barat,” katanya.

Sementara pembentukan Melindo, lanjut Victor, adalah proyek politik belaka. “Melindo bukan Melanesia, dan hal tersebut dikatakan jelas oleh pemimpin MSG, bahwa selain Papua dan Papua Barat, ketiga propinsi lain adalah Polynesia.”

Victor menganggap, pemerintah Indonesia tidak mengerti bahwa MSG itu dibentuk untuk membebaskan wilayah-wilayah Melanesia dari kolonialisme. “Jadi agenda dekolonisasi adalah misi dasar MSG,” ujar Yeimo. Para pemimpin MSG, lanjut Victor, sangat memperhatikan isu-isu pelanggaran HAM di Papua dan kehendaknya menentukan nasib sendiri.

“Ini bukan lagi isu main-main, tetapi sudah menjadi isu dan agenda di negara-negara Melanesia, hingga ke akar rumput,” kata Viktor sambil tetap mengapresiasi hubungan diplomatik Indonesia dengan Melanesia secara ekonomi sambil mengritik upaya pendekatan politik pemerintah Indonesia di Pasifik. .

“Pemerintah Indonesia tidak pernah mengajukan aplikasi resmi ke MSG untuk menjadi anggota, mereka datang hanya dengan agenda ekonomi,” ujarnya.

Hal itu, menurut dia, membuat pemerintah-pemerintah Melanesia tersinggung, karena pembentukan MSG bukan bertitik tolak pada kepentingan ekonomi, melainkan persaudaraan Melanesia.

Adriana membenarkan bahwa dukungan terhadap ULMWP di Pasifik sangat kuat hingga ke akar rumput, sementara Melindo tidak kuat. “Indonesia hanya berhubungan G to G (pemerintah ke pemerintah), tidak mengakar,” ujarnya.

Oleh karena itu, lanjut Adriana, diperlukan konsolidasi politik untuk memungkinkan negosiasi. “ULMWP sudah progres luar biasa, pemerintah jangan menyangkalnya, tetapi dijadikan refleksi kenapa itu bisa terjadi.”

Juli lalu, Manasye Sogavare, Perdana Menteri Kepulauan Solomon yang juga Ketua MSG, dalam sebuah wawancaranya dengan wartawan Jubi di Honiara, Solomon, mengatakan bahwa masalah Papua saat ini sudah menjadi masalah bukan hanya Melanesia, tapi juga Pasifik, terutama negara-negara di Mikronesia dan Polinesia.

Sulitnya menemukan Common Ground

Tidak mudah menemukan landasan pijak bersama untuk mengatasi persoalan Papua yang suda menyejarah ini.

Septer Manufandu, Deputy Jaringan Damai Papua, menjelaskan bahwa persoalan menjadi berlarut-larut karena perjuangan rakyat Papua yang mencari identitas politiknya, yang saat ini sudah diwakili oleh ULMWP, tidak diakomodir oleh negara.

“Indonesia belum melihat nasionalisme Papua sebagai bagian dari konstruksi nasional bangsa Indonesia,” ujarnya. Karena tidak mendapatkan tempat di negeri ini maka proses pencarian tersebut terawat baik sampai sekarang.

Septer menyarankan agar pemerintah mau duduk berdialog dengan kelompok-kelompok yang berseberangan, “jangan dialog dengan kelompok-kelompok buatan,” ujarnya. Dalam dialog itu nanti, lanjut Septer baru bisa ditentukan apakah rumah Indonesia masih cocok untuk Papua.

Berbeda dengan Septer, Victor Yeimo mengatakan ULMWP belum punya kesiapan untuk berdialog dengan pemerintah Indonesia, karena tugasnya untuk menjalankan perjuangan di level regional dan internasional. “Indonesia dan Papua Barat sudah satu level sekarang di MSG. Hari ini, Melanesia adalah honai kami,” tegas Victor.

Internasionalisasi isu Papua memang telah gagal dibendung pemerintah Indonesia. Seperti yang telah dikatakan Perdana Menteri Sogavare Juli lalu, dirinya telah berkirim surat kepada Presiden Joko Widodo untuk membahas masalah Papua, namun permintaan dalam surat tersebut ditolak. Surat tersebut dikirim olehnya dalam kapasitasnya sebagai Ketua Melanesia Spearhead Groups.

“Saya mengirimkan surat untuk dua hal. Pertama untuk membahas masalah Papua dalam kapasitas saya sebagai ketua MSG, sebab Indonesia adalah anggota assosiasi dan Papua adalah pengamat dalam MSG. Kedua, meminta agar Indonesia sebagai anggota assosiasi mulai membuka diri untuk membahas masalah Papua di forum MSG. Namun kedua permintaan tersebut tidak mendapatkan respon positif dari Indonesia,” ujar Sogavare.

Acara dialog berakhir tanpa kesimpulan. Tetapi siaran Dialog PLC ini, seperti kata Pdt. Sofyan Yoman, telah membuka ruang pendidikan politik bagi rakyat Papua yang menilai.

Mayoritas anak-anak muda beratribut kaos merah dan jacket hijau army, tampak antusias hadir mendengarkan langsung dialog tersebut. Mereka bertepuk tangan spontan beberapa kali, sebagai tanda setuju menanggapi beberapa pernyataan penting yang meluncur dari beberapa pembicara yang mereka dukung.

Tidak ada represi dalam ruangan itu. Semua bebas bicara apa adanya. Sebuah ruang yang hingga saat ini, belum diberikan oleh pemerintah Indonesia sendiri.(*)

Ada Pengakuan Negara Terhadap Politik Papua

LIPI dan sejumlah LSM serta individu di Jakarta selama ini bersuara bahwa di Papua itu persoalan utama adalah politik maka pendekatan harus politik, dialog atau referendum.

Tetapi, selama ini pemerintah klaim tak ada soal politik di Papua. Dan dianggap soal Papua adalah soal eknomi, pendidikan dan kesejahteraan. Juga pemerintah mengatakan di Papua itu tidak ada TPN-OPM, yang ada adalah kelompok kriminal bersenjata, kelompok pengacau keamanan dan lainnya. Intinya tak ada pengakuan bahwa ada TPN- OPM di Papua.

Namun tak sadar, apa yang pemerintah klaim itu, bahwa kini, pengakuan itu datang tanpa disadari, secara logika pemerintah sudah mengakui ada tiga peristiwa pengakuan akan eksisnya TPN-OPM dan persoalan Papua adalah persoalan politik.

Pertama, koran Rakyat Merdeka Edisi 22 Maret 2016, Halaman 2 memberitakan, pengakuan kepala BIN, Sutiyoso atas keberadaan TPN-OPM di teritory Papua dan Papua Barat.

Kedua, waktu lalu, Menkopolhukam, Luhut B. Panjaitan datang ke Jayapura dan kunjungi makam Pemimpin Besar Bangsa Papua, Alm. Theys Hiyo Eluay. Saat ia datang, lukisan-lukisan bintang kejora (Gambar Bendera Papua) di makam tersebut ditutup dengan kain putih dan menabur bungga.

Ketiga, Jokowi saat diwawancara wartawan Aljazera mengakui bahwa ia sadar ada gerakan politik yang kini mulai pengaruhi Pasific.

Sekarang sudah ada pengakuan terbuka oleh Indonesia atas persoalan politik bangsa Papua (Melanesia). Tapi, Indonesia tetap malas tahu dan masih lihat dari kacamata kesejahteraan. Indonesia abaikan dialog dan referendum.

Tidak mengapa, yang penting pengakuan itu secara tidak langsung sudah naikan status masalah Politik Papua di Pasific, Afrika, Rusia, dan China serta Eropa.

Papua saat ini sudah terdaftar sebagai salah satu wilayah bersama 60 bangsa lain yang berjuang untuk kemerdekaan dan segera akan terdaftar di komisi dekolonisasi PBB. Setelah itu, masuk pada tahapan referendum.

Proses ini berjalan karena rakyat yang terus melawan atas mediasi KNPB dan organisasi lainnya. Ini terjadi karena rakyat terus mendukung ULMWP dengan berbagai cara, aksi, dana dan doa.

Jadi bangsa Melanesia dan lebih khususnya orang Papua sadar bahwa Indonesia atau siapapun tidak akan memberikan kemerdekaan West Papua, kalau orang Papua sendiri berdiam diri. Merdeka akan di raih hanya dengan berjuang, doa, memberi sumbangan dana pada organisasi payung ULMWP serta terlibat dalam demonstrasi-demontrasi yang dibuat oleh rakyat Papua yang dimediasi oleh gerakan-gerakan yang ada di tanah Papua, semacam KNPB, Garda, AMP, dan lainnya untuk mendapatkan simpati dunia menuju referendum Bangsa Papua yang merdeka. (*)

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny