111 Negara Dukung Papua Merdeka

JAKARTA (BK): Menteri Luar Negeri Republik Federal Papua Barat Jacob Rumbiak sesumbar mereka bisa merdeka dan berdaulat paling lambat dua tahun lagi. Bahkan, ia mengklaim sudah mendapat dukungan dari 111 negara, termasuk Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Kanada, dan Jepang.

Republik Federal Papua Barat merupakan pemerintahan sementara gerakan separatis Papua yang dibentuk berdasarkan kongres ketiga di Jayapura, pertengahan Oktober tahun lalu. Republik Federal ini menggantikan Otoritas Nasional Papua Barat dideklarasikan delapan tahun lalu.

Rumbiak berharap Jakarta mau memberikan pengakuan kemerdekaan terhadap Republik Federal Papua Barat. “Jadi tidak perlu menggelar referendum seperti waktu di Timor-Timur. Itu menghabiskan uang saja,” kata Rumbiak.

Situasi di Papua kembali mendapat sorotan internasional setelah Wakil Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Mako Tabuni tewas ditembak, Kamis pekan lalu.

Polisi mengklaim dia melawan saat akan ditangkap bersama pegiat KNPB lainnya. Polisi menggrebek markas KNPB yang dituding terlibat penembakan terhadap warga asing dan aparat keamanan.

Kondisi Papua tak pernah aman ini menjadi bahasan dalam sidang Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa di Kota Jenewa, Swiss, bulan lalu.

Semua perkembangan itu makin menguatkan tekad para tokoh prokemerdekaan buat membebaskan Papua dari Indonesia.
Berikut penjelasan Rumbiak mengenai persiapan kemerdekaan Papua saat dihubungi Faisal Assegaf dari merdeka.com melalui telepon selulernya, Rabu (20/6):

Bagaimana komentar Anda soal penembakan di Papua?

Jangan alihkan isu Papua dengan penembakan misterius. Kalau Jakarta serius ingin berdialog, bebaskan seluruh tahanan politik dan tarik semua personel keamanan dari Papua.

Anda ingin dialog atau merdeka?

Jakarta sudah tahu keinginan kami buat merdeka. Jadi tidak perlu menggelar referendum seperti waktu di Timor-Timur. Itu menghabiskan uang saja. Lebih baik, Jakarta memberikan pengakuan saja, jadi kami bisa cepat mengurus negara kami sendiri.

Memangnya Papua sudah siap menjadi negara sendiri?

Kami punya kekayaan alam. Kalau Jakarta dan kami bisa bersahabat dan pisah baik-baik, kami nanti bisa bantu Indonesia.

Sudah bentuk pemerintahan?

Dalam Kongres ketiga di Lapangan Sakeus, Jayapura, 19 Oktober 2011, kita sudah mendeklarasikan Republik Federal Papua. Kongres selama tiga hari sejak 17 Oktober itu sudah membentuk Dewan Nasional Papua Barat yang sudah memilih Presiden Republik Federal Papua Barat Forkorus Yaboisenbut dan Perdana Menteri Edison Warumi. Deklarasi itu didukung tujuh wilayah adat di Papua.

Siapa saja sudah mendukung Papua buat merdeka?

Dari dokumen pemerintah Indonesia, ada 14 negara mendukung penuntasan kejahatan kemanusiaan di Papua. Dokumen di luar negeri yang kami ketahui, ada 97 negara mendesak pengiriman misi PBB di Papua. Sokongan itu juga termasuk dari Amerika Serikat, Prancis, Inggris, Kanada, Jerman, dan Jepang. Negara-negara Amerika Latin, seperti Cile dan Meksiko, juga sudah menyatakan dukungan. Total ada 111 negara. Negara-negara ini pula yang kami harap dalam Sidang Majelis Umum PBB September mendatang, mendorong pengakuan Republik Federal Papua Barat sebagai sebuah negara merdeka dan berdaulat.

Memangnya, pihak Anda sudah mengirim surat permohonan?

Surat itu sudah kami kirim tahun lalu.

Apalagi persiapan untuk merdeka?

Akhir tahun ini, kami akan membuka mission desk di PBB buat memperjuangkan pengakuan kemerdekaan Papua.

Minta pengakuan kemerdekaan dari Jakarta tidak mungkin, jadi kapan kira-kira diakui oleh PBB sebagai negara?

Paling lambat dua tahun lagi. Tapi sebenarnya bisa lebih cepat dari itu kalau Jakarta mau memberi pengakuan segera.

Jadi Anda bakal memanfaatkan momentum pemilu di Indonesia?

Kami berharap kandidat atau presiden baru Indonesia pada 2014 siap bekerja sama dengan negara baru bernama Republik Federal Papua Barat.

Kalau sudah merdeka, Anda bakal menuntut pejabat Indonesia ke mahkamah internasional?

Kami tidak akan menuntut para jenderal karena mereka cuma melaksanakan perintah. Yang akan kami tuntut pembuat keputusan politik, yakni pemerintah dan DPR. Tapi kalau mereka mengaku salah kami akan mengampuni. Kami orang-orang penuh cinta kasih, tidak suka membunuh.

Mulai dari pemerintahan siapa?

Mohamad Yamin.

Biodata
Nama : Jacob Rumbiak
Tempat/Tanggal Lahir : Ayamaru (Sorong), 11 Maret 1955 (di paspor tertulis 1958)
Agama : Protestan (lebih senang disebut pengikut Yesus)
Alamat : Merlbourne, Negara Bagian Victoria, Australia
Hobi: Menyanyi dan bermusik
Status : Menikah dengan perempuan keturunan Irlandia dan memiliki tiga putra
Pendidikan
Sarjana Matematika, lulusan dari IKIP Bandung
Pernah kuliah di jurusan Fisika ITB
Jabatan
Menteri Luar Negeri Otoritas Nasional Papua Barat (Agustus 2004 – Oktober 2011)
Menteri Luar Negeri Republik Federal Papua Barat (Oktober 2011 – sekarang)

(mer/bk-1)

Kongres Amerika tak Setuju Papua Merdeka

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Anggota Kongres Amerika Serikat Eni Faleomavaega menegaskan pihaknya tidak mendukung kemerdekaan Papua, tetapi menyetujui otonomi khusus bagi provinsi itu sebagaimana Republik Indonesia memberlakukannya di Aceh.

“Dia (Eni Faleomavaega, red.) berharap pemberlakuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua secara serius dan konsisten oleh pemerintah RI,” kata anggota Kongres DPR RI-AS Eva Kusuma Sundari dari Washington D.C. kepada ANTARA di Semarang, Kamis malam, usai pertemuan dengan politikus Demokrat AS itu di Gedung House of Representatives (DPR) AS.

Eva yang juga anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan itu menjelaskan bahwa Congressman Eni Faleomavaega merupakan perwakilan dari Pulau Samoa. Politikus Demokrat AS ini pernah melakukan hearing isu genosida di Papua, September 2010.

Dalam pertemuan itu, Ketua Kaukus DPR RI-AS sekaligus Ketua Desk Aceh dan Papua di DPR RI, Priyo Budi Santosa, menginformasikan upaya serius pemerintah RI untuk memperbaiki situasi di Papua melalui

pembentukan Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UKP4B). “Unit ini dipimpin oleh pejabat setingkat menteri,” katanya menjelaskan dalam pertemuan itu.

Anggota Kaukus DPR RI-AS dari PKB asal Daerah Pemilihan Papua, Peggy Patrisia Pattipi, menegaskan bahwa situasi keamanan di Papua sudah membaik walau masih terjadi perang antarsuku di daerah pegunungan yang masih dalam pengendalian aparat negara.

Di lain pihak, Eva Kusuma Sundari (PDI Perjuangan) dan Akbar Faisal (Hanura) meminta dukungan Eni Faleomavaega terkait dengan upaya pemerintah RI untuk merenegosiasi kontrak RI-Freeport dan perusahaan-perusahan tambang AS yang lain agar ada pembagian hasil yang lebih adil bagi RI dan Papua.

Pada kesempatan itu, Eni Faleomavaega menyetujuinya bahkan meminta RI juga menyoal pemberian upah para pekerja PT Freeport Indonesia yang lebih rendah daripada upah pekerja Freeport di negara-negara lain, apalagi PT Freeport Indonesia mendapat laba terbesar.
Redaktur: Hafidz Muftisany
Sumber: Antara

AS Siap Kirim Pasukan untuk Memerdekakan Papua

itoday – Asing akan tetap melibatkan diri dengan urusan Papua. Itulah yang menjadi perhatian Hariyadi Wirawan ketika diwawancarai itoday, Senin (20/2).

“Asing terlibat karena persoalan Papua tidak pernah selesai,” tutur pengamat hubungan internasional Universitas Indonesia ini.

Menurutnya, apa yang terjadi di Papua sekarang, jelas mengikuti skenario kemerdekaan Kosovo, yang berhasil memerdekakan dirinya dengan bantuan lembaga internasional. Hal ini terlihat dengan didaftarkannya kemerdekaan Papua Barat ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) minggu lalu.

“Jika asing melihat masalah Papua sebagai sebuah isu internasional yang hangat, dan menganggap Indonesia tidak peduli. Maka kesempatan Papua untuk merdeka akan semakin besar,” jelasnya.

Hariyadi mengingatkan, keberadaan AS di Darwin, Australia, walau sebenarnya adalah untuk membendung Cina, tetapi jika masalah Papua semakin memanas, dan memperoleh pengakuan lembaga internasional sebagai sebuah negara merdeka, maka pangkalan AS di Darwin akan menjadi pangkalan yang bersifat multifungsi.

“AS akan mengerahkan pasukannya di Darwin guna melindungi Papua, jika Indonesia nantinya menolak kemerdekaan Papua yang disahkan PBB secara sepihak,” kata Hariyadi.

Apa yang dikatakan Hariyadi mengenai ancaman pangkalan AS di Darwin memang tidak bisa dianggap enteng. Sebab posisi Darwin sangat untuk mendukung posisi AS di ASEAN dan Laut Cina Selatan, atas Cina dan Rusia.

Tidak hanya itu, posisi Darwin juga memudahkan AS untuk mengirimkan pasukannya dengan menggunakan kapal selam dan kapal induk, ke berbagai belahan dunia, khususnya Asia Pasifik.

Bagi Hariyadi, alasan mengapa masalah Papua tidak pernah selesai, karena pemerintah selalu menggunakan cara represif dengan menggunakan kekuatan bersenjata. Sedangkan cara pendekatan lainnya kurang maksimal, sebab tim yang dibentuk selalu saja tidak bekerja dengan semestinya.*

“Pasukan AS di Asia Tak Berkaitan Kasus Papua”

JAKARTA – Duta Besar Amerika Serikat (Dubes AS) untuk Indonesia Scot Marciel menegaskan penempatan pasukan AS di wilayah Asia tidak bertujuan untuk mengganggu negara lain dan AS menghormati kedaulatan setiap negara.

Rencana pengerahan 2.500 pasukan AS di Papua cukup mengkhawatirkan beberapa negara di kawasan Asia seperti halnya China. Namun AS sebelumnya sudah menegaskan keberadaannya di Asia tak bertujuan untuk mengganggu negara mana pun.

“Ini adalah perjanjian dan bentuk aliansi dari AS dan Australia yang sudah terjalin sejak dulu. Kami berada di wilayah itu untuk memelihara perdamaian,” ujar Dubes AS untuk Asean David Carden, di kantor Kedutaan Besar AS di Jakarta, Selasa (22/11/2011).

AS juga menegaskan keberadaan militer AS itu juga tak ada kaitannya dengan masalah Papua. Seperti halnya yang saat ini terjadi, kekerasan di Papua pun meningkat dan perusahaan AS dinilai menjadi pihak yang bertanggung jawab atas eskalasi kekerasan itu.

“Keberadaan militer AS tidak berkaitan dengan Papua, kami mendukung kedaulatan Indonesia,” tegas Dubes Marciel.

Pada Oktober lalu, Asisten Menteri Luar Negeri AS Kurt M Campbell juga sudah menyatakan keprihatinan dan juga kekhawatirannya terhadap kasus Papua. Mereka juga menyadari isu ini merupakan isu sensitif yang di alami Indonesia.

Campbell tetap menyarankan agar diadakannya dialog antara pihak PT Freeport, Pemerintah Indonesia dan masyarakat Papua.

Updated: Tue, 22 Nov 2011 04:21:05 GMT | By rani, okezone.com

AI : Pemerintah Indonesia Harus Tindak Lanjuti Temuan Komnas HAM

JUBI — Pemerintah Indonesia diminta segera bertindak atas temuan Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang menyatakan pelanggaran HAM dilakukan oleh pasukan keamanan Indonesia di Kongres Rakyat Papua (KRP) III pada tanggal 19 Oktober 2011 lalu. Demikian isi release Amnesty Internasional (AI) yang diterima oleh tabloidjubi.com (8/11).

Tim investigasi Komnas HAM menemukan berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang diduga dilakukan oleh pasukan keamanan Indonesia, termasuk memulai tembakan pada peserta KRP III. Komnas HAM sendiri telah meminta Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk menyelidiki pelanggaran HAM.

Temuan ini sudah dilaporkan kepada Presiden pada tanggal 7 November, namun kantor kepresidenan menolak temuan tersebt dengan alasan polisi masih menangani kasus tersebut.

AI meminta pihak berwenang Indonesia harus melakukan investigasi independen, menyeluruh dan efektif atas temuan Komisi. Jika investigasi menemukan bahwa pasukan keamanan melakukan pembunuhan di luar hukum atau penyiksaan atau perlakuan buruk lainnya, maka mereka bertanggung jawab, termasuk orang yang memberikan komando. Mereka harus dituntut dalam proses yang memenuhi standar internasional tentang keadilan dan korban diberikan reparasi.

Kegagalan untuk membawa pelaku pelanggaran ini ke pengadilan dalam sebuah pengadilan yang adil akan memperkuat persepsi bahwa pasukan keamanan di Papua tak dapat dipercaya.

Menurut Komnas HAM, tiga orang yang ditemukan tewas mengalami luka tembak di tubuh mereka. Komisi tidak dapat mengkonfirmasi apakah mereka dibunuh oleh polisi atau militer, dan telah meminta penyidik ​polisi forensik untuk memeriksa peluru yang ditemukan disekitar lokasi kejadian. Komnas HAM juga menemukan bahwa setidaknya 96 peserta telah ditembak, ditendang atau dipukuli oleh petugas polisi.

Komnas HAM lebih lanjut melaporkan bahwa pasukan keamanan telah menyerbu sebuah biara Katolik dan seminari. Mereka ditembak di gedung dan memecahkan jendela ketika para rohaniawan menolak untuk menyerahkan warga yang bersembunyi. Komnas HAM juga mengangkat kekhawatiran bahwa pasukan keamanan telah menyita ponsel, komputer laptop, printer, kamera, mobil, sepeda motor dan jutaan rupiah uang tunai, dan menyerukan untuk item ini harus dikembalikan kepada pemilik.

Komnas HAM juga menegaskan, bertentangan dengan pernyataan pihak berwenang Indonesia bahwa Kongres adalah ilegal, bahwa Menteri Hukum, Politik dan Keamanan Indonesia sebenarnya sudah mengarahkan Direktur Jenderal Otonomi Daerah, Departemen Dalam Negeri, untuk menghadiri Kongres dan memberikan pidato pembukaan.

Komisi membuat serangkaian rekomendasi termasuk meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mempercepat dialog dengan rakyat Papua dan untuk mengevaluasi penyebaran kehadiran keamanan yang besar di daerah tersebut.

Penyelidikan Komnas HAM menunjukkan bahwa pasukan keamanan tampaknya telah melanggar hak untuk hidup dan kebebasan dari penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya, baik yang non-derogable dibawah Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR), di mana Indonesia adalah negara yang menandatangani konvensi tersebut.

Dengan menggunakan kekerasan yang tidak perlu dan berlebihan dan penggunaan senjata api terhadap peserta, pasukan keamanan Indonesia juga melanggar Konvensi Menentang Penyiksaan dan Kekejaman Lain, di mana Indonesia juga telah meratifikasi konvensi tersebut. Selain itu, hak semua orang di Indonesia untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya dijamin dalam konstitusi Indonesia dan UU tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Tindakan aparat keamanan juga tampak bertentangan dengan Prinsip-Prinsip Dasar PBB tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Petugas Penegak Hukum, antara lain, bahwa kekuatan senjata api harus digunakan hanya sebagai upaya terakhir, sebanding dengan ancaman yang ditimbulkan, dan harus dirancang untuk meminimalkan kerusakan atau cedera. (Jubi/Victor Mambor)

AS Akui Isu Papua Sangat Sensitif

Jakarta – Situasi di Papua yang memanas belakangan ini mendapat perhatian dari pemerintah Amerika Serikat (AS). AS pun mengakui permasalahan Papua merupakan isu yang sangat sensitif.

Hal itu disampaikan Asisten Menteri Luar Negeri (Menlu) AS Bidang Asia Timur dan Pasifik, Kurt M. Campbell dalam pertemuan dengan para wartawan di Jakarta hari ini.

“Kami menyadari ini merupakan isu yang sangat sensitif. AS menaruh perhatian dan tetap memandang Indonesia sebagai mitra penting, namun kami juga berharap untuk bisa melihat isu Papua ditangani secara efektif,” ujar Campbell di kediaman Dubes AS di Jakarta, Selasa (25/10/2011).

Dalam pertemuan itu, Campbell juga mengatakan, pemerintah AS mengakui adanya pertikaian soal buruh di perusahaan Freeport. Karenanya AS menyerukan adanya dialog yang lebih erat antara pihak Freeport, pemerintah Indonesia serta masyarakat Papua.

Dikatakan Campbell, pemerintah AS juga mendukung adanya penyelidikan atas insiden-insiden di Papua.

“Kami percaya bahwa setiap kali ada tuduhan atau insiden, harus diadakan penyelidikan secara menyeluruh dan bisa memenuhi rasa keadilan,” tutur Campbell.

Campbell juga menekankan bahwa pemerintah AS tetap mendukung otonomi khusus di Papua dan otonomi itu harus terus dipertahankan.

Sebelumnya, Menteri Pertahanan AS Leon Panetta dalam kunjungannya ke Jakarta, juga menegaskan bahwa pemerintah AS mendukung penuh cara-cara pemerintah Indonesia menangani isu Papua.
(ita/vit)

Eni Faleomavaega Surati RI Terkait Papua

Terkait dengan penangkan Forkorus Yaboisembut CS, maka Eni telah menyurati duta besar Indonesia di negaranya Dino Patti Djalal. Intinya Ia mengkuatirkan keamanan dan keselamatan Forkorus Yaboisembut dan rekan-rekannya, yang ditangkap terkait pelaksanaan Kongres Rakyat Papua III, yang berbuntut jatuhnya sejumlah korban. ‘’Saya meminta campur tangan anda sebagai Dubes, untuk memastikan keselamatan dan perlakuan yang tidak manusiawi bagi Mister Forkorus Yaboisembut dan banyak lainnya yang ditangkap pada Rabu 19 Oktober, 2011, pada pertemuan ketiga dari Kongres Rakyat Papua di Papua. Sebab, sesuai laporan media internasional, Angkatan Bersenjata Indonesia dan polisi telah memukuli dan menangkap ratusan warga sipil yang menghadiri pertemuan itu,’’ ujar Faleomavaega dalam suratnya kepada Dubes Indonesia untuk AS, yang kemudian dikirimkan ke media ini, Sabtu 22 Oktober.

Lanjutnya, sejumlah media melporkan bahwa TNI melepaskan tembakan di tengah kerumunan pertemuan kongres Rakyat Papua. ‘’Polisi dan TNI melepaskan tembakan selama pertemuan yang dikerumunin ribuan warga sipil tak berdaya dan tidak bersenjata, padahal mereka hanya menyampaikan aspirasi politik secara damai. Akibatnya, kerumunan bubar setelah tembakan terdengar, banyak orang Papua Barat, ditangkap oleh militer Indonesia dan polisi,’’ugkapnya.

Sambungnya, tindakan itu, adalah pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi. ‘’Ini adalah pelanggaran serius dan kejahatan terhadap kemanusiaan terutama mengingat bahwa Pemerintah Indonesia adalah penandatangan kedua perjanjian PBB tentang Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya,’’tandasnya.

Sangat jelas, dalam aksi itu aparat Indonesia telah menebarkan terror kepada warga Papua. “ Jelas, kehadiran militer Indonesia adalah untuk mengintimidasi warga damai, yang merupakan kelanjutan dari pelanggaran hak asasi manusia oleh TNI seperti yang dilaporkan dalam Laporan Departemen Luar Negeri AS 2010 tentang Hak Asasi Manusia,’’imbuhnya.

Kata dia, sebagai anggota kongres AS, dirinya sangat prihatin dengan sejumlah peristiwa di Papua. ‘’Saya memiliki masalah yang sangat serius dalam masalah ini, dan saya tidak membenarkan tindakan kekerasan oleh TNI dan polisi pada demonstrasi damai dengan warga sipil bersenjata, yang hanya menyuarakan pendapat mereka tentang kegagalan Pemerintah Indonesia untuk secara serius melaksanakan Otonomi Khusus hukum bagi Papua Barat. Tindakan TNI dan polisi bertentangan dengan komitmen yang dibuat oleh Presiden Yudhoyono untuk memecahkan masalah di Papua Barat dengan cara damai, adil, dan bermartabat,’’singgungnya.

Untuk itu sekali lagi , saya mengkhawatirkan tentang peristiwa yang telah terjadi dan ingin diyakinkan oleh Pemerintah Indonesia bahwa Mr Yaboisembut dan sejumlah rekannya akan diperlakukan secara manusiawi, selama dalam tahanan. Dubes RI juga harus berupaya membebaskan mereka. ‘’Saya ingin bertemu dengan Anda awal pekan depan untuk membahas masalah ini lebih lanjut,’’singkatnya.(jir/don/l03)

Faleomavega : Tindakan Aparat Keamanan Bertentangan Dengan Komitmen SBY

JUBI — Tindakan represif yang dilakukan oleh aparat keamanan gabungan saat penangkapan peserta Kongres Rakyat Papua III, dianggap bertentangan dengan komitmen pemerintah SBY untuk memecahkan masalah di Papua Barat dengan “cara damai, adil, dan bermartabat.”

Melalui surat yang dikirimkan ke redaksi tabloidjubi.com (Sabtu, 22/10), anggota Kongres AS, Eni Faleomavaega hari ini mengumumkan bahwa ia telah mengirim surat kepada Duta Besar Indonesia untuk AS, Dr Dino Patti Djalal untuk menyampaikan kekhawatiran tentang keamanan dan perawatan Forkorus Yaboisembut dan beberapa orang lainnya yang ditangkap pada pertemuan baru-baru ini, paska Kongres Rakyat Papua di Papua. Faleomavega menyampaikan jika media internasional telah melaporkan jika aparat keamanan gabungan telah menangkap dan memukuli ratusan warga sipil yang menghadiri pertemuan itu.

Dalam surat yang ditembuskan juga kepada Duta Besar AS untuk Indonesia Scot Marciel tersebut, Faleomavega menyebutkan bahwa insiden penangkapan terhadap peserta Kongres Rakyat Papua kemarin adalah pelanggaran serius dan kejahatan terhadap kemanusiaan, terutama mengingat bahwa Pemerintah Indonesia adalah penandatangan kedua perjanjian PBB tentang Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.

Faleomavega juga menyebutkan jika Imam Setiawan, Kepala Kepolisian Resort Kota Jayapura, mungkin telah memainkan peran penting dalam insiden penangkapan dan penembakan tanggal 19 Oktober kemarin yang menyebabkan kematian beberapa warga dan pembunuhan warga Papua lainnya dalam beberapa tahun terakhir.

Faleomavega berpandangan bahwa insiden ini merupakan tindakan TNI dan polisi yang bertentangan dengan komitmen yang dibuat oleh Presiden Yudhoyono untuk memecahkan masalah di Papua Barat dengan “cara damai, adil, dan bermartabat.” (Victor M)

Statement Asia HRW Tentang Tahanan Kongres Papua III

Jum’at, 21 Oktober 2011 04:00:06

Jakarta – Human Rights Watch (HRW), sebuah organisasi pemantau HAM yang bermarkas di New York, meminta Pemerintah RI memperlakukan semua tahanan terkait Kongres Rayat Papua secara manusiawi. Pemerintah juga diminta menjamin penghormatan terhadap hak-hak mereka di muka hukum.

Di dalam siaran pers yang dikirimkan HRW pada Kamis (20/10/2011), disebutkan aparat keamanan Indonesia pada Rabu (19/10) telah menangkap dan menahan sekitar 300 demonstran setelah menutup Kongres Rakyat Papua di Jayapura.

Mereka yang ditahan dan ditangkap, antara lain Forkorus Yoboisembut, Ketua Dewan Adat Papua, Selphius Bobii, seorang aktivis media sosial dan penyelenggara kongres, dan Edison Waromi, presiden Otoritas
Nasional Papua Barat, serta istri dan anak.

“Pasukan keamanan tidak harus menggunakan kekerasan yang tidak perlu dalam memadamkan demonstrasi damai,” kata Elaine Pearson, wakil direktur Asia Human Rights Watch.

“Polisi harus memastikan semua orang yang ditahan diperlakukan dengan baik dan memiliki akses ke pengacara.”

Human Rights Watch sebelumnya telah mendokumentasikan penyiksaan dan perlakuan buruk terhadap tahanan politik oleh polisi dan penjaga penjara di Papua, dan kegagalan pemerintah Indonesia untuk menahan
mereka yang bertanggung jawab.

Human Rights Watch mengatakan pasukan keamanan Indonesia harus mematuhi Prinsip-Prinsip Dasar PBB tentang Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api, yang menyerukan kepada aparat penegak hukum, termasuk anggota angkatan bersenjata, untuk menerapkan cara-cara nirkekerasan sebelum beralih ke penggunaan kekuatan dan hanya sebanding dengan keseriusan pelanggaran.

(tw/lrn)

Kabar Dari Kampung…Kutipan Sekapur Sirih dari Ikrar Nusa Bhakti untuk Papua…

REP | 20 September 2011 | 14:48

Setiap roda belakang pesawat Garuda Indonesia menyentuh landasan di Bandara Mokmer (Frans Kaisiepo), Biak, air mata haru pasti menetes dari pelupuk mata penulis.

Sebaliknya, setiap pesawat lepas landas dari Mokmer ke arah barat, saya teringat masa sebelum Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Irian Barat 1969, yakni ketika satu pesawat bersama rombongan tokoh masyarakat Irian Barat berangkat ke Jakarta dengan Hercules AURI. Saat itu tampak jelas betapa rasa bahagia mereka begitu terpancar. Mata mereka berbinar-binar, tepuk tangan pun bergemuruh di dalam pesawat.

Biak adalah saksi bisu segala peristiwa sejak jadi pangkalan udara utama yang digunakan Jenderal Douglas MacArthur untuk melakukan ”lompatan katak” mematahkan kekuatan Jepang di Asia Pasifik pada Perang Dunia II. Di daerah Kloefkamp, Mokmer, sampai ke Bosnik masih tersisa gua-gua Jepang serta bangkai tank-tank amfibi tentara AS dan Jepang.

Di Biak pula, tepatnya di Ritge II, saya lihat dari pintu belakang rumah ke markas Raiders TNI AD betapa asyik Pangdam XVII/Cenderawasih saat itu, Sarwo Edhie Wibowo, minum kopi di petang hari bersama Lodewijk Mandatjan. Mantan tokoh Organisasi Papua Merdeka dari suku Arfak ini baru tiba dari Manokwari, dijemput ”dua anak angkatnya”, anggota Pasukan Gerak Tjepat (PGT, kini Paskhas) TNI AU dan anggota Komando Pasukan Sandi Yudha (kini Kopassus) TNI AD.

Biak memang tempat yang amat kontras. Biak adalah pintu gerbang udara dan laut ke pulau besar (daratan Papua). Di Biak pula tumbuh gerakan mesianisme yang melahirkan gagasan Papua Merdeka. Tokoh-tokoh OPM 1960-an sampai 1980-an tak sedikit dari Biak, seperti Permenas Awom dan Seth Rumkorem. Rumkorem adalah proklamator Papua Merdeka pada 1 Juli 1971 di Markas Victoria, daerah Waris sekarang. Kata ”irian” yang berasal dari ”iryan” (sinar mentari yang menghalau kabut) dan kata ”papoea” (orang hitam berambut keriting) orang Biak pula yang memopulerkan. Bahkan, bendera Bintang Kejora adalah gabungan mesianisme Biak dipadu bendera Amerika Serikat. Lambang negara Papua yang diperkenalkan pada 1 Desember 1961, Burung Mambruk, juga pengaruh dari Biak.

Saat di SD Negeri 1 Biak antara 1965- 1969, saya mengenal lagu untuk menyambut kedatangan Soeharto ke Biak menjelang Pepera. Di antara bait lagu dalam bahasa Biak itu berbunyi: ”Aryo bapaye Suharto ye… mau be mau be mau rau be mau rau merah putih… kukonbe naiko mambe ka naik” (Presiden kami bapak Soeharto, bendera kami merah putih, akan kami naikkan sampai akhir masa).

Empat peristiwa sejarah

Sesuai Persetujuan New York 15 Agustus 1962, pada 1 Oktober 1962 Irian Barat diserahkan oleh Belanda kepada pemerintahan sementara PBB (UNTEA). UNTEA lalu menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia pada 1 Mei 1963 dan Indonesia wajib melakukan penentuan pendapat rakyat (act of free choice).

Sesuai The Rome Agreement antara RI dan Belanda di Roma menjelang Pepera, kedua negara sepakat Pepera dilakukan dengan sistem perwakilan oleh 1.026 tokoh Papua, bukan one man one vote. Belanda juga menggunakan sistem perwakilan di luar perkotaan saat membentuk Nieuw Guinea Raad (Dewan New Guinea), April 1961.

Ada empat peristiwa sejarah yang hingga kini masih dipersoalkan orang Papua. Pertama, sistem perwakilan dalam proses Pepera Juli-Agustus 1969 dianggap tidak lazim digunakan oleh PBB dalam proses dekolonisasi. Kedua, butir pertama Trikora yang dicetuskan Presiden Soekarno di Yogyakarta pada 19 Desember 1961 yang berbunyi ”Gagalkan negara boneka Papua bentukan Belanda Kolonial” seakan mengakui manifesto politik 19 anggota Dewan New Guinea di Hollandia (Jayapura sekarang) pada 1 Desember 1961 adalah proklamasi kemerdekaan Papua.

Ketiga, proses indonesianisasi birokrasi pemerintahan di Papua akhir 1960-an, yang menggeser birokrat rendahan orang Papua, sungguh menyesakkan hati. Keempat, tindakan brutal aparat keamanan terhadap rakyat Papua 1963, 1969, 1971, 1984-1985, 2000-2001, bahkan hingga kini telah meninggalkan trauma mendalam di hati sanubari saudara-saudara Papua kita.

Meski kini jabatan-jabatan di puncak pemerintahan daerah seperti gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota di tangan orang Papua, persoalan di atas tetap saja muncul. Otonomi khusus (otsus) yang diterapkan sejak diberlakukannya UU Nomor 21 Tahun 2001 mengenai Otonomi Khusus Papua tak juga mengurangi kemiskinan di tanah Papua.

Saat saya mengunjungi Papua, 2-7 Juli 2011, tampak jelas adanya kemajuan semu di tanah Papua. Jalan di wilayah perbatasan dengan Papua Niugini seperti di Koya, Arso, Wor-Kwana, Waris, dan Senggi tampak begitu mulus. Namun, bagaimana dengan peremajaan pohon-pohon kelapa sawit yang sudah berumur lebih dari 30 tahun itu? Di Wamena juga tampak pembangunan pusat-pusat pertokoan yang megah untuk ukuran Papua. Jayapura juga ada dua hotel internasional baru, Hotel Aston dan Swiss-Belhotel. Namun, siapa pemilik ruko dan hotel-hotel itu? Tidakkah rakyat Papua masih menjadi penonton dari pembangunan?

Temukan jalan damai

Uang yang digelontorkan ke rakyat secara tunai melalui program otsus, PNPM Mandiri atau program Respek, benar-benar salah arah. Uang bukan untuk membangun sarana dan prasarana kampung, melainkan dibagi-bagi secara tunai. Hati terasa teriris sembilu saat menyaksikan masih banyak orang menggunakan koteka di Wamena, seakan kemajuan tak menyentuh mereka. Sadarkah kita bahwa migrasi dengan ”Kapal Putih” (Pelni) telah menyebabkan orang Papua kini jadi minoritas di Jayapura, Kabupaten Merauke, Kabupaten Mimika, Kabupaten Keerom, dan Kota Sorong? Sadarkah kita bahwa orang Marin di Merauke kini tak lagi memiliki tanah? Tak heran jika mereka menolak program Merauke Integrated Food and Energy Estate.

Sadarkah kita bahwa ada dua gerak yang berbeda di Papua saat ini, yakni antara mereka yang berupaya menyatupadukan rakyat Papua—karena itu menolak pemekaran provinsi (Papua dan Papua Barat)—dan Majelis Rakyat Papua menjadi dua atau lebih berseberangan dengan yang menginginkan agar provinsi Papua Barat Daya segera dibentuk. Selain itu, pertarungan antarklan untuk meraih jabatan politik semakin marak, seperti terjadi di Ilaga, Kabupaten Puncak Jaya, dan mulai menyeruak pula di Papua dan Papua Barat menjelang pemilihan gubernur di dua wilayah itu.

Sadarkah kita tiga institusi bersenjata, OPM, TNI dan polisi (khususnya Densus 88), dapat jadi agen yang membakar tanah Papua? Dapatkah dua nasionalisme yang berseberangan, Papua yang ngotot ”kemerdekaan adalah harga mati”, dan Indonesia yang kukuh ”NKRI harga mati” menemukan kata sepakat untuk meningkatkan kualitas otonomi khusus dalam bingkai keindonesiaan dibalut kepapuaan? Pada 1980-an, segala perkembangan di Papua dapat kita baca di Kabar dari Kampung, buletin yang diterbitkan Yayasan Pembangunan Masyarakat Desa Irian Jaya. Hal-hal yang memilukan bisa juga kita baca di Memoria Passionis terbitan Keuskupan Jayapura.

Kini segala berita buruk soal Papua disiarkan oleh Sekber Sentral Informasi Mahasiswa Papua di Yogyakarta, West Papua Media Alerts dan West Papua TV di London, East Timor and Indonesia Action Network di AS, dan Australia West Papua Association di Adelaide, Australia.

Papua tidaklah semembara yang diberitakan Kompas (8 Agustus 2011). Namun, kita jangan meremehkan aktivitas prokemerdekaan Papua di luar negeri, seperti konferensi yang disponsori The Free Papua Campaign and The International Lawyers for West Papua bertajuk ”The Road to Freedom”, 2 Agustus 2011 di Oxford, Inggris. Kita harus tetap mendukung upaya menemukan jalan damai di tanah Papua demi kesatuan nasional kita.

Ikrar Nusa Bhakti Profesor Riset LIPI

Sumber: Kompas.com

Terima Kasih buat Tulisan dari Bapak…Suatu analisa dan pemikiran yang Obyektif untuk Tanah Papua
TUHAN memberkati…

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny