PM Fiji, Bainimarama saat membuka seminar Komite Khusus 24 PBB tentang Dekolonisasi di Nadi, Fiji (IST)
Nadi, 21/5 (Jubi) – Masyarakat asli di Guam, Kaledonia Baru, French Polynesia, Tokelau dan Papua Barat mendapatkan dukungan untuk dekolonisasi.
Pembukaan Seminar Komite Khusus 24 PBB tentang Dekolonisasi di Nadi, Fiji hari ini (Rabu, 21/5), diwarnai dengan seruan pembebasan untuk seluruh kawasan di Pasifik yang masih berada dalam kekuasaan Kolonialisme. Gabungan Organisasi Non Pemerintah di kawasan Pasifik (PRNGO) menyerukan pada seluruh wilayah Kepulauan Pasifik untuk memperbaharui dukungan mereka dalam proses dekolonisasi sejumlah wilayah di Pasifik.
“Bebaskan masyarakat adat di Guam, Kaledonia Baru, French Polynesia, Tokelau dan Papua Barat sehingga mereka bisa memetakan masa depan mereka sendiri.”
kata Peter Emberson, juru bicara PRNGO dan pejabat Pacific Council of Churches.
Emberson, menyatakan sudah semestinya, negara-negara yang menjalankan pemerintahan kolonial untuk mempersiapkan masyarakat di wilayah yang didudukinya agar menggunakan hak mereka menentukan nasib sendiri sesuai dengan hukum internasional. Ia mendesak lapisan masyarakat di kepulauan Pasifik untuk bersama-sama secara aktif terlibat dalam perjuangan pembebasan seluruh wilayah Pasifik dari kolonialisme.
“Hak orang di wilayah non berpemerintahan sendiri, yang negaranya diperintah oleh pemerintahan kolonial atau kekuasaan administrasi, untuk menentukan masa depan politik mereka sendiri.”
ujar Emberson.
Menurut Emberson, saat ini, masyarakat di negara-negara Pasifik sedang membicarakan persoalan Rapa Nui atau Pulau Paskah yang diatur oleh Chile yang sedang berusaha dimasukkan ke dalam daftar Teritori Non Pemerintahan Sendiri PBB dan Papua Barat yang dianggap sebuah provinsi di Indonesia yang sedang mencari peluang untuk didaftarkan kembali dalam daftar Wilayah Non Pemerintahan Sendiri PBB.
Seminar di Nadi ini diselenggarakan untuk mempercepat pelaksanaan Pemberantasan Kolonialisme dekade III (2011-2020). Seminar ini diselenggarakan di bawah naungan Komite Khusus 24 dan akan meninjau situasi sehubungan dengan 17 wilayah yang dipertimbangkan oleh Komite Khusus 24, sebuah komite PBB untuk Dekolonisasi, kemudian dirujuk ke Majelis Umum PBB ketika bersidang. (Jubi/Benny Mawel)
JAYAPURA – Adanya desakan dari Parlemen Uni Eropa, agar Pemerintah Indonesia segera menggelar dialog damai Papua – Jakarta sebagaimana diungkapkan Ketua Umum Badan Pelayanan Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua (PGGBP) di Tanah Papua, Socratez Sofyan Yoman (Jumat 4/4), mendapat tanggapan dari Pengamat Hukum Internasional FISIP Uncen Jayapura, Marinus Yaung.
Ia mengatakan, keputusan parlamen Uni Eropa tentang penyelesaian persoalan Papua harus dan wajib melalui dialog damai Papua – Jakarta dan juga meminta pembukaan ruang demokrasi serta pembebasan Tapol dan Napol Papua, itu merupakan bentuk peningkatan intervensi internasional terhadap masalah Papua dalam skala yang semakin tinggi dan semakin mengkhawatirkan.
“Bagi saya, sikap Parlamen Uni Eropa tidak jelas dan memiliki tujuan ganda,” tandasnya kepada Bintang Papua, di Kampus FISIP Uncen Waena, Jumat, (5/4).
Ditandaskan demikian, karena pada akhir Januari 2014 lalu, Uni Eropa baru menandatangi Momerandum Of Understanding (MoU) Komprehensif Partnership Atau Perjanjian Kerjasama Komprehensif dengan Pemerintah Indonesia dalam segala bidang.
Komprehensif Partnership ini merupakan jenis pernjanjian tertinggi dalam hubungan internasional yang terjadi karena adanya rasa saling percaya, saling menghormati dan saling menghargai kedaulatan masing-masing negara.
Dirinya mencurigai adanya kepentingan lain yang jauh lebih besar yang dimiliki Uni Eropa dalam menekan Indonesia soal Papua. Bukan soal Uni Eropa peduli dengan masalah Papua, tetapi soal Indonesia menjamin kepentingan ekonomi Uni Eropa di Indonesia demi ekonomi Uni Eropa di Indonesia demi mendukung pemulihan ekonomi negara-negara Uni Eropa yang belum bisa keluar dari krisis ekonomi Tahun 2008 lalu.
Tetapi bukan berarti Pemerintah Indonesia harus mengabaikan permintaan Uni Eropa untuk melakukan dialog damai dengan masyarakat Papua. Terkait dengan masalah Papua, pemerintah sudah harus melihat dialog damai Papua – Jakarta sebagai kunci utama solusi masalah Papua, bukan pendekatan kesejahteraan dalam konsep Otsus Plus.
Baginya, keliru kalau menyimpulkan Otsus Plus kado Istimewa buat Papua. Sejak kapan orang Papua diperlakukan istimewa dalam republik ini? Otsus Papua yang sudah berlaku, dan Otsus Plus yang merupakan bentuk revisinya, bukanlah karena kebaikan hati Jakarta bagi orang Papua. Tetapi karena ribuan nyawa anak Papua telah mati dibunuh selama tahun-tahun integrasi dengan NKRI.
Dengan demikian, jika ada orang Papua yang kampanyekan Otsus Plus itu kado istimewa Presiden SBY buat Papua, dirinya berpikir bahwa orang tersebut berlebihan, tidak tahu pergulatan batin banyak masyarakat Papua dan tidak memiliki rasa kemanusiaan.
“Itulah wajah sesungguhnya dari para pengkhianat bangsa Papua. Tidak pernah Pemerintah di negara ini memandang orang Papua itu istimewa, Otsus plus itu bentuk ketidakpercayaan Presiden SBY terhadap pejabat dan elit politik Papua yang tidak tahu mengelola kekuasaan dengan benar,”
tukasnya.
Baginya, seharusnya pejabat dan elit politik Papua malu dengan ide Otsus plus Presiden SBY. Tetapi karena pejabat dan elit Papua sudah tidak punya rasa malu jadi begitu bangga sekali dengan konsep Otsus Plus. Dan tidak memikirkan dampaknya yang menjadi korban adalah rakyat Papua, sebab Otsus Plus bukan pro rakyat, tetapi pro elit dan pejabat pemerintah. Sehingga wajar kalau semua orang di Papua tidak terlalu mendukung Otsus plus, namun semua mendukung dialog damai Papua – Jakarta untuk menciptakan perdamaian dan keadilan di Tanah Papua.
Dirinya hanya menghimbau dan berharap banyak pemerintah pusat memberikan ruang untuk berdialog dengan Papua. Tinggalkan dulu Otsus Plus, kedepankan dialog Papua sebagai kebijakan utama Presiden SBY sebelum mengakhiri masa jabatannya. Itupun kalau Presiden SBY bertekad penuh menyelesaikan masalah Papua. Lepas dari NKRI dan menjadi negara sendiri, silakan saja lanjutkan kebijakan Otsus Plus. Dunia internasional akan langsung intervensi masalah Papua ketika Otsus Plus diimplementasikan. Intervensinya dalam bentuk apa? Masalah Papua akan langsung masuk agenda PBB dan diputuskan secara unilateral mengikuti skenario kasus kemerdekaan Kosovo Tahun 2008 lalu.(Nls/don/l03)
Protes di London, Inggris. Foto: Helen Saunders/Survival
Jayapura, MAJALAH SELANGKAH — Hari ini, 2 April 2014, 100 orang demonstan meminta pembebasan segera terhadap tahanan politik di Papua dalam sebuah demonstrasi damai di luar Kedutaan Besar Indonesia di London, Inggris yang diselenggarakan TAPOL, Survival Internasional dan Amnesty Internasional Inggris.
Dalam keterangan tertulis yang diterima majalahselangkah.com malam ini mengatakan, demonstran meminta partai politik dan kandidat Presiden Indonesia untuk mendukung pemenuhan hak berdemokrasi di Papua dalam menghadapi pemilihan umum nasional untuk calon legislatif, minggu depan. Demonstrasi serupa juga diselenggarakan di Skotlandia, Belanda, Australia, Selandia Baru, Australia, dan Papua.
Di Jayapura, sekitar pukul 10:00 pagi hari ini, polisi melepaskan tembakan kepada peserta aksi damai yang meminta pembebasan terhadap tahanan politik Papua. Polisi menyebut mereka “monyet” dan dua orang telah ditangkap. Laporan awal mengindikasikan bahwa dua orang yang ditahan di Polresta Jayapura mengalami penyiksaan dan tidak diperbolehkan menemui pengacara hukum mereka.
Di London pukul 13:00 masing-masing demonstran memrepresentasikan 76 orang tahanan politk yang saat ini berada di balik jeruji di Papua yang secara simbolik diborgol dan ditutup mulutnya untuk menunjukkan pembungkaman kebebasan berekspresi di Papua.
Pendemo dan mantan tahanan politik Burma, Ko Aung menyatakan,
“Saya menghabiskan enam tahun di penjara untuk menyerukan perlawanan atas ketidakadilan di Burma. Sekarang saya berdiri di sini untuk memberikan solidaritas kepada kawan-kawan di Papua yang mengalami hal yang sama.”
Meskipun kepedulian internasional tentang situasi politik dan HAM di Indonesia telah meluas, namun partai politik di Indonesia tetap tidak memiliki agenda yang ditawarkan untuk situasi damai di Papua. Beberapa demonstran menantang para kandidat Presiden untuk memberikan perhatian dan menjelaskan kebijakan mereka terhadap Papua.
Para demonstran mengangkat plakat yang berisi: “Jokowi, wartawan asing boleh masuk Papua?” dan “Bakrie, maukah bebaskan tapol Papua?”
Kasus yang dilaporkan berupa penyiksaan dan perlakukan buruk dalam tahanan berjumlah tiga kali lipat dibandingkan tahun 2012, sementara kasus yang melibatkan penolakan akses kepada pengacara atau pengadilan yang tidak adil berjumlah dua kali lipat dibandingkan tahun 2012.
Surat itu menunjukkan bahwa terungkapnya peningkatan besar dalam tindakan penangkapan yang bernuansa politik ‘sangat mengganggu dalam masa menjelang pemilihan umum nasional Indonesia minggu depan. Minimnya ruang demokrasi di Papua berarti bahwa Pemilu hampir tidak relevan untuk banyak orang Papua.’
Tahanan politik Papua Dominikus Surabut hari ini mengirimkan pesan dari penjara Abepura ke seluruh para demonstran, yang menyatakan: Kebebasan dan demokrasi tidak bisa dibunuh dan dipenjarahkan, sebab rohnya absolut, tak bisa seseorang atau Negara manapun bisa gagalkan. Kepada para pekerja HAM dan Demokrasi dunia, kita tidak bisa berdiam membisu, tetapi kita terus kepalkan tangan dan jiwa kita secara bersama-sama menyelamatkan dan menempatkan berdemokrasi pada tempatnya.
Surabut ditahan pada 19 Oktober 2011 dan saat ini menjalani tiga tahun hukuman di penjara karena keikutsertaannya dalam pertemuan politik secara damai di Jayapura.
Berdasarkan perkembangan pemantauan bersama yang dipublikasi oleh Papuan Behind Bars, tahanan politik di Papua sering disiksa dan dipaksa untuk mengakui kesalahan. Banyak dari mereka dipukuli dan menjadi subjek dari tindakan kejam dan merendahkan martabat seperti digunduli, dipaksa untuk saling berkelahi atau tidak diberikan makan atau pengobatan yang layak.
Pembatasan pada organisasi internasional dan media asing yang bekerja di Papua Barat berarti bahwa banyak pelanggaran terjadi dalam rahasia, dan pelaporan yang independen adalah hampir mustahil. Ini adalah masalah serius di wilayah yang dikenal menjadi tuan rumah dari salah satu konsentrasi tertinggi pasukan keamanan di dunia.
“Jika Indonesia tidak memiliki hal yang disembunyikan di Papua, mengapa mereka tidak memperbolehkan jurnalis dan organisasi internasional datang ke Papua?,”
ujar Paul Barber, koordinator TAPOL dalam keterangan itu.
“Tujuh puluh enam tahanan politik di Papua tidak dapat disembunyikan dari dunia,”
ujar Paul.
Organisasi internasional dan mekanisme PBB semakin menanyakan pembatasan terhadap hak atas kebebasan berekspresi di Papua yang tidak dapat diterima. Pada November 2012, Working Grup PBB tentang Penahanan Sewenang-wenang mengeluarkan pendapat bahwa penahanan terhadap Filep Karma, selama 15 tahun penjara karena mengibarkan bendera Bintang Kejora adalah pelanggaran terhadap hukum internasional.
Pada Mei 2012, pada sesi Laporan HAM Berkala Universal (Universal Periodic Review) Indonesia pada Dewan HAM PBB di Jenewa, Pemerintah Indonesia menerima rekomendasi untuk mengundang pelapor khusus PBB tentang kebebasan berpendapat dan berekspresi, Frank La Rue.
Meskipun kunjungan tersebut direncanakan akan dilaksanakan pada awal tahun 2013, namun kunjungan tersebut dibatalkan secara sepihak oleh pemerintah Indonesia. Pada Mei 2013, Ketua Komisi HAM PBB, Navi Pillay menyampaikan situasi kritis terhadap serangan kebebasan berekspresi yang terus berlanjut di Papua.
TAPOL menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk menghentikan tuduhan kepada aktivis politik Papua dengan tuduhan kriminal, meminta pembebasan tanpa syarat terhadap tahanan politik, memenuhi standar internasional mengenai perlakuan terhadap tahanan dan memperbolahkan akses terbuka bagi internasional jurnalis, organisasi HAM dan humaniter.
TAPOL juga meminta para kandidat Presiden untuk membuat agenda setting tentang pelaksanaan HAM, termasuk pembebasan tahanan politik tanpa syarat sebagai pemenuhan hak dasar dan berdemokrasi bagi orang-orang Papua.
Diketahui, berdasarkan update terbaru yang dipublikasi oleh Papuans Behind Bars, terdapat setidaknya 76 orang tahanan politik di Papua yang dipenjara hingga akhir Februari 2014.
Orang Papua di Balik Jeruji adalah satu proyek kolektif yang dimulai oleh kelompok-kelompok masyarakat sipil Papua yang bekerjasama dalam rangka Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penegakan Hukum dan HAM di Papua. Ini adalah gagasan kelompok bawah dan mewakili kerjasama yang lebih luas antara para pengacara, kelompok-kelompok HAM, kelompok-kelompok adat, para aktivis, wartawan dan para individu di Papua Barat, LSM-LSM di Jakarta, dan kelompok-kelompok solidaritas internasional.
Penangkapan politik didefinisikan oleh Papuan Behind Bars berupa penangkapan-penangkapan yang tampaknya bermotif politik dan dapat mencakup penangkapan yang terjadi dalam konteks politik seperti demonstrasi atau berbagai wadah yang digunakan oleh orang-orang maupun organisasi yang secara aktif berpolitik; penangkapan terhadap orang-orang yang aktif dalam politik atau kerabat mereka, penangkapan terhadap orang-orang karena dugaan keterlibatan politik mereka; penangkapan terhadap kegiatan politik seperti menaikkan bendera atau terlibat dalam kegiatan perlawanan sipil; penangkapan massal, dan penangkapan yang bermotif politik dengan tuduhan kriminal yang direkayasa. (Yermias Degei/MS)
Jeffrey Bomay (kanan) dalam Expert Meeting (Dok. Jubi)
Jayapura, 23/3 (Jubi) – Sebagaimana tradisi yang berlangsung dalam setiap sidang Dewan HAM PBB (UNHRC), sebuah expert meeting selalu diselenggarakan untuk memperluas penggunaan standard internasional Hak Asasi Manusia yang lebih efektif. Selama beberapa tahun terakhir, Expert Meeting ini dilakukan oleh Geneva for Human Right (GHR).
Tahun 2014 ini, Expert Meeting ini mengambil tema Masyarakat Adat: Menjelang Konferensi Dunia. Expert Meeting ini secara umum dilakukan untuk meninjau tindakan PBB terhadap masyarakat adat, dan persiapan Konferensi Dunia tentang Masyarakat Adat. Sementara tujuan khususnya adalah untuk menyadarkan orang-orang yang berpartisipasi dalam Dewan HAM PBB mengenai keberadaan standar dan mekanisme hak asasi manusia internasional tentang masyarakat adat. Juga untuk berbagi pengalaman dan keahlian pada tren terbaru tentang perlindungan masyarakat adat dan untuk menyadarkan peserta tentang tantangan utama dalam proses persiapan Konferensi Dunia tentang Masyarakat Adat itu sendiri.
Masyarakat Adat Papua menjadi salah satu topik dalam Expert Meeting ini. Jeffrey Bomay, aktivis Papua yang hadir sebagai perwakilan rakyat Papua mengatakan kepada Jubi, expert meeting ini didukung oleh Dewan HAM PBB, Switzerland, Norwegia dan Mexico, serta badan gereja-gereja sedunia (WCC) yang berpusat di Genewa. Selain dirinya yang hadir sebagai pembicara dalam expert meeting hari Rabu, 19 Maret 2014 itu, hadir juga Dr. Olav Fykse Tveit, SG (WCC), Amb. Luis Alfonso de Alba (Mexico), John Henriksen (Norway), Penny Parker (Advocates for Human Rights), Perwakilan Dewan HAM PBB, David Matthey-Doret (DOCIP), Suhas Chakma, ACHR (India) dan Ngawang Drakmargyapon (UNPO).
Poster expert meeting (Dok. Jubi)
“Untuk sesi saya, saya menekankan soal pembunuhan di Timika penangkapan dan pemenjaraan ketua DAP Forkorus, Fillep Karma dan Victor Yeaimo dan penyisiran masyarakat sipil di Puncak Jaya. juga isolasi Papua dari perhatian international seperti NGOs atau pelapor khusus PBB dan badan-badan international lainnya,”
kata Jeffrey Bomay saat dihubungi Jubi, Sabtu (22/3).
Bomay mengatakan ia mendapatkan 18 pertanyaan menyangkut masyarakat asli Papua. Salah satunya adalah pertanyaan dari Perwakilan Norwegia, tentang sejarah Papua Barat, terutama Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969.
“Saya katakan Pepera harus di uji secara hukum international karena dilakukan dalam keadaan Papua sudah dianeksasi oleh Indonesia. Pepera dilakukan pada tahun 1969 kontrak pertambangan PT. Freeport sudah dilakukan pada tahun 1967, dua tahun sebelum pelaksanaan PEPERA 69. Inilah akar masalah yang membuat rakyat Papua tetap menolak hasil Pepera itu. Pelaksanaannya juga tidak mematuhi prosedur international bahwa satu orang satu suara, tetapi Indonesia mengubah itu dengan tekanan militer sehingga yang memilih hanya 1025 orang saja.”
kata Bomay.
Srilanka dan Norwegia, lanjut Bomay menanyakan tentang Otonomi Khusus di Papua. Lebih khusus mereka menanyakan, mengapa Otonomi Khusus disebut Solusi Diskriminasi oleh rakyat Papua.
“Saya berikan gambaran pada mereka bahwa Otonomi Khusus telah menghadirkan 60 kabupaten di Papua dan akan bertambah lagi 12 jika Daerah Otonomi Baru disetujui oleh DPR RI. Ini tidak masuk akal bagi penduduk Papua yang hanya berjumlah 3,6 juta dengan populasi masyarakat asli Papua sekitar 1,2 juta jiwa saja.”
ujar Bomay.
Ini, tambah Bomay lagi, telah memberikan peluang bagi penduduk Indonesia lainnya untuk masuk ke Papua, karena pemekaran daerah akan membutuhkan banyak sumberdaya manusia. Sementara masyarakat asli Papua sendiri belum dipersiapkan untuk pemekaran-pemekaran ini.
Mengenai Expert Meeting ini, Geneva for Human Right menjelaskan kepada Jubi melalui surat elektronik, bahwa dalam proses konsultasi dengan NGO dan pembela HAM, yang bekerja di bawah kondisi yang sulit, semua menuntut implementasi langsung dari standar HAM internasional. Mereka menyoroti prioritas mereka terhadap hukum kemanusiaan, isu-isu makro ekonomi, perjuangan melawan impunitas hingga perlindungan pembela HAM.
“Bahkan, baru-baru ini dalam hubungan kerja dengan mitra GHR, kekhawatiran lain muncul: hak-hak masyarakat adat dan kekerasan terhadap perempuan. Ini masalah spesifik isu-isu prioritas di semua Program GHR.”
tulis sekertariat GHR dalam surat elektronik yang dikirimkan kepada Jubi.(Jubi/Victor Mambor)
Jayapura, 9/3 (Jubi) – Sebuah aksi intervensi masyarakat Maori di New Zealand untuk mendukung perjuangan Rakyat Papua Barat dilakukan ditengah Festival Pasifika di Auckland.
Aksi yang disebut Oceania Interrupted Action 3 Free Pasifika – Free West Papua ini dilakukan oleh 14 orang perempuan Maori, yakni Marama Davidson, Ruiha Epiha, Talafungani Finau, Leilani Kake, Moe Laga-Fa’aofo, Genevieve Pini, Amiria Puia-Taylor, Leilani Salesa, Luisa Tora, Mele Uhamaka, Asenaca Uluiviti, Leilani Unasa, Julie Wharewera-Mika, Elyssia Wilson-Heti.
Aksi ini, menurut salah satu penampil, dilakukan sebagai intervensi publik dalam Festival Pasifika ini, untuk memberi dukungan bagi perjuangan rakyat Papua menentukan nasibnya sendiri.
“Mulut kami yang ditutup dengan bendera Bintang Kejora adalah simbol pembungkaman di Papua Barat.”
kata Marama Davidson, salah satu penampil, kepada Jubi. Minggu (9/3) melalui sambungan telepon.
Keempatbelas perempuan Maori ini memang menutup mulut mereka dengan Bendera Bintang Kejora ukuran kecil dan mengenakan pakaian adat Maori.
“Kebebasan kami sebagai orang Māori dan perempuan Pasifik di Aotearoa, Selandia Baru terikat dengan saudara-saudara Pacific kami di Papua Barat.”
tambah Julie Wharewera-Mika, penampil lainnya.
Menurut Julie dan Marama, tangan mereka yang terikat melambangkan terkekangnya kebebasan rakyat Papua Barat.
Dalam aksi ini, para penampil hanya bergerak secara minim dan tanpa suara. Ini untuk melambangkan kurangnya kebebasan berekspresi dari pendapat politik, kurangnya akses ke sumber daya yang adil dan merata, kurangnya akses ke media yang bebas dan independen yang dialami rakyat Papua Barat. Sementara tubuh para perempuan Maori ini dihiasi dengan warna hitam untuk merayakan eksistensi perempuan sekaligus sebagai simbol berkabung.
Aksi Oceania Interrupted Action 3 Free Pasifika – Free West dilakukan Sabtu, 8 Maret kemarin di Western Springs Lakeside Park, Auckland. Ribuan orang datang ke Auckland untuk menyaksikan Festival Pasifika yang dipusatkan di Western Springs Lakeside Park. (Jubi/Victor Mambor)
Dunia dan manusia sekarang punya orang-orang seperti Yesus Kristus, Muhammad, Marthin Lutther King, Nelson Mandela, Noam Chomsky, Ghandi, Desmond Tutu, George Monbiot, dan John Pilger yang suaranya didengar banyak manusia lain dan suara mereka punya pengaruh ke dalam alam bawah sadar manusia, untuk merubah pola pikir, untuk mendorong tindakan-tindakan.
Peradaban modern juga mengenal benar negara dan warga negara dari mana yang memiliki pengaruh terhadap kebijakan negara mereka. Atau dengan kata lain, pemerintah mana yang biasanya mendengarkan opini publik di negaranya. Memang harus diakui tidak semua opini publik diikuti, tetapi opini yang menguntungkan negara yang bersangkutan, maka negara selalu menggunakan alasan “kehendak rakyat” untuk menindak-lanjuti opini dan sikap publik.
Dua aspek yang kita lihat di sini. Ada oknum berpengaruh di dunia ini di satu sisi dan ada sistem pemerintahan dan masyarakat yang memberikan peluang kepada opini dan kehendak pulik untuk mempengaruhi sebuah kebijakan. Oknum yang punya pengaruh telah terbukti dapat mempengaruhi sebuah kebijakan. Penduduk dari beberapa negara yang secara garis besar demokratis, maka opini penduduknya didengarkan oleh pemerintah.
Hampir semua oknum yang berpengaruh di dunia ini telah memberikan opini dan bahkan dukungan kepada perjuangan Papua Merdeka.
Perkembangan dukungan dari Professor Linguistic Noam Chomsky dan kunjungan
English: A portrait of Noam Chomsky that I took in Vancouver Canada. Français : Noam Chomsky à Vancouver au Canada en 2004. (Photo credit: Wikipedia)
seorang pemerhati HAM dari negara Kanada dengan situsnya http://www.pedallingforpapua.com/ ini menyusul dukungan-dukungan dari tokoh berpengaruh lain dan penduduk negara maju lain yang mewarnai pemberitaan tentang perjuangan dan kampanye Papua Merdeka di pentas politik global.
Kedua berita ini menyusul berita tentang pengibaran Sang Bintang Kejora di Kantor Gubernur DKI Port Moresby, Papua New Guinea pada akhir tahun yang barusan lewat.
Dukungan ini diramaikan dengan berbagai pemberitaan secara luas dan terus-menerus dari negeri Kangguru Australia dengan Freedom Flotila dan berita-berita lain yang meramaikan dukungan terhadap perjuangan dan kampanye Papua Merdeka di wilayah Oceania. Tulisan-tulisan dan laporan orang Papua langsung bisa dimuat di berita-berita Online dan Koran di Australia. Sesuatu yang tidak pernah dibayangkan lima tahun lalu.
Papua Merdeka (Photo credit: Roel Wijnants)
Dukungan ini diwarnai juga dengan proses negosiasi alot PM Republik Vanuatu (satu-satunya republik di kawasan Melanesia) dengan pemimpin negara-negara lain di kawasan Melanesia untuk memasukkan West Papua sebagai anggota atau paling tidak peninjau di forum Melanesia Spearhead Group (MSG).
Yang harus menjadi renungan dari setiap insan yang bersuku-bangsa Papua ialah,
“Apa arti dari semua ini untuk masadepan Papua?”
Atau lebih langsung,
“Apakah pendudukan NKRI atas Tanah Papua bersifat kekal-abadi?”
Jawabannya kita harus sampaikan dengan pertama-tama tanyakan kepada NKRI sendiri,
“Apakah Belanda pernah bermimpin Belanda harga mati di wilayah Hindia Belanda?”,
“Bukankah Indonesia juga telah berjuang dan terbukti telah menang walaupun Belanda terus-menerus selama 350 tahun menyatakan Hindia Belanda harga mati?”
Dengan kata lain, penjajah hari ini patut bertanya,
“Apakah sebuah penjahan itu selalu langgeng sampai kiamat?”
Setelah itu, mulai dari Gubernur Provinsi Papua Lukas Enembe bersama Wakil Gubernurnya Klemen Tinal dan Ketua DPRP Deerd Tabuni dan seluruh anggota DPRP, para Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota, Kepala Distrik dan Lurah, sampai kepala Desa, pimpinan PDP, TPN/OPM, Demmak, MRP, Gubernur Bram Atururi dan Ketua DPRPB, semua komponen masyarakat, semua orang Papua haruslah bertanya dan menjawab pertanyaan sendiri:
Apa artinya semua dinamika ini?
Apa yang harus saya lakukan mengantisipasi segala hal yang bakalan terjadi, mengingat tidak ada penjajahan di muka bumi ini yang langgeng kekal-abadi?
Jangan sampai kita bernasib sama dengan Hercules dan Eurico Guiteres. Mereka bersama rekan semarga sekampung mereka kini melarat dan kesasar sampai ke kampung-kampung di Tanah Papua karena ditelantarkan oleh negara dan bangsa yang mereka bela: Indonesia. Mereka malahan ditembak dan dimajebloskan ke Penjara, seolah-olah mereka penghianat NKRI. Mereka tiap hari berpeluh keringant di Camp Pengungsian tanpa pernah diperhatikan. Sekali waktu Sutiyoso, mantan Gubernur DKI Jakarta katakan secara langsung dan terus-terang kepada Eurico Gueteres, “Anda kan dari Timor Leste, solusi terakhir Anda harus pulang ke kampung halaman.” dalam wawancara dengan Kick Andy beberapa tahun lalu.
Satu hal yang pasti, badai globalisasi selalu dan pasti menggilas semua yang menentangnya atau mencoba-coba menahannya. Badai globalisasi benar-benar menghanyutkan bagi yang menentangnya. Tetapi mereka yang mengikuti arusnya tidak bakalan tergilas. Badai globalisasi itu perdagangan bebas, korporasi multinasional, organisasi agama, hubungan perdagangan, dan jagan lupa “dukungan internasional terhadap apa saja di dunia ini”. NKRI selalu ke luar negeri dan bilang, “Amerika dukung Papua di dalam NKRI,” “Australia tetap dukung Papua di dalam Indonesia” dan sejenisnya. Itu artinya dukungan internasional begitu penting bagi pendudukan NKRI atas tanah dan bangsa Papua. Itu mengandung makna dukungan internasional-lah yang memampukan NKRI menganeksasi dan mendudukan negara West Papua dan warga negaranya. Sekarang bagaimana dengan dinamika dukungan masyarakat internasional terhadap Papua Merdeka belakangan ini? Bukankah ini salah satu dari sekian banyak arus globalisasi dimaksud? Apakah NKRI sanggup menahan atau menentangnya?
Apakah kita orang Papua masa bodoh saja terhadap perkembangan terkini seperti ini dan buat seolah-olah tidak ada apa-apa dan sibuk dengan Otsus, UP4B dan Otsus Plus?
Kapan Gubernur dan Wakil Gubernur Papua, Gubernur dan Wakil Gubernur Papua Barat dan Ketua DPR, Bupati dan Walikota mereka memberikan dukungan kepada perjuangan dan kampanye Papua Merdeka? Kalau mereka malas tahu saat ini, apakah Papua Merdeka akan mau tahu mereka? Apakah NKRI akan mau tahu mereka?
Semuanya terserah! Semuanya kembali kepada hatinurani seorang manusia! Insan yang sehat rohani dan jasmani tidak akan keliru dalam mengambil sikap dan langkah berdasarkan naluri hewaninya dalam rangka menyelamatkan dirinya dan kaumnya. Kalau tidak begitu, kita kelompok hewan yang paling bodoh yang pernah ada di planet Bumi ini.
Aktivis Papua Merdeka asal Kanada Jeremi BallyBersepeda Keliling Dunia menyampaikandukungan Internasional kepada Tapol dan Napol Papua ketika dijumpai di Gedung Dewan Kesenian Papua di Jayapura, Senin (16/12).JAYAPURA— Aktivis Papua Merdeka asal Kanada Jeremi Bally (27) “Bersepeda Keliling Dunia” menyampaikan sebanyak 40 kartu pos dan pesan dukungan internasional dari para aktivis Papua merdeka yang dia kumpulkan selama enam bulan terakhir sejak Juli 2013 seperti dari Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Australia dan New Zealand kepada Tapol dan Napol Papua.
ParaTapol/Napol itu masing-masing Filep Karma, Forkorus Yaboisembut, Selpius Bobii, Domunikus Serabut, Viktor Yeimo dan lain-lain yang kini ditahan dengan tuduhan makar di Lembaga Pemasyarakatan Abepura, Jayapura, Senin (16/12).
“Saya ke Papua untuk bertemu Tapol dan Napol Papua untuk menyampaikan kartu pos dan pesan yang saya kumpulkan dari aktivis Papua merdeka di luar negeri yang saya jumpai saat bersepeda keliling dunia,”
ujar Jeremi Bally kepada Bintang Papua yang menjumpainya di Gedung Dewan Kesenian Papua di Jayapura, Senin (16/12).
Jeremi Bally menandaskan ia dari Jakarta dan tiba di Jayapura pada Senin (16/12) pagi.
Ketika Bintang Papua mendaulatnya naik diatas sepeda miliknya untuk difoto Jeremi Bally menyambut dengan senang hati. Kemudian, Jeremi Bally naik ke sepeda mini warna biru didepan keranjang bertuliskan “Bersepeda untuk Papua. Jeremi Bally ketika itu mengenakan kaos You Can See berwarna abu-abu tengah memetik gitar kecil menyanyikan lagu dari daerah Asmat berjudul Mambo Simbo.
Dikatakan Jeremi Bally, diri telah bertemu Tapol dan Napol Papua di Lembaga Pemasyarakatan Abepura untuk menyampaikan kartu pos dan pesan berupa dukungan internasional dari aktivis Papua merdeka seperti Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Australia dan New Zealand kepada para Tapol/Napol Papua.
Ditanya bersepeda keliling dunia untuk kampanye Papua merdeka, tegas Jeremi Bally, dirinya ke Papua bukan melakukan kampanye Papua merdeka, tapi hanya untuk menyampaikan kepada para Tapol/Napol berupa dukungan melalui 40 kartu pos dan pesan dari aktivis Papua di luar negeri.
Apakah tak takut ditangkap Polisi, tandas Jeremi Bally, poda awalnya dia kwatir ditangkap Polisi aktivitasnya menemui para Tapol/Napol Papua, tapi setelah itu dirinya makin yakin bahwa aktivitasnya tak melanggar hukum di Indonesia.
Menurut Jeremi Bally, dirinya telah dua kali berkunjung ke Papua sebagai turis diawali tahun 2011 silam. Sedangkan kunjungannya kali ini adalah aktivis terakhirnya untuk menyampaikan kartu pos dan pesan dukungan dari aktivis Papua merdeka di luar negeri yang saya jumpai saat bersepeda keliling dunia.
“Saya akan segera kembali ke Kanada, tapi suatu saat saya ingin kembali lagi ke Papua,”
tutur Jeremi Bally dalam Bahasa Inggris yang fasi.(Mdc/don/l03)
Jayapura – Sebuah video wawancara dengan Profesor Noam Chomsky telah dirilis minggu ini. Chomsky, Profesor dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) yang sering disebut sebagai “father of modern linguistics” berbicara tentang Papua Barat dalam video tersebut. Ia menyebut kasus Papua Barat sebagai skandal besar yang dilakukan negara-negara Barat.
“Saya pikir perlawanan Papua Barat akan berdiri dengan kasus lainnya dalam perlawanan terhadap teror dan penindasan besar-besaran sebagai inspirasi dari apa yang manusia dapat capai dan itu belum mungkin berhasil. Jika (negara-negara-red) Barat bersedia untuk menghadapi tanggung jawab dan tindakan itu, hal ini dapat berhasil.”
kata Noam Chomsky tentang perlawanan rakyat Papua Barat.
Dalam video ini, Chomsky menyebutkan Amerika Serikat dan Australia sebagai aktor utama dibalik skandal Papua Barat karena kepentingan atas sumberdaya alam di Papua Barat. Indonesia, hanyalah sebuah negara yang disupport oleh Amerika Serikat untuk menjalankan skandal tersebut. Hal yang sama juga terjadi pada kasus Timor Leste yang “dimainkan” oleh Australia.
Noam Chomsky, adalah seorang pengkritik keras kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Dia mengklaim Amerika Serikat memiliki standar ganda dalam kebijakan luar negerinya. Amerika Serikat, menurut Chomsky mendukung demokrasi dan kebebasan bagi semua namun bersekutu dengan organisasi non-demokratis dan represif seperti Chili di bawah Augusto Pinochet yang merupakan pelanggaran hak asasi manusia besar-besaran. Dia sering berpendapat bahwa intervensi Amerika di negara lainnya, termasuk bantuan rahasia pemerintah Amerika Serikat adalah sebuah cara yang cocok dengan deskripsi standar terorisme. (Jubi/Victor Mambor)
Dukungan Internasional bagi Perjuangan hak penentuan nasib sendiri rakyat West Papua semakin meningkat. Ini bukti bahwa international semakin hari semakin sadar atas persoalan West Papua, dimana hak penentuan nasib sendiri rakyat West Papua belum dilaksanakan secara adil dan demokratis berdasarkan prinsip-prinsip hukum international, standar-standar hak asasi manusia dan Piagam PBB. Tentu saja kemajuan politik perjuangan West Papua ini tidak terlepas dari pengorbanan dan jeripaya yang dilakukan masyarakat West Papua.
Kemajuan politik perjuangan West Papua ini juga menunjukan pengelolaan manajemen perjuangan rakyat West Papua semakin hari semakin baik. Agenda tunggal perjuangan rakyat West Papua adalah “menuntut International untuk melindungi, memajukan, dan memenuhi pelaksanaan hak penentuan nasib sendiri rakyat West Papua”, karena hak ini belum dilaksanakan secara adil dan demokratiS.
Perjanjian New York 15 Agustus 1962 yang ditandatangani pemerintah Indonesia dan pemerintah Kerajaan Nederland yang disponsori oleh Amerika Serikat ini tidak menjamin pelaksanaan hak penentuan nasib sendiri rakyat West Papua secara adil dan bermatabat. Perjanjian ini hanya sebagai legitimasi yang diberikan kepada Indonesia untuk menguasai wilayah West Papua.
Parlemen Nasional West Papua (PNWP) menghimbau kepada rakyat West Papua untuk menjadikan agenda Hak Penentuan Nasib Sendiri sebagai agenda bersama untuk didorong dan diperjuangkan ke international.
MSG harus kita dorong untuk terus memainkan peran dalam mendukung dan memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri rakyat West Papua dalam forum-forum PBB. Vanuatu sudah menunjukan sikapnya dimana telah mengangkat masalah West Papua pada Sidang Umum Majelis PBB pada September 2013. Vanuatu akan memainkan perannya untuk mempromosikan masalah West Papua di forum-forum international guna mendapat dukungan.
Sikap politik Vanuatu ini akan dilakukan lagi pada forum dunia Commonwealth Head Of Governments Regional Meeting (CHOGRM) di di Colombo, Sri Lanka. Foeum CHOGRM beranggotakan 53 negara di dunia. Mereka adalah Negara-negara bekas jajahan Inggris Raya “Pertemuan akan berlangsung mulai 16 November 2013 untuk dua hari. Dalam pertemuan tersebut masalah HAM Papua Barat akan dibawah oleh Perdana Menteri Vanuatu.
Parlemen Nasional West Papua (PNWP) sebagai lembaga representatif politik rakyat West Papua telah menugaskan Komite Nasional Papua Barat (KNPB) sebagai pelaksana nasional dalam memobilisasi rakyat guna mendukung dan menyampaikan terima kasih kepada Pemerintah Vanuatu yang dengan setia menolong mengangkat masalah West Papua di forum-forum internatioanal.
Agenda dukungan juga dilakukan bagi agenda Kampanye Papua Merdeka atau Free West Papua Campaign yang telah diluncurkan di Papua Nugini, pada tanggal 6 November pukul 11.00 sampai 12.30 siang oleh Koordinator diplomat OPM, Tuan. Benny Wenda di gedung Partners with Melanesian Inc., opposite Pacific Engineering, Conference Room, Hohola Industrial Center, Port Moresby, PNG.
Pembukaan Free West Papua Campaign Chapter PNG ini bertujuan untuk memberi Informasi dan kesadaran kepada warga Papua Nugini tentang perjuangan bangsa Papua untuk bebas dari penjajahan Indonesia.
Selain agenda peluncuran itu, anggota Pengacara Internasional untuk West Papua (ILWP) yang juga pakar hukum Internasional, Jenifer Robinson akan berada di PNG mulai 27 hingga 29 November untuk bertemu dengan anggota Parlemen PNG, bertemu dengan para pengungsi West Papua dan pidato umum tentang hak penentuan nasib sendiri bagi West Papua.
Selain iven diatas, Ada agenda-agenda penting dalam bulan November, yakni:
Peluncuran inisiatif “Sorong to Samarai” untuk agenda pengibaran Bintang Fajar pada 1 Desember 2013 di PNG, dan mendorong West Papua didaftarkan ke MSG.
Kuliah Umum dan workshop
Pertemuan dengan anggota-anggota Parlemen Nasional PNG untuk bergabung dengan IPWP.
Point-point dukungan yang akan di sampaikan oleh rakyat West Papua adalah:
Mendukung dan menyampaikan terima kasih kepada Dewan Gereja Pasifik yang telah menyatakan dukungannya untuk perjuangan hak penentuan nasib sendiri rakyat West Papua yang telah dibicarakan pada Koferensi Gereja Sedunia pada 5 November 2013 di Korea Selatan.
Mendukung dan menyampaikan terima kasih kepada Pemerintah Vanuatu yang mengangkat masalah West Papua (Hak Penentuan Nasib Sendiri rakyat West Papua) pada pertemuan 53 Pemimpin negara-negara persekmakmuran jajahan Inggris Raya pada tanggal 16-17 November 2013 di Srilangka.
Mendukung dan menyampaikan terima kasih kepada masyarakat dan pemerintah PNG yang telah menerima pemimpin Kemerdekaan International West Papua Mr. Benny Wenda dan member ijin pembukaan kantor kampanye OPM di Port Moresby.
Demikian Seruan ini dibuat agar diteruskan ke seluruh lapisan rakyat West Papua.
Oslo — Pekan ini, informasi tentang nominasi Hadiah Nobel Perdamaian untuk dua pemimpin gerakan Papua Merdeka, Benny Wenda dan Filep Karma beredar luas.
Informasi ini pertama kali dirilis di http://www.bennywenda.org dan http://www.freewestpapua.org pada 8 Oktober 2013 dengan judul “West Papuan leaders nominated for Nobel Peace Prize 2013”.
Selanjutnya, informasi tersebut beredar melalui Short Message Service (SMS), Facebook, Tweeter, dan dipublikasikan di beberapa website termasuk beberapa media publik di Papua.
Nah, apakah laporan ini tidak menciptakan kebingungan luar biasa bagi rakyat Papua?
Dalam laporan itu menulis, Benny Wenda dan Filep Karma telah dinominasikan untuk Hadiah Nobel Perdamaian 2013.
Dikatakan, aplikasi mereka berhasil disampaikan kepada Komite Nobel oleh anggota Departemen Politik di University of Reading, Inggris pada bulan Januari tahun ini. Bahkan, dikatakan pemenang akan diumumkan Jumat 11 Oktober 2013 lalu.
Kebingungan tercipta karena dalam laporan itu tidak secara jelas menyebutkan sumber informasi soal nominasi itu. Laporan itu selain menyinggung soal penyampaian aplikasi kepada Komite Nobel, juga mengacu pada profil Filep Karma yang dipublikasikan di http://www.freedom-now.org pada 2011 silam.
Lalu, sebenarnya, siapa yang berhak mengajukan nominasi Hadiah Nobel Perdamaian?
Menurut Statuta Yayasan Nobel, nominasi dianggap sah apabila disampaikan oleh orang yang termasuk dalam salah satu kategori berikut.
Anggota majelis nasional dan pemerintah negara-negara; anggota pengadilan internasional; rektor universitas, profesor ilmu sosial, sejarah, filsafat, hukum dan teologi; direktur lembaga penelitian perdamaian dan lembaga kebijakan luar negeri; orang-orang yang telah dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian.
Selain itu, anggota dewan organisasi yang telah dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian; anggota aktif dan mantan Komite Nobel Norwegia, (proposal oleh anggota Komite yang akan disampaikan paling lambat pada pertemuan pertama Komite setelah 1 Februari); dan atau mantan penasihat Komite Nobel Norwegia.
Berdasarkan pengajuan orang yang termasuk dalam salah satu kategori di atas, selanjutnya, Komite Nobel membuat seleksi berdasarkan nominasi yang diterima atau stempel pos paling lambat tanggal 1 Februari tahun yang bersangkutan. Nominasi yang tidak memenuhi tenggat waktu biasanya disertakan dalam penilaian tahun berikutnya.
Anggota Komite Nobel berhak untuk mengajukan calon mereka sendiri pada akhir pertemuan pertama Komite setelah berakhirnya batas waktu. Komite sendiri tidak mengumumkan nama-nama calon.
Sebenarnya, apa kriterianya untuk seseorang mendapatkan penghargaan yang dikenal The Nobel Peace Prize itu?
Penghargaan paling terkenal di dunia ini diberikan oleh Komite Nobel Perdamaian kepada mereka yang telah
“melakukan suatu pekerjaan besar atau karya terbaik untuk persaudaraan antara bangsa-bangsa, dan mereka yang telah melakukan promosi perdamaian untuk mengatasi kekerasan.”
Diketahui, mereka yang telah mendapatkan penghargaan ini adalah Uskup Agung Desmond Tutu, Jose Ramos Horta, Nelson Mandela, dan Aung San Suu Kyi.
Nominasi Hadiah Nobel Perdamaian untuk Benny Wenda dan Filep Karma jika dipandang Komite Nobel Perdamaian layak, tentu sesuatu yang wajar. Karena, Komite Nobel tentu memiliki standar menetapkan seseorang sebagai nominator. Juga, ada aturan soal siapa yang berhak mengajukan nominasi ini.
Informasi yang kredibel tentu rakyat Papua butuhkan. Informasi yang benar tidak akan membuat rakyat Papua kebingungan. Laporan ini bisa jadi sama membingungkan saat Jacob Rumbiak yang mengklaim sudah mendapat dukungan dari 111 negara, termasuk Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Kanada, dan Jepang di waktu lalu, yang ternyata tidak benar.
Peristiwa membingungkan bagi rakyat Papua yang lain adalah informasi soal pemberian paspor dan visa Aborigin kepada orang Papua yang berada di Australia oleh Freedom Flotilla from Lake Eyre pada sebuah upacara sejarah yang diadakan di luar Victorian Trades Hall di Melbourne, Australia.
Pada upacara pemberian paspor dan visa Aborigin itu, Jacob Rumbiak mengatakan, “Misi ini akan menyatukan kembali hubungan keluarga Adat kami, yang rusak oleh evolusi geologi dan batas-batas kolonial.” Tapi akhirnya, dianggap hanya sensasi.
Lain lagi, saat beredar berita, anggota-anggota parlemen dari seluruh dunia berkumpul di Westminister Abbey, Inggris untuk membahas status Papua Barat dalam Indonesia.
Saat itu, diberitakan, mereka berbicara soal “Act of Free Choice” tahun 1969, Perjanjian New York tahun 1962, dan hak penentukan nasip sendiri bagi Papua Barat. Juga, ternyata tidak semua anggota-anggota parlemen dari seluruh dunia berkumpul di sana.
Cukup banyak informasi membingungkan lain. Dari Papua misalnya, momen-momen sensasional dari Forkorus Yaboisembut, yang mengklaim dirinya sebagai Presiden Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB) yang dicatat tabloidjubi.com.
Semoga saja, rakyat Papua diberikan informasi yang benar agar mereka bertindak atas informasi yang benar itu. Informasi kredibel tentu merupakan kebutuhan untuk bertindak dengan benar untuk kemajuan mereka di masa kini dan masa yang datang. (GE/MS)